ISSN: 1907 - 0144 HUKUM ADAT SEBAGAI NILAI TATA BUDAYA MASYARAKAT DAYAK KALIMANTAN TENGAH Oleh : I Made Kastama * Abstrak Aktivitas sosial masyarakat Dayak yang diharapkan terjadi adalah suatu keadaan dimana para warga masyarakat merasa damai, aman, tenteram, rukun dan sejahtera. Di kehidupan masyarakat manapun, selalu mendambakan kondisi adil dan makmur, yang menjamin kelangsungan hidup manusia yang manusiawi, demikian juga kita sebagai warga negara Indonesia. Tetapi hal ini sangat sulit diwujudkan, karena dinamika kehidupan masyarakat yang harus berganti dan berkembang seiring dengan perkembangan jaman dan sarat dengan berbagai kepentingan untuk bertahan hidup. Menurut Undang-Undang 1945 pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi : negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Artinya dimana negara tersebut masih mengakui dan menghormati tentang hak-hak adat dan hukum adat, yang masih hidup dan dianggap berlaku di tengah masyarakat, yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, sepanjang masyarakat tersebut masih menghormati dan mentaati dengan hak-hak adat beserta hukum adat serta adat istiadat yang masih berlaku di masyarakat setempat. Adat istiadat merupakan salah satu unsur budaya bangsa yang mengantar hidup dalam bermasyarakat, hendaknya terus dilestarikan guna memperkaya budaya bangsa yang ada sehingga masyarakat dapat memahami budaya daerah yang luhur dan beradab. Adat istiadat memiliki sifat kebersamaan yang kuat artinya manusia dalam hukum adat adalah mahkluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat. Dalam perkembangan budaya perlu ditumbuhkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi dan berperan aktif dalam aktivitas budaya tersebut, walaupun adat istiadat masing-masing daerah saling berbeda namun pada hakikatnya adalah sama yaitu wadah masyarakat saling bekerja sama serta sebagai kaidah hidup yang diyakini oleh masyarakat. Kata Kunci : Hukum Adat, Tata Budaya, Singer * Penulis adalah Dosen pada Jurusan Hukum Agama Hindu STAHN-TP Palangka Raya Tampung Penyang: Volume IX No. 2 Agustus 2011 19 I. Pendahuluan Dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai anggota masyarakat selalu terikat oleh aturan dalam kebiasaan-kebiasaan aturan, inilah yang disebut dengan hukum adat dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi. Begitu pula pada kehidupan masyarakat Dayak dengan ciri khasnya yang paling unik yaitu dikenal dengan istilah "Belom Bahadat” dengan simbul Rumah Betang, belum bahadat artinya yaitu saling menghormati dan saling menghargai antara sesama, orang lain atau prilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari, serta norma-norma tingkah laku yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan masyarakat suku Dayak yang tinggal di rumah betang sangat rukun, kehidupan mereka dengan mata pencahariannya bertani dan berladang, bekerja saling tolong menolong dengan istilah gotong royong (Habaring Hurung) dalam menyelesaikan setiap pekerjaannya. Selanjutnya sekitar abad ke 16 masukah ajaran dan budaya lain melalui penjajahan Belanda, ajaran baru tersebut setidaknya membawa dampak tersendiri dengan mempengaruhi adat istiadat masyarakat suku Dayak, yang sudah secara turun temurun dilaksanakan dan diwarisi oleh nenek moyangnya. Di awal masuknya penjajahan Belanda perubahan fisik bangunan juga dialami, gedung atau bangunan sekolah yang disebut Sending School. Kondisi demikian diperparah lagi dengan kebiasaan Kayau-mengayau sehingga antara suku Dayak yang satu dengan suku Dayak yang lainnya saling bermusuhan. Akibatnya bagi suku-suku yang kalah perang menjadi tawanan dan para saudaranya itu diambil menjadi Jipen atau Budak. Saat itu terjadilah kehidupan yang disebut Belum Hajipen akibat masuknya penjajahan