PERBEDAAN KADAR SERUM GLUTATHIONE PEROXIDASE (GPx

advertisement
PERBEDAAN KADAR SERUM GLUTATHIONE PEROXIDASE
(GPx) PADA BLIGHTED OVUM DAN
KEHAMILAN NORMAL
Prof. Dr. dr. I Gede Putu Surya, Sp.OG(K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP SANGLAH DENPASAR
2012
RINGKASAN
Blighted ovum merupakan komplikasi obstetrik yang sering dijumpai pada
kehamilan muda,yang ditandai dengan ada atau tidaknya perdarahan pervaginam, dan
inner mass cell dan pole embrionik, serta yolk sac di dalam kantung gestasi intra uterin
tidak terlihat pada pemeriksaan penunjang sonografi. Teori penyebab terjadinya
blighted ovum adalah kelainan kromosom. Beberapa teori telah dikembangkan, dengan
radikal bebas berperan dalam terjadinya komplikasi pada kehamilan muda, yaitu
gangguan keseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang disebabkan oleh reactive
oxygen species (ROS). Terdapat tiga macam ROS, yaitu superoxide (O2-), hydrogen
peroxide (H2O2),dan hydroxyl (OH-). Sel memproduksi salah satu antioksidan, yaitu
gluthatione peroxidase (GPx). Fungsi utama GPx adalah detoksifikasi H2O2 menjadi air
dan molekul oksigen nonreaktif. Sejauh ini dari penelitian-penelitian yang telah dibaca,
belum ada yang menunjukkan kadar GPx pada blighted ovum, sehingga peneliti
mencoba melakukan penelitian dalam upaya menemukan perbedaan kadar serum GPx
pada blighted ovum.
Kerangka konsep penelitian ini adalah terjadinya ketidakseimbangan ROS dan GPx
sehingga menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang merusak DNA embrio yang
berakhir pada blighted ovum. Dari penelitian ini muncul hipotesis penelitian bahwa
terdapat perbedaan kadar serum GPx pada blighted ovum dan kehamilan normal.
Telah dilakukan penelitian cross sectional analitik, dilaksanakan di poliklinik dan
ruang bersalin IRD Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar dari April
2011 sampai Maret 2012, diperoleh 42 sampel dimana 21 pasien dengan blighted ovum
dan 21 pasien dengan kehamilan normal pada umur kehamilan < 12 minggu.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil rerata kadar serum GPx pada blighted ovum
51,89 (SD 8,51) U/gHb lebih rendah dari rerata kadar serum GPx pada kehamilan
normal 94,94 (SD 21,66) U/gHb, dengan perbedaan rerata kadar serum GPx pada
blighted ovum dan kehamilan normal sebesar 43,05 U/gHb (p<0,05). Pada penelitian ini
disimpulkan didapatkan perbedaan bermakna kadar rerata serum GPx pada blighted
ovum dan kehamilan normal.
ABSTRAK
Latar belakang : Abortus merupakan salah satu komplikasi kasus obstetri pada
trimester pertama, dengan sebagian didahului blighted ovum. Stres oksidatif dapat
menyebabkan kegagalan kehamilan. Glutathione peroxidase (GPx) merupakan enzim
anti oksidan yang berfungsi mendetoksifikasi superoxide anion.
Tujuan penelitian : Untuk mengetahui perbedaan kadar serum glutathione peroxidase
(GPx) pada blighted ovum dan kehamilan normal..
Metode penelitian : Penelitian ini merupakan desain cross sectional analitik. Jumlah
sampel adalah sebesar 42 sampel, dimana 21 kasus dengan blighted ovum dengan umur
kehamilan < 12 minggu, dan 21 kasus dengan kehamilan normal < 12 minggu.
Pengambilan darah pada vena cubiti sebanyak 3cc kemudian dimasukkan ke dalam
tabung pemeriksaan, lalu diperiksa kadar serum GPx pada Laboratorium Patologi Klinik
RSUP Sanglah Denpasar. Dari data yang terkumpul dilakukan pengujian normalitas
data dengan Shapiro-Wilk Test, kemudian dilakukan analisa data dengan t-independent
sample test dengan tingkat kemaknaan ά = 0,05.
Hasil : Rerata kadar serum GPx pada blighted ovum 51,89 (SD 8,51) U/gHb,
sedangkan pada kehamilan normal sebesar 94,94 (SD 21,66) U/gHb dengan perbedaan
rerata kadar serum GPx pada blighted ovum dan kehamilan normal 43,05 U/g Hb,
dimana hasil pada dua kelompok ini berbeda bermakna (p<0,05).
Simpulan : Terdapat perbedaan bermakna pada rerata kadar serum GPx pada blighted
ovum dan kehamilan normal.
Kata kunci : Serum glutathione peroxidase (GPx), blighted ovum, kehamilan normal.
ABSTRACT
Background : Abortus is one of the obstetric complications in first trimester, which
some begins as blighted ovum. Oxidative stress in pathological results as an early
pregnancy failure. Glutathione peroxidase (GPx) is the main enzyme resposible for
detoxification os superoxide anion.
Objective : To determine the difference of glutathione peroxidase (GPx) serum in
blighted ovum and normal pregnancy.
Method : This is an analytic cross sectional with 42 samples devided into two groups.
Twenty one cases of blighted ovum with < 12 weeks of gestational age, and 21 normal
pregnancies < 12 weeks of gestational age. Three cc of blood samples were withdrawn
from the cubiti veins, and its GPx serum quantities are than examined at the Pathology
Lab at Sanglah General Hospital. Datas are then analysed using the Shapiro Wilk Test
and the t independent test with alfa 0.05.
Result : The average GPx serum for blighted ovum and normal pregnancies are 51,89
(SD 8,51) U/gHb and 94,94 (SD 21,66) U/gHb, respectively with the difference
between the both group 43,05 U/g Hb (p<0,05).
Conclusion : The level of GPx serum in blighted ovum is significantly different from
normal pregnancies.
Keywords : Glutathione peroxidase (GPx) serum, blighted ovum, normal pregnancy.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komplikasi kasus obstetri yang paling sering terjadi pada trimester pertama
adalah abortus spontan, dan sebagian didahului oleh kehamilan anembryonic (blighted
ovum) dan embrionic atau kematian janin. Prevalensi kegagalan hasil konsepsi pada
umur kehamilan 10 – 13 minggu mencapai 2,8%, dimana blighted ovum terjadi sebesar
37,5% (Ying-Ti Huang, 2010). Belum didapatkan data mengenai kejadian blighted
ovum di Indonesia. Blighted ovum di poli kebidanan RSUP Sanglah tercatat sebanyak
5% pada tahun 2009.
Blighted ovum sebagian besar disebabkan oleh kelainan kromosom, yaitu
triploidi, dan dapat berkembang menjadi mola hidatidosa parsial (Peter Uzelac, 2008).
Pada blighted ovum, hasil konsepsi berkembang menjadi blastokis, tetapi inner mass
cell dan pole embrionik tidak pernah terbentuk (Asim Kurjak, 2003). Radikal bebas
menjadi salah satu pemicu terjadinya kelainan kromosom ini. Radikal bebas merupakan
senyawa tidak stabil dan sangat reaktif, sehingga mengakibatkan kerusakan sel.
Reactive Oxygen Species (ROS) adalah salah satu dari radikal bebas. Terdapat tiga
macam ROS, yaitu superoxide (O2-), hydrogen peroxide (H2O2), hydroxyl (OH-).
Apabila produksi radikal bebas melebihi kapasitas penangkapan oleh anti oksidan, maka
timbul suatu keadaan yang disebut stress oksidatif. Glutathione peroxidase (GPx)
merupakan salah satu antioksidan yang melindungi sel terhadap stress oksidatif. Dari
referensi yang telah dibaca, belum pernah ditemukan penelitian mengenai kadar serum
GPx pada blighted ovum dan kehamilan normal.
Atas pertimbangan bahwa kadar serum GPx pada blighted ovum masih belum
didapatkan datanya, dan penelitian mengenai perbedaan kadar serum GPx pada blighted
ovum dan kehamilan normal belum pernah ditemukan, maka peneliti ingin meneliti hal
ini.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan kadar serum glutathione peroxidase (GPx) pada blighted
ovum dan kehamilan normal ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan kadar serum glutathione peroxidase (GPx) pada
blighted ovum dan kehamilan normal.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.
Untuk mengetahui rerata kadar serum glutathione peroxidase (GPx) pada
blighted ovum.
2.
Untuk mengetahui rerata kadar serum glutathione peroxidase (GPx) pada
kehamilan normal.
3.
Untuk mengetahui perbedaan rerata kadar serum glutathione peroxidase
(GPx) pada blighted ovum dan kehamilan normal.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi pengetahuan
1.
Untuk memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan mengenai
pengaruh GPx terhadap kejadian blighted ovum.
2.
Sebagai bahan perbandingan mengenai pengaruh antioksidan dan radikal
bebas terhadap kejadian blighted ovum.
1.4.2 Manfaat bagi pelayanan
Sebagai bagian dari suatu rangkaian penelitian mengenai pengaruh anti
oksidan dan radikal bebas terhadap blighted ovum, sehingga pada akhirnya
dapat ditemukan suatu cara pencegahan kejadian blighted ovum, khususnya
sebelum terjadinya konsepsi, atau pada kegagalan kehamilan yang berulang.
Apabila didapatkan kadar serum GPx lebih rendah, maka dapat
dipertimbangkan
pemberian
kegagalan kehamilan.
antioksidan
sebagai
upaya
pencegahan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Blighted Ovum
Blighted ovum atau kehamilan anembrionik adalah suatu kondisi pada trimester awal
kehamilan dimana embrio di dalam kantung gestasi mengalami kegagalan pertumbuhan
atau kematian. Diagnosis blighted ovum berdasarkan tidak adanya embrio dan yolk sac
di dalam kantung gestasi melalui pemeriksaan ultrasonografi. Kelainan ini juga dapat
ditemukan pada pemeriksaan sonografi transvaginal dengan diameter kantung gestasi
1,5 cm. Jika volume kantung gestasi kurang dari 2,5 ml, dan tidak bertambah ukurannya
dalam periode 1 minggu sebanyak 75% dari volume awal, maka kondisi patologi pada
trimester awal kehamilan ini disebut blighted ovum (AsimKurjak, 2003).
Gambar 2.1 Blighted ovum pada pemeriksaan transvaginal sonografi
Sumber : William’s Obstetri 23 (2010)
2.2 Insiden Blighted Ovum
Abortus spontan terjadi 10-15% pada umur kehamilan sebelum 20 minggu (Nyobo
Anderson, 2000). Pada studi yang melibatkan 17.810 perempuan pada usia 10-13
minggu kehamilan, blighted ovum ditemukan sebesar 37,5% (Ying Ti-Huang, 2010).
2.3 Penyebab Blighted Ovum
Penyebab abortus dapat dibedakan menjadi faktor fetus dan faktor maternal. Faktor
fetus seperti kelainan kromosom menjadi penyebab sekitar 50 persen kejadian abortus.
Kelainan kromosom yang paling sering ditemukan berupa autosomal trisomi dari
kromosom 13, 16, 18, 21 dan 22 (Eiben dkk, 1990). Dari penelitian terhadap 47.000
wanita, Blanco dan koleganya (2006) menemukan bahwa risiko aneuploid pada fetus
meningkat sesuai dengan semakin seringnya abortus. Kelainan kromosom poliploidi,
dalam bentuk triploidi, terjadi 20% dari seluruh abortus. Konsepsi poliploidi akan
bekembang menjadi kehamilan dengan kantung gestasi yang kosong, atau blighted
ovum. Namun biasanya bisa menjadi mola hidatidosa parsial.
