ISSN: 2085-5087 MANAJEMEN KONFLIK Ahmad Royani Abstrak Organisasi terdiri dari berbagai macam komponen yang berbeda dan saling memiliki ketergantungan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Perbedaan yang terdapat dalam organisasi seringkali menyebabkan terjadinya ketidakcocokan yang akhirnya menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya ketika terjadi suatu organisasi, maka sesungguhnya terdapat banyak kemungkinan timbulnya konflik. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut, jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi. Kata Kunci: Manajemen Konflik Pendahuluan Jika dua orang berkumpul, maka siap-siaplah akan tejadi pertentangan baik disimpan di dalam hati maupun ditampakkan dengan perilaku. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa bila mereka berdekatan, pasti terjadi gesekan perasaan karena suasana hati manusia itu secara garis besar berkisar antara rasa senang, sedih, marah, dan takut (cemas). Komunikator ang handal dapat Manajemen Konflik mengetahui suasana hati manusia dari penampilan wajahnya. Konflik tidak selamanya negatif, ada pla konflik yang menyebabkan positif, misalnya berkonflik karena persaingan secara sehat.Manager dan leader dalam menjalankan tugasnya pasti berhadapan dengan konflik. Untuk itu perlu dibekali bagaimana cara-cara mengatasi konflik. Burns menyatakan bahwa potensi konflik dapat melancarkan hubungan umat manusia, sekaligus menjadi kekuatan penyehat dan pertumbuhan, sebagaimana dapat pulas perusak. Tidak ada kelompok dapat hidup harmonis secara keseluruhan; yang demikian itu akan sepi dari proses dan struktur. 1 Sebuah organisasi selaykanya dikembangkan sebagai system yang mendorong upaya kerjasama antar manusia. Namun, dalam “kehidupan nyata” (the real world), organisasi akan selalu diwarnai oleh adanya konflik dalam berbagai bentuk dan tingkat kekuatannya, baik secara positif dan negatif. Dalam situasi yang dinamis seperti sekarang ini, dapat dipikirkan untuk meminimalisasi kerusakan akibat konflik dan menanganinya secara produktif. Konflik akan selalu menyelimuti pengalaman umat manusia. Pasti akan terjadi, bahkan dalam diri individu sekalipun; biasa disebut konflik intrapersonal (intrapersonal conflict). Konflik ini, sering muncul akibat pertentangan antara dua perasaan atau kepentingan, yang mendorong timbulnya stress. Di samping itu, konflik akan selalu muncul dalam pengalaman social, antar individu-individu, kelompok-kelompok, dan antara masyarakat dan kultur yang lebih luas lagi. Konflik dapat terjadi di dalam (within) pribadi (person) dan unit social (intrapersonal, intragroup, atau intranational). Konflik juga dapat dialami antara (between) dua pihak atau lebih (interper1Gary 37. Dessler, Manajemen Sumberdaya Manusia ( Jakarta: Gramedia, 2004) Ahmad Royani sonal, intergroup, atau international). Konflik dalam kehidupan organisasional biasanya melibatkan konflik antarpribadi dan antar kelompok Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponenkomponen (subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu.2 Sub-subsistem yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerial subsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem struktur (structural subsystem). Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi. Namun, sabagaimana dikatakan oleh Robins, selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik.3 Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain. Konflik dapat menjadi 2James K. Van Fleet, 22 Manajemen Kepemimpinan, Jakarta : Mitra Usaha, 1974) 32. 3Robbins S.Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi, (San Diego State University, diterbitkan, Jakarta : PT Prenhalinddo, 1996) 437 Manajemen Konflik masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik tersebut mungkin tidak membawa “kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi. Dalam kenyataannya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, keamanan, kwalitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Para pemimpin juga memainkan paranan kritis dalam membantu kelompok, organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Hampir semua orang, bila diajukan pertanyaan itu akan menjawab bahwa pemimpin yang effektif mempunyai sifat atau kualitas tertentu yang diinginkan. Kemampuan den ketrampilan kepemimpinan dalam pengarahan adalah faktor penting effektifitas manajer. Bila organisasi dapat mengidentifikasikan kualitas, kualitas yang berhubungan dengan kepemimpinan, kemampuan untuk menseleksi pemimpin-pemimpin efektif akan meningkat. Dan bila organisasi dapat mengidentifikasikan perilaku dan teknik-teknik kepemimpinan efektif, akan dicapai pengembangan efektifitas personalis dalam organisasi. Manajemen Konflik Konflik yang muncul dalam teamwork yang merupakan akibat adanya perbedaan kepribadian, persepsi, pengalaman, tujuan, motivasi ataupun kepercayaan tiap anggota organisasi yang saling berinteraksi sosial dalam pekerjaan. Tak dapat disangkal lagi apabila hingga kini kita makin akrab dengan konflik. Namun kini kita tak perlu lagi merasa takut dan ngeri mendengarnya. Karena, ternyata konflik yang terjadi tidak selamanya membawa akibat buruk sepanjang dapat dikelola Ahmad Royani dengan baik. Justru dengan adanya konflik akan memancing daya kreasi dan inovasi anggota organisasi baik secara individu maupun secara kolektif. Banyak cara atau pun trik yang dapat diterapkan untuk mengatasi dan bahkan mengurangi sensitivitas anggota terhadap pemicu konflik potensial di antara mereka. Berbagai macam training, seperti sensitivity training, diversitytraining program atau pun cross-cultural training.4dapat dilakukan untuk menjawab masalah konflik sehingga sumber daya manusia dalam organisasi dapat memberikan manfaat yang lebih besar. 1. Hakikat Konflik Pada hakikatnya, konflik pasti terjadi, berkonotasi negatif, hasil akhhir tergantung manajemennya, dan perlu dikenali. Munculnya konflik biasanya diisyaratkan oleh adanya komentar emosional, serangan gagasan yang apriori, saling tuduh, dan saling serang pada pribadi. Penanganannya dapat dilakukan dengan cara konfrontasi agresif, manufer negatif, penundaan terus menerus, dan bertempur secara pasif. Sumber konflik berawal dari sikap menghalangi sasaran perorangan, perbedaan sudut pandang, kehilangan otonomi/kekuasaan, dan kehilangan sumber yang mengakibatkan ketidak adilan, ancaman terhadap nilai/norma, dan perbedaan persepsi, tujuan,kebutuhan, kebutuhan dan nilai. Konflik dapat direspon dengan cara menghindar, mengakomodasi, menang/kalah, dan penyelesaian masalah (kolaborasi win-win). Berdasarkan teori manajemen klasik (classical management theory), adanya konflik dipandang sebagai bukti perpecahan organisasi, yakni gagalnya pihak manajemen merencanakan dan melaksanakan pengendalian secara memadai. Sementara menurut 4 Hollenbeck. Human Resource Management:Gaining a Competitive Advantage. International Edition..Third Edition. (McGraw-Hill Companies. 2000) 254 Manajemen Konflik pandangan hubungan manusiawi (human relation), konflik dipandang secara negatif sebagai bukti gagalnya pihak manajemen mengembangkan norma-norma yang sesuai dalam kelompok. Adapun teori administrasi tradisional lebih melihat organisasi yang sehat didasarkan kepada suasana yang harmonis, kesatuan, koordinasi, efisiensi, dan tertib. Hubungan manusiawi berupaya menciptakan iklim tersebut melalui suasana kerja yang menyenangkan, sedang aliran klasik menciptakannya melalui kontrol dan struktur organisasi yang ketat. Keduanya sepakat bahwa konflik cenderung merugikan, oleh karena itu harus dihindari. 2. Pengertian Manajemen Konflik Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara maknamakna yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan, status, dan budaya. Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik merupakan suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat. Konflik ialah proses kegiatan A merugikan B sehingga menimbulkan perselisihan sehingga dapat menimbulan stres.5 Konflik disebut juga fight, strangle, quarrel, deference, opposition, .and disagreement. Konflik yang berkepanjangan dapat mengakibatkan stres bagi yang berkonflik. Konflik dapat terjadi dengan: (1) diri sendiri, (2) seseorang, (3) kelompok, (4) organisasi, (5) kelompok 5Robbins S.Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi. 432 Ahmad Royani dengan kelompok, (6) kelompok dengan organisasi, dan (7) organisasi dengan oganisasi. Pandangan perilaku menyatakan konflik adalah sesuatu yang wajar (alamiah) karena perbedaan perilaku dalam berorganisasi. Pandangan intraksionis menyatakan bahwa konflik adalah proses interaktif yang mendorong keharminisan, kedamaian, dan kerjasama untuk melakukan inovasi, perubahan dan peningkatan. Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut Robbin, ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok.6 Jika mereka tidak menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut menjadi suatu kenyataan 3. Pandangan Terhadap Konflik Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi. Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan organisasi. Stoner dan Freeman menyebut konflik tersebut sebagai konflik organisasional (organizational conflict). Pertentangan pendapat ini oleh Robbins disebut sebagai the Conflict Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisir konflik.Dalam uraian di bawah ini disajikan beberapa pandangan tentang konflik.7 6Sofyan Tsauri, Manajemen Kinerja. ( Jember: Stain Press. 2014) 75 S.Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi. 342 7Robbins Manajemen Konflik a. Pandangan Tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan 1940an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan. b. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View). Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an. c. Pandangan Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif. Ahmad Royani Staphen membagi pandangan tentang konflik menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan modern (current view).8 Perbedaan kedua pandangan tersebut disajikan dalam Tabel dibawah. Dalam tabel tersebut, kedua cara pandang: tradisional dan modern, dibedakan dalam lima aspek, yaitu: cara pandang terhadap konflik, faktor penyebab timbulnya konflik, pengaruh konflik terhadap kinerja, fungsi manajemen, dan bagaimana perlakuan terhadap konflik untuk mencapai kinerja optimal. Tabel 1: Pandangan Tradisional dan Modern tentang Konflik 4. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Konflik Menurut Robbins, konflik muncul karena ada kondisi yang melatar - belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.9 8Stephen 9Robbins R. The 8th Habit. (Jakarta: Gramedia. 2008) 329 S.Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi. 439 Manajemen Konflik a. Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik. b. Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik. c. Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, te- Ahmad Royani gang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huruhara, pemogokan, dan sebagainya. Robbins, menggambarkan tahap-tahap lahirnya konflik, sebagaimana yang diterangkan di atas, melalui gambar sebagaimana yang disajikan di bawah ini (gambar 1).10 Proses timbulnya konflik, sebagaimana yang digambarkan oleh Robbins, mirip dengan tahap-tahap konflik yang digambarkan oleh Schermerhorn, seperti yang disajikan di bawah ini (gambar 2). Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga factor dalam antecedent conditions, Schermerhornmerinci antecedent conditions menjadi lima faktor, yaitu: (1) ketidakjelasan peranan atau peranan yang mendua (role ambiguities); (2) persaingan untuk mendapatkan sumberdaya yang terbatas; (3) rintangan-rintangan dalam komunikasi (communication barriers); (4) konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan; dan (5) perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan kebutuhan, nilai-nilai, dan perbedaan tujuan. Gambar 1: Proses Lahirnya Konflik 10Robbins, 371 Stephen P. Perilaku Organisasi, (Jakarta: Salemba Empat. 