161 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN Hasrat dan

advertisement
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasrat dan fantasi merupakan hal yang siginifikan dalam pemikiran Lacan.
Melalui hasrat subjek mampu bertahan dengan “ilusi” kembali pada kondisi utuh
(unity), bersatunya bayi dengan ibunya, kembali pada the Real. Suatu kondisi
yang menjadi tujuan dari tiap subjek. Melalui fantasi-fantasi, subjek terus
memelihara hasrat agar terus ada. Apa yang terpenting dari analisa hasrat dan
fantasi adalah the Other (liyan) yang menentukan gambaran ideal bagi subjek.
Penelitian ini menyandarkan analisa dengan menggunakan konteks sosial budaya
Indonesia sebagai the Other sebagai konteks di mana teks slash fiction objek
penelitian ini diproduksi, mengingat penulisnya berasal dari Indonesia.
Empat teks slash fiction Super Junior yang menjadi objek penelitian ini,
yakni “Between Kisses”, “Sweet Pumpkin”, “Your Eyes Tell Me Everything”,
dan “Chicken Curry” memotret relasi homoseksual antara anggota Super Junior
yang di dalamnya menawarkan hasrat-hasrat dan fantasi-fantasi tentang cinta,
relasi romantik, aktivitas seksual, juga harapan utopis akan homoseksualitas. Dari
hasil analisa keempat teks slash Super Junior pada bab sebelumnya saya
menemukan norma-norma heteroseksual masih kuat bekerja dalam menentukan
hasrat dan fantasi subjek. Sebagai representasi dari hasrat dan fantasi penulis, di
mana penulis berada dalam konteks sosial dan budaya Indonesia, dapat dikatakan
heteronormativitas yang berlaku secara hegemonik dalam masyarakat Indonesia
berfungsi sebagai hukum Ayah (the-Name-of-the-Father) bagi subjek. Dan
161
berdasarkan analisis, subjek dalam empat teks slash fiction objek penelitian ini
tunduk terhadap law of the Father yang mewujud dalam bentuk norma-norma
heteroseksual yang berlaku di masyarakat.
Norma heteroseksual ini dapat dilacak pada hasrat subjek dalam mencintai
subjek berjenis kelamin sama (same sex) yang digambarkan ke dalam fantasi cinta
yang diam (silent love), yaitu cinta yang disembunyikan, tidak diutarakan, dan
disimpan sendiri. Gambaran tentang silent love ini ada dalam tiga teks slash
“Between Kisses”, “Sweet Pumpkin”, dan “Your Eyes Tell Me Everything”.
Fantasi tentang cinta yang diam (silent love) ini menunjukkan ketidaknyamanan
subjek dengan perbedaan hasrat yang dimilikinya dengan apa yang diinginkan
masyarakat (che voui?)—yaitu relasi heteroseksual. Di sini subjek mengakui
heteronormativitas sebagai hukum (the-Name-of-the-Father) yang sepatutnya
diikuti. Sehingga hasrat subjek akan cinta sesama jenis dirasa subjek bukan
sebagai hal yang harusnya dikatakan, dan subjek memilih untuk diam dan tunduk
alih-alih menentang hukum Ayah tadi.
Di saat yang sama hasrat cinta antar sesama jenis dalam tiga teks slash
fiction tersebut ditopang oleh fantasi tentang cinta yang murni (pure) yang
kemudian melahirkan pure relationship, di mana kualitas subjek, terlepas dari
jenis kelamin, seperti persahabatan yang telah dijalin subjek, keintiman, dan
kenyamanan menjadi basis dari cinta yang dimiliki subjek. Di sini, jenis kelamin
tidak menjadi hal yang signifikan, artinya kualitas fisik seseorang tidak lagi dilihat
sebagai penanda utama dalam mengembangkan rasa cinta. Dalam bentuk cinta
dan relasi seperti ini, kesetaraan (equality) pasangan dapat benar-benar dicapai
162
dalam hal emosi dan kepuasan seksual, juga termasuk kesetaraan dalam konteks
yang lebih luas, yaitu antara kaum gay (homoseksual) dan heteroseksual, di mana
keduanya tidak lagi terdikotomi dalam kutub berlawanan, tapi membaur dan bisa
merasakan atau menjalin cinta terhadap siapapun, terlepas dari persoalan jenis
kelamin.
Namun gambaran pure relationship yang “seharusnya” menjadi bentuk
relasi romantik yang memfasilitasi adanya kesetaraan antar pasangan, tidak
kemudian konsisten dengan fantasi lain yang hadir dalam teks slash fiction dalam
penelitian ini. Hasrat relasi romantik dalam bingkai homoseksual tetap dipotret
melalui fantasi-fantasi beraroma heternormativitas di mana pasangan dalam
keempat teks slash objek penelitian digambarkan memiliki peranan seksual
maskulin dan feminin. Secara singkat, dalam teks “Between Kisses”, Kyuhyun
membawa peran maskulin dan Eunhyuk feminin; dalam teks “Sweet Pumpkin”,
Kyuhyun membawa peran maskulin dan Sungmin peran feminin; dan dalam teks
“Your Eyes Tell Me Everything” Siwon membawa peran maskulin dan Donghae
feminin; terakhir, dalam teks “Chicken Curry”, Siwon membawa peran maskulin
dan Kyuhyun peran feminin. Adanya pembagian peran ini tampak dari
penggambaran posisi aktif-pasif dua subjek yang berpasangan, seperti dalam hal
pernyataan cinta (confession), aktivitas seksual, atau representasi suara (cerita
dinarasikan hanya dari satu sudut pandang dalam teks “Your Eyes Tell Me
Everything”).
