KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM Alamat : Jalan Prof. Dr. H.R. Boenyamin No.708 Grendeng Purwokerto 53122 Telp/Fax : (0281) 638339 email : [email protected] website : http: //fh.unsoed.ac.id ARTIKEL ILMIAH Judul : PERUBAHAN PEMILIHAN EKSEKUTIF (Suatu Studi Tentang Pemilihan Umum Presiden Secara Langsung Berdasarkan UUD 1945 Setelah Amandemen) Nama : SUTIYONO NIM : EIE008012 Angkatan : 2008 Pembimbing I : Satrio Saptohadi, S.H. M.H. Pembimbing II : Tenang Haryanto, SH. MH. Program Studi : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Tata Negara A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan amandemen UUD 1945 ditegaskan bahwa presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasal 6A UUD 1945 dalam hal ini menentukan: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara pemilih dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden. (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dengan Undang-undang. Peraturan pelaksanaan dari ketentuan mengenai pemilihan umum eksekutif sebagaimana ditegaskan pada Pasal 6A UUD 1945 adalah UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 2 Berkaitan dengan pemilihan umum presiden secara langsung, Jimly Asshiddiqie berpendapat: Pemilihan umum presiden secara langsung oleh rakyat yang telah diadopsikan ke dalam rumusan UUD 1945 telah memberi landasan konstitusional yang kuat. Sesuai prinsip sistem pemerintahan presidentil, calon Presiden dan calon Wakil Presiden dipilih dalam satu paket, karena kedua jabatan ini dipandang sebagai satu kesatuan institusi kepresidenan. Tujuan pemilihan umum presiden secara langsung adalah untuk memilih pemimpin yang memperoleh dukungan yang kuat dari rakyat dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan UUD 1945.1 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan, bagaimanakah pemilihan umum Presiden secara langsung berdasarkan UUD 1945 setelah amandemen ? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemilihan umum Presiden secara langsung berdasarkan UUD 1945 setelah amandemen. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu hukum, khususnya Hukum Tata Negara.. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pemahaman tentang pemilihan umum perubahan pemilihan presiden secara langsung berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. E. Metode Penelitian 1. Metode pendekatan 2. Spesifikasi penelitian 3. Sumber bahan hukum 4. Metode pengumpulan bahan hukum : Pendekatan perundang-undangan : Deskriptif : Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder : Identifikasi kemudian inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan dan buku kepustakaan. 5. Analisis bahan hukum : Normatif kualitatif 1 Jimly Asshiddiqie. 2002. Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Perubahan Keempat. Pusat Studi HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. hal. 8 3 F. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai pencerminan dari pelaksanaan demokrasi langsung berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen diatur dalam Pasal 6A yang menentukan sebagai berikut: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung, dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilanti sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang. Undang-undang yang dibentuk sebagai peraturan pelaksanaan Pasal 6A UUD 1945 tersebut adalah UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan UU No. 42 Tahun 2008 diantaranya mengatur tentang hal-hal sebagai berikut: a. Asas, Pelaksanaan, dan Lembaga Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Asas pelaksanaan pemilu diatur pada Pasal 2. Pelaksanaan pemilu dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali di seluruh wilayah negara secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan, sebagaimana diatur pada Pasal 3. Penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pengawasan penyelenggaraan pemilu adalah Bawaslu, hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 4. b. Persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dan Tata Cara Penentuan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden diatur pada Pasal 5 Pasal 6 mengatur tentang keharusan bagi pejabat yang dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden untuk mengundurkan diri dari jabatannya. 