BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN Hasrat dan fantasi merupakan hal yang siginifikan dalam pemikiran Lacan. Melalui hasrat subjek mampu bertahan dengan “ilusi” kembali pada kondisi utuh (unity), bersatunya bayi dengan ibunya, kembali pada the Real. Suatu kondisi yang menjadi tujuan dari tiap subjek. Melalui fantasi-fantasi, subjek terus memelihara hasrat agar terus ada. Apa yang terpenting dari analisa hasrat dan fantasi adalah the Other (liyan) yang menentukan gambaran ideal bagi subjek. Penelitian ini menyandarkan analisa dengan menggunakan konteks sosial budaya Indonesia sebagai the Other sebagai konteks di mana teks slash fiction objek penelitian ini diproduksi, mengingat penulisnya berasal dari Indonesia. Empat teks slash fiction Super Junior yang menjadi objek penelitian ini, yakni “Between Kisses”, “Sweet Pumpkin”, “Your Eyes Tell Me Everything”, dan “Chicken Curry” memotret relasi homoseksual antara anggota Super Junior yang di dalamnya menawarkan hasrat-hasrat dan fantasi-fantasi tentang cinta, relasi romantik, aktivitas seksual, juga harapan utopis akan homoseksualitas. Dari hasil analisa keempat teks slash Super Junior pada bab sebelumnya saya menemukan norma-norma heteroseksual masih kuat bekerja dalam menentukan hasrat dan fantasi subjek. Sebagai representasi dari hasrat dan fantasi penulis, di mana penulis berada dalam konteks sosial dan budaya Indonesia, dapat dikatakan heteronormativitas yang berlaku secara hegemonik dalam masyarakat Indonesia berfungsi sebagai hukum Ayah (the-Name-of-the-Father) bagi subjek. Dan 161 berdasarkan analisis, subjek dalam empat teks slash fiction objek penelitian ini tunduk terhadap law of the Father yang mewujud dalam bentuk norma-norma heteroseksual yang berlaku di masyarakat. Norma heteroseksual ini dapat dilacak pada hasrat subjek dalam mencintai subjek berjenis kelamin sama (same sex) yang digambarkan ke dalam fantasi cinta yang diam (silent love), yaitu cinta yang disembunyikan, tidak diutarakan, dan disimpan sendiri. Gambaran tentang silent love ini ada dalam tiga teks slash “Between Kisses”, “Sweet Pumpkin”, dan “Your Eyes Tell Me Everything”. Fantasi tentang cinta yang diam (silent love) ini menunjukkan ketidaknyamanan subjek dengan perbedaan hasrat yang dimilikinya dengan apa yang diinginkan masyarakat (che voui?)—yaitu relasi heteroseksual. Di sini subjek mengakui heteronormativitas sebagai hukum (the-Name-of-the-Father) yang sepatutnya diikuti. Sehingga hasrat subjek akan cinta sesama jenis dirasa subjek bukan sebagai hal yang harusnya dikatakan, dan subjek memilih untuk diam dan tunduk alih-alih menentang hukum Ayah tadi. Di saat yang sama hasrat cinta antar sesama jenis dalam tiga teks slash fiction tersebut ditopang oleh fantasi tentang cinta yang murni (pure) yang kemudian melahirkan pure relationship, di mana kualitas subjek, terlepas dari jenis kelamin, seperti persahabatan yang telah dijalin subjek, keintiman, dan kenyamanan menjadi basis dari cinta yang dimiliki subjek. Di sini, jenis kelamin tidak menjadi hal yang signifikan, artinya kualitas fisik seseorang tidak lagi dilihat sebagai penanda utama dalam mengembangkan rasa cinta. Dalam bentuk cinta dan relasi seperti ini, kesetaraan (equality) pasangan dapat benar-benar dicapai 162 dalam hal emosi dan kepuasan seksual, juga termasuk kesetaraan dalam konteks yang lebih luas, yaitu antara kaum gay (homoseksual) dan heteroseksual, di mana keduanya tidak lagi terdikotomi dalam kutub berlawanan, tapi membaur dan bisa merasakan atau menjalin cinta terhadap siapapun, terlepas dari persoalan jenis kelamin. Namun gambaran pure relationship yang “seharusnya” menjadi bentuk relasi romantik yang memfasilitasi adanya kesetaraan antar pasangan, tidak kemudian konsisten dengan fantasi lain yang hadir dalam teks slash fiction dalam penelitian ini. Hasrat relasi romantik dalam bingkai homoseksual tetap dipotret melalui fantasi-fantasi beraroma heternormativitas di mana pasangan dalam keempat teks slash objek penelitian digambarkan memiliki peranan seksual maskulin dan feminin. Secara singkat, dalam teks “Between Kisses”, Kyuhyun membawa peran maskulin dan Eunhyuk feminin; dalam teks “Sweet Pumpkin”, Kyuhyun membawa peran maskulin dan Sungmin peran feminin; dan dalam teks “Your Eyes Tell Me Everything” Siwon membawa peran maskulin