Fetus dengan kromosom normal, cenderung untuk mengalami abortus pada trimester
kedua atau lebih. Menurut Kajii (1980), 75 persen abortus aneuploid terjadi sebelum
umur kehamilan 8 minggu, sedangkan abortus euploid paling sering terjadi pada umur
kehamilan 13 minggu. Triploidi sering menjadi penyebab degenerasi plasental hidropik
(mola). Inkomplit (parsial) mola hidatidosa disebabkan oleh kelainan triploid atau
trisomik hanya pada kromosom 16. Peningkatan usia maternal dan paternal tidak
meningkatkan insiden triploidi.
Kejadian abortus euploid meningkat dengan tajam setelah usia ibu lebih dari 35
tahun (Stein, 1980). Diduga faktor maternal berperan dalam kejadian abortus euploid
(Cunningham, 2010).
Faktor maternal sebagai penyebab abortus dapat dikelompokkan menjadi kelainan
anatomis, faktor imunologis, infeksi, penyakit kronis, kelainan endokrin, nutrisi,
penggunaan obat-obatan dan pengaruh lingkungan (Speroff, 2005).
2.4 Stress Oksidatif
Teori mengenai radikal bebas pertama kali dikemukakan oleh Rebecca Gersham dan
Daniel Gilbert dalam Teori Radikal Bebas Gershman pada tahun 1954, yang
menyatakan bahwa toksisitas oksigen terjadi akibat bentuk oksigen yang tereduksi
sebagian (Gerschman, Gilbert, dkk, 1954). Radikal bebas oksigen atau yang dikenal
dengan Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) adalah
produk normal dari metabolisme seluler. ROS dan RNS memiliki efek menguntungkan
dan efek merugikan. Efek menguntungkan ROS terjadi pada konsentrasi rendah hingga
sedang, merupakan proses fisiologis dalam respon seluler terhadap bahan bahan yang
merugikan, seperti dalam pertahanan diri terhadap infeksi, dalam sejumlah fungsi sistem
signaling seluler dan induksi respon mitogenik (Valko, 2006). Efek merugikan dari
radikal bebas yang menyebabkan kerusakan biologis dikenal dengan nama stress
oksidatif dan stress nitrosatif (Kovacic, 2001). Hal ini terjadi dalam sistem biologis
akibat produksi ROS/RNS yang berlebihan maupun akibat defisiensi antioksidan
enzimatik dan non-enzimatik. Dengan kata lain, stress oksidatif terjadi akibat reaksi
metabolik yang menggunakan oksigen dan menunjukkan gangguan keseimbangan status
reaksi oksidan/antioksidan pada mahluk hidup. ROS yang berlebihan akan merusak
lipid seluler, protein maupun DNA, menghambat fungsi normal sel (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Kerusakan akibat Reactive Oxygen Species (ROS).
Sumber : Kohen (2002)
Radikal yang berasal dari oksigen merupakan kelompok radikal terpenting yang
dihasilkan dalam tubuh mahluk hidup (Miller, 1990). Secara umum ROS dapat
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu radikal dan nonradikal, seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 2.1. Kelompok radikal yang sering dikenal dengan radikal
bebas mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit atomik atau
molekulernya (Halliwell, Gutteridge, 1999). Elektron yang tidak berpasangan ini
menunjukkan tingkat reaktivitas tertentu pada radikal bebas. Kelompok nonradikal
terdiri dari berbagai bahan yang beberapa diantaranya sangat reaktif walaupun secara
definisi bukan radikal (Kohen, 2002).
Tabel 2.1 Metabolit Radikal dan Nonradikal Oksigen.
Sumber : Kohen (2002)
Nama
Simbol
RADIKAL OKSIGEN
Oksigen (Bi-radikal)
O2••
Ion Superoksida
O2•¯
Hidroksil
OH•
Peroksil
ROO•
Alkoksil
RO•
Nitrit Oksida
NO•
NONRADIKAL OKSIGEN
Hidrogen Peroksida
H2O2
Peroksida organik
ROOH
Asam Hipoklorit
HOCL
Ozon
O3
Aldehid
HCOR
Singlet Oksigen
1
Peroksinitrit
ONOOH
O2
Molekul oksigen memiliki kofigurasi elektron yang unik dan molekul ini sendiri
merupakan bi-radikal karena memiliki 2 elektron tidak berpasangan pada 2 orbit yang
berbeda. (Kohen, 2002). Penambahan satu elektron pada dioksigen akan membentuk
radikal superoksid (O2•¯ ). Peningkatan anion superoksida terjadi melalui proses
metabolik atau setelah aktivasi oksigen oleh radiasi (ROS primer) dan dapat bereaksi
dengan molekul lain untuk membentuk ROS sekunder baik secara langsung maupun
melalui proses enzimatik atau katalisis metal (Valko, Morris, dkk 2005).
Organisme harus menghadapi dan mengontrol adanya prooksidan dan antioksidan
secara terus menerus. Keseimbangan kedua faktor ini yang dikenal dengan nama redoks
potensial, bersifat spesifik untuk tiap organel dan lokasi biologis. Hal-hal yang
mempengaruhi kesimbangan ke arah manapun menimbulkan efek buruk terhadap sel
dan organisme. Perubahan keseimbangan ke arah peningkatan pro-oksidan yang disebut
stress oksidatif akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Perubahan keseimbangan ke
arah peningkatan kekuatan reduksi atau antioksidan juga akan menimbulkan kerusakan
yang disebut stress reduktif (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Pengaruh keseimbangan Oksidan dan Reduktan.
Sumber : Kohen (2002)
Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat singkat, karena setelah terbentuk,
komponen ini segera bereaksi dengan molekul lain. Waktu paruh ROS dipengaruhi oleh
lingkungan fisiologisnya, seperti pH dan adanya spesies lain. Toksisitasnya tidak selalu
sejalan dengan reaktivitas ROS. Pada umumnya, waktu paruh yang panjang dapat
mengakibatkan toksisitas yang lebih besar karena memiliki waktu yang cukup untuk
berdifusi dan mencapai lokasi yang sensitif, kemudian ROS yang terbentuk akan
berinteraksi dan menyebabkan kerusakan di tempat yang jauh dari tempat produksinya.
Sebaliknya, ROS yang sangat reaktif dengan waktu paruh yang pendek, misalnya OH •,
menyebabkan kerusakan langsung di tempat produksinya. Jika tidak ada target biologis
penting di sekitar tempat produksinya, radikal tidak akan menyebabkan kerusakan
oksidatif. Untuk mencegah interaksi antara radikal dan target biologisnya, antioksidan
harus ada di lokasi produksi untuk bersaing dengan radikal dan berikatan dengan bahan
biologis.
Pada pH fisiologis, superoksid ditemukan dalam bentuk ion superoksid (O2•¯)
sedangkan pada pH rendah ditemukan sebagai hidroperoksil (HO2). Hidroperoksil lebih
mudah berpenetrasi ke dalam membran biologis. Dalam keadaan hidrofilik, kedua
substrat tersebut dapat berperan sebagai bahan pereduksi, namun kemampuan reduksi
HO2 lebih tinggi. Dalam larutan organik, kelarutan O2•¯ lebih tinggi dan kemampuannya
sebagai pereduksi meningkat. Reaksi terpenting dari radikal superoksid adalah
dismutasi, dimana 2 radikal superoksid akan membentuk H2O2 dan O2 dengan bantuan
enzim superoksid dismutase maupun secara spontan (Kohen, 2002).
Hasil dari dismutasi superoksid adalah H2O2. Selain itu, ada juga enzim yang dapat
memproduksi H2O2 secara langsung maupun tidak langsung. H2O2 dapat menyebabkan
kerusakan sel pada konsentrasi yang rendah (10µM), karena mudah larut dalam air dan
mudah melakukan penetrasi ke dalam membran biologis. Efek buruk kimiawinya dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu efek langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak
langsung, akibat bahan lain yang dihasilkan dari H2O2, seperti OH• dan HClO. Efek
langsung H2O2 seperti degradasi protein Haem, pelepasan besi, inaktivasi enzim, lipid,
kelompok -SH dan asam keto (Kohen, 2002).
Radikal hidroksil memiliki reaktivitas yang sangat tinggi (107-109 m-1s-1), waktu
paruh yang singkat dan daya ikat yang sangat besar terhadap molekul organik maupun
anorganik, termasuk DNA, protein, lipid, asam amino, gula, dan logam. (Kohen, 2002).
Metal transisi juga merupakan radikal. Di dalam tubuh, tembaga dan besi
merupakan metal transisi yang terbanyak dan ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi.
Kedua logam ini berperan penting dalam Reaksi Fenton dan Haber-Weiss. Sebenarnya
semua ion logam yang terikat pada permukaan protein, DNA atau makromolekul lain
dapat berpartisipasi dalam reaksi ini. Logam yang tersembunyi di dalam protein, seperti
dalam catalytic sites dan sitokrom atau kompleks simpanan tidak terpapar oksigen atau
tetap berada dalam keadaan oksidasi sehingga tidak berperan dalam reaksi ini. Dalam
reaksi Fenton, Ion Ferro (Fe+2) bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) membentuk
ion ferri (Fe+3) dan radikal hidroksil (OH•). Reaksi Haber-Weiss merupakan reaksi
antara radikal superoksid (O2•¯) dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang kemudian
menghasilkan oksigen (O2) dan radikal hidroksil(OH•). Adanya logam transisi inilah
yang dapat menerangkan mekanisme kerusakan in vivo yang ditimbulkan oleh radikal
hidroksil (Kohen, 2002).
Sel terpapar reaktif oksigen spesies dari sumber eksogen dan endogen. Radiasi sinar
gamma, ultraviolet, makanan, obat-obatan, polutan, xenobiotik dan toxin merupakan
contoh sumber eksogen. Sedangkan yang lebih penting, adalah sumber endogen seperti
sel netrofil pada proses infeksi, enzim yang memproduksi ROS secara langsung (seperti
NO synthase) maupun tidak langsung (seperti xanthin oxidase), metabolisme sel
(mitokondria) dan penyakit tertentu (misalnya proses iskemik) (Kohen, 2002).
2.5 Mekanisme Pertahanan Terhadap Stress Oksidatif
Sel yang terpapar stress oksidatif secara terus menerus, juga memiliki berbagai
mekanisme pertahanan agar dapat bertahan hidup (Gambar 2.4)
Gambar 2.4 Klasifikasi mekanisme pertahanan antioksidan seluler.
Sumber : Kohen (2002)
Gambar 2.5 Jalur Pembentukan ROS, proses peroxidasi lipid dan peran glutathione
(GSH) dan antioksidan lain (Vitamin E, C, asam lipoat) dalam mengatasi
stress oksidatif.
Sumber : Valko (2007).
Mekanisme pertahanan terpenting adalah dari antioksidan enzimatik dan low
molecular weight antioxidant (LMWA). Antioksidan enzimatik ada yang bekerja secara
langsung, misalnya superoksid dismutase (SOD), glutathione peroxidase (GPx) dan
Katalase (CAT) dan ada yang berupa enzim tambahan, seperti (G6PD) dan xanthin
oxidase. Sedangkan yang termasuk kelompok LMWA misalnya glutathione, asam urat,
-tokoferol, asam askorbat, karotenoid dan masih banyak lagi bahan-bahan lainnya
(Biri, 2006). Beberapa jalur pembentukan ROS dan peran antioksidan digambarkan
dalam Gambar 2.4 (Kohen, 2002)
2.5.1 Superoksid Dismutase
Superoksid Dismutase (SOD) (E.C.1.15.1.1) merupakan enzim yang mengkatalisis
radikal superoksid menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Terdapat beberapa jenis
SOD, seperti Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) yang terdapat di dalam sitosol terutama
di lisosom dan nukleus, manganese-SOD (Mn-SOD) yang terdapat di dalam
mitokondria, ekstraseluler SOD (EC-SOD) dan besi-SOD
(Fe-SOD) yang hanya
ditemukan pada tumbuhan (Cemelli, 2009). Radikal superoksid dapat mengalami
dismutasi secara spontan maupun dengan bantuan SOD membentuk H2O2. Dengan
adanya SOD, kecepatan dismutasi meningkat lebih dari 1000 kali lipat dibandingkan
dismutasi spontan (Miwa, 2008).
