BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perceived Discrimination Ketika seseorang menyatakan bahwa mereka telah menjadi korban tindak diskriminatif, menurut Major, Quinton, dan McCoy (dalam Kaiser dan Major 2006) atribusi diskriminasi memiliki dua komponen penting, yaitu: (a) penilaian bahwa perlakuan yang diterimanya itu didasari oleh identitas sosial atau keanggotaan kelompoknya; (b) penilaian bahwa perlakuan yang diterimanya itu tidak adil ataupun tidak layak. Kedua penilaian ini mendasari bahwa sebuah persepsi tentang diskriminasi yang bertanggung jawab untuk hasil yang muncul dari seorang individu yang merasa menjadi korban tindak diskriminatif.Major, Quinton, dan McCoy (dalam Kaiser dan Major 2006) menyatakan bahwa sebuah persepsi tentang diskriminasi(Perceived discrimination)adalah penilaian bahwa seseorang telah diperlakukan tidak adil karena dirinya atau keanggotaan kelompok sosialnya. Persepsi tentang diskriminasi melibatkan konstrual subjektif dari lingkungan, sering kali sulit untuk menentukan apakah persepsi individu tentang jumlah diskriminasi yang di alami mencerminkan tingkat diskriminasi yang benar-benar ada dalam konteks tertentu. Persepsi tentang diskriminasi didefinisikan sebagai manifestasi perilaku sikap negatif, penilaian, atau perlakuan tidak adil yang diterima oleh anggota kelompok (Banks, Kohn-Wood, &Spencer, 2006; Pascoe & Richman 2009). Menurut Pascoe & Richman (2009), pengalaman diskriminasi dapat mempengaruhi kesehatan dengan mengurangi sumber daya individu dalam pengendalian diri, berpotensi meningkatkan 9 10 partisipasi dalam perilaku tidak sehat atau menurunkan partisipasi dalam perilaku sehat. Diskriminasi yang dirasakan adalah persepsi individu bahwa ia diperlakukan berbeda atau tidak adil karena nya keanggotaan kelompok (Sanchez dan Brock, 1996; Ensher, Grant-Valloned& Donaldson 2001). Berdasarkan beberapa pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi tentang diskriminasi merupakan perasaan yang muncul karena manifestasi perilaku sikap negatif, penilaian, atau perlakuan tidak adil yang diterima keanggotaan kelompok sosial seseorang yang dapat mempengaruhi kesehatan. Berdasarkan kajian literatur dalam Kaiser dan Major (2006) ada dua jenis utama dari bias perspektif yang dapat terjadi. Individu-individu mungkin melihat lebih banyak diskriminasi daripada yang benar-benar ada (vigilance perspective), atau mereka mungkin melihat sedikitnya diskriminasi dari yang benar-benar ada (minimization perspective): a. Vigilance Perspective Sebuah perspektif yang cenderung untuk waspada dalam memahami dan merasakan tindak diskriminatif yang ada dan cenderung untuk melihat lebih banyak diskriminasi daripada yang benar-benar ada. Ada berbagai alasan mengapa seseorang mengharapkan anggota kelompok yang dilindungi untuk waspada atau berjaga-jaga untuk tanda-tanda bahwa mereka mungkin akan menjadi korban diskriminasi dan untuk berbuat salah di samping melihat diskriminasi di mana itu tidak ada. Pengalaman merasakan tindak diskriminasi dapat menyebabkan meningkatnya pikiran yang terkait dengan tindak diskriminasi tersebut ketika dihadapkan dengan situasi ambigu. Pikiranpikiran ini pada akhirnya dapat menyebabkan bias tentang bagaimana 11 peristiwa ambigu tersebut diinterpretasikan (Inman dan Baron 1996; Kaiser & Major 2006). b. Minimization Perspective Sebuah perspektif yang menolak untuk mengenali, meremehkan atau bahkan mengabaikan bahwa mereka merupakan target dari tindak diskriminasi. Individu yang mengabaikan