BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Stigma mungkin dialami sebagai respons dari penyakit medis dan psikologis (Angermeyer, Beck, Dietrich, & Holzinger; Rosman dalam Vanable et al., 2006) namun stigma yang diterima oleh ODHA berkaitan dengan penyakit mereka secara spesifik lebih akut. Dampak psikologis negatif sebagai efek dari stigma yang dialami ODHA juga lebih besar dibandingkan dengan individu dengan kondisi medis lainnya (Varni, Miller, Mccuin, & Solomon, 2008). Sosiolog Erving Goffman (dalam Sengupta et al., 2011; Genberg et al., 2007) mendefinisikan stigma sebagai proses dinamis dari devaluasi yang secara signifikan mendiskredit seorang individu di mata individu lainnya. Proses stigmatisasi kemudian akan menghasilkan tindak diskriminasi dan beragam penolakkan oleh masyarakat. Stigma dan diskriminasi memiliki dampak baik pada level masyarakat maupun individual (Genberg et al., 2007). Penelitian Link, Struening, NeeseTodd, dan Asmussen (2001) menemukan bahwa stigma memiliki dampak yang besar pada harga diri orang-orang dengan penyakit mental. Sedangkan pada ODHA stigmatisasi dan perilaku diskriminatif seperti devaluasi, pengucilan, kekerasan verbal maupun fisik yang dialami dapat mengancam kestabilan sosioekonomi tidak hanya pada diri mereka tetapi juga pada orang-orang terdekat 39 40 mereka seperti yang dapat dilihat dari salah satu fenomena yang dipaparkan pada latar belakang. Penolakan dari orang-orang di sekitar juga menyebabkan selfefficacy yang rendah, depresi, kegelisahan dan keputusasaan serta menurunnya tingkat harga diri dan identitas ODHA (Fabianova dalam Letamo, 2011). Penelitian ini bermaksud mengkaji variabel stigma lebih dalam dengan mengangkat stigma internal sebagai salah satu variabel penelitian dan hubungannya terhadap tingkat harga diri pada ODHA. Brown et al. (dalam Hasan et al., 2012) mendefinisikan stigma internal sebagai rasa takut baik sungguhan maupun yang diimajinasikan terhadap sikap sosial dan potensi tindak diskriminasi yang akan muncul sebagai dampak dari atribut atas penyakit yang tidak diinginan (dalam penelitian ini adalah HIV/AIDS) atau akibat dari asosiasi pada kelompok atau perilaku tertentu. Definisi harga diri yang digunakan dalam penelitian ini adalah definisi harga diri sebagai global self-esteem yang didefinisikan Rosenberg (dalam Mruk, 2006) sebagai sikap positif atau negatif terhadap objek spesifik, yaitu diri sendiri. Harga diri merupakan sikap yang didasari oleh persepsi atas perasaan seseorang tentang kemampuan atau nilanya sebagai seorang individu. Hasil penelitian ini menjawab pertanyaan penelitian yaitu, terdapat hubungan antara stigma internal dan tingkat harga diri pada ODHA dengan koefision korelasi sebesar -.520 yang berdasarkan tabel koefisien korelasi sarwono (2006) masuk ke dalam kategori koefisien korelasi yang kuat dan memiliki nilai signifikansi yang sangat signifikan yaitu .001. Arah negatif pada 41 hubungan kedua variabel penelitian menjawab pertanyaan penelitian kedua bahwa terdapat hubungan terbalik antara kedua variabel, dimana tingginya tingkat stigma internal pada ODHA akan menyebabkan rendahnya tingkat harga diri mereka begitu pula sebaliknya. Selain menjawab pertanyaan penelitian temuan dalam penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian yang menyatakan bahwa orang-orang yang menginternalisasi stigma akan lebih mungkin melaporkan tingkat harga diri dan self-efficacy yang menurun (Link, Struening, Neese-Todd, Asmussen, & Phelan, 2001; Markowitz, 1998; Ritsher, Otilingam, & Grajales, 2003; Rosenfield, 1997; dalam Corrigan, Watson, & Barr, 2006) 5.2 Diskusi Kesulitan utama yang dihadapi dalam menjalankan penelitian ini adalah mencari ODHA yang bersedia untuk menjadi responden penelitian. Hal tersebut cukup dapat dipahami mengingat HIV/AIDS merupakan isu yang sensitif baik di kalangan mereka yang terpapar maupun di masyarakat luas. Kompleksnya isu moralitas, seksual, dan stigma pada penyakit HIV/AIDS dan penderitanya membuat banyak ODHA tidak terbuka atas status mereka dan lebih lanjut menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian-penelitian terkait HIV/AIDS. Cukup panjang waktu yang digunakan peneliti untuk mencari subjek penelitian dengan cara menghubungi dan mengirimkan proposal penelitian ke sejumlah LSM dan komunitas HIV/AIDS hingga akhirnya mendapatkan respons positif melalui salah seorang anggota LSM di Tasikmalaya yang menyatakan bahwa 42 anggotanya bersedia untuk menjadi partisipan penelitian. Kesulitan dalam mencari