BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stigma Sosiolog Erving Goffman (dalam Sengupta, Banks, Jonas, Miles, & Smith, 2011; Genberg et al., 2007) mendefinisikan stigma sebagai proses dinamis dari devaluasi yang secara signifikan mendiskredit seorang individu di mata individu lainnya. Berbagai kualitas pada individu yang ditempeli oleh stigma bisa sangat acak mulai dari warna kulit, cara berbicara, preferensi seksual, hingga karena tinggal bersama ODHA (Aggleton, Wood, Macolm, & Parker, 2005). Herek & Capitanio (dalam Vanable et al., 2006) menyatakan bahwa tingkat stigmatisasi yang tinggi terhadap HIV disebabkan oleh sejarah asosiasinya dengan sub-kelompok yang mengalami marginalisasi seperti homoseksual dan pengguna narkotika suntik. Berdasarkan beberapa literatur penelitian Sengupta et al. (2011) menyebutkan faktor-faktor mendasar yang menyebabkan stigma berkaitan dengan HIV/AIDS muncul disebabkan oleh (1) Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang HIV, (2) Miskonsepsi tentang cara penularan HIV, (3) Kurangnya akses terhadap perawatan kesehatan, (4) Bagaimana media membentuk dan melaporkan epidemi, (5) Karakteristik AIDS sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan (6) Prasangka dan rasa takut terhadap kelompok tertentu. 10 15 Gambar 2.1 Konstruksi Perspektif Stigma HIV/AIDS dan Kelompok Marginal Gambar 2.1 Mengilustrasikan bagaimana perspektif masyarakat mengenai stigmatisasi berkaitan dengan HIV/AIDS dan hubungannya dengan kelompok marginal yang perilakunya dianggap melanggar moral. Diadaptasi dari “HIV - Related Stigma, Discrimination and Human Rights Violations: Case Studies of Successful Programmes” oleh Aggleton, P., Wood, K., Malcolm, A., & Parker, R. 2005. Hak Cipta 2005 oleh Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) 2.1.1 Stigma Internal Brown et al. (dalam Hasan, Nath, Khan, Akram, & Gomes, 2012) mendefinisikan stigma internal sebagai rasa takut baik sungguhan maupun yang diimajinasikan terhadap sikap sosial dan potensi tindak diskriminasi yang akan muncul sebagai dampak dari atribut atas penyakit yang tidak diinginan (misalnya HIV) atau akibat dari asosiasi pada kelompok atau perilaku tertentu. Salah satu cara untuk memahami stigma internal berkaitan dengan HIV/AIDS adalah dengan melihatnya sebagai hasil dari interaksi kompleks antara faktor sosial (ekonomi, budaya, denah politik, akses terhadap pelayanan pencegahan dan 12 pengobatan, jaringan komunitas pendukung, sumber informasi, serta tingkat stigma dan diskriminasi di lingkungan sekitar); faktor kontekstual (keadaan hidup ODHA, penggunaan narkotika dan alkohol, kekuatan hubungan ODHA dengan pasangan dan keluarganya, serta waktu sejak diagnosa); dan faktor diri (keadaan mood, sistem kepercayaan, resiliensi dan coping skill, tingkat pengetahuan, pengalaman hidup, life skill, serta harga diri dan self-awareness) (Brourard & Wills, 2006). Proyek Siyam’kela dan Mo Kexteya (dalam Brourad & Wills, 2006) yang mempelajari beragam aspek stigma internal berkaitan dengan HIV/AIDS di Afrika Selatan, membuat kerangka dimensi stigma internal yaitu : 1. Perception of self ODHA memiliki perasaan bahwa mereka telah mengecewakan orang lain dan mempermalukan keluarga dan komunitas mereka. Mereka merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan menderita karena berstatus HIV-positif. Mereka merasa diri mereka ternoda dan takut menulari orang lain. 2. Self-Exclusion Karena status HIV-positif yang dimiliki ODHA memilih untuk menarik diri dari berbagai pelayanan dan kesempatan yang ada meliputi jasa yang diberikan klinik kesehatan, support group, dan program bantuan materil. 13 3. Subterfuge Stigma internal mempengaruhi ODHA untuk menjaga perilaku mereka untuk menghindari stigmatisasi atau mencegah agar status HIV mereka tidak diketahui orang lain. Hal ini dilakukan dengan menyembunyikan status HIV atau orientasi seksual mereka pada orang lain. Hal ini juga menyebabkan ODHA untuk terus melakukan perilaku beresiko karena mereka merasa takut perubahan perilaku dapat menimbulkan kecurigaan dan stigma. 