Peradilan perempuan - eJournal IAIN Jember

advertisement
Saidin Ernas, Artikulasi Ideologi Politik Masyarakat Islam...
ARTIKULASI IDEOLOGI POLITIK
MASYARAKAT ISLAM DI INDONESIA
Saidin Ernas
Dosen Sosiologi Politik IAIN Ambon
[email protected]
Abstract
This writing seeing reinforce that has grown recently that in the case of Indonesia, commitment no longer parallel with religious orientation and political expression. Some event as political factors on and election shows that religion is no longer a factor in influencing determinan political choice. Majority muslims in indonesia to regard as different political arena by religiousity.
Then factors as political leadership, principal capacity, trackrecord and personal images determinant in the choice of politics. Nevertheless, this studies
also indicated that changes and shifting political orientation voters not altogether may be claimed as the success of the process of secularization in political modernization in indonesia. It appears the phenomenon of pragmatism and hypocritizm become indonesia chief symptom in politics today.
These symptoms shows that political arena just a sign of the power struggle
and efforts to hunt down interest (rente) on the parties involved in it. In
practice this kind of political, the interest of the people can no longer be the
locus of the main in the ideology and political vision.
If a political party or the political power of Islam in Indonesia do not want
to have setbacks and landed in the defeat and destruction is available continuously, we must immediately conduct reorientasi and political reposition.
Islamic Politic were not political can depend on the belief an absurd sociological that (the majority of people islam in indonesia were muslim , then
they will certainly choose of the Islamic Party). On the other hand if we
want to become the strength of dominant political , the political power of Islam must be able to ideology reposition, political agenda and the acts of political and more substantive and earthiness contemporary according to the
need of the Islamic Community of Indonesia.
Keywords: Relegiousitas, Oriantasi Politik, Pragmatisme-Hipokritisme
Pendahuluan
Fenomena agama dan kepolitikan dalam kehidupan masyarakat Islam
215
al-‘Adâlah, Volume 17 Nomor 2 November 2014
di Indonesia memiliki keunikan yang menarik untuk dicermati.Secara umum
masyarakat Islam di Indonesia dikenal sebagai komunitas beragama yang
religious, mereka memiliki komitmen keagamaan yang sangat tinggi. Hal ini
dapat diamati pada berbagai kegiatan ritual keagamaan baik yang dilakukan
secara individual maupun yang dilakukan bersama secara klosal seperti pelaksanaan ibadah Haji. Angka jamaah Haji dari tahun ketahun terus meningkat bahkan jumlah calon jamaah haji yang mendaftar selalu melibihi kuota
yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi, sehingga mengakibatkan daftar
tunggu (antrian) yang cukup panjang. Di berbagai tempat dibangun Masjid,
di desa, di kota, bahkan di kantor-kantor pemerintah maupun swasta. Fenomena ini paling tidak menjadi bukti nyata bahwa komitmen keagamaan di
kalangan umat Islam Indonesia sangatlah tinggi.
Namun fakta bahwa jumlah pemeluk Islam yang mayoritas di Indonesia dengan komitmen keagamaan yang cukup tinggi tersebut tidak lantas
menjamin bahwa ekspresi dan oriantasi politik umat Islam di Indonesia
memberi dukungan pada menguatnya politik Islam; partai Islam, Ideologi
Islam, pemimpin Islam bahkan juga Negara Islam. Partai-partai politik yang
menggunakan Islam sebagai azas, tidak pernah memperoleh dukungan politik yang kuat dan mayoritas di Indonesia.Justru sebaliknya partai politik yang
berbasis ideologi nasionalis atau yang lainnya yang memperoleh dukungan
kuat dan berhasil memenangkan pemilu. Fakta ini terus terjadi sejak pemilu
pertama tahun 1955 hingga pemilu terakhir tahun 2009, partai politik Islam
selalu menuai kekalahan.1 Maka pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa komitmen keislaman yang demikian kuat tersebut tidak selalu paralel
dengan dengan oriantasi politik? Mungkinkah religiusitas tidak berdampak
pada pilihan politik individu. Mengapa hal tersebut bisa terjadi dan factorfaktor apa saja yang mempengaruhi?
Sejauh ini telah banyak studi yang mencoba menjelaskan, mengurai
atau menjawab fenomena Islam dan oriantasi politik dalam kasus di Indonesia. Zuly Qodir (2010: 35-57) dalam studinya tentang gerakan Islam Liberal
Pemilu tahun 1955 dimenagkan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam
Masyumi berada di urutan kedua dan Partai Komunis Indonesia di urutan ketiga, semnetara
Partai NU berada di urutan keempat. Secara historis, pemilu 1955 merupakan prestasi politik
terbaik yang pernah diraih Partai politik Islam di Indonesia.
1
216
Saidin Ernas, Artikulasi Ideologi Politik Masyarakat Islam...
di Indonesia membuat tiga kategorisasi dalam memahami Islam di Indonesia; (1) structural-politik, (2) strutural-antropologis, (3) struktural-kultural.
Kategori tersebut dapat dirangkum dalam dua model pendekatan yang paling menonjol dan sering digunakan dalam mengurai Islam dan politik di Indonesia. Pertama, studi structural-politik tentang relasi antara agama (Islam)
dan politik (Negara) yang menghasilkan pandangan bahwa ada rekayasa untuk selalu menempatkan politik Islam dalam posisi yang inferior vis a vis politik negara. Proses “penjinakan ini” ini secara khusus berlangsung selama kekuasaan rezim Orde Baru. Negara melalui kekuatan rezim nasionalis dan militer telah “membonsai” kekuatan politik Islam sehingga dari waktu ke waktu mengalami penurunan ekspektasi dan dukungan dari kalangan pemilih
muslim. Negara secara terus menerus juga telah memperkuat wacana bahwa
Islam dan politik tidaklah sebangun (compatible), sehingga kewajiban keagamaan tidak lantas mewajibkan umat Islam atas pilihan politik pada partai
ataupun symbol politik Islam.
Kedua, studi sosiologis-antropologis yang mencoba melacak ekspresi
politik Islam di Indonesia dalam prespektif karakter budaya (antropologis)
dan perubahan sosial (sosiologis). Dalam pandangan ini disebutkan bahwa
meskipun umat Islam di Indonesia adalah mayoritas dan memiliki komitmen keagamaan yang cukup tinggi (religious), namun kultur politik Islam di
Indonesia tidak memberi ruang bagi menguatnya tatanan politik agama. Justru pengaruh Islam menguat pada ranah kebudayaan dan sistem nilai masyarakat Indonesia. Islam di Indonesia adalah Islam yang unik, karena bersekutu dengan kebudayaan lokal. Hal ini melahirkan model keberagamaan yang
singkretis dan perilaku politik yang cenderung kompromistis. Kondisi ini pada akhirnya membentuk suatu karakter keagamaan yang a-politic (non-ideologis). Maka muncul beragam term dalam studi Islam, seperti; Islam cultural,
Islam Jawa, Pribumisasi Islam, Islam alternatif, Islam transformatif dan lain
sebagainya. Sementara studi sosiologis yang memusatkan pada agama dan
perubahan sosial, memandang bahwa umat Islam di Indonesia sedang bertransformasi dari masyarakat religious-tradisional kepada masyarakat religious-moderen yang semakin sekuler. Proses sekularisasi ini melahirkan suatu kondisi masyarakat yang telah memisahkan antara komitmen keagamaan
yang dianggap sebagai sesuatu yang personal-privat dan sakral serta orian217
al-‘Adâlah, Volume 17 Nomor 2 November 2014
tasi-oriantasi politik yang bersifat publik dan profan. Proses sekularisasi ini
didukung secara konsepsional oleh para intelektual Muslim seperti Nurkholis Madjid (1987), pada pertengahan tahun 80-an melalui jargon sekularisasi Islam; Islam Yes, Partai Islam No.
Tulisan ini akan menelaah lebih lanjut pandangan sosiologis tentang
sekularisasi tersebut dan kemungkinan pengaruhnya terhadap oriantasi
politik umat Islam di Indonesia. Bagaimana proses sekularisasi tersebut
berjalan dan bagaimana pengaruh dan dampaknya terhadap oriantasi politik
umat Islam di Indonesia. Dan tentu saja bagaimana Politik Islam harus mereoriantasi diri dalam sistem politik Indonesia yang semakin dinamis.
Religiusitas, Sekularisasi dan Komitmen Keagamaan.
Para teoritisi ilmu sosial mengembangkan konsep yang akan memberi
penjelasan tentang mengapa komitmen keagamaan tidak selalu paralel dengan oriantasi-oriantasi politik dalam sebuah komunitas beragama, termasuk
dalam hal ini umat Islam. Dalam kajian sosiologis pendekatan ini melahirkan
teori sekularisasi atau sekularisme. Dalam sejarahnya apa yang dimaksudkan
dengan konsep sekularisme atau sekuler merupakan istilah sosio-politik yang
lahir dari pengalaman Barat yang “traumatic” tentang peran agama dalam
kehidupan bernegara sejak Abad ke-16. Gereja (Roma Katolik) menjadi institusi yang menakutkan dan menjadi benteng penjaga konservatisme agama.
Gereja menjadi institusi yang tidak mentolelir perbedaan keyakinan, pemahaman keagamaaan, pandangan politik bahkan perkembangan ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan pemahaman gereja. Sejumlah Ilmuan seperti, Galileo terpaksa harus menghadapi hukuman mati karena mengemukakan pandangan astronomi yang berbeda dengan apa yang dipahami gereja
dalam kitab suci.
Berdasarkan pengalaman traumatic tersebut maka masyarakat Barat
berupaya menghapus sistem religio-politik integralisme Katolik di abad pertengahan yang dianggap menindas, melalui gerakan reformasi keagamaan
(Suhelmi: 2000). Sejak saat itu, dimulai era kebangkitan dan pencerahan (renaissance) yang menandai proses sekularisasi yang melahirkan negara-negara
sekuler di Barat (nation state) dan secara nyata memisahkan urusan gereja dan
urusan kenegaraan. Dalam konsep ini agama (gereja) cukup berperan dalam
218
Saidin Ernas, Artikulasi Ideologi Politik Masyarakat Islam...
mengatur berbagai urusan yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan, sedangkan politik (Negara) mengatur hubungan antar manusia. Konsep
ini tidak menutup kesempatan warga Negara memeluk agama tertentu, karena Negara memberikan kebebasan kepada warganya beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut. Tahima Rasyid (2007:156) mengungkapkannya sebagai berikut:
“However, in general, ’secular in understood as the believe that religious
influence should be restricted; and that education, morality, and the state (etc.)
should be particularly independent of religious influence”.
Secara sosiologis proses sekularisasi juga merupakan respons atas berbagai perubahan social yang terjadi secara cepat dalam masyarakat. Hal ini
sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi
dan penggunaannya oleh masyarakat, komunikasi dan transformasi, urbanisasi, perubahan/peningkatan harapan dan tuntutan manusia (rising demands)
yang semuanya ini mempengaruhi cara manusia dalam beragama. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi membuat manusia mempertanyakan kebenaran agama dan sekaligus menggugat otoritas Tuhan dalam menentukan
proses perubahan. Sosiolog seperti Auguste Comte (1798-1857),2 yakin bahwa saat ini manusia telah mencapai tahap positif, dimana manusia telah
sanggup berpikir secara alamiah dan rasional sehingga peranan agama menjadi tidak dibutuhkan lagi (Ritzer dan Doglas J. Godman, 2004: 16-17).
Sejak sekularisme tumbuh menjadi teori sosial yang kuat, ia mempengaruhi hampir semua segi kehiduapan manusia. Termasuk dalam hal ini eksistensi agama yang dianggap mengatur semua segi kehidupan. Agama dalam pandangan sekularisme hanya menjadi urusan pribadi (privatized) dan
tidak boleh masuk dalam kehidupan public (Qodir: 2009: 148-149). Secara
sistematis agama pun harus dipisahkan dari Negara sehingga ekspresi politik
2 Comte membagi perkembangan manusia melaui hukum tiga tahap (the law of three
stages) yang berisikan tahap-tahap perkembangan pikiran manusia : (a) tahap teologis ialah
tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia (b) tahap metafisis, pada tahap ini
manusia percaya bahwa gejala-gejala di dunia ini disebabkan oleh. Manusia belum berusaha
untuk mencari sebab dan akibat gejala-gejala tersebut (c) tahap positif, merupakan tahap
dimana manusia telah sanggup untuk berpikir secara ilmiah.
219
al-‘Adâlah, Volume 17 Nomor 2 November 2014
tidak mesti representasi keyakinan keagamaan.Dalam banyak kasus, sekularisasi melemahkan ideologi politik Islam yang menghendaki munculnya Negara Islam. Salah seorang intelektual Islam asal mesir, Ali Abdul al-Raziq
(1988-1966) menolak kaitan antar agama dan politik (Negara) dengan mengemukakan pandangan tentang tidak adanya referensi mengenai pendirian
Negara Islam oleh Nabi Muhammad. Menurut Raziq, Islam bisa menerima
bentuk apapun Negara yang memiliki perangkat untuk menegakkan hukum
atau keadilan (‘adalah), persamaan derajat atau egalitarianisme (musawah), dan
demokrasi atau (syura) (Efendi, 1998).
Keberhasilan sekularisme di Eropa yang ditandai dengan kemajuan
sosial politik, ekonomi dan kebudayaan, telah menginspirasi beberapa negeri
muslim yang kala itu sedang berada dalam kondisi yang lemah. Misalnya
Turki, negeri yang sedang menglami kekalahan militer memandang bahwa
jalan untuk bisa meraih kemajuan sebagaimana bangsa Eropa yang maju
adalah mengurangi secara signifikan pengaruh agama dalam politik (Nasih,
2010). Pemimpin Turki Kamal at-Taturk bahkan menerapkan model sekularisme yang sangat radikal yakni “sekularisme laicisme” yang menyingkirkan
agama dari kehidupan public. Segala sesuatu yang dianggap memiliki kaitan
dengan agama atau dianggap symbol agama tertentu, dilarang keras. Laicisme dalam kategori ini menekan agama. Negara tidak berada dalam posisi
netral tetapi menempati posisi superior dan menggunakan perangkat-perangkat Negara untuk mengambil tindakan terhadap entitas-entitas keagamaan yang menampakkan simbol-simbolnya.
Debat tentang sekularisasi juga telah mewarnai diskursus intelektual
dan politik di Indonesia sejak awal kemerdekaan. Kelompok Islam yang diwakili tokoh-tokohnya seperti Mohammad Nasir, Ki Bagus Hadikusumi,
menginginkan Negara Islam dan memperjuangkannya secara terus-menerus
melalui jalur parlemen. Adapun kelompok nasionalis didikan Barat yang
dipelopori Sukarno, Mohammad Yamin dan Hatta, menghendaki Indonesia
sebagai negara nasional yang tidak berdasarkan agama tertentu, termasuk
Islam. Sejarah mencatat kelompok Politik Islam gagal mewujudkan ambisi
politik hingga saat ini.
Di tataran intelektual juga terjadi diskursus inteletual yang menarik tentang sekularisasi. Tokoh Islam seperti Nurcholis Majid dan juga Abdurrah220
Saidin Ernas, Artikulasi Ideologi Politik Masyarakat Islam...
man Wahid justru mendorong proses sekularisasi sistem politik di Indonesia. Sama halnya dengan Ali Abdul al-Raziq, mereka menolak hadirnya
Negara Islam yang dianggapnya tidak memiliki referensi yang kuat dalam
ajaran Islam dan sejarah kehidupan Nabi. Desakan konseptual Nur Kholis
juga berjalan-kelindan dengan praktik politik rezim Orde Baru yang terus
mengintimadasi kekuatan politik Islam. Masyarakat secara sistematis didorong hanya memilih Partai Golkar, sementara partai politik dan kekuatan
politik Islam selalu dipinggirkan.
Proses sekularisasi yang melanda banyak sudut kehidupan politik itu
ternyata telah mendorong proses deideologisasi politik di Indonesia. Partai
Politik Islam yang muncul sejak tahun 1999, seirama dengan gelombang reformasi politik juga tidak mampu menunjukkan diri sebagai representasi
kekuatan politik Islam. Bahkan terjadi perpecahan politik di kalangan Islam
yang melahirkan banyak partai Islam maupun partai-partai tengah yang
memiliki komitmen keislaman yang kuat seperti PAN dan PKB. Kondisi ini
juga semakin diperburuk oleh sikap pragmatisme politik yang melanda partai-partai Islam yang tidak kuat menahan diri dari rayuan kekuasan dan praktik politik transaksional. Koalisi maupun aliansi politik tidak dibangun atas
dasar ideologi politik yang diklaimnya, tetapi lebih pada kedekatan kepentingan pragmatis dan kebutuhan politik.
Sementara itu, di tengah komunitas muslim juga terjadi perdebatan tentang makna penting memilih partai Islam. Sebagian menganggap memilih
partai politik tidak sama dan sebangun dengan beragama, karena itu tidak
mesti memilih partai Islam dalam pemilu. Masyarakat cenderung memilih
pemimpin atas dasar pertimbangan pragmatis dan isu-isu yang berkaitan
dengan kehidupan mereka. Masyarakat juga melihat bahwa tokoh-tokoh politik Islam secara umum tidak membawa aspirasi politik Islam karena sebagian bertindak pragmatis, mementingkan kelompok atau sekedar berburu
rente. Sebagai contoh di kalangan pesantren yang selama ini dekat dengan
kekuatan politik Islam justru menunjukkan fenomena resistensi politik. Maka di beberapa kantong pesantren, partai politik Islam yang didukung pesantren justru mengalami kekalahan dari partai nasional seperti Demokrat, Golkar ataupun PDIP (Ernas: 2009). Tampaknya kesadaran beragama -yang
meminjam istilah Saiful Mujani, semakin rasional dan moderen– telah me221
al-‘Adâlah, Volume 17 Nomor 2 November 2014
ningkatkan kesadaran dan pencerahan politik umat Islam, sehingga mereka
mampu membedakan aspek keagamaan sebagai sesuatu yang sacral dan
perilaku politik yang profan (Mujani, 2004).
Melemahnya Preferensi Agama dalam Politik: Kontestasi Sejumlah
Kasus
Gerakan reformasi yang berhembus kencang pada tahun 1998, menghancurkan otoritarianisme Orde Baru dan melahirkan fenomena politik
yang membawa berbagai perubahan yang signifikan pada lanscap politik Indonesia. Liberalisasi politik telah melahirkan sistem multi partai yang memberi peluang pada kembalinya partai politik Islam yang sempat terlarang
pada era Orde Baru. Tercatat lebih dari 50 partai politik dan sekitar 40 persen diantaranya adalah partai politik Islam. Aspek penting lain dari produk
reformasi adalah hadirnya sistem pemilihan langsung yang memberi keleluasaan kepada rakyat untuk menentukan sendiri para pemimpin, mulai dari
pusat hingga daerah.
Fenomena munculnya ideologi politik Islam dan kesempatan pemilihan
langsung memberi ruang bagi kita untuk melakukan penilaian tentang bagaimana hubungan antara semangat beragama dan oriantasi politik umat Islam
di Indonesia. Artinya apakah umat Islam di Indonesia yang dikenal religius
ini memberikan dukungan pada menguatnya politik Islam atau malah
sebaliknya. Karena itu kita perlu mencermati beberapa peristiwa politik yang
terjadi pasca reformasi. Dalam tulisan ini ada tiga proses politik yang akan
dianalisis sebagai contoh, yakni pemilu legislatif, Pemilu Presiden (Pilpres)
dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung di berbagai daerah
di Indonesia. Ketiga peristiwa tersebut, menurut hemat penulis, dapat
mengkonfirmasi sejauhmana oriantasi politik umat Islam di Indonesia.
Setelah keberhasilan gerakan reformasi1998, dilangsungkan pemilu
pertama satu tahun setelahnya (tahun 1999) yang dikuti oleh 48 partai politik
yang berasal dari berbagai spektrum ideologi (kecuali komunisme yang masih tetap terlarang). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tampil
sebagai pemenang (32% suara sah nasional). Berturut-turut lima partai utama yang masuk lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebang222
Saidin Ernas, Artikulasi Ideologi Politik Masyarakat Islam...
kitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Pada pemilu lima tahun berikutnya (2004), yang diikuti 38 partai politik, Partai Golkar berhasil tampil sebagai pemenang (23,27%) dan diikuti oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa. Sedangkan pada Pemilu tahun 2009,
partai demokrat tampil sebagai pemenang (20,85%), disusul Golkar dan
PDIP. Dan terakhir pada Pemilu 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tampil sebagai pemenang (20%), disusul Golkar dan Partai Gerindra.3
Dinamika pemilu selama 20 tahun reformasi menunjukkan satu fenomena bahwa partai politik Islam sangat sulit untuk tampil sebagai pemenang.
Bahkan terjadi penurunan secara siginifikan dari pemilu ke pemilu. Menurut
data web resmi KPU, keseluruhan parpol Islam pada Pemilu 1999 hanya
memperoleh 34,2 persen suara, lalu pada Pemilu 2004 mengalami peningkatan menjadi 43,27 persen suara. Namun, pada Pemilu 2009 jumlah suara
partai Islam turun menjadi 30 persen. Padahal, jumlah parpol Islam yang
mengikuti pemilu tak banyak mengalami perubahan. Azyumardi Azra dalam
buku kumpulan sebuah wawancara mengatakan partai Islam tidak lagi
prospektif, sebab formalisme politik Islam lewat pendirian parpol yang secara tegas memakai simbol-simbol Islam tidak lagi menarik bagi pemilih
muslim di Indonesia.4
Adapun pengalaman untuk memilih Presiden secara langsung di Indonesia yang pertama kali diterapkan pada tahun 2004 juga memberi pelajaran
berharga. Ada lima calon presiden yang ikut bertarung pada pemilu presiden
saat itu, yakni: (1) Wiranto dan Solahudin Wahid, (2) Megawati Sukano Putri
dan KH. Hasyim Muzadi, (3) Susilo Bambang Yudoyono dan Yusuf Kalla,
(4)Amien Rais dan Siswono Yudirhusodo, serta (5) Hamzah Haz dan Agum
Gumelar. Pada pemilu 2004 tersebut pasangan Susilo Bambang Yudoyono
dan Yusuf Kala terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Hal yang menarik dari proses dukung mendukung capres yang terjadi pada tahun 2004
adalah terbelahnya dukungan politik Parpol Islam pada sejumlah pasangan
calon.
Dikutip dari http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-indonesia-1999.html, diakses tanggal 7 Desember 2014.
4 Lihat wawancara dengan Azumardi Azra dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin,
Mengapa Partai Islam Kalah, Jakarta: 1999
3
223
al-‘Adâlah, Volume 17 Nomor 2 November 2014
Pertama, koalisi Partai Politik Islam yang dimotori PAN dan PKS yang
mendukung pasangan Capres Amien Rais dan Siswono Yudirhusodo. Kedua, koalisi partai politik Islam yang dimotori oleh PPP yang mendukung
pasangan Capres Hamzah Haz dan Agum Gumelar. Kedua pasangan tersebut merupakan representasi dari kekuatan politik Islam, namun secara nyata,
gagal memaksimalkan dukungan politik dari umat Islam. Pasangan capres
Amien Rais dan Siswono hanya berhasil mengumpulkan 7 persen suara. Sedangakan pasangan Capres Hamzah Haz dan Agum Gumelar hanya mengumpulkan 3 persen suara.
Amien Rais seabagai mantan ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah tidak berhasil menarik dukungan para pengikut Muhammadiyah
yang diperkirakan mencapai 21 juta anggota dan simpatisan di seluruh Indonesia. Demikian halnya dengan Hamzah Haz yang merupakan ketua
umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan berasal dari kekuatan NU
juga tidak mampu memaksimalkan dukungan dari organisasi terbesar tersebut. Tampaknya faktor agama tidak terlalu berperan dalam mempengaruhi
dan menentukan pilihan politik para pemilih. Para pemilih yang mayoritas
muslim, masih melihat figur Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sebagai sosok pemimpin yang diidamkannya. Meskipun SBY bukanlah tokoh politik
Islam (santri) sebagaimana Amien Rais atau Hamzah Haz. Ironisnya pada
pemilu 2009, hampir semua prtai Islam justru mendukung pasangan Susilo
Bamang Yudoyono (SBY) dan Budiono. Kedua figure tersebut tidak memiliki afiliasi politik maupun latar belakang politik yang berhubungan dengan
Partai Islam.
Arena Pilkada memberi kesempatan lebih baik bagi para peneliti di
bidang perilaku pemilih untuk melihat kaitan antara agama dengan pilihan
pemilih---dibandingkan dengan arena pemilihan presiden sebagaimana yang
telah diuraikan sebelumnya. Mengapa? Hal ini karena dalam Pemilu Presiden, umumnya kandidat yang maju semuanya berlatar belakang agama Islam. Pengalaman Pemilu 2004 dan Pemilu Presiden 2009, memperlihatkan
semua calon presiden dan wakil presiden beragama Islam. Karena latar belakang agama semua calon adalah sama, agak sulit untuk menyimpulkan bahwa latar belakang pemilih berperan/tidak berperan dalam memilih calon.
Hal ini berbeda dengan Pilkada. Dalam Pilkada, banyak kita jumpai, adanya
224
Saidin Ernas, Artikulasi Ideologi Politik Masyarakat Islam...
calon (baik kepala daerah ataupun wakil kepala daerah) yang berbeda agama.
Fakta ini menarik untuk melihat apakah pemilih dengan latar belakang agama tertentu lebih cenderung untuk memilih calon dengan agama yang sama.
Sebagai contoh bisa diperhatikan kasus pemilukada yang terjadi di kota
Ambon pada tahun 2006 dan tahun 2011. Pilkada Kota Ambon adalah kasus yang menarik ketika kita membahas mengenai kaitan antara agama dan
perilaku pemilih, karena dua alasan. Pertama, meski mayoritas penduduk
Ambon beragama Kristen (Protestan), namun dalam jumlah cukup besar
(26.2%) penduduk Ambon beragama Islam. Kedua, Kota Ambon pernah
mengalami konflik agama yang berkepanjangan antara Islam dan Kristen
sepanjang tahun 1999-2003. Menarik untuk melihat apakah sentimen agama
turut menjadi dasar bagi pemilih di Ambon dalam memilih kandidat.
Singkatnya, apakah pemilih Islam lebih cenderung memilih kandidat yang
beragama Islam dan sebaliknya pemilih Kristen cenderung memilih kandidat
yang beragama Kristen.
Pilkada Kota Ambon tahun 2006 sendiri diikuti oleh lima pasangan
calon, masing-masing Hendrik Hattu-Iskandar Walla; John Malaiholo-Irma
Betaubun; Made Rachman Marasabessy- Aloysius Lesubun; M.J. PapilayaOlivia Ch. Latuconsina dan pasangan Richard Louhenapessy-Syarief Hadler.
Pilkada dimenangkan oleh pasangan M.J. Papilaya-Olivia Ch. Latuconsina
dengan perolehan suara 36.12%. Dari lima kandidat walikota, hanya satu
yang beragama Islam, yakni Made Rachman Marasabessy. Dalam survey
yang dilakukan oleh LSI (2006), responden ditanya apakah latar belakang
agama kandidat sebagai hal yang penting diperhatikan atau tidak, sebagian
besar (67.6%) mengatakan kurang penting atau tidak penting sama sekali.
Baik pemilih Islam ataupun Kristen sama-sama menyatakan latar belakang
kandidat bukan menjadi pertimbangan penting dalam memilih calon.
Pemilih di Ambon menunjukkan dalam pendapat (opini) mereka, sentimen agama tidak penting. Pendapat ini terbukti kalau kita lihat bagaimana
distribusi pemilih menurut agama. Di kalangan pemilih Islam, suara Made
Rachman Marasabessy tidak lah mayoritas. Di kalangan pemilih Islam, justru
pasangan Richard Louhenapessy-Syarief Hadler yang mendapat suara terbesar. Di kalangan pemilih Islam, suara untuk Made Rachman Marasabessy
bahkan cenderung menurun, dari semula 34.5% di bulan Februari 2006
225
al-‘Adâlah, Volume 17 Nomor 2 November 2014
menjadi 26.9% di bulan Mei 2006.
Pada Pilkada kota Ambon tahun 2011 yang diikuti oleh delapangan pasangan Calon, 7 pasangan calon memilih komposisi Kristen-Islam (calon
walikota beragama Kristen dan calon wakil walikota beragama Islam). Sedangkan satu pasangan calon memilih komposisi Islam Kristen (calon walikota beragama Islam dan calon wakil walikota beragama Kristen). Namun
hasil pemungutan suara menunjukkan pasangan calon Richard Louhanapessy dan Syam Latuconsina (Kristen-Islam) sebagai pemenang dalam satu putaran dengan mengumpulkan 36 % persen suara. Sedangkan Olivia Latuconsina (Wakil Walikota patahana) yang merupakan calon walikota beragama Islam berpasangan dengan penyayi Andre Hehanusa sebagai calon wakil
Walikota hanya mengumpulkan 11 % suara.
Ada sejumlah perihal yang bisa digunakan untuk menjelaskan mengapa
sentimen agama ini kurang bermain dalam Pilkada Kota Ambon. Kemungkinan pertama, konflik agama yang sedemikian panjang membuat warga
Ambon sudah bosan dengan pembedaan berdasar agama. Ini makin terlihat
ketika dalam kampanye, isu-isu yang bernada konflik agama praktis tidak terlihat. Kemungkinan kedua, perpaduan kandidat Islam dan Kristen (sebagai
walikota dan wakil walikota) di semua kandidat tampaknya membuat pemilih tidak melihat Pilkada sebagai pertarungan antar calon Islam lawan calon
Kristen. Dan kemungkinan ketiga sebagaimana dibuktikan dengan hasil beberapa lembaga survey adalah kapasitas dan kapabilast figur. Richard Louhanapessy telah dikenal sebagai seorang politisi kawakan, berpengalaman dalam berbagai jabatan politik di Maluku selama 25 tahun, pernah menjabat
ketua DPRD Propinsi Maluku dan dikenal dekat dengan rakyat. Sementara
wakilnya Syam Latuconsina dianggap sebagai figur wakil walikota yang tepat,
karena menjabat sebagai kepala Dinas Tata Kota yang berhasil mempercantik kota Ambon dari puing-puing konflik. Figur Syam juga dinilai berhasil
merelokasi para pedagang kaki lima, tanpa menimbulkan gejolak.
Fakta politik ini memperkuat penjelasan tentang adanya kecenderungan
umat Islam dalam menentukan pilihan tidak melulu berkaitan dengan pandangan keagamaan. Masyarakat Ambon semakin rasional untuk membedakan urusan public dan privat. Maka pilihan pada seorang pemimpin lebih
ditentukan oleh kelayakan figure, citra politik, kapasitas dan kompetensi da226
Saidin Ernas, Artikulasi Ideologi Politik Masyarakat Islam...
lam memimpin. Hal ini juga menjelaskan mengapa pemilih muslim cenderung melewati agama sebagai factor penentu dalam oriantasi politik.
Artikulasi Ideologi Politik: Sekularisasi atau Hipokritisme?
Beragama sejatinya menuntut kesadaran untuk mengejawantahkannya
nilai-nilai dan ajaran agama dalam kehidupan yang nyata. Hal ini termasuk
dalam bidang politik, dimana komitmen keagamaan seseorang seharusnya
menuntunnya dalam menentukan sikap politiknya. Namun bila kita memperhartikan perilaku politik para pemilih muslim di Indonesia, tampaknya
terjadi sejumlah perubahan dan pergeseran.Religiusitas sebagai seorang muslim tidak lantas sama dan sebangun dengan komitmen politik pada apa yang
kemudian kita sebut sebagai politik Islam (pemimpin Islam, symbol Islam,
bahkan Negara Islam). Kajian ini membuktikan bahwa dalam berpolitik,
umat Islam Indonesia saat ini tidak mau dibuat rumit oleh persoalan agama.
Nalar pragmatisme politik betul-betul berlangsung. Misalnya saja dalam
bentuk persekutuan antar elite santri dan bukan santri. Pada level pemilih,
sentimen-sentimen agama tidak lagi menjadi faktor penting yang menentukan pilihan mereka. Hal ini tidak berarti sebaliknya bahwa umat Islam di
Indonesia bukanlah kelompok religious, karena tentu kontradiktif dengan
praktek keagamaan yang semarak di Indonesia.
Tulisan ini menunjukkan beberapa factor yang turut mempengaruhi
perilaku keagamaan dan perilaku politik yang cenderung kontradiktif itu.
Pilihan politik ternyata hanyalah suatu aksi rasional yang tidak tunggal.
Pemilih Islam Indonesia masa kini dalam menentukan pilihannya banyak
dipengaruhi oleh berbagai factor. Penelitian William Liddle dan Saiful Mujani (2007), memperlihatkan beberapa pengaruh tersebut. Pertama, persepsi
mereka terhadap figure kepemimpinan yang kapabel dan memiliki citra politik yang baik dalam kehidupan politik. Hal ini tampak pada pemilihan Presiden seperti yang diuraikan di atas. Meskipun SBY bukan merupakan tokoh
keagamaan atau memiliki treckrecord sebagai tokoh Islam, namun secara personal ia dilihat sebagai jawaban atas kebutuhan politik masyarakat. Ia seorang militer, intelek, smart (versi popular culture) sehingga digandrungi oleh
para pemilih. Kedua, persepsi pemilih tentang kemampuan dalam menyelesaikan masalah-masalah konkrit di bidang ekonomi, hukum dan kesejahte227
al-‘Adâlah, Volume 17 Nomor 2 November 2014
raan sosial.
Sama halnya dengan pilkada yang terjadi di berbagai daerah. Para
bupati dan walikota juga dipilih berdasarkan factor-faktor posistif di atas
sekaligus juga berdasarkan kekuatan jaringan politik dan kedekatan mereka
dengan rakyat. Meskipun agama, dalam hal ini Islam masih menjadi salah
satu variable, namun tidak lagi menjadi penentu (determinan). Dalam kasus
yang lain, di Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, pada pemilu tahun 2009, para santri dan masyarakat di sekitar Krapyak lebih memilih
PDIP daripada partai Islam. Meskipun Tokoh Pesantren Krapyak juga mencalonkan diri sebagai legislator melalui Partai PKNU. Setelah diselidiki, hal
itu terjadi karena masyarakat melihat calon-calon yang tampil dari PDIP lebih menjanjikan daripada calon partai Islam yang dijaogokan pesantren
Krapyak (Ernas, 1999).
Apakah fenomena paradoksal antara semangat beragama dan komitmen politik ini bisa disebut sebagai bentuk kemandirian para pemilih yang
semakin rasional. Dapatkah hal ini bisa menjadi kesimpulan pendahuluan
bahwa proses sekularisasi politik di Indonesia telah berhasil menuju modernisasi politik yang didambakan banyak ilmuan politik. Bila menyimak pemaparan kasus-kasus dalam tulisan ini maka kesimpulan tersebut dapat kita benarkan. Namun demikian proses sekularisasi politik di Indonesia tidak berlangsung konsisten. Artinya berkurangnya peran agama dalam referensi politik pemilih, tidak selalu mengantarkan pemilih muslim pada pilihan politik
yang rasional. Terkadang oriantasi politik juga dipengaruhi oleh factor-faktor
pragmatis-transaksional yang saat ini menjadi paradoks dalam politik di Indonesia. Koalisi antar parpol, aliansi antara tokoh dan kelompok politik lebih banyak didasarkan atas pertimbangan pragmatis dan kepentingan jangka
pendek para politisi. Bahkan sebagian dipengaruhi oleh kekuatan uang dan
aspek-aspek ekonomi. Para pemilih dapat diarahkan, dimobilisasi dan diperoleh dukungannya dengan berbagai iming-iming rupiah, paket sembako,
bantuan sosial dan janji pragmatisme lainnya.
Maka sekularisasi politik di Indonesia justru melhirkan budaya hipokrit
yang menghinggapi para tokoh dan pelaku politik. Melemahnya factor agama dalam ekspresi politik tidak semata bisa dinilai sebagai menguatnya rasionalitas dalam politik, atau sikap politik yang semakin modern sebagaimana
228
Saidin Ernas, Artikulasi Ideologi Politik Masyarakat Islam...
fenomena di Barat. Sebab sekulariasi politik itu memiliki wajah lain yang turut bermain dalam praktek politik di Indonesia. Yakni munculnya politik
pragmatis yang cenderung hipokrit, sebagai arus utama dalam politik. Hipokritisme secara subtansial akan melemahkan kekuatan demokrasi sebagai
jalan utama menegakkan kedaulatan dan kesejateraan rakyat. Sebab budaya
hipokrit dan pragmatis dalam politik hanya melahirkan kekuatan politik yang
didominasi oleh para pelaku politik yang tidak memiliki kepedulian pada
kesejahteraan dan kepentingan masyarakat banyak. Dengan hanya mengandalkan kekuatan uang dan politik citra yang bisa diorder dari sejumlah Lembaga Survei, maka seseorang mampu meningkatkan elektibilitasnya di hadapan para pemilih. Inilah ruang kosong yang terjadi pada menghilangnya komitmen kegamaan dalam politik.
Kekalahan Politik Islam dan Reorientasi Politik
Kontestasi politik Indonesia sejak era reformasi telah menunjukkan
secara nyata bahwa komitmen keagamaan tidak selalu paralel dengan
oriantasi politik. Meskipun konklusi ini perlu diselidiki lagi secara mendalam,
karena tidak berlaku secara penuh khususnya dalam beberap kasus secara
spesifik. Sejumlah Partai Agama seperti PKS dan PPP yang masih bertahan
menunjukkan bahwa masih ada pemilih yang menggunakan pertimbangan
keagamaan dalam memilih. Namun perkembangan tersebut secara pesimistis disimpulkan oleh sebagian pengamat, seperti Harold Crouch (2009), semata-mata kebangkitan kelompok-kelompok politik Islam. Kelompok yang
dimaksudkan adalah kelompok-kelompok Islam sebagai entitas sosiologis
dalam masyarakat. Bukan sebagai sebuah kebangkitan politik Islam sebagaimana yang terjadi di Turki.
Dari sini barangkali, ikut menjelaskan mengapa dukungan terhadap
partai Islam di Indonesia sejak Pemilu 1999 hingga 2009 tidak mengalami
perkembangan yang signifikan, bahkan mengalami kemunduran. Hal ini
mirip dengan eksistensi Partai Agama di sejumlah Negara Barat (Eropa dan
Amerika). Di Jerman misalnya, Uni Kristen Demokrat masih dapat memenangkan Pemilu dan mengantarkan Anggela Merker menjadi Presiden Jerman, meskipun sejumlah pengamat mengatakan keraguannya bahwa kemenangan Uni Kristen Demokrat adalah kemenangan kekuatan keagamaan.
229
al-‘Adâlah, Volume 17 Nomor 2 November 2014
Sebab sebagaian hasil survey menunjukkan bahwa ada hubungan antara kinerja partai dengan pilihan masyarakat. Sebagaimana data yang ditunjukkan
di atas, secara umum preferensi agama dalam politik sangat rendah. Meskipun demikian dalam kasus pilkada di beberapa kota, kecenderungan pemilih untuk memilih kandidat karena alasan keagamaan juga masih ditemukan.
Misalnya di Ambon, kontestasi sosiologis mewajibkan hampir semua calon
masih mengakomodasi kehadiran figure dari kalangan Islam dan Kristen.
Menurut Bachtiar Efendi (2001:28) berbagai perubahan tersebut merupakan perkembangan intelektualisme Islam baru yang membawa kepada
berbagai implikasi. Khususnya bagi perkembangan diskursus pemikiran dan
praktik politik Islam itu sendiri yang mendorong para pemikir dan aktifis
Islam untuk (1) mereformulasikan dasar-dasar keagamaan/teologi politik Islam; (2) mendifinisikan ulang cita-cita politik Islam; (3) meninjau strategi politik Islam. Partai politik Islam harus menyadari munculnya arus utama teologi baru politik Islam di Indonesia yang telah bergeser dari oriantasi symbol
(formalistic/legalistic) kepada dasar-dasar baru yang lebih beroriantasi nilai
(subtansialistik). Partai Islam yang sibuk dengan kampanye ideologis seperti
“syariatisasi”, negara Islam dan lain-lain akan ditinggal oleh masyarakat
pemilih muslim. Karena masyarakat justru membutuhkan Partai Politik yang
mampu memenuhi kepentingan pragmatisnya. Partai politik harus lebih
terlibat pada agenda kerja yang lebih beroriantasi kepentingan masyakat
banyak. Tidak hanya bersandar pada sekedar kegiatan politik partisan, dan
parlemen sebagai satu-satunya medan perjuangan.
Dalam hal ini Partai Islam di Indonesia bisa belajar pada fenomena
Partai Justice and Development Party atau (AKP) di Turki. Meskipun AKP merupakan Partai yang bersandar pada nilai-nilai agama namun berhasil mengalahkan partai-partai sekuler yang didukung oleh kekuatan militer Turki yang
sekuler. Hingga saat ini di Turki, atau Partai Pembangunan Keadilan (AKP)
yang berideologi Islam berhasil menyisihkan pesaing-pesaingnya dalam pemilihan umum Parlemen Turki. Partai pendukung Perdana Menteri Recep
Tayyip Erdogan ini menang agregat 46,7% atau memperoleh 341 dari 550
kursi di parlemen (Grand National Assembly).5 Menurut Mohammad Nasih
5
230
Lebih Lanjut Lihat Zeyno Baran, “Turkey Divided”, Journal of Democracy, Vol. 19, No.
Saidin Ernas, Artikulasi Ideologi Politik Masyarakat Islam...
(2009) hal ini terjadi karena Partai Islam di Turki mampu merespon secara
tepat semangat zaman, mengubah agenda-agenda politik menjadi agenda
aksi pada sejumlah kebutuhan real konstituen.6 Dan yang lebih penting lagi,
Partai AKP mampu mempersonifikasi diri sebagai partai politik yang bersih,
para pemimpinnya memiliki integritas dan jauh dari tuduhan korupsi yang
menjadi penyakit kita di zaman ini.
Dengan demikian politik Islam di Indonesia dituntut untuk melakukan
reoriantasi tentang ideologi, mendifiniskan secara tepat cita-cita politik Islam
yang lebih sesuai dengan tuntan umat dan semangat zaman, serta secara
kreatif memilih strategi politik atau meminjam istilah Bactiar Efendi lebih
bersifat inklusif, integratif dan diversifikatif (Effendi, 2001:33). Politik Islam
harus mampu memperlihatkan daya juang yang luar biasa dalam menghadapi pragmatisme politik. Namun pada saat yang sama mampu memberikan
solusi konkrit pada masalah-masalah kemasyarakatan dalam waktu segera.
Hal ini penting, karena saat ini partai politik di Indonesia tidak lagi memiliki
garis ideologi yang jelas. Ideologi sebagian besar partai politik secara real
adalah pragmatisme, karena hanya memperjuangkan posisi atau jabatan
politik dan memburu rente untuk kepentingan ekonomi mereka. Public sulit
membedakan dimana letak makna penting parpol Islam dan partai sekuler.
Para politisi partai Islam tidak mampu menunjukkan eksistensi mereka sebagai sebuah kekuatan politik yang berbeda. Mereka sekedar politisi “biasa”
yang beragama Islam tetapi tidak menunjukkan karakter dan perilaku Islami,
terlibat korupsi, melakukan tindakan money politik, curang terhadap lawan
politik dan lain sebagainya. Maka tarnsformasi ideologi, reorintasi gerakan,
perubahan agenda aksi menjadi kata kunci perubahan yang harus disegerakan.
1, January, 2008.
6 AKP mengusung ideologi baru sebagai kubu democrat konservatif dan berjanji
berjalan berdampingan dengan sekularisme. Pemimpin AKP, Recep Tayib Erdogan sendiri
secara implisit sudah menegaskan untuk tetap komitmen dengan sistem sekuler Turki. Sesaat
setelah Partai AKP dinyatakan menang, Erdogan langsung berikrar untuk melindungi system sekuler negara ini dan meneruskan program pembaharuan ekonomi dan politik.
231
al-‘Adâlah, Volume 17 Nomor 2 November 2014
Penutup
Beberapa hal yang bisa kita catat sebagai kesimpulan dalam tulisan ini
adalah bahwa komitmen keagamaan tidak lagi paralel dengan oriantasi dan
ekspresi politik. Beberapa peristiwa politik seperti Pilpres dan Pilkada menunjukkan bahwa faktor agama tidak lagi menjadi determinan dalam pilihan
politik masyarakat muslim di Indonesia. Mayoritas umat Islam di Indonesia
memandang politik sebagai arena yang berbeda dengan agama (religiousitas).
Maka factor-faktor politik yang utama seperti kapasitas kepemimpinan,
treckrecord dan citra personal menjadi penentu dalam pilihan politik. Dalam
kasus pilkada, meskipun beberapa kandidat dan beberapa partai pendukung
menggunakan isu dan simbol agama, namun factor agama bukanlah factor
penentu kemenangan kandidat. Factor penentu justru berasal dari isu-isu
populisme dan jaringan politik yang dibangun oleh partai dan kandidat.
Namun demikian, kajian ini juga menunjukkan bahwa perubahan dan
pergeseran oriantasi politik para pemilih muslim di Indonesia tidak serta
merta merupakan keberhasilan proses sekularisasi dalam modernisasi politik
di Indonesia. Justru muncul fenomena pragmatisme dan hipokritisme yang
menjadi gejala utama dalam politik Indonesia masa kini.Gejala ini memperlihatkan bahwa politik hanya sekedar arena perebutan kekuasaan dan upaya
memburu rente bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam praktik
politik semacam ini, kepentingan masyarakat bukan menjadi lokus utama
dalam ideologi dan visi politik.
Bila partai politik atau kekuatan politik Islam di Indonesia tidak ingin
mengalami kemunduran dan “terjerembab” dalam kekalahan dan kehancuran secara terus menerus, maka harus segera melakukan reposisi dan oriantasi
politik. Politik Islam tidak bisa bergantung pada keyakinan sosiologis yang
absurd bahwa “mayoritas penduduk Islam di Indonesia adalah muslim, maka mereka pasti akan memilih partai Islam”. Sebaliknya bila ingin menjadi
kekuatan politik dominan, kekuatan politik Islam harus mampu mereposisi
ideologi, agenda politik dan aksi-aksi politik yang lebih subtantif dan sekaligus membumi sesuai kebutuhan kontemporer masyarakat Islam Indonesia.
Semoga!
232
Saidin Ernas, Artikulasi Ideologi Politik Masyarakat Islam...
Daftar Pustaka
Bagir, Zainal Abdidin, dkk. Pluralisme Kewargaan, Arah Baru Politik Keragaman
di Indonesia (Yogyakarta: CRCS UGM, 2011)
Baran, Zeyno. 208. “Turkey Divided”, dalam Journal of Democracy, Vol. 19,
No. 1, January, 2008.
Bruce, Steve, “Secularisation and Politics”, dalam Jefrey Haynes (ed.), Routledge Handbooke of Religion and Politics, (Newyork: Routledge, 2009)
Hamid Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah, (Jakarta:
1999)
Crouch, Harold, “The Recent Resurgence of Political Islam in Indonesia”,
dalam Harold Crouch (Eds), Islam in Southeast Asia : The Recent Development, Singapore, ISEAS, Working Paper, No.1., Januari 2002.
Effendi, Bachtiar, Islam dan Negara (Jakarta: Paramadina, 1998)
-------------- Teologi Baru Politik Islam; Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi
(Yogyakarta: Galang Press, 2001)
Ernas, Saidin, Dampak Keterlibatan Pesantren dalam Politik; Belajar dari Kasus
Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, (Jakarta; Kemenag RI, 2009)
Glock. Antoni, Psikologi Agama (New york: 1982)
Qodir, Zuly, “Kontekstualisasi Religiusitas dan Kontestasi Publik”, dalam
Irwan Abdullah, Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009)
-------------- Islam Liberal; Varian-varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002
(Yogyakartaa: LKiS, 2010)
Liddle, R. William dan Saiful Mujani. 2007. The Power of Leadership: Explaining Voting Behavior in the New Indonesian Democracy, Laporan
penelitian, 2003; R. William Liddle dan Saiful Mujani Party and Religion:
Explaining Voting Behavior in Indonesia, Laporan penelitian.
Leege, David C dan Lyman A. Kellstedt,. Rediscovering The Religious Faktor in
American Politics (Jakarta: Kerjasama Keduataan Besar Amerika Serikat,
Freedom Isntitute dan Yayasan Obor Indonesia, 1999)
Madjid, Nurcholish, Islam dan Kemoderenan (Bandung: Mizan, 1987)
Nasih, Mohammad, Dinamika Islam dan Nasionalisme di Turki dan dan di
Indonesia. Disertasi Doktoral di Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, 2010
Mujani, Saiful, “Pemilu 2004 dan Fenomena Muslim Demokrat”, Tempo, 21
233
al-‘Adâlah, Volume 17 Nomor 2 November 2014
Desember 2003.
Petterson, Thorleif. “Religious Commitment and Socio_Political Oriantations: Diifferent Patterns of Compartementalisation among Muslim
and Christian?”, dalam dalam Jefrey Haynes (ed.), Routledge Handbooke
of Religion and Politics (Newyork: Routledge, 2009).
Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia, 2006)
http://www.lsi.co.id/media/KAJIAN_BULANAN_EDISI_NOMOR_10_(F
EBRUARI_2008).
http://uk.messenger.yahoo.com
234
Download