2.5.2 Katalase
Katalase (CAT) (E.C.1.11.1.6) ditemukan pada hampir seluruh organ tubuh, namun
terutama terkonsentrasi di hati. Di dalam sel, katalase ditemukan di dalam peroksisom.
Fungsinya untuk mengkatalisis H2O2 menjadi H2O dan O2. Kapasitas reduksi katalase
tinggi pada suasana H2O2 konsentrasi tinggi, sedangkan pada konsentrasi rendah
kapasitasnya menurun (Cemeli, 2009 dan Miwa, 2008). Hal ini disebabkan karena
katalase memerlukan reaksi dua molekul H2O2 dalam proses reduksinya, sehingga hal
ini lebih jarang ditemukan pada konsentrasi substrat rendah(Cemeli, 2009). Pada
konsentrasi H2O2 rendah seperti yang dihasilkan dari proses metabolisme normal,
peroxiredoksin (PRX) (E.C.1.11.1.15) yang berfungsi untuk mengikat H2O2 dan
mengubahnya menjadi oksigen dan air (Miwa, 2008). Reaksi pemecahan hidrogen
peroksida dan hidroperoksida organik secara enzimatik digambarkan dalam Gambar
1.5. (Day, 2009).
Gambar 2.6. Penangkapan endogen peroksida seluler.
Sumber : Day (2009)
2.5.3 Glutathione Peroxidase
Glutathione peroxidase (GPx) merupakan seleno-enzim yang pertama kali
ditemukan pada mamalia (Toppo, 2009). Kadarnya tinggi pada ginjal, liver, dan darah,
sedang pada lensa dan eritrosit, dan rendah pada alveoli dan plasma darah (Cemeli,
2009). Enzim ini memerlukan glutathione sebagai donor substrat untuk mengikat H2O2
maupun hidroperoksida organik (ROOH) untuk menghasilkan glutathione disulphide
(GSSG), air dan bentuk hidroksi dari bahan organik tersebut (ROH) (Gambar 2.5.).
Namun, kini ditemukan bahwa, substrat lain, seperti thioredoxin, glutaredoxin dan
protein lain dengan motif CXXC juga dapat dipergunakan oleh glutathione peroxidase
untuk mengikat hidrogen peroksida (Toppo, 2009). Pada manusia, saat ini telah dikenal
8 macam GPx, mulai dari GPx 1 hingga GPx 8. Sebagian besar merupakan
selenoprotein (GPx 1, GPx 2, GPx 3, GPx 4, dan GPx 6), sedangkan pada GPx 5, GPx 7
dan GPx 8, tempat aktif residu selenocysteine diganti dengan cysteine. Fungsi dari
masing-masing GPx ini belum sepenuhnya diketahui. (Toppo, 2009). Gambar Struktur
kristal GPx disajikan pada Gambar 2.8.
Gpx3
Gpx5
Gpx 8
Gpx 7
Gambar 2.7 Struktur Kristal Glutathione peroxidase (GPx)
Sumber : NCBI (2010)
Glutathione peroxidase 1 (E.C.1.11.1.9) merupakan glutathione peroxidase yang
pada mulanya dikenal sebagai enzim eritrosit yang secara spesifik mereduksi H2O2 oleh
GSH (Mills, 1957), namun belakangan diketahui bahwa enzim ini dapat mereduksi
berbagai macam hidroperoksida organik termasuk hidroperoksida lipid. Namun,
sebelum bereaksi dengan gpx1, hidroperoksida lipid harus terlarut terlebih dahulu,
dengan cara bereaksi dengan phospholipase A2. Kompleks hidroperoksida lipid yang
lain, seperti phosphatidylcholine hydroperoxida (PC-OOH) yang cenderung membentuk
vesikel dalam larutan, bukan merupakan substrat GPx 1. Thioredoxin secara terpisah,
juga dilaporkan sebagai substrat donor GPx1 (Toppo, 2009). Enzim ini terdiri dari 201
asam amino, strukturnya berupa homotetramer, dan terdapat dalam sitoplasma
(Peroxibase). Kromosom yang mengatur ekspresinya adalah kromosom 3 (3p.21.3).
Gambar 2.8 Glutathione peroxidase pada sitosol.
Sumber : Bio Chemical (2008)
Glutathione peroxidase 2 (E.C.1.11.1.9), dikenal sebagai glutathione peroxidase
gastrointestinal, diekspresikan pada seluruh saluran pencernaan, termasuk pada epitel
squamous esofagus, juga terdeteksi di hati (Flohe, 2009), tidak ditemukan di jantung
dan ginjal (Peroxibase, 2010). Ekspresinya tinggi pada pada dasar kripta usus kecil dan
kolon dimana terdapat proliferasi stem sel, semakin ke permukaan villi konsentrasinya
menurun. Perbedaan konsentrasi ini diperkirakan untuk mengatur apoptosis fisiologis
yang dipicu oleh H2O2 (Toppo, 2009). Strukturnya berupa homotetramer, terdiri dari
190 asam amino (Peroxibase, 2010). Kromosom 14 (14q24.1)
terlibat dalam
pengaturan ekspresi GPx 2.
Glutathione peroxidase 3 (E.C.1.11.1.9), merupakan enzim ekstraseluler yang
terutama disintesa oleh tubulus proksimal ginjal (Avissar, 1994). GPx 3 dapat
ditemukan pada cairan ekstraseluler, seperti plasma darah, cairan bola mata, lumen
koloid tiroid, maupun cairan amnion. Dalam bentuk transkripsi, juga terdeteksi pada sel
epitel tuba fallopii (Flohe, 2009). GPx 3 mampu mereduksi phosphatidylcholine
hydroperoxida (PC-OOH) dengan kecepatan konstan, namun 2 kali lebih lambat
daripada kemampuan GPx 4. Sebagai substrat donor, GPx 3 terutama mengunakan
glutathione, namun glutaredoxine dan thioredoxine juga dapat bereaksi dengan GPx 3,
namun dengan kecepatan yang rendah (Toppo, 2009). Strukturnya
berupa
homotetramer dan terdiri dari 226 asam amino (Peroxibase, 2010). Pengaturan
ekspresinya oleh kromosom 5 (5q32) (Yoshimura, 1994). Hubungan antara penurunan
aktivitas GPx 3 dengan trombosis arteri, gambaran klinis strok iskemik, dan penyakit
arteri koroner membuktikan bahwa enzim ini penting untuk menjaga homeostasis
vaskuler (Bierl, 2004). Kadar GPx plasma berhubungan dengan kadar Selenium plasma
(Jacobson, 2006).
Glutathione
peroxidase
4
(E.C.1.11.1.12)
merupakan
satu-satunya
enzim
antioksidan yang secara langsung mereduksi fosfolipid hidroperoksida diantara
membran dan lipoprotein. Jika GPx 1-3 berupa homotetramer, GPx 4 ini berupa
monomer, sehingga mempermudah reaksinya dengan lipid (Flohe, 2009). Pada tikus,
inaktivasi gen yang mengekspresikan GPx 4 menyebabkan kematian (Imai dkk, 2003
dan Toppo, 2009). GPx 4 dapat ditemukan pada sitosol, nukleus dan mitokondria.
Messanger RNA dari ketiga bentuk ini ditranskripsikan dari gen yang sama (Flohe,
2009), yang terletak pada kromosom 19 (19p13.3). Dengan analisis RT-PCR
semikuantitatif pada tikus, Schneider (2006) menemukan bentuk sitosolik pada jaringan
embrionik dan somatik, sedangkan bentuk mitokondria dan nukleus hanya terdeteksi
pada jaringan testis. Gpx4 kurang terlibat dalam metabolisme H2O2 (Toppo, 2009).
Glutathione peroxidase 5 (E.C.1.11.1.9) dikenal dengan nama epididimal secretory
glutathione peroxidase, ditemukan pada jaringan epididimis. Fungsinya untuk
melindungi sel dan enzim dari kerusakan oksidatif pada membran lipid sperma. Enzim
ini terdiri dari 221 asam amino dan kromosom pengaturannya pada kromosom 6
(6p22.1).
Fungsi dari GPx 6, GPx 7, GPx 8 (E.C.1.11.1.9) masih belum diketahui. Ekspresi
GPx 6 atau yang dikenal dengan olfactory glutathione peroxidase dapat ditemukan pada
epitel olfaktorius dewasa dan jaringan embrio. GPx 7 (non-selenocysteine containing
phospolipid glutahione peroxidase) dapat ditemukan pada beberapa jaringan (Pappas,
2008).
2.6 Peranan ROS dan Antioksidan Pada Kehamilan Normal
Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan promotor penting dalam proses ovulasi.
Perkembangan proses Miosis I diinduksi oleh peningkatan ROS dan dihambat oleh
antioksidan (Takami et al, 1999, Kodaman dan Behrman, 2001). Sel granulosa dan
luteal berespon negatif terhadap ROS dan adanya ROS akan menghambat
perkembangan miosis II, menyebabkan berkurangnya aktivitas gonadotropin dan
steroidogenik, kerusakan DNA dan hambatan produksi ATP (Berhman dkk, 2001).
Glutathione, suatu tripeptida sulphydril non-protein, merupakan antioksidan seluler
yang berperan penting dalam maturasi oosit, terutama dalam maturasi sitoplasma yang
diperlukan untuk perkembangan pre-implantasi (Yoshida dkk, 1993; Eppig, 1996).
Adanya peningkatan produksi hormon steroid pada folikel yang sedang
berkembang, terjadi melalui peningkatan aktivitas sitokrom p450 yang kemudian akan
menghasilkan ROS seperti H2O2 (Ortega dkk, 1999). Behl dan Padency (2002) meneliti
perubahan aktivitas katalase dan estradiol pada sel granulosa folikel ovarium kambing
setelah pemberian FSH dengan dosis yang sama (200ng/ml). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan aktivitas katalase dan estrogen yang lebih tinggi pada sel granulosa yang
berukuran besar (>6mm) dibandingkan dengan ukuran sedang (3-6mm), maupun yang
kecil (< 3mm). Karena folikel dominan adalah folikel dengan konsentrasi estrogen
tertinggi, maka peningkatan katalase dan estradiol sebagai respon terhadap FSH
menunjukkan peran katalase dalam seleksi folikel dan pencegahan apoptosis (Behl dan
Pandey, 2002).
Transferin
sebagai
antioksidan
dapat
diproduksi
diluar
hepar,
termasuk
kemungkinan oleh ovarium dan dapat menghambat pembentukan radikal hidroksil
melalui reaksi Fenton (Ruder, 2008). Briggs (1999), melaporkan bahwa transferin dan
reseptornya terdistribusi secara heterogen pada sel granulosa manusia, dengan ekspresi
yang lebih besar pada folikel matur. Konsentrasi transferin pada cairan folikel hampir
sama dengan pada serum (Ruder, 2008).
Hipoksia pada sel granulosa merupakan proses normal dalam pertumbuhan folikel
ovarium (Tropea, 2006). Suasana yang rendah oksigen ini menstimulasi angiogenesis
folikel, yang sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan folikel. Gangguan
angiogenesis pada folikel ovarium akan menyebabkan atresi folikel (Greenwald, 1988).
ROS bekerja sebagai transduser sinyal (Schroedl, 2002) atau messanger intraseluler
(Pearlstein, 2002) dari respon angionenik.