Belanda tidak sedikit masyarakat Dayak yang sebelumnya menganut agama Helu (Agama Kaharingan), berubah menjadi penganut agama baru. Secara tidak langsung perpindahan aliran kepercayaan tersebut, juga membawa dampak tersendiri juga mengenyampingkan kebiasaankebiasaan lokal dan tidak lagi memperhatikan adat istiadat dan budaya agama Helu. Hal ini mengakibatkan semakin melemahnya persatuan dan kesatuan warga masyarakat Dayak. Untuk menghapus kehidupan Hajipen (saling membudak) pada tahun 1894 terjadilah peristiwa sejarah yang amat penting yaitu pelaksanaan ”Rapat besar Damai di Tumbang Anoi” yang dihadiri seluruh peserta berjumlah 136 orang untuk mewakili dari masing-masing suku yang ada di seluruh Kalimantan. Rapat tersebut menghasilkan Hukum Adat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah yang terdiri dari 88 pasal dan 8 pasal tambahan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah. Tata aturan adat singer tersebut sangat berperan guna mengatur tata kelakuan pergaulan hidup warga masyarakat agar tercipta ketertiban, ketentraman, keharmonisan dan suasana sejuk di dalam masyarakat. Dengan adanya kesepakatan bersama tersebut sudah seyogyanya pula harus ditaati dan dilaksanakan bersama sehingga masyarakat tetap seimbang. Menurut Mallinckrodt (dalam Koentjarningrat, 1958 : 326) penduduk asli Kalimantan percaya bahwa dalam keadaan biasa masyarakat berada di dalam keseimbangan. Sebaliknya didalam keadaan kritis, maka keseimbangan itu menjadi goncang. Kegoncangan itu terjadi sebagai akibat adanya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap tata aturan adat. Tampung Penyang: Volume IX No. 2 Agustus 2011 20 Adanya pelanggaran yang dilakukan oleh warga masyarakat tersebut maka muncul reaksi dari masyarakat dimana warga masyarakat tersebut melakukan pelanggaran berupa kecaman maupun ancaman fisik. Perbuatan yang dilakukan itu oleh penguasa adat perlu diberikan sanksi yang bentuknya bermacam-macam. Sedangkan menurut Soepomo (1982 : 112) bahwa dalam alam pikiran yang bersifat kosmis, sangat dirasakan pentingnya keseimbangan antara dunia lahir dan gaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang perorangan. Segala perbuatan yang mengganggu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali keseimbangan. II. Tinjauan Tentang Tindakan Sosial Tindakan sosial adalah hal-hal yang dilakukan individu atau kelompok di dalam interaksi dan situasi sosial tertentu. (J. Dwi Narwoko – Bagong Suyanto 2010 : 20). Weber menyebut metode yang dikembangkannya sebagai verstehen. Karena sosiolog juga manusia, mengapresiasi lingkungan sosial dimana mereka berada, memperhatikan tujuan-tujuan warga masyarakat yang bersangkutan dan oleh sebab itu berupaya memahami tindakan mereka. Sedangkan masalah utama bagi Parsons, bukanlah tindakan individu, tetapi norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan mengatur tingkah laku. (Poloma, 2010 : 170). Max Weber mengklasifikasikan ada empat jenis tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat. Keempat jenis tindakan sosial itu adalah (1). Rasionalitas instrumental. Di sini tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. (2). Rasinalitas yang berorientasi nilai. Sifat rasional tindakan jenis ini adalah bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. (3). Tindakan tradisional. Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. (4). Tindakan afektif. Tipe tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional dan merupakan ekspresi emosional dari individu. Interaksi sosial merupakan syarat utama bagi terjadinya aktivitas sosial dan hadirnya kenyataan sosial sebagai suatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial. Ketika berinteraksi, sesorang atau kelompok sebenarnya tengah berusaha atau belajar bagaimana memahami tindakan sosial yang mereka lakukan. Sebaliknya, hampir semua tindakan manusia adalah sukarela (volentary). Tindakan itu adalah produk dari suatu keputusan untuk bertindak, sebagai hasil dari pikiran. Hampir semua yang kita lakukan adalah hasil dari memilih tindakan dengan suatu cara tertentu bukan cara lain. Kita memilih di antara banyak pilihan, karena kita sebagai manusia kita mampu mengarah kepada tujuan atau hasil dan mengambil tindakan untuk mencapainya. Oleh karena itu, hampir semua tindakan Tampung Penyang: Volume IX No. 2 Agustus 2011 21 manusia adalah tindakan yang disengaja, kita mewujudkan tindakan tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang dikehendaki. Dengan menggunakan teori tindakan ini kita akan dapat menginterpretasikan tindakantindakan si pelaku dan memahami rasionalitas dibalik tindakan si pelaku. Sejalan dengan penelitian ini kita dapat melakukan intepretasi terhadap tindakan-tindakan sosial warga masyarakat yang melanggar kaedah-kaedah sosial dan bagaimana reaksi masyarakat terhadap tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga masyarakat tetap seimbang. III. Lembaga Adat Sebagai Tempat Mempertahankan Ketentuan Hukum Adat Dalam Menyelesaikan Kasus-Kasus Adat Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutary law) meliputi peraturan-peraturan hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, tetapi ditaati oleh masyarakat berdasarkan keyakinan bahwa peraturan itu mempunyai kekuatan hukum. I Nengah Lestawi (1999 : 4) Di dalam hukum Adat, nilai tertinggi adalah sistem sosial budaya yang mengandung prinsipprinsip pokok, yang di bawahnya terdapat sistem norma-norma yang berfungsi sebagai azas-azas hukum (rechtsbeginselen). Selanjutnya untuk kepentingan pelaksanaan sistem norma tersebut dijabarkan ke dalam aturan-aturan hukum (rechtsregel). Ada dua bagian yang membuktikan bahwa hukum Adat merupakan unsur atau bagian tak terpisahkan dari kebudayaan : a. Sebagai titik tolaknya ia mendasarkan diri pada cara berpikir, jiwa dan struktur masyarakat sebagai suatu ciri dari kebudayaan masyarakat, dengan adanya jiwa dan struktur ini membedakan kebudayaan masyarakat yang satu dengan yang lainnya. b. Hukum yang tumbuh dan hidup serta berkembang pada masyarakat yang bersangkutan merupakan penjelmaan dari jiwa dan struktur masyarakat itu sendiri, oleh karena itu ia sampai pada kesimpulan bahwa hukum Adat di Indonesia senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum Adat itu berlaku. Bushar Muhammad (2002 :13) Hukum Adat hendaknya diberi fungsi sebagai pendorong bagi usaha-usaha baru dalam masyarakat yang menunjang pembangunan. Pembangunan hukum telah menciptakan sistem hukum dan produk hukum yang mengayomi dan memberikan landasan hukum bagi kegiatan masyarakat dan pembangunan. Pembangunan hukum selanjutnya masih perlu memperhatikan peningkatan pemasyarakatan hukum, meningkatkan pelaksanaan penegakan hukum secara konsisten dan konsekuaen, peningkatan aparat penegak hukum yang berkualitas dan bertanggung jawab serta penyediaan sarana dan prasarana pendukung yang memadai. Hukum harus dapat dijadikan dasar untuk menjamin agar masyarakat dapat menikmati kepastian/ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, maka hukum itu harus mencerminkan nilai-nilai sosial yang sesuai dengan nilai tata budaya masyarakat, memenuhi nilai filosofis yang berintikan kebenaran dan nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan Tampung Penyang: Volume IX No. 2 Agustus 2011 22 Undang-undang yang berlaku, sehingga hukum dapat menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran hukum masyarakat. Hukum yang mencerminkan nilai-nilai tata budaya masyarakat salah satunya adalah hukum Adat yang seharusnya diberikan kesempatan