j:\isid gontor\jurnal\studi qur

advertisement
ISSN: 2527-7251
e-ISSN: 2549-9262
DOI: http://dx.doi.org/10.21111/studiquran.v1i2.844
Integrasi Laki-laki dan Perempuan
(Paradigma Teori Gender Kontemporer)
Agus Hermanto*
IAIN Raden Intan Lampung, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Basically, those mufasir contemporary were determined to contextualize the abstract
verses of the Qur’an without replacing them, because disagreement in interpretations
doesnt necessarily mean, replacing the verses. Principally, the whole verses of Qur’an are
just, since Islam is “rahmatan lil alamin”. Thus, anyone who may find injustice in the
Qur’an, this must becaused by his misunderstanding of the verses. The Gender theory is
one of the interpretation methods offered by mufasir contemporary to face the challenges
in this contemporary world, in which they consider that historycally, the classical
interpretations were discriminatory towards women and their rights.
Keywords: Integration, Paradigm, Gender
Abstrak
Pada dasarnya para mufasir kontemporer berusaha ingin mengkontekstualisasikan
ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat abstrak, tidak merubah atau bahkan
menggantinya. Karena tidak sepakat dengan penafsiran bukan berarti mengganti ayatayat yang ada dalam al-Qur’an. Al-Qur’an bersifat adil, karena Islam memiliki prinsip
rahmatan lil alamin, adapun suatu prinsip yang dianggap tidak atau belum adil adalah
subuah kesalahan dalam memahami makna yang terkandung dalam teks. Teori gender
merupakan salah satu teori yang ditawarkan oleh sebagian penafsir kontemporer sebagai
metode modern yang ditawarkan secara kontemporer, untuk menjawab atas keluhan
mengenai polemik gender, sehingga ajaran agama (al-Qur’an) bisa dibumikan di alam
nyata, yang secara historis terdapat pendiskriminasian budaya tertentu, sehingga ada
anggapan bahwa al-Qur’an dianggap diskrimatif terhadap hak-hak perempuan.
Kata Kunci: Integrasi, Paradigma, Gender
*
IAIN Raden Intan Lampung. Jl. Letnan Kolonel H. Endro Suratmin, Sukarame, Kota
Bandar Lampung, Lampung 35131, Indonesia. Phone: +62 721 780887
Vol. 1, No. 2, Januari 2017
206 Agus Hermanto
Pendahuluan
M
isi agama adalah keadilan. 1 Jika ada nilai yang tidak
sejalan dengan prinsip keadilan, maka perlu direaktualisasi penafsirannya dengan dua hal, membaca kitab itu
secara komprehensip atau perlu diperhatikan, yakni persepsi
manusia dalam mendefinisikan sebuah konsep keadilan.2 Secara
normatif-idealis, al-Qur’an dengan tegas memandang bahwa lakilaki dan perempuan setara dihadapan Allah. 3 Diciptakan untuk
saling mengenal, kemuliaan manusia dilihat bukan dari jenis
kelaminnya, tapi dari ketaqwaannya (QS. al-Hujarat 49/ 13). Keduanya harus saling melindungi (QS. al-Baqarah 2/ 187). Beriman dan
memiliki prestasi amal shalih (QS. al-Nisa’ 4/ 124). Tidak ada amal
yang sia-sia (QS. Ali Imran 3/ 195). Ber-amar ma’rûf nahî munkar,
(QS. al-Taubah 9/ 71). Nilai kesungguhan (QS. al-Nisa 4/ 32).
Kedudukan ini berlaku dalam kehidupan bermasyarakat,
seperti ekonomi, politik dan pendidikan. Islam tidak memisahkan
kerja publik dan domestik. Islam tidak membagi secara rinci
pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Islam menggariskan prinsip kemitraan atas dasar musyawarah dan tolongmenolong.4 Ada banyak faktor yang menyebabkan kaum perempuan mengalami bias gender. 1) budaya patriarki yang sedemikian
lama mendominasi dalam masyarakat, 2) faktor politik, yang belum
sepenuhnya berpihak kepada kaum perempuan, 3) faktor
ekonomi, dimana sistem kapitalisme global yang melanda dunia,
1
2
3
.