Glutathione pada oosit matur tampaknya merupakan penanda biokimia terhadap
viabilitas oosit mamalia (Zuekel, 2003 dan Luberda 2005). Sampel in vitro maturation
dari hamster menunjukkan oosit terovulasi yang berhenti pada metaphase Miosis II
mengandung kadar glutathione 2 kali lipat dari oosit imatur (Zuekel, 2003).
Zuekel (1997) dalam eksperimen terhadap oosit Miosis II hamster yang diberi
paparan terhadap diamide, suatu oksidan yang relatif spesifik terhadap glutathione,
membuktikan bahwa oosit yang terpapar 50 mm (bukan 25mm) diamide sebelum IVF
menunjukkan pronukleus yang abnormal. Sehingga, paparan oksidatif stress sebelum
fertilisasi dapat mengganggu meiotic spindle dan meningkatkan risiko terbentuknya
zygot yang abnormal. Aktivitas ROS yang dihasilkan selama fusi gamet dihambat oleh
peningkatan produksi antioksidan, terutama SOD (Miesel dkk, 1993). Dalam Tabel 2.2.
Disajikan beberapa penelitian pada hewan dan manusia mengenai peran ROS dan enzim
antioksidan terhadap proses reproduksi.
Pada percobaan in vitro terhadap kultur embrio babi dari oosit yang diaktifkan
secara parthenogenesis kemudian diberi paparan oksigen 5% dan 20%, Takashi (2006)
menyimpulkan bahwa pengaruh stress oksidatif terhadap perkembangan embryo akibat
oksigen konsentrasi tinggi tergantung dari tingkat perkembangan embrio tersebut. Pada
stadium awal embrio lebih sensitif dan peningkatan konsentrasi oksigen ini
berhubungan dengan peningkatan pembentukan radikal bebas oksigen intraseluler dan
kerusakan DNA.
Tabel 2.2. Peran Fisiologis ROS dan enzim antioksidan dalam proses reproduksi
wanita dan hasil konsepsi pada berbagai spesies mammalia.
Sumber : Al-Gubory, 2010.
Penelitian Jauniaux (2003) membuktikan suatu pemahaman baru mengenai
hubungan materno-fetal pada trimester pertama, menunjukkan bahwa plasenta berfungsi
sebagai pembatas suplai oksigen selama organogenesis (Gambar 2.7). Walaupun fetus
telah mulai berimplantasi ke dalam endometrium sejak 6-7 hari setelah fertilisasi dan
berimplantasi lengkap pada hari ke-10 (Cunningham, 2010), namun aliran darah yang
cukup tidak terjadi hingga akhir trimester pertama, sekitar minggu ke-10 (John, 2006).
Tekanan parsial oksigen (PO2) intraplasenta 2-3 kali lebih rendah pada minggu ke 8-10
dibandingkan dengan setelah minggu ke-12. Jadi, hingga akhir trimester pertama, fetus
berkembang dalam suasana hipoksia fisiologis untuk melindungi dirinya dari efek buruk
dan efek teratogenik dari radikal bebas oksigen (Jauniaux, 2000), serta untuk menjaga
stem sel agar tetap dalam keadaan pluripotent penuh (Ezashi, 2005).
Gambar 2.9 Diagram sistem penyaluran oksigen pada orang dewasa dan jaringan
embrionik. Sistem penyaluran oksigen pada tubuh orang dewasa menjaga
agar sel tidak terpapar oksigen konsentrasi penuh dan stress oksidatif yang
berlebihan (kiri); sumbatan arteri spiralis maternal dan adanya exocoelomic
cavity (kanan) mengurangi karier oksigen, dan berperan sebagai mekanisme
perlindungan yang sama pada jaringan embrionik selama trimester pertama.
Sumber : Jauniaux (2006)
Pembentukan sistem vaskular uteroplasenta dimulai dari invasi desidua maternal
oleh extravillous cytotrophoblast. Hal ini terdiri dari 2 proses berurutan dan
keberhasilan dari kedua proses ini akan mempengaruhi luaran kehamilan. Proses yang
terjadi pertama kali adalah extravillous cytotrophoblast menutupi dinding luar kapiler
tropoblast dan asrteri spiralis cabang intra-endometrium, sehingga membetuk tudung
pada pembuluh darah tersebut. Sumbatan ini berfungsi sebagai filter yang
memperbolehkan plasma untuk berdifusi ke arah intervillous space. Invasi ini terjadi
sekitar pada minggu ke 5 hingga 8. Pada minggu ke 8 hingga ke 13, sumbatan ini akan
terlepas perlahan-lahan (Gambar 2.8). Kemudian terjadi proses invasi tropoblast yang
kedua terhadap srteri spiralis intramiometrial (pada minggu ke 13 hingga 18) (Merviel,
2009).
Gambar 2.10 Diagram gestasional sac (GS) pada akhir bulan kedua. M:miometrium ;
D:desidua ; P:plasenta ; ECC:exo-coelomic cavity ; AC:amniotic cavity ;
SYS:secondary yolk sac.
Sumber : Jauniaux (2006)
2.7 Abortus Sebagai Keadaan Stress Oksidatif
Dengan
perkembangan
penelitian
terhadap
plasenta,
muncul
teori
yang
menghubungkan stress oksidatif yang terjadi pada saat proses plasentasi dengan
patofisiologi terjadinya abortus. Menurut Jauniaux (2005), abortus spontan merupakan
gangguan plasentasi dan perubahan-perubahan villi yang tampak bukanlah penyebab
namun merupakan konsekuensi dari gangguan plasentasi tersebut. Pada sekitar dua per
tiga abortus pada trimester pertama, dapat ditemukan kelainan anatomis dari gangguan
plasentasi yang terutama berupa pelindung tropoblast yang lebih tipis atau
terfragmentasi, invasi sitotropoblast ke dalam endometrium yang lebih sedikit, dan
penutupan lumen pada ujung arteri spiralis yang tidak lengkap. Hal ini menyebabkan
hilangnya perubahan fisiologis plasenta yang seharusnya terjadi, sehingga timbul onset
prematur dari sirkulasi maternal pada seluruh permukaan plasenta. Terlepas dari
penyebab terjadinya abortus, peningkatan aliran darah maternal ke ruang intervillus
menyebabkan 2 perubahan, yaitu : 1. efek mekanis langsung terhadap jaringan villi
sehingga menjadi rusak secara progresif, 2. perluasan kerusakan tropoblast yang secara
tidak langsung dimediasi oleh radikal superoksid dan peningkatan apoptosis (Kokawa
dkk, 1998; Hempstock dkk, 2003 dan Jauniaux dkk, 2003). Akibat dari proses tersebut,
terjadi degenerasi plasenta dengan hilangnya seluruh fungsi sinsisiotrophoblast dan
pelepasan plasenta dari dinding uterus (Jauniaux, 2006).
Gambar 2.11 Diagram yang menggambarkan proses plasentasi pada kehamilan
normal trimester pertama (A) dan abortus spontan (B).
Sumber : John (2006)
Wanita yang memiliki kadar enzim antioksidan yang lebih tinggi lebih jarang
mengalami abortus spontan (Jauniaux, 2006). Hal ini menekankan pentingnya faktor
genetik yang berhubungan dengan kemampuan antioksidan endogen untuk melawan
efek negatif dari stress oksidatif (Ornoy, 2007).
Gambar 2.12 Fotomikrograf villi. Dengan pembesaran yang sama villi dari (a) bagian
sentral plasenta pada UK 8,5 minggu, (b) chorion laeve dari plasenta
yang sama, (c) missed abortus UK 10 minggu dengan kromosom 46XY
dan (d) missed abortus UK 10 minggu dengan kromosom 47XX+18.
Pada (c) dan (d) plasenta telah tertinggal di dalam uterus selama 3-4
minggu setelah kematian janin sebelum evakuasi dan terdapat bukti USG
adanya aliran darah intervillous yang deras. Pada (a) tampak lapisan
tropoblas dengan ketebalan normal, inti stroma seluler dan kapiler fetus
(tanda panah), demana pada (b-d) tropoblas tipis dan intinya relatif
aseluler dan villi tampak avaskuler. Sumber : Jauniaux (2005).
Fetal genotype
Maternal immune system
Extravillous trophoblast
invasion of endometrium
Endometrial environment
Unplugging of arteries and onset of
maternal circulation
Maternal diet
Rise in intraplacental
oxygen tension
Metabolic disorder
Mitochondrial dysfunction
Drugs
Parental
genotype
SYNCYTIOTROPHOBLASTIC
OXIDATIVE STRESS
Degeneration of
syncytiotrophoblat
Early pregnancy failure
Gambar 2.13 Diagram asal mula stress oksidatif dan kemungkinan efek
stress
oksidatif sinsisiotropoblas. Sumber : Jauniaux (2000)
2.8 Glutathione Peroxidase (Gpx) pada Abortus
Mekanisme pengaruh glutahione peroxidase terhadap terjadinya abortus secara
spesifik belum dapat diterangkan dengan pasti. Namun penelitian terhadap tikus,
inaktivasi gen yang mengekspresikan GPx 4 menyebabkan kematian (Imai dkk, 2003
dan Toppo, 2009).
Beberapa penelitian mengenai kadar glutathione peroxidase pada abortus dan
kehamilan disajikan pada Tabel 2.2. Zachara (2001) dan Mishra (2003) menemukan
penurunan kadar Glutathione peroxidase eritrosit dan plasma pada abortus spontan.
Sedangkan Ozkaya (2008) menemukan bahwa kadar GPx eritrosit pada abortus dengan
perdarahan tidak berbeda dibandingkan dengan kehamilan normal. Pada abortus
habitualis, Simsek (1998) menemukan bahwa kadar GPx plasma tidak berbeda
bermakna dengan hamil normal. Pada kehamilan normal, Jauniaux (2000) menemukan
kadar glutathione peroxidase jaringan plasenta pada trimester I berkorelasi positif
terhadap umur kehamilan, sedangkan, Hung (2010) menemukan penurunan kadar GPx
eritrosit pada umur kehamilan 15-20 minggu dibandingkan 6-8 minggu, kemudian
meningkat secara signifikan pada 26-30 minggu dan mencapai puncak pada saat aterm.
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Reactive Oxygen Species (ROS) berasal dari metabolisme embrio dan dari
lingkungan sekitarnya. Produksi ROS yang berlebihan akan merusak embrio,
menyebabkan kelainan lingkungan intraseluler dan mengganggu metabolisme. Anion
superoxide, hydrogen peroxide, dan radical hydroxyl mengakibatkan efek yang
merugikan bagi fetus. Stres oksidatif dapat dihasilkan oleh spermatozoa, lekosit, dan
oleh beberapa kejadian seperti aktivasi oosit yang dimediasi sperma dan aktivasi genom
embrio. Pembentukan ROS bisa merupakan hasil fosforilasi oksidatif yang terjadi di
mitokondria. Elektron bebas keluar dari rantai transport elektron di membran dalam
mitokondria. Elektron-elektron ditransfer ke molekul oksigen, menghasilkan muatan
elektron yang tidak berpasangan pada orbitnya. Hal ini menyebabkan terbentuknya
molekul superoxide. ROS yang berlebihan pada akhirnya akan merusak lingkungan
seluler dan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel dari embrio atau
menyebabkan apoptosis sel.
Spesies Oksigen Reaktif (ROS)
Tidak stres oksidatif
Glutathione peroxidase
Stres oksidatif
 Kerusakan DNA
 Mutasi gen
Sel Normal
Kerusakan sel
Apoptosis
Kehamilan normal
Nekrosis
Blighted ovum
Bagan 3.1. Kerangka Konsep
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat perbedaan kadar rerata serum
glutathione peroxidase (GPx) pada blighted ovum dan kehamilan normal.
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi cross
sectional analitik.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
4.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Bersalin IRD dan Poliklinik Kebidanan dan
Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar.
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan April 2011 sampai jumlah sampel tercapai.
