tinjauan pustaka

advertisement
7 TINJAUAN PUSTAKA
Teori Komunikasi Keluarga
Pengertian Komunikasi
Komunikasi merupakan suatu cara untuk memengaruhi individu agar si
pemberi pesan (sender) dan si penerima pesan (receiver) saling mengerti pesan
yang disampaikan satu sama lain. Bentuk pesan yang disampaikan bisa berupa
perasaan, perhatian, kenyataan, ataupun ide-ide. Proses komunikasi bisa
dilakukan, baik secara langsung (tanpa media pembantu) maupun tidak langsung
(dengan media pembantu, seperti surat, telepon, dan media lain). Terdapat tiga
komponen penting dalam komunikasi, diantaranya pemberi pesan, pesan, dan
penerima pesan. Disamping itu, bahasa dan media juga merupakan komponen
yang penting dalam proses komunikasi. Bahasa jika tidak dipahami pemberi dan
penerima pesan akan menimbulkan bias dalam komunikasi. Sedangkan media
dapat mempermudah komunikasi dari segi waktu, ruang, dan jarak (Guhardja et
al. 1989).
Pengolahan
proses
informasi
yang
didapat
dari
berkomunikasi
menggunakan lima panca indra, yaitu penglihatan (visual), sentuhan (kinestetik),
pendengaran (auditorik), rasa, dan bau. Dari kelima panca indra tersebut, proses
komunikasi yang dilakukan diolah sehingga menjadi sebuah informasi. Sebelum
menjadi sebuah informasi, proses komunikasi melewati beberapa tahapan yang
dapat menimbulkan bias atau terjadi kesalahan dalam menerima informasi.
Pentingnya mendengarkan adalah kunci dari komunikasi yang efektif dimana
seseorang mampu mendengarkan secara aktif.
Denny (2007) mengemukakan beberapa gagasan agar komunikasi yang
dilakukan lebih baik, diantaranya bicara yang baik sebagai harapan, menghormati
orang yang diajak bicara, memberikan pujian, berbicara lebih sedikit daripada
mendengarkan, menaruh minat pada orang lain, memastikan bahwa kritikan yang
diberikan konstruktif, memastikan bahwa diri ini memahami apa yang dikatakan
sebelum menjawab, serta memaknai komunikasi sebagai alat untuk berbagi. Olson
& Barnes (1985) mengemukakan tentang teori komunikasi keluarga dimana peran
komunikasi tidak terlepas dari adanya interaksi manusia termasuk di keluarga.
Para peneliti dan ahli teori menyatakan bahwa di dalam konsep keluarga,
8 komunikasi merupakan inti dari pekerjaan yang dilakukan sehari-hari oleh
keluarga.
Komunikasi Keluarga
Perkembangan teori keluarga diawali dengan teori interaksi simbolik pada
tahun 1918. Teori ini berfokus pada suatu proses individu dalam mendefinisikan
dan menginterpretasi suatu kejadian (Sunarti 2006). Teori interaksi simbolik
dalam keluarga kemudian berkembang menjadi teori komunikasi keluarga dimana
pusat proses ide-ide yang diberikan berbentuk simbolik (Koerner & Fitzpatrick
2002). Berbagai literatur mengenai teori komunikasi keluarga pun dikumpulkan
untuk medapatkan pemahaman mengenai komunikasi keluarga (Tabel 1).
Komunikasi keluarga menurut Olson & Barnes (2004) adalah tindakan dalam
membuat informasi, ide-ide, gagasan, dan pengetahuan yang dirasakan oleh
anggota dalam unit keluarga. Komunikasi keluarga merupakan sebuah sistem
jaringan interaksi yang lebih bersifat interpersonal, dimana masing-masing
anggota keluarga mempunyai intensitas hubungan satu sama lain dan saling
tergantung2). Gambar 1 memperlihatkan sistem interaksi yang terjadi dalam
keluarga yang melibatkan orang tua (ayah dan ibu) dan dua orang anak. Semakin
banyak anggota keluarga, maka jumlah interaksi interpersonal yang terjadi akan
semakin banyak dan kompleks2).
