NASKAH PUBLIKASI PERILAKU COPING REMAJA DENGAN AYAH POLIGAMI Oleh: ALAWIYAH RETNO KUMOLOHADI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007 1 NASKAH PUBLIKASI PERILAKU COPING REMAJA DENGAN AYAH POLIGAMI Telah Disetujui Pada Tanggal _______________________ Dosen Pembimbing Utama (RA. Retno Kumolohadi S.Psi., Psi., M.si) 2 PERILAKU COPING REMAJA DENGAN AYAH POLIGAMI Alawiyah Retno Kumolohadi INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku coping remaja dengan ayah poligami. Pertanyaan penelitian yang diungkap adalah masalah-masalah yang di hadapi remaja, perilaku coping dan alasan yang muncul, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku yang muncul, dan dampak lanjutan dari perilaku tersebut. Subjek penelitian adalah remaja dari keluarga poligami umur 18-24 tahun, dan belum menikah. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan observasi. Hasil penelitian ini menggambarkan perilaku coping yang sering digunakan adalah berorientasi kepada emosi dengan alasan yang bervariasi pada tiap subjek. Perilaku ini muncul karena beberapa masalah utama, antara lain: kecewa terhadap ayah, tidak setuju dengan sikap ayah terhadap ibu dan anak-anak, serta merasa kurang perhatian. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah konflik internal, sikap dan perilaku ayah, dukungan keluarga dan urutan kelahiran, lingkungan tempat tinggal, kepribadian remaja, aktifitas sosial, penilaian remaja terhadap poligami ayah, dan pendidikan agama. Dampak lanjutan yang muncul antara lain adalah penerimaan terhadap poligami ayah, acuh terhadap masalah yang ada, rasa tidak percaya terhadap ayah, mind set negatif terhadap orang-orang yang berpoligami, dan lainnya. Kata kunci : Perilaku coping, Remaja, Ayah Poligami 3 Pengantar A. Latar Belakang Masalah Poligami atau menikahi istri lebih dari seorang bukan sebuah masalah baru, poligami telah ada dalam kehidupan manusia sejak zaman dahulu diantara berbagai kelompok masyarakat didunia. Bila dalam keluarga dengan status perkawinan monogami memiliki komposisi keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu serta anak atau anak-anak, sedangkan dalam keluarga dengan status perkawinan poligami komposisi keluarga terdiri dari seorang ayah, seorang ibu kandung, satu atau lebih ibu tiri, anak kandung dan anak tiri, saudara kandung dan saudara tiri. Islam dengan keberkahannya menetapkan poligami dengan persyaratan tertentu dan sejumlah ketentuan yang dikenakan pada pihak yang ingin melakukannya. Poligami dalam Islam mengacu kepada Al-Qur’an surat An-Nisa’ayat 3, yang artinya ”… Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, maka kawinlah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi bila kamu takut tidak dapat berlaku adil maka (kawinlah) seorang saja”. Hasil sensus penduduk tahun 1990 perbandingan perempuan dan laki-laki 89.873.406 : 89.448.235, demikian juga hasil sensus tahun 2000, perbandingannya 103.417.180 : 102.847.415 (BPS, 2000). Selisih jumlah antara perempuan dan lakilaki tersebut dijadikan alasan untuk melegalisasi wacana tentang poligami, yang dianggap sebagai cara untuk mengatasi ketidakseimbangan itu.. Pembicaraan mengenai poligami akan menimbulkan dua kutub, yaitu kutub yang mendukung dan yang menentang keras poligami. Di Indonesia pernikahan poligami 4 bukan barang baru, pada tahun 2003 diadakan acara pemberian penghargaan terhadap pelaku poligami yaitu Polygamy Award , yang didalangi oleh pengusaha ayam bakar ”Wong Solo” Puspo Wardoyo yang memiliki 4 istri. Pengakuan dari para pelaku poligami bahwa mereka berpoligami untuk membentuk keluarga besar yang sakinah bukan untuk memuaskan nafsu libido. (Swaramuslim, 2003). Fakta diseputar poligami menunjukkan