4.3 Populasi PeneIitian
Populasi penelitian adalah semua ibu hamil yang datang ke Ruang Bersalin IRD
dan Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar dengan
diagnosis blighted ovum dan hamil muda normal dengan umur kehamilan < 12 minggu.
4.4 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah semua ibu hamil yang datang ke Ruang Bersalin IRD
dan Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar dengan
diagnosis blighted ovum dan hamil muda normal dengan umur kehamilan
< 12
minggu yang memenuhi kriteria inklusi.
4.4.1 Kriteria Inklusi :
1.
Ibu hamil dengan usia kehamilan < 12 minggu mengalami blighted
ovum yang datang ke IRD & Poliklinik Obstetri dan Ginekologi
RSUP Sanglah Denpasar.
2. Bersedia ikut penelitian
4.4.2 Kriteria Eksklusi :
1.
Mola hidatidosa
2.
Hamil muda dengan mioma uterus
3.
Hamil muda dengan kelainan uterus
4.4.3 Penghitungan Besar Sampel
Jumlah
sampel
(Sudigdo,2010)
ditentukan
berdasarkan
asumsi
Simpang baku kedua kelompok, S (Zachara,2001) sebesar 30. Perbedaan
klinis yang diinginkan, x1-x2 sebesar 20. Kesalahan tipe I, α (Zα = 1,96).
Kesalahan tipe II, β (Zβ = 0,842).
(Zα + Zβ)S
2
n=2
(X1-X2)
Berdasarkan perhitungan rumus sampel diatas, didapatkan jumlah sebesar 36
sampel. Cadangan 20% jumlah sampel untuk mengantisipasi drop out sebanyak
7 sampel. Jadi jumlah sampel penelitian sebesar 42 sampel.
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1
Variabel bebas : Kadar glutathione peroxidase (GPx)
4.5.2 Variabel tergantung : blighted ovum
4.5.3 Variabel terkontrol : Umur ibu, umur kehamilan, paritas
4.6 Definisi Operasional Variabel
1. Kadar serum glutathione peroxidase (GPx) adalah kadar GPx darah sampel
penelitian yang diambil dari vena cubiti sebanyak 3 cc. Pemeriksaan dilakukan
berdasarkan metode ELISA dengan BioVision Glutathione peroxidase Assay Kit
yang diperiksa oleh Spesialis Patologi Klinik RSUP Sanglah Denpasar.
2. Blighted ovum adalah kehamilan trimester pertama, tanpa adanya gambaran embrio
atau fetal pole, dan yolk sac di dalam kantung gestasi dengan diameter 1,5 cm atau
lebih pada pemeriksaan USG transvaginal, atau dengan volume kantung gestasi 2,5
mL atau lebih pada pemeriksaan USG abdominal 2 dimensi.
3. Umur ibu merupakan umur ibu hamil yang dihitung dari tanggal lahir atau yang
tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).
4. Umur kehamilan merupakan umur kehamilan yang dihitung dari hari pertama haid
terakhir (HPHT), dan atau berdasarkan hasil pemeriksaaan USG dengan menghitung
crown rump length yang dilakukan sebelum umur kehamilan 12 minggu.
5. Paritas adalah jumlah anak lahir hidup yang dialami oleh ibu hamil sebelum
kehamilan yang sekarang.
6. Hamil normal adalah kehamilan kurang dari 12 minggu dimana dijumpai adanya
kantong gestasi pada umur kehamilan lima minggu dengan fetal pole setelah
kehamilan 6 minggu, fetal movement dan fetal heart beat setelah umur kehamilan 7
minggu dengan USG oleh supervisor.
7. Ibu hamil muda kurang dari 12 minggu dengan mioma uteri adalah ibu hamil muda
< 12 minggu ditandai dengan tinggi fundus uteri lebih besar dari umur kehamilan
dan dibuktikan dengan adanya kantong gestasi pada umur kehamilan lima minggu,
fetal heart beat setelah umur kehamilan 7 minggu dan disertai whorl like appearance
pada pemeriksaan USG oleh supervisor.
8. Kehamilan molahidatidosa adalah kehamilan yang tropoblasnya mengalami
kegagalan plasentasi dan mengakibatkan vili menggelembung menyerupai buah
anggur yang ditandai dengan adanya gejala klinis umur kehamilan < 12 minggu
berupa: riwayat amenore, perdarahan pervaginam atau tidak, disertai keluarnya
gelembung mola atau tidak, dengan besar uterus lebih besar dari umur kehamilan,
tidak ditemukan ballotement dan detak jantung, dengan pemeriksaan USG oleh
supervisor ditemukan adanya adanya vesikel di dalam rongga uterus.
9. Kehamilan muda < 12 minggu dengan kelainan uterus adalah kehamilan muda
kurang dari 12 minggu disertai dengan kelainan bawaan pada uterus berupa uterus
didelphys yaitu dua buah uterus terpisah sama sekali disertai dua serviks uteri
dengan sebuah septum vertikal pada bagian atas vagina, yang ditemukan pada
pemeriksaan inspikuio dan dibuktikan dengan USG oleh supervisor dimana tampak
2 buah uterus yang terpisah.
4.7 Bahan Penelitian
Bahan penelitian berupa BioVision glutathione peroxidase Assay Kit untuk 100
reaksi. Bahan tersebut akan dipesan dari Distributor BioVision di Surabaya
setelah sampel terkumpul 50%, hal ini dikarenakan masa expired kit tersebut
hanya 6 bulan dari jangka waktu produksi. Kit disimpan pada suhu
-20°C dan
tidak boleh terkena cahaya langsung. Sebelum digunakan, buffer penelitian harus
dihangatkan hingga suhu kamar. Larutan campuran GPx dan kontrol GPx positif
harus disimpan di dalam suhu di bawah -80°C selama pemeriksaan. Setelah
bahan dicampurkan, larutan stabil pada suhu selama minimal 1 minggu pada 4°C
dan 1 bulan pada suhu -20°C.
4.8 Alat Pengumpul Data
Alai-alat pengumpul data meliputi :
1.
Lembar status pasien
2.
Timbangan berat badan
3.
Alat pengukur tinggi badan
4.
Tensimeter
5.
Spuit disposibel 3 cc
6.
Tabung pemeriksaan darah
7.
Lembar pengumpul data
4.9 Alur Penelitian
Ibu-ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi seperti yang
disebutkan di atas dimasukkan dalam sampel blighted ovum dan sampel kehamilan
normal kemudian diminta untuk menandatangani formulir yang telah disediakan.
Selanjutnya semua sampel penelitian dikelola sesuai dengan Pedoman Terapi Lab/SMF
Obstetri dan Ginekologi FK Udayana / RSUP Sanglah Denpasar.
Langkah-langkah yang dilakukan pada sampel adalah:
1. Anamnesis meliputi nama, umur, paritas, hari pertama haid terakhir, berat badan
sebelum hamil, penambahan berat badan selama kehamilan dan riwayat
sebelumnya.
2. Pemeriksaan fisik meliputi kesadaran, berat badan dan tinggi badan, tekanan darah
dan pemeriksaan tes kehamilan, dan USG sesuai prosedur tetap.
3. Ibu hamil yang memenuhi kriteria sebagai blighted ovum dan hamil normal diambil
darah sebanyak 3 cc untuk kadar GPx. Sampel darah kemudian diberi label identitas
sesuai nomor urut kelompok sampel. Selanjutnya sampel darah disimpan pada suhu
-80°C hingga terkumpul seluruh sampel penelitian. Pengerjaan seluruh sampel akan
dikerjakan bersamaan setelah jumlah sampel terpenuhi.
Ibu hamil Yang Datang Ke
Poliklinik Dan VK IRD RSUP
Sanglah Denpasar
Populasi Terjangkau
Kriteria Eksklusi
Kriteria Inklusi
Sampel
Blighted ovum
Hamil Normal
UK ≤ 12 mgg
UK ≤ 12 mgg
Kadar GPx
Analisa Data
Bagan 4.9.Bagan Alur Peneliti
4.10 Teknik Analisa Data
Hipotesis statistik :
H₀ :
μк = μp
Ha :
μк ≠ μp
Keterangan :
μк = Rerata kadar serum glutathione peroxidase pada kehamilan normal
dengan umur kehamilan < 12 minggu
μp = Rerata kadar serum glutathione peroxidase pada blighted ovum
dengan umur kehamilan < 12 minggu.
Data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan program Statistical Package for
The Social Sciences (SPSS) for windows 16,0.
Analisa dalam penelitian ini meliputi :
1.
Data akan dianalisa secara deskriptif yang hasilnya akan disajikan dalam bentuk
tabel.
2.
Komparabilitas karakteristik blighted ovum dan kehamilan normal diuji dengan tindependent untuk variabel umur ibu, umur kehamilan, dan paritas.
3.
Perbedaan rerata kadar glutathione peroxidase diuji dengan uji t-independent.
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Selama periode penelitian, telah dikumpulkan 42 sampel darah terdiri atas 21 orang
sampel blighted ovum dan 21 orang sampel kehamilan normal.
5.1 Karakteristik Sampel
Pada studi cross sectional ini dilakukan uji beda rerata dengan menggunakan uji tindependent untuk variabel umur ibu, umur kehamilan, paritas, dan kadar serum
glutathione peroxidase (GPx). Hasil analisis disajikan pada tabel 5.1 berikut.
Tabel 5.1
Rerata umur ibu, umur kehamilan, dan paritas pada kelompok blighted ovum dan
kelompok kehamilan normal
Karakteristik
Blighted ovum
Kehamilan normal
p
n=21
n=21
Umur ibu (tahun)
27,90 (SD 6,61)
29,38 (SD 5,69)
0,443
Paritas
1,05 (SD 1,16)
1,29 (SD 1,23)
0,523
Umur Kehamilan
8,71 (SD 2,00)
8,00 (SD 1,89)
0,243
(minggu)
Pada tabel 5.1 ditunjukkan bahwa antara kelompok umur blighted ovum dan
kelompok kehamilan normal berbeda tidak bermakna (p>0,05). Demikian juga untuk
kelompok paritas dan umur kehamilan berbeda tidak bermakna (p>0,05).
5.2. Perbedaan Kadar Serum Glutathione Peroxidase Pada Kelompok Blighted
Ovum Dan Kelompok Kehamilan Normal
Untuk mengetahui perbedaan rerata kadar serum GPx pada penelitian ini
dilakukan uji t-independent. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.2.
Tabel 5.2
Perbedaan rerata kadar serum GPx pada kelompok blighted ovum dan kelompok
kehamilan normal
Kadar Serum GPx (U/gHb)
Kelompok
p
Rerata
SD
Blighted ovum
51,89
8,51
Kehamilan normal
94,94
21,66
0,001
Pada tabel 5.2 ditunjukkan bahwa rerata kadar serum GPx kelompok blighted ovum
sebesar 51,89 U/gHb (SD 8,51). Sedangkan rerata kadar serum GPx kelompok
kehamilan normal sebesar 94,94 U/gHb (SD 21,66). Di mana hasil kedua kelompok ini
berbeda secara bermakna (p<0,05).
BAB 6
PEMBAHASAN
Setelah implantasi, embrio manusia dikelilingi oleh sel-sel trofoblas proliferatif.
