O P I N I LAPORAN UTAMA GENDER DAN ISLAM Oleh : Hj. Ilfi Nurdiana, SAg. MSi.* Apabila kita amati, banyak kalangan muslim Indonesia menilai bahwa isu gender merupakan propaganda Barat untuk menghancurkan Islam dengan melalui pembebasan perempuan dari segala aturan. G ender adalah peran sosial laki-laki dan perempuan yang dibuat masyarakat, yang satu sama lain dapat dipertukarkan. Berbeda dengan Seks yang merupakan jenis kelamin biologis ciptaan Tuhan, yang tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dengan perempuan. Gender ini telah menjadi isu nasional bahkan internasional. Namun demikian, di Indonesia, khususnya di kalangan ummat islam, isu gender masih berkutat pada tataran normatif-teologis, seperti konsep ibu, istri, dan kesalehan perempuan, sekalipun tidak sedikit yang dikaitkan dengan persoalan sosial yang benar -benar terjadi di masyarakat. Hal ini dikarenakan Ormas keagamaan tertentu yang masih berkutat pada pemahaman yang tradisional mengenai perempuan. Pandanganpandangan tersebut memiliki pengaruh yang luar biasa pada pengikutnya, termasuk kalangan pesantren, madrasah-madrasah, dan Perguruan Tinggi Agama Islam. Apabila kita amati, banyak kalangan muslim Indonesia menilai bahwa isu gender merupakan propaganda Barat untuk menghancurkan Islam dengan melalui pembebasan perempuan dari segala aturan. Gender dianggap proyek besar kalangan feminis untuk menggiring opini publik khusususnya perempuan kepada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, karena itu harus diwaspadai. Menurut mereka, salah besar jika menganggap feminisme memberi pencerahan bagi perempuan, khususnya perempuan Islam. Itulah kehawatirankehawatiran beberapa kalangan muslim di Indonesia, sehingga menilai feminisme dengan misi kesetaraan gendernya menjadi sesuatu yang menakutkan dan merusak tatanan agama Islam. Mereka menilai gerakan ini dapat menyesatkan kaum perempuan. Dengan ajarannya tentang kebebasan, istreri akan menjadi berani pada suami, akan berani menentang keputusan suami, dan lain sebagainya. Sementara itu, Feminis Barat menuduh bahwa Islam dianggap menghegemoni perempuan muslim dalam semua aspek kehidupan. Perempuan dikebiri 54 Ikhlas BERAMAL, hak asasinya untuk maju dan berkembang, melakukan aktifitas di luar rumah, mengaktualisasikan kemampuannya dan terhalangi oleh aturanaturan kaku Islam yang justru mendorong perempuan untuk terjerat dalam mata rantai tugas-tugas domestik dari dapur, sumur, kasur, mengurus anak dan lain-lain. Adapun ayat-ayat yang dituduhkan menghegemoni perempuan antara lain : 1. QS.an-Nisa,4:1 dipahami bahwa perempuan diciptakan dari makhluk laki-laki. Begitupun dengan hadits Nabi tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok, sering diartikan perempuan sebagai makhluk nomer dua, karena penciptaannya diambil dari tulang rusuk laki-laki. Padahal kalimat tersebut hanya kiasan tentang cara menghadapi perempuan yg harus lemah lembut sesuai konsep muasyarah.. 2. Surat al-Ahzab:33 dipahami bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah, ini menjadi dasar domestikasi perempuan, padahal yang dimaksud adalah perintah agar perempuan tetap berada di lingkungan rumah tangganya bukan rumah tangga orang lain seperti kebiasaan perempuan jahiliyah, yang suka bergunjing antar rumah tangga yang satu dengan rumah tangga lainnya. 