ABSTRAK Autisma, sebuah sindrom gangguan perkembangan

advertisement
PERINGATAN !!!
Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan
referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila
Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan
pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan
karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERAPIS DALAM
MENANGANI ANAK-ANAK AUTISMA
Studi Deskrptif Dengan Data Kualitatif Mengenai Komunikasi Terapeutik Terapis
Dalam Menangani Anak-Anak Autisma Di Pusat Terapi dan Ramediasi Risantya
Bandung
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung
Disusun Oleh :
Arifniati Fatimah
10080002213
BIDANG KAJIAN HUBUNGAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1428 H / 2007 M
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Judul
: KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERAPIS DALAM MENANGANI
ANAK – ANAK AUTISMA
Subjudul
: Studi Deskriptif Dengan Data Kualitatif Mengenai Komunikasi
Terapeutik Terapis Dalam Menangani Anak-Anak Autisma
di Pusat Terapi dan Remediasi Risantya Bandung
Nama
: Arifniati Fatimah
Npm
: 10080002213
Bidang Kajian : Hubungan Masyarakat
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Hj Neni Yulianita, Dra., M.Si
Wulan Trigartanti, S.Sos
Mengetahui,
Ketua Bidang Kajian Hubungan Masyarakat
Oji Kurniadi, Drs., M.Si
Tanggal Lulus :
Motto :
Artinya :
Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling
berpesan untuk berkasih sayang.
(Q.S. Al Balad :17 )
ABSTRAK
Autisma, sebuah sindrom gangguan perkembangan system syaraf pusat yang
ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak-kanak hingga masa-masa
sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak-anak yang menyandangnya
tidak mampu menjalin hubungan sosial secara normal bahkan tidak mampu untuk
menjalin komunikasi dua arah.
Hambatan komunikasi pada anak autisma seperti senang meniru atau membeo
(echoladia), bicara tidak dipakai untuk alat komunikasi, minimnya eye contact, tidak
menggunakan bahasa/ isyarat tubuh, dan sebagainya.
Dengan adanya hambatan dalam perkembangan perilaku, komunikasi verbal
maupun nonverbal, dan interaksi sosial maka dibutuhkan bagi anak-anak penyandang
Autisma untuk melakukan terapi. Terapi bagi anak-anak Autisma dapat berupa terapi
perilaku, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi fisik.
Salah satu cara komunikasi terapis yang tepat dalam menangani anak yang
menderita Autisma adalah dengan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik
yang digunakan baik secara verbal maupun nonverbal. Dalam hal ini, terapis
memakai dirinya secara terapeutik dan memakai berbagai teknik komunikasi agar
perilaku anak berubah ke arah yang positif seoptimal mungkin.
Berkenaan dengan itu, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
“Bagaimana Komunikasi Terapeutik Terapis dalam Menangani Anak-Anak
Autisma?”. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
komunikasi terapeutik terapis secara verbal dan nonverbal serta teknik-teknik
komunikasi terapeutik yang digunakan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan data
kualitatif. Metode deskriptif, menjelaskan bahwa metode ini bertujuan melukiskan
secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu secara faktual dan cermat
(Rakhmat, 2001 :22). Dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara secara
mendalam , studi kepustakaan dan observasi.
Berdasarkan pengumpulan data maka penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
Melalui komunikasi terapeutik verbal tersebut menghasilkan anak-anak autisma
berkomunikasi dalam pengungkapan perasaan secara verbal dan mengerti akan setiap
kata-kata. Sehingga komunikasi terapetik verbal yang dilakukan terapis membuat
perkembangan yang baik dan kemajuan bagi anak-anak autisma dalam komunikasi
verbal.
Komunikasi terapeutik nonverbal membuat perubahan dan kemajuan dalam
perilaku anak menjadi lebih baik. Terutama kontak mata adalah hal yang paling
utama diberikan kepada anak-anak autisma untuk membangun komunikasi mereka.
Serta penggunaan teknik-teknik komunikasi terapeutik menjadikan
komunikasi anak-anak autis menjadi lebih terbuka, juga sebagai tolak ukur terapis
dalam melihat kemajuan anak-anak autis.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum, wr. wb.
Segala Puji dan Syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, saudara, para sahabat beliau sampai
kepada umatnya.
Dengan izin Allah SWT, serta dorongan dari berbagai pihak, penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Komunikasi Terapeutik Terapis Dalam
Menangani Anak-Anak Autisma”.
Sebagai manusia, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
untuk dikatakan sempurna dan tidak luput dari kekurangan serta kesalahan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan adanya koreksi yang membangun untuk perbaikan,
dan kesempurnaan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang
dihadapi oleh penulis. Namun dengan ijin Allah SWT dan berkat usaha, doa,
bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, akhirnya penelitian ini dapat penulis
selesaikan. Untuk itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Dr. Yusuf Hamdan, Drs., M. Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Komunikasi yang telah memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
menyusun skripsi.
2. Ibu Dr. Hj Neni Yulianita, Dra., M. Si selaku pembimbing utama penulis,
yang telah banyak memberikan kemudahan dan waktunya untuk pengarahan,
i
didikan serta bimbingannya sampai penulis menyelesaikan penyusunan skripsi
ini.
3. Ibu Wulan Trigartanti, S.Sos selaku pembimbing pendamping penulis, yang
telah banyak memberikan pengajaran, arahan serta bimbingannya.
4. Bapak Oji Kurniadi, Drs., M. Si selaku Ketua Bidang Kajian Hubungan
Masyarakat yang telah memberikan pengarahan dan kesempatan kepada
penulis untuk menyusun skripsi.
5. Bapak Maman Suherman, Drs., M. Si selaku Dosen Wali, terima kasih atas
kesetiaannya
mengarahkan
penulis
dari
pertama
memasuki
jenjang
perkuliahan sampai pada tahap akhir.
6. Seluruh pimpinan, staf pengajar dan karyawan Fakultas Ilmu Komunikasi
UNISBA atas ilmu yang diberikan dan kemudahan dalam hal administrative
selama kuliah.
7. Ibu Rini selaku Leader Terapis Risantya yang telah memberi kesempatan
penulis untuk melakukan penelitian.
8. Ibu Asih, Ibu Septi, Ibu Mutmainah, Mas Henri, Amel, dan Ibu Tuti yang telah
memberikan waktu dan kesediannya untuk membantu penulis dalam penelitian
di Risantya.
9. Anak-Anak Special Needs di Risantya, yang telah menjadi inspirasi penulis
untuk meneliti tentang kalian. Semoga kalian menjadi anak yang pintar dan
baik di masa yang akan datang.
10. Yang Tercinta, Ibu dan Bapak yang selalu menyebutkan nama anak-anaknya
dalam setiap doa dan langkah serta memberikan dorongan baik moril maupun
materiil yang tiada hentinya, juga atas kasih sayang, didikan serta
pengorbanan yang dicurahkan.
ii
11. Kel Besar Seohadjie H, Nenek, Arief, Fajar, Teh Erni, Mak Isah, Teh Titi
yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penullis. My Lovely cats
Noni and Cilipa yang selalu setia menemani penulis.
12. Dimas Satrio W, terima kasih atas cinta, kasih sayang, pengorbanan, doa, dan
dukungan selama ini.
Akhirnya kita bisa berjuang bersama dalam
menyelesaikan kuliah ini. Love You Forever
13. Sahabat-sahabatku ; Sevi, Dina, Mega, Adjeng, Mila, Indri, Dya, Imong, Ntat,
Faris, Herdie, Away, Beno, Andri, Agung, Subhan, Didin, Alif, Juan, dll
terima kasih atas jalinan pertemanan yang indah selama lima tahun dan
semoga selamanya…..amien…..
14. Semua teman-teman Hubungan Masyarakat, Fikom ’02, dan HIMHUM ‘06
15. Dan orang-orang yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu per
satu.
Sekali lagi, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kebaikan dan
bantuan yang telah diberikan. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dengan
pahala yang berlipat ganda. Amien. Semoga skripsi ini dapat berguna.