Kemudian trofoblas ekstravili masuk ke dalam desidua dan lapisan miometrium yang
mana akan mengelilingi dan menginvasi arteri spiralis ibu. Hal ini mengakibatkan
transformasi arteri, dengan terjadinya peningkatan diameter pembuluh dan merubah
tekanan pembuluh ke resistansi rendah, serta berkapasitansi tinggi. Maka, diasumsikan
bahwa sirkulasi intraplasenta ibu dimulai segera setelah implantasi. Beberapa bukti
ilmiah melaporkan bahwa aliran darah maternal yang signifikan belum terjadi sampai
dengan akhir trimester satu. Dengan demikian, embrio berkembang di lingkungan
oksigen yang relatif rendah dibandingkan dengan kehamilan lebih lanjut. Sel trofoblas
sangat peka terhadap stres oksidatif karena sel-sel ini demikian banyaknya dan DNA
sel tersebut rentan terhadap paparan zat yang berpotensi membahayakan. Ada
perubahan-perubahan besar dalam oksigenasi plasenta dan ekspresi enzim antioksidan
pada transisi antara trimester pertama dan kedua kehamilan. Konsentrasi oksigen
intraplasenta meningkat dari < 20 mmHg pada umur kehamilan 10 minggu menjadi >
50 mmHg pada umur kehamilan 12 minggu.
Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dengan membawa elektron yang
tidak berpasangan, yang dihasilkan di dalam sel atau karena akibat hasil dari suatu
metabolisme. Reaksi-reaksi reduktasi oksidasi pada metabolisme protein, karbohidrat,
dan lemak terjadi di dalam sel mitokondria. Kondisi ini disebut fosforilasi oksidasi,
dengan hasil akhir oksigen dan turunannya seperti superoksida dan radikal hidroksil.
Mekanisme pertahanan tubuh terhadap Reactive Oxygen Species (ROS) dengan tujuan
memberi keseimbangan dan mencegah terjadinya stres oksidatif yang merugikan.
Glutathione berfungsi mendetoksifikasi H2O2 menjadi air dan molekul-molekul oksigen
nonreaktif.
Blighted ovum sebagian besar disebabkan oleh kelainan kromosom, yaitu triploidi,
dan dapat berkembang menjadi mola hidatidosa parsial (Peter Uzelac, 2008). Pada
blighted ovum, hasil konsepsi berkembang menjadi blastokis, tetapi inner mass cell dan
pole embrionik tidak pernah terbentuk (Asim Kurjak, 2003). Radikal bebas menjadi
salah satu pemicu terjadinya kelainan kromosom ini. Radikal bebas merupakan senyawa
tidak stabil dan sangat reaktif, sehingga mengakibatkan kerusakan sel.
Onset lebih awal terjadinya aliran sirkulasi darah ibu melalui plasenta dapat
dikaitkan dengan meningkat kondisi tidak fisiologis pada produksi ROS. Terdapat bukti
baru yang meyakinkan bahwa timbulnya aliran sirkulasi darah maternal lebih awal dan
tidak terorganisasi dengan baik dan disertai defisit invasi trofoblas akan menyebabkan
preeklampsia dan abortus spontan. Jadi, mirip dengan yang dilaporkan dalam kondisi
preeklampsia, biomarker stres oksidatif diduga meningkat spontan pada abortus
sebelum usia kehamilan 10 minggu (Ozkaya, 2008).
6.1 Karakteristik Sampel
Rerata umur pada blighted ovum adalah 27,90 (SD 6,61) tahun, dan 29,38 (SD
5,69) tahun pada kehamilan normal (p>0,05), dimana secara statistik berbeda tidak
bermakna. Pada penelitian Ozkaya, dkk. (2008) di Turki, didapatkan rerata umur ibu
yang mengalami abortus spontan sebesar 25 (SD 5,1) tahun, dan 27,2 (SD 4,8) tahun
pada kehamilan normal (p>0,05). Desai dkk (2006) menemukan rerata umur ibu dengan
abortus 23,5 (SD 3,6) tahun, dan rerata kehamilan normal 23,3 (SD 5,2) tahun. Mishra
dkk (2003) di India melaporkan rerata umur ibu pada kasus abortus 29,2 (SD 6,3) tahun,
dan pada kehamilan normal rerata umur ibu adalah 27,5 (SD 4,4) tahun. Zachara dkk
(2001) di Polandia, mendapatkan rerata umur ibu dengan abortus 26,4 (SD 4,3) tahun,
dan 28,1 (SD 5,5) tahun pada kehamilan normal.
Dari hasil penelitian ini, rerata umur ibu yang mengalami blighted ovum lebih
muda dibandingkan dengan kehamilan normal. Hasil yang sama juga dilaporkan pada
penelitian Ozkaya dkk (2008), Desai (2006), dan Zachara dkk (2001). Namun Mishra
dkk (2003) mendapatkan rerata ibu dengan abortus memiliki umur yang lebih tua.
Fertilitas perempuan mulai menurun pada umur 35 tahun, dan reactive oxygen species
(ROS) memiliki peranan penting dalam penurunan produksi estrogen yang berkaitan
dengan umur, ditandai dengan kadar superoxide dismutase (SOD) dan glutathione
peroxidase (GPx) menurun pada ovarium (Gupta, 2008). Kaitan dengan umur, ROS
dapat mempengaruhi jumlah dan kualitas folikel, merusak oosit, dan meningkatkan
insiden kelainan kongenital (Agarwal, 2005). Dengan demikian, hasil rerata umur ibu
pada penelitian ini, dan beberapa penelitan lain masih tidak sesuai dengan teori yang
telah dikemukakan. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat menentukan
kebenarannya.
Rerata paritas pada penelitian ini adalah 1,05 (SD 1,16) untuk kelompok blighted
ovum, dan 1,29 (SD 1,23) untuk kelompok kehamilan normal. Di mana secara statistik
berbeda tidak bermakna (p>0,05). Hasil yang sama pada beberapa penelitian yang telah
dilakukan, yakni Ozkaya dkk.(2008) di Turki menemukan paritas ibu 2,0 (SD 1,2) untuk
kelompok abortus, dan 2,2 (SD 1,1) pada kehamilan normal. Desai dkk (2006)
mendapatkan paritas ibu dengan abortus 1,1 (SD 1,4), dan 1,8 (SD 1,15) pada
kehamilan normal. Pada penelitian Mishra dkk (2003), paritas ibu yang mengalami
abortus 1,17 (SD 1,28), dan paritas ibu dengan kehamilan normal 1,6 (SD 1,03).
Zachara dkk (2001) melaporkan paritas ibu yang mengalami abortus 1,54 (SD 1,22),
dan 1,7 (SD 1,41) pada kehamilan normal.
Sampai saat ini penulis belum mendapatkan literatur yang menyatakan paritas
berhubungan dengan kejadian abortus, atau blighted ovum. Namun, bila dikaitkan antara
umur dengan jumlah paritas, maka semakin meningkatnya jumlah paritas akan diikuti
dengan meningkatnya umur ibu. Dengan demikian, pengaruh stres oksidatif akan
meningkat pada paritas yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan umur ibu.
Rerata umur kehamilan pada penelitian ini adalah 8,71 (SD 2,00) minggu untuk
kelompok blighted ovum, dan 8,00 (SD 1,89) untuk kelompok kehamilan normal.
Secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Pada penelitian oleh Ozkaya, dkk.
(2008), rerata usia kehamilan sebesar 5,7 (SD 2,0) minggu pada kelompok abortus, dan
5,9 (SD 1,9) pada kehamilan normal. Desai dkk (2006) mendapatkan rerata usia
kehamilan pada abortus 12,8 (SD 2,3) minggu, dan 13,2 minggu pada kehamilan
normal. Di India, Mishra dkk (2003) melaporkan rerata usia kehamilan pada kelompok
abortus 9,2 (SD 2,2) minggu, dan kehamilan normal pada usia 11,4 (SD 3,1) minggu.
Zachara dkk (2001) menemukan bahwa rerata usia kehamilan pada kelompok abortus
12,5 (SD 2,6) minggu, dan 11,8 (SD 3,5) minggu pada kelompok kehamilan normal.
Pada penelitian ini rerata umur kehamilan pada kelompok blighted ovum lebih tinggi
dibandingkan dengan kehamilan normal. Namun, dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan, rerata umur kehamilan yang mengalami abortus lebih rendah. Setelah
implantasi, embrio manusia dikelilingi oleh sel-sel trofoblas proliferatif. Kemudian
trofoblas ekstravili berimplantasi ke dalam desidua dan lapisan miometrium dimana
akan mengelilingi dan menginvasi arteri spiralis ibu . Hal ini mengakibatkan
transformasi arteri, dengan merubah struktur dinding muskulo elastik, dan
meningkatkan diameter pembuluh dengan
resistansi yang rendah dan kapasitansi
pembuluh yang tinggi. Telah diasumsikan bahwa sirkulasi intraplacental terjadi segera
setelah implantasi. Sirkulasi uteroplasenta dimulai dalam 2 minggu pertama setelah
konsepsi, dengan vili korionik mulai berfungsi pada minggu ketiga. Bukti dari studi
morfologi, histeroskopi, perfusi spesimen histerektomi dengan kehamilan di situ, dan
studi USG Doppler dari awal terbentuknya plasenta menunjukkan, bahwa aliran darah
maternal yang signifikan tidak terjadi sampai akhir trimester pertama, sebelum 10
minggu usia kehamilan (Johns, 2006).
Dalam kasus kegagalan awal kehamilan, terjadinya sirkulasi intraplasental
maternal lebih awal dan tidak teratur dibandingkan dengan kehamilan normal. Dimulai
pada tahap awal, dan terjadi secara acak di seluruh plasenta. Ini mungkin dikarenakan
70% invasi ekstravili trofoblas yang dangkal, dan akibatnya penyumbatan arteri spiral
tidak sempurna (Burton, 2010). Bila terjadi stres oksidatif, maka kegagalan awal
kehamilan baik blighted ovum atau abortus terjadi pada usia kehamilan lebih dini. Dari
penelitian didapatkan hasil yang berbeda, sehingga masih diperlukan penelitian lanjutan
untuk dapat menjawab masalah ini.
6.2 Kadar Rerata Serum Glutathione Peroxidase (GPx) Pada Blighted Ovum dan
Kehamilan Normal
Pada penelitian ini diperoleh rerata kadar serum GPx pada kelompok blighted
ovum sebesar 51,89 (SD 8,51) U/gHb, lebih rendah dari kelompok kehamilan normal
sebesar 94,94 (SD 21,66) U/gHb. Pada kedua kelompok didapatkan perbedaan
bermakna secara statistik (p<0,05). Pada penelitian Ozkaya dkk (2008) kadar Gpx pada
abortus 113,8 (SD 34,2) IU/I lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan normal
119,6 (SD 27,4) IU/I. Desai dkk (2006) melaporkan kadar GPx pada kasus abortus
17,85 (SD 2,6) U/gHb lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan normal dengan
rerata GPx 20,93 (SD 2,6) U/gHb. Pada penelitian Zachara dkk (2001) kadar rerata GPx
pada kelompok abortus 15,3 (SD 2,96) U/gHb juga lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok kehamilan normal 18,4 (SD 6,0) U/gHb. Dari beberapa temuan di atas, rerata
kadar GPx pada kegagalan awal kehamilan lebih rendah dibandingkan dengan
kehamilan normal. Ini terjadi oleh karena ketidak seimbangan antara stres oksidatif
dengan oksidan yang ada. Dan oksidan ini tidak mampu menetralisis, sehingga terjadi
kerusakan sel yang berakibat pada terjadinya kegagalan awal kehamilan ini. Pada
blighted ovum sebagian besar disebabkan oleh kelainan kromosom. Apabila mekanisme
pertahanan tubuh masih baik, maka terjadi perlindungan embrio terhadap ROS dengan
tujuan memberi keseimbangan dan mencegah terjadinya stres oksidatif yang merugikan.
Stres oksidatif berperan dalam terjadinya cacat pada perkembangan embrio dan
retardasi pertumbuhan embrio yang dikaitkan dengan kerusakan membran sel DNA dan
apoptosis. Apoptosis menghasilkan embrio terfragmentasi, yang telah membatasi
kemampuan untuk implantasi dan mengakibatkan rendahnya keberhasilan fertilitasasi
(Guerin, 2001, Agarwal, 2003).
