TABLOID REPUBLIKA KOMUNITAS 15 JUMAT, 13 AGUSTUS 2010 Menunggu Gerak Dakwah YADIM dan YADMI Bagi TKI di Malaysia erita duka seakan melekat dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, tidak terkecuali yang bekerja di Malaysia. Ribuan kisah sukses mereka di negeri jiran kerap kali tenggelam dalam haru biru dan kisah nestapa. Kisah-kisah nestapa itu pun telah memunculkan stereotipe bahwa orang Malaysia, baik yang Melayu maupun bukan Melayu, identitik sebagai penyiksa TKI. Stereotipe ini sangat melekat di kalangan masyarakat awam di Tanah Air, namun tidak bagi mereka yang mengetahui fakta yang sebenarnya. Apalagi bagi mereka yang kerap melakukan dakwah di Malaysia. Fakta yang sesungguhnya adalah banyak TKI tidak menempuh jalur resmi untuk bekerja di Malaysia, majikan yang melakukan penyiksaan bukan berasal dari kalangan muslim (Melayu) dan trafficking dilakukan oleh sebuah sindikat internasional yang berasal dari banyak negara, termasuk Indonesia. Namun fakta ini tidak akan banyak membantu menyelesaikan persoalan TKI yang selalu berulang jika tidak ada gerakan nyata yang komprehensif dan totalitas. Selama ini, pemerintah sangat dominan dalam gerakan menyelesaikan persoalan TKI, sedangkan partisipasi masyarakat, baik individu mau- C pun lembaga, masih sangat rendah. Walhasil, dengan keterbatasan aparat yang ada, tidak semua persoalan dapat ditangani oleh pemerintah. Bahkan persoalan yang telah ditangani sering tidak menyentuh dan mencabut akarnya. Maka tidak heran persoalan-persoalan TKI kembali terulang Mampukah bangsa ini memutus spiral kekerasan dan kejahatan yang mendera TKI di Malaysia? Tentu jawabannya adalah mampu; dengan catatan, masyarakat harus dilibatkan dan terlibat dengan porsi yang lebih besar daripada pemerintah. Terutama keterlibatan dari lembaga atau ormas Islam. Karena jika dicermati, konsep dan aksi menyelesaikan persoalan TKI di Malaysia lebih banyak dibuat, diajukan dan dilakukan oleh kalangan di luar lembaga atau ormas Islam. Dari Islam, hanya sedikit yang melakukannya, salah satunya adalah Nahdatul Ulama (NU). Hal ini disebabkan masih adanya pandangan bahwa persoalan TKI adalah domain domain kepentingan umum bukan domain dakwah. Padahal, para TKI di Malaysia yang berjumlah sejuta lebih mayoritas beragama Islam dan tentu saja menjadi ladang dakwah yang cukup luas. Mereka umumnya berpendidikan rendah dan memiliki pemahaman keislaman yang juga minim. Mereka sangat membutuhkan bimbingan keislaman untuk mengatasi berbagai persoalan hidup di negara Malaysia, negara yang menjunjung tinggi ajaran Islam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula anak-anak para TKI yang jumlahnya ribuan dan terabaikan dari pendidikan keislaman. Inilah ladang dakwah yang seharusnya dijadikan prioritas oleh lembaga dan ormas Islam yang berada di Indonesia dan juga di Malaysia. Salah satu dari sedikit lembaga Islam, di luar ormas Islam seperti NU, yang mulai memprioritaskan program kerjanya pada penyelesaian persoalan TKI di Malaysia adalah Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia (YADIM) yang kini dipimpin oleh YBhg. Datuk Aziz Jamaludin Mhd Tahir. Yayasan ini memiliki perwakilannya di Indonesia dengan nama Yayasan Dakwah Malaysia- Indonesia (YADMI). Jika melihat profil dari YADIM dan YADMI, maka dapat dipastikan kedua lembaga ini memiliki kapasitas dan kapabilitas yang tinggi dalam menyelesaikan persoalan TKI di Malaysia di luar pemerintah. Beberapa faktor penyebabnya adalah jaringan, sumber