Bandung, Mei 2007
Penulis
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL.................................................................................................... vii
DAFTAR BAGAN………………………………………………………………... viii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………..ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah …………............……………………............ 1
1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………........... 5
1.3 Identifikasi Masalah ….........…………………………………….......... 5
1.4 Tujuan Penelitian ………........……………………………………....... 6
1.5 Alasan Pemilihan Masalah ………………………………………........ 6
1.6 Pembatasan Masalah dan Pengertian Istilah …...………………......... 6
1.6.1 Pembatasan Masalah ......………………....……………........ 6
1.6.2 Pengertian Istilah …..……………………………………...... 7
1.7 Kegunaan Penelitian…………………………………………………… 8
1.7.1 Kegunaan Teoritis…………………………………………… .8
1.7.2 Kegunaan Praktis…………………………………………….. 9
1.8 Anggapan Dasar ........……………………………………………......... 9
1.9 Operasional Variabel ......………………..………………………......... 11
1.10 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ……………......... 12
1.10.1 Metode Penelitian .................................................................. 12
1.10.2 Teknik Pengumpulan Data .................................................... 13
1.11 Key Informan……………………………………………………….... 13
1.12 Organisasi Karangan………………………………………………..... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik…………………………................. 16
2.2 Tinjauan Komunikasi Terapeutik… ....................................................... 18
iv
2.2.1 Tujuan Komunikasi Terapeutik ................................................18
2.2.2 Karakteristik Komunikasi Terapeutik...................................... 19
2.2.3 Fungsi Komunikasi Terapeutik…. .......................................... 22
2.3 Komunikasi Verbal Dan Nonverbal…………….................................... 23
2.3.1 Komunikasi Verbal………………………….......................... 23
2.3.2 Komunikasi Nonverbal............................................................. 26
2.4 Komunikasi Verbal Dan Nonverbal Pada Komunikasi Terapeutik......... 34
2.4.1 Komunikasi Verbal Pada Komunikasi Terapeutik................... 35
2.4.2 Komunikasi Nonverbal Pada Komunikasi Terapeutik……..... 35
2.5 Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik................................................... 38
BAB III OBJEK PENELITIAN
3.1 Latar Belakang Historis Risantya…….................................................... 46
3.2 Visi dan Misi Risantya………… ........................................................... 47
3.3 Motto Risantya……………………........................................................ 48
3.4 Tujuan Risantya…………….................................................................. 48
3.5 Tahapan Penanganan Anak di Risantya……………………....... .......... 49
3.6 Syarat Anak untuk Bergabung di Risantya............................................ 49
3.7 Waktu Terapi Anak…………………………………………………..... 50
3.8 Syarat Menjadi Terapis di Risantya………………………………........ 50
3.9 Proses Penanganan Anak Autisma…………………………………...... 51
3.9.1 Proses Penanganan Oleh Terapis.................................. ........... 51
3.9.2 Proses Penanganan Oleh Orang Tua…………. ........... ........... 52
3.10 Pelaksanaan Program Risantya……………………………….. ........... 53
3.10.1 Terapi Perilaku…………………………………………....... 53
3.10.2 Terapi Wicara……………………………………………..... 58
3.10.3 Terapi Okupasi…………………………………….... ........... 60
3.10.4 Terapi Fisik/ Fisioterapi………………………………........ 61
3.10.5 Remediasi dan Pendidikan………………………….. ........... 62
3.11 Struktur Kelembagaan Risantya…………………………………….... 63
3.12 Pengertian Autisma………………………………………….... ........... 66
3.13 Tinjauan Autisma……………………………………………... ........... 66
3.13. 1 Penyebab Autisma………………………………………..... 66
3.13.2 Gejala Autisma…………………………………………........69
v
3.13.3 Karakteristik Autisma…………………………………......... 71
3.13.4 Pengelompokan Autisma………………………........ ........... 74
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Komunikasi Terapeutik Verbal Terapis Dalam Menangani
Anak-Anak Autisma………………………………………………….. 77
4.1.1 Penyampaian Pesan Verbal Melalui Kemaknaan............. ........... 78
4.1.2 Penyampaian Pesan Verbal Melalui Pembendaharaan
Kata.............................................................................................. 80
4.1.3 Penyampaian PesanVerbal Melalui Keringkasan
Dan Kejelasan Pesan......................................................... ........... 82
4.2 Komunikasi Terapeutik Nonverbal Terapis Dalam Menangani
Anak-Anak Autisma……………………………………………............85
4.2.1 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Gerak Mata……....... 85
4.2.2 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Eksprsi Wajah……... 87
4.2.3 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Isyarat Tangan……. 89
4.2.4 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Sentuhan………....... 90
4.2.5 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Kesediaan Ruang
Dan Jarak............................................................................... 93
4.3 Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik……………………………..... 95
4.3.1 Teknik Mendengar Dengan Aktif………………………….... 95
4.3.2 Teknik Pertanyaan Terbuka………………………................. 97
4.3.3. Teknik Memberi Informasi………………………...... ........... 98
4.3.4 Teknik Memberi Pujian/ Penghargaan……………................. 101
4.3.5 Teknik Diam………………………………………..... ........... 102
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan............................................................................................ 104
5.2 Saran........................................................................................................ 105
5.2.1 Saran Pengembangan Teoritis.......................................................... 105
5.2.2 SaranPengembangan Praktis ........................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................106
vi
DAFTAR TABEL
Tabel
2.3
Halaman
Types Of Communications.........................................................................24
vii
DAFTAR GAMBAR
Bagan
Halaman
2.3
Gambar Air Muka Seseorang…………………………………..........30
3.11
Struktur Kelembagaan Risantya…………………………………... ..65
viii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pedoman Wawancara
2. Panduan Observasi
3. Syarat Risantya
4. Foto Aktifitas Kegiatan Risantya
5. Foto Aktifitas Terapi Perilaku dan Remediasi di Risantya
6. Foto Aktifitas Terapi Okupasi / SI di Risantya
7. Foto Aktifitas Terapi Wicara di Risantya
8. Foto Aktivitas Terapi Fisik/ Fisioterapi di Risantya
9. Foto Aktifitas Parents Support Group di Risantya
10. Foto Para Terapis dan Karyawan di Risantya
11. Biodata terapis Risantya
12. Surat Ijin Pra Riset/ Riset
13. Surat Balasan Ijin Pra Riset/ Riset dari Risantya
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Menjelang ‘Akhir Zaman’ yang konon katanya sudah semakin dekat,
semakin banyak penyakit yang baru muncul dan baru dikenal. Seperti halnya
penyakit Autis yang baru muncul dan baru dikenal. Autis yang akhir – akhir ini
baru menjadi perhatian bagi sejumlah masyarakat dan orang tua. Memang sampai
sekitar sepuluh tahun yang lalu, kelainan ini tampaknya belum dipublikasikan di
Indonesia. Penderitaannya juga (katanya) tidak banyak dijumpai. Para dokter dan
awam baru tersentak ketika jumlahnya “tiba – tiba” melonjak dengan cepat.
Kelainan perkembangan perilaku yang timbul pada masa anak – anak ini
kemudian menjadi hal yang menakutkan. Apalagi setelah media massa mulai
tertarik untuk memuat dan memberitakannya. Karena informasi ini cepat
menyebar di masyarakat, maka jumlahnya seakan meningkat semakin cepat.
Banyak orang tua yang tiba – tiba sadar bahwa perilaku anaknya kelihatan cocok
dengan gejala autisma yang di beritakan.
Saat ini prevalensi anak dengan kelainan hambatan perkembangan
perilaku telah mengalami peningkatan yang sangat mengejutkan. Di Pensylvania,
Amerika serikat, jumlah anak – anak Autisma saja dalam lima tahun terakhir
menigkat sebesar 500%, menjadi 40 dari 10.000 kelahiran. Belum terhitung anak
– anak dengan perilaku lainnya. Sejauh ini di Indonesia belum pernah dilakukan
penelitian untuk hal ini. Akan tetapi kita tahu bahwa faktor – faktor penyebab dari
1
hambatan perkembangan perilaku anak ini lebih tinggi di Indonesia dibandingkan
dengan Amerika Serikat. Maka dapat diperkirakan bahwa jumlah anak dengan
kelainan ini, pasti jauh lebih banyak daripada di Amerika Serikat. Jenis kelainan
pada anak – anak dengan kebutuhan khusus ini dapat berupa Autisma infantil
(yang merupakan kelainan terberat), Asperger’s disease, Attention Deficit
(Hyperactive) Disorder atau AD(H)D, Speech Delay, Dyslexia, Dyspraxia, dan
sebagainya.
Anak “special needs” atau anak dengan kebutuhan khusus termasuk anak
yang mengalami hambatan dalam perkembangan perilakunya. Perilaku anak –
anak ini, yang antara lain terdiri dari wicara dan okupasi, tidak berkembang
seperti anak yang normal. Padahal kedua jenis perilaku ini penting untuk
komunikasi dan sosialisasi. Sehingga apabila hambatan ini tidak diatasi secara
cepat dan tepat, maka proses belajar anak – anak tersebut juga akan terhambat.
Intelegensi, emosi dan perilaku sosialnya tidak dapat berkembang dengan baik.
Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan deteksi sedini mungkin bagi anak
– anak ini.
Deteksi dini yang berhasil mengenai perilaku ini dapat mempercepat
langkah – langkah yang harus diambil segera. Anak – anak dengan kelainan
perilaku atau anak – anak dengan kebutuhan khusus (special needs) terdiri dari
berbagai tingkat dan derajat, dimulai dengan kebutuhan khusus (special needs)
terdiri dari berbagai tingkat dan derajat, dimulai dengan autisma anak yang
merupakan derajat terberat. Kemudian Asperger’s disease, Attention Deficit
(Hyperactive) Disorder atau AD(H)D, Speech Delay, Dylexia, Dspraxia,dsb.
2
Sebagai orang tua anak Autisma juga pengelola Pusat Terapi dan sekolah Khusus,
seringkali mengalami kesulitan untuk melakukan deteksi dini. Banyak yang sudah
sangat terlambat, artinya usia anaknya sudah melebihi 5 tahun. Bahkan ada yang
membawa anaknya dengan autisma yang telah berusia 15 tahun.
Anak dengan kebutuhan khusus, sama dengan anak manapun, mengalami
perkembengan otak yang cepat pada usia dibawah 5 tahun. Dan yang paling ideal
untuk intervensi dini adalah pada usia 2 – 3 tahun, karena saat ini otak anak
berkembang paling cepat. Disamping itu, karena proses terapi berlangsung sekitar
2 – 3 tahun, maka dengan intervensi sedini mungkin, anak dapat masuk sekolah
regular sesuai dengan usianya. Bahkan di beberapa negara, deteksi dini gejala
autisma pada anak, dilakukan pada usia dibawah 2 tahun. Dengan penanganan
yang sangat dini ini, anak dengan gejala autisma ini dapat dicegah menjadi anak
autisma.
Sehingga setelah orang tua dapat mendeteksi anaknya sedini mungkin
diharapkan dengan segera memberikan penanganan dengan segera berupa terapi
kepada anaknya. Karena dengan memberikan terapi kepada anak dengan gejala
autisma dapat memberikan peluang untuk anak berkelainan ini untuk menjadi
“normal” kembali cukup besar, oleh karenanya orang tua harus selalu bersikap
optimis. Suatu catatan penting yang sangat perlu diperhatikan sungguh – sungguh:
Kiranya jangan sampai terjadi bahwasannya seorang anak yang seharusnya masih
memiliki peluang untuk menjadi ‘normal’. Menjadi hilang peluangnya hanya
disebabkan oleh pilihan orang tua yang salah dalam menentukan metoda dan
intensitas terapinya.
3
Dengan meningkatnya jumlah anak yang menderita autism akan banyak
pula lembaga pusat terapi dan remediasi bermunculan. Hal ini diharapkan dapat
membantu anak – anak yang menderita Autis. Salah satu lembaga pusat terapi dan
remediasi untuk anak – anak dengan kebutuhan khusus di Bandung adalah
Risantya.
Risantya adalah Pusat Terapi dan Remediasi anak – anak dengan
kebutuhan khusus. Pelaksanaan program – program yang diberikan oleh lembaga
Risantya antara lain terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi/motorik halus,
terapi fisik/ fisioterapi, remediasi pendidikan dan sosial.
Salah satu cara komunikasi terapis yang tepat dalam menangani anak yang
menderita Autisma di Risantya adalah dengan komunikasi terapeutik. Dalam hal
ini, terapis memakai dirinya secara terapeutik dan memakai berbagai teknik
komunikasi agar perilaku anak berubah ke arah yang positif seoptimal mungkin
(Anna, 1996:29).
Komunikasi terapeutik yang dibangun oleh terapis terhadap anak Autisma
adalah membangkitkan interaksi dari anak tersebut. Sehingga anak Autisma
tergugah dirinya untuk bertindak dan melakukan interaksi. Banyak cara yang
dilakukan Risanya untuk melakukan terapi terhadap anak Autisma. Cara
komunikasi terapeutik terapis dilakukan dengan komunikasi verbal dan nonverbal.
Pelaksanaan komunikasi terapeutik oleh para terapis dalam upaya terapi
penyembuhan, tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan.
Hambatan – hambatan itu antara lain adanya sikap acuh tak acuh anak – anak
terhadap terapis dalam melakukan komunikasi, menolak pesan komunikasi yang
4
disampaikan, mendengarkan tetapi anak autisma tersebut tidak melaksanakan atau
lambat dalam melaksanakan perintah dari terapis. Menghadapi hambatan –
hambatan tersebut, diharapkan terapis menangani dengan sabar dengan situasi
kondisi anak – anak dengan kebutuhan khusus (Autisma), sehingga hambatan
tersebut dapat dianggap sebagai tantangan kerja dan memacu terapis untuk
meningkatkan komunikasi terapeutik yang dilakukan dengan mengupayakan
adanya suatu kedekatan secara psikologis.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut : “ Bagaimana Komunikasi Terapeutik Terapis dalam
menangani anak – anak Autisma di Pusat Terapi dan Remediasi Risantya
Bandung”.