Stres oksidatif dapat timbul sebagai akibat dari berlebihan produksi ROS dan,
atau pertahanan mekanisme antioksidan terganggu. Tinjauan literatur menunjukkan
bahwa stres oksidatif memicu berbagai patologi fungsi reproduksi. Pada sistem
reproduksi laki-laki, bukti jelas menunjukkan bahwa sperma manusia dapat
menghasilkan ROS. Oleh karena itu beberapa spermatozoa akan mengalami kerusakan
oksidatif yang dapat menjelaskan cacat fungsi sperma dan dapat diamati dalam proporsi
yang tinggi pada pasien infertilitas. Sayangnya, spermatozoa tidak dapat memperbaiki
kerusakan yang disebabkan oleh ROS yang berlebihan, karena mereka tidak memiliki
sistem enzim sitoplasma diperlukan untuk mencapai perbaikan ini. Ini adalah salah satu
kondisi yang membuat spermatozoa dalam kerentanannya terhadap stres oksidatif. Stres
oksidatif menyerang fluiditas dari membran plasma sperma dan integritas DNA di
dalam inti sperma. Oksigen spesies reaktif yang menyebabkan kerusakan DNA dapat
mempercepat proses apoptosis sel, yang mengarah ke penurunan jumlah sperma yang
berhubungan dengan infertilitas laki-laki. Spesies oksigen reaktif ditemukan di cairan
peritoneum pasien dengan endometriosis dan infertilitas idiopatik, serta pada mereka
yang menjalani ligasi tuba. Namun, tingkat ROS pada pasien dengan endometriosis dan
kelompok kontrol tidak berbeda nyata, dan juga ditemukan perbedaan tidak signifikan
antara pasien dengan infertilitas idiopatik dan kontrol. Oleh karena itu, ROS mungkin
memainkan peran dalam pasien dengan infertilitas idiopatik. Dari beberapa penelitian
menunjukkan bahwa ROS yang terdapat pada cairan folikel dengan konsentrasi yang
rendah, dapat menjadi penanda potensial untuk memprediksi keberhasilan pada pasien
in vitro fertilization (IVF). Ada kecenderungan yang lebih tinggi perkembangan
blastokista dengan tingkat rendah ROS dalam cairan hidrosalping. Dengan demikian,
rendahnya ROS
dapat menjadi penanda fungsi sekretorik yang normal tuba.
Singkatnya, kecilnya jumlah fisiologis ROS memainkan peran penting dalam fungsi
reproduksi normal, sedangkan tingkat tinggi akan menyebabkan berbagai kondisi
patologis yang mempengaruhi fertilisasi manusia. Strategi pengobatan harus diarahkan
untuk menurunkan tingkat ROS dalam menjaga jumlahnya sedikit, sehingga dapat
diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel normal (Agarwal, 2003)
Glutathione peroxidase (GPx) adalah nama umum dari sebuah enzim dengan
aktivitas peroksidase dimana peran utama biologisnya adalah melindungi organisme
dari kerusakan oksidatif. Fungsi biokimia GPx adalah mengurangi lipid hidroperoksida
berhubungan dengan alkohol, dan mengurangi hidrogen peroksida bebas menjadi air
(senyawa yang tidak berbahaya). Glutathione peroksidase 1 (GPx1) adalah versi yang
paling banyak ditemukan di sitoplasma hampir semua jaringan mamalia, dengan
substratnya adalah hidrogen peroksida. Glutathione peroksidase 4 (GPx4) memiliki
preferensi tinggi pada lipid hidroperoksida, diekspresikan hampir pada setiap sel
mamalia, meskipun pada tingkat kadar yang jauh lebih rendah. Glutahtione peroksidase
2 adalah enzim usus dan enzim ekstraseluler, sementara glutathione peroksidase 3
adalah ekstraseluler, kadarnya berlimpah dalam plasma. Sejauh ini, terdapat delapan
isoform berbeda dari glutation peroksidase yang telah diketahui keberadaannya pada
tubuh manusia. Berkaitan dengan fungsi reproduksi, GPx 5 terdapat pada jaringan
epididimis, dengan fungsinya melindungi sel dan enzim dari kerusakan oksidatif pada
membran lipid sperma. Kemudian varian GPx lainnya adalah GPx 3 yang terdapat pada
sel epitel tuba falopii, sehingga kadarnya yang rendah dapat memicu stres oksidatif dan
mengganggu transportasi hasil konsepsi menuju endometrium. Embrio dapat tumbuh
dan berkembang baik dalam keadaan rendah oksigen terutama masa implantasi. Apabila
terjadi peningkatan O2 dapat memicu terbentuknya radikal bebas yang bersifat toksik
terhadap embrio terutama sinsitiotropoblas. Normalnya sel tubuh dalam keadaan aerob
menghasilkan radikal bebas sebanyak 1-5%. Pada dua pertiga kasus abortus, terdapat
bukti anatomis adanya defek pada plasentasi yang memiliki karakteristik lapisan
pelindung trofoblas yang lebih tipis maupun berfragmentasi, invasi endometrium oleh
trofoblas yang menurun dan sumbatan ujung arteri spiralis yang tidak sempurna. Hal ini
berhubungan dengan tidak adanya perubahan fisiologis pada sebagian besar arteri
spiralis dan menyebabkan onset prematus dari sirkulasi maternal pada seluruh plasenta.
Karena ROS memiliki fungsi fisiologis dan patologis, maka tubuh manusia
mengembangkan sistem pertahanan untuk memelihara konsentrasinya dalam kadar
tertentu. Sistem reproduksi wanita kaya akan antioksidan enzimatik dan non-enzimatik.
Katalase, SOD dan GPx adalah antioksidan enzimatik yang mencegah dan menjaga
keseimbangan agar ROS tidak sampai merusak molekul selular. Antioksidan nonenzimatik terdapat di folikel dan cairan tuba, yang memberikan perlindungan eksterna
pada gamet dan embrio. Antioksidan ini adalah vitamin C, vitamin E, glutathione, taurin
hipotaurin. Bilamana terjadi peningkatan konsentrasi ROS patologis dan stres oksidatif
(OS) timbul, antioksidan bekerja dengan cara mencegah formasi ROS yang dapat
menyebabkan kerusakan sel dan memperbaikinya (Agarwal, 2004).
BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Rerata kadar serum glutathione
peroxidase (GPx) pada blighted ovum adalah 51,89 (SD 8,51) U/g Hb. Rerata kadar
serum glutathione peroxidase (GPx) pada kehamilan normal adalah 94,,94 (SD 21,66)
U/g Hb.Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rerata kadar serum
glutathione peroxidase (GPx) pada blighted ovum dan kehamilan normal sebesar 43,05
U/g Hb, dimana hasil pada dua kelompok ini berbeda bermakna (p < 0,05).
7.2 Saran
Penelitian lanjutan masih diperlukan dengan memanfaatkan hasil penelitian ini
dalam upaya pencegahan terjadinya blighted ovum. Berdasarkan penelitian ini maka
perlu diberikan antioksidan eksogen pada penderita berisiko untuk mencegah terjadinya
blighted ovum, atau kegagalan kehamilan yang berulang.
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal A, Saleh RA, Bedaiwy MA 2003 Role of reactive oxygen species in the
pathophysiology of human reproduction. Fertility and Sterility 79, 829-843.
Agarwal A, Gupta S, Sharma RK 2005 Role of oxidative stress in female
reproduction. Reproductive Biology and Endocrinology 3:28.
Avissar, N., Ornt, D.B., Yagil, Y., Horowitz, S., Watkins, R.H., Kerl, E.A., Takahashi,
K., Palmer, I.S., Cohen, H.J. 1994. Human Kidney Proximal Tubules are The Main
Source of Plasma Glutathione Peroxidase. Am J Physiol 266:C367–375.
Behl, R., Pandey, R.S. 2002. FSH Induced Stimulation of Catalase Activity in Goat
Granulosa Cells In Vitro. Anim Reprod Sci, 70:215–221.
Bierl, C., Voetsch, B., Jin, R.C., Handy, D.E.,Loscalzo, J. 2004. Determinants of
Human Plasma Glutathione Peroxidase (GPx-3) Expression. The Journal Of Biological
Chemistry, 279:26839-26845.
Burton GJ, Jauniaux E, 2010. Oxidative stress. Best Practice & Research Clinical
Obstetrics and Gynaecology xxx (2010) 1-13.
Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C., Rouse, D.J., Spong, C.Y.
2010. Williams Obstetrics. Twenty third edition. The McGraw-Hill Companies.
Day, B.J., 2009. Catalase and Glutathione Peroxidase Mimics. Biochemical
Pharmacology, 77:285-296.
Desai P, Patel P, Rathod SP MA 2006. Selenium levels and glutathione peroxidase in
spontaneous inevitable abortion. The Journal of Obstetrics and Gynecology of India
Vol 56, No 4. 311-14.
Eppig, J.J. 1996. Coordination of Nuclear and Cytoplasmic Oocyte Maturation in
Eutherian Mammals. Reprod Fertil Dev, 8:485–489.
Ezashi, T., Das, P., Roberts, R.M. 2005. Low O2 Tensions and The Prevention of hES
Cells. Proc Natl Acad Sci USA, 102:4783–4788.
Flohe R.B., Kipp, A. 2009. Glutathione Peroxidase in Different Stage of
Carcinogenesis. Biochimica et Biophysica Acta, 1790:1555-1568.
Gupta S, Sekhon L, Aziz N MA 2008 The Impact of Oxidative Stress on Female
Reproduction and ART : An Evidence-Based Review. Infertility and Assisted
Reproduction 64. 178-86.
Halliwell, B., and Gutteridge, J. M. C. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine.
Third Edition. Oxford University Press.
Huang, Ying-Ti, Horng, Shang-Guo, Lee, Fa-Kung, Tseng, Ying-Tzu. 2010.
Management of Anembryonic Pregnancy Loss: An Observational Study. J Chin Med
Assoc 73 : 150-155.
Jacobson, G.A., Narkowicz, C., Tong, Y.C., Peterson, G.M. 2006. Plasma Glutathione
Peroxidase by ELISA and Relationship to Selenium Level. Clinica Chimica Acta,
369:100-103.
Jauniaux, E., Poston, L., Burton, G.J. 2006. Placental-Related Diseases of Pregnancy :
Involvement of Oxidative Stress and Implications in Human Evolution. Hum Reprod
Update 12(6):747-55.
Jauniaux, E., Watson, A.L., Hempstock, J., Bao, Y.P., Skepper, J.N., Burton, G.J. 2000.
Onset of Maternal Arterial Blood Flow and Placental Oxidative Stress- A Possible
Factor in Human Early Pregnancy Failure. American Journal Of Pathology, 157:21112122.
Johns J, Jauniaux E, Burton G, 2006. Factors affecting the early embryonic
environment. Gynaecological and Perinatal Practice 6 (2006) 199-210.
Kohen, R., Nyska, A. 2002. Oxidation of Biological System : Oxidative Stress
Phenomena, Antioxidant, Redox Reaction and Methods for Their Quantification.
Toxicologic Pathology, 30:620-650.
Kovacic, P., Jacintho, J. D. 2001. Mechanisms of Carcinogenesis: Focus On Oxidative
Stress and Electron Transfer. Curr. Med. Chem., 8, 773–796.
Kurjak, Asim. 2003. Donald School Textbook of Ultrasound in Obstetrics and
Gynecology. Parthenon Publishing. 2003. 13: 147-8.
Merviel, P., Lourdel, E., Cabry, R., Boulard, V., Brzakowski, M., Demailly, P.,
Brasseur, F., Copin, H., Devaux, A. 2009. Physiology of Human Embryonic
Implantation : Clinical Incidences. Folia Histochemica Et Cytobiologica, 47:S25-S34.
Miller, D. M., Buettner, G. R., & Aust, S. D. 1990. Transition Metals As Catalysts of
“Autoxidation” Reactions. Free Radic. Biol. Med., 8:95–108.
