MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE THINK - e

advertisement
Vol. 1 No. 1 (2012) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 2 : Hal. 35-38
MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE THINK PAIR SQUARE DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS VII
SMPN 1 PULAU PUNJUNG
Michelin Wara J 1), Yusmet Rizal2), dan Nilawasti3)
1)
FMIPA UNP, email: [email protected]
Staf Pengajar Jurusan Matematika FMIPA UNP
2,3)
ABSTRACT
The fact that happened in school showed that the applied learning method is less varied. Group
discussion method is rarely applied. It cause the students are not accustomed to sharing and working
together with other friends in solving a mathematical problem. Student activities are individual, rarely
seen brilliant student wants to teach her friends who do not understand. It cause the student being
passive so that it affecting learning outcomes. One way that can be done to overcome this is by
developing an attitude of mutual cooperation in the learning process. The way such as by applying
Cooperative Learning Model with Think Pair Square Type. Therefore, this research was conducted in
order to determine students' mathematics learning outcomes using Cooperative Learning Model with
Think Pair Square Type. This research is experimental research. The result of the research showes that
the learning outcomes of students using Cooperative Learning Model with Think Pair Square Type is
higher than the student learning outcomes using conventional learning. So, Cooperative Learning Model
with Think Pair Square Type can be used as an alternative in learning because it can improve student
learning outcomes.
Keywords : Cooperative Learning Model, Think Pair Square Type, learning outcomes
PENDAHULUAN
Sekarang ini dalam pembelajaran
matematika, guru tidak hanya menggunakan satu
metode saja untuk mengajar yaitu metode
ceramah, tetapi sudah menggabungkan metode
ceramah dengan metode tanya jawab dan latihan.
Akan tetapi jika metode – metode ini diterapkan
secara terus menerus tanpa adanya suatu
pembaharuan, ini akan menyebabkan pelajaran
matematika menjadi
suatu pelajaran yang
membosankan dan membuat siswa jenuh.
Akibatnya, siswa yang kurang menyenangi
matematika, akan merasa bahwa matematika itu
adalah suatu pelajaran yang membosankan, dan
tidak menarik untuk dipelajari sehingga hasil
belajar mereka kurang memuaskan. Tetapi bagi
siswa yang menyenangi pelajaran matematika,
hal tersebut tidak berpengaruh sehingga mereka
bisa memperoleh hasil belajar yang memuaskan.
Kondisi di atas juga ditemui di SMPN 1
Pulau punjung. Berdasarkan hasil observasi di
SMPN 1 Pulau Punjung, guru sering
menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan
latihan. Guru sangat jarang menggunakan metode
diskusi kelompok. Permasalahan yang ditemukan
pada siswa yaitu pada saat mereka mengerjakan
latihan. Jika soal yang diberikan tidak bisa
dikerjakan, maka sebagian besar siswa cenderung
untuk menunggu pembahasan yang akan
dilakukan oleh guru. Siswa tidak berdiskusi
dengan temannya untuk memecahkan soal
tersebut. Hal ini menunjukkan interaksi yang
berlangsung antara siswa dengan siswa pada
proses pembelajaran kurang menunjukkan
ketergantungan yang positif. Jarang
sekali
terlihat siswa yang pandai di kelas itu mau
mengajari temannya yang tidak mengerti. Hal ini
mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa.
35
Vol. 1 No. 1 (2012) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 2 : Hal. 35-38
Untuk itu diperlukan adanya suatu model
pembelajaran yang dapat mengoptimalkan
interaksi belajar siswa , serta dapat meningkatkan
hasil belajar matematika siswa. Salah satu model
pembelajaran adalah Cooperative Learning.
Model pembelajaran ini menekankan kepada
siswa untuk saling bekerja sama dalam
kelompoknya dimana setiap kelompok terdiri
dari siswa dengan kemampuan akademik yang
berbeda. Dalam proses pembelajaran tidak hanya
interaksi antara guru dengan siswa, namun siswa
juga berinteraksi dengan sesamanya. Siswa
bekerjasama
dalam
kelompoknya
untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang terkait dengan
pembelajaran. Cooperative Learning ini tidak
hanya
dapat
membantu
siswa
dalam
meningkatkan kemampuan akademik, tapi
mereka juga belajar menerima keanekaragaman
antara mereka dan juga dapat mengembangkan
kemampuan interaksi sosial siswa.
Salah satu model Cooperative Learning
adalah tipe Think Pair Square. Model
Cooperative Learning tipe Think Pair Square ini
dapat memberi siswa kesempatan untuk bekerja
sendiri serta bekerja sama dengan orang lain.
Menurut Anita (2010: 58), langkah-langkah
dalam model Cooperative Learning Tipe Think
Pair Square yaitu: (1) Guru membagi siswa
dalam kelompok berempat dan memberikan
tugas kepada semua kelompok, (2) Setiap siswa
mengerjakan dan memikirkan tugas itu sendiri,
(3) Setiap siswa berpasangan dengan salah satu
teman dalam kelompok dan berdiskusi dengan
pasangannya, (4) Kedua pasangan bertemu
kembali dalam kelompok berempat dan semua
siswa mendapat kesempatan untuk membagi
hasil kerjanya dalam kelompok.
Berdasarkan pendapat di atas, berarti
setelah guru membagi siswa dalam kelompok
berempat, ada tiga tahapan pembelajaran yang
dilalui, yaitu: “Think” yang memberi kesempatan
setiap siswa untuk berfikir individu, “Pair”
dimana siswa saling bertukar pikiran dengan
pasangannya. Secara psikologis, siswa akan lebih
merasa nyaman bertanya ataupun berdiskusi
dengan sesamanya. Erman (2003: 277)
menjelaskan bahwa bahasa teman sebaya lebih
mudah dipahami, dengan teman sebaya tidak ada
rasa enggan, rendah diri, malu dan sebagainya
untuk bertanya ataupun minta bantuan. Tahap
ketiga yaitu “Square” dimana siswa saling
berbagi dan berdiskusi dengan anggota kelompok
berempat.
Dalam penelitian ini, kajian utama
difokuskan pada hasil belajar siswa dalam
pembelajaran matematika. Permasalahan yang
ingin dibahas dalpenelitian ini adalah “apakah
hasil
belajar
matematika
siswa
yang
menggunakan model Cooperative Learning tipe
Think Pair Square lebih tinggi dari hasil belajar
matematika
siswa
yang
menggunakan
pembelajaran konvensional?” Pembahasan ini
telah dilakukan melalui hasil penelitian.
METODE PENELITIAN
Untuk menjawab permasalahan di atas
telah
dilakukan
penelitian
eksperimen.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah
Randomized Control Grup Only Design. Populasi
dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII
SMPN 1 Pulau Punjung yang terdaftar pada
tahun pelajaran 2011/2012. Cara pengambilan
sampel adalah dengan random sampling, dengan
kelas VII 2 sebagai kelas eksperimen dan kelas
VII 3 sebagai kelas kontrol. Jenis data dalam
penelitian ini ada dua yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer diambil dari dari nilai tes
akhir untuk melihat hasil belajar matematika
siswa yang menggunakan Cooperative Learning
tipe Think Pair Square yang diperoleh. Data
sekunder adalah data jumlah siswa kelas VII
tahun pelajaran 2011/2012.