2008) Manajemen Konflik Gambar 2: Tahap-tahap Konflik Ahmad Royani Selanjutnya, Kreitner dan Kinickiseperti yang dikemukakan oleh Wahyudi merinci lagi antecedent conditions itu menjadi 12 faktor sebagai berikut: 11 1) ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai; 2) batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpangtindih; 3) persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas; 4) pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate communication); 5) kesalingtergantungan dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain); 6) kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan dengan semakin meningkatnya susunan hierarki dan spesialisasi pekerjaan); 7) peraturan-peratuan, standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau tidak masuk akal; 8) batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga sulit dipenuhi (unreasonable deadlines); 9) pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, semakin potensial untuk konflik); 10) pengambilan keputusan melalui konsensus; 11) harapan-harapan yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki harapan yang tidak realistik terhadap pekerjaan, upah, atau promosi, akan lebih mudah untuk konflik); 12) tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik. Menurut Kreitner dan Kinicki, manajer atau pimpinan organisasi harus proaktif untuk mengidentifikasikan keberadaan kondisi - kondisi tersebut dalam organisasinya, 11Wahyudi, Manajemen Konflik Dalam Organisasi, Edisi Kedua, (Bandung : Alfabeta. 2006) 285 Manajemen Konflik dan jika salah satu atau lebih dari kondisi itu muncul, maka ia harus segera mengambil tindakan, sebelum kondisi itu menjadi konflik terbuka atau konflik yang nyata (manifest conflict).12 Dengan cara seperti ini, diharapkan konflik tidak meluas ke seluruh organisasi dan akhirnya mempengaruhi kinerja karyawan. Untuk itulah maka manajer harus memiliki kemampuan untuk mengelola konflik, sehingga konflik tidak menjadi faktor yang mengancam keberlangsungan hidup organisasi 5. Mengelola Konflik Dalam Organisasi Para manajer menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menangani konflik. Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan konflik. Sebagaimana saat ini, dalam rangka otonomi daerah, banyak sekali perubahan institusional yang terjadi, yang tidak saja berdampak pada perubahan struktur dan personalia, tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan pribadi dan organisasional yang berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu, jika konflik tidak ditangani secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu keseimbangan sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara orang-orang yang terlibat. Kegagalan dalam menangani konflik dapat mengarah pada akibat yang mencelakakan.13 Konflik dapat menghancurkan organisasi melalui penciptaan dinding pemisah di antara rekan sekerja, menghasilkan kinerja yang buruk, dan bahkan pengunduran diri. Para manajer organisasi publik harus menyadari bahwa karena konflik disebabkan oleh faktor-faktor yang ber12Wahyudi, Manajemen Konflik Dalam Organisasi. 222 Kiat Karyawan Mengubah Stres Menjadi Sukses, Cetakan Pertama, (Sketsa Inti Media, 2008) 21 13Yahya, Ahmad Royani lainan, maka model yang digunakan dalam pengelolaan konflik juga berlainan, tergantung keadaan. Memilih sebuah model pemecahan konflik yang cocok tergantung pada beberapa faktor, termasuk alasan mengapa konflik terjadi, dan hubungan khusus antara pimpinan dengan pihak yang terlibat konflik. Manajemen harus mampu meredam persaingan yang sifatnya berlebihan (yang melahirkan konflik yang bersifat disfungsional) yang justru merusak spirit sinergisme organisasi tanpa melupakan continous re-empowerment. Ada 6 tipe pengelolaan konflik yang dapat dipilih dalam menangani konflik yang muncul yaitu :14 a. Avoiding; gaya seseorang atau organisasi yang cenderung untuk menghindari terjadinya konflik. Hal-hal yang sensitif dan potensial menimbulkan konflik sedapat mungkin dihindari sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka. b. Accomodating; gaya ini mengumpulkan dan mengakomodasikan pendapat-pendapat dan kepentingan pihakpihak yang terlibat konflik, selanjutnya dicari jalan keluarnya dengan tetap mengutamakan kepentingan pihak lain atas dasar masukan-masukan yang diperoleh. c. Compromising; merupakan gaya menyelesaikan konflik dengan cara melakukan negosiasi terhadap pihak-pihak yang berkonflik, sehingga kemudian menghasilkan solusi (jalan tengah) atas konflik yang sama-sama memuaskan (lose-lose solution). d. Competing; artinya pihak-pihak yang berkonflik saling bersaing untuk memenangkan konflik, dan pada akhirnya harus ada pihak yang dikorbankan (dikalahkan) kepent14 Dawn M. Baskerville. May 1993. How Do You Manage Conflict?. Black Enterprise.Evert Van De Vliert (University of Groningen) and Boris Kabanoff (University of New South Wales). 