daya dan media dakwah yang mereka miliki sangat kuat, baik di Malaysia maupun di Indonesia, bukan saja di level elit masyarakat, tetapi sampai ke akar rumput (grass roots) terutama di Malaysia. Datuk Haji Aziz Jamaludin bin Haji Mhd Tahir Jika dua tahun belakangan ini keberadaan YADIM, terutama YADMI, di Indonesia lebih dikenal sebagai lembaga yang berdakwah dengan penanya atau dakwah bil qolam dari seminar ke seminar, maka pada tahun ini dan seterusnya kiprah keduanya akan dirasakan manfaatnya dalam aksi-aksi yang nyata, terutama dalam menolong dan memberdayakan kaum muslimin dan muslimat yang telah atau akan menjadi TKI di Malaysia. Selain itu, keduanya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan umat Islam di Malaysia yang membutuhkan tenaga yang berakhlak mulia, terampil bekerja, sekaligus terampil mengajar Alquran dan dapat melakukan bimbingan agama untuk putra-putri mereka. Mari kita tunggu gerak dakwah YADIM dan YADMI ini dan kita do`akan agar usaha mereka diridhai dan dipermudah oleh Allah SWT. Amiin. ■ pengirim: Rakhmad Zailani Kiki Majelis Al Masykuriyah Jakarta 'Terapi Pembenahan Moral' elesai shalat Isya, sebuah rumah di Jalan Raya Tengah Gang Damai Batu Ampar Condet Jakarta Timur, tampak ramai dipadati pria dewasa dan remaja berbusana Muslim. Beberapa lainnya menyusul berduyun. Para penerima tamu tampak ramah dengan senyum menguntai di bibir. Mereka mempersilakan para tamu menuju sebuah ruangan di dalam rumah. Setelah semua orang berkumpul, seorang ulama kampung memulai acara: sebuah pengajian, membahas persoalan aktual yang dikorelasikan dengan nilai-nilai keislaman, sufisme dan humanisme. Begitulah suasana Majelis Al Masykuriyah yang digelar dua pekan sekali, setiap Selasa malam. Majelis itu S berasal dari majelis taklim yang telah berjalan sejak 2006 lalu dengan mengkaji kitab-kitab kuning termasuk kitab AlHikam. Seiring permintaan para jamaah dan hasil bahtsulmasail, maka sejak empat bulan lalu dibentuklah Majelis Al Masykuriyah yang kurang lebih memiliki makna agar umat manusia pandai bersyukur atas karunia Allah SWT. Sang ahlul bait, tak lain adalah Dr Ali Masykur Musa, mantan anggota DPR RI dan kini menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Cak Ali, panggilan akrabnya mengungkapkan, “Pengajian ini sebenarnya menjadi sekelumit pengabdian saya kepada masyarakat dan agama. Apalagi akhir-akhir ini bangsa kita sedang menghadapi permasalahan demoralisasi, dalam segala bentuknya, utamanya pergaulan bebas.” Cak Ali mengaku prihatin dengan kondisi masyarakat Indonesia yang kerap dihadapkan pada beragam persoalan sosial, ekonomi dan kemanusiaan. Di Majelis Al Masykuriyah, Cak Ali berharap para orangtua dan remaja yang hadir akan dapat memperoleh pencerahan dan inspirasi hidup yang lebih bersahaja, sesuai tuntunan Rasulullah SAW. “Di televisi kerap dipertontonkan perilaku pergaulan bebas para artis, perselingkuhan, dan bahkan penggunaan narkoba. Hal ini seolah seirama dengan berita-berita yang menyajikan jeritan hati para anak-anak miskin yang tak mampu sekolah hingga bunuh diri, ataupun beragam dilema sosial yang mewabah. Saya berharap Majelis Al Masykuriyah ini menjadi semacam ruang terapi dan sarana introspeksi diri masyarakat,’’ paparnya. Majelis Al Masykuriyah memang tak hanya membahas permasalahan keagamaan saja, melainkan pembahas beragam permasalahan kehidupan, baik terkait perilaku sosial, pencarian keberkahan hidup, hingga aspekaspek kepemimpinan. ■ damanhuri zuhri