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu tes hasil belajar dan LKS (
Lembar Kerja Siswa ). Instrumen tes diberikan
pada akhir pokok bahasan, yaitu tentang adalah
Bangun Datar Segi Empat. Tes yang diberikan
berupa soal essay, sedangkan LKS berisi
kegiatan siswa dan latihan yang akan
diselesaikan oleh siswa. Kegiatan siswa yang
terdapat pada LKS akan menuntun siswa
menemukan
sendiri
dan
menyelesaikan
permasalahan yang diberikan. Selain itu pada
LKS terdapat kompetensi dasar, Indikator, dan
tujuan pembelajaran yang diharapkan dicapai
36
Vol. 1 No. 1 (2012) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 2 : Hal. 35-38
oleh siswa, serta petunjuk-petunjuk khusus yang
berkaitan dengan pengisian LKS. LKS diperiksa
dengan menggunakan rubrik penskoran. Ratarata penilaian terhadap LKS masing – masingnya
menggunakan rumus yang dikemukakan oleh
Walpole (1997: 24), yaitu:
n
_
xi
i 1
x
,
n
Keterangan:
_
x : Nilai rata-rata LKS
n
xi :
Jumlah skor LKS siswa pada
i 1
setiap kali pertemuan
Selanjutnya, nilai LKS tersebut dianalisis
dengan
kategori
penilaian
LKS
yang
dimodifikasi dari Tati dkk( 2009: 82) seperti
pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Kategori Penilaian LKS
Rata-rata skor
Kriteria
Untuk menunjang data mengenai hasil
belajar siswa, dilakukan analisis data terhadap
LKS. LKS diberikan kepada siswa sebanyak 6
kali pertemuan. Data hasil penilaian dari LKS
disajikan dalam bentuk nilai kelompok. Nilai
kelompok dihasilkan dari nilai LKS
yang
diperoleh anggota kelompok dengan mencari rata
– rata nilai LKS masing – masing anggota
kelompok. Rata – rata nilai kelompok dapat
dilihat pada tabel 3 berikut.
Sangat baik
90
x 100
80
x
90
Baik
70
x
80
Cukup
banyak daripada siswa kelas kontrol. Pada kelas
eksperimen terdapat 23 orang atau 71,87% dari
jumlah siswa yang memperoleh nilai di atas
KKM, sedangkan pada kelas kontrol terdapat 11
orang atau 34,37% dari jumlah siswa. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pada kelas eksperimen siswa
yang memperoleh nilai di atas KKM lebih
banyak dari kelas kontrol. Nilai rata-rata pada
kelas eksperimen adalah 76,40, sedangkan kelas
kontrol adalah 64,46. Hal ini menunjukkan ratarata kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas
kontrol. Variansi dan simpangan baku nilai kelas
kontrol lebih besar dari pada kelas eksperimen.
Ini berarti penyebaran data pada kelas
eksperimen lebih kecil dari pada kelas kontrol.
Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar
matematika siswa kelas kontrol lebih beragam
apabila dibandingkan dengan hasil belajar
matematika kelas eksperimen. Dapat dikatakan
kemampuan siswa pada kelas eksperimen untuk
pokok bahasan ini hampir sama.
Kurang
0 x 70
Sumber : Tati,dkk. (2009: 82)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data tes hasil belajar diperoleh setelah
diberikan tes akhir kepada kelas sampel. Data
tersebut dianalisis sehingga diperoleh deskripsi
statistik nilai dari kedua kelas sampel. Hasil
perhitungan rata – rata, variansi dan simpangan
baku tes hasil belajar secara lengkap dapat dilihat
pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Hasil Analisis Data Tes Akhir
Kelas
Nilai
< 70
Nilai
≥ 70
N
x
s2
s
Eksperimen
Kontrol
9
21
23
11
32
32
76,40
64,46
171,41
209,10
13,09
14,46
Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa pada
kelas
eksperimen
jumlah
siswa
yang
mendapatkan nilai di atas KKM (nilai ≥ 70) lebih
Tabel 3. Rata – Rata Nilai Kelompok
Kelom
pok
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
x
x
Rata-Rata Nilai LKS Pertemuan ke
1
73,3
72,8
74,3
66,8
76,0
81,0
85,0
60,3
589,
0
73,6
2
2
72,5
81,3
78,0
84,5
86,5
95,8
65,5
86,3
651,
1
81,3
8
3
75,5
89,0
70,8
71,3
95,5
90,0
90,5
85,3
688,
35
86,0
4
4
88,3
89,0
100
76,0
85,8
86,5
88,5
90,5
707,
25
88,4
0
5
100
97,5
99,0
94,3
99,3
99,0
98,3
100
786,
65
98,3
3
6
96,0
99,0
94,0
89,8
94,0
99,0
99,0
99,0
769,
75
96,2
1
x
505,5
528,5
516,0
482,5
537,0
551,3
526,8
521,3
x
84,3
88,1
86,0
80,4
89,5
91,9
87,8
86,9
Dari tabel 3 dapat terlihat bahwa setiap
kelompok mendapatkan rata – rata nilai LKS
lebih dari 80. Kelompok yang mendapatkan ratarata tertinggi dari semua pertemuan adalah
37
Vol. 1 No. 1 (2012) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 2 : Hal. 35-38
kelompok VI dengan rata – rata nilai LKS adalah
91,9. Selain itu juga terlihat bahwa rata – rata
nilai LKS kelompok setiap pertemuan mengalami
peningkatan, kecuali pada pertemuan ke 6.