3. Surat An-Nisa’, 4:34 dipahami bahwa yang berhak menjadi pemimpin adalah laki-laki baik di lingkungan publik maupun domestik. Dalam menyikapi pemahaman ini, para feminis muslim menyepakati tentang perlunya memahami ayat ini melalui pendekatan kontekstual; dengan tidak hanya terpaku pada makna literalnya serta mengkaji konteks asbabul wurud-nya. Apabila memperhatikan konsideran ayat tersebut (wa bima anfaqu min amwalihim) dan mengaitkannya dengan QS.2:228, maka sebenarnya ayat tersebut hanya berbicara tentang kepemimpinan rumah tangga (suami terhadap istri) dan inipun hanya dalam hal fungsi ekonomisnya. 4. Surat al-Baqarah ayat 223 dipahami bahwa yang Nomor 60 Tahun XII Desember 2009 O P I N I LAPORAN UTAMA berhak menikmati hubungan seksual adalah suami, karena isteri adalah ladang yang dapat digarap sesuai kehendak suami. Ditambah lagi dengan hadits Nabi yang menyatakan laknat malaikat sampai pagi bagi isteri yang tidak mau melayani suaminya. Padahal maksud hadits tersebut adalah jika suami mengajak dengan baik kemudian isteri menolak dengan kasar tanpa alasan maka berlaku laknat malaikat. Laknat dapat diartikan disharmoni sampai pagi. 5. Surat an-Nisa’ 4:3 dipahami sebagai ayat poligami, tanpa melihat kaitannya dengan surat surat an-Nisa’ 4 : 129 tentang sulitnya mencapai syarat adil bagi pelaku poligami. Poligami bukanlah tradisi khas Islam. Ia adalah tradisi yang telah berurat-berakar hampir di setiap komunitas masyarakat dan bangsa manapun. Oleh karena itu, adanya tasyri’ poligami dalam Islam harus dipahami semangat dan konteksnya. Jika QS. Al-Nisa’ 3 menyatakan bahwa poligami boleh dilakukan asal suami menjamin mampu berbuat adil, maka keadilan harus dimaknai bukan saja dalam hal sandang, pangan, papan maupun kecukupan materi lainnya, tetapi ia adalah keadilan immaterial (keadilan mutlak). Oleh karena tidak seorangpun mampu berbuat adil secara mutlak inilah berarti tidak diperbolehkan poligami. Lantas bagaimanakah sebenarnya Islam memandang misi besar feminisme, yakni kesetaraan gender ini? Benarkah Islam seperti yang dituduhkan Barat merupakan agama yang tidak ramah perempuan? Atau justru Islam yang menginspirasikan munculnya kesetaraan gender yang mana pada saat sebelum datangnya Islam lakilaki dan perempuan hidup dalam kondisi kronis? Diakui memang al-Qur’an mengungkapkan perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan, tetapi harus dicermati kembali apakah ungkapan tersebut mengacu kepada unsur biologis, unsur budaya atau keduanya sekaligus atau kepada acuan lain. Seringkali ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan kekhususan-kekhususan perempuan seperti menstrusi, menopause, hamil dan sebagainya, disalah pahami bahkan dijadikan sebagai alat untuk memojokkan perempuan pada sektor domestik. Fenomena interpretasi teks-teks suci berkaitan dengan konsep gender yang mendiskreditkan kaum perempuan ini, antara lain disebabkan adanya metode interpretasi yang mengandalkan metode tahlili serta kemungkinan ketidaknetralannya mencermati teks. Karena itu, perlu adanya penggalakan interpretasi teks dengan metode maudhu’i, yang sangat menekankan aspek kontekstual/sosialbudaya ketika att tersebut turun. Di samping penafsiran teks yang kurang “berkeadilan” pembedaan peran laki-laki dan perempuan ini juga sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural serta ekologi suatu kawasan tertentu. Di Indonesia misalnya, memiliki konsepsi relasi gender yang berbeda dengan konsepsi relasi gender yang berkembang di kawasan Timur Tengah, kendati kedua kawasan ini sama-sama memiliki penduduk yang mayoritas muslim.*(Ketua Yayasan Pondok Pesantren al-Yasini Pasuruan). Peluncuran Buku tentang Gender di Jakarta. Ikhlas BERAMAL, Nomor 60 Tahun XII Desember 2009 55