Ayah
Ibu
Anak Ke-1
Anak Ke-2
Gambar 1 Sistem interpersonal dalam keluarga
Komunikasi keluarga secara umum dinyatakan baik apabila anggota
keluarga merasa puas, bisa saling mengungkapkan perasaannya satu sama lain
dengan saling memahami, mengerti, menghargai, mempercayai dan menyayangi
satu sama lain, sedangkan komunikasi yang kurang berkualitas mengindikasikan
2) Guhardja et al., Diktat Kuliah Manajemen Sumberdaya Keluarga (Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Masyarakat, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor), 1989.
9 kurangnya perhatian, pengertian, penghargaan, kepercayaan dan kasih sayang di
antara anggota keluarga. Baik tidaknya komunikasi yang dilakukan antar anggota
keluarga dapat diukur dengan menggunakan instrumen Skala Komunikasi
Keluarga dari Olson & Barnes (2004). Pengkategorian level dibagi berdasarkan
persentase, yaitu sangat rendah (10-20%), rendah (24-44%), sedang (50-65%),
tinggi (70-83%), dan sangat tinggi (86-99%) dimana setiap level memiliki
interpretasi yang berbeda.
Komunikasi keluarga secara umum dengan level sangat rendah (10-20%)
diinterpretasikan bahwa anggota keluarga sangat prihatin dengan kualitas
komunikasi keluarga mereka. Komunikasi keluarga secara umum dengan level
rendah (24-44%) diinterpretasikan bahwa anggota keluarga cukup prihatin dengan
kualitas komunikasi keluarga mereka. Komunikasi keluarga secara umum dengan
level sedang (50-65%) diinterpretasikan bahwa anggota keluarga merasa
komunikasi keluarga mereka secara umum baik, namun masih cukup prihatin
dengan kualitas komunikasi keluarga mereka. Komunikasi keluarga secara umum
dengan level tinggi (70-83%) diinterpretasikan bahwa anggota keluarga merasa
nyaman dan puas dengan kualitas komunikasi mereka. Komunikasi keluarga
secara umum dengan level sangat tinggi (86-99%) diinterpretasikan bahwa
anggota keluarga merasa sangat puas dan positif terhadap kualitas komunikasi
keluarga mereka. Tabel 1 Ahli dan pendapatnya mengenai teori komunikasi keluarga
Ahli
Epstein, Bishop, ryan,
Miller, & Keitner
(1993)
Hybels & Weaver II
(2004)
Koerner & Fitzpatrick
(2002)
Olson & Barnes
(1985)
Teori komunikasi keluarga
Komunikasi keluarga adalah cara informasi verbal dan nonverbal yang dipertukarkan antara anggota keluarga.
Semua komunikasi keluarga adalah transaksional.
Komunikasi keluarga merupakan formulasi dari teori umum
keluarga dengan mempertimbangkan lingkungan komunikasi
secara lebih spesifik yang dihadapi oleh keluarga.
Komunikasi Keluarga yaitu tindakan dalam membuat informasi,
ide-ide, gagasan, dan pengetahuan yang dirasakan oleh anggota
dalam unit keluarga.
Hambatan Komunikasi Keluarga
Hambatan-hambatan yang sering terjadi dalam komunikasi biasanya, yaitu
topik pesan yang disampaikan dianggap tidak menarik, penampilan pemberi pesan
memengaruhi penerimaan isi pesan, penerima pesan tidak setuju atau tidak suka
10 dengan pesan yang dibawa oleh pemberi pesan, pemberi pesan berpura-pura
memperhatikan padahal pikirannya tidak tertuju pada pesan2). Hambatan dalam
komunikasi keluarga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu perbedaan
umur, perbedaan jenis kelamin, nilai yang dianut, perbedaan bahasa, dan
perbedaan status sosial.
Pola Komunikasi Keluarga
Pola komunikasi keluarga terbentuk akibat komunikasi yang dilakukan
antar anggota keluarga dengan melibatkan ekspresi emosi (Mcleod et al. 1972).
Berbagai tipe-tipe pola komunikasi dikumpulkan dari para ahli sebagai hasil dari
pencarian literatur (tabel 2). Menurut McLeod & Chaffee (1972), Ritchie &
Fitzpatrick (1990) dalam Borsella (2006), model pola komunikasi keluarga
merupakan merupakan model yang dibuat untuk dapat mengukur bagaimana
komunikasi antara orang tua dan anak mempengaruhi kenyataan persepsi dan
bagaimana komunikasi tersebut berkontribusi terhadap sosialisasi anak. Berikut
disajikan pada tabel 4 macam-macam tipe-tipe pola komunikasi keluarga menurut
beberapa ahli lainnya.
Tabel 2 Ahli dan pendapatnya mengenai tipe-tipe pola komunikasi keluarga
Ahli
Tipe-tipe pola komunikasi keluarga
Devito (1986)
Empat bentuk pola komunikasi kekuarga;
- Pola komunikasi persamaan
- Pola komunikasi seimbang terpisah
- Pola komunikasi tak seimbang pisah
- Pola komunikasi Monopoli
Peterson (1998)
Empat tipe pola komunikasi keluarga
- Komunikasi afektif
- Komunikasi instrumental
- Komunikasi tinggi lebih dominan
- Komunikasi rendah lebih dominan
McLeod et al.
Dua fundamental orientasi komunikasi keluarga
(1972)
- Komunikasi berorientasi sosial
- Komunikasi berorientasi konsep
Komunikasi antara orang tua dan anak dapat diukur dengan menggunakan
instrumen Skala Pola Komunikasi Keluarga Mcleod (1972) yang telah
dikembangkan oleh Ritchie (1990) terdiri dari dua dimensi, yaitu komunikasi
berorientasi sosial dan komunikasi berorientasi konsep. Dalam komunikasi
berorientasi sosial, anak-anak didorong untuk mengembangkan dan memelihara
11 keharmonisan hubungan serta menghindari pertengkaran dengan orang tua mereka
dan orang lain. Sedangkan, dalam komunikasi berorientasi konsep, anak
diharapkan untuk secara terbuka mengekspresikan dan mendiskusikan ide-ide
mereka secara perorangan, termasuk orang tua mereka (Chaffee, McLeod, &
Wackman 1973).
Self-Esteem
Self-esteem merupakan penilaian diri atau persepsi diri yang dilakukan
oleh seorang individu terhadap dirinya atas penghargaan, penerimaan, dan
perlakuan orang lain terhadap dirinya (Coopersmith 1967, Branden 1999). Selfesteem memiliki banyak aspek dan berkembang dalam konteks pengembangan
pengertian seseorang terhadap identitas diri. Rosenberg (1965) membagi selfesteem ke dalam dua komponen secara global, yaitu sikap positif dan sikap
negatif. Komponen tersebut digunakan untuk menjelaskan gambaran atau
penilaian positif seseorang terhadap dirinya serta evaluasi global seseorang
mengenai dirinya (Santrock 2007).
Penelitian terhadap 300.000 individu mengenai seberapa tinggi self-esteem
mereka, menunjukkan bahwa self-esteem akan tinggi pada masa kanak-kanak,
menurun pada masa remaja, meningkat lagi pada masa dewasa sampai masa
dewasa akhir, di mana self-esteem kembali menurun. Di samping itu, masih dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa self-esteem perempuan lebih rendah
dibandingkan self-esteem laki-laki pada hampir seluruh rentang kehidupan
(Robins et al. 2002 dalam Santrock 2007).