4 Pasal 8 selanjutnya menentukan tata cara penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 9 mengatur tentang partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengajukan pasangan calon adalah yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR. c. Pengusulan Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Pendaftaran bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden baik oleh partai politik maupun gabungan partai politik diatur pada Pasal 13. Pasal 14 mengatur tentang persyaratan pendaftaran bakal pasangan calon. Pasal 15 mengatur tentang persyaraan administratif yang harus diserahkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dalam mendaftarkan bakal Pasangan Calon ke KPU d. Hak Memilih Ketentuan mengenai hak memilih dari warga negara Indonesia diatur pada Pasal 27. Hak memilih dapat digunakan dalam pemilihan apabila hak tersebut telah terdaftar sebagai pemilih, sebagaimana diatur pada Pasal 28 e. Penyusunan Daftar Pemilih Pasal 29 mengatur tentang Pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara. f. Kampanye Pelaksanaan kampanye dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip jujur, terbuka, .dialogis serta bertanggung jawab, sebagaimana diatur pada Pasal 33. Pasal 35 lebih lanjut mengatur tentang pelaksana kampanye. Pasal 94 mengatur tentang dana kampanye pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan tanggung jawab dari Pasangan Calon, yang dapat berasal dari Pasangan Calon, partai politik dan/atau gabungan partai politik, serta dari pihak lain. Pasal 95 lebih lanjut mengatur tentang dana kampanye yang berasal dari pihak lain. Jumlah nominal terbanyak dana kampanye baik yang berasal dari perseorangan maupun kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah dibatasi pada batas maksimal sebagaimana diatur pada Pasal 96. Pasal 97 lebih lanjut mengatur mengenai pemanfaatan, pembukuan dan pelaporan dana kampanye berupa uang serta sumbangan dalam bentuk barang dan/atau jasa. Pasangan Calon dilarang menerima dana kampanye dari pihak asing, penyumbang yang tidak benar dan tidak jelas identitasnya, hasil tindak pidana, 5 pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, serta pemerintah desa dan badan usaha milik desa. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 103 g. Pemungutan Suara Pasal 111 mengatur tentang Pemungutan suara yang dilakukan di TPS. Pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden paling lama 3 (tiga) bulan setelah pemilu legislatif diatur pada Pasal 112. Penghitungan suara dilakukan di TPS/TPSLN setelah pemungutan suara berakhir dan hanya dilakukan dan diselesaikan di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 132. Pelaksana penghitungan suara adalah KPPS/KPPSLN disaksikan oleh saksi Pasangan Calon, Pengawas Pemilu, Pengawas Pemilu Luar Negeri, Pemantau Pemilu, dan masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 133. Pasal 137 mengatur tentang dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan, dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan penghitungan suara dapat dilaporkan oleh Pasangan Calon, saksi Pasangan Calon, Pengawas Pemilu, dan masyarakat. Rekapitulasi penghitungan suara di kecamatan oleh PPK diatur pada Pasal 141. Pasal 143 lebih lanjut menentukan tentang Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK. Rekapitulasi penghitungan suara di kabupaten/kota dilakukan oleh KPU kabupaten/kota Pasal 148 mengatur tentang rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU kabupaten/kota dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pasangan Calon dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU. Rekapitulasi penghitungan suara di provinsi dilakukan oleh KPU provini, hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 150. Pasal 152 selanjutnya mengatur tentang Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU provinsi dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pasangan Calon dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU. Rekapitulasi penghitungan suara secara nasional dilakukan oleh KPU, sebagaimana diatur pada Pasal 153. Pasal 154 lebih lanjut mengatur tentang kewajiban Bawaslu untuk menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan, dan atau 6 kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara Pasangan Calon kepada KPU. Pasal 155 selanjutnya menegaskan tentang Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pasangan Calon dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU. h. Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pasal 158 menegaskan tentang penetapan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan pengumuman hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilakukan oleh KPU dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh Pasangan Calon dan Bawaslu i. Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Ketentuan mengenai Pasangan Calon yang memenangkan pemilu dan ketentuan mengenai pemilihan putaran kedua, diatur pada Pasal 159. Pasal 160 lebih lanjut menentukan bahwa Pasangan Calon terpilih ditetapkan dalam sidang pleno KPU dan dituangkan dalam berita acara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. j. Pelantikan Pasangan Calon yang terpilih dalam pemilihan umum dan telah ditetapkan oleh KPU dalam sidang pleno, selanjutnya dilantik oleh MPR menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Pada Pasal 161 k. Penyelesaian Pelanggaran Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Laporan pelanggaran pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat disampaikan oleh warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, Pemantau Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, atau Pasangan calon/tim kampanye kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. hal ini diatur pada Pasal 190. Pelanggaran pidana pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkup pengadilan umum diatur pada Pasal 195. Penyidikan atas dugaan tindak pidana pemilu dilakukan oleh Penyidik Kepolisian, sebagaimana diatur pada Pasal 196. Pasal 198 mengtatur tentang kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pengadilan Negeri. Pasal 199 lebih lanjut mengatur tentang putusan pengadilan atas dugaan tindak pidana pemilu. Masa waktu penyelesaian perkara tindak pidana 7 pemilu adalah paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 200. Pasal 201 selanjutnya mengatur tentang pengajuan keberatan penetapah hasil pemilu hanya dapat diajukan oleh Pasangan Calon kepada Mahkamah Konstitusi. l. Ketentuan Pidana Ketentuan pidana pemilu dan sanksi yang dijatuhkan atas tindak pidana pemilu dimaksud, diatur pada Pasal 202. Pasal 203 lebih lanjut mengatur tentang ancaman pidana penjara dan denda. Kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan seseorang untuk menghalang-halangi orang lain agar terdaftar sebagai pemilih pidana sebagaimana ditentukan pada Pasal 204. Ketentuan pidana bagi anggota KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu dalam melaksanakan verifikasi kebenaran dan kelengkapan administrasi Pasangan Calon diatur pada Pasal 205. Masukan dari masyarakat dan Pasangan Calon mengenai Daftar Pemilih Sementara namun tidak ditanggapi anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS atau dengan sengaja tidak mengumumkan dan/atau tidak memperbaiki Daftar Pemilih Sementara, mendapatkan ancaman pidana sebagaimana diatur pada Pasal 206 Temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri tentang penyusunan dan pengumuman Daftar Pemilih Sementara, perbaikan Daftar Pemilih Sementara, penetapan Daftar Pemilih Tetap, yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, namun tidak ditindaklanjuti oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN, mendapatkan ancaman hukuman pidana sebagaimana diatur pada Pasal 207 2. Pembahasan a. Sistem Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia Sebagai Wujud Demokrasi Perwakilan Sistem demokrasi yang ada di Indonesia salah satunya adalah yang berkaitan dengan partisipasi rakyat secara langsung dalam mekanisme pemerintahan. Dalam prosesnya, sistem kedaulatan rakyat ini diimplementasikan melalui sistem yang langsung (direct democracy) dan sistem perwakilan (indirect 2 democracy/representative democracy). 2 Rosa Ristawati. 2009. Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Indonesia Dalam Kerangka Sistem Pemerintahan Presidensiil. Jurnal Konstitusi Volume II Nomor 1 Juni 2009. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. hal. 13 8 Mekanisme ini terwujud dalam suatu sistem pemilu langsung yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 22E (2) UUD 1945 yang menegaskan sebagai berikut: Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan representative democracy diimplementasikan melalui DPR dan DPD. Representative democracy dimaknakan sebagai mekanisme perwakilan representation.3 Proses pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia dipandang sebagai suatu proses yang berbeda dan dibedakan secara tegas dari proses pemilihan umum untuk mengisi keanggotaan lembaga perwakilan rakyat (DPR). Secara konsep pemilihan umum (general election) dan pemilihan presiden (presidential election) merupakan hal yang berbeda. Pemilihan presiden merupakan perwujudan dianutnya kedaulatan rakyat (demokrasi) untuk memilih pemimpin secara langsung (direct democracy), sementara itu, untuk pemilihan umum legislatif adalah sebuah mekanisme untuk memilih wakil-wakil rakyat sebagai perwujudan kedaulatan rakyat untuk mengendalikan dan mengawasi jalannya pemerintahan melalui sistem perwakilan (indirect democracy). Mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dalam jangka waktu yang pasti memberikan konsekuensi terhadap kedudukan lembaga eksekutif tersebut untuk tidak tergantung pada dinamika lembaga-lembaga negara yang lain. Hubungan ini juga memungkinkan terciptanya stabilitas kelembagaan yang berimplikasi terhadap kemungkinan tercapainya pemerintahan yang kuat dan stabil. Sementara itu makna presiden terpilih dalam jangka waktu yang pasti diharapkan mampu untuk melaksanakan kebijakan publik secara terencana dan responsif atau dengan kata lain secara efektif.4 b. Mekanisme Pemilihan Presiden Menurut UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Sistem pemilihan umum dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, dasar hukumnya adalah Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. 