BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah WHO 2001 menyatakan bahwa paling tidak ada satu dari empat orang didunia mengalami masalah mental, sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Masyarakat umum terdapat 0,2-0,8% penderita skizofrenia dan dari 120 juta penduduk di Indonesia terdapat 2.400.000 anak yang mengalami gangguan jiwa (World Health Organization 2001). Data Riset Kesehatan Dasar (Depkes RI, 2013) menyatakan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7/ml. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali dan Jawa Tengah. Jumlah rumah tangga yang pernah memasung anggota rumah tangga gangguan jiwa berat (14,3%), terbanyak pada penduduk yang tinggal di pedesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia adalah (6,0%). Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur. Pandangan keluarga dan masyarakat tentang penderita gangguan jiwa selalu diidentikkan dengan sebutan orang gila.Setan dianggap sebagai penyebab penyakit gangguan jiwa dan individu yang terganggu jiwanya dianggap kerasukan setan (Videbeck,2008). Penderita gangguan jiwa tidak berobat ke “Dokter “ melainkan hanya dibawa ke “Orang pintar” (Hawari,2007). 1 Masyarakat dari pihak keluarga dengan sengaja mengasingkan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, karena jika menampakkan gejala gangguan jiwa dianggap kemasukan roh halus, dijauhi, diejek, dikucilkan dari masyarakat normal (Videbeck, 2008). Saat ini ada perubahan paradigma dalam pelayanan kesehatan jiwa masyarakat. Penanganan gangguan mental, berdasar paradigma lama, lebih memfokuskan pada pendekatan medis-biologis (fisik) yaitu pendekatan terhadap pasien lebih manusiawi,pendekatan biologis (fisik) menyatakan pasien mengalami gangguan jiwa karena kekurangan insulin dan kelainan otak lalu dikembangkan injeksi insulin dan bedah otak (Grey,1854), sedangkan paradigma baru menekankan pada pendekatan biopsikososial yaitu pendekatan yang melihat dari faktor biologis, psikologis dan sosial. Secara biologis gangguan pada kondisi kesehatan jiwa seseorang disebabkan ketidakseimbangan hormon dan neurotransmitter diotak, secara psikologis gangguan kondisi kesehatan jiwa disebabkan mekanisme adaptasi psikis individu yang tidak bekerja dengan baik dan faktor sosial kondisi gangguan kesehatan jiwa dapat dipicu oleh lingkungan yang tidak nyaman,penuh tekananan dan ketakutan (Winefield dan Hansen 2004). Pasien umum dan gangguan jiwa khususnya saat ini memiliki kebutuhan kesehatan yang kompleks sehingga membutuhkan lebih dari satu disiplin ilmu untuk mengatasi isu – isu mengenai status jiwa mereka (Lumague, 2008). Kesadaran dan persepsi masyarakat terhadap kesehatan mental berbeda disetiap kebudayaan. Suatu budaya tertentu, orang-orang secara sukarela mencari bantuan dari para profesional untuk menangani gangguan jiwanya. Sebaliknya dalam 2 kebudayaan yang lain, gangguan jiwa cenderung diabaikan sehingga penanganan akan menjadi buruk karena tak ada perawatan khusus, atau disisi lain masyarakat kurang antusias dalam mendapatkan bantuan untuk mengatasi gangguan jiwanya. Bahkan gangguan jiwa dianggap memalukan atau membawa aib bagi keluarga Persepsi yang timbul dimasyarakat disebabkan oleh gejala yang dianggap aneh dan berbeda dari orang normal. Adanya persepsi ini juga berkaitan dengan faktor tradisi atau kebudayaan dalam masyarakat yang masih percaya takhayul dan tindakan irasional warisan nenek moyang. Selain itu, persepsi tersebut muncul karena penyebab gangguan jiwa itu sendiri dirasa sulit ditemukan (Mubin,2008). Penelitiaan kejiwaan yang dilakukan oleh Mubin (2008) yang meneliti tentang stigma masyarakat dan stigma pada diri sendiri memberikan dampak pada keluarga dengan konsekuensi positif dan negatif. Makna positif berupa