dan tempat untuk berlaku dan ditegakkan oleh aparat yang berwenang nilai-nilai hukum yang terkandung di dalamnya telah membudaya dan dihormati sebagai suatu pedoman dalam tingkah laku masyarakat. Dengan demikian kesadaran hukum masyarakat akan lebih mudah berkembang dan bahkan penghormatan terhadap hukum Adat akan lebih merata pada lapisan masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat merupakan nilai-nilai kesadaran yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum Adat yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. “Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada”. Soerjono Soekanto (2001 : 316) Pada masyarakat dengan kebudayaan dan struktur sosialnya yang sederhana, aturan hukum timbul dan tumbuh sejalan dengan pengalaman warga-warga masyarakat dalam proses interaksi sosial. Kita akan lihat masyarakat dengan struktur sosial sederhana dengan ciri-ciri utamanya : a. Hubungan dalam keluarga dan dalam masyarakat setempat amat kuat; b. Organisasi sosial pada pokoknya didasarkan atas adat istiadat yang terbentuk menurut tradisi; c. Kepercayaan kuat pada keluatan-kekuatan gaib yang mempengaruhi kehidupan manusia, akan tetapi tidak dapat dikuasai olehnya; d. Tidak ada lembaga-lembaga khusus untuk memberi pendidikan dalam bidang teknologi, keterampilan diwariskan oleh orang tua kepada anak sambil berpraktek dengan sedikit teori dan pengalaman dan tidak dari hasil pemikiran atau eksperimen; e. Hukum yang berlaku tidak tertulis, tidak kompleks dan pokok-pokoknya diketehui dan dimengerti oleh semua anggota dewasa dari masyarakat; f. Ekonominya sebagian besar meliputi produksi untuk keperluan keluarga sendiri atau bat pasaran kecil setempat sedang uang sebagai alat penukar dan alat pengukur harga berperan terbatas; g. Kegiatan ekonomi dan soaial yang memerlukan kerjasama orang banyak dilakukan secara tradisional dengan gotong royang tanpa hubungan kerja antara buruh dengan majikan. Selo Soemarjan (1976 : 3) Dengan melihat ciri-ciri tersebut, masyarakat struktur sosial sederhana mempunyai hubungan dalam keluarga dan dalam masyarakat setempat sangat kuat, hal ini disebabkan oleh karena adanya orientasi yang sangat kuat bahwa kehidupan manusia tergantung pada sesamanya dan saling membutuhkan. Kehidupan berkelompok tersebut ditunjang oleh ikatan kekerabatan dan ikatan tempat kediaman yang sama sehingga sangat terasa pengaruh daripada keluarga-keluarga luas maupun kelompok-kelompok besar yang terikat pada persamaan wilayah. Tampung Penyang: Volume IX No. 2 Agustus 2011 23 Organisasi sosial yang ada dalam masyarakat struktur sosial sederhana pada pokoknya didasarkan atas adat istiadat yang berbentuk turun temurun menurut tradisi. Pemimpin masyarakat dalam suatu persekutuan/kelompok masyarakat dipilih berdasarkan suatu peristiwa (dari keturunan pembuka desa) atau dari anggota tertua dari famili yang tertua yang mempunyai kewibawaan. Kewibawaan pemimpin masyarakat dalam organisasi sosial masih besar pengaruhnya dan diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengikuti perkembangan masyarakat dan mampu menjaga perkembangan masyarakat agar tidak menyimpang dari norma-norma dan nilai-nilai. Dalam masyarakat Adat, tidak jarang terjadi ketegangan-ketegangan sosial karena terjadi pelanggaran Adat oleh seseorang atau sekelompok warga masyarakat yang bersangkutan. Ketegangan-ketegangan itu akan pulih kembali bilamana reaksi masyarakat yang berupa pemberian sanksi adat telah dilakukan atau dipenuhi, oleh si pelanggar adat. Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa dalam masyarakat sederhana ada suatu kecenderungan yang sangat kuat bahwa segala ketentuan hukum haruslah dijalankan secara sukarela artinya didalam penegakan hukum/aturan hukum (adat) tidak ada unsur paksaan, oleh karena segala tindakan yang diambil terhadap penyimpangan merupakan suatu usaha untuk mengembalikan keadaan pada situasi semula. Menurut Hukum Adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan ilegal, sehingga hukum Adat mengenal ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum (Rechtsherstel) jika hukum itu dilanggar. Hukum adat mengenal pula upaya-upaya untuk memulihkan hukum jika hukum itu diperkosa. Hukum adat tidak memisahkan antara pelanggar hukum yang mewajibkan tuntutan untuk memperbaiki kembali hukum di lapangan Hukum Pidana dengan pelanggar hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan Hukum Perdata. Berhubung dengan ini di dalam istilah Hukum Adat tidak ada perbedaan secara (prosedur) dalam penentuan secara perdata (sipil) dan penentuan secara kriminal. Apabila terjadi pelanggaran hukum, maka petugas hukum (Kepala Adat dan sebagainya) mengambil tindakan konkrit (reaksi adat) guna membetulkan hukum yang dilanggar itu. Dalam penegakan hukum Adat, maka dalam perumusan dan penetapan sanksi Adat harus merupakan tindakan yang matang mengenai kebijakan yang seharusnya diambil apabila terjadi suatu pelanggaran hukum Adat. Dengan perkataan lain, tahap ini harus merupakan tahap perencanaan strategis yang diharapkan dapat memberikan arah bagi Lembaga penegak hukum Adat dalam menjatuhkan sanksi. Dalam ketentuan-ketentuan peraturan hukum Adat selalu akan ditemukan adanya norma atau kaidah yang memberikan larangan (verbood) atau keharusan (gebod) yang membatasi hak-hak warga masyarakat sebagai perseorangan dan mengatur haknya terhadap orang lain, sehingga terdapat ketertiban hukum, disamping itu adanya sanksi yang mengatur terhadap pelanggaran norma atau kaidah yang telah diatur tersebut. Dari sudut sifatnya, sanksi merupakan akibat hukum (rechtsgevolg) dari pelanggaran suatu kaidah, sedangkan dilihat dari tugasnya sanksi adalah suatu jaminan bahwa norma akan ditaati. Satochid Kertenegara (1980 : 47) Sekalipun dikenal adanya sanksi di dalam lapangan bidang hukum lainnya, misalnya dalam lapangan hukum pidana, tidaklah dapat disamakan dengan sanksi dalam hukum Adat, dimana dalam hukum pidana sanksi yang dijatuhkan berupa pidana atau penderitaan sedangkan dalam Tampung Penyang: Volume IX No. 2 Agustus 2011 24 hukum Adat merupakan sanksi singer atau pembayaran denda. Apabila kasus Adat tersebut tidak dapat diselesaikan dengan Hukum Adat maka kasus tersebut dapat dilimpahkan melalui lembaga yang berwenangan yaitu pihak Kepolisian (Penyidik), Kejaksaan (Penuntut Umum). Berkenaan dengan itu maka dalam rangka penanggulangan tindak kejahatan perlu menggunakan sanksi pidana atau kejahatan perlu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana. Sanksi pidana merupakan sanksi yang tajam dan selalu dipertahankan apabila ternyata sanksi di bidang hukum lainnya termasuk Hukum Adat tidak cukup untuk menjamin pentaatan terhadap hukum yang ada. Oleh karena itu sanksi hukum pidana yang merupakan penderitaan atau nestapa adalah suatu alat terakhir ( uiterste middle atau ultimatum remedium). Dalam penegakan dan penerapan Hukum Adat Demang atau Kepala Adat yang ditunjuk oleh masyarakat melalui Lembaga Peradilan Adat mempunyai kebebasan dalam menentukan berat ringannya sanksi atau denda sebagai yang disebutkan dalam rumusan Hukum Adat setempat yang didakwakan atau yang dituduhkan telah dilanggar, namun kebebasan tersebut bukanlah kebebasan yang sewenang-wenang, akan tetapi dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi aparat penegak Hukum Adat untuk memperhitungkan seluruh aspek yang berkaitan dengan pelanggaran yang terjadi, mengenai berat ringannya pelanggaran, keadaan pribadi pelaku, keadaan serta suasana waktu pelanggaran terjadi. Kebebasan Demang/Kepala Adat dalam menentukan sanksi bahwa bebas menjatuhkan sanksi sesuai dengan keadilan dan Hukum Adat, kebebasan mana dibatasi oleh Hukum Adat dan adat istiadat. Delik Adat lahir atau baru dikatakan pelanggaran terhadap Hukum Adat apabila suatu ketika petugas hukum Adat mempertahankan suatu ketentuan Hukum Adat terhadap orang yang melanggar ketentuan Hukum Adat itu atau dalam hal tindakan petugas Hukum Adat merupakan pencegahan atas pelanggaran ketentuan tersebut. Hukum Adat tidak mengenal peraturan-peraturan “prae existence”. Karenanya yang dapat ditentukan adalah bahwa hakim menurut Hukum Adat tidak boleh menghukum suatu perbuatan, yang pada saat perbuatan itu dilakukan tidak ada anggapan masyarakat (perasaan keadilan/hukum rakyat) bahwa perbuatan itu menentang hukum. Mengenai luasnya kebebasan Kepala Adat/Damang dalam menentukan berat ringannya sanksi yaitu dengan menanggapi gagasan masyarakat dengan pengertian bahwa Kepala Adat/Damang dalam memberikan hukuman yang berupa penjatuhan sanksi harus menyadari apa makna penjatuhan sanksi itu, harus menyadari pula apa yang hendak dicapai. Karena dalam menetapkan hukum, Damang tidak semata-mata hanya menegakkan hukum demi hukum itu sendiri, melainkan harus memperhatikan kemanfaatan sosial dan perasaan keadilan masyarakat. Jadi sanksi adat mempunyai fungsi dan peran sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir (mikro dan makro) dengan dunia gaib atau mempunyai maksud untuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat menjadi tidak goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud. Penegakan Hukum Adat Terhadap Masyarakat Dayak tetap eksis dilaksanakan oleh Let Kedamangan, hal ini disebabkan karena Hukum Adat sangat sesuai dengan budaya dan adat istiadat setempat. Menurut tradisi masyarakat adat istiadat tersebut tidak akan hilang atau punah Tampung Penyang: Volume IX No. 2 Agustus 2011 25 artinya, masih tetap dilaksanakan, sepanjang orang atau masyarakat masih percaya akan penerapan Hukum Adat tersebut. Damang Koordinator adalah pimpinan Adat dan forum komunikasi para Damang yang berkedudukan di ibukota Kabupaten sebagai mitra pemerintah Daerah dalam bidang pemberdayaan, pelestarian, pengembangan adat istiadat, kebiasan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat serta Hukum Adat di wilayahnya. Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat, berkedudukan sebagai mitra Camat dalam bidang pemberdayaan, pelestarian, pengembangan adat istiadat, kebiasaankebiasaan masyarakat dan lembaga adat serta Hukum Adat di wilayahnya. Mantir Adat adalah pimpinan Adat berkedudukan di desa/Kelurahan sebagai mitra Kepala Desa/Lurah dalam bidang pemberdayaan, pelestarian, pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga Adat serta Hukum Adat di wilayahnya. Damang Koordinator, Damang Kepala Adat dan Mantir Adat sesuai dengan tingkatannya masing-masing bertugas : a. Mengawasi berlakunya Hukum Adat serta memelihara lembaga-lembaga Adat; b. Membantu kelancaran pelaksanaan eksekusi dalam perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, apabila diminta oleh pejabat yang berwenang; c. Menyelesaikan perselisihan dan pelanggaran Adat, dimungkinkan juga masalah-masalah yang termasuk dalam perkara pidana, baik dalam pemeriksaan pertama maupun dalam sidang penyelesaian terakhir sebagaimana lazimnya menurut adat yang berlaku; d. Berusaha untuk menyelesaikan dengan cara damai jika terdapat perselisihan intern suku dan antara satu suku dengan suku lain yang berada di wilayahnya; e. Memberikan pertimbangan baik diminta maupun tidak diminta kepada pemerintah tentang masalah yang berhubungan dengan tugasnya; f. Memelihara, mengembangkan dan menggali kesenian dan kebudayaan daerah serta memelihara benda-benda dan tempat-tempat bersejarah warisan nenek moyang; g. Membantu pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terutama di bidang kemasyarakatan dan budaya; h. Jika diminta memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap ha-hal yang menyangkut adanya persengketaan atau perkara perdata adat sesuai Hukum Adat; i. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Dayak dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Nasional pada umumnya dan kebudayaan Dayak pada khususnya; j. Mengelola hak-hak adat dan atau harta kekayaan adat, harta kekayaan kedamangan untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih layak dan lebih baik Fungsi Damang Koordinator, Damang Kepala Adat dan Manir Adat adalah : a. Mengurus dan memberdayakan, mengembangkan dan melestarikan hukum Adat, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat dalam wilayahnya; b. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan c. Penengah, mendamaikan sengketa yang timbul di masyarakat. Tampung Penyang: Volume IX No. 2 Agustus 2011 26 IV. Penutup Pada prinsipnya tiap persengketaan/perselisihan/ permasalahan keluarga, antar keluarga atau antar masyarakat diselesaikan terlebih dahulu secara damai melalui musyawarah Adat. Apabila tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah adat diselesaikan oleh Mantir Adat, Damang Kepala Adat dan Damang Koordinator secara berjenjang menurut tingkatannya. Segala perselisihan dan sengketa yang telah didamaikan oleh Mantir Adat, Damang Kepala Adat dan Damang Koordinator dalam suatu rapat Adat bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih/bersengketa. Para pihak yang tidak mengindahkan Keputusan Adat dikenakan sanksi adat yang lebih berat oleh karena merusak kata kesepakatan dan mengganggu keseimbangan yang hidup dalam masyarakat. Sanksi Adat yang dijatuhkan dalam Rapat Let Kedamangan memiliki sifat untuk mengembalikan dan penyempurnaan keadaan agar terciptanya keamanan, kesejahteraan dan yang paling penting agar tidak terjadi lagi pelanggaran serupa atau pelanggaran yang lainnya. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan Damang Kepala Adat tidak dapat menyelesaikan atau para pihak yang berselisih / bersengketa merasa tidak puas terhadap keputusan Adat, maka ia dapat mengajukan perkaranya kepada Damang Koordinator atau aparat penegak hukum. Keputusan Adat yang telah dijatuhkan kepada pihak-pihak yang bersengketa dapat dijadikan salah satu pertimbangan oleh aparat penegak hukum dalam penyelesaikan sengketa, apabila kasus Adat tersebut tidak puas diselesaikan/dengan hasil keputusan dengan Hukum Adat maka kasus tersebut dapat dilimpahkan melalui lembaga yang berwenangan yaitu pihak Kepolisian (Penyidik). Daftar Pustaka Kartenegara Satochid, 1980. Hukum Pidana, Bagian II Balai Lektur Mahasiswa, Bandung. Koentjaraningrat, 1958. Metode-Metode Antropologi Dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat Dan Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia Lestawi I Nengah, 1999. Hukum Adat, Paramita, Surabaya. Muhammad Bushar, 2003. Azas-Azas Hukum Adat Suatu Pengantar, cetakan ke-12 PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Narwoko J. Dwi – Bagong Suyanto, 2010 Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan, Kencara Prenada Media Group, Jakarta. Poloma Margaret M., 2010. Sosiologi Kontemporer, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekanto Soerjono, 2001. Hukum Adat Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Soemarjan Selo, 1976. Teknologi Dalam Lingkungan Sosial, Jakarta, Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, U.I. Undang-Undang Dasar 1945 Riwut Tjilik dan Sanaman Mantikei, Maneser Panatau Tatu Hiang Menyelami Kekayaan Leluhur, Pusakalima, Palangka Raya. Tampung Penyang: Volume IX No. 2 Agustus 2011 27