MARI BERCERMIN DAN MENELADANI FIGUR RASULULLAH (Hikmah dibalik Novel & Film Ayat-ayat Cinta) Belum banyak para pelaku seni atau seniman yang berani mengangkat tema-tema seni yang bernafaskan Islam. Selama ini novel cerita atau film yang bernuansa Islami hanya berkutat antara sibaik atau siputih dengan sijahat atau sihitam. Apalagi cerita yang diangkat biasanya hanya bertema mistis, yang hanya mengisahkan pertentangan antara manusia dengan setan dan hantu ataupun antara dukun ilmu hitam dengan Ulama. Sehingga tema-tema yang diangkat dalam ceritanya tidak menyentuh atau mendalami ajaran Islam lebih dalam atau sesungguhnya. Penonton tidak dapat mengambil hikmah dari cerita tersebut meski mengandung unsur ajaran Islam. Indonesia sebagai salah satu negara yang mayoritas penduduknya Muslim rasanya kurang peduli dengan issue-issue seputar ajaran agama Islam. Kurangnya pendekatan atau cara-cara pendekatan dalam memberikan informasi yang benar tentang Islam, telah menyebabkan pertentangan atau perbedaan penafsiran dan pendapat. Meski perbedaan itu dianggap sah-sah saja tetapi apabila terus didiamkan tanpa mau dicari solusi, disadari atau tidak sama halnya mendeskreditkan serta menimbulkan image negatif bagi agama Islam. Tak aneh bila mereka yang Non Muslim menganggap Islam sebagai agama terorist hanya lantaran pemahaman dan penyikapan yang keliru Ummat Islam terhadap Non Islam. Kita begitu mudah dan kerasnya mencap sesesorang itu kafir atau bukan hanya karena perbedaan prinsip. Issue Poligami yang tanpa mau terlebih dahulu menempatkan dan menggali syariat atau kaidahkaidah Islam di dalamnya, malah langsung “mengharamkannya”. Begitupun seputar penegakkan Hukum dan ketidak pekaan terhadap issue-issue sosial – kemanusiaan. Seharusnya ummat Islam malu karena sampai saat ini kita belum sepenuhnya memahami ajaran agama Islam dengan baik dan sesungguhnya. Selama ini kita hanya mengetahui dan memahami Islam hanya pada batas wacana pemahaman tertentu saja, sementara apa dan bagaimana Islam yang sesungguhnya belum dapat kita pahami dengan baik, sehingga diantara ummat Rasulullah sendiri masih banyak pemahaman yang keliru yang pada akhirnya menyebabkan pertentangan dan conflict of interest. Timbul begitu banyak aliran yang masing-masing sering kali mengklaim sebagai aliran atau pihak yang paling benar pada akhirnya malah berdampak pada memecah belah Ummat Islam. Sering kali satu sama lain diantara kita tidak mau perduli dengan nasib atau penderitaan yang dialami oleh saudara sesama Muslim. Fakta dari pemberitaan di televisi maupun surat kabar yang belakangan muncul belakangan ini, dimana masih banyak Saudara-saudara kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan bahkan ada yang harus meninggal dunia dalam keadaan kelaparan, merupakan bukti betapa masih tipisnya keimanan kita terhadap ajaran Rasulullah untuk peduli terhadap fakir miskin dan anak-anak yatim. Belum lagi cara pandang atau perspektif kita yang keliru dalam menempatkan dan memposisikan segala sesuatu tentang Perempuan. Kita selama ini selalu menempatkan Perempuan sebagai “Warga Negara Kelas Dua” yang selalu menjadi “Objek” bukan “Subjek”. Meski kita sadar lambat laun kiprah Perempuan begitu besarnya, bahkan prosentase porsinya hampir sama besar dengan Laki-laki. Perempuan sudah bukan lagi hanya berperan sebagai sekedar ibu rumah tangga belaka, tetapi hampir semua bidang kehidupan sudah dapat digelutinya. Dari mulai pekerjaan yang kasar seperti pembantu rumah tangga dan buruh pabrik sampai profesi terhormat seperti dokter, hakim, astronot dan politikus. Begitupun dalam hal posisi Perempuan sebagai istri. Apalagi ketika seorang suami yang hendak beristri lebih dari satu (Poligami). Sering kali dalam melakukan Poligami tidak mengindahkan kaidah ajaran agama atau syariat Islam. Kita yang merasa seorang Laki-laki sering kali bersikap angkuh menganggap Perempuan sebagai objek seksualitas belaka atau menganggap dirinya dapat bersikap adil sehingga menjadikan alasan pembenar untuk melakukan Poligami. Hal-hal keliru seperti inilah yang kemudian menjadikan kata “Poligami” begitu ”haram” ditelinga dan mulut Perempuan. Polemik tentang Poligami hingga saat ini begitu besar. Poligami begitu diharamkan dimasyarakat kita. Sehingga tak heran ketika beberapa waktu yang lalu ketika seorang Ulama yang awalnya begitu dipuja dan dipuji oleh masyarakat terutama kaum Perempuan belakangan malah ”dibenci” dan dijauhi hanya karena Ulama tersebut melakukan Poligami. Meski sebenarnya dalam Islam hal tersebut tidak diharamkan asalkan memenuhi semua persyaratan dan sesuai dengan syariat Islam. Rasanya apa yang digambarkan atau dikisahkan dalam sebuah novel dan film “Ayat-ayat Cinta” yang belakangan ini heboh dapat mematahkan sekaligus menjawab pertentangan yang selama ini terjadi mengenai kedudukan serta cara pandang agama Islam terhadap Perempuan yang selama ini keliru dan berkonotasi negatif. Dalam novel dan film tersebut setidaknya kita bisa lebih baik lagi memahami bagaimana seharusnya kita (ummat Muslim khususnya) memperlakukan Perempuan terutama dalam hal apa dan bagaimana Poligami dapat dilakukan. Kita juga telah keliru dalam menyikapi dan menempatkan persolan terhadap ummat selain Muslim. Cara pandang Islam terhadap kaum atau ummat yang selama ini kita cap “Kafir” ternyata jauh lebih beradab dan mulia. Kita seringkali melupakan bagaimana Rasulullah dan para Sahabatnya memperlakukan mereka dengan penuh kasih dan damai serta bijaksana. Beberapa kisah sejarah dikisahkan dalam Al-Quran dan Al-Hadist telah menggambarkan hal tersebut, seperti: Rasulullah begitu pedulinya terhadap seorang pengemis buta yang tua renta dan bukan Muslim selalu diberinya makan dan disuapinya dengan penuh kasih sayang. Betapa Rasulullah memuliakan tamu-tamunya meski bukan Muslim. Betapa Sahabat Rasul Khalifah Umar bin Khatab begitu adil dan bijaknya mengambil keputusan terhadap keadilan yang diminta oleh seorang Yahudi. Itu semua hanya beberapa contoh keteladan dari ajaran Islam yang lambat laun ditinggalkan dan cenderung dilupakan. Tokoh yang diperankan dalam novel dan film Ayat-ayat cinta setidaknya dapat mewakili fenomena yang terjadi dimasyarakat dibelahan dunia manapun terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Setidaknya kita bisa bercermin dalam adegan demi adegan yang ada dalam film tersebut, bagaimana kita selama ini memandang dan menyikapi ajaran Rasulullah sekaligus apa dan bagaimana yang seharusnya. Fahri dan Aisyah sebagai tokoh utama dalam novel dan film tersebut setidaknya tahu menepatkan dirinya sebagai seorang Muslim dan Muslimah dalam memahi Islam serta menempatkan segala sesuatunya sesuai ajaran rasulullah. Bagaimana mereka memposisikan diri ketika berhadapan dengan orang asing yang bukan beragama Islam (Non Muslim), bagaimana mereka menghadapi fitnah keji dan lebih takut akan hukum Allah dibanding hukum dunia, serta bagaimana mereka memandang perkawinan bukan hanya sekedar nafsu duniawi semata terlebih lagi menyikapi masalah Poligami. Penokohan Maria sebagai Perempuan Non Muslim dicerita itu adalah salah satu bentuk pengungkapan bahwa pada dasarnya mereka yang Non Muslim sebenarnya sangat interest dengan ajaran Islam, agama yang dibawa dan disebarkan oleh Rasulullah. Hanya saja karena sifat dan sikap rata-rata sebagian besar Ummat Islam yang notabene telah keliru memahami Islam, membuat mereka takut untuk mencari tahu apalagi untuk mempelajari Islam. Tetapi kekaguman Maria terhadap figur Fahri sebagai seorang Muslim telah membawa dirinya meninggal dalam keadaan Islam. Begitupun peran Dua orang Wartawan (Jurnalis) asing yang berusaha mencari tahu tentang cara pandang dan perlakuan Islam terhadap kaum Perempuan, setidaknya menggambarkan fakta yang ada bahwa sebenarnya Bangsa-bangsa Barat yang mayoritas penduduknya Non Muslim sesungguhnya tertarik dengan agama terakhir yang diturunkan Allah SWT sebagai penyempurna agama yang telah ada sekaligus penutup jaman. Meski masih saja ada pro dan kontra tentang issue Poligami yang diangkat dalam novel dan film itu, tetapi antusiasme masyarakat begitu besar untuk membaca dan menontonnya. Terbukti dengan besarnya jumlah penonton yang menembus angka rekor penonton sebuah film Indonesia yang ada selama ini, bahkan banyak diantara penonton itu telah datang berkali-kali hanya untuk menyaksikan film bernuansa Islam tersebut. Setidaknya meski masih ada kekurangan dan atau kesalahan dalam mengangkat cerita bernuansa relegius tersebut, cerita dalam film Ayat-ayat Cinta telah berusaha menempatkan ajaran syariat Islam dalam porsi dan posisi yang sebenarnya. Khususnya kita bisa bercermin pada sosok tokoh Fahri yang begitu meneladani Rasulullah. Sabar dan Ikhlas adalah kunci utama keimanannya hingga dapat melalui cobaan hidup hingga berhasil mencapai kebahagiaan. Andai saja kita semua Ummat-Nya terutama kaum muda penerus Islam mau berinstrospeksi dan bercermin seperti halnya yang dikisahkan dalam film tersebut, tidak mustahil pemahamann yang keliru kita sebagai Muslim maupun mereka yang Non Muslim terhadap Islam akan jauh lebih baik lagi. Karena biar bagaimanapun, diakui atau tidak Islam adalah agama akhir jaman, Rahmatan Lil Al-Amin, yang di dalamnya telah mengatur bagaimana seharusnya manusia berprilaku demi kebaikan hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Jakarta, 17 Maret 2008 *Penulis adalah Praktisi Hukum, Pengamat Sosial & Seni