Renungan Jumat Cevron, Jakarta, 21 September 2007 KETIKA TUHAN TIADA Percaya dalam Derita Bacaan: Ayub 2:1-13 Pengantar: Ketika sebuah musibah terjadi, terlebih dalam masa-masa penuh bencana alam seperti ini, sering orang begitu mudah bertanya: “di mana Allah dalam penderitaan ini?”, “mengapa Ia membiarkan segala kejadian buruk ini berlangsung?”, “Bukankah Tuhan itu penuh kasih, maha baik, maha kuasa, dsb., dsb?”, “Tuhankah pribadi yang membiarkan sesuatu tak manusiawi itu?” Tak pelak lagi, bencana dan kejahatan merupakan penyebab terbesar ketidakpercayaan orang akan Tuhan, apalagi agama. Itu adalah sebuah fenoma yang telah berabad-abad lamanya. Sejarah mencacat bagaimana pergumulan antara misteri kejahatan dan adanya Tuhan ini telah lama menjadi sebab munculnya ateisme dan segala alirannya. Argumen dasar mereka adalah: “seandainya Allah yang Baik ada, pasti tidak pernah terjadi keganasan perang, penderitaan, bencana, siksaan, kematian”. Santo Tomas, ketika mempelajari fenomena itu merumuskan argument mereka secara lebih rinci: “Seandainya Allah ada, tak akan ada satu tempat pun dimana kejahatan ditemukan. Padahal kejahatan ditemukan di dunia, maka Allah tidak ada”. Sebab Allah itu digambarkan sebagai Ada Yang Tak Terhingga Baiknya dan Maha Kuasa. Epicuros merumuskan masalah itu begini: “Atau Allah mau meniadakan kejahatan tetapi tidak dapat, atau Ia dapat tetapi tidak mau, atau Ia tidak mau dan tidak dapat, atau Ia mau dan dapat. –Jika Ia mau tetapi tidak dapatIa tidak berdaya, Jika Ia dapat tetapi tidak mauIa buruk hati, Jika Ia tak mau dan tak mampuIa buruk hati dan tak berdaya, Jika Ia mau dan mampuMengapa tetap ada kejahatan? Ayub: Sebuah Pertanyaan Mendasar Tentang Misteri Kejahatan Dalam pendapat umum keagamaan di zaman Ayub, penderitaan adalah kutukan dari Allah sendiri. Orang menjadi miskin, cacat, jatuh sakit dan tertimpa bencana adalah karena mereka berdosa, maka dikutuk Tuhan. Orang miskin, cacat, berpenyakit, pelacur, tersingkirkan dari masyarakat karena pandangan umum ini. Tak heran bila sering kita jumpai dalam perikop-perikop KS sikap-sikap diskriminatif ditunjukkan orang-orang Yahudi pada orang-orang seperti ini; Tuhan mengutuk mereka, karena mereka berdosa, maka mendekati mereka berarti menajiskan diri dan masuk dalam lingkaran kedosaan fisik dan jiwa. Pendapat dan sikap ini tentu menimbulkan pertanyaan besar bagi orang yang saleh, namun nyatanya menderita. Keyakinan itu dipertanyakan oleh kenyataan yang terbalik, yang menjadi skandal masyarakat religius Yahudi. Bagaimana mungkin itu terjadi? Dan memang mereka melihat itu terjadi. Dan Ayub adalah salah satu representasi dari krisis besar itu: “Bagaimana mungkin Allah mengutuk orang yang baik dan saleh seperti Ayub?” Ayub: Sebuah Usaha Menjawab Misteri Kejahatan Fenomena yang digambarkan dalam hidup Ayub jelas bukan tidak pernah ada dalam hidup kita saat ini. Kita melihat begitu banyak orang menderita bukan karena keinginan dan kehendak mereka, melainkan karena sesuatu itu menimpa begitu rupa, sehingga setiap kita selalu menduga-duga bahwa hal itu terjadi karena nasib, atau keburukan orang lain. Bagaimana mungkin musibah Tsunami menghancurkan daerah penganut agama yang saleh dan begitu kental dengan penghatan agamanya seperti itu? Mengapa Ia tak menghancurkan Jakarta misalnya yang begitu banyak menyimpan seribu kali kejahatan besar yang bahkan tak mungkin ada di daerah-daerah lain