63 Manajemen Konflik ingannya demi tercapainya kepentingan pihak lain yang lebih kuat atau yang lebih berkuasa (win-lose solution). e. Collaborating; dengan cara ini pihak-pihak yang saling bertentangan akan sama-sama memperoleh hasil yang memuaskan, karena mereka justru bekerja sama secara sinergis dalam menyelesaikan persoalan, dengan tetap menghargai kepentingan pihak lain. Singkatnya, kepentingan kedua pihak tercapai (menghasilkan win-win solution). f. Conglomeration (mixturedtype); cara ini menggunakan kelima style bersama-sama dalam penyelesaian konflik. Perlu kita ingat bahwa dalam memilih style yang akan dipakai oleh seseorang atau organisasi di dalam pengelolaan konflik akan sangat bergantung dan dipengaruhi oleh persepsi, kepribadian/karakter (personality), motivasi, kemampuan (abilities) atau pun kelompok acuan yang dianut oleh seseorang atau organisasi. Dapat dikatakan bahwa pilihan seseorang atas gaya mengelola konflik merupakan fungsi dari kondisi khusus tertentu dan orientasi dasar seseorang atau perilakunya dalam menghadapai konflik tersebut yang juga berkaitan dengan nilai (value) seseorang tersebut. Pada level subkultur (subculture), shared values dapat dipergunakan untuk memprediksi pilihan seseorang pada gaya dalam menyelesaikan konflik yang dihadapinya. Subkultur seseorang diharapkan dapat mempengaruhi perilakunya sehingga akan terbentuk perilaku yang sama dengan budayanya.15 Dalam masyarakat tradisional yang masih dipenuhi dengan nilai-nilai kesopanan, budaya saling membantu yang 15M. Kamil Kozan. Subcultures and Conflict Management Style. (Management International Review.2002) 93 Ahmad Royani masih sangat kental, sangat ramah tamah, dan sebagainya akan cenderung untuk menghindari konflik. Berbeda dengan masyarakat yang bersifat power seekers, mereka cenderung untuk saling bersaing dalam menghadapi konflik yang muncul dengan berorientasi pada kekuasaan (power), wewenang (authority) dan kemakmuran secara ekonomis. Sedangkan organisasi atau seseorang yang berada dalam masyarakat yang bersifat egalitarians lebih menyukai gaya akomodasi dalam menyelesaikan konfliknya dengan menghargai pada keadilan (justice), kesederajatan (equality), dan saling memaafkan (forgiveness).16 Gaya akomodasi ini lebih mendahulukan kepentingan pihak lain daripada kepentingan diri sendiri atau kepentingan golongannya sendiri. Gaya menyelasaikan konflik dengan kolaborasi terdapat pada masyarakat yang bertipe stimulation seekers, dimana pihak-pihak yang terlibat konflik saling terbuka dan berbagi pengalaman masing-masing yang pada akhirnya menghasilkan jalan keluar yang saling menguntungkan. Model - model Manajemen konflik akan bermuara pada bagaimana mengusahakan agar konflik berada pada situasi optimal, sehingga konflik tersebut dapat mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya ketegangan, dan memprakarsai benih-benih untuk perubahan.Robbins menjelaskan bahwa konflik itu baik bagi organisasi jika:17 1) Konflik merupakan suatu alat untuk menimbulkan perubahan 2) Konflik mempermudah terjadinya keterpaduan (cohesiveness) kelompok 16M. Kamil Kozan. Subcultures and Conflict Management Style. 