4. Social Withdrawal Merupakan isolasi yang dibebankan pada dirinya sendiri oleh ODHA, menyebabkan mereka untuk menarik diri dari hubungan interpersonal dan mengindari beragam setting sosial. 5. Over compenastion Terdapat kebutuhan pada ODHA untuk membuktikan bahwa mereka adalah orang yang ‘baik’ dengan melakukan hal-hal yang dinilai baik berdasarkan standar moral yang berlaku. Beberapa merasa harus bisa membuktikan bahwa mereka tetap dapat berkontribusi meski berstatus HIV-positif. 6. Fear of disclosure ODHA merasa sulit untuk mengungkapkan status mereka karena merasa takut terhadap penilaian dan penolakan dari masyarakat sekitar. 14 2.1.2 Stigma Eksternal Dikenal juga sebagai enacted stigma merupakan bentuk lain dari stigma. Stigma eksternal dideskripsikan sebagai proses yang bergerak melebihi sekedar persepsi dan sikap sehingga mencapai bentuk tindakan. Stigma eksternal secara konsisten mengikuti pola tiga langkah yaitu : (1) Mengidentifikasi orang yang terinfeksi HIV, (2) Membuat jarak dengan orang-orang tersebut, dan (3) membatasi atau tidak mengikutsertakan orang-orang tersebut. Detail pola tersebut mungkin berbeda dalam tiap-tiap kasus di tiap-tiap negara namun pola keseluruhannya tetap sama. Tes HIV yang diikuti pelanggaran hak kerahasiaan merupakan suatu bentuk enacted stigma begitu juga dengan tindak labeling, penghindaran, isolasi dan segregasi pada ODHA (Morrison, 2006). Enacted stigma merujuk pada sanksi yang secara individual maupun kolektif diberikan kepada seseorang berdasarkan keanggotaan atau anggapan sebagai anggota dari kelompok tertentu (Morris, 2003). Enacted stigma dapat mengambil bentuk diskriminasi halus seperti gosip, tidak memperlakukan ODHA dengan hormat, atau menjauhi mereka (Visser, Makin, Vandormael, Sikkema, & Forsyth, 2009). Sedangkan Bunn, Solomon, Miller, dan Forehand (2007) menyatakan bahwa enacted stigma merujuk pada pengalaman aktual berkaitan dengan prasangka, pemberian stereotip, maupun diskriminasi misalnya kehilangan hubungan pertemanan 15 setelah memberitahukan status HIV atau mengalami penghinaan dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan status HIV mereka. 2..2 Harga diri William James pertama kali memperkenalkan topik mengenai harga diri pada buku teks psikologi amerika pertama lebih dari satu abad lalu, hal tersebut membuat harga diri menjadi salah satu tema paling tua dalam ilmu sosial (Mruk, 2006). Maslow dalam teori hirarki kebutuhannya menyatakan bahwa harga diri adalah salah satu motivasi dasar manusia untuk mencapai aktualisasi diri (dalam Huitt, 2007). APA dictionary of Psychology (2007, hal. 830) mendefinisikan harga diri sebagai tahapan dimana kualitas dan karakteristik self-concept yang dimiliki seseorang dianggap positif. Harga diri merefleksikan gambaran citra diri, kemampuan, pencapaian, dan nilai yang dimiliki serta sejauh mana seorang individu sukses menerapkannya. Rosenberg (dalam Mruk, 2006) mendefinisikan harga diri sebagai sikap positif atau negatif terhadap objek spesifik, yaitu diri sendiri. Harga diri merupakan sikap yang didasari oleh persepsi atas perasaan seseorang tentang kemampuan atau nilanya sebagai seorang individu. Harga diri seperti yan terefleksi pada aitem dalam skala kami, mengekspresikan perasaan bahwa seseorang merasa dirinya “cukup baik”. Individu tersebut merasa dirinya sebaga orang yang berharga; dia menghargai dirinya sebagai mana adanya, namun tidak kagum terhadap dirinya sendiri maupun mengharapkan orang lain untuk kagum terhadap dirinya. Individu tersebut tidak kemudian selalu memiliki anggapan bahwa dirinya lebih baik dari orang lain (Rosenberg dalam Mruk, 2006).Harga 16 diri merupakan salah satu kualitas unik pada diri individu yang aktif dalam situasi, pengalaman, dan keadaan positif maupun negatif sehingga relevan terhadap beragam perilaku (Mruk, 2006). 2.2.1 Bentuk harga diri Berdasarkan kajian literatur mengenai harga diri yang dilakukan beberapa ahli Brown dan Marshall (2006) membagi bentuk harga diri kedalam 3 kategori : a) Global self-esteem Harga diri sering digunakan sebagai istilah yang merujuk pada variabel kepribadian yang mewakili bagaimana perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri. Peneliti menamai bentuk harga diri yang demikian sebagai, global self-esteem atau trait self-esteem, karena relatif bertahan dalam berbagai situasi dan waktu. Jika seseorang memiliki harga diri yang tinggi atau rendah ketika kanak-kanak maka kemungkinan besar individu tersebut akan memiliki tingkat harga diri yang sama ketika dewasa (weiten et al., 2012). b) Feeling of self-worth Harga diri juga sering dirujuk sebagai reaksi emosi evaluatif terhadap kejadian tertentu. Contohnya seseorang mungkin merasa harga dirinya naik setelah mendapat promosi jabatan dan harga dirinya turun setelah menjalani perceraian. Self-worth adalah perasan bangga terhadap diri sendiri (dalam sisi positif) dan malu terhadap diri sendiri (dalam sisi negatif). Harga diri yang demikian 17 disebut juga sebagai state self-esteem, yaitu harga diri yang bersifat dinamis dan dapat dirubah bergantung pada perasaan seseorang terhadap dirinya di waktu tertentu (Heathertron & Polivy dalam Weiten et al., 2012) c) Self-Evaluations Disebut juga sebagai domain spesific self-esteem, yaitu harga diri digunakan untuk merujuk cara seseorang mengevaluasi kemampuan dan atribut bervariasi yang ada pada dirinya. Contohnya seorang individu yang memiliki keraguan atas kemampuannya di sekolah dapat disebut memiliki academic self-esteem yang rendah sedangkan individu yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang baik dalam bidang olah raga dapat dikatakan memiliki athletic selfesteem yang tinggi. 2.2.2 Sumber harga diri Epstein (dalam Mruk, 2006) menambahkan sumber harga diri yang dikemukakan oleh Coopersmith sehingga lebih dinamis dengan alasan apabila kesuksesan (hal positif) terlibat dalam pembentukan harga diri maka kemungkinan akan adanya kegagalan (hal negatif) juga harus dilibatkan. Keempat sumber harga diri tersebut adalah : 18 a) Acceptance vs. Rejection Penerimaan dan penolakan dalam hubungan interpersonal seorang individu dengan orang tua, saudara, teman, pasangan, dan rekan kerja dapat mempengaruhi perasaan seorang individu atas dirinya. bentuk penerimaan seperti rasa peduli, pengasuhan, perasaan tertarik, respek, serta kagum dan bentuk penolakan seperti tidak dihiraukan, direndahkan, atau dimanfaatkan dapat memperharuhi harga diri seseorang. b) Virtue vs. Guilt Virtue menurut Epstein adalah kepatuhan terhadap standar moral dan etika yang berlaku, sedangkan guilt merujuk pada kegagalan untuk mematuhi standar moral dan etika yang berlaku. Saat seorang individu bertindak sesuai dengan nila moral dan etika yang berlaku maka mereka akan merasa sebagai individu yang ‘layak’ dan akan mempengaruhi harga diri mereka secara positif. Sebaliknya saat individu tersebut gagal mengikuti standar moral yang berlaku maka akan mempengaruhi harga dirinya secara negatif. c) Power vs. powerlessness Epstein mendefinisikan power sebagai kemampuan untuk mengatur atau mengontrol lingkungannya atau dengan kata lain kemampuan untuk memberi pengaruh. Kemampuan seorang individu untuk berinteraksi dengan lingkungan dan individu sekitarnya dengan 19 cara-cara yang dapat membentuk atau mengarahkan interaksi tersebut mencerminkan kompetensi dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan dan akan mempengaruhi harga diri secara positif. d) Achievement vs. failure Syarat agar achivement mempengaruhi harga diri seseorang adalah ketika seorang individu mengalami ke suksesan pada dimensidimensi tertentu yang berhubungan dengan identitas diri mereka. Contohnya menyikat gigi bukanlah pencapaian signifikan bagi sebagian besar orang, namun dapat menjadi pencapaian persinal yang besar bagi individu dengan cacat fisik maupun mental. Saat seorang individu mencapai tujuan dengan menghadapi permasalahan atau rintangan yang memiliki signifikansi personal, maka individu tersebut menunjukan kompetensi dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan dan hal tersebut mempengaruhi harga dirinya secara positif. 