bahwa mereka terdiskriminasi biasanya dikarenakan mereka tidak ingin melabelkan diri mereka sebagai korban. Individu juga cenderung untuk menolak dalam melaporkan disrkiminasi yang ada karena berhubungan dengan representasi diri (kesan yang negatif) (Kaiser dan Major, 2006). Crosby et al. 1986 (dalam Kaiser & Major 2006) menjelaskan bahwa pengamat lain memaparkan individu –individu sering gagal untuk melihat diskriminasi, karena sulit untuk mendeteksi kasus per kasus dimana hasil masing-masing individu dapat dikaitkan dengan beberapa penyebab. Hasil studi menunjukkan bahwa diskriminasi menjadi lebih jelas ketika sejumlah anggota kelompok mengalami hasil negatif yang sama, sehingga meningkatkam arti penting dari hubungan antara perlakuan negatif dan keanggotaan kelompok sosial. Dan alasan lain mengapa individu-individu tidak menyadari ketika mereka menjadi korban dari diskriminasi, karena menurut Gaertner & Dovidio (dalam Kaiser dan Major 2006) sering kali diskriminasi tersebut tersembunyi atau secara alamiah ditolak karena secara sosial dikecam atau ilegal. Dari penelitian “A Social Psychological Perspective on Perceiving and Reporting Discrimination” disimpulkan “Individu, situasional, dan faktor budaya 12 mempengaruhi sejauh mana individu akan menganggap diri mereka sebagai korban diskriminasi. Anggota kelompok yang dilindungi yang sangat mendukung keyakinan ini cenderung melihat diri mereka sebagai korban diskriminasi daripada mereka yang menolaknya” (Kaiser & Major, 2006). Dan salah satu cara untuk memahami persepsi tentang diskriminasi yang berkaitan dengan HIV/AIDS adalah dengan melihatnya sebagai hasil dari interaksi kompleks antara faktor sosial (ekonomi, budaya, akses terhadap pelayanan pencegahan dan pengobatan, jaringan komunitas pendukung, sumber informasi, serta tingkat stigma dan disrkiminasi di lingkungan sekitar); faktor kontekstual (keadaan hidup ODHA, penggunaan narkotika dan alkohol, kekuatan hubungan ODHA dengan keluarga dan pasangan, serta waktu sejak diagnosa); dan faktor diri (keadaan perasaan, sistem kepercayaan, resiliensi dan coping skill, serta harga diri dan self-awareness). Yang dialami dan dirasakan oleh ODHA sendiri terbagi menjadi 2 mekanisme dalam mengalami diskriminasi. Mekanisme pertama dalam mengalami diskriminisai adalah mengalami perubahan sumber-sumber psikososial (self efficacy dan self esteem) dan keyakinan tentang keadilan, yang pada akhirnya menyebabkan terganggunya kesejahteraan psikologis (Broman, Mavaddat, and Hsu. 2000; Grollman, 2012).Mekanisme kedua dalam mengalami diskriminasi adalah menarik diri dari lingkungan sosial dan mengalami stres fisiologis sehingga meningkatkan kerentanan dalam masalah kesehatan (Sanders-Phillips et al. 2009; Grollman, 2012). 13 2.2 Harga diri Santa Marina (dalam Sunarti 2006). memberikan teori mengenai kesejhteraan subjektif yang terdiri dari kesejahteraan psikologis, kesejahteraan emosi, dan kesejahteraan sosial. Kesejahteraan psikologis sendiri terdiri dari self esteem yaitu kemampuan seseorang untuk menghargai dirinya sendiri, feeling control yaitu kemampuan seseorang dalam mengontrol perasaannya. Pada buku teks psikologi pertama topik mengenai harga diri pertama kali diperkenalkan oleh William James (Murk, 2006). Teori hirarki kebutuhan Maslow dalam Feist, Feist & Robert (2013) menyatakan bahwa harga diri adalah salah satu motivasi dasar manusia untuk mencapai aktualisasi diri. Rosenberg (dalam Mruk, 2006) mendefinisikan harga diri sebagai sikap positif atau negatif terhadap objek spesifik, yaitu diri sendiri. Harga diri merefleksikan gambaran citra diri, kemampuan, pencapaian, dan nilai yang dimiliki serta sejauh mana seorang individu sukses menerapkannya. 