Dengan relasi di mana peranan seksual masih terdikotomi ke dalam
maskulin dan feminin, aktif dan pasif, dapat dikatakan hasrat relasi homoseksual
163
dalam teks slash fiction objek penelitian ini masih mengandaikan relasi yang
cenderung tidak equal. Bahwa kemudian cinta murni (pure) yang berkembang
tanpa melihat jenis kelamin seperti disampaikan di atas tidak berkembang ke
dalam relasi yang juga bebas dari pembagian posisi seksual maskulin-feminin
seperti dalam makna pure relationship yang dibayangkan Giddens. Jenis kelamin
kemudian benar-benar terbatas pada persoalan tubuh; memiliki penis atau vagina,
memiliki payudara atau jakun, namun selebihnya fantasi tentang relasi masih diisi
dengan pembagian peranan yang konvensional dan heteronormatif. Misalnya saja
dalam diskursus tentang tubuh yang mengemuka dalam teks slash “Sweet
Pumpkin”. Fantasi tentang tubuh ideal yang ditawarkan oleh teks “Sweet
Pumpkin”, meski direpresentasi dalam tubuh laki-laki (maskulin), namun
fantasinya merupakan fantasi tubuh feminin, tubuh yang tidak gemuk (langsing).
Gemuk kemudian menjadi musuh yang ditakuti, karena gemuk bukanlah desirable
body. Dalam narasinya, Sungmin khawatir jika dirinya gemuk, Kyuhyun tidak
lagi menganggap dirinya menarik. Potret ini dengan jelas menghadirkan relasi
feminin-maskulin antar subjek yang umumnya ada dalam relasi heteroseksual.
Pada teks “Chicken Curry” yang memotret relasi pernikahan homoseksual
antara Siwon dan Kyuhyun juga digambarkan sebagai relasi yang terjalin melalui
pembagian peranan maskulin dan feminin, relasi yang khas heteroseksual. Namun
yang menarik dari gambaran pernikahan homoseksual dalam “Chicken Curry”
adalah hasrat homosocial, yaitu satu kondisi di mana homoseksualitas menjadi
satu kewajaran dan diterima oleh masyarakat. Pernikahan homoseksual Siwon dan
Kyuhyun diceritakan diketahui oleh sahabat-sahabat dan pihak keluarga mereka.
164
Ada fantasi tentang kesetaraan antara kaum homoseksual dan heteroseksual, di
mana keduanya mendapatkan pengakuan yang sama dari masyarakat dan negara
(sebagai pemegang otoritas dalam melegalkan pernikahan). Hasrat homosocial ini
merupakan hasrat yang dapat disebut sebagai hasrat yang khas homoseksual, di
mana pengharapan akan eksistensi kaum gay menjadi titik tolaknya. Dan sulitnya
kondisi homosocial tercapai, sekaligus menjadikan hasrat homosocial sebagai
hasrat yang utopis.
Hasrat yang khas homosekskual seperti hasrat homosocial dan hasrat
tentang cinta yang tidak memandang jenis kelamin, memang menjadi satu tawaran
representasi dari empat teks slash fiction Super Junior objek penelitian ini. Namun
kecenderungan potret norma heteroseksual jauh lebih kuat bekerja. Sehingga ada
bentuk
inkonsistensi
dalam
teks
yang
notabene
menyajikan
potret
homoseksualitas. Asumsinya, sebagai teks yang menghadirkan relasi romantik
homoseksual, hasrat dan fantasi yang dihadirkankan juga merepresentasi hasrat
dan fantasi homoseksual yang mampu menjadi satu gambaran alternatif tentang
relasi romantik. Dengan gambaran seperti yang ditemukan dalam empat teks slash
fiction Super Junior yang menjadi objek penelitian ini, di mana heteronormativitas
masih cukup dominan, teks slash yang menghadirkan relasi homoseksual
kemudian tidak serta-merta bisa dikatakan sebagai teks homoseksual. Sebab
homoseksualitas dalam empat teks slash fiction objek penelitian ini hanya
direpresentasikan oleh relasi yang dijalin oleh subjek yang memiliki jenis kelamin
sama (same sex relationship), sedangkan hasrat-hasrat dan fantasi-fantasi yang
dihadirkan dalam teks slash merupakan hasrat dan fantasi heteroseksual di mana
165
kualitas dikotomis maskulin dan feminin masih menjadi kecenderungan pola
dalam jalinan relasi romantik subjek.