banyaknya penderitaan yang timbul akibat poligami. Penderitaan yang dialami baik terhadap istri pertama juga istri lainnya serta anak-anak mereka. Dari 48 kasus poligami yang didampingi oleh LBH APIK selama kurun 2001-juli 2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror, serta pengabaian hak seksual istri. (Kompas Cyber Media, 2003). Engineer (Multahada, 2005) mengungkapkan bahwa poligami merupakan salah satu bentuk diskriminasi-kekerasan-terhadap perempuan dan tidak menguntungkan pula bagi anak-anak. Kekerasan psikologis yang terjadi dalam keluarga poligami karena ayah sebagai pelaku poligami diperkirakan memiliki potensi melakukan kekerasan dalam rumah tangga khususnya bagi istri dan anak-anak. Hal ini justru menimbulkan permusuhan, kebencian dan pertengkaran antara para istri dan anakanak. Anak-anak selalu menjadi korban bila satu kehidupan keluarga tidak seimbang, penuh konflik dan pertikaian orang tua, perkembangan akan terhambat, dan ia bisa menjadi ”anak bermasalah”. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang 5 dilakukan oleh Widaystuti & Prawitasari (2003), bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status perkawinan poligami memiliki perilaku coping yang berorientasi pada emosi dan memiliki tingkat depresi yang tinggi, dibandingkan remaja yang berasal dari orang tua dengan status perkawinan monogami. Dampak negatif dari kehidupan keluarga diatas bisa jadi akan sulit hilang walaupun anak sudah meninggalkan rumah tangga atau mencapai tahap kedewasaan. Seperti yang dialami P (dalam rubrik Oh Mama, Oh Papa), timbul ketakutan dan kecemasan untuk membina suatu hubungan karena melihat penderitaan ibu nya akibat ayah yang sering kawin (Kartini, 2005). Bahkan ada kasus bahwa anak-anak dari keluarga poligami menentang keras poligami sampai ke”ubun-ubun” terutama anak dari istri tertua. Berdasarkan kasus-kasus diatas, anak-anak dari orang tua yang berpoligami melakukan suatu tindakan atau menerapkan prilaku sebagai cara untuk menunjukkan ketidaksetujuan atau untuk mengatasi tuntutan yang menekan, sebagai akibat perkawinan poligami yang dilakukan oleh ayah mereka. Anak-anak tersebut melakukan coping yaitu usaha-usaha kognitif dan prilaku untuk mengurangi tekanan dari dalam dan/atau eksternal yang melampaui kemampuan seseorang (Folkman dan Lazarus, 1984; Taylor, 2003). Lazarus(Taylor, 2003), membedakan coping menjadi dua, yaitu problem focused coping dan emotional focused coping. Permasalahan atas dampak poligami akan respon secara berbeda-beda oleh tiap-tiap anak. Dalam penelitian ini akan dikaji bentuk-bentuk perilaku coping apa yang diterapkan oleh remaja dalam penyesuaian diri dalam keluarga poligami? 6 Tinjauan Pustaka A. Perkawinan Poligami 1. Pengertian perkawinan poligami Kata polygamy berasal dari bahasa Yunani, yaitu pollus yang artinya banyak, dan gamos artinya perkawinan. Poygamy dibedakan menjadi Polygini, untuk laki-laki yang beristri lebih dari satu , dan polyandri yaitu untuk perempuan yang memiliki suami lebih dari satu. (Istibasyarah, 2004) DOI (1992), menyatakan bahwa status perkawinan poligami yaitu menikahi lebih dari seorang istri dan monogami yaitu menikah dengan satu orang istri. Elbedour, dkk (2003), mendefinisikan poligami sebagai sebuah sistem perkawinan, yaitu pria dapat menikahi lebih dari satu wanita. Poligami paling umum pada masyarakat dimana tingkat kematian rata-rata anak tinggi, anak-anak dinilai sebagai tenaga kerja, dan untuk emotional support bagi para orang tua, serta sebagai tempat perlindungan ketika mereka sudah menjadi tua. (Elbedour, 2000) 2. Dampak perkawinan poligami bagi remaja Remaja adalah periode transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa, atau