4
.
Masdar F. Mas’ud, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan,Edisi Refisi, cet. 1,
Bandung: Mizan, 2010, hal. 197. Abdul Mustaqim, Paradikma Tafsir Feminis Membaca
al-Qur’ân dengan Optik Perempuan Pemikiran Tentang Riffat Hasan tentang Isu Gender
dalam Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, tt, hal. 13-14. Yaswirman, Hukum Keluarga,
Jakarta: Rajawali, 2004, hal. 124.
Prinsip perkawinan dalam pembahasan ini adalah; 1) prinsip musyawarah dan demokrasi,
2) prinsip menciptakan rasa aman dan nyaman dalam kehidupan rumah tangga, 3)
prinsip menjaga jangan sampai muncul kekerasan dalam kehidupan rumah tangga, 4)
prinsip bahwa relasi suami dan isteri adalah relasi kemitraan yang bersifat patnersip,
dan 5) prinsip keadilan. Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I Dilengkapi
Perbandingan Undang-Undang Negara Muslim Kontemporer, Yogyakarta: ACAdeMIA,
2013, hal. 16. Lihat juga Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer,
Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal. v.
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah: Relasi Laki-Laki dan
Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Yogyakarta: Lembaga Studi dan
Pengembangan Perempuan dan Anak [LSPPA] Yayasan Prakarsa, 1995, hal. 61. Yusuf
Qardlawi, Ketika Wanita Menggugat, Jakarta: Teras, 2004, hal. 29.
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’ân, Jakarta: Paramadina,
1999, hal. 37.
Jurnal STUDIA QURANIKA
Integrasi Laki-laki dan Perempuan
207
sering kali justru mengekploitasi kaum perempuan, 4) faktor
intepretasi teks-teks agama yang bias gender.5
Metode Penafsiran
Paradigma adalah seperangkat pra anggapan konseptual,
metafisik dan metodologis dalam tradisi kerja ilmiah. Setiap produk
tafsir pasti memiliki paradigma tertentu, yang membedakan dari
produk tafsir lainnya. Paradigma tafsir feminis adalah sebuah genre
tersendiri yang muncul di era kontemporer ketika isu gender menjadi isu global. Paradigma ini berangkat dari asumsi bahwa prinsip
dasar al-Qur’an saat memandang relasi laki-laki dan perempuan
adalah keadilan (al-adâlah).
Model analisis yang digunakan adalah analisis gender, yang
secara tegas membedakan antara kodrat yang tidak dapat berubah,
dengan gender sebagai konstruksi sosial yang bisa berubah.
Sehingga kemudian pendekatan tafsir yang digunakan dengan
metode tafsir tematik akhirnya menjadi kajian dalam mengkaji
ayat-ayat tentang relasi gender. Sebab dengan metode seperti itu,
diharapkan produk tafsir akan semakin intersubjektif dan kritis
problem relasi gender.
Menyadari bahwa interaksi terhadap produk paradigma tafsir
al-Qur’an yang bias gender akan menjadi mode of conduct (pola
perilaku) tertentu, maka merubah paradigma menjadi sebuah
keniscayaan. Sebab memang ada hubungan positif antara pola pikir
masyarakat yang terbentuk melalui teks-teks agama dengan pola
pikir yang terbentuk melaui teks-teks agama, seperti: tafsir, fikih,
tasawuf dan sebagainya yang dikonsumsi masyarakat jelas ikut
mempengaruhi pola perilaku masyarakat. Artinya jika paradigma
tafsir yang dikonsumsi tersebut bersifat diskriminatif terhadap
perempuan, maka biasanya perilaku masyarakat juga akan
cenderung diskriminatif.6
Teori Gender
Dengan potensi kemanusiaannya sebagai makhluk ciptaan
Allah, perempuan juga mempunyai kemungkinan untuk meraih
peluang hidup. Demikian itu, muncul berbagai gerakan untuk
5
6
Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008, hal.
15.
Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, hal. 16-17.
Vol. 1, No. 2, Januari 2017
208 Agus Hermanto
mencari peluang guna meraih nilai-nilai keadilan bagi kaum
perempuan dari penindasan dengan harapan dapat bermuara pada
tereleminirnya bias gender dalam tatanan sosial budaya masyarakat
sehingga dapat diharapkan munculnya masyarakat yang lebih adil.
Pemakaian kata gender pertama kali dicetuskan oleh Anne
Oakley. Dia memulainya dengan mengajak warga dunia untuk
memahami, bahwa sesungguhnya ada dua istilah yang serupa, tapi
tidak sama, yaitu sex dan gender. Selama ini masyarakat menganggap kedua istilah itu sama saja, yaitu sebagai sesuatu yang harus
diterima secara taken for granted (menganggap sudah semestinya
begitu). 7 Dalam Oxford Learner’s Pocket Dictionary disebutkan
bahwa sex is state of being male or female.8
Secara ideal, Islam memiliki pandangan kesetaraan yang cukup
tegas mengenai hubungan dan tugas antara suami dan isteri. Sehingga,
nilai kesetaraan dalam Islam menyangkut hubungan laki-laki dan
perempuan, bermuara pada kesesuaian (kemitraan) yang menghasilkan keadilan bagi keduanya. Hal ini dapat dilihat dalam
sejumlah ayat al-Qur’an, misalnya tentang penyebutan asal kejadian
manusia, baik laki-laki maupun perempuan.9 Disebutkan bahwa
keduanya berasal atau diciptakan dari jenis yang sama, sehingga
mereka memiliki hak yang sama pula. Dalam al-Qur’an surat alNisa10 Allah SWT., menegaskan:
7
8
9
10
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta:
Gema Insani Press, 2004, hal. 19.
Sex dalam bahasa Inggris diartikan sebagai jenis kelamin, yang menunjukkan adanya
penyifatan dan pembagian dua jenis kelamin manusia secara biologis, yaitu laki-laki
dan perempuan. Para feminis, diantaranya Simone de Beauvoir, Christ Weedon dan
Barbara Lloyd sepakat bahwa pada dataran ini, ada garis yang bersifat nature, di mana
laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik tertentu yang melekat pada masingmasing secara permanen, kodrati dan tidak bisa dipertukarkan satu dengan lainnya.
Ciri-ciri pengenal itu terberi, tidak dapat diubah dan kodrati sifatnya. Siti Muslikhati,
Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New York: Oxford University Press, 2008, hal. 403.
Lihat Tapi Omas Ihromi, dkk, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan. Bandung:
PT Alumni,2006, hal. 71.
Asgar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2007, hal. 237-238.
Surat al-Nisa, yang terdiri dari 176 ayat adalah surat madaniyyah yang terpanjang
sesudah surat al-Baqarah yang berarti perempuan-perempuan, boleh jadi karena ayat
yang pertama kali telah disebut al-Nisâ, dan boleh jadi karena dalam surat ini banyak
dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan, dan merupakan hal yang
paling banyak menceritakan hal itu dibandingkan surat-surat yang lain, sehingga sering
disebut al-nisâ al-kubrâ. Penamaan ini untuk membedakan dengan surat lain yang juga
memaparkan tentang perempuan dalam banyak ayatnya, yaitu surat al-thalâq yang
Jurnal STUDIA QURANIKA
Integrasi Laki-laki dan Perempuan
209
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya. Dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (Q.S. al-Nisa’
4/1).