Penelitian ini pada dasarnya masih merupakan kajian yang relatif minor
tentang homoseksualitas dalam teks slash fiction secara umum dan slash fiction
K-pop secara khusus. Ada banyak ruang tersisa dari penelitian ini yang bisa
menjadi bahan kajian lanjutan. Salah satunya—yang sekaligus menjadi
kekurangan dan keterbatasan penelitian ini—adalah bahasan dan analisa tentang
internet sebagai medium dari slash fiction. Penelitian ini hampir dapat dikatakan
tidak memasukkan konteks internet culture dalam analisis penelitian sehingga
kesan yang hadir seolah ada keterpisahan antara teks dan media. Kesan ini
kemudian menempatkan teks sebagai satu hal yang innocent, yang berdiri sendiri,
otonom dari karakteristik media di mana dia diproduksi, didiseminasi,
dikonsumsi, hingga berkembang menjaddi satu kultur tersendiri. Sementara
karakteristik suatu teks tentu tidak dapat dipisahkan dari karakter medianya.
Asal negara dan jenis kelamin penulis teks slash fiction objek penelitian
ini diperoleh melalui akun penulis di situs www.asianfanfics.com yang menjadi
korpus pemilihan teks objek penelitian ini. Dengan karakteristik internet, identitas
penulis tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah „asumsiā€Ÿ, karena ketiadaan
klarifikasi langsung. Sehingga konteks sosial budaya penulis yang dijadikan
sandaran dalam analisis penelitian ini juga dapat dibilang sebagai asumsi,
“asumsinya, karena para penulis berasal dari Indonesia, maka konteks sosial
budaya mereka—yang juga menjadi konteks produksi teks slash fiction—
mencerminkan
heteronormativitas
yang
kuat.
Konsekuensi
dari
tidak
166
dimasukkannya bahasan internet culture dalam penelitian ini kemudian
menempatkan asal negara penulis, jenis kelamin, dan konteks sosial budaya
penulis sebagai hal yang pasti benar adanya, bukan merupakan satu konstruksi
karena karakteristik internet sebagai satu cara bermedia.
Ruang-ruang lain yang dapat diisi dari penelitian ini misalnya saja tentang
pengambilan teks slash fiction objek penelitian dapat diperluas tidak hanya pada
satu boyband K-pop, tapi pada beragam boyband dan termasuk girlband (jika
defini slash fiction yang digunakan memasukkan relasi lesbian ke dalamnya).
Dengan menggunakan lebih banyak teks sebagai objek saya kira akan membantu
untuk melihat kecenderungan pola relasi homoseksual yang ditawarkan, maka
pembacaan atas hasrat dan fantasi di dalamnya menjadi lebih menukik.
Representasi hasrat dan fantasi juga pada dasarnya dapat ditemukan tidak hanya
pada slash fiction, tapi pada seluruh teks hasil reproduksi fans (fans cultural
production) yang hadir dalam beragam bentuk seperti video, lagu, surat, dan lainlain. Mengembangkan penelitian ini melalui penggunaan teks hasil reproduksi
fans yang beragam juga menjadi satu alternatif untuk melihat potret dan gambaran
homoseksualitas dalam fan-star relation (fandom-stardom).
Penulis, sebagai fans, juga menjadi satu aspek (ruang) yang bisa
dieksplorasi lebih jauh untuk menajamkan kajian tentang homoseksualitas juga
hasrat dan fantasi. Metode psikoanalisis Lacan tidak mengharuskan peneliti untuk
selalu kembali pada author (penulis) dalam melakukan kajian teks. Namun Lacan
sendiri pada dasarnya tidak menafikan metode relasi analyst-analysand di mana
ujaran analysand menjadi teks atau wacana tersendiri yang dapat dianalisis.
167
Menghadirkan penulis sebagai objek penelitian tentang hasrat dan fantasi melalui
psikoanalisis Lacan akan menawarkan perkembangan tersendiri pada model
penelitian seperti yang saya lakukan ini. Telaah terhadap the big Other yang
menjadi aspek signifikan terhadap subjek penulis dalam melahirkan karyanya
dapat dikaji lebih mendalam dan komprehensif sehingga pembacaan atas hasrat
dan fantasi subjek dapat lebih rigit dan detail.
Keberjarakan penelitian ini dengan penulis teks, di mana relasi dengan
penulis
hanya relasi
www.asianfanfics.com,
yang dijalin melalui
menjadikan
isu
akun mereka dalam
tentang
orientasi
situs
seksual
(homoseksual/heteroseksual) penulis luput dari bahasan. Apakah misalnya hasrat
dan fantasi yang hadir dalam teks slash fiction merupakan refleksi dari orientasi
seksual penulis. Hal ini menjadi ruang lain yang dapat dieksplorasi lebih dalam
untuk kemudian mengaitkannya juga dengan internet culture, tentang bagaimana
persoalan orientasi seksual dalam dunia cyber. Bisa jadi signifikansi orientasi
seksual dalam dunia cyber tidak dapat ditarik secara sama dengan kondisi riil di
masyarakat, sehingga perlakuan terhadap homoseksualitas pun berbeda terlepas
dari orientasi seksual penulis teks.
168
Download