Selanjutnya, nilai LKS tersebut dianalisis
menggunakan kategori penilaian LKS, dengan
rincian seperti yang terlihat pada tabel berikut.
Nilai LKS yang bagus tentu berpengaruh
terhadap hasil tes akhir siswa karena dengan
adanya diskusi kelompok menggunakan LKS,
pemahaman siswa terhadap materi pelajaran
menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 4. Nilai LKS dan Nilai Tes Akhir
Siswa
Nilai rata –
rata LKS
87,2
81,2
85,5
83,2
337
Nilai tes
akhir
99
60
70
67
x
84,3
74
1. MS
2. NR
3. NK
4. NO
90,8
89,3
89,5
82,7
352,3
86
80
75
60
301
x
88,1
75,25
1. FK
2. YE
3. RO
4. MI
87,5
85,7
85,2
85,7
344
99
69
65
69
302
86
75,5
86,7
74,5
71,2
89,3
321,7
75
55
45
80
Kelompok
I
II
III
1. NP
2. VD
3. AS
4. DA
x
x
x
x
IV
1. RA
2. AY
3. AM
4. EF
296
255
x
Dari tabel di atas dapat dilihat korelasi
antara nilai LKS dengan nilai tes akhir siswa,
dimana secara umum siswa yang memperoleh
nilai rata-rata LKS yang bagus mendapatkan nilai
tes akhir yang juga bagus. Namun ada beberapa
siswa yang mendapatkan nilai LKS bagus tetapi
nilai tes akhir yang diperoleh masih di bawah
KKM. Hal ini terjadi pada siswa yang
berkemampuan rendah dalam suatu kelompok.
Siswa tersebut bisa mendapatkan nilai LKS yang
bagus karena adanya kerja sama dengan siswa
lainnya dalam satu kelompok sedangkan pada
saat tes akhir, dimana setiap siswa mengerjakan
soal tes secara individu, siswa tersebut tidak
mampu mendapatkan nilai yang bagus seperti
nilai LKS yang mereka peroleh. Selain itu, hal ini
juga disebabkan karena siswa tersebut tidak
maksimal dalam melaksanakan model Think Pair
Square, mereka hanya mengandalkan siswa yang
berkemampuan tinggi dalam kelompok.
Namun secara umum, penerapan model
Cooperative Learning tipe Think Pair Square
berdampak positif terhadap hasil belajar siswa,
tambahan lagi didukung dengan adanya LKS
yang dapat menunjang pemahaman siswa dan
menuntun siswa dalam belajar.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa
hasil belajar siswa yang menggunakan model
Cooperative Learning tipe Think Pair Square
lebih tinggi dari pada hasil belajar siswa yang
menggunakanpembelajaran konvensional.
Berdasarkan simpulan tersebut maka
disarankan hendaknya guru dapat menggunakan
model model Cooperative Learning tipe Think
Pair Square sebagai salah satu alternatif dalam
proses pembelajaran, dan bagi peneliti lain yang
tertarik, diharapkan model pembelajaran ini bisa
dipadukannya dengan metode atau teknik
pembelajaran lainnya sehingga bisa lebih
bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
Lie, Anita. (2010). Cooperative Learning.
Jakarta: PT. Gramedia
Suherman, Erman dkk. (2003). Strategi
Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung : FMIP UPI
Tati dkk. (2009). “pengembangan perangkat
pembelajaran berbasis kontekstual pokok
bahasan turunan di madrasah aliyah
negeri 3 palembang”. Jurnal Pendidikan
Matematika. (Volume 3 Juni nomor 1).
Hal 77-89. Diakses tanggal 20 Juni 2012
Walpole, Ronald E. (1997. Pengantar Statistik.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
38
Download