Perbedaan fungsi biologis antara laki-laki dan perempuan
tidak berarti membedakan status dan kedudukan yang setara
antara keduanya. Mengenai hal yang terakhir diisyaratkan dalam
al-Qur’an bahwa Allah telah memuliakan anak Adam yaitu manusia
laki-laki dan perempuan. Dalam menentukan kualitas keagamaan,
Islam tidak membedakan atas dasar gender laki-laki dan
perempuan.
Pada dasarnya semua manusia dari kedua jenis kelamin itu
memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat
keberagaman yang tinggi.11 Setiap amal perbuatan tergantung pada
niat, syarat, rukun serta tata caranya. Artinya, setiap ibadah
mahdhah ataupun ibadah sosial sifatnya sangat individual di
hadapan Allah swt., sebagaimana dalam al-Qur’an
11
dinamakan al-nisâ al sughrâ.dalam surat ini disebutkan banyak bersangkutan dengan
peraturan, khusunya mengatur hak-hak laki-laki dan perempuan. Nur Jannah Ismail,
Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, Yogyakarta: LKiS, 1999,
hal. 27
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an Klasik dan Kontemporer,
Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hal. 121
Vol. 1, No. 2, Januari 2017
210 Agus Hermanto
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki laki
dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang
tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan
yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, lakilaki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki lperempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan badi mereka
ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. al-Ahzab 33/ 35)
Dalam beberapa ayat yang lain, al-Qur’an menampilkan citra
laki-laki yang memiliki kelebihan dari pada perempuan. Namun,
beberapa penafsir dapat meyakinkan bahwa fenomena keunggulan
laki-laki dan perempuan itu bukan dalam konteks yang bersifat
nature, dan dapat berubah dilihat dari sudut gender. Latar belakang
sosial dan kultural dari peristiwa yang digambarkan dalam alQur’an merupakan konteks yang terus mengalami perubahan. alQur’an misalnya menyebutkan, “Laki-laki adalah pemberi nafkah
perempuan, karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian
yang lain, dan karena telah menafkahkan sebagian harta mereka
(untuk perempuan)” (Q.S. al-Nisa’ 4/ 34). Para penafsir menyebutkan
bahwa keunggulan dalam hal pencaharian ini adalah sesuatu yang
situasional, bukan karena jenis kelamin. Namun, pada situasi
tertentu seorang perempuan dimungkinkan memperoleh nafkah
untuk membantu suaminya, boleh jadi juga, bahkan perempuan
dapat menjadi pemimpin rumah tangganya saat suaminya telah
meninggal dunia.
Dalam konteks hubungan suami-isteri, keadilan gender itu
terlihat pada hak-hak perempuan yang tidak bisa disepelekan atas
hak laki-laki. Hak pemilikan atas mahar sepenuhnya berada
ditangan isteri, sehingga ia dapat menyimpan dan menggunakannya
untuk kepentingan-kepentingan yang didasarkan pada pertimbangannya sendiri. Hak melawan atas kekerasan yang dilakukan
suami juga dimiliki isteri melalui hak talak, dimana isteri memiliki
hak untuk mengajukan gugatan talak manakala suami menyimpang dari tujuan perkawinan, seperti meninggalkan isteri
Jurnal STUDIA QURANIKA
Integrasi Laki-laki dan Perempuan
211
dalam waktu tertentu tanpa persetujuan isteri, malakukan pelecahan dan kekerasan, atau tidak mampu melaksanakan kewajiban
(nafkah lahir dan nafkah batin) yang menyebabkan kesengsaraan
bagi isteri.12
Penolakan perempuan terhadap kekerasan laki-laki juga
pernah terjadi sebagaimana perintah Nabi kepada salah seorang
Sahabah kisah inilah yang melatarbelakangi turunnya ayat al-rijâl
qawwâmû ‘alâ al-nisâ’ (Q.S. al-Nisa’ 4/ 34). Hak-hak yang berhubungan dengan urusan keluarga, isteri juga pada dasarnya
memiliki kesempatan untuk terlibat dalam urusan-urusan publik,
baik dalam bidang pendidikan maupun politik. Prinsip kesesuaian,
kemitraan, saling membantu dan melengkapi antara suami-isteri
pada akhirnya tercermin dalam pola pengasuhan anak yang
menjadi tanggung jawabnya. Rasulullah saw. Menjelaskan, bahwa
orang yang menghormati perempuan adalah orang yang baik.13
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang berbuat baik kepada
keluarganya dan saya (Rasul) adalah sebaik-baik orang diantara
kamu terhadap keluarga. Dan tidak akan menghormati perempuan kecuali orang-orang yang mulia dan tidak ada orang yang
melecehkan perempuan kecuali orang yang rendah akhlaknya”.
(H.R. Ibnu ‘Asakir)14
Sesungguhnya Islam merupakan benteng yang kuat untuk
mewujudkan hak antara laki-laki dan perempuan. 15 Husein
Muhammad memperkenalkan dan mengembangkan analisis
gender sebagai suatu alat analisis sosial secara holistik dan
sistematik, bahkan sampai ke tingkat implementasi programatik
dan metodologi praxisnya. Sebelumnya, banyak aktivis memahami
teori dan analisis gender tersebut secara parsial, fragmentatif, atau
12
13
14
15
Lamya Al-Faruqi, Ailah Masa Depan Kaum Wanita, Surabaya: Alfikr, 1997, hal. 137
Qasim Amin, Penindasan Perempuan Menggugat Islam Laki-Laki Menggugat Perempuan
Baru, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003, hal. 113.
Fuadudin, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama
dan Gender, 1999, hal. 10-14.
Farha Ciciek, Pergulatan Lintas Agama, Jakarta: Kapal Perempuan, 2010, hal. 106.
Vol. 1, No. 2, Januari 2017
212 Agus Hermanto
paling maksimal hanya sampai aras ‘wacana teoritik’ saja.
Sedangkan konsep gender menurutnya, yakni suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa
perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau
keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan,
perkasa.16
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah, bahwa antara
lelaki dan perempuan tidak bisa dipertukarkan karena merupakan
kodrat manusia yang diberikan Allah sejak lahir dan bersifat
natural.
Uraian selanjutnya membahas persoalan apa yang ditimbulkan karena adanya perbedaan-perbedaan gender tersebut, sehingga
melahirkan ketidak adilan gender yang merupakan sistem dan
struktur dimana baik kaum laki-laki maupun perempuan menjadi
korban dari sistem tersebut.
Keadilan dan kemaslahatan harus menjadi dasar dalam
membuat hukum. Hukum bisa berubah apabila tidak ditemukan
kebaikan sosial. Sebab hukum itu sendiri ada karena untuk menciptakan keteraturan hidup. Hidup yang teratur, karena adanya
kesinambungan antara satu dengan lainnya. Sebagai contoh, ada
penjual juga ada pembeli, ada orang kaya juga ada orang miskin,
pun ada laki-laki dan juga ada perempuan. Sehingga struktur sosial
harus menumbuhkan perlakuan sesuai yang menempatkan lakilaki dan perempuan dalam dataran keadilan. Ketika seorang istri
berada pada sektor domistik (kerumah tanggaan), sementara suami
sebagai kepala keluarga mengenai urusan publik, bukan berarti
menyentuh dimensi diskriminasi. Dalam posisi seperti itu, isteri
bergantung kepada suami pada urusan publik, begitu juga
sebaliknya, suami bergantung kepada istri pada urusan domestik.17
Hal senada juga dijelaskan oleh Syafiq Hasyim, ijtihad jangan
didominasi dan jangan hanya dimaknai sebagai persoalan hasil
penafsiran semata, tapi harus dimaknai sebagai persoalan yang
16
17
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001, hal. 8
Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga dalam Islam, hal. 12. Lihat pula Yasir Alimi,
Advokasi Hak-Hak Perempuan Membela Hak-Hak Mewujudkan Perubahan, Yogyakarta:
LkiS, 1999, hal.154. lihat juga Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami,
Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999, hal. 59. Lihat juga Musdah Mulia,
Negara Islam, Depok: Paramadina, 2000, hal. 152.
Jurnal STUDIA QURANIKA
Integrasi Laki-laki dan Perempuan
213
global. Persoalan yang menyeluruh yang menyangkut hajat dasar
kehidupan manusia sesuai dengan tujuan agama itu sendiri sebagai
pemenuhan atas kebutuhan dasar manusia. Ijtihad pada dasarnya
adalah mekanisme untuk mempertahankan hubungan antara
agama dengan kehidupan sosial. Kalau ijtihad mati maka kehidupan sosial menjadi kering karena agama tidak ada di sana. Karena
itu, ijtihad juga harus menyangkut kehidupan sosial.
Tak diragukan lagi bahwa pembentukan wacana tafsir tidak
terlepas dari prinsip keadilan. Para mufasir yang membangun
wacana tafsir adalah mereka yang sangat terkenal dengan sifat
keadilan dan ke-dhabit-annya.18
Dalam konteks ini, yang dimaksud Syafiq, prinsip keadilan
adalah adanya kesesuaian dalam memandang hak dan kewajiban
antara perempuan dan laki-laki secra proporsional, sesuai dengan
hakekat asal kejadian kedua jenis manusia yang memang diciptakan oleh Allah swt.
Keadilan tersebut sesuai dengan sifat Tuhan yang Maha Adil,
dan secara jelas dinyatakan dalam al-Qur’an bahwa Tuhan tidak
pernah berbuat dzalim. Al-Qur’an sebagai firman Allah tidak bisa
dijadikan sumber ketidakadilan kemanusiaan, dan ketidakadilan
terhadap perempuan muslimah tidak bisa difahami sebagai berasal
dari Tuhan (god-devired). Tujuan Islam adalah memantapkan keadilan
di bumi. Kesesuaian sebagai prinsip utama keadilan termaksud di
atas harus diagendakan dalam rangka memberantas suatu tafsir baru
yang berperspektif keadilan gender. Keadilan gender dimaksud
adalah memandang sesuai atas kedudukan laki-laki dan perempuan,
berdasarkan perbedaan-perbedaan yang bersifat kodrati.
Untuk memahami perbedaan gender yang melahirkan
ketidakadilan tersebut dapat dilihat melalui berbagai manifestasi
dari ketidakadilan. Ketidakadilan gender termanifestasi dalam
berbagai bentuk ketidakadilan, terutama pada perempuan, misalnya menyelaraskan dan menyamakan seluruh peran perempuan
dunia bahwa mereka itu sama dengan kemampuan laki-laki,
padahal mayoritas perempuan bersifat lemah lembut, cantik,
emosional, atau keibuan, meskipun ada sebagian kecil dari
perempuan yang memiliki kemampuan seperti laki-laki.19
18
19
Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan, hal. 262.
Alawy Rachman, Gelas Kaca Dan Kayu Bakar, Pengalaman Perempuan Dalam
Pelaksanaan Hak-Hak Keluarga Berencana, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hal. 7.
Vol. 1, No. 2, Januari 2017
214 Agus Hermanto
Al-Qur’an secara normatif menegaskan konsep kesesuaian
antara laki-laki dan perempuan. Konsep kesesuaian itu mengisyaratkan, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak dalam
bidang sosial, ekonomi dan politik. Keduanya harus memiliki
kesesuaian untuk melakukan kontrak perkawinan atau memutuskannya, keduanya memiliki hak yang mengatur harta atau
miliknya tanpa campur tangan orang lain. 20 Keadilan tersebut
meliputi marjinalisasi (kemiskinan ekonomi), subordinasi stereotype
(pelabelan), kekerasan (violence), dan beban ganda.
Kesimpulan
Islam merupakan benteng yang kuat untuk mewujudkan
hak antara laki-laki dan perempuan. Proses penciptaan, al-Qur’an
menempatkan laki-laki dan perempuan pada dataran yang sama,
namun memiliki keunggulan pada tiap masing-masingnya.
Demikian itu, yang perlu dipahami oleh gerakan feminisme dalam
menyikapi polemik gender dalam masyarakat Indonesia. Menempatkan perempuan pada urusan domestik, tidak berarti
merendahkan posisinya di masyarakat atau bahkan tidak memiliki
nilai sebab tidak terlalu dibutuhkan, begitu juga sebaliknya,
menempatkan laki-laki pada urusan publik, tidak berarti menempatkan pada posisi yang urgen, akan tetapi kerja sama
keduanya sangatlah dibutuhkan dan menentukan, sehingga tercipta
kehidupan yang dinamis dan menciptakan keteraturan hidup.
Daftar Pustaka
Ahmed, Laela. Wanita dan Gender dalam Islam Akar-Akar Historis
Perdebatan Modern, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1992.
Alimi, Yasir. Advokasi Hak-Hak Perempuan Membela Hak-Hak
Mewujudkan Perubahan, Yogyakarta: LkiS, 1999.
Amin, Qasim. Penindasan Perempuan Menggugat Islam Laki-Laki
Menggugat Perempuan Baru, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Anisah, Ratna Batara Munti dan Hindun. Posisi Perempuan dalam
Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 2005.
20
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, hal. 3.
Lihat Naomi Wolf, Gegar Gender, Yogyakarta: Pustaka Semesta Press, 1970, hal. 100
Jurnal STUDIA QURANIKA
Integrasi Laki-laki dan Perempuan
215
Al-Barry, Muhammad. Dahlan Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Penerbit Arloka, 1994.
Kamla Bhasin Dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai
Feminisme Dan Relevansinya, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama Bekerjasama Dengan Kalyana Mitra
Beilharz, Peter. Teori-Teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para
Filosof Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Bowen, John R. Qur’an Justice, Gender: Internal Debates in Indonesian
Islamic Jurisprudence, dalam Histories of Religion, Chicago: The
University of Chicago, 1998.
Ciciek, Farha. Pergulatan Lintas Agama, Jakarta: Kapal Perempuan,
2010.
Connolly, Petter. Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS,
1999.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini. Rekontruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
Effendi, Bakhtiar. Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan
Praktek, 2005.
Engineer, Asgar Ali. Pembebasan Perempuan, Yogyakarta: LkiS, 2007.
al-Faruqi, Lamya. Ailah Masa Depan Kaum Wanita, Surabaya:
Alfikr, 1997.
Faqih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999.
, Menggeser Konsepsi Gender dan Trasformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Fuadudin. Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam, Jakarta:
Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999.
Herlina, Apong. laporan hasil penelitian, A Study of Gender and
Acces to Justice in Indonesia, 1999.
Ilyas, Yunahar. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan
Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Ihromi, Tapi Omas. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Bandung: PT Alumni, 2006.
Vol. 1, No. 2, Januari 2017
216 Agus Hermanto
Ismail, Nur Jannah. Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki
dalam Penafsiran, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Istiadah. Pembagian Kerja Rumah Tangga dalam Islam, Jakarta:
Lembaga Kajian Agama dan Gender. 1999.
Jarullah, Syeikh ‘Abdullah bin Ibrahim. Tanggung Jawab Wanita
Muslimah, Mukhtar Nasir (penterj.), Solo: Pustaka Mantiq,
1999.
Katjasungkana. A Study of Gender and Acces to Justice in Indonesia,
Jakarta: LBH, 1991.
Khan, Nighat Said. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya, Terj, S. Harlina, Jakarta: Gramedia1995.
Lev. Daniel S. Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia,
dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia,
New York: Cornell University Press, 1972.
Lopa, Bahariddin. al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia,
Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa, 1996.
Manshûr, Abdul Qâdir. Buku Pintar Fikih Wanita Segala Hal yang
Ingin Anda Ketahui tentang Perempuan dalam Hukum Islam,
Jakarta: Zaman, 2005.
Marata, Sachiko. The Tao Of Islam Kitab Rujukan Tentang Relasi
Gender dan Kosmologi dan Teknologi Islam, Bandung: Mizan,
1998.
Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru
Tentang Relasi Gender, Bandung: Mizan Pustaka, 1999.
Mernisi, Fatima. Wanita di dalam Islam, Yaziar Radianti (penterj.)
Wanita di dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1991
, Setara Kehidupan Allah, Yogyakarta: Yayaan Prakarsa, 1995.
, Setara di Hadapan Allah: Relasi Laki-Laki dan Perempuan
dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Yogyakarta: Lembaga
Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak [LSPPA]
Yayasan Prakarsa, 1991.
Muhammad, Husein. Mengenal Hak Kita: Perempuan, Islam, Hukum
dan Adat di Dunia Islam, Kantor Komnas HAM, Jakarta,
Kamis (18/3/2010), 2010.
Jurnal STUDIA QURANIKA
Integrasi Laki-laki dan Perempuan
217
Mulia, Musdah. Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta:
Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999.
, Negara Islam, Depok: Paramadina, 2000.
Munti, Ratna Bantara. Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: LBH-APIK, 2005.
Muslikhati, Siti. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam
Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
Mustaqim, Abdul. tt. Paradikma Tafsir Feminis Membaca al-Qur’ân
dengan Optik Perempuan Pemikiran Tentang Riffat Hasan
tentang Isu Gender dalam Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka
Rachman, Alawy. Gelas Kaca Dan Kayu Bakar, Pengalaman
Perempuan Dalam Pelaksanaan Hak-Hak Keluarga Berencana,
Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Ramulyo, Muhammad Idris. Hukum Perkawinan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 1996.
Richards, Jannet Racleffe. The Sceptical Feminist, USA: Pelican Book,
1996.
Sa’ad, Thablawy Mahmud. Al-Tasawwuf fi Turats Ibnu Taimiyyah,
Mesir: Al Ha’i Al Hadits Al Mishriyyah Al Ammah li Al Kitab,
1984.
al-Shabuni, Ali. Rawai’ al-Bayan, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islamiyah,
Vol. 1, 2001.
Shadily, John M. Echol dan Hassan. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia, Cet. xix, 1993.
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,
Jakarta: Rajawali, 2004.
Hasim, Syafiq. Menakar Harga Perempuan, Bandung: Mizan, 1999.
Syazee. Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad,
Islamabad: Islamic Reseach Institute, 1994.
As-Subki, Muhammad Ali Yusuf. Fikih Keluarga Pedoman Keluarga
dalam Islam, Jakarta: Amzah, 2010.
Tuttle, Lisa. Encyclopedia of Feminisme, New York: Facts of File, 1986.
Qardlawi, Yusuf. Ketika Wanita Menggugat, Jakarta: Teras, 2004.
Vol. 1, No. 2, Januari 2017
218 Agus Hermanto
Umar, Nasarudin. Argumen Kesetaraan Gender, Jakarta: Paramadina,
2001.
Wolf, Naomi. Gegar Gender, Yogyakarta: Pustaka Semesta Press,
1970.
Jurnal/ Makalah
Harsono, Robeka G. “Merancang Gerakan Generasi Muda Perempuan
Era Postmodernisme”, Makalah, disampaikan dalam Seminar
Sehari Korp PMII Fak. Dakwah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 1994.
Himawan, Anang Haris. “Teologi Feminisme dalam Budaya
Global: Telaah Kritis Fiqh Perempuan”, dalam jurnal Ulumul Qur’an,
No: 4 Vol VII, 1997.
Jurnal STUDIA QURANIKA
Download