2.2.3 Tingkat harga diri Mruk (2006) menyimpulkan tingkat harga diri berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli menjadi tiga kategori, yaitu : 20 a) Low Self-esteem Karakteristik individu dengan harga diri rendah meliputi hipersensitivitas, ketidakstabilan, rasa canggung, dan kurang percaya diri. Individu dengan harga diri rendah lebih berfokus pada melindungi diri dari ancaman dibanding berusaha untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki dan menikmati hidup. Individu dengan harga diri rendah juga tidak memiliki gambaran identitas yang jelas dan sensitif terhadap isyarat sosial yang dianggap relevan dengan dirinya, mereka menggunakan strategi self-handicapping dan menurunkan ekspektasi untuk menghindari perasaan inferior lebih lanjut. b) High self-esteem Harga diri tinggi berkorelasi positif dengan rasa bahagia, mereka yang memiliki harga diri tinggi memiliki pandangan yang baik atas diri mereka, kehidupan, dan masa depan. Individu dengan harga diri tinggi lebih mampu menghadapi stres dan menghindari rasa cemas yang sehingga mereka tetap mampu beindak dengan baik saat berhadapan dengan stress dan trauma. Terdapat dukungan empiris mengenai hubungan antara harga diri tinggi dan hubungan interpersonal. Individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki karakteristik interpersonal yang disukai serta memiliki standar moral dan kesehatan yang baik. Harga diri yang tinggi juga dapat 21 membantu meningkatkan kinerja berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah dalam situasi tertentu yang membutuhkan inisiatif dan presistensi. c) Medium self-esteem Coopersmith (dalam Mruk, 2006) menyatakan bahwa individu dengan tingkat harga diri sedang merupakan hasil dari tidak tereksposnya seorang individu pada faktor-faktor yang mendukung kepemilikan tingkat harga diri yang tinggi, namun memiliki sebagian faktor sehingga menghindarkan mereka dari tingkat harga diri yang rendah. 2.4 Kerangka Berpikir Munculnya stigmatisasi terhadap ODHA disebabkan oleh konstruksi sosial negatif yaitu, (1) dihubungkannya HIV/AIDS dengan kelompok marginal; (2) ragam metode transmisi yang dianggap sebagai bentuk perilaku penyimpangan moral; (3) karakteristik HIV/AIDS sebagai penyakit yang mematikan. Ditambah dengan kurangnya pengetahuan mengenai HIV/AIDS dan persepsi yang salah tentang cara penularannya menimbulkan respons antagonistik berupa stigma dan diskriminasi dari masyarakat terhadap penyakit tersebut dan penderitanya. Dari beragam aspek sosio-ekonomi dan kesejahteraan psikologis yang mungkin dipengaruhi oleh stigma internal, penelitian ini secara spesifik ingin menyoroti hubungan antara stigma internal dan salah satu aspek kesejahteraan 22 psikologis yaitu, tingkat harga diri pada ODHA. Karakteristik HIV/AIDS sebagai penyakit yang kental dengan isu stigma dan diskriminasi, sehingga tingkat harga diri yang baik dapat menjadi tameng bagi mereka untuk menghadapi ragam stigma dan diskriminasi yang mungkin mereka alami sehingga mereka tetap mampu mengapresiasi dan menghargai diri mereka dan tidak didera perasaan malu, bersalah. Berikut adalah kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini : Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Latar Belakang Konstruksi sosial negatif Kurangnya pengetahuan masyarakat megenai HIV/AIDS Persepsi yang salah mengenai metode transmisiHIV/AIDS Tindak Stigmatisasi dan Diskriminasi oleh Masyarakat Stigma Internal Gangguan kesejahteraan psokologis pada ODHA seperti : Depresi, kecemasan, menurunnya tingkat self-efficacy, dan tingkat harga diri. Gambar 2.5 mengilustrasikan rangkaian kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian yang diadaptasi dari latar belakang dan kajian pustaka yang dilakukan peneliti.