IB 60 pasti

advertisement
O P I N I
LAPORAN UTAMA
GENDER DAN ISLAM
Oleh : Hj. Ilfi Nurdiana, SAg. MSi.*
Apabila kita amati, banyak kalangan muslim Indonesia menilai bahwa isu gender merupakan
propaganda Barat untuk menghancurkan Islam dengan melalui pembebasan perempuan dari
segala aturan.
G
ender adalah peran sosial laki-laki dan
perempuan yang dibuat masyarakat, yang
satu sama lain dapat dipertukarkan.
Berbeda dengan Seks yang merupakan jenis
kelamin biologis ciptaan Tuhan, yang tidak dapat
dipertukarkan antara laki-laki dengan perempuan.
Gender ini telah menjadi isu nasional bahkan
internasional. Namun demikian, di Indonesia,
khususnya di kalangan ummat islam, isu gender
masih berkutat pada tataran normatif-teologis,
seperti konsep ibu, istri, dan kesalehan perempuan,
sekalipun tidak sedikit yang dikaitkan dengan
persoalan sosial yang benar -benar terjadi di
masyarakat. Hal ini dikarenakan Ormas keagamaan
tertentu yang masih berkutat pada pemahaman yang
tradisional mengenai perempuan. Pandanganpandangan tersebut memiliki pengaruh yang luar
biasa pada pengikutnya, termasuk kalangan
pesantren, madrasah-madrasah, dan Perguruan
Tinggi Agama Islam.
Apabila kita amati, banyak kalangan muslim Indonesia menilai bahwa isu gender merupakan propaganda Barat untuk menghancurkan Islam dengan
melalui pembebasan perempuan dari segala aturan.
Gender dianggap proyek besar kalangan feminis
untuk menggiring opini publik khusususnya
perempuan kepada persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan, karena itu harus diwaspadai.
Menurut mereka, salah besar jika menganggap
feminisme memberi pencerahan bagi perempuan,
khususnya perempuan Islam. Itulah kehawatirankehawatiran beberapa kalangan muslim di Indonesia, sehingga menilai feminisme dengan misi
kesetaraan gendernya menjadi sesuatu yang
menakutkan dan merusak tatanan agama Islam.
Mereka menilai gerakan ini dapat menyesatkan
kaum perempuan. Dengan ajarannya tentang
kebebasan, istreri akan menjadi berani pada suami,
akan berani menentang keputusan suami, dan lain
sebagainya.
Sementara itu, Feminis Barat menuduh bahwa
Islam dianggap menghegemoni perempuan muslim
dalam semua aspek kehidupan. Perempuan dikebiri
54
Ikhlas
BERAMAL,
hak asasinya untuk maju dan berkembang,
melakukan aktifitas di luar rumah, mengaktualisasikan kemampuannya dan terhalangi oleh aturanaturan kaku Islam yang justru mendorong perempuan untuk terjerat dalam mata rantai tugas-tugas
domestik dari dapur, sumur, kasur, mengurus anak
dan lain-lain.
Adapun
ayat-ayat
yang
dituduhkan
menghegemoni perempuan antara lain :
1. QS.an-Nisa,4:1 dipahami bahwa perempuan
diciptakan dari makhluk laki-laki. Begitupun
dengan hadits Nabi tentang penciptaan
perempuan dari tulang rusuk laki-laki yang
bengkok, sering diartikan perempuan sebagai
makhluk nomer dua, karena penciptaannya
diambil dari tulang rusuk laki-laki. Padahal
kalimat tersebut hanya kiasan tentang cara
menghadapi perempuan yg harus lemah lembut
sesuai konsep muasyarah..
2. Surat al-Ahzab:33 dipahami bahwa perempuan
tidak boleh keluar rumah, ini menjadi dasar
domestikasi perempuan, padahal yang dimaksud
adalah perintah agar perempuan tetap berada
di lingkungan rumah tangganya bukan rumah
tangga orang lain seperti kebiasaan perempuan
jahiliyah, yang suka bergunjing antar rumah
tangga yang satu dengan rumah tangga lainnya.