1.3 Identifikasi Masalah
1. Bagaimana komunikasi terapeutik terapis secara verbal dalam menangani
anak-anak Autisma?
2. Bagaimana komunikasi terapeutik terapis secara nonverbal dalam
menangani anak – anak Autisma?
3. Bagaimana teknik komunikasi terapeutik terapis dalam menangani anak –
anak Autisma?
5
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penyampaian pesan komunikasi terapeutik secara
verbal yang disampaikan oleh terapis dalam menangani anak Autisma.
2. Untuk mengetahui penyampaian pesan komunikasi terapeutik secara
nonverbal yang disampaikan oleh terapis dalam menangani anak Autisma
3. Untuk mengetahui teknik komunikasi terapeutik terapis dalam menangani
anak Autisma.
1.5 Alasan Pemilihan Masalah
1. Anak dengan kebutuhan khusus seperti Autisma sangat memerlukan terapi
dengan komunikasi terapeutik untuk merubah anak ke arah yang positif
seoptimal mungkin.
2. Anak yang menderita Autisma mempunyai kelainan pada perilaku dan
cara berkomunikasi.
3. Komunikasi terapeutik merupakan kegiatan yang sangat penting dalam
pusat terapi Risantya, dalam menangani anak dengan kebutuhan khusus.
1.6 Pembatasan Masalah dan Pengertian Istilah
1.6.1 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari agar tidak terlalu meluasnya pembahasan, maka ruang
lingkup yang diteliti dibatasi menjadi :
1. Masalah dibatasi pada kegiatan komunikasi terapeutik terapis, dalam
menangani anak – anak Autisma. Kegiatan tersebut meliputi penyampaian
6
pesan secara verbal dan nonverbal, dan teknik komunikasi terapeutik
terapis.
2. Peneliti hanya meneliti anak – anak yang mempunyai Autisma.
3. Lokasi penelitian dilakukan di Pusat terapi dan remediasi Risantya jalan
Kota Baru no.30 Bandung.
4. Batas waktu penelitian di Pusat Terapi Risantya selama bulan Januari 2007
sampai dengan bulan April 2007.
1.6.2 Pengertian Istilah
1. Komunikasi Terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara
sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
(Purwanto, 1994:20).
2. Komunikasi adalah informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan lain-lain
dengan menggunakan simbol kata-kata, gambar, bagan, grafik, dan lainlain. Komunikasi berlangsung dengan menggunakan simbol verbal dan
nonverbal saja termasuk ke dalam proses komunikasi secara primer.
(Liliweri, 1994:6)
3. Terapis adalah orang yang melakukan terapi pada seseorang.
4. Autisma adalah berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang
autisma seakan – akan hidup di dunianya sendiri. Sehingga autisma ini
disebut dengan kelainan yang berada pada diri seseorang dimulai pada
masa kanak – kanak (Kanner,2003:12).
7
5. Teknik komunikasi terapeutik adalah kepandaian perawat dalam
menanggapi respons yang disampaikan klien (pasien) baik secara verbal
maupun nonverbal. (Suryani, 2005 : 65)
1.7 Kegunaan Penelitian
Penulisan laporan ini memiliki beberapa kegunaan, baik itu kegunaan
teoritis, maupun kegunaan praktis. Adapun kegunaan tersebut antara lain :
Kegunaan Teoritis
2. Bagi penulis, selain untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam
melakukan pengembangan serta melatih kemampuan berpikir secara
sistematis, juga sebagai proses belajar untuk dapat menerapkan
pengetahuan yang diterima selama perkuliahan dan mempertajam daya
nalar.
3. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan menjadi bahan rujukan bagi peneliti
lain yang sejenis sehingga berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Serta penulis mencoba menjelaskan mengenai komunikasi terapeutik
terapis pada anak-anak Autisma kepada khalayak yang mungkin belum
banyak mengetahui mengenai hal ini.
1.7.2 Kegunaan Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi khalayak
dalam membantu penyembuhan anak-anak Autisma.
8
1.8 Anggapan Dasar
Anggapan dasar merupakan landasan teori yang penulis jadikan dasar atau
titik tolak dalam penelitian, yang berkaitan dengan tema yang diajukan. Anggapan
dasar tersebut antara lain :
1. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang
untuk tujuan terapi. Seorang penolong (helper) atau perawat dapat
membantu
klien
mengatasai
masalah
yang
dihadapinya
melalui
komunikasi.( Suryani,2006:12)
2. Komunikasi verbal adalah penggunaan kata – kata atau tulisan. Bahasa
yang digunakan seseorang biasanya mengusyaratkan arti khusus yang
kadang hanya dimengerti oleh komunitas tempat individu berada.
Sehingga dengan bahasa yang diucapkan atau dituliskan, kita dapat
menebak seseorang berasal dari komunitas mana. Dalam komunikasi
terapeutik, pesan verbal sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
denotative
and
connotative
meaning
(kemaknaan),
vocabulary
(pembendaharaan kata), clarity and brevity (kejelasan dan keringkasan),
dan timing and relevance (waktu dan relevansi). ( Potter dan Pery dalam
Arwani,1987:19,20)
3. Komunikasi nonverbal diartikan sebagai transmisi dari pesan dengan
menitikberatkan pada kiasan makna kata dibandingkan dengan makna kata
itu sendiri. Dengan kata lain, pesan yang disampaikannya telah keluar dari
kata yang sebenarnya.
9
Dalam komunikasi nonverbal isyarat – isyarat lebih signifikan
dibandingkan dengan kata – kata yang ada. Namun demikian, seringkali
komunikasi nonverbal membantu memberikan
kepastian
atau
kebenaran terhadap komunikasi verbal.
Dalam komunikasi terapeutik pesan nonverbal dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu; penampilan, postur dan cara berjalan, gerakan mata, ekspresi
muka,
sentuhan,
isyarat
tangan,
kesedian
ruang
dan
jarak.
(Arwani,2003:35-45).
5. Dalam menanggapi pesan yang disampaikan pasien (anak Autisma),
terapis dapat menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik.
Suryani dalam bukunya Komunikasi Terapeutik Teori & Praktek,
menyebutkan teknik komunikasi terapeutik yang terdiri dari :
1. Mendengarkan dengan aktif
2. Pertanyan terbuka
3. Mengulang
4. Klarifikasi
5. Refleksi
6. Memfokuskan
7. Membagi Persepsi
8. Mengidentifikasi tema
9. Memberi Informasi
10. Eksplorasi
11. Memberi pujian/ memberi penghargaan
10
12. Diam
13. Humor
14. Menyimpulkan
1.9 Operasianal Variabel
Operasionalisasi variabel adalah “Mengukur konsep abstrak menjadi
besaran yang dapat diukur, sedangkan variabel adalah konstruk yang sifat –
sifatnya sudah diberi nilai“. (Rakhmat, 2001 : 12)
Variabel
: Komunikasi terapeutik Terapis
Indikator 1
: Penyampaian pesan verbal
Alat ukur
: 1. kemaknaan
2. perbendaharaan kata
3. kejelasan dan keringkasan pesan
Indikator 2
: Penyampaian pesan nonverbal
Alat ukur
: 1. gerakan mata
2. ekspresi wajah
3. isyarat tangan
4. sentuhan
5. kesedian ruang dan jarak
Indikator 3
: Teknik komunikasi terapeutik
Alat ukur
: 1. mendengarkan dengan aktif
2. pertanyaan terbuka
3. memberi informasi
11
4. memberi pujian/ penghargaan
5. diam
1.10 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
1.10.1 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif
yaitu metode penelitian yang hanya memaparkan situasi atau peristiwa. Tidak
mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat
prediksi (Rakhmat, 2001:24). Menurut Isaac dan Michael, metode deskriptif
bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu
atau bidang tertentu secara faktual dan cermat (Rahkmat 2001:22). Metode
deskriptif sebagai penelitian survai (Isaac dan Michael, 1981 : 46) atau penelitian
observation (Wood, 1977 : 29) (Rahkmat, 2001 : 24-25).
Menurut Rahkmat (2001:25) penelitian deskriptif ditujukan untuk :
1. Mengumpulkan informasi faktual secara terperinci yang
melukiskan gejala-gejala yang ada.
2. Mengidentifikasi masalah atau menganalisa situasi-kondisi dan
praktek-praktek yang berlaku.
3. Membuat perbandingan atau evaluasi.
4. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi
masalah dan belajar dari pengalaman untuk dapat menetapkan
rencana dan keputusan pada masa yang akan datang.
Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk melukiskan fakta yang
kemudian di analisis mengenai kegiatan komunikasi verbal, nonverbal dan teknik
komunikasi terapeutik terapis dalam menangani anak-anak autisma di Pusat
Terapi dan Remediasi Risantya.
12
1.10.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Wawancara
Yaitu suatu cara untuk mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan
langsung kepada terapis yang berhubungan dengan penelitian ini yang
dimaksudkan untuk memperoleh data yang benar dan jelas. Dalam hal ini
penulis memperoleh data dengan cara bertanya secara mendalam kepada terapis
yang menangani anak – anak Autisma.
2. Studi Kepustakaan
Yaitu dengan membaca buku dan karya ilmiah yang dianggap mendukung
penelitian.
3. Observasi
Yaitu mengumpulkan data dan mengolah data dengan cara melakukan tinjauan
secara langsung ke objek penelitian yaitu di Pusat Terapi dan Remediasi
Risantya Bandung. Adapun alat yang digunakan dalam observasi yaitu
menggunakan Tape recorder, Catatan Lapangan, dan Camera foto.
1.11 Key Informan
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan lima orang informan atau sumber
informasi utama yang dapat dipercaya. Informan tersebut adalah Kusdarini,
Margiasih, Mutmainah, Henri dan Septi Hermiati mereka para terapis yang
menangani anak-anak autisma di Risantya. (Sumber : Risantya, November
2006)
13
1.12 Organisasi Karangan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap babnya
terbagi dalam beberapa sub, dimana hal ini dilakukan agar penulisan tersusun
secara teratur, serta pembahasan dapat dilakukan secara terarah dan terpadu.
BAB I :
PENDAHULUAN
Bab I merupakan Bab Pendahuluan, dimana di dalamnya berisi
mengenai
:
latar
belakang
masalah,
perumusan
masalah,
identifikasi masalah, alasan pemilihan masalah, tujuan penelitian,
pembatasan masalah dan pengertian istilah, kegunaan penelitian,
anggapan dasar, operasionalisasi variabel, metode penelitian dan
teknik pengumpulan data, key informan, organisasi karangan.
BAB II :
TINJAUAN PUSTAKA
Bab II merupakan Bab Tinjauan Teoritis dimana di dalamnya
berisi mengenai teori-teori yang berhubungan dengan masalah
yang penulis teliti, teori-teori tersebut adalah teori-teori tentang :
pengertian komunikasi terapeutik, tinjauan komunikasi terapeutik,
tujuan komunikasi terapeutik, karakteristik komunikasi terapeutik,
fungsi komunikasi terapeutik, komunikasi verbal, komunikasi
nonverbal, komunikasi verbal pada komunikasi terapeutik,
komunikasi nonverbal pada komunikasi terapeutik, teknik-teknik
komunikasi terapeutik.
14
BAB III :
OBJEK PENELITIAN
Bab III merupakan Bab Objek Penelitian, yang di dalamnya berisi
mengenai : latar belakang Risantya, visi dan misi Risantya, motto
Risantya, tujuan Risantya, tahapan penanganan anak di Risantya,
syarat anak untuk bergabung dengan Risantya, waktu terapi anak,
syarat menjadi terapis di Risantya, proses penanganan anak autis
oleh terapis, proses penanganan anak autisma oleh orang tua,
pelaksanaan program Risantya, struktur kelembagaan Risantya,
pengertian autisma, penyebab autisma, gejala-gejala autisma,
karakteristik autisma, pengelompokan autisma.
BAB IV :
PEMBAHASAN
Bab IV merupakan Bab Pembahasan, dimana di dalamnya peneliti
akan menguraikan tentang hasil dari analisis yang terfokus pada
identifikasi masalah yaitu mengenai komunikasi terapeutik terapis
secara verbal dalam menangani anak-anak Autisma, komunikasi
terapeutik terapis secara nonverbal dalam menangani anak-anak
Autisma, teknik komunikasi terapeutik terapis dalam menangani
anak-anak Autisma.
BAB V :
PENUTUP
Bab V merupakan Bab Penutup, yang di dalamnya berisi mengenai
kesimpulan dan saran-saran terhadap permasalahan yang dibahas.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi dalam bidang keperawatan merupakan proses untuk
menciptakan hubungan antara perawat dengan pasien dan tenaga kesehatan
lainnya, untuk mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan
serta kerja sama dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
Dalam keperawatan komunikasi terapeutik sangat memegang peranan
penting untuk membantu pasien dalam memecahkan masalah. Kemampuan
komunikasi tidak dapat dipisahkan dari tingkah laku seseorang yang melibatkan
aktifitas fisik, mental, disamping juga dipengaruhi latar belakang sosial,
pengalaman, usia, pendidikan dan tujuan yang ingin dicapai.
Dalam era kemajuan seperti sekarang ini komunikasi dari perawat sebagai
orang yang terdekat dengan pasien menjadi lebih penting baik secara verbal
maupun nonverbal dalam membantu penyembuhan pasien.
Stuart, G. W., dalam Suryani (2005:12) menyatakan bahwa, “Komunikasi
ditujukan untuk mengubah perilaku klien dalam mencapai tingkat kesehatan yang
optimal.” Karena bertujuan untuk terapi maka komunikasi dalam keperawatan
disebut komunikasi terapeutik.
Northhouse dalam Suryani (2005:12) menyatakan bahwa, “Komunikasi
terapeutik adalah kemampuan atau keterampilan perawat untuk membantu klien
16
beradaptasi terhadap stress, mengatasi gangguan psikologis, dan belajar
bagaimana berhubungan dengan orang lain.”
Sedangkan Stuart G.W., dalam Suryani (2006:12) menyatakan bahwa,
“Komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara perawat dan
klien, dalam hubungan ini perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar
bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien”.
Dari beberapa pengertian di atas Suryani menyimpulkan bahwa
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk
tujuan terapi. Seorang penolong (helper) atau perawat dapat membantu klien
mengatasai masalah yang dihadapinya melalui komunikasi.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang di rencanakan secara
sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Pada
dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi professional yang
mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan. (Purwanto, 1994:20)
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik
tolak saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Persoalan
mendasar dari komunikasi ini adalah adanya saling kebutuhan antara perawat dan
pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi diantara
perawat dan pasien, perawat membantu dan pasien menerima bantuan.
17
2.2
Tinjauan Komunikasi Terapeutik
2.2.1 Tujuan Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi klien ke
arah yang lebih positif atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan klien yang
meliputi :
1. Realisasi diri, penerimaan diri, dan peningkatan penghormatan diri.
Melalui komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri
klien. Klien yang tadinya tidak bisa menerima diri apa adanya atau
merasa rendah diri, setelah berkomunikasi terapeutik dengan perawat
akan mampu menerima dirinya. Dengan melakukan komunikasi
terapeutik pada klien , diharapkan perawat dapat mengubah cara
pandang klien tentang penyakitnya, dirinya, dan masa depannya
sehingga klien dapat menghargai dan menerima diri apa adanya.
2. Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superficial
dan
saling bergantung dengan orang lain.
Melalui komunikasi terapeutik, klien belajar bagaimana menerima dan
diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur, dan
menerima klien apa adanya, perawat akan dapat meningkatkan
kemampuan klien dalam membina hubungan saling percaya.
3. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan
serta mencapai tujuan yang realistis.
Terkadang klien menetapkan ideal diri atau tujuan yang terlalu tinggi
tanpa mengukur kemampuannya. Taylor,Lilis dan La Mone dalam
18
Suryani (2005:14) mengatakan bahwa “Individu yang merasa
kenyataan dirinya mendekati ideal diri mempunyai harga diri yang
tinggi sedangkan individu yang merasa kenyatan hidupnya jauh dari
ideal dirinya akan merasa rendah diri.” Peran perawat adalah
membimbing klien dalam membuat tujuan yang realistis dan
meningkatkan kemampuan klien memenuhi kebutuhan dirinya.
4. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.
Identiras personal di sini termasuk status, peran, dan jenis kelamin.
Klien yang mengalami ganguan identitas personal biasanya tidak
mempunyai rasa percaya diri dan mengalami harga diri rendah.
Melalui komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat membantu
klien meningkatkan integritas dirinya dan identitas diri yang jelas.
Perawat berusaha menggali semua aspek kehidupan klien di masa
sekarang dan masa lalu. Kemudian terapis membantu meningkatkan
integritas diri klien melalui komunikasinya dengan klien. (Suryani,
2005 : 13-14)
2.2.2
Karakteristik Komunikasi Terapeutik
Ada tiga hal mendasar yang memberi cirri-ciri komunikasi terapeutik
yaitu keikhlasan (genuineness), empati (empathy), dan kehangatan (warmth).
(Arwani, 2002:54-58)
19
1. Gunuineness
Dalam rangka membantu klien, terapis harus menyadari tentang nilai,
sikap, dan perasaan yang dimiliki terhadap keadaan klien. Apa yang
perawat pikirkan dan rasakan tentang individu dan dengan siapa dia
berinteraksi selalu dikomunikasikan pada individu, baik secara verbal
maupun nonverbal. Terapis yang mampu menunjukan rasa ikhlasnya
mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dipunyai terhadap pasien
sehingga mampu belajar untuk mengkomunikasikannya secara tepat.
Terapis tidak akan menolak segala bentuk perasaan negative yang
dipunyai klien, bahkan ia akan berusaha berinteraksi dengan klien.
Hasilnya, terapi akan mampu mengeluarkan segala perasaan yang dimiliki
dengan cara yang tepat, bukan dengan cara menyalahkan atau menghukum
klien.
2. Empathy
Empati merupakan perasaan “pemahaman” dan “penerimaan” terapis
terhadap perasaan yang dialami klien dan kemampuan merasakan “dunia
pribadi pasien”. Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitive, dam
tidak dibuat-buat (objektif) didasarkan atas apa yang dialami orang lain.
Empati berbeda dengan simpati. Simpati merupakan kecenderungan
berfikir atau merasakan apa yang sedang dilakukan atau dirasakan oleh
pasien. Karenanya, simpati lebih bersifat subjektif dengan melihat “dunia
orang lain” untuk mencegah perspektif yang lebih jelas dari semua sisi
yang ada tentang isu-isu yang sedang dialami seseorang.
20
Empati
bisa
dikatakan
sebagai
“kunci”
sukses
dalam
berkomunikasi dan ikut memberikan dukungan tentang apa yang sedang
dirasakan klien. Sebagai “perawat empatik” , perawat harus berusaha keras
untuk mengetahui secara pasti apa yang sedang dipikirkan dan dialami
klien. Pada komdisi seperti ini, empati dapat diekspresikan melalui
berbagai cara yang dapat dipakai ketika dibutuhkan, mengatakan sesuatu
tentang apa yang perawat pikirkan tentang klien, dan memperhatikan
kesadaran tentang apa yang saat ini sedang dialami pasien. Empati
memperbolehkan perawat untuk berpatisipasi sejenak terhadap sesuatu
yang terlait dengan emosi klien. Perawat yang berempati dengan orang
lain dapat menghindarkan penilaian berdasarkan kata hati (impulsive
judgement) tentang seseorang dan pada umumnya dengan empati akan
menjadi lebih sensitif dan ikhlas.
3. Warmth
Hubungan yang saling membantu (helping relationship) dibuat untuk
memberikan kesempatan klien mengelurkan “unek-unek” (perasaan dan
nilai-nilai) secara bebas. Dengan kehangatan, perawat akan mendorong
klien untuk mengekspresikan ide-ide dan menuangkannya dalam bentuk
perbuatan tanpa rasa takut dimaki atau dikonfrontasi. Suasana yang
hangat, pesimisif, dan tanpa adanya ancaman menunjukan adanya rasa
penerimaan
perawat
terhadap
pasien.
Sehingga
pasien
akan
mengekspresikan perasaannya secara lebih mendalam. Kondisi ini akan
membuat perawat mempunyai kesempatan lebih luas untuk mengetahui
21
kebutuhan klien. Kehangatan juga dapat dikomunikasikan secara
nonverbal. Penampilan yang tenang, suara yang meyakinkan, dan
pegangan tangan yang halus menunjukan rasa kasihan atau kasih sayang
perawat terhadap pasien.
Komunikasi juga mempunyai arti bagi perawat. Menurut Stuart & Sundeen
(1995), arti komunikasi bagi perawat adalah :
1. Merupakan alat untuk membangun hubungan terapeutik.
2. Merupakan alat bagi perawat untuk mempengaruhi tingkah laku klien dan
kemudian untuk mendapatkan keberhasilan dalam intervensi keperawatan.
3. Komunikasi merupakan hubungan itu sendiri, dimana tanpa ini tidak
mungkin terjadi hubungan terapeutik itu perawat- klien. (Nurjannah,
2001:37).
2.2.3 Fungsi Komunikasi Terapeutik
Fungsi komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan
kerja sama antara perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien.
Perawat berusaha mengungkap perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji masalah
serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan.
Proses komunikasi yang baik dapat memberikan pengertian tingkah laku
pasien dan membantu pasien untuk dalam rangka mengatasi persoalan yang
dihadapi pada tahap perawatan. Sedangkan pada tahap preventif kegunaannya
adalah mencegah adanya tindakan yang negatif terhadap pertahanan diri pasien.
(Purwanto,1994 : 20 -21)
22
2.3
Komunikasi Verbal dan Nonverbal
2.3.1 Komunikasi Verbal
Komunikasi selalu terjadi dalam berbagai hal tempat dan pada setiap
aktivitas kehidupan manusia, tidak terkecuali pada aktifitas keperawatan atau
pengobatan.
Dalam setiap aktivitasnya, perawat (terapis) dengan klien (pasien) tidak terlepas
dari peristiwa- peristiwa komunikasi yang berlangsung.
Dalam pergaulan hidup manusia, di mana individu-individu tersebut saling
berinteraksi, saling mempengaruhi demi keuntungan dan kepentingan pribadi
masing-masing, terjadilah saling mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam
bentuk perkataan.
Komunikasi adalah pengungkapan perasaan dan pikiran seseorang kepada
orang lain yang diungkapkan lewat kata – kata yang termasuk ke dalam bahasa.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Effendy, “Hakikat komunikasi
adalah proses pernyataan antar manusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau
perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat
penyalurnya.” (Effendy,1993: 28)
John
B.
Hobbeb
dalam
Liliweri
(1994:5)
mengatakan
bahwa,
“Komunikasi adalah pertukaran verbal dari pemikiran atau gagasan.”. Dalam
definisi tersebut, penekanan komunikasi adalah pada konsep bahasa sebagai
lambang verbal dalam pembicaraan. Akan tetapi komunikasi tidak hanya bisa
diungkapkan melalui pesan-pesan verbal saja, melainkan juga dengan malalui
pesan- pesan nonverbal yang berupa simbol-simbol. Simbol yang digunakan
23
dalam komunikasi bukan saja simbol verbal yang berupa kata-kata tapi juga
menggunakan simbol yang berupa gambar, grafik, dan simbol-simbol lainnya
yang merupakan simbol nonverbal.
Hal tersebut dikemukakan oleh Berelson dan Steiner dalam Liliweri
(1994:6) yang menyatakan bahwa “Komunikasi adalah informasi, gagasan, emosi,
keterampilan, dan lain-lain dengan menggunakan simbol kata-kata, gambar,
bagan, grafik, dan lain-lain.” Komunikasi berlangsung dengan menggunakan
simbol verbal dan nonverbal saja termasuk ke dalam proses komunikasi secara
primer.
“Proses komunikasi secara primer menggunakan lambang sebagai media
atau salurannya. Lambang-lambang ini terdiri dari lambang verbal dan
nonverbal.” (Effendy, 1993:333). Sementara itu John Stewart dan Gary D’ Angelo
menggolongkan tipe komunikasi sebagai berikut :
Types Of Communication
Vocal Communication
Verbal Communication
Spoken Word
Nonvocal Communication
Written Word
Tone of voice, sighs, Gestures,
Nonverbal Communication
screams, vocal qualities appearance,
movement,
facial,
(loudness, picth, and so expression, and so on)
on)
Adapted from John Stewart & Gary D’Angelo, togethet: Communicating
Interpersonally, 2nd (Reading Mass.: Addison-Wesley, 1980). p:22 (Alder
Rodmen, 1985:96)
24
Komunikasi verbal terbagi menjadi dua bagian, yaitu komunikasi verbal
vokal dan komunikasi verbal nonvokal, begitu pula dengan komunikasi nonverbal
yang terdiri dari komunikasi nonverbal vokal dan komunikasi nonverbal
nonvokal. Komunikasi verbal vokal merupakan komunikasi melalui kata-kata
yang terangkum dalam suatu kalimat dan menjadi suatu bahasa yang diucapkan,
sedangkan komunikasi verbal nonvokal merupakan komunikasi melalui kata-kata
yang tidak diucapkan yang dituangkan malalui tulisan.
Sedangkan komunikasi nonverbal vokal yaitu komunikasi tanpa kata-kata
yang hanya mengeluarkan suara tanpa ada suatu arti yang terkandung dalam
komunikasi lisan atau verbal, misalnya nada suara, teriakan, kualitas vokal, tinggi
rendahnya suara, kekerasan suara, dan sebagainya.
Komunikasi
nonverbal
nonvokal
merupakan
komunikasi
tanpa
mengeluarkan suara dan kata-kata, ini hanya merupakan gerakan-gerakan dari
tubuh yang memiliki arti tertentu seperti bentuk tubuh, gerak tubuh, penampilan,
mimik muka, ekspresi muka dan lain-lain.
Komunikasi verbal vokal disebut juga komunikasi verbal lisan. Menurut
Devito Victoria dan Robert dalam Liliweri (1994:43-44) , komunikasi lisan terdiri
dari enam jenis yaitu :
1.
2.
3.
Emotive Speech. Emotive Speech merupakan gaya bicara yang
lebih mementingkan aspek psikologis. Lebih mengutamakan
pemilihan kata yang didukung oleh pesan verbal.
Phatic Speech. Phatic Speech merupakan komunikasi verbal
yang berusaha menciptakan hubungan sosial.
Cognitive Speech. Cognitive Speech merupakan jenis
komunikasi verbal yang mengacu pada kerangka berfikir atau
rujukan yang secara tegas mengartikan suatu kata secara
denotatif dan bersifat informatif.
25
4.
5.
6.
Rethorical Speech. Rethorical Speech mengacu pada
komunikasi verbal yang menekankan sifat konotatif. Gaya
bicara ini mengarahkan pilihan ucapan yang mendorong
terbentuknya prilaku.
Metalingual Speech. Metalingual Speech yaitu komunikasi lisan
secara verbal yang tema pembicaraannya tidak mengacu pada
objek dan peristiwa dalam dunia nyata melainkan tentang
pembicaraan itu sendiri. Tipe pembicaraan ini sangat berbeda
dari yang lain, bersifat sangat abstrak dan berorientasi pada
tanda-tanda komunikasi.
Poetic Speech. Poetic Speech yaitu komunikasi verbal lisan
yang berkutat pada struktur. Penggunaan kata yang melalui
perindahan pilihan kata, ketepatan ungkapan biasanya
menggambarkan rasa seni dan pandangan serta gaya-gaya lain
yang khas.
2.3.2 Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang dilakukan secara sengaja
ataupun secara spontan oleh seseorang. Larry A. Samovar dan Richard E. Poerter
mengatakan bahwa :
Komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan
verbal) dalam setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu yang
mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; mencakup
perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagian dari peristiwa
komunikasi secara keseluruhan (Mulyana,2001 : 308 ).
Komunikasi nonverbal terdiri dari komunikasi nonverbal vokal dan
nonverbal nonvokal. Nonverbal vokal terdiri dari tone of voice, sighs, screams,
vocal qualitiea (loudness, pitch, and so on) sedangkan nonverbal nonvokal terdiri
dari getures, movement, appearance, facial expression, and so on. (Alder &
Rodman, 1985 : 96).
Kita mengirimkan banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan
tersebut bermakna bagi orang lain. Sebagaimana kata-kata, kebanyakan pesan
nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi pesan
26
nonverbal yang dimiliki oleh suatu masyarakat tidak akan sama dengan pesan
nonverbal yang terdapat pada masyarakat yang berbeda. Dengan kata lain pesan
nonverbal ini merupakan suatu hal yang dipelajari, bukan bawaan, artinya pesan
nonverbal yang dimiliki itu tidak terlepas dari budaya yang ada pada masyarakat
tersebut.
Secara teori, komunikasi nonverbal berbeda dan dipisahkan dengan
komunikasi verbal, tetapi pada kenyataannya komunikasi verbal selalu dibarengi
oleh komunikasi nonverbal. Kedua jenis komunikasi ini selalu digunakan
bersamaan dalam komunikasi tatap muka yang dilakukan sehari-hari. Ketika
seseorang melakukan komunikasi secara verbal melalui bahasa tapi juga
melakukan komunikasi nonverbal pada waktu bersamaan. Komunikasi nonverbal
yang dilakukannya dapat terlihat melalui nada suaranya, gerakan tubuhnya,
ekspresi wajahnya, penampilannya, ataupun melalui tatapan matanya. Komunikasi
nonverbal ini dilakukan secara sadar ataupun spontan dalam komunikasi tatap
muka.yang terjadi.
Ronald B. Alder dan George Rodman dalam bukunya Understanding In
Human Communication, menyebutkan karakteristik komunikasi nonverbal yang
terdiri dari:
1.
2.
3.
4.
5.
Nonverbal communication exsist
One can’t not communicate
Nonverbal communication transmit feelings
Nonverbal communication is ambigous
Much nonverbal communication is culture- bound ( 1985 :97-99)
Dapat diartikan bahwa komunikasi nonverbal selalu ada mengikuti
komunikasi verbalnya. Hal ini terlihat ketika seseoarang berbicara, ia tidak dapat
27
menyembunyikan pikiran dan perasaan yang sesungguhnya karena apa yang dia
rasakan dan pikirkan akan terlihat dari bahasa nonverbal yang dilakukannya,
meskipun dalam komunikasi verbalnya ia tidak mengatakan apa yang dirasakan
dan dipikirkannya. Karakteristik komunikasi nonverbal yang kedua menyatakan
bahwa komunikasi tidak dapat dilakukan, artinya biarpun seseorang tidak
berbicara, ia tetap melakukan komunikasi. Diam yang dia lakukan memberikan
makna bagi orang lain dan setiap orang bisa mengartikan makna yang berbeda.
Karakteristik komunikasi nonverbal yang ketiga adalah komunikasi
nonverbal dapat mengungkapkan perasaan seseorang. Pesaraan seseorang
seringkali terungkap melalui komunikasi nonverbal yang dia lakukan.
Karakteristik yang keempat yaitu komunikasi nonverbal bersifat ambigu, artinya
komunikasi nonverbal yang dilakukan oleh seseorang bisa memiliki makna
berbeda pada orang lain dan setiap orang bisa mengartikan makna yang berbeda
beda pada komunikasi nonverbal yang dilakukan oleh seseorang.
Komunikasi nonverbal menjalankan sejumlah fungsi penting. Menurut
Mark L. Knapp dalam Rakhmat (2000:287), fungsi dari komunikasi nonverbal
adalah :
1. Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan
secara verbal.
2. Subtitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal.
3. Kontradiksi, yaitu menolak pesan verbal atau menggantikan makna
lain terhadap pesan verbal.
4. Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan
nonverbal.
5. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya.
28
Dengan
menggunakan
komunikasi
nonverbal,
pesan-pesan
yang
disampaikan secara verbal dapat lebih dimengerti dengan adanya pesan-pesan
nonverbal.
Komunikasi
nonverbal
memberikan
makna
dalam
setiap
pesannya.pesan nonverbal yang dikomunikasikan bersamaan dengan pesan verbal
memberikan makna yang utuh, tidak dapat dipisah-pisahkan, karena itulah,
komunikasi nonverbal berfungsi untuk mempertegas komunikasi verbal yang
dilakukan.
Duncan dalam Rakhmat (2000:289-294) menyebutkan enam jenis pesan
nonverbal, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kinesik atau gerak tubuh
Paralinguistik atau suara
Proksemik atau penggunaan ruang personal dan sosial.
Olfaksi atau penciuman.
Sensitivitas kulit.
Faktor artifaktual, seperti pakaian dan kosmetik.
Sementara itu Leathers dalam Rakhmat (2000:289) membagi pesan
nonverbal menjadi tiga kelompok besar, yaitu pesan nonverbal visual yang
meliputi kinesik, proksemik, dan artifaktual; pesan nonverbal auditif yaitu
paralinguistik; dan pesan nonverbal nonvisual auditif yaitu tidak berupa kata-kata,
tidak terlihat, dan tidak terdengar meliputi sentuhan dan penciuman.
Pesan kinesik atau gerak tubuh adalah pesan yang tidak menggunakan
gerak tubuh, terdiri dari tiga komponen utama yaitu: pesan fasial, pesan gestural,
dan pesan postural. Pesan fasial adalah pesan yang menggunakan air muka untuk
menyampaikan isyarat tertentu. Pesan gestural adalah pesan yang menunjukan
gerakan
sebagian
anggota
tubuh
seperti
mata
dan
tangan
untuk
29
mengkomunikasikan berbagai makna. Sedangkan pesan postural adalah pesan
yang berkenaan dengan seluruh anggota badan. (Rakhmat,200:289)
Pesan fasial dapat terlihat dari air muka, termasuk mata daan bibir, berikut
ini gambar yang menunjukan air muka seseorang.
(Tubbs & Moss, 200:131)
Gambar tersebut menunjukan berbagai macam air muka seseorang. Air
muka seseorang dapat terlihat melalui mata, alis dan bibir. Bila seseorang
tersenyum, maka garis bibir akan tertarik keatas, bila cemberut maka garis bibir
tertarik kebawah, bila seseorang sedih maka garia bibir ditarik ke bawah disertai
garis alis yang menurun sedangkan bila seseorang sedang marah maka garis bibir
akan ditarik ke bawah disertai alis yang tertarik ke atas.
Komunikasi mata, seperti halnya pesan kinesik, juga menggambarkan
pikiran dan perasaan seseorang. Arah pandangan mata mengkomunikasikan
seseuatu. Pesan yang dikomunikasikan oleh mata bervariasi, tergantung pada
lamanya, arah pandangan, dan perilaku mata. Paul Ekman dalam Mulyana
(2001:314) menyebutkan lima fungsi pesan nonverbal yang dapat dilukiskan
dengan perilaku mata, yakni sebagai berikut:
1.
2.
3.
Emblem. Gerakan mata merupakan simbol yang memiliki
kesetaraan dengan simbol verbal.
Ilustrator. Pandangan ke bawah dapat menunjukan depresi atau
kesedihan.
Regulator. Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka.
Memalingkan
muka
menandakan
ketidaksediaan
berkomunikasi.
30
4.
5.
Penyesuai. Kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang
berada dalam tekanan. Itu merupakan upaya tubuh untuk
mengurangi kecemasan.
Affect Display. Pembesaran manik mata (pupil dilation)
menunjukan peningkatan emosi.
Madenik dalam Tubbs & Moss (2000:134) membagi pola gerakan mata,
teori tentang mengakses informasi sebagai berikut :
1. Isyarat mengakses visual. Isyarat pengakses visual adalah pola
gerakan mata yang berhubungan dengan sesuatu yang kita lihat. Pola
gerakan mata ini terdiri dari :
Mengingat gambar (atas dan kiri). Pada umumnya seseorang yang
mengingat peristiwa-peristiwa yang mereka lihat, pola gerakan mata
akan mengarah ke sudut kiri atas.
Membayangkan menciptakan gambar (atas dan kanan). Ketika
membayangkan sesuatu atau menciptakan gambaran pada sesuatu
yang sedang dibayangkan, pola gerakan mata akan menunjuk ke arah
kanan atas.
Membuat gambar (tidak terfokus). Orang yang melamun atau
membuat sendiri gambaran sesuatu yang sedang dipirkannya pola
gerakan matanya akan menatap kosong ke depan, sehingga tatapannya
tidak terfokus pada suatu sudut.
2. Isyarat pengakses oditori. Isyarat pengakses orditori adalah pola
gerakan mata yang mencari informasi yang berkaitan dengan bunyi
dan suara. Pola gerakan mata mengakses orditori ini adalah sebagai
berikut :
Mengingat bunyi (samping liri). Seseorang yang sedang mengingat
bunyi-bunyian yang ia dengar maka pola gerakan matanya akan
mengarah ke samping kiri.
Membayangkan/ menciptakan suara (samping kanan). Seseorang yang
sedang membayangkan bunyi yang pernah ia dengar atau sedang
menciptakan bunyi-bunyian dalam benaknya, maka matanya akan
bergerak kesamping kanan.
Dialog internal (bawah dan kiri). Gerakan mata ke arah sudut kiri
bawah biasanya menunjukan seseorang yang sedang melakukan dialog
internal dengan dirinya sendiri.
3. Isyarat pengakses kinesik. Ini adalah gerakan mata yang berhubungan
dengan sentuhan, pengecapan, penciuman, dan perasaan. Isyarat
pengakses kinesik ini adalah melalui pola gerakan mata ke arah kanan
bawah.
mengakses sentuhan, pengecapan, penciuman, perasaan (bawah dan
kanan)
31
Pesan paralinguistik atau parabahasa adalah pesan nonverbal yang
berhubungan dengan cara mengucapkan pesan verbal (Rakhmat, 2000:292). Satu
pesan verbal yang sama dapat mengartikan arti yang berbeda bila diucapkan
dengan cara yang berbeda. Pesan paralinguistik terdiri dari nada, kualitas suara,
volume, kecepatan, dan ritme. Kualitas suara yang menunjukan ‘penuh’ atau
‘tipisnya’ suara. Setiap individu mempunyai kualitas suara tersendiri, sehingga
kualitas suara mengungkapkan identitas dan kepribadiannya. Volume suara
menunjukan tinggi rendahnya suara. (Rakhmat, 2000:293)
Proksemik adalah pesan nonverbal yang mengunakan ruang. Edward T
Hall membedakan empat macam jarak yang menggambarkan macam hubungan
yang dibolehkan, yaitu:
1. Jarak Intim. Dimulai dengan fasa (bersentuhan) sampai dengan fasa
jauh sekitar 15-45 cm. Kehadiran seseorang sangat jelas. Masingmasing pihak dapat mendengar, mencium, dan merasakan nafas yang
lain. Fasa jauh memungkinkan kita untuk saling menyentuh dengan
mengulurkan tangan.
2. Jarak pribadi (personal distance). Dalam fasa dekat jarak pribadi ini
antara 45-75 cm. Kita masih dapat saling menyentuh atau memegang
tapi hanya dengan mengulurkan tangan. Fasa jauh yaitu 75-120 cm,
dua orang dapat saling menyentuh jika keduanya mengulurkan tangan.
Fasa jauh ini menggambarkan sejauhmana kita dapat secara fisik
menjangkaukan tangan untuk meraih sesuatu.
3. Jarak sosial. Kita kehilangan detil fisual yang diperoleh dalam jarak
pribadi. Fasa dekat yaitu 120-210 cm adalah jarak yang kita gunakan
bila melakukan pertemuan bisnis dan interaksi pada pertemuanpertemuan yang bersifat sosial. Fasa jauh yaitu 210-360 cm adalah
untuk transaksi bisnis yang lebih resmi. Pada jarak ini kontak mata dan
suara keras sangat penting, jika tidak komunikasi akan hilang.
4. Jarak Publik. Fasa dekat yaitu 360-450 cm. Orang terlindung oleh
jarak. Walaupun kita tidak dapat mengamati secara detail wajah dan
mata orang itu., kita masih dapat cukup dekat untuk melihat apa yang
sedang berlangsung. Fasa jauh yaitu lebih dari 750 cm. Contoh dari
fasa jauh ini adalah aktor yang sedang bersandiwara di atas panggung
(Devito,1996:198)
32
Selain penggunakan jarak, Alder dan Rodman menyebutkan pula territory
dan environtment sebagai pesan proksemik. Territory adalah the way people use
space can communicate a good deal about power and status relationship
(1985:113). Territoty merupakan wilayah yang digunakan dalam berkomunikasi.
Dengan adanya wilayah ini maka komunikasi tidak hanya berlangsung dengan
baik tapi juga dapat memperjelas suatu status hubungan. Sedangkan envitontment
adalah lingkungan yang digunakan untuk berkomunikasi. Menurut Alder dan
Rodman, a large kind of communication that takes place in it (1985:113). Hal ini
menunjukan bahwa lingkungan yang sesuai akan mempertajam terjadinya
komunikasi sehingga komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan nyaman.
Komunikasi verbal lainnya adalah sensivitas kulit atau sentuhan.
Montague dalam Devito (1996:203) mengatakan, “Komunikasi sentuhan dinamai
juga haptik (haptics), barangkali merupakan bentuk komunikasi yang paling
primitif.” Dikatakan sebagai komunikasi yang paling primitif karena manusia
sudah bisa merasakan komunikasi sejak masih di dalam kandungan. Dengan
komunikasi sentuhan, orang bisa merasakan perasaan yang sedang dialami oleh
orang lain. Smith melaporkan bahwa “Perasaan yang biasanya dikomunikasikan
melalui sentuhan adalah tanpa perhatian (detached), kasih sayang (mothering),
takut (fearful), marah (angry), dan bercanda (playful).” (Rakhmat, 2000:293)
33
2.4 Komunikasi Verbal Dan Nonverbal Pada Komunikasi Terapeutik
2.4.1 Komunikasi Verbal Pada Komunikasi Terapeutik
Potter dan Perry dalam Arwani (2001:20-30) mengidentifikasi bahwa
“Komunikasi verbal sangat dipengaruhi beberapa vaktor yaitu denotative and
connotativee meaning (kemaknaan), vocabulary (pembendaharaan kata), clarity
dan brevity (kejelasan dan keringkasan), dan timing ang relavance ( waktu dan
relevansi)” .
1. Kemaknaan
Kemaknaan dari kata, kalimat, atau bahasa yang digunakan seseorang
menjadi hal yang sangat relevan untuk dikaji dan dimengerti oleh orang
yang sedang melakukan proses komunikasi verbal. Sebab bisa jadi satu
kata akan mengandung beribu makna. Kemaknaan kata dapat berupa
kiasan (connotative meaning) atau bisa juga berbentuk makna
sesungguhnya (denotative meaning).
Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang
digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran atau perasaan atau
ide yang terdapat dalam satu kata. Kata serius dipahami klien sebagai
suatu kondisi mendekati kematian, tetapi perawat akan menggunakan kata
kritis untuk menjelaskan keadaan mendekati kematian. Ketika
berkomunikasi dengan klien perawat harus hati-hati memilih kata-kata
sehingga tidak mudah untuk disalahtafsirkan.