3 4 Ibid. hal. 13 Ibid. hal. 14. 9 Apabila tidak tercapai persentase yang dimaksud, Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 memberikan kemungkinan adanya pemilihan umum presiden putaran kedua, sebagai berikut: Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia dilakukan dengan mengadopsi prinsip demokrasi berdasarkan prinsip mayoritas absolut (absolute majority) dan mayoritas sederhana (simple majority). Prinsip mayoritas absolut diterapkan apabila telah diperoleh pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% yang kemudian akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.5 Lebih lanjut hal ini diatur dalam pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa: Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia. Ketentuan Pasal tersebut menyiratkan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden dapat diidentikkan sebagai absolute majority system. Dalam sebuah absolute majority system, maka disyaratkan adanya perolehan suara mayoritas melebih 50%. Ewin H. dalam kaitan ini berpendapat bahwa: Sistem pemilihan presiden pasca amandemen UUD 1945 tidak lagi ada campur tangan parlemen, bukan hanya melalui pemungutan pendapat pemilih secara langsung, melainkan juga dirancang dalam dua putaran (FPTP/first past the post in two round and direct presidential election). Sistem ini akan menghasilkan presiden yang kuat jika pada putaran pertama calon presiden dan wapres dapat meraih suara 50 % plus 1. Artinya, pilpres hanya diadakan satu kali putaran.6 Terkait dengan pemilihan presiden dan wakil presiden pada putaran pertama tidak menghasilkan perolehan prosentase suara lebih dari 50%, maka ketentuan Pasal 159 ayat (2) sampai dengan ayat (4) UU No. 42 Tahun 2008 menentukan bahwa: 5 Hendra Nurtjahjo. 2005. Filsafat Demokrasi. Pusat Studi Hukum Tata negara FHUI. Jakarta. hal. 131. 6 Ewin H. 2004. Presiden Dan Parlemen Dalam Hubungan Ketatanegaraan (Implikasi Pemilihan Presiden Secara Langsung). Diakses melalui http://www.ewinoflaw.blogspot.com/ pada tanggal 10 Mei 2012 tanpa halaman 10 (1) Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia. (2) Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. (3) Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua) Pasangan Calon, kedua Pasangan Calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. (4) Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 (tiga) Pasangan Calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Pemilihan presiden secara langsung pada dasarnya akan memberikan legitimasi yang kuat pada kedudukan presiden. Pemilihan presiden dan wakil presiden dengan dua putaran dijalankan dengan tujuan pokoknya membangun dukungan luas bagi presiden, legislatif maupun masyarakat, sehingga legitimasi politik lebih kokoh dan stabilitas pemerintahan lebih terjamin. Paling tidak ada lima kelebihan dengan memakai sistem ini, menurut Notosusanto, sebagaimana dikutip oleh Ewin H., adalah: 1) Memiliki mandat dan legitmasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat secara langsung; 2) Tidak perlu terikat pada konsensi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah memilihnya; 3) Lebih akuntabel dibandingkan sistem lain. Karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya kepada legislatif atau ‘electoral college’ secara sebagian atau sepenuhnya; 4) Check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih seimbang; 5) Kriteria calon proses dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya.7 c. Syarat Perolehan Kursi di DPR dan Perolehan Suara Nasional Pemilu Legislatif Dalam Pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden Ketentuan dalam UU No. 42 Tahun 2008 mengenai persentase ambang batas partai politik dan gabungan partai politik dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden mengalami peningkatan persentase, yaitu sebanyak 5%. Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008, menentukan bahwa: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. 