Menurut Bowles (1999) dalam Santrock (2007) sebuah penelitian
menunjukkan bahwa korelasi antara self-esteem dan prestasi pada anak rendah.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa bisa jadi prestasi akademik yang rendah
dapat menyebabkan self-esteem yang rendah atau sebaliknya, self-esteem yang
rendah dapat menyebabkan prestasi akademik yang rendah. Dukungan emosional
dan persetujuan sosial yang diberikan, serta ketika anak menghadapi masalah dan
mencoba mengatasinya ketimbang menghindarinya akan meningkatkan selfesteem anak (Compas 2004, Folkman & Moskowitz 2004, Sykes 1995 dalam
Santrock 2007).
12 Prestasi Akademik
Prestasi akademik merupakan capaian hasil belajar dari kemampuan dan
kecakapan tingkah laku yang dimiliki seseorang selama beberapa waktu yang bisa
dipengaruhi oleh situasi belajar. Hasil proses belajar tersebut dapat diukur dan
dinilai dengan menggunakan tes yang memiliki standar, baik dalam bentuk lisan
maupun tulisan (Sobur 2006).
Prestasi akademik adalah penyebutan untuk memperlihatkan capaian
tingkat keberhasilan seseorang akan tujuan yang telah dicapainya atas usaha dan
kerja kerasnya untuk belajar secara optimal (Setiawan 2006). Santrock (2007)
menyatakan bahwa prestasi akademik perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan prestasi akademik laki-laki.
Mahasiswa
Menurut Santrock (2003) mengenai tahapan perkembangan remaja
berdasarkan usia, mahasiswa tahun pertama akademik masuk ke dalam kategori
remaja akhir (late adolescent) yaitu usia 18-21 tahun. Susantoro (2003)
menyebutkan bahwa mahasiswa adalah kalangan muda yang berumur antara 1928 tahun yang memang dalam usia tersebut mengalami suatu peralihan dari tahap
remaja ke tahap dewasa. Susantoro dalam Siregar (2006) juga menyatakan bahwa
sosok mahasiswa kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap keilmuwannya
yang dalam melihat sesuatu berdasarkan kenyataan objektif, sistematis, dan
rasional.
Tugas-tugas perkembangan yang dihadapi mahasiswa tingkat pertama dapat
dijelaskan dengan menggunakan teori perkembangan remaja. Beberapa tugas
perkembangan bagi remaja, diantaranya menerima keadaan fisiknya, memperoleh
kebebasan emosional, mampu bergaul, menemukan model untuk diidentifikasi,
mengetahui dan menerima kemampuan sendiri, memperkuat penguasaan diri atas
dasar skala nilai dan norma, serta meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian
kekanak-kanakan (Gunarsa dan Gunarsa 2004).
13 Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian Ullrich dan Kreppner (1997) mengenai kualitas
komunikasi keluarga dan prestasi akademik pada remaja awal menunjukkan
bahwa perbedaan prestasi akademik yang dimiliki di sekolah membuat remaja
melakukan perilaku komunikasi dan format yang berbeda ketika berdiskusi
dengan orang tua mereka. Hasil penelitian Farahati et al. (2011) mengenai
hubungan komunikasi keluarga dengan kontrol lokus dan self-esteem pada remaja
menunjukkan bahwa pola komunikasi keluarga mempengaruhi karakteristik
kepribadian seseorang dimana keluarga yang bebas berkomunikasi memiliki
remaja dengan self-esteem yang tinggi daripada keluarga dengan komunikasi
terbatas.
Hasil penelitian Kurniadi (2011) mengenai intensitas komunikasi keluarga
dan prestasi belajar anak menyatakan bahwa tingginya komunikasi dalam
keluarga tidak membuat prestasi anak menjadi tinggi tidak ada hubungan yang
signifikan antara komunikasi keluarga dan prestasi belajar anak. Hasil penelitian
Wulandari (2009) menemukan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan
antara self-esteem dan prestasi akademik. Begitu pula dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nurhayati (2011), hasil uji korelasi spearman tidak menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara self-esteem dengan prestasi
akademik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bowles (1999) dalam Santrock
(2007) yang menyatakan bahwa sebuah penelitian menunjukkan korelasi yang
rendah antara self-esteem dan prestasi pada anak.
Download