96 S., Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi, 357 17Robbins Manajemen Konflik 3) Konflik dapat memperbaiki keefektifan kelompok dan organisasi 4) Konflik menimbulkan tingkat ketegangan yang sedikit lebih tinggi dan lebihkonstruktif. Tingkat konflik yang tidak memadai (terlalu rendah) atau terlalu berlebihan (konflik tinggi) dapat merintangi keefektifan organisasi untuk mencapai kualitas pelayanan publik yang tinggi. Kedua situasi ektrim ini dapat memunculkan sikap-sikap aparat yang apatis, absenteisme tinggi, bekerja seadanya, tidak empatik terhadap pengguna jasa, dan sebagainya; yang pada akhirnya akan memperendah kualitas pelayanan mereka kepada publik.Untuk itulah diperlukan suatu keahlian untuk mengelola konflik dari setiap pimpinan organisasi publik. Penggunaan berbagai teknik pemecahan dan motivasi untuk mencapai tingkat konflik yang diinginkan disebut sebagai manajemen konflik. Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan cara sebagi berikut :18 a. Disiplin Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan mencegah konflik. Manajer perawat harus mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum jelas, mereka harus mencari bantuan untuk memahaminya. b. Pertimbangan pengalaman dalam tahapan kehidupan Konflik dapat dikelola dengan mendukung perawat untuk mencapai tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya. Misalnya; Perawat junior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk mengikuti pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan bagi perawat sen18 Khusnuridlo, Manajemen Konflik dilingkungan Kemenag. Presentasi ( Jakarta, Tanggal 26-30 September 2005) Ahmad Royani ior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. c. Komunikasi Suatu komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup. d. Mendengarkan secara aktif Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer perawat telah memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali permasalahan para pegawai sebagai tanda bahwa mereka telah mendengarkan. Proses pencegahan konflik yang paling uatama adalah pola yang dikembangkan dalam sifat pribadi itu sendiri. Dengan cara fokus kepada pekerjaan dan melalui sikap disiplin dan menjadikan konflik sebagai wahana pengalaman pribadi dalam menumbuhkan semangat kerja maka organisasi akan berkembang dengan baik sesuai dengan visi atau misi. Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang positif apabila dikelola dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakan suatu perubahan :19 a. Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggung jawab mereka b. Memberikan saluran baru untuk komunikasi 19Yahya, Kiat Karyawan Mengubah Stres Menjadi Sukses. 57 Manajemen Konflik c. Menumbuhkan semangat baru pada staf d. Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi e. Menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam organisasi Hikmat memberikan taktik untuk mengurangi konflik dengan cara mengikuti sarannya seperti tabel berikut ini.20 No. Strategi 1 Meminimalkan konflik dengan atasan Tempatkan dirinya sebagai “sepatu bos” Meminimalkan konflik dengan bawahan Temukan profesional dan tujuan personal anggota tim. Analisis pola pikir boss Jelaskan harapan Anda Jangan menyempaikan masalah kepada bos tetapi pemecahan masalahnya. Definisikan ukuran kontrol Kembangkan toleransi kegagalan untuk membangkitkan kreativitas. Beri umpan balik positif. Beri kesempatan dan penghargaan Dengarkan dengan baik infomasi bos untuk rencana dan pengembangan Berkonsultasi dengan bos terhadap kebijakan, 20Hikmat,Manajemen Pendidikan. (Bandung: Pustaka Setia, 2009) 90 Ahmad Royani prosedur, dan kriteria. 2 Jangan memaksa bos Meminimalkan konflik dengan teman selevel. Bantu kelompok mencapai tujuannya. Bangun iklim kerjasama Beri catatan kemajuan untuk membantu anda dari kelompok Usahakan saluran komunikasi informal Meminimalkan konflik dengan pelanggan Dorong pelanggan menuju yang mereka inginkan. Pelihara kontak tertutup dengan pelanggan. Hindari kejutan Siaplah melayani setiap level Kembangkan hubungan informal sebaik mungkin. Laksanakan proyek pertemuan reguler. Coba mereka dengan percobaan yang Anda inginkan. Hasil dari adanya konflik memang bisa menuntungakan sepihak atau kedua belah pihak dapat menghasilkan: Manajemen Konflik a. Kalah – kalah : Kedua kelompok mengalami kerugian. Saya tidak O.K, Anda juga tidak O.K b. Kalah –menang: Kelompok yang kalah rugi dan yang menang untung. Saya tidak O.K. Anda O.K. c. Menang-kalah: Kelompok yang menang untung, yang kalah rugi.Saya O.K. Anda