7 Ibid. tanpa halaman 11 Ketentuan persentase ambang batas perolehan kursi DPR 20% dan 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif 2009, membawa konsekuensi pengurangan jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik dan gabungannya. Mekanisme koalisi partai politik dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam Pasal 10 UU No. 42 Tahun 2008, yang menentukan bahwa: (1) Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan. (2) Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan Partai Politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon. (3) Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik dan/atau musyawarah Gabungan Partai Politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka. (4) Calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang telah diusulkan dalam satu pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh dicalonkan lagi oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik lainnya. Koalisi partai merupakan kunci penting bagi proses Pemerintahan. Koalisi partai dalam pencalonan presiden dan wakil presiden diharapkan memberikan dampak yang baik bagi keberlangsungan pemerintahan yang akan dibentuk. Setidaknya ada tiga hal yang diharapkan dalam mekanisme koalisi partai politik dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu: 1) dengan koalisi partai politik diharapkan memberikan dampak bagi komposisi pemerintahan dan kebijakan; 2) dengan koalisi partai politik diharapkan memberikan implikasi normatif untuk sebuah bentuk pemerintahan yang berdasarkan sistem perwakilan; 3) bentuk koalisi partai merupakan sebuah bentuk yang sering ditemui negara-negara.8 Koalisi dalam rangkaian pemilu presiden adalah akibat dari adanya unsur partai politik yang mengusung pasangan kandidat. Ewin H. berpendapat bahwa: Sistem multipartai yang dianut di Indonesia berimplikasi pada adanya koalisi partai-partai politik. Koalisi pemerintahan dapat dibagi tiga: koalisi pas-terbatas (minimal winning coalition), koalisi kekecilan (undersized coalition) dan koalisi kebesaran (oversized coalition). Koalisi pas-terbatas adalah koalisi yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Jumlah partai yang berkoalisi dibatasi hanya untuk mencapai dukungan mayoritas sederhana. Koalisi kekecilan adalah koalisi yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Sedangkan, koalisi kebesaran adalah bentuk pemerintahan yang sebagian besar mengikutsertakan semua partai ke dalam kabinetnya. Koalisi 8 Rosa Ristawati. 2009. Op. Cit. hal. 21 12 pemerintahan yang kekecilan memunculkan presiden yang sial, dan sering dimakzulkan. Sebaliknya, koalisi kebesaran telah menghasilkan pemerintahan yang terlalu gemuk dan sulit disatu-padukan. Karenanya, untuk menuju pemerintahan yang efektif, bentuk aliansi politik ke depan sebaiknya diupayakan menjadi koalisi pas-terbatas. Koalisi kekecilan mengarah pada kabinet yang miskin dukungan politik di parlemen; Koalisi kebesaran menuju kabinet yang terlalu gemuk dan lamban. Yang ideal adalah dibentuknya Koalisi pas-terbatas, susunan kabinet yang mengakomodasi kepentingan politik sekaligus tidak mengorbankan pertimbangan kapasitas dan profesionalitas, selain itu juga melahirkan interaksi yang konstruktif antara presiden dan parlemen. Koalisi dan kabinet kekecilan dihindari karena melahirkan relasi presiden dan parlemen yang destruktif; sama halnya koalisi dan kabinet yang kebesaran tidak menjadi pilihan karena menghadirkan hubungan presiden dan parlemen yang kolutif. Presiden minoritas, itulah produk yang dihasilkan dari sistem pilpres putaran kedua jika suara mutlak 50% plus satu. Hal ini merupakan implikasi konfigurasi politik (multi-partai dan fragmentasi) dalam sistem pemilihan umum. Presiden minoritas ini bukan karena pasangan calon presiden/wapres tersebut tidak dapat memperoleh banyak suara, melainkan ketika paket presiden/wapres yang dihasilkan melalui Pilpres Putaran Kedua harus berhadapan dengan mayoritas partai di DPR dari kubu non-presiden. Artinya, sangat dimungkinkan terjadinya koalisi partai-partai politik yang tidak memiliki basis suara yang mayoritas, sehingga terdapat “pasangan minoritas” menjadi presiden/wapres melalui Pilpres Putaran kedua. Kondisi semacam ini mengharuskan presiden terpilih memperhatikan kehendak parlemen karena kebijakannya (dan janji-janji Pemilu) diwujudkan melalui pengangkatan menteri dari salah satu partai, proses legislasi dan APBN. Implikasinya adalah praktek politik dagang sapi dan politik uang dalam pengambilan kebijakan yang kasat mata. Dampak berikutnya adalah ketegangan terus-menerus antara Presiden dan DPR, dua kekuasaan negara yang memiliki legitimasi yang kuat dan langsung dari rakyat . Namun, hal ini juga akan dapat memunculkan mekanisme cheks and balances antara kekuasaan presiden dan kekuasaan legislatif yang memungkinkan adanya kontrol dan keseimbangan antara kekuasaan presiden dan legislatif, sehingga akan terbangun konsep dan kultur oposisi dalam pemerintahan di Indonesia.9 Persoalan koalisi partai politik ditujukan untuk pembentukan kekuatan politik pendukung presiden. Benni Inayatullah mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Koalisi partai politik dalam rangka pembentukan kekuatan politik pendukung presiden, secara teoritik dapat dilanjutkan melalui cara formalisasi koalisi antara kekuatan-kekuatan pengusung presiden dan partai yang duduk di dalam legislatif. Selain hal ini juga akan mencegah polarisasi dan fragmentasi berlebihan di antara berbagai kekuatan yang ada, sehingga keberlanjutan koalisi antarpartai sebelum dan setelah pemilihan presiden merupakan suatu hal yang harus dijaga kesinambungannya. Koalisi partai tersebut dimaksudkan untuk membentuk sebuah pemerintahan yang kuat, mandiri dan stabil (bertahan lama).10 9 Ewin H. 2004. Op. Cit. tanpa halaman Benni Inayatullah. 