2.2.1 Bentuk harga diri Berdasarkan kajian literatur mengenai harga diri yang dilakukan beberapa ahli Brown dan Marshall (2006) membagi bentuk harga diri kedalam 3 kategori : a) Global self-esteem Harga diri sering digunakan sebagai istilah yang merujuk pada variabel kepribadian yang mewakili bagaimana perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri. Peneliti menamai bentuk harga diri yang demikian sebagai, global self-esteem atau trait self-esteem, karena relatif bertahan dalam berbagai situasi dan waktu(weiten et al., 2012). 14 b) Feeling of self-worth Harga diri juga sering mengacu sebagai reaksi emosi evaluatif terhadap kejadian tertentu. Contohnya seseorang mungkin merasa harga dirinya naik setelah mendapat promosi jabatan dan harga dirinya turun setelah menjalani perceraian. Self-worth adalah perasan bangga terhadap diri sendiri (dalam sisi positif) dan malu terhadap diri sendiri (dalam sisi negatif). Harga diri yang demikian disebut juga sebagai state self-esteem, yaitu harga diri yang bersifat dinamis dan dapat dirubah bergantung pada perasaan seseorang terhadap dirinya di waktu tertentu (Heathertron & Polivy dalam Weiten et al., 2012) c) Self-Evaluations Disebut juga sebagai domain spesific self-esteem, yaitu harga diri digunakan untuk merujuk cara seseorang mengevaluasi kemampuan dan atribut bervariasi yang ada pada dirinya. Contohnya seorang individu yang memiliki keraguan atas kemampuannya di sekolah dapat disebut memiliki academic self-esteem yang rendah sedangkan individu yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang baik dalam bidang olah raga dapat dikatakan memiliki athletic self-esteem yang tinggi. 2.2.2 Tingkat harga diri Mruk (2006) menyimpulkan tingkat harga diri berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli menjadi tiga kategori, yaitu : 15 a) Low Self-esteem Karakteristik individu dengan harga diri rendah meliputi hipersensitivitas, ketidakstabilan, rasa canggung, dan kurang percaya diri. Individu dengan harga diri rendah lebih berfokus pada melindungi diri dari ancaman dibanding berusaha untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki dan menikmati hidup. Individu dengan harga diri rendah juga tidak memiliki gambaran identitas yang jelas dan sensitif terhadap isyarat sosial yang dianggap relevan dengan dirinya, mereka menggunakan strategi self-handicapping dan menurunkan ekspektasi untuk menghindari perasaan inferior lebih lanjut. b) High self-esteem Harga diri tinggi berkorelasi positif dengan rasa bahagia, mereka yang memiliki harga diri tinggi memiliki pandangan yang baik atasdiri mereka, kehidupan, dan masa depan. Individu dengan harga diri tinggi lebih mampu menghadapi stres dan menghindari rasa cemas yang sehingga mereka tetap mampu beindak dengan baik saat berhadapan dengan stress dan trauma. Terdapat dukungan empiris mengenai hubungan antara harga diri tinggi dan hubungan interpersonal.Individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki karakteristik interpersonal yang disukai serta memiliki st&ar moral dan kesehatan yang baik. Harga diri yang tinggi juga dapat membantu meningkatkan kinerja berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah dalam situasi tertentu yang membutuhkan inisiatif dan presistensi. 16 c) Medium self-esteem Coopersmith (dalam Mruk, 2006) menyatakan bahwa individu dengan tingkat harga diri sedang merupakan hasil dari tidak tereksposnya seorang individu pada faktor-faktor yang mendukung kepemilikan tingkat harga diri yang tinggi, namun memiliki sebagian faktor sehingga menghindarkan mereka dari tingkat harga diri yang rendah. 2.3 Perceived Discrimination dan Harga Diri Yang dialami dan dirasakan oleh ODHA sendiri terbagi menjadi 2 mekanisme dalam mengalami diskriminasi. Mekanisme pertama dalam mengalami diskriminisai adalah mengalami perubahan sumber-sumber psikososial (self efficacy dan self esteem) dan keyakinan tentang keadilan, yang pada akhirnya menyebabkan terganggunya kesejahteraan psikologis (Broman, Mavaddat, dan Hsu. 2000; Grollman, 2012).Mekanisme kedua dalam mengalami diskriminasi adalah menarik diri dari lingkungan sosial dan mengalami stres fisiologis sehingga meningkatkan kerentanan dalam masalah kesehatan (SandersPhillips et al. 2009; Grollman, 2012). Pada tahapan mekanisme pertama ODHA mengalami perubahan terhadap sumber-sumber psikososialnya, dimana salah satu sumber psikososial dalam penelitian yang dituliskan oleh Broman, Mavaddat dan Hsu (dalam Grollman 2012) ada harga diri (self esteem). Harga dirimenurut Rosenberg (dalam Mruk, 2006) diartikan sebagai sikap positif atau negatif terhadap objek spesifik, yaitu diri sendiri. 17 Model rejection – identification,Branscombe, Schmitt dan Harvey (dalam Bourguignon, dkk) mengemukakan bahwa identification model mungkin sebenarnya dapat berfungsi sebagai penyangga antara diskriminasi dengan harga diri. Berdasarkan model ini Schmitt dan Branscombe (dalam Bourguignon, dkk) menerima diskriminasi setara dengan dikecualikan atau dikeluarkan dari lingkungannya dan hal tersebut mempunyai dampak yang negatif pada harga diri. Karena perasaan saling memiliki menurut Baumeister dan Leary (dalam Bourguignon, dkk) merupakan dasar kebutuhan manusia, orang yang terdiskriminasi bereaksi terhadap pengecualian ini dengan meningkatkan perasaan dikenali oleh anggota kelompoknya dan pada ada nantinya identification model ini bisa mempunyai dampak yang positif pada harga diri. 2.4 Kerangka Berpikir Kurangnya informasi terhadap isu HIV/AIDS Miskonsepsi terhadap virus HIV/AIDS dan ODHA Konstruksi sosial negatif Stigmatisasi dan tindak diskriminasi oleh Masyarakat Perceived Discrimination Vigilance Perspective Minimization Perspective Self-esteem Positive global self esteem Negative global self esteem 18 Kurangnya pengetahuan danmiskonsepsi terhadap virus HIV/AIDS dan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) membuat terjadinya konstruksi sosial yang negatif serta memicu munculnya stigma dan tindak diskriminasi oleh masyarakat terhadap ODHA.Seorang karyawan pabrik gula di Jawa Timur, diberhentikan oleh pihak perusahaan karena terindikasi mengidap HIV. Dan yang menyebabkan pemberhentian karyawan tersebut dikarenakan atas permintaan rekan kerjanya yang mengaku merasa terganggu dan takut tertular HIV/AIDS (BBC Indonesia, 2011). Hal ini menimbulkan perasaan terdiskriminasi oleh ODHA, penilaian negatif yang dimunculkan masyarakat tersebut mempengaruhi munculnya sikap positif atau negatif terhadap diri sendiri. Dikaitkan dengan penelitian Broman, Mavaddat, dan Hsu (dalam Grollman, 2012)karyawan tersebut mengalami mekanisme pertama dalam mengalami diskriminisai yaitu mengalami perubahan keyakinan tentang keadilan dan sumber-sumber psikososial (self efficacy dan self esteem) yang pada akhirnya dapat menyebabkan terganggunya kesejahteraan psikologis pada dirinya.