3. Surat An-Nisa’, 4:34 dipahami bahwa yang
berhak menjadi pemimpin adalah laki-laki baik
di lingkungan publik maupun domestik. Dalam
menyikapi pemahaman ini, para feminis muslim
menyepakati tentang perlunya memahami ayat
ini melalui pendekatan kontekstual; dengan tidak
hanya terpaku pada makna literalnya serta
mengkaji konteks asbabul wurud-nya. Apabila
memperhatikan konsideran ayat tersebut (wa
bima anfaqu min amwalihim) dan mengaitkannya
dengan QS.2:228, maka sebenarnya ayat
tersebut hanya berbicara tentang kepemimpinan
rumah tangga (suami terhadap istri) dan inipun
hanya dalam hal fungsi ekonomisnya.
4. Surat al-Baqarah ayat 223 dipahami bahwa yang
Nomor 60 Tahun XII Desember 2009
O P I N I
LAPORAN UTAMA
berhak menikmati hubungan seksual adalah
suami, karena isteri adalah ladang yang dapat
digarap sesuai kehendak suami. Ditambah lagi
dengan hadits Nabi yang menyatakan laknat
malaikat sampai pagi bagi isteri yang tidak mau
melayani suaminya. Padahal maksud hadits
tersebut adalah jika suami mengajak dengan
baik kemudian isteri menolak dengan kasar
tanpa alasan maka berlaku laknat malaikat.
Laknat dapat diartikan disharmoni sampai pagi.
5. Surat an-Nisa’ 4:3 dipahami sebagai ayat
poligami, tanpa melihat kaitannya dengan surat
surat an-Nisa’ 4 : 129 tentang sulitnya mencapai
syarat adil bagi pelaku poligami. Poligami
bukanlah tradisi khas Islam. Ia adalah tradisi
yang telah berurat-berakar hampir di setiap
komunitas masyarakat dan bangsa manapun.
Oleh karena itu, adanya tasyri’ poligami dalam
Islam harus dipahami semangat dan konteksnya.
Jika QS. Al-Nisa’ 3 menyatakan bahwa poligami
boleh dilakukan asal suami menjamin mampu
berbuat adil, maka keadilan harus dimaknai
bukan saja dalam hal sandang, pangan, papan
maupun kecukupan materi lainnya, tetapi ia
adalah keadilan immaterial (keadilan mutlak).
Oleh karena tidak seorangpun mampu berbuat
adil secara mutlak inilah
berarti tidak
diperbolehkan poligami.
Lantas bagaimanakah sebenarnya Islam
memandang misi besar feminisme, yakni kesetaraan
gender ini? Benarkah Islam seperti yang
dituduhkan Barat merupakan agama yang tidak
ramah perempuan? Atau justru Islam yang
menginspirasikan munculnya kesetaraan gender
yang mana pada saat sebelum datangnya Islam lakilaki dan perempuan hidup dalam kondisi kronis?
Diakui memang al-Qur’an mengungkapkan
perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan, tetapi harus dicermati kembali apakah
ungkapan tersebut mengacu kepada unsur biologis,
unsur budaya atau keduanya sekaligus atau kepada
acuan lain. Seringkali ayat-ayat al-Qur’an yang
menunjukkan kekhususan-kekhususan perempuan
seperti menstrusi, menopause, hamil dan
sebagainya, disalah pahami bahkan dijadikan
sebagai alat untuk memojokkan perempuan pada
sektor domestik.
Fenomena interpretasi teks-teks suci berkaitan
dengan konsep gender yang mendiskreditkan kaum
perempuan ini, antara lain disebabkan adanya
metode interpretasi yang mengandalkan metode
tahlili serta kemungkinan ketidaknetralannya
mencermati teks. Karena itu, perlu adanya penggalakan interpretasi teks dengan metode maudhu’i,
yang sangat menekankan aspek kontekstual/sosialbudaya ketika att tersebut turun.
Di samping penafsiran teks yang kurang
“berkeadilan” pembedaan peran laki-laki dan
perempuan ini juga sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosio-kultural serta ekologi suatu kawasan tertentu.
Di Indonesia misalnya, memiliki konsepsi relasi gender yang berbeda dengan konsepsi relasi gender yang
berkembang di kawasan Timur Tengah, kendati
kedua kawasan ini sama-sama memiliki penduduk
yang mayoritas muslim.*(Ketua Yayasan Pondok
Pesantren al-Yasini Pasuruan).
Peluncuran Buku tentang Gender di Jakarta.
Ikhlas
BERAMAL,
Nomor 60 Tahun XII Desember 2009
55
Download