terbentuknya perilaku keluarga yang konstruktif dengan keluarga semakin kompak dan rukun, dan makna negatif berupa pengalaman yang tidak menyenangkan, aktivitas harian terganggu dan keluarga menjadi rendah diri. Dampak yang ditimbulkan stigma masyarakat dan stigma pada diri sendiri membuat keluarga berharap pada warga, sikap warga yang mau mengerti, tidak mengejek dan tidak didiamkan dan petugas kesehatan. Persepsi masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa adalah sesuatu yang mengancam juga harus diluruskan. Selama ini keluarga masih beranggapan bahwa penanganan penderita gangguan jiwa adalah tanggung jawab pihak Rumah Sakit Jiwa 3 saja, padahal faktor yang memegang peranan penting dalam hal perawatan penderita adalah keluarga serta masyarakat disekitar penderita gangguan jiwa tersebut (Juliansyah, 2009). Persepsi masyarakat tentang penderita gangguan mental (gangguan jiwa) mengarah pada stigma dan diskriminasi. Persepsi adalah proses pengorganisasian, pengintepretasian terhadap rangsangan yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan suatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrasi dalam diri individu (Walgito, 2001) dan persepsi adalah daya mengenal barang kualitas atau hubungan dan perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui atau mengartikan setelah panca indra dapat merangsang (Maramis,2004). Stigma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ciri negatif yang menempel pada diri seseorang karena pengaruh lingkungannya (Departemen Pendidikan Nasional 2001).Stigma masyarakat tentang pecandu narkoba, stigma sosialnya adalah sekali pecandu tetap pecandu. Sebenarnya seseorang dapat berubah jika dibantu, didukung dan didorong untuk berubah, seorang pecandu dapat berubah jika diberi kesempatan dan dukungan penuh untuk berubah termasuk dukungan lingkungan. Begitu juga dengan penderita gangguan jiwa yang telah dinyatakan sembuh dan dikembalikan ke keluarganya, sering kambuh lagi karena adanya stigma masyarakat bahwa mereka tidak diberi peran dan dukungan sosial serta diejek (Noorkasani.dkk 2007). 4 Masyarakat di Kota Ambon menganggap pasien jiwa itu pembawa masalah. Pasien jiwa sering dilempari bahkan diejek, keluarga membiarkan pasien jiwa berkeliaran di luar rumah dan di jalan raya. Dari uraian tersebut stigma dan kebudayaan masyarakat akan mempengaruhi sikap dan tindakan terhadap individu yang mengalami gangguan jiwa. Penerimaan masyarakat akan menjadi pengobatan sendiri untuk penderita gangguan jiwa dalam membantu proses penyembuhannya. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas maka masalah atau isu yang akan diteliti adalah bagaimana stigma yang merupakan konteks yang melatarbelakanginya pada pasien jiwa di RSKD Ambon Rumusan Masalah 1. Bagaimana masyarakat memberikan stigma terhadap individu yang mengalami gangguan jiwa. 2. Bagaimana pengaruh kebudayaan terhadap pembentukan stigma 5 1.3 Tujuan Penelitian 1. Ingin memahami bagaimana masyarakat membentuk stigma terhadap individu yang mengalami gangguan jiwa. 2. Ingin memahami bagaimana pengaruh kebudayaan terhadap pembentukan stigma. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Teoritis Penelitian ini dapat menambah wawasan atau pengetahuan dalam bidang keperawatan jiwa dalam dukungan sosial. 2. Praktis Hasil penelitian diharapkan jadi masukan yang berarti bagi setiap perawat yang bekerja di rumah sakit jiwa dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa yang tidak hanya berfokus pada perawatan rumah sakit tetapi juga melihat persepsi dan kebudayaan yang berlaku dimasyarakat terhadap pasien gangguan jiwa. 3. Masyarakat Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pembelajaran nyata bagi masyarakat tentang persepsi dan kebudayaan terhadap pasien gangguan jiwa. 6