seperti Aceh itu? Atau, bagaimana mungkin daerah yang begitu kental dengan kekatolikannya atau kekristenannya selalu diwarnai kerusuhan, dengki dan pembamtaian di mana-mana? Tuhan memang tak mungkin campur tangan dalam sebab kejahatan dan keburukan seperti itu. Kodratnya itu hanyalah kebaikan dan kasih. Kejahatan dan penderitaan adalah sebuah misteri, di samping kita coba temukan jawabannya dalam fenomena kebebasan manusia, menurut kesimpulan filsafat yang sangat terbatas. Yang jelas, adanya kejahatan dan penderitaan tak menyangkal adanya begitu banyak—dan lebih banyak—kebaikan di dunia. Dan kalau kejahatan tak dapat menyimpulkan penyangkalannya pada Tuhan, kebaikan bisa menyatakan adanya Tuhan. Ayub adalah suatu usaha merumuskan keyakinan ini. Tuhan itu tak mungkin menghendaki kejahatan, penderitaan dan bencana. Ia hanya menghendaki kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan. Namun semua itu, menurut ketuhananNya, dikehendaki sebagai tawaran sukarela. Karena kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan itu menjadi sempurna bila diterima dengan sukarela, Tuhan memberikan itu tidak dengan paksaan, artinya, memberikannya dengan kebebasan. Dalam kebebasan inilah Tuhan mengambil resiko mengijinkan kejahatan terjadi sebagaimana dikehendaki oleh manusia karena kebebasannya. Banjir, Tzunami, Gempa bumi itu fenomena alam, tetapi fenomena alam itu juga dipengaruhi oleh kehadiran dan tingkah laku manusia yang menghuni alam itu. Secara sientifis kita bisa menggambarkan bagaimana seharusnya alam itu secara ideal, dan bagaimana semua ini terjadi karena tingkah laku yang buruk—yang tentu tak kecil—dari kita sendiri. Seandainya manusia tak serakah dan mementingkan melulu negara dan kelompoknya sendiri alam tak mungkin “terlalu cepat marah” seperti ini. Penolakan “protokol Kyoto” tentang usaha pengurangan pemanasan global oleh Amerika Serikat itu adalah contoh keserakahan itu. Tsunami itu adalah buah dari kejahatan semacam ini. Ayub: Sebuah Pemaknaan atas Penderitaan Bila demikian, mengapa Tuhan mengizinkan penderitaan itu terjadi? Jawaban atas masalah ini akan membawa kita pada keyakinan bahwa, sungguh, Tuhan selalu menghendaki yang baik atas hidup kita. Jawabannya ada pada bagaimana kita memaknai sebuah penderitaan. Penderitaan itu adalah sesuatu yang mendidik, mendewasakan, membuat kita kuat dalam keyakinan tertentu. Paulus mengatakan “jika kita menderita bersama dengan Dia (dengan Allah) kita akan dimuliakan pula bersama dengan Dia”. Menderita bersama Allah, inilah kuncinya. Kita mesti memaknai penderitaan, bukan mencari penderitaan. Memaknai penderitaan dengan apa yang pernah Ia sendiri maknai dari penderitaan salibNya. Salib, penderitaanNya adalah sebuah langkah yang harus dilewatiNya bukan untuk dinikmati— seperti dihayati oleh banyak masokis—melainkan karena konsekuensi dari keputusan membela kebenaran, dan Yesus membuktikan keputusan akan itu adalah yang dibenarkan Allah, dan pembenaran itu nyata dalam kemenanganNya di hari ketiga setelah kematianya, dalam kebangkitanNya. Setelah Yesus, penderitaan memiliki makna yang istimewa dan penuh, adalah sebuah langkah menuju Kebangkitan. Penderitaan memang tak akan pernah—dan tak perlu sama sekali—kita cari, namun demikian dalam penderitaan yang sering tak terhindari, kita mesti memaknainya, dengan makna yang diajarkan oleh Tuhan sendiri, itulah artinya menderita bersama Kristus.Amin. ***