dan Donghae feminin; terakhir, dalam teks “Chicken Curry”, Siwon membawa peran maskulin dan Kyuhyun peran feminin. Adanya pembagian peran ini tampak dari penggambaran posisi aktif-pasif dua subjek yang berpasangan, seperti dalam hal pernyataan cinta (confession), aktivitas seksual, atau representasi suara (cerita dinarasikan hanya dari satu sudut pandang dalam teks “Your Eyes Tell Me Everything”). Dengan relasi di mana peranan seksual masih terdikotomi ke dalam maskulin dan feminin, aktif dan pasif, dapat dikatakan hasrat relasi homoseksual 163 dalam teks slash fiction objek penelitian ini masih mengandaikan relasi yang cenderung tidak equal. Bahwa kemudian cinta murni (pure) yang berkembang tanpa melihat jenis kelamin seperti disampaikan di atas tidak berkembang ke dalam relasi yang juga bebas dari pembagian posisi seksual maskulin-feminin seperti dalam makna pure relationship yang dibayangkan Giddens. Jenis kelamin kemudian benar-benar terbatas pada persoalan tubuh; memiliki penis atau vagina, memiliki payudara atau jakun, namun selebihnya fantasi tentang relasi masih diisi dengan pembagian peranan yang konvensional dan heteronormatif. Misalnya saja dalam diskursus tentang tubuh yang mengemuka dalam teks slash “Sweet Pumpkin”. Fantasi tentang tubuh ideal yang ditawarkan oleh teks “Sweet Pumpkin”, meski direpresentasi dalam tubuh laki-laki (maskulin), namun fantasinya merupakan fantasi tubuh feminin, tubuh yang tidak gemuk (langsing). Gemuk kemudian menjadi musuh yang ditakuti, karena gemuk bukanlah desirable body. Dalam narasinya, Sungmin khawatir jika dirinya gemuk, Kyuhyun tidak lagi menganggap dirinya menarik. Potret ini dengan jelas menghadirkan relasi feminin-maskulin antar subjek yang umumnya ada dalam relasi heteroseksual. Pada teks “Chicken Curry” yang memotret relasi pernikahan homoseksual antara Siwon dan Kyuhyun juga digambarkan sebagai relasi yang terjalin melalui pembagian peranan maskulin dan feminin, relasi yang khas heteroseksual. Namun yang menarik dari gambaran pernikahan homoseksual dalam “Chicken Curry” adalah hasrat homosocial, yaitu satu kondisi di mana homoseksualitas menjadi satu kewajaran dan diterima oleh masyarakat. Pernikahan homoseksual Siwon dan Kyuhyun diceritakan diketahui oleh sahabat-sahabat dan pihak keluarga mereka. 164 Ada fantasi tentang kesetaraan antara kaum homoseksual dan heteroseksual, di mana keduanya mendapatkan pengakuan yang sama dari masyarakat dan negara (sebagai pemegang otoritas dalam melegalkan pernikahan). Hasrat homosocial ini merupakan hasrat yang dapat disebut sebagai hasrat yang khas homoseksual, di mana pengharapan akan eksistensi kaum gay menjadi titik tolaknya. Dan sulitnya kondisi homosocial tercapai, sekaligus menjadikan hasrat homosocial sebagai hasrat yang utopis. Hasrat yang khas homosekskual seperti hasrat homosocial dan hasrat tentang cinta yang tidak memandang jenis kelamin, memang menjadi satu tawaran representasi dari empat teks slash fiction Super Junior objek penelitian ini. Namun kecenderungan potret norma heteroseksual jauh lebih kuat bekerja. Sehingga ada bentuk inkonsistensi dalam teks yang notabene menyajikan potret homoseksualitas. Asumsinya, sebagai teks yang menghadirkan relasi romantik homoseksual, hasrat dan fantasi yang dihadirkankan juga merepresentasi hasrat dan fantasi homoseksual yang mampu menjadi satu gambaran alternatif tentang relasi romantik. Dengan gambaran seperti yang ditemukan dalam empat teks slash fiction Super Junior yang menjadi objek penelitian ini, di mana heteronormativitas masih cukup dominan, teks slash yang menghadirkan relasi homoseksual kemudian tidak serta-merta bisa dikatakan sebagai teks homoseksual. Sebab homoseksualitas dalam empat teks slash fiction objek penelitian ini hanya direpresentasikan oleh relasi yang dijalin oleh subjek yang memiliki jenis kelamin sama (same sex relationship), sedangkan hasrat-hasrat dan fantasi-fantasi yang dihadirkan dalam teks slash merupakan hasrat dan fantasi heteroseksual di mana 165 kualitas dikotomis maskulin dan feminin masih menjadi kecenderungan pola dalam jalinan relasi romantik subjek. Penelitian ini pada dasarnya masih merupakan kajian yang relatif minor tentang homoseksualitas dalam teks slash fiction secara umum dan slash fiction K-pop secara khusus. Ada banyak ruang tersisa dari penelitian