Mishra, P.K., Chaudhurl, J. 2003. Blood Glutathione Peroxidase and Selenium in
Abortion. Indian Journal of Clinical Biochemistry, 18(1) 96-98.
Miwa, S., Muller, F.L., and Beckman, K.B. 2008. The Basics of Oxidative
Biochemistry, Oxidative Stress in Aging From Model Systems to Human Diseases.
Humana Press.
Nicotra, M., Muttinelli, C., Sbracia, M., Rolfi, G., Passi, S. 1994. Blood Levels of
Lipids, Lipoperoxides, Vitamin E And Glutathione Peroxidase in Women With Habitual
Abortion. Gynecol Obstet Invest, 38(4):223-226.
Nybo Andersen AM, Wohlfahrt J, Christens P, Olsen J, Melbye M. Maternal age and
fetal loss: population based register linkage study. Br Med J 2000;320:1708–12.
Ornoy, A. 2007. Embryonic Oxidative Stress As A Mechanism of Teratogenesis With
Special Emphasis on Diabetic Embryopathy. Reproductive toxicology, 25:31-41.
Ortega-Camarillo, C., Guzman-Grenfell, A.M., Hicks, J.J. 1999. Oxidation Of
Gonadotrophin (Pmsg) By Oxygen Free Radicals Alters Its Structure and Hormonal
Activity. Mol Reprod Dev, 52:264–268.
Ozkaya, O., Sezik, M., Kaya, H. 2008. Serum Malondialdehyde, Erythrocyte
Glutathione Peroxidase, and Erythrocyte Superoxide Dismutase Levels in Women with
Early Spontaneous Abortion Accompanied by Vaginal Bleeding. Med Sci Monit, 14(1):
CR47-51.
Pappas, A.C., Zoidis, E., Surai, P.F., Zervas, G. 2008. Selenoproteins and Maternal
Nutrition.Comparative Biochemistry and Physiology Part B,151:361-372.
Puscheck, E.E., Pradhan, A. 2006. First Trimester Pregnancy Loss. Emedicine.
medscape, [cited 2010 Jan. 22]. Available from: http://emedicine.medscape.com
/article/266317-overview.
Ruder, E.H., Hartman, T.J., Blumberg, J., Goldman, M.B. 2008. Oxidative Stress and
Antioxidants: Exposure and Impact on Female Fertility. Hum Reprod Update, 14(4):
345–357.
Simsek, M., Naziroglu, M., Simsek, H., Cay, M., Aksakai, M., Kumru, S. 1998. Blood
Plasma Level of Lipoperoxides, Glutathione Peroxidase, Beta Carotene, Vitamin A and
E in Women With Habitual Abortion. Cell Biochem Funct, 16:227-231.
Speroff, L., Fritz, M.A. 2005. Clinical Gynecologic Endocrinology And Infertlility.
Seventh Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Sudigdo S. 2010. Dasar dasar Metodologi Penelitian Klinis. Sagung Seto. Ed 3.
16:311.
Toppo, S., Flohe, L., Ursini, F., Vanin, S., Maiorino, M. 2009 Catalytic Mechanism and
Spesificities Of Glutathione Peroxidases : Variation of A Basic Scheme. Biochimica et
Bioplysica Acta, 1790:1486-1500.
Turrentine, J.E. 2008. Clinical Protocols in Obstetrics and Gynecology. Third Edition.
Informa Health Care.
Uzelac, Peter S., Garmel, Sara H. 2008 Early Pregnancy Risks. 14:259-60.
Valko, M., Rhodes, C. J., Moncol, J., Izakovic, M., and Mazur, M. 2006. Free Radicals,
Metals and Antioxidants in Oxidative Stress-Induced Cancer. Chem. Biol. Interact,
160:1–40.
Valko, M., Morris, H., and Cronin, M. T. D. 2005. Metals, Toxicity and Oxidative
Stress. Curr. Med. Chem., 12:1161–1208.
Yoshida, M., Ishigaki, K., Nagai, T., Chikyu, M., Pursel, V.G. 1993. Glutathione
Concentration During Maturation and After Fertilization in Pig Oocytes: Relevance to
The Ability of Oocytes to Form Male Pronucleus. Biol Reprod, 49:89–94.
Zachara, B.A., Dobrzynsksi, W., Trafikowska, U., Szymanski, W. 2001. Blood
Selenium and Glutathione Peroxidase In Miscarriage. British Journal of Obstetrics and
Gynaecology, 108:244-247.
Zuelke, K.A., Jeffay, S.C., Zucker, R.M., Perreault, S.D. 2003. Glutathione (GSH)
Concentrations Vary with The Cell Cycle In Maturing Hamster Oocytes, Zygotes, and
Pre-Implantation Stage Embryos. Mol Reprod Dev, 64:106–112.
DATA PENELITIAN
Kehamilan normal
No
1 SA
Nama
Umur
38
Paritas
4
2
3
IS
WS
30
39
0
3
4
SI
26
1
5
6
7
AW
ES
NN
24
30
18
0
1
0
8
9
MO
N
24
23
0
0
10
PK
26
0
11
12
13
14
SW
JD
H
KS
22
32
33
28
1
2
1
1
15
16
17
18
SD
KK
D
EP
33
40
34
28
2
3
2
3
19
20
21
KW
MS
NS
28
31
30
0
2
1
Diagnosis
Hamil Muda (8-9mg)
Hamil Muda (1112mg)
Hamil Muda (7-8mg)
Hamil Muda (1112mg)
Hamil Muda (1011mg)
Hamil Muda (6-7mg)
Hamil Muda (5-6mg)
Hamil Muda (1112mg)
Hamil Muda (8-9mg)
Hamil Muda (1011mg)
Hamil Muda (1011mg)
Hamil Muda (8-9mg)
Hamil Muda (7-8mg)
Hamil Muda (7-8mg)
Hamil Muda (1112mg)
Hamil Muda (8-9mg)
Hamil Muda (8-9mg)
Hamil Muda (7-8mg)
Hamil Muda (1112mg)
Hamil Muda (7-8mg)
Hamil Muda (7-8mg)
Kadar GPx
115.217
103.043
74.347
115.652
74.253
102.174
110.174
110.172
108.065
114.546
102.727
88.696
144.546
116.064
84.545
76.087
76.087
72.174
71.739
66.957
65.652
Blighted ovum
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Nama
R
PP
MS
IP
KK
ES
BA
EY
SBS
AR
LS
KA
KA
NW
KI
ND
R
AS
STH
KA
OS
Umur
31
34
31
42
29
22
27
19
21
33
25
28
28
42
20
30
31
21
24
28
29
Paritas
0
2
3
2
1
1
0
0
0
2
0
0
3
3
0
2
1
0
0
2
0
Diagnosis
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Blighted Ovum
Kadar GPx
41.256
53.548
61.739
50.968
55.484
44.516
49.677
63.043
35.385
59.355
59.355
54.839
50.968
53.548
60.87
58.71
33.85
39.456
52.174
57.613
53.476
HASIL PENELITIAN
Group Statistics
KELOMPOK
UMUR
PARITAS
Mean
Std. Error
Mean
BLIGHTED OVUM
21
27.90
6.617
1.444
NORMAL
21
29.38
5.696
1.243
BLIGHTED OVUM
21
1.05
1.161
.253
NORMAL
21
1.29
1.231
.269
21
8.71
2.004
.437
21
8.00
1.897
.414
21
5.18967E
1
8.511677
1.857400
21
9.49483E
1
21.662433
4.727131
UMUR_KEHAMILA BLIGHTED OVUM
N
NORMAL
KADAR_GPX
N
Std.
Deviation
BLIGHTED OVUM
NORMAL
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality of
Variances
F
UMU Equal
R
variances
assumed
.268
Sig.
.607
Equal
variances not
assumed
PARIT Equal
AS
variances
assumed
.002
.960
Equal
variances not
assumed
UMU
R_KE
HAMI
LAN
Equal
variances
assumed
.307
Equal
variances not
assumed
KADA Equal
R_GP variances
X
assumed
Equal
variances not
assumed
26.922
.583
t-test for Equality of Means
t
.775
95%
Confidence
Std.
Sig. Mean Error Interval of the
(2- Differe Differe Difference
df tailed) nce
nce Lower Upper
40
.443 -1.476 1.905 -5.327 2.375
- 39.1
.775 34
.443 -1.476 1.905 -5.330 2.377
.645
40
.523
-.238
.369
-.984
.508
- 39.8
.645 65
.523
-.238
.369
-.984
.508
1.18
6
40
.243
.714
.602
-.503 1.931
1.18 39.8
6 82
.243
.714
.602
-.503 1.931
.000 8.47
6
40
5.0789
.000 43.051
53.316 32.786
47
619
553
685
26.0
8.47
32
6
5.0789
.000 43.051
53.490 32.612
47
619
923
315
Crosstab
KELOMPOK
BLIGHTED
OVUM
PEROKOK_PASIF
YA
Count
3
9
28.6%
14.3%
21.4%
15
18
33
71.4%
85.7%
78.6%
21
21
42
100.0%
100.0%
100.0%
Count
% within KELOMPOK
Total
Count
% within KELOMPOK
Total
6
% within KELOMPOK
TIDAK
NORMAL
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
Df
a
1
.259
.566
1
.452
1.292
1
.256
1.273
b
Asymp. Sig.
(2-sided)
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2- Exact Sig. (1sided)
sided)
.454
Linear-by-Linear
Association
1.242
N of Valid Casesb
42
1
.265
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
4.50.
b. Computed only for a 2x2 table
.227
Crosstab
KELOMPOK
BLIGHTED
OVUM
MEROKOK
YA
Count
0
1
4.8%
.0%
2.4%
20
21
41
95.2%
100.0%
97.6%
21
21
42
100.0%
100.0%
100.0%
Count
% within KELOMPOK
Total
Count
% within KELOMPOK
Total
1
% within KELOMPOK
TIDAK
NORMAL
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correctionb
Likelihood Ratio
Asymp. Sig.
(2-sided)
Df
1.024a
1
.311
.000
1
1.000
1.411
1
.235
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2- Exact Sig. (1sided)
sided)
1.000
Linear-by-Linear
Association
1.000
N of Valid Casesb
42
1
.500
.317
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .50.
b. Computed only for a 2x2 table
Crosstab
KELOMPOK
BLIGHTED NORMA
OVUM
L
Total
STATUS_EKON PENDAPATAN
OMI
<1JT/BLN
PENDAPATAN 15JT/BLN
PENDAPATAN
>5JT/BLN
Total
Count
% within
KELOMPOK
14
8
22
66.7%
38.1%
52.4%
7
12
19
33.3%
57.1%
45.2%
0
1
1
.0%
4.8%
2.4%
21
21
42
Count
% within
KELOMPOK
Count
% within
KELOMPOK
Count
% within
KELOMPOK
100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
3.952a
2
.139
Likelihood Ratio
4.375
2
.112
Linear-by-Linear Association
3.827
1
.050
Pearson Chi-Square
N of Valid Cases
42
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
.50.
Crosstab
KELOMPOK
BLIGHTED
OVUM
RIWAYAT_ABORTUS Ya
Count
18
34
76.2%
85.7%
81.0%
5
3
8
23.8%
14.3%
19.0%
21
21
42
100.0%
100.0%
100.0%
Count
% within KELOMPOK
Total
Count
% within KELOMPOK
Total
16
% within KELOMPOK
Tidak
NORMAL
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig.
(2-sided)
Df
Pearson Chi-Square
.618a
1
.432
Continuity Correctionb
.154
1
.694
Likelihood Ratio
.623
1
.430
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2- Exact Sig. (1sided)
sided)
.697
Linear-by-Linear
Association
.603
N of Valid Casesb
42
1
.348
.437
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Download