tidak O.K. d. Menang-menang: Kedua kelompok diuntungkan, biasanya setelah melalui kompromi atau kolaborasi. Saya O.K.Anda juga O.K. Adapun hubungan antara empat kemungkinan hasil konflik dikaitkan dengan strategi mengatasi konflik serta kemungkinan perilaku yang tampak seperti yang ditunjukkan tabel berikut ini.21 Tabel Hubungan Hasil Konflik, strategi Konflik, dengan Perilaku Posisi Strategi KonKemungflik kinan Perilaku Saya tidak OK, Anda tidak OK Penghindaran Tidak asertif Saya tidak OK, Anda OK Penghalusan Tidak asertif Saya OK, Anda tidak OK Pemaksaan Agresif Saya OK, Anda OK Penentangan Asertif Kesimpulan Setelah kita mengetahui apa itu konflik dan manajemen konflik dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa konflik bukanlah dihindari apalagi untuk di abaikan, akan tetapi konflik hendaklah harus dihadapi atau di kompromikan kepada pihak yang 21 Titiek Rohanah Hidayati, Manajemen Pendidikan Islam.( Jember, STAIN Press, 2014) 94 Ahmad Royani bertingkai. Konflik dapat diatas jika komunikasi diantara para pihak yang terjadi konflik dapat dipahami dan dicari solusinya. Untuk mengembangkan alternatif solusi agar dapat mencapai satu kesepakatan dalam pemecahan konflik ,diperlukkan komitmen yang sungguh sungguh . Ada beberapa stragtegi yang dapat digunakan, antara lain : akomodasi, kompetisi, kompromi atau negosiasi dan kolaborasi. Diharapkan seorang pemimpin dapat memahami dan menggunakan keahliannya secara khusus untuk mengelola dan mengatur konflik. Salah satunya dengan mentasi konflik pertama, menciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif. Kedua mencegah konflik yang destruktif sebelum terjadi. Ketiga menetapkan peraturan dan prosedur yang baku terutama yang menyangkut hak karyawan. Keempat menciptakan iklim dan suasana kerja yang harmonis. Kelima membentuk team work dan kerja-sama yang baik antar kelompok/ unit kerja. keenam membina dan mengembangkan rasa solidaritas, toleransi, dan saling pengertian antar unit DAFTAR PUSTAKA Anoraga, Pandji, 2006, Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta Covey, Stephen R. 2008. The 8th Habit. Jakarta: Gramedia. Dawn M. Baskerville. May 1993. How Do You Manage Conflict?. Black Enterprise.Evert Van De Vliert (University of Groningen) and Boris Kabanoff (University of New South Wales). Djanaid, Djanalis, 1994, Kepemimpinan Teori dan Praktek, Malang: Indonesia Multi Manajemen Garry Dessler. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jilid 2. Jakarta : PT. Prehelinso. 1989. Manajemen Konflik Hani Handoko. Manajemen Personalia dan Sumber Daya manusia. Yogyakarta : BPFE. 2001. Hendricks, William, 2000, Bagaimana Mengelola Konflik, Jakarta : PT. Bumi Aksara Hikmat, 2009. Manajemen Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. Indrawijaya, Adam I. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru Algesindo.2009. Ivancevich, John M, Konopske, Robert, Dan Matteson, 2006, Perilaku Dan Manajemen Organisasi,Indonesia : Erlangga James K. Van Fleet, 1973, 22 Manajemen Kepemimpinan, Jakarta : Mitra Usaha M. Kamil Kozan. 2002. Subcultures and Conflict Management Style. Management International Review. Noe, Hollenbeck, Gerhart, Wright. 2000. Human Resource Management:Gaining a Competitive Advantage. International Edition. Third Edition. McGraw-Hill Companies. Inc. Purwanto, Yadi, 2001, makalah: Manajemen, Jakarta : PT. Cendekia Inforatika Rivai, Veithzal, 2004, Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Robbins S. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi. Jakarta : PT Prenhalinddo.1996. Robbins, Stephen P. 2008. Perilaku Organisasi, Jakarta: Salemba Empat. Timpe, A. Dale. 1991. Memimpin Manusia, Jakarta: Gramedia. Tsuri Sofyan,2014. Manajemen Kinerja, Jember: Stain Press Ahmad Royani W. Brown steven, 1998, Manajemen Kepemipinan, Jakarta : Profesional Books Wahyudi. Manajemen Konflik Dalam Organisasi, Edisi Kedua. Bandung : Alfabeta. 2006 Wardoyo, Yahya, 2008, Kiat Karyawan Mengubah Stres Menjadi Sukses, Cetakan Pertama, Sketsa Inti Media. Wirawan, 2010. Konflik dan Manajemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika.