BAB V KESIMPULAN Desa sebagai bagian dari

advertisement
BAB V
KESIMPULAN
Desa sebagai bagian dari kesatuan wilayah pemerintahan Republik Indonesia
merupakan subjek penting yang turut berkontribusi terhadap proses pembangunan
nasional. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan desa diperlukan melalui sinergi
berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga masyarakat
lokal. Sejalan dengan hal tersebut, adanya berbagai regulasi yang mengatur eksistensi
desa khususnya desa adat turut menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah usaha
untuk mensejahterakan masyarakat. Meskipun demikian, perlu disadari bahwa di
dalam proses ini, akan selalu terjadi benturan antara kekuasaan Negara vs
kepemimpinan desa adat untuk mengukuhkan dominasi. Masing-masing akan
berkerja dengan
logikanya untuk memenangkan pertarungan termasuk desa
adat/Negeri di Maluku Tengah .
Adanya kepentingan negara untuk mendominasi realitas atau praktek
kehidupan bernegara dan bermasyarakat, mensyaratkan pentingnya sebuah posisi
regulasi. Regulasi yang ada tersebut telah mengalami perkembangan yang
disesuaikan dengan kondisi sosial dan politik yang berlaku. Sama halnya dengan
perkembangan regulasi mengenai sistem pengaturan pemerintahan lingkup desa.
Pengaturan kesatuan wilayah desa diawali pada masa kolonial hingga pasca
kemerdekaan. Sebelum hadirnya bangsa kolonial, masing-masing wilayah di bumi
nusantara telah memiliki sistem kearifan lokalnya tersendiri dengan nama kesatuan
dan sebutan perangkat pemerintahannya masing-masing yang umumnya merupakan
kesatuan masyarakat yang bersifat genealogis. Komunitas asli yang bersifat
genealogisini kemudian semakin kehilangan karakteristiknya seiring munculnya
regulasi yaitu UU No.5 Tahun 1979 yang mengatur desa dengan kecenderungan
sentralisasi. Untuk menyempurnakan aturan yang ada sebelumnya maka pemerintah
kembali mengeluarka UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 sebagai
upaya untuk memberikan ruang otonomi bagi desa-desa yang ada di Indonesia.
86
Seiring dengan dinamika regulasi tata kelola pemerintahan desa oleh negara,
kehidupan masyarakat adat pada desa adat/Negeri di desa Soahuku, Kabau, dan
Yaputih kabupaten Maluku Tengah, menghadirkan cerita yang berbeda. Fluktuasi
situasi politik baik pada masa kolonial hingga pemerintahan NKRI tampaknya tidak
dapat mengubah tatanan substansi sistem pemerintahan desa di ketiga Negeri
tersebut. Realitas yang ada menunjukan bahwa kehidupan masyarakat lokal hingga
sistem pemerintahan Negeri masih menggunakan sistem lama yang merupakan
warisan leluhur atau tete nene moyang. Negara (Indonesia) tidak dapat berbuat
banyak untuk mempengaruhi pelaksanaan pemerintahan masyarakat diketiga Negeri
tersebut. Indonesia sebagai new state berada di bawah bayang-bayang kuasa adat (old
state) yang secara turun temurun telah digunakan sebagai pegangan dalam mengatur
sendi-sendi kehidupan mereka.
Adat merupakan konsep kunci untuk menjelaskan bagaimana masyarakat
mampu bertahan dengan aturan lokalitasnya di tengah terjangan upaya homogenisasi
pemerintahan daerah oleh Negara. Adat dalam hal ini masih tetap beroperasi dengan
logikanya sendiri secara terus menerus sehingga tetap mampu mempertahankan
dominasinya. Adat sebagai entitas asli masyarakat Maluku khususnya di Negeri
Soahuku, Kabau, dan Yaputih kabupaten Maluku Tengah, telah lebih dahulu
terbentuk dari pada negara (Indonesia). Seiring dengan hal tersebut, dominasi adat
telah dibagun sejak lama, sebelum terbentuknya NKRI.
Adanya dominasi adat di Negeri Soahuku, Kabau, dan Yaputih kabupaten
Maluku Tengah terjadi akibat kemampuan adat untuk membentuk sebuah keyakinan
individual yang menjadi cikal bakal terbentuknya keyakinan kolektif akan sakralnya
aturan adat di dalam Negeri. Adat masih menjadi rujukan tertinggi dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negeri karena masyarakat adat di Negeri Soahuku,
Kabau, dan Yaputih kabupaten Maluku Tengah secara kolektif meyakini adat
merupakan sebuah garansi untuk memberikan kesejahteraan bagi Negerinya. Pada
level individual, instrumen untuk membentuk sebuah keyakinan yang diakui oleh
pemikir neuroscience telah lengkap dipenuhi oleh adat. Individu yang menempati
Negeri, secara terstruktur membentuk persepsi, mengolahnya dalam proses kognisi,
87
dan mendapatkan pengalaman emosional, serta ditunjang oleh pelestarian adat secara
kolektif oleh intensitas sosial yang melinggkupinya. Selain itu, memahami
mekanisme kerja dari rezim politik adat di Negeri Soahuku, Kabau, dan Yaputih
kabupaten Maluku Tengah tidak dapat hanya dilihat dan dianalisis dari praktik
pengambilan kebijakan atau cara rezim politik Negeri adat mengatur kinerja
pemerintahannya. Tetapi dapat pula dilihat dari pola-pola simbolik yang digunakan.
Pola-pola ini dapat berupa wacana yang diproduksi, tutur bahasa yang digunakan,
hingga pada proses pencitraan yang dilekatkan pada setiap kekuasaan.
Dalam konteks ini, kerangka teoritis Pierre Bourdieu seperti kuasa simbolik
(symbolic power), doxa, habitus, ranah dan modal merupakan rangkaian pendekatan
yang mampu menjelaskan dengan logis bagaimana rezim kuasa adat dapat langgeng
di Negeri Soahuku, Kabau, dan Yaputih kabupaten Maluku Tengah. Bagi masyarakat
ketiga Negeri ini, Raja dan tua-tua adat merupakan simbol pimpinan tertinggi Negeri
yang merupakan titisan tete nene moyang, sebuah kepercayaan magis berdasarkan
mitos yang diyakini secara turun temurun. Raja dan tua-tua adat dijadikan sebagai
pusat referensi dan klarifikasi segala kebenaran adat, sehingga mereka merupakan
pemegang modal simbolik yang sangat disakralkan.
Pemegang modal simbolik ini, merupakan hak yang sifatnya hanya terbatas
pada sebagian kecil warga masyarakat karena didapatkan berdasarkan keturunan
(ascribed status). Masyarakat Negeri adat percaya bahwa hanya orang tertentu yang
berasal dari mata rumah (faam) tertentu yang dapat menempati posisi pimpinan
Negeri. Meraka yakin bahwa hal ini merupakan perintah leluhur. Apa yang telah
diatur oleh tete nene moyang merupakan sesuatu yang terbaik. Apapun yang ada dan
pernah dibuat oleh para leluhur sangat dihargai dan ditakuti, hingga para pemimpin
Negeri saat ini merupakan orang pilahan yang memang terlahir untuk memimpin
Negeri dan dipercaya dapat membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi Negeri.
Ini menjadi mitos dogmatis membentuk sebuah keyakinan yang diterima sebagai
kebenaran mutlak tanpa perlu dipertanyakan lagi (doxa). Keyakinan doxical ini terus
direproduksi dari generasi ke generasi yang membentuk habitus kolektif dalam
praktek sosial.
88
Doxa yang mendasari praktik habitus kepemimpinan Negeri ini, didukung oleh
dominasi adat atas modal sosial, kultural dan ekonomi. Berdasarkan modal sosial dan
kultural, masyarakat Negeri melegitimasi keabsahan kepemimpinan Negeri (Raja
dan tua-tua adat) melalui sebuah sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan ini
dibangun dari level yang paling dasar hingga level komunitas yang lebih luas:
keluarga, mata rumah, famili, soa, dan Negeri. Adanya struktur masyarakat dalam
sebuah sistem kekerabatan Negeri yang tertata rapi ini, membuat seorang Raja dari
mata rumah yang telah ditentukan (mata rumah parentah) berdasarkan keyakinan
adat, mempunya hubungan yang dekat dengan warganya. Apa yang disampaikan oleh
para petinggi adat Negeri atau tetua Negeri akan diikuti dan dipatuhi oleh anggota
masyarakat. Hubungan sosial yang dibangun atas dasar sistem kekerabatan ini
menyebabkan Raja dan tua-tua adat dapat dengan leluasa bertahan pada kedudukan
sosial yang tinggi. Wacana yang terus diproduksi oleh mereka kepada masyarakat
Negeri ditinggkat mata rumah, famili hingga Soa adalah bahwa mereka dipimpim
bukan oleh orang lain melaikan oleh orang tua sendiri. Dengan demikian, ketaatan
akan titah raja dan tua-tua adat, memiliki nilai yang setara dengan ketaatan seorang
anak terhadap orang tuanya.
Menjadi sebuah kewajaran jika posisi tertinggi dalam sebuah stratifikasi sosial,
akan diikuti dengan kekuasaan yang besar terhadap sumber daya. Kekuasaan Raja
yang sangat besar juga termasuk dalam hak terhadap kepemilikan tanah Negeri.
Legitimasi adat terhadap hak kepemilikan absolut terhadap tanah Negeri merupakan
modal ekonomi Raja dan tua-tua adat yang tidak dimiliki oleh pranata sosial lain
dalam Negeri. Raja dan jajarannya berhak untuk memilih kepada siapa tanah Negeri
akan diberikan, yang biasanya dalam bentuk hak pakai. Pemilihan siapa anak Negeri
yang berhak menggunakan sangat syarat dengan subjetivitas Raja dan tua-tua adat
yang tentu saja syarat akan kepentingan untuk mendominasi.
Dominasi adat dalam ranah politik atas modal sosial, kultural, ekonomi, dan
simbolik menjadi instrumen sekaligus strategi yang digunakan adat untuk
melestarikan rezim kuasanya, yang memang secara historis telah dimulai sejak
ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Menjadi logis kiranya jika kepemilikan modal
89
ini mampu “menggeser” hasrat dominasi negara (Indonesia) sebagai “kekuatan baru”
dalam kancah kehidupan sosial masyarakat Negeri Soahuku, Kabau dan Yaputih
kabupaten Maluku Tengah. Proses dominasi yang dipraktekkan oleh adat ini,
dijalankan menggunakan strategi conservation melalui produksi dan reproduksi mitos
adat dengan budaya kapata. Dengan budaya kapata ini keyakinan doxical adat
sebagai sebuah orthodoxa berhasil memarginalkan dan mendefinisikan pengaruh
wacana demokrasi sebagai heterodoxa (the others) yang diusung oleh new state
(Indonesia). Secara singkat, dalam ranah politik dan ranah budaya, new state belum
mampu belum mampu mengambil-alih kendali relasi aktor politik di Negeri Soahuku,
Kabau, Yaputih Kabupaten Maluku Tengah. Semua pranata sosial politik yang
diprakktekan masih mengikuti pola relasi lama. Dengan demikian, karena sasaran
dari pemerintahan Negeri adat dan Negara adalah sama yaitu untuk menciptakan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka seyogyanya negara tidak menganggap
sebagai sesuatu yang mengancam stabilitas Negara. Akan tetapi merupakan sebuah
kearifan lokal untuk memperkaya khasanah politik negara. Oleh karena itu, Negara
tidak bisa menempatkan diri berhadap-hadapan dengan adat (Negeri), melainkan
berfungsi komplementer dengan mengakomodir adat sebagai sebuah entitas asli
negara di level desa sebagai elemen kebhinekaan.
Tampaknya kesadaran negara akan bhineka tunggal ika (unity in diversity)
dalam ranah politik pemerintahan desa, kembali menemukan jati dirinya lewat
regulasi UU No.6 Tahun 2014 yang mengatur kembali mengenai desa. Selain
mengatur tentang desa pada umumnya, dalam undang-undang ini juga terdapat aturan
khusus yang menjelaskan mengenai desa adat. Penduduk Negeri sangat menyambut
baik hadirnya UU ini. Penduduk Negeri sangat menyambut baik hadirnya UU ini.
Respons positif masyarakat terhadap UU No.6 Tahun 2014 sangat terkait dengan
persepsi bahwa UU itu adalah pengakuan pemerintah terhadap adat yang merupakan
warisan leluhur mereka sekaligus jati diri Negeri.
Undang undangNo.6 Tahun 2014 memberi peluang bekerjanya mekanisme adat
di ranah pemerintahan modern. Aturan ini sedikit banyak menjadi upaya untuk
memperjuangkan pengembalian hak-hak komunitas adat sebagimana tertuang dalam
90
konstitusi negara dan berbagai deklarasi pengakuan hak-hak komunitas adat yang
sudah ada sebelumnya. Selain itu hal tersebut dapat menjadi pijakan hukum bagi
pemerintah untuk mengakomodir perencanaan pembangunan di wilayah adat sesuai
kesepakatan masyarakat lokal atau masyarakat adat.
Refleksi (Lesson learnt)
Berdasarkan sejarah panjang dominasi pemerintahan Negeri berdasarkan adat
atas negara di desa Soahuku, Kabau, dan Yaputih kabupaten Maluku Tengah, ada dua
hal yang menjadi refleksi atau pembelajaran:
Pertama, lestarinya rezim kekuasaan adat pada sistem pemerintahan Negeri,
merupakan bukti betapa dominanya kuasa adat. Logika yang bekerja sehingga
menyebabkan adat begitu imun terhadap invasi pemikiran baru yang dibawa oleh
negara tidak terlepas dari nilai-nilai sosial budaya serta kesakralan adat yang
merupakan entitas asli masyarakat Negeri. Selain itu, Negeri sebagai sebuah
“republik kecil” mampu melakukan melakukan self regulation melalui dominasi atas
berbagai modal yang dipertaruhkan sehingga mampu lahir sebagai kuasa dominan
dalam Negeri saat menghadapi berbagai dinamika politik dan perubahan sosial atas
nama Negara, yang hamper saja menggoyahkan equilibrium (keseimbangan)
masyarakat adat.
Kedua, salah satu bentuk persoalan antara pemerintahan desa formal dengan
sistem adat yang masih mengakar di pedesaan Indonesia menjadi stimulus adanya
regulasi baru. Regulasi tersebut kemudian diupayakan dan berhasil terealisasi dalam
UU No.6 tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang ini mengatur pemerintahan Desa
Adat sesuai dengan susunan asli atau dibentuk baru berdasarkan prakarsa masyarakat
adat. Selain itu, peraturan Desa Adat disesuaikan dengan hukum dan norma adat
istiadat yang berlaku. Akan tetapi, hal ini tentu tidak akan berjalan mulus. Masalah
yang timbul kemudian, apakah setiap desa khususnye Negeri Soahuku, Kabau, dan
Yaputih di Kabupaten Maluku Tengah yang memiliki nilai-nilai kelembagaan lokal
mampu untuk menjalankannya sesuai dengan UU No.6 Tahun 2014?, mengingat
kelembagaan pemerintahan Negeri yang bersifat lokal ini, harus menyesuaikan
91
dengan tata kelola pemerintahan moderen jika UU No.6 Tahun 2014 harus dijalankan
oleh Raja dan tua-tua adat. Selain itu, sejauh mana Raja dan tua-tua adat dapat
mengimplemantasikan kebijakan undang-undang tersebut agar bisa diterima dan
dilaksanakan serta bagaimana upaya penataan dan penguatan sistem Desa Adat dapat
tercapai untuk kesejahteraan bersama perlu mendapat perhatian serius oleh
pemerintahan adat dan Negara.
Oleh karena itu, regulasi UU No.6 Tahun 2014 ini menjadi sebuah peluang
sekaligus tantangan bagi struktur pemerintahan Negeri, khususnya petinggi Negeri
yang menempati posisi tersebut. Peluang karena Negeri yang selama UU terdahulu
berkamuflase agar tidak tampak oleh Negara sedang melaksanakan praktek adat,
dapat secara terbuka menjalankan praktek adatnya. Tantangannya adalah,
diabsorbsinya sistem pemerintahan Negeri adat, secara tidak langsung menuntut Raja
dan tua-tua adat untuk meningkatkan kualifikasi diri melalui pendidikan maupun
pelatihan. Di sisi lain, hal ini juga menjadi tantangan besar bagi Negara khusunya
pemerintah daerah kabupaten Maluku Tengah, agar memfasilitasi terciptanya sistem
pemerintahan yang baik berdasarkan adat.
92
Download