responden dan keterbatasan waktu kemudian menyebabkan terbatasnya jumlah responden yang dapat diikutsertakan dalam penelitian. Temuan lain dari penelitian ini yang dapat dijadikan sebagai materi penelitian lanjutan adalah tidak dapat diaplikasikannya dimensi over compensation pada subjek penelitian di Tasikmalaya sehingga pada alat ukur yang digunakan di dalam penelitian dimensi tersebut dihilangkan. Pada alat ukur yang digunakan dalam penelitian, dimensi over compensation diwakili oleh 5 butir aitem dimana setelah dilakukan uji validitas dan diskusi dengan dosen pembimbing, 4 butir aitem memiliki validitas yang tidak baik dan 1 aitem dianggap rentan terhadap kemungkinan faking good oleh responden. Usaha lebih lanjut dilakukan untuk menyelamatkan dimensi tersebut, mengikuti saran dari dosen pembimbing peneliti melakukan revisi pada alat ukur. Revisi dilakukan dengan menambahkan butir aitem pada dimensi over-compensation dan beberapa dimensi lainnya (subterfuge, social withdrawal, dan Fear of Disclosure) serta merubah tata bahasa pada butir-butir aitem yang dianggap rentan terhadap kemungkinan faking good. Di akhir revisi, butir aitem pada dimensi overcompensation ditambahkan sehingga berjumlah 10, dimensi subterfuge mendapat tambahan 6 butir aitem, sedangkan dimensi social withdrawal mendapat tambahan 2 butir aitem dan dimensi social withdrawal 1 butir. Try-out terpakai kembali dilakukan dimana dengan teknik snowball sampling 32 responden diperoleh. Setelah uji validitas dan reliabilitas dilakukan kesepuluh butir aitem 45 pada dimensi over-compensation kembali memperoleh nilai validitas yang tidak baik. Definisi dimensi over-compensation menurut penelitian stigma internal melalui proyek Siyam’kela dan Mo Kexteya (dalam Brourad & Wills, 2006) adalah kebutuhan pada ODHA untuk membuktikan bahwa mereka adalah orang yang baik dengan melakukan hal-hal yang dinilai baik berdasarkan standar moral yang berlaku, dengan alasan merasa harus bisa membuktikan bahwa mereka tetap dapat berkontribusi meski berstatus HIV-positif. Penelitian Rao et. al (2008) mengenai perbedaan persepsi stigma yang dialami oleh responden berkulit kulit putih dan hitam menunjukan hasil bahwa kelompok ras kulit hitam tidak merasa lebih terstigmatisasi dibandingkan dengan kelompok ras kulit putih, melainkan bahwa partisipan berkulit hitam mempersepsikan dan mengalami stigma secara berbeda. Temuan ini kemudian dijadikan bukti awal yang mendukung bahwa ODHA dengan latar belakang kultural yang berbeda mengalami tipe stigma yang berbeda. Berangkat dari temuan penelitan tersebut peneliti memiliki hipotesa bahwa tidak dapat diterapkannya dimensi over-compensation pada responden penelitian ini disebabkan oleh perbedaan pada latar belakang kultural. 5.3 Saran 5.3.1 Saran Akademis 1. Salah satu keterbatasan penelitian ini adalah mencari responden yang mau untuk berpartisipasi, oleh karena itu agar penelitian 45 selanjutnya dapat memperbanyak jumlah sampel penelitian peneliti menyarankan peneliti lanjutan melakukan persiapan matang yaitu menghubungi berbagai LSM dan komunitas HIV/AIDS yang terbuka untuk diikutsertakan penelitian dalam dan anggotanya penelitian jauh bersedia sebelum untuk penelitian dilaksanakan. 2. Penelitian ini baru membahas stigma berkaitan dengan HIV/AIDS dampak lanjutan dari stigma adalah diskriminasi sehingga peneliti menyarankan baiknya penelitian lanjutan menggunakan variabel persepsi terhadap diskriminasi yang belum tercakup dalam penelitian ini. 3. Tidak dapat diterapkannya dimensi over compensation dalam penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya untuk mengekspolrasi lebih lanjut mengenai dimensi over compensation menggunakan metode penelitian kualitatif sehingga dapat dilakukan in-depth interview pada responden. 5.3.2 Saran Praktis 1. Bagi LSM dan Komunitas HIV/AIDS : Melihat dampak stigma internal pada tingkat harga diri ODHA diharapkan LSM dan Komunitas yang bergerak dibidang HIV/AIDS lebih memperhatikan tingkat harga diri para ODHA ketika melakukan 45 konseling dan dampingan sehingga mampu melakukan tindakan preventif pada tingkat harga diri yang tidak sehat. 2. Bagi masyarakat luas : tindak stigmatisasi yang dilakukan oleh masyarakat luas kepada ODHA dapat memberikan dampak yang signifikan baik dalam segi kesejahteraan sosial maupun psikologis. Oleh karena itu pemahaman mengenai apa itu HIV/AIDS dan bagaimana cara penularannya sangat penting untuk dipahami dan disebarluaskan secara benar sehingga tindak stigmatisasi dari masyarakat dapat berkurang.