2. Pembendaharaan kata
Pembendaharaan kata yang dipunyai seseorang juga akan berpengaruh
terhadap jalannya komunikasi secara verbal. Bisa dikatakan bahwa
komunikasi menjadi tidak berhasil apabila penerima tidak mampu
mengartikan kata-kata atau kalimat pengirim. Idealnya, antara pengirim
dan penerima mempunyai kapasitas kemampuan (usia, pendidikan,
budaya, ras, negara, agama, politik, sosial, fisik, psikologis) yang relatif
sama. Sehingga kemungkinan ketidakpahaman dan kesalahpahaman arti
kata atau kalimat dapat dikurangi sekecil mungkin.
Pada konteks kesehatan (kedokteran dan keperawatan) seringkali kata-kata
yang dipakai mencerminkan “kesulitan” tersendiri bagi orang awam atau
pasien. Istilah medis dan keperawatan yang sangat bervariasi akan mudah
dimengerti bagi dokter dan perawat, tetapi bagi orangawam atau pasien
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memahaminya. Karenanya,
perawat dan tenaga kesehatan lain disamping harus mampu memahami
pembendaharaan kata yang terkait dengan kesehatan dan keperawatan,
meraka juga harus dituntut mengerti pembendaharaan kata yang dimiliki
oleh pasien.
34
3. Kejelasan dan keringkasan pesan yang disampaikan
Komunikasi dikatakan efektif jika disampaikan dengan cara yang
sederhana, ringkas, dan padat, dan langsung pada aspek yang dibicarakan.
Semakin singkat kata yang digunakan, semakin sedikit kebingungan yang
timbul. Karena veriabel dalam diri seseorang (interpersonal veriables)
juga terlihat dalam komunikasi, akibatnya komunikasi sering tidak
memberikan arti yang tepat. Kata membingungkan seperti “kau mengerti”
harus ditambah sedikit penjelasan agar pesan yang disampaikan menjadi
jelas.
Kejelasan penyampaian pesan dapat dilakukan melalui pembicaraan pelan
(ingat jangan terlalu pelan) dan memberi tekanan yang jelas dan tepat.
Pada umumnya dengan memberikan contoh, akan mempermudah
penerima pesan memahami pesan yang disampaikan. Sedangkan
keringkasan kata atau kalimat dapat dicapai dengan menggunakan kata
yang tepat dan sederhana untuk mengekspresikan ide-ide yang ada.
4. Waktu dan Relevansi yang tepat
Waktu menjadi sesuatu yang sangat kritis bagi persepsi seseorang terhadap
pesan yang ia terima. Misalnya, seorang yang sedang menangis karena
nyeri yang dirasakan, akan sangat tidak signifikan pada waktu yang
bersamaan jika perawat menerangkan mengenai resiko-resiko yang
mungki terjadi akibat operasi. Sekalipun pesan disampaikan dengan pelan
dan jelas, tetapi karena waktu yang tidak tepat mengakibatkan
penerimaaan isi pesan jadi terabaikan. Karenanya perawat harus sensitif
untuk menggunakan waktu yang tepat guna mendiskusikan masalahmasalah yang sedang dihadapi pasiennya. Boleh dicatat bahwa waktu yang
tepat untuk berinteraksi dengan pasien adalah jika pasien telah
menunjukan ketertarikannya dan kesediannya untuk berkomunikasi atau
mengkomunikasikan masalah yang sedang dihadapi.
2.4.2 Komunikasi Nonverbal Pada Komunikasi Terapeutik
Komunikasi nonverbal diartikan sebagai transmisi dari pesan dengan
menitikbaratkan pada kiasan makna kata dibandingkan dengan makna kata itu
sendiri. Dengan kata lain, pesan yang disampaikannya telah keluar dari kata yang
sebenarnya.
Dalam komunikasi nonverbal isyarat – isyarat lebih signifikan
dibandingkan dengan kata – kata yang ada. Namun demikian, seringkali
35
komunikasi nonverbal membantu memberikan kepastian atau kebenaran terhadap
komunikasi verbal.
Dalam komunikasi terapeutik pesan nonverbal dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu; penampilan, postur dan cara berjalan, gerakan mata, ekspresi muka,
sentuhan, isyarat tangan, dan kesediaan ruang dan jarak.(Arwani,2003:35-45).
1. Penampilan
Penampilan merupakan salah satu hal paling diperhatikan dalam proses
komunikasi. Karakteristik, cara berpakaian, dan pemakaian perhiasan
merefleksikan penampilan fisik yang baik dari seseorang, disamping
kepribadian, status sosial, pekerjaan agama, kebudayaan, dan konsep diri.
Perawat yang memperhatikan penampilan dirinya dapat menimbulkan
citra diri yang positi dan sikap profesional yang positif. Penampilan fisik
perawat mempengaruhi persepsi klien terhadap pelayanan/ asuhan
keperawatan yang diterima, karena tiap klien mempunyai pandangan atau
citra bagaimana seharusnya perawat berpenampilan.
Walaupun penampilan tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan,
tetapi penampilan perawat dapat memengaruhinya dalam membina
hubungan saling percaya dengan klien .
2. Postur dan cara berjalan
Postur dan cara berjalan juga memengaruhi proses komunikasi nonverbal.
Cara orang berdiri dan bergerak adalah bentuk ekspresi diri yang dapat
dilihat. Postur dan gaya berjalan dapat mencerminkan emosi, komsep diri,
dan kondisi fisik yang prima. Postur tegak dan langkah tegap memberikan
gambaran tentang kondisi yang sehat dan rasa percaya diri yang tinggi.
Postur yang tidak tegap lagi dan cara berjalan yang timpang (pincang)
mungkin mengindikasikan adanya depresi atau ketidaknyamanan. Postur
yang terlalu bungkuk kemungkinan menunjukan adanya respons penyakit
fisik atau adanya cedera.
Dengan demikian, perawat dapat mengumpulkan informasi yang
bermanfaat dengan mengamati sikap tubuh dan langkahnya serta
memperoleh umpan balik dari orang lain. Langkah dapat dipengaruhi oleh
faktor fisik seperti rasa sakit, obat atau fraktur.
3. Gerakan Mata (Kontak Mata)
Gerakan mata juga membertikan arti yang cukup signifikan dalam
komunikasi nonverbal. Gerakan bola mata ke arah tertentu akan bisa
memberikan
arti
tertentu
pula.
Misalnya
gerakan
mata
membelalak/melotot sering dihubungkan dengan keterusterangan, teror
dan kenaifan. Pandangan mata
sekilas mengartikan kesederhanaan, menaikan alis mata menyiratkan
perasaan tidak senang, dan tatapan yang menetap atau terus menerus
memaknakan kebencian dan perasaan dingin. Jika dua orang bertemu dan
36
saling berhadapan, kontak mata sering menjadi media pendahuluan dari
pesan yang akan dikirimkan. Keinginan melakukan kontak mata selama
percakapan dipersepsikan sebagai bisa dipercaya. Perawat harus
menghindari melihat ke arah bawah pasien selama diskusi. Upayakan
untuk tidak terlalu dominan dan berkesan mengancam serta duduk
berhadapan dengan pasien dengan kontak mata pada posisi yang sama.
4. Ekspresi Wajah
Ekspresi raut wajah sebagai faktor yang mempengaruhi jalannya
komunikasi nonverbal merupakan aspek penting dan paling sering menjadi
perhatian dalam komunikasi. Sebagai bagian tubuh paling ekspresif, raut
wajah sering memberikan tanda paling awal dalam menginterpretasikan
pesan yang disampaikan. Penelitian yang dilakukan oleh Knapp (1972)
menunjukan bahwa dari raut wajah dapat dilihat paling tidak enam
ekspresi utama emosi : heran (suprise), takut (fear), marah, senang
(happiness), sedih (sadness), dan benci atau muak (disgust). Ekspresi raut
wajah sering menjadi dasar untuk menentukan hubungan interpersonal.
Karena terlalu banyaknya macam ekspresi wajah, akibatnya arti dari
ekspresi wajah tersebut menjadi susah untuk dinilai. Wajah mungkin
menampakan emosi yang sebenarnya, atau sebaliknya menunjukan
ekspresi tidak sesuai dengan emosi yang dirasakan, atau bahkan sedang
mengekspresikan adanya suatu tekanan. Sering orang tidak tidak
menyadari bahwa pada saat mereka mengirimkan pesan, berarti mereka
mengirimkan ekspresi. Dengan memberi umpan balik yang jelas
membantu mengurangi kebingungan yang tirjadi akibat adanya konflik
antara pesan dan ekspresi. Jika ekspresi wajah gagal menampakan pesan
yang jelas, verbal komunikasi harus segera dilakukan untuk myakinkan
niat dari pemberi pesan.
Misalnya, perawat sebagai pihak yang selalu ada dalam penglihatan atau
perhatian pasien, harus bisa mempertimbangkan dampak dari ekspresi
wajahnya, terlebih bagi pasien yang sedang bertanya “akankah kematiaku
sudah dekat?”. Perubahan sedikit saja dari ekspresi wajah. Namun paling
tidak, perawat harus belajar untuk menyadari untuk apa ekspresi wajah
ditampakan kepada pasien.
5. Sentuhan
Sentuhan juga merupakan faktor lain yang bisa memengaruhi jalannya
komunikasi nonverbal. Sentuhan bersifat sangat pribadi, sehingga
sentuhan pada umumnya dilakukan di antara orang yang memang benarbenar mempunyai hubungan dekat. Sentuhan tangan lebih bersifat spontan
dibandingkan dengan komunikasi verbal, pada umumnya kelihatan lebih
nyata. Beragam pesan dapat disampaikan melalui sentuhan tangan , seperti
rasa kasih sayang, dukungan emosi, dorongan atau motivasi, penawaran,
dan perhatian pribadi.
Menurut Stuart,G.W., sentuhan merupakan alat komunikasi yang sangat
kuat. Sentuhan juga dapat menimbulkan reaksi positif atau negatif,
bergantung pada orang yang terlibat dan lingkungan disekeliling mereka,
sentuhan penting dilakukan pada saat klien merasa sangat sedih. Sentuhan
37
pada situasi ini mempunyai arti empati. Sentuhan juga dapat menunjukan
arti “Saya peduli”.
Akan tetapi pada pelaksanaannya sangat perlu untuk memahami siapa,
kapan, dan mengapa sentuhan, dilakukan karena komunikasi nonverbal ini
mempunyai efek yang berbeda pada setiap individu. Sentuhan akan
memberikan manfaat jika penggunaannya didasarkan atas aspek terapi.
6. Isyarat tangan
Perasaan hormat, dengan lambaian tangan atau acungan jempol
merupakan bagian dari isyarat tangan. Di dalam pemberian isyarat,
gerakan tangan dapat pula diartikan sebuah usaha, pemberian tanda baca,
klarifikasi dari kata yang seharusnya diucapkan. Isyarat sendiri mungkin
menampakan arti khusus atau membuat pesan dalam hubungannya dengan
tanda dari komunikasi jenis lain. Perawat harus benar-benar bisa
memahami arti dari sebuah isyarat tangan. Hal ini bisa dilakukan melalui
pengalaman yang dapat diperoleh selama berinteraksi dengan orang lain
termasuk pasien.