ini yang bisa menjadi bahan kajian lanjutan. Salah satunya—yang sekaligus menjadi kekurangan dan keterbatasan penelitian ini—adalah bahasan dan analisa tentang internet sebagai medium dari slash fiction. Penelitian ini hampir dapat dikatakan tidak memasukkan konteks internet culture dalam analisis penelitian sehingga kesan yang hadir seolah ada keterpisahan antara teks dan media. Kesan ini kemudian menempatkan teks sebagai satu hal yang innocent, yang berdiri sendiri, otonom dari karakteristik media di mana dia diproduksi, didiseminasi, dikonsumsi, hingga berkembang menjaddi satu kultur tersendiri. Sementara karakteristik suatu teks tentu tidak dapat dipisahkan dari karakter medianya. Asal negara dan jenis kelamin penulis teks slash fiction objek penelitian ini diperoleh melalui akun penulis di situs www.asianfanfics.com yang menjadi korpus pemilihan teks objek penelitian ini. Dengan karakteristik internet, identitas penulis tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah „asumsiā, karena ketiadaan klarifikasi langsung. Sehingga konteks sosial budaya penulis yang dijadikan sandaran dalam analisis penelitian ini juga dapat dibilang sebagai asumsi, “asumsinya, karena para penulis berasal dari Indonesia, maka konteks sosial budaya mereka—yang juga menjadi konteks produksi teks slash fiction— mencerminkan heteronormativitas yang kuat. Konsekuensi dari tidak 166 dimasukkannya bahasan internet culture dalam penelitian ini kemudian menempatkan asal negara penulis, jenis kelamin, dan konteks sosial budaya penulis sebagai hal yang pasti benar adanya, bukan merupakan satu konstruksi karena karakteristik internet sebagai satu cara bermedia. Ruang-ruang lain yang dapat diisi dari penelitian ini misalnya saja tentang pengambilan teks slash fiction objek penelitian dapat diperluas tidak hanya pada satu boyband K-pop, tapi pada beragam boyband dan termasuk girlband (jika defini slash fiction yang digunakan memasukkan relasi lesbian ke dalamnya). Dengan menggunakan lebih banyak teks sebagai objek saya kira akan membantu untuk melihat kecenderungan pola relasi homoseksual yang ditawarkan, maka pembacaan atas hasrat dan fantasi di dalamnya menjadi lebih menukik. Representasi hasrat dan fantasi juga pada dasarnya dapat ditemukan tidak hanya pada slash fiction, tapi pada seluruh teks hasil reproduksi fans (fans cultural production) yang hadir dalam beragam bentuk seperti video, lagu, surat, dan lainlain. Mengembangkan penelitian ini melalui penggunaan teks hasil reproduksi fans yang beragam juga menjadi satu alternatif untuk melihat potret dan gambaran homoseksualitas dalam fan-star relation (fandom-stardom). Penulis, sebagai fans, juga menjadi satu aspek (ruang) yang bisa dieksplorasi lebih jauh untuk menajamkan kajian tentang homoseksualitas juga hasrat dan fantasi. Metode psikoanalisis Lacan tidak mengharuskan peneliti untuk selalu kembali pada author (penulis) dalam melakukan kajian teks. Namun Lacan sendiri pada dasarnya tidak menafikan metode relasi analyst-analysand di mana ujaran analysand menjadi teks atau wacana tersendiri yang dapat dianalisis. 167 Menghadirkan penulis sebagai objek penelitian tentang hasrat dan fantasi melalui psikoanalisis Lacan akan menawarkan perkembangan tersendiri pada model penelitian seperti yang saya lakukan ini. Telaah terhadap the big Other yang menjadi aspek signifikan terhadap subjek penulis dalam melahirkan karyanya dapat dikaji lebih mendalam dan komprehensif sehingga pembacaan atas hasrat dan fantasi subjek dapat lebih rigit dan detail. Keberjarakan penelitian ini dengan penulis teks, di mana relasi dengan penulis hanya relasi www.asianfanfics.com, yang dijalin melalui menjadikan isu akun mereka dalam tentang orientasi situs seksual (homoseksual/heteroseksual) penulis luput dari bahasan. Apakah misalnya hasrat dan fantasi yang hadir dalam teks slash fiction merupakan refleksi dari orientasi seksual penulis. Hal ini menjadi ruang lain yang dapat dieksplorasi lebih dalam untuk kemudian mengaitkannya juga dengan internet culture, tentang bagaimana persoalan orientasi seksual dalam dunia cyber. Bisa jadi signifikansi orientasi seksual dalam dunia cyber tidak dapat ditarik secara sama dengan kondisi riil di masyarakat, sehingga perlakuan terhadap homoseksualitas pun berbeda terlepas dari orientasi seksual penulis teks. 168