2008. Koalisi untuk Pemerintahan yang Kuat. Harian Jurnal Nasiona. Kamis 11 September 2008. hal. 60 10 13 d. Relevansi Penetapan Persentase Ambang Batas Suara Sah Nasional Pemilu Legislatif Terhadap Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD, menyebutkan bahwa: Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan pasal tersebut banyak menimbulkan kontroversi terkait dengan adanya pembatasan. Menurut Benni Inayatullah: Persentase ambang batas minimal perolehan suara partai politik untuk duduk di DPR, selama ini dimaknai sebagai konsep ”parliamentary threshold”. Menurut teori, ambang batas minimal dalam sebuah election system, disebut sebagai ”threshold” yang sejatinya ditujukan untuk penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilihan umum. Ketentuan Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 dipikirkan sebagai sebuah solusi untuk menciptakan sistem multi partai sederhana. Adanya penetapan persentase ambang batas 2,5% tersebut adalah juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya framentasi partai politik yang berujung pada ketidakstabilan pemerintahan hasil pemilu tersebut.11 Apabila dikaji lebih lanjut, penetapan ambang batas suara perolehan partai politik untuk bisa duduk di kursi DPR tersebut, lebih tepat bila disebut sebagai ”legal thresholds”, yaitu penetapan ambang batas dalam pemilihan umum yang dilakukan melalui undang-undang. Legal threshold juga dapat diidentifikasikan sebagai artificial atau formal threshold yang dimaknai sebagai minimum perolehan suara yang ditentukan melalui undang-undang. Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Paragraf 7 UU No. 10 Tahun 2008 sebagai berikut: Ketentuan ambang batas perolehan partai suara sah nasional partai politik dalam pemilu legislatif ditujukan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan menguatkan pula sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana dimaksudkan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Umumnya, negara dengan sistem pemerintahan presidensiil, memiliki lebih dari dua partai politik, sistem multi partai dianggap sebagai sistem yang akan menyulitkan dalam negara demokrasi penganut sistem presidensiil. Untuk mengatasi hal tersebut, pemikiran sistem multipartai yang ada di Indonesia dipikirkan untuk mulai diubah ke dalam sebuah format multipartai sederhana, dalam Penjelasan UU No. 42 Tahun 2008 ditegaskan sebagai berikut: 11 Ibid. hal. 23 14 Dalam Undang-Undang ini penyelenggaraan Pemilu Presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang ini juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif, dimana Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 mempunyai relevansi yang cukup kuat dalam sistem pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Dampak kuat yang dapat dilihat adalah semakin sulitnya pemenuhan persyaratan persentase ambang batas partai politik dan gabungan partai politik dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, mengingat menurut aturan dalam Pasal 202 ayat (1) tersebut, hanya partai politik yang mempunyai perolehan suara minimal 2,5% yang menduduki kursi DPR, sementara itu persentase ambang batas partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden adalah 20% yang menduduki kursi DPR, artinya, bahwa terdapat dua kemungkinan partai politik dan gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakilnya. Kemungkinan tersebut adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik tunggal yang telah mempunyai minimal 20% kursi di DPR dalam pemilu legislatif sebelumnya, atau dapat diajukan melalui mekanisme koalisi partai bagi partai politik yang telah memperoleh minimal 2,5% suara sah nasional untuk duduk di kursi DPR, gabungan partai atau koalisi tersebut harus mencapai minimal 20% jumlah kursi DPR. Sementara, untuk partai politik yang tidak memperoleh 2,5% suara sah nasional, yang artinya tidak mendapat kursi di DPR, masih dimungkinkan untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakilnya, dengan melalui sistem koalisi partai atau gabungan partai sehingga mencapai 25% syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakilnya. Koalisi partai dalam sistem presidensiil, biasanya dilakukan sebelum pemilihan umum. Terkadang hal tersebut tidak dilanjutkan dengan formalisasi koalisi menjadi sebuah gabungan partai-partai yang memerintah yang bersinergi. Hal ini dapat menimbulkan ketidakjelasan hubungan, hak, dan kewajiban antar-lembaga negara (legislatif dan eksekutif). Meskipun dalam pemerintahan presidensiil penyelenggaraan 15 pemerintahan adalah hak dari presiden, dalam kenyataanya ketidakpastian kekuatan pendukung presiden untuk memerintah menjadi tidak jelas. Sehingga sistem presidensiil yang efektif dan kokoh tergantung pula dengan adanya kesinergian dalam menyelesaikan masalah yang akan timbul dari personalisasi kepemimpinan eksekutif, partai politik dan koalisi partai politik serta hubungannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, serta hubungan kelembagaan. Sehubungan dengan masalah kecenderungan suatu personalisasi lembaga kepresidenan, perlu diciptakan hubungan kelembagaan secara detail yang memungkinkan munculnya lembaga kepresidenan yang kuat dengan dukungan partai politik dan koalisi partai politik. Melalui koalisi yang umumnya dilakukan sebelum pemilihan umum presiden dan wakil presiden itu berlangsung, diharapkan konsep hubungan lembaga eksekutiflegislatif dalam kerangka pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik untuk menerjemahkan aspirasi dan keinginan rakyat sebagai wujud dari demokrasi perwakilan, dapat terjalin sinergi. Suatu sistem pemerintahan yang kuat dan efektif, akan memberikan sebuah kondisi dimana aktivitas pemerintahan menjadi cepat dan tanggap, sehingga akan lebih cepat menerjemahkan keinginan rakyat menjadi kebijakan. Dalam hal ini pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang mewakili segenap rakyat Indonesia, dianggap sebagai awal terbentuknya awal pemerintahan mekanismenya harus dibuat dalam ukuran yang sangat selektif dalam konteks demokrasi. G. Penutup 1. Kesimpulan a. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen diatur dalam Pasal 6A dan sebagai peraturan pelaksanaannya diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. b. Pemilihan umum Presiden dilakukan secara langsung dan dalam satu paket dengan pemilihan Wakil Presiden. Pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diselenggarakan secara langsung dibatasi hanya dari partai politik atau gabungan partai politik. Terhadap pengajuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan adanya syarat persentase ambang batas pengajuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu 20% dari perolehan jumlah kursi di DPR dan 25% perolehan suara sah nasional partai politik dalam pemilu legislatif. 16 c. Mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan melalui sistem mayoritas absolut (absolute majority) dan mayoritas sederhana (simple majority). Prinsip mayoritas absolut diterapkan apabila telah diperoleh pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% yang kemudian akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Sedangkan apabila tidak terpenuhi suara lebih dari 50% maka diterapkan mayoritas sederhana (simple majority) melalui putaran kedua atau dikenal juga dengan istilah “first past the post election” 2. Saran a. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen hendaknya dapat memberikan manfaat terhadap pertumbuhan demokrasi yang lebih berkualitas terutama terhadap akuntabilitas dan kredibiltas pejabat publik, dalam hal ini partai politik dapat lebih selektif dalam menentukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hendak diajukan. b. Hendaknya perlu dipertimbangkan adanya calon independen seperti di Amerika Serikat. 17 DAFTAR PUSTAKA Buku Teks: Asshiddiqie, Jimly. 2002. Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Perubahan Keempat. Pusat Studi HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. Nurtjahjo, Hendra. 2005. Filsafat Demokrasi. Pusat Studi Hukum Tata negara FHUI. Jakarta. Peraturan perundang-undangan: Undang-Undang Dasar 1945 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Karya Ilmiah/Jurnal/Harian Umum: Inayatullah, Benni. 2008. Koalisi untuk Pemerintahan yang Kuat. Harian Jurnal Nasiona. Kamis 11 September 2008. Ristawati, Rosa. 2009. Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Indonesia Dalam Kerangka Sistem Pemerintahan Presidensiil. Jurnal Konstitusi Volume II Nomor 1 Juni 2009. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta Website: H. Ewin. 2004. Presiden Dan Parlemen Dalam Hubungan Ketatanegaraan (Implikasi Pemilihan Presiden Secara Langsung). Diakses melalui http://www.ewinoflaw.blogspot.com/ pada tanggal 10 Mei 2012 18 PERUBAHAN PEMILIHAN EKSEKUTIF (Suatu Studi Tentang Pemilihan Umum Presiden Secara Langsung Berdasarkan UUD 1945 Setelah Amandemen) ARTIKEL ILMIAH Oleh : SUTIYONO EIE008012 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012