masa usia belasan tahun, atau jika seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya dan sebagainya (Wirawan, 1994). Menurut Martaniah (Widyastuti dan Prawitasari, 2003), kebutuhan psikologis yang penting pada masa remaja adalah kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, dan kebutuhan harga diri. Apabila kebutuhan ini dapat dipenuhi, maka akan 7 mengantarkan remaja ke jenjang kedewasaan yang sehat dan positif, sesuai dan selaras, baik dengan diriya maupun lingkungannya. Kebanyakan perkawinan poligami memberikan dampak pada permasalahan perasaan yang berat, yang akan menyebabkan remaja tenggelam dalam konflik pada diri sendiri, maupun anggota keluarga yang lain. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa persaingan dan kecemburuan yang terjadi diantara para istri dalam keluarga poligami akan mengakibatkan masalah emosional yang berat bagi anak-anaknya (Al-Krenawi dalam Elbedour, 2003). Owuamanam, dkk (Elbedour, 2003), mengemukakan bahwa anak-anak dari keluarga poligami memiliki resiko yang tinggi terhadap penyalahgunaan psikis dan fisik. Anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua selalu merasa tidak aman, merasa kehilangan tempat berlindung dan tempat berpijak, untuk selanjutnya dikemudian hari mereka akan mengembangkan reaksi kompensatoris dalam bentuk dendam dan sikap bermusuh terhadap dunia luar (Kartono, 2002). Semua bentuk ketegangan batin dan konflik familial itu akan mengakibatkan bentuk ketidakseimbangan kehidupan psikis anak. Camara, dkk (Elbedour, 2000), menunjukkan bahwa anggota dari keluarga poligami memiliki kecenderungan untuk cemburu, konflik, ketegangan, stress emosional, ketidakamanan, dan kecemasan. Menurut Andry, dkk( Kartono, 2002), keadaan keluarga yang penuh konflik dan ketegangan juga menyebabkan tidak berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki. 8 Dampak lainnya yang terjadi adalah kesulitan besar dalam penyesuaian diri, contohnya dalam perkembangan sosial (Maitra dalam Eldebour, 2003). Ouwamanam ( Elbedour, 2000), menemukan bahwa ada hubungan antara struktur perkawinan poligami dengan low self-esteem. Status perkawinan poligami juga mempengaruhi akademik anak-anak, Cherian (Elbedour, 2000), menemukan bahwa nilai kebutuhan berprestasi anak-anak dari keluarga poligami lebih rendah dibandingkan anak-anak dari keluarga monogami. B. Perilaku Coping 1. Pengertian coping Setiap manusia diberikan kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya. Proses yang digunakan seseorang untuk mengatasi masalah dinamakan coping. Coping adaah proses penyeimbang dalam usaha mempertahankan penyesuaian selama menghadapi tuntutan sosial. Cara-cara individu menghadapi tuntutan social tersebut disebut proses coping (Darwin dalam Ati, 1997). Lazarus (Taylor, 2003), menyatakan Coping adalah sesuatu yang membutuhkan upaya pemikiran dan perilaku mengatur tuntutan yang spesifik dari dalam maupun luar diri seseorang (dan juga konflik yang terjadi antara kedua hal tersebut), yang dipandang sebagai beban yang melampaui kemampuan orang untuk menanggungnya. Menurut Shinta (Effendi dan Tjahjono, 1999), Perilaku coping merupakan upaya individu untuk mengatasi keadaan atau situasi yang menekan, menantang, atau mengancam, yang berupa pikiran atau tindakan dengan menggunakan sumber dalam 9 dirinya maupun lingkungannya, yang dilakukan secara sadar untuk meningkatkan perkembangan individu. 2. Bentuk-bentuk coping Lazarus dan Folkman (Taylor, 2003), memandang bahwa coping mempunyai dua fungsi. Fungsi pertama adalah fungsi untuk melakukan sesuatu untuk mengubah masalah yang menyebabkan tekanan menjadi lebih baik, yang disebut PFC. Fungsi kedua adalah fungsi untuk mengatur emosi yang menekan, yang disebut EFC. Aldwin dan Revenson (Diponegoro dan Thalib, 2001), membagi problem focused coping kedalam 3 macam strategi, yaitu : a. Kehati-hatian (cautisiosness), individu memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa alternative pemecahan masalah yang mungkin dilakukan, minta pendapat orang lain tentang masalah yang dihadapi, bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan mencoba mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan. b. tindakan instrument (instrumental action), meliputi tindakan individu yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung, serta menyusun langkah-langkah yang diperlukan. c. negosiasi (negotiation) meliputi usaha-usaha individu yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau menjadi penyebab masalah yang sedang dihadapinya, untuk ikut memikirkannya atau menyelesaikan masalah tersebut. Emotional focused coping dibagi menjadi empat strategi (Aldwin & Revenson, dalam Diponegoro dan Thalib, 2001), yaitu : 10 a. Escapism (pelarian dari masalah), dimana individu menghindari masalah yang ada dengan cara berkhayal seandainya ia berada pada situasi dan saat yang lain yang lebih menyenangkan, menghindarkan untuk memikirkan masalah dengan cara makan atau tidur lebih banyak, merokok atau minum-minuman keras. b. Minimization (pengurangan beban masalah), yaitu suatu usaha untuk menolak masalah yang ada dengan cara menganggap seolah-olah masalah tidak ada. c. Self Blame (penyalahan diri sendiri), individu cenderung menyalahkan dan menghukum diri sendiri serta menyesali apa yang sudah terjadi. d. Seeking Meaning, individu mencari arti kegagalan yang dialaminya bagi dirinya sendiri dan melihat segi-segi yang menurutnya penting dalam hidupnya. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi coping a. Tingkat Pendidikan b. Usia c. Konteks Lingkungan dan Sumber Individual d. Jenis Kelamin e. Status Sosial Ekonomi C. Pertanyaan Penelitian 1. Masalah-masalah apa yang dihadapi remaja dengan ayah poligami? 2. Bagaimana bentuk perilaku coping yang dilakukan? 3. Mengapa perilaku coping tersebut dipilih? 11 4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemilihan coping? 5. Bagaimana dampak lanjutan yang muncul pada remaja ketika menggunakan coping tertentu? 12 Metode Penelitian A. Subjek Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan Case study (studi kasus) yaitu penelitian yang dilakukan terhadap aspek tertentu yang telah ditentukan, dengan subjek penelitian adalah remaja usia 18-24 tahun, beragama Islam, berasal dari keluarga poligami. B. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Banister, dkk (Poerwandari 2005), menyatakan bahwa wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang maknamakna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Dan Metode observasi merupakan aktivitas pencatatan fenomena yang dilakukan secara sistematis, dilakukan secara terlibat (partisipatif) ataupun non partisipatif. (Idrus, 2005). C. Metode Analisis Data Menurut Moleong ( 2001), proses analisis data dimulai dengan : 1. Menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. 2. Reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi, yaitu membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalam nya 13 3. Menyusunnya dalam satuan-satuan yang kemudian dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Kategori-kategori itu dilakukan sambil memnuat koding. 4. Mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah selesai tahap ini, mulailah penafsiran data menuju pada kesimpulan penelitian. 14 Hasil Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh digambarkan melalui bagan berikut ini : Remaja Faktor Eksternal: 1. Alasan poligami ayah 2.Pertengkaran orangtua 3. Perubahan sikap ayah 3. Budaya 4. Lingkungan tempat tinggal 5. Dukungan keluarga 6. Urutan Poligami Ayah Krisis Perilaku Coping PFC Alasan EFC Alasan Faktor Internal: 1. Usia 2. Pemalu 3. Minder Dampak Lanjutan Perilaku yang muncul dilihat dari : 1. Interaksi dengan Ayah 2. Interaksi dengan Anggota Keluarga yang lain 3. Interaksi dengan lingkungan/peer kelahiran Krisis Berlanjut Faktor yang Mempengaruhi: 1. Kurang komunikasi 2. Ayah seperti asing dirumah/keluarga Mampu beradaptasi/ menyesuaikan diri Tidak menerima Menerima Ket. Gambar : : Membentuk : Perilaku dilihat dari Interaksi : Mempengaruhi Faktor yang mempengaruhi: 1. Aktivitas sosial 2. Pend. Agama 3. Sikap ayah tidak berubah 4. Ayah berusaha untuk adil 5. Dukungan anggota keluarga 6. Budaya dan lingkungan Bagan 4. Dinamika Bentuk Perilaku Coping pada Remaja Dengan Ayah Poligami. 15 Pembahasan Dari ketiga subjek penelitian dan dipertegas oleh informasi dari informan, didapat bahwa dalam menghadapi poligami ayah, remaja melakukan penilaian negatif sehingga terbentuk mindset pada remaja bahwa poligami ayah adalah suatu tindakan yang tidak baik karena telah mengecewakan seluruh anggota keluarga. Respon dari penilaian tersebut berupa perilaku-perilaku atau pikiran sebagai usaha remaja untuk mengurangi atau mengatasi tekanan yang dihadapi atau disebut coping. Dari hasil penelitian didapat bahwa sebagian besar perilaku coping yang muncul berorientasi kepada emosi (Emotion Focused Coping). Perilaku coping yang muncul antara lain adalah menghindari ayah, menganggap masalah tidak ada, tidak ingin tahu masalah yang ada, pergi bersama teman-teman, serta perasaan ingin memberontak. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti & Prawitasari (2003), yang menyatakan bahwa remaja yang memiliki orangtua poligami memiliki perilaku coping yang lebih berorientasi pada emosi dibandingkan dengan remaja yang memiliki orangtua yang monogami. Namun, beberapa perilaku yang berorientasi kepada masalah (Problem Focused Coping) juga muncul, antara lain : membuatkan surat cerai untuk ayah, mendamaikan ayah dan ibu, bertanya kepada ayah, meminta perhatian kakak, dan mengobrol dengan teman untuk mencari solusi. Masalah-masalah yang memicu munculnya perilaku-perilaku tersebut adalah kekecewaan terhadap ayah, berubahnya perilaku ayah setelah poligami, kurangnya perhatian dari sang ayah, ketidak setujuan terhadap perilaku ayah terhadap keluarga dan anak-anak, kendala dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan rasa malu 16 dengan poligami ayah. Masalah utama yang muncul adalah kekecewaan terhadap ayah karena poligami yang dilakukan beliau. Dalam menghadapi masalah ini remaja melakukan coping antara lain : menganggap masalah tidak ada, menghindari komunikasi dengan ayah, menangis, dan melakukan aktifitas lain secara berlebihan. Perilaku-perilaku ini dilakukan dengan berbagai alasan yaitu malas bertemu dengan ayah, tidak ingin mengungkit masalah yang ada dan tidak ingin merasa sakit hati. Sebagian perilaku yang dimunculkan menunjukkan bertujuan agar remaja pelarian dari masalah yang dapat lebih cepat memperoleh ketenangan tanpa harus melakukan usaha yang lebih keras untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi remaja. Faktor yang mempengaruhi kondisi ini adalah konflik internal berasal dari pertengkaran-pertengkaran yang terjadi didalam keluarga dan perubahan sikap ayah terhadap keluarga. Konflik yang terjadi didalam keluarga, terutama antara ayah dan ibu membuat remaja merasa tidak nyaman dan berusaha berusaha mengalihkan atau mengurangi tekanan yang ada dengan berkumpul dan bermain bersama teman-teman, meskipun begitu remaja tetap membangun tembok pertahanan, merasa minder atau rendah diri dalam pergaulannya dengan lingkungan. Hal ini ditegaskan oleh Wilson dan Botman (Santrock, 2003), bahwa konflik pernikahan dapat mengurangi efisiensi fungsi orangtua, yaitu berpengaruh terhadap bagaimana orangtua berinteraksi dengan anak-anaknya, sehingga dapat memiliki pengaruh tidak langsung terhadap perilaku remaja. Faktor perubahan sikap ayah terhadap keluarga menimbulkan rasa tidak percaya terhadap ayah sampai akhirnya menjadi acuh dan masa bodoh terhadap 17 masalah yang ada, membuat semangat turun, serta terbentuk nya mindset negatif terhadap orang yang berpoligami. Allen dan Bell (Santrock, 2003) mengungkapkan bahwa keterikatan pada orangtua selama masa remaja dapat memiliki fungsi adaptif untuk menyediakan dasar rasa aman dimana remaja dapat mengeksplorasi dan menguasai lingkungan baru serta dunia sosial yang semakin luas dalam kondisi psikologi yang sehat secara psikologis. Dimana remaja dengan segala dilema yang dihadapi akibat poligami ayah menghambat remaja untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Dengan hambatan ini remaja secara tidak langsung mendapat reinforcement untuk berkepribadian introvert dan rendah diri. Dari hasil penelitian didapat bahwa faktor dukungan dari keluarga (saudara kandung, ibu kandung dan keluarga tiri) dan urutan kelahiran juga memiliki pengaruh yang besar dalam munculnya perilaku coping.. Remaja dengan status anak bungsu menjadikan kakak sebagai motivator dalam dirinya sebagai usaha untuk perhatian dan perlindungan yang dirasa tidak didapat dari ayah (Subjek I-Pan). Selain itu, sikap dan perilaku dari kakak dan ibu secara langsung atau tidak langsung juga memberikan kontribusi pada proses penilaian remaja terhadap ayah (Subjek I-Pan). Remaja dengan status anak sulung akan lebih menyadari posisinya sebagai penengah diantara ibu dan ayah, serta menjadikan dirinya sebagai pelindung bagi adik-adik nya (Subjek II-Fad). Perilaku coping yang dilakukan remaja pada akhirnya membentuk dampak lanjutan yang mempengaruhi cara penyikapan dan tanggapan remaja terhadap masalah yang dihadapi (poligami ayah). Bentuk dampak lanjutan dapat dilihat dalam 18 interaksi. Dalam penelitian ini, peneliti melihat bentuk dampak lanjutan dari perilaku coping remaja dalam interaksi remaja dengan aktor poligami (ayah), interaksi remaja dengan anggota keluarga lain (ibu,saudara kandung,saudara tiri dan keluarga besar) dan interaksi remaja dengan lingkungan (dan masyarakat sekitar serta teman bermain/peer group). Dampak lanjutan yang terjadi pada subjek hingga sekarang, yaitu pada subjek I (Pan) adalah sulit menerima poligami ayah dengan cara mengacuhkan masalah ayah terutama yang muncul akibat pernikahan beliau. Selain itu, cenderung memberikan penilaian negatif terhadap perilaku ayah. Pada subjek II (Fad), dampak nya adalah tidak menerima dan subjek berusaha untuk menjaga situasi keluarga. Hal itu dilakukan dengan cara menghilangkan kondisi yang muncul akibat pernikahan kedua, walaupun tetap ada rasa tidak percaya terhadap ayah. Pada subjek III (Hen), ada penilaian positif terhadap poligami ayah yang berdampak positif pada interaksi subjek dengan ayah, ibu kandung, ibu tiri, saudara kandung, dan saudara tiri. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas sosial yang dijalani, budaya dan lingkungan, pendidikan agama, usaha ayah untuk bersikap adil, dan dukungan dari keluarga. 19 Penutup A. Kesimpulan Hasil penelitian didapatkan bahwa poligami yang dilakukan ayah termasuk ke dalam non normative live event atau Idiosyncratics yaitu kejadian khusus yang dialami oleh individu yang dalam penelitian ini adalah remaja, karena tidak semua remaja hidup dalam keluarga poligami. Keluarga mengalami perubahan dalam struktur keluarga, antara lain masuknya anggota “baru” yang dapat menimbulkan masalah bagi remaja pada khususnya, dan keluarga pada umumnya Masalah-masalah yang dialami oleh remaja antara lain: kecewa dengan ayah, merasa kurang perhatian, tidak setuju dengan sikap ayah terhadap ibu dan anak-anak, malu dengan teman, kesulitan bersosialisasi dengan teman-teman dan lingkungan sekitar, takut berbeda dengan orang lain, ketakutan fokus ayah terhadap keluarga berbeda dan timbul rasa kurang percaya diri atau minder dengan poligami ayah. Walaupun remaja berdasarkan nilai normatif agama dan kebudayaan dimana dia tumbuh dan berkembang dapat menerima, namun secara implisit remaja sangat menolak atas poligami yang dilakukan ayah. Masalah yang muncul mendorong remaja untuk melakukan coping yang memiliki alasan-alasan yang kondisional dan dengan tersedianya faktor-faktor yang mempengaruhi seperti konflik internal berupa pertengkaran-pertengkaran, sikap dan perilaku ayah, situasi tempat tinggal atau lingkungan, penilaian subjek terhadap poligami ayah, kepribadian subjek, urutan kelahiran, pendidikan agama, aktifitas sosial, dan dukungan dari keluarga (saudara) pada akhirnya terbentuklah beberapa 20 perilaku coping pada remaja Respon yang muncul dari remaja terhadap penolakan pada poligami ayah tersebut sebagian besar bertujuan untuk mengatur emosi yaitu merupakan bentuk perilaku Emotion Focused Coping dan ada beberapa bentuk perilaku Problem Focused Coping yang muncul. Dampak lanjutan yang muncul pada remaja dengan ayah poligami dilihat dari perilaku coping remaja dalam interaksi remaja dengan pelaku poligami (ayah), interaksi remaja dengan anggota keluarga (ibu,saudara kandung,saudara tiri) dan interaksi remaja dengan lingkungan (keluarga besar dan masyarakat sekitar serta teman bermain/peer group. B. Saran 1. Bagi remaja dengan ayah berpoligami Remaja dapat menyikapi secara positif apa dan bagaimana bentuk keputusan ayah untuk berpoligami. Bentuk penyikapan yang positif tersebut dapat dilakukan dengan berperan aktif sebagai mediator antara pelaku poligami dengan keluarga. Kemudian dapat melakukan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan sebagai bentuk kompensasi yang positif sehingga dapat membantu remaja untuk membangun kembali percaya diri dan penerimaan diri yang positif ( Positive self acceptance). 2. Bagi ayah berpoligami Dengan tetap menjaga kualiatas perhatian dan kasih sayang yang telah ada, serta komunikasi yang lancar dalam keluarga, baik sebelum dan sesudah terjadi poligami dimungkinkan dapat mereduksi tingkat kekecewaan yang terjadi pada remaja. 21 3. Bagi peneliti selanjutnya Pendekatan yang serupa pada responden dengan karakter yang berbeda perlu dilakukan, seperti pada responden dengan kebudayaan yang berbeda, responden perempuan, responden dengan variasi usia, responden adalah anak istri yang kedua atau seterusnya. 22 DAFTAR PUSTAKA Ati, K. 1997. Konflik, coping, dan Kualitas Pernikahan. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Diponegoro, A.M., & Thalib, S.B., 2001. Meta-Analisis Tentang Perilaku Koping Preventif & Stress. Psikologika, Nomor 12, Tahun VI, 51-61 DOI, Abdur Rahman. 1992. Perkawinan dalam Syariat Islam (terjemahan). Jakarta : PT. Rineka Citra Efendi, R.W & Tjahjono, E. 1999. Hubungan Antara Perilaku Coping dan Dukungan Social Dengan Kecemasan Pada Ibu Hamil Anak Pertama. Jurnal Anima, Vol 14 No 54 Eldebour, S., Bart, W.M., & Hektner, J.M. 2000. Shcolastic Achievment and Family Marital Structure: Bedouin-Arab Adolescents From Monogamous & Polygamous Families In Israel. The Journal of Social Psychology.140(4), 503514 Eldebour, S., Bart, W.M., & Hektner, J.M. 2003. Intelligence and Family Marital Structure: The Caseof adolescents From Monogamous & Polygamous Families Among Bedouin Arabs In Israel. The Journal of Social Psychology. 143(1), 95110 Idrus, M. 2005. Diktat Kuliah: Metode Penelitian Pendidikan dan Ilmu-ilmu sosial ( Dua Pendekatan Penelitian). Yogyakarta. Tidak Diterbitkan Istibsyarah. 2004. Poligami Dalam Cita dan Fakta. Bandung. Blantika. Kartono, Kartini. 2002. Patologi PT.RajaGrafindo Persada Sosial: Kenakalan Remaja. Jakarta. Moleong, L.J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT.Remaja Rosdakarya. 23 Multahada, E. 2005. Kekerasan Psikologis, Harga Diri, & Pemahaman Moral Remaja dari Keluarga dengan Ayah Poligami. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Majalah Wanita Kartini. 2005. Artikel Oh Mama, Oh Papa: Ayah Menyakiti Ibu dengan Berkali-kali Menikahi Wanita Lain. No. 2152, 14 s/d 24 Nov, hal. 62-66 Santrock, John.W. 2003. Adolescence : Perkembangan Remaja. Edisi keenam. Jakarta : Erlangga. Sarwono, S.W. 1994. Psikologi Remaja. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Taylor, S.E. 2003. Health Pschology, 5th Edition. New York. Mc.Graw Hill Poerwandari, E.kristi. 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta. LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Widyastuti & Prawitasari, J.E. 2003. Peran Status Perkawinan Poligami dan Monogami Orangtua terhadap Harga Diri, Koping, dan Depresi. Jurnal Intelectual, Vol I No I, 21 – 32 . 2000. Ulasan Singkat Nasional: Hasil Sensus Penduduk tahun 2000. WWW.BPS.com. 11/03/07 . 2003. Poligami Bukan Sekedar Melepas Hasrat Seks. ____________ http://www.swaramuslim.net/more.php?id=524_0_1_0_M . 07/03/06 . ________________ . 2003. Merayakan Yang http://www.KompasCyberMedia.com. 07/03.06 24 Tidak Patut Dirayakan. Identitas Penulis Nama : Alawiyah Alamat Rumah : Jln. Jend. Gatot Subroto No. 144 RT.09/11 Kec. Pasar Jambi Jambi 36134 No.Telepon/HP : (0741)445205 / 0819 3118 0274 25 NASKAH PUBLIKASI PERILAKU COPING REMAJA DENGAN AYAH POLIGAMI Oleh: ALAWIYAH RETNO KUMOLOHADI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007 26 NASKAH PUBLIKASI PERILAKU COPING REMAJA DENGAN AYAH POLIGAMI Telah Disetujui Pada Tanggal _______________________ Dosen Pembimbing Utama (RA. Retno Kumolohadi S.Psi., Psi., M.si) 27 PERILAKU COPING REMAJA DENGAN AYAH POLIGAMI Alawiyah Retno Kumolohadi INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku coping remaja dengan ayah poligami. Pertanyaan penelitian yang diungkap adalah masalah-masalah yang di hadapi remaja, perilaku coping dan alasan yang muncul, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku yang muncul, dan dampak lanjutan dari perilaku tersebut. Subjek penelitian adalah remaja dari keluarga poligami umur 18-24 tahun, dan belum menikah. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan observasi. Hasil penelitian ini menggambarkan perilaku coping yang sering digunakan adalah berorientasi kepada emosi dengan alasan yang bervariasi pada tiap subjek. Perilaku ini muncul karena beberapa masalah utama, antara lain: kecewa terhadap ayah, tidak setuju dengan sikap ayah terhadap ibu dan anak-anak, serta merasa kurang perhatian. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah konflik internal, sikap dan perilaku ayah, dukungan keluarga dan urutan kelahiran, lingkungan tempat tinggal, kepribadian remaja, aktifitas sosial, penilaian remaja terhadap poligami ayah, dan pendidikan agama. Dampak lanjutan yang muncul antara lain adalah penerimaan terhadap poligami ayah, acuh terhadap masalah yang ada, rasa tidak percaya terhadap ayah, mind set negatif terhadap orang-orang yang berpoligami, dan lainnya. Kata kunci : Perilaku coping, Remaja, Ayah Poligami 28 29