7. Kesediaan ruang dan jarak
Kewilayahan dimaknakan sebagai upaya untuk meningkatkan,
memelihara, dan mempertahankan hak eksklusif seseorang untuk sebuah
wilayah pada ruang tertentu. Selama interaksi sosial, orang secara sadar
akan menjaga jarak diantara mereka. Jarak dalam berkomunikasi sangat
penting diperhatikan oleh perawat karena akan memengaruhi kelancaran
komunikasi. Jarak yang terlalu jauh menyebabkan perawat sulit untuk
berespons secara tepat karena perawat tidak bisa melakukan active
listening.
Menurut Stuart G.W dalam Suryani (2005:49) Jarak untuk berhubungan
intim terapeutik adalah 0 – 45 cm, sedangkan jarak pribadi adalah 45 –
120 cm. Berdasarkan pengalaman jarak yang paling nyaman bagi perawat
dan klien dalam berinteraksi adalah antara 30 – 40 cm, akan tetapi pada
pasien – pasien dengan perilaku kekerasan, jarak yang bisa digunakan
antara 100 – 120 cm.
2.5 Teknik – Teknik Komunikasi Terapeutik
Tiap individu adalah unik. Artinya tiap individu mempunyai pikiran,
perasaan, pengalaman, latar belakang budaya, agama, status sosial ekonomi,
dan kebutuhan yang berbeda – beda. Tiap individu juga mempunyai respons
yang berbeda- beda dalam menghadapi masalah. Ada yang mampu
mengatasinya dan ada yang tidak mampu mengatasinya. Hal ini tentu
bergantung pada koping yang dimiliki dan ada tidaknya support system
38
(sistem pendukung). Selain itu, ketika mengalami masalah, tiap individu
mengekspresikan
masalahnya
dan
ada
pula
yang
tidak
mampu
mengungkapkannya. Untuk itu diperlukan perawat yang mempunyai
kepekaan terhadap berbagai respon klien, mempunyai kemampuan analisis
yang cukup tinggi, dan kemampuan menanggapi respons tersebut.
Dalam menanggapi respon
yang disampaikan klien, perawat dapat
menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik. Suryani dalam bukunya
Komunikasi Terapeutik Teori & Praktek, menyebutkan teknik komunikasi
terapeutik yang terdiri dari :
a. Mendengarkan dengan aktif (Active Listening)
Mendengarkan (listening) merupakan dasar utama dalam komunikasi
terapeutik. Mendengarkan adalah proses aktif dan penerimaan informasi
serta penelaahan reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima. Nilai
terapeutik dari mendengarkan yaitu mengkomunikasikan kepada klien
tentang minat dan penerimaan perawat secara nonverbal .
Selama mendengarkan, perawat harus mengikuti apa yang dibicarakan
klien dengan penuh perhatian. Perawat memberikan tanggapan pada saat
yang tepat, dan tidak memotong pembicaraan klien. Respons yang bisa
disampaikan untuk menunjukan bahwa perawat mendengarkan klien
adalah seperti, “M...m...”, “O ya....”, “Terus....”, “Lalu....”
Kemampuan listening ini sangat penting dalam komunikasi terapeutik
terutama pada fase kerja. Tanpa listening yang baik, perawat tidak akan
mampu menggali masalah klien dan memberikan alternatif pemecahan
masalah.
b. Pertanyaan terbuka
Antai- Otong dalam Suryani (2005:66) mengatakan bahwa, “ Pernyataan
terbuka (open question) digunakan apabila perawat membutuhkan jawaban
yang banyak dari klien. Dengan pertanyaan terbuka, perawat akan mampu
mendorong klien mengekspresikan dirinya.”
Pertanyaan terbuka bisa diawali dengan kata “apa” dan “bagaimana”.
Sedangkan pertanyaan tertutup (closed ended question) digunakan ketika
perawat membutuhkan jawaban yang singkat.
Contoh :
• Pertanyaan terbuka
“Bagaimana kabar Ibu hari ini?”
“Ceritakan kepada saya, apa yang Ibu pikirkan?”
39
•
Pertanyaan tertutup
“Masih ingat janji kita kemarin, Bu?”
“Berapa orang saudara perempuan Anda?”
Selain itu ada juga Inapropriate Quantity Question yaitu pertanyaan yang
kurang baik dari sisi jumlah pertanyaan, ini terjadi apabila perawat terlalu
banyak bertanya, yang mengakibatkan klien bingung dalam menjawab.
Terlalu banyak bertanya merupakan tindakan yang tidak terapeutik karena
menimbulkan kebingungan klien untuk menjawab (Long,L., 1994).
Contoh :
o “Apakah Bapak pulang besok?Kemana?Apakah Bapak
senang?”
o “Dengan apa Ibu datang kemari? Mobil atau motor? Siapa yang
mengantar?”
Inapropriate Quality Question yaitu pertanyaan yang tidak baik diberikan
pada klien danbiasanya dimulai dengan kata “why” (mengapa). Why
question ini dipertimbangkan tidak terapeutik karena
1. Terkesan menginterogasi, sehingga klien merasa seolah-olah
diintimidasi. Hal ini bisa menghambat keterbukaan klien terhadap
perawat.
2. Tidak dapat menggali perasaan klien yangsebenarnya karena why
question menggiring klien untuk menjawab secara rasional atau
mengemukakan alasan dari suatu perbuatan atau keadaan, bukan
bagaimana perasaannya terhadap kejadian.
Contoh :
“Mengapa Bapak mengkhianati istri Bapak?”
“Mengapa Ibu tega meninggalkan anak-anak Ibu?”
Pada kenyataan di lapangan, beberapa perawat masih sering menggunakan
why question karena kebiasaan. Contoh pertanyaan yang sering di ucapkan
seperti, “Mengapa anda menangis?” , “Mengapa Anda terlambat?” dan
sebagainya.
c. Mengulang
Stuart, G.W.,dalam Suryani (2005:69) yang menyatakan bahwa “
Mengulang (restating) disini yaitu mengulang kembali pikiran utama yang
telah diekspresikan oleh klien.” Hal ini menunjukan bahwa perawat
sedang mendengarkan dan memvalidasi, menguatkan dan mengembalikan
perhatian klien pada sesuatu yang telah diucapkan klien. Restating
(pengulangan) merupakan suatu strategi yang mendukung listening.
Sebagai contoh, ketika klien mengatakan, “Saya pusing, banyak sekali
masalah yang harus saya selesaikan.” Perawat bisa menggunakan restating
dengan mengatakan, “Anda punya banyak masalah?” pertanyaan itu untuk
menunjukan pada klien bahwa perawat mendengarkan klien dan tertarik
dengan apa yang diungkapkan klien. Cara seperti ini terapeutik karena
dengan begitu klien merasa bahwa dirinya penting bagi perawat dan ini
akan menambah kepercayaan klien terhadap perawat.
40
d. Klarifikasi
Geldard,D., dalam Suryani (2005:69) mengatakan bahwa “Klarifikasi
(clarification) adalah menjelaskan kembali ide atau pikiran klien yang
tidak jelas atau meminta klien untuk menjelaskan arti dari ungkapannya.”
Nilai terapeutik dari klarifikasi yaitu membantu mengklarifikasi perasaan,
ide, dan persepsi klien serta memberikan kejelasan tentang hibungan
antara perasaan, ide, dan persepsi klien dengan tindakannya.
Menurut Geldard,D.,“Pada saat klarifikasi, perawat tidak boleh
menginterpretasikan apa yang dikatakan klien juga tidak boleh menambah
informasi. “ (Suryani,2005 : 69). Apabila perawat menginterpretasikan
pembicaraan klien, maka penilaiannya akan berdasarkan pandangan dan
perasaannya.
Melalui teknik ini klien diharapkan memahami apa yang diungkapkanya.
Sehingga perawat dan klien akan mempunyai kejelasan yang sama
mengenai pertanyaan klien tersebut. Fokus utama klarifikasi adalah pada
perasaan, karena pengertian terhadap perasaan klien sangat penting dalam
memahami klien.
Klarifikasi mungkin bisa dilakukan dengan meminta klien mengulang apa
yang baru saja disampaikannya pada perawat dengan mengatakan “Maaf
saya masih kurang jelas tentang apa yang Ibu atau Bapak katakan tadi,
bisa lebih diperjelas?”
Long,L., dalam Suryani (2005:70) juga mengatakan bahwa “Teknik ini
paling sering digunakan pada tahap kerja. Pada tahap kerja, perawat perlu
mengklarifikasi ungkapan klien, karena tanpa klarifikasi perawat tidak
akan memperoleh gambaran yang jelas tentang permasalahan klien.”
e. Refleksi
Antai-Otong dalam Suryani (2005:70) menyatakan bahwa “Refleksi
(reflection) adalah mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan, dan isi
pembicaraan kepada klien. Hal ini digunakan untuk memvalidasi
pengertian perawat tentang apa yang diucapkan klien dan menekankan
empati, minat, dan penghargaan terhadap klien.”
Teknik refleksi terdiri dari reflection of content (refleksi isi ) dan reflection
of feeling (refleksi perasaan). Refleksi isi dilakukan dengan paraphrasing
(memparafrasekan) yaitu membuat kalimat yang isinya sama dengan katakata yang berbeda, dan bukan hanya sekedar mengulang sebagian dari
ungkapan klien. (Suryani,2005 : 70).
Dengan menggunakan teknik ini perawat merefleksikan kepada klien
persis seperti apa yang ingin disampaikan klien pada perawat. Sedangkan
refleksi perasaan adalah merefleksikan perasaan apa yang dirasakan klien
ketika menyampaikan sesuatu. Jadi, refleksi isi berfokus pada isi
pembicaraan dan pikiran, sedangkan refleksi perasaan berfokus pada
emosi atau perasaan.
Sama seperti teknik klarifikasi, teknik refleksi ini banyak digunakan pada
fase kerja. Biasanya penggunaan kedua teknik ini saling mendukung satu
sama lain. Menurut Suryani (2005), “Teknik ini sangat bermanfaat untuk
menggali perasaan klien yang sebenarnya tentang suatu kejadian.
41
f. Memfokuskan
Teknik memfokuskan (focusing) bertujuan memberi kesempatan kepada
klien untuk membahas masalah inti dan mengarahkan komunikasi klien
pada pencapaian tujuan. (Suryani, 2005 : 71-72). Dengan demikian akan
terhindar dari pembicaraan tanpa arah dan penggantian topik pembicaraan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode ini adalah
usahakan untuk tidak memutus pembicaraan ketika klien menyampaikan
masalah penting.
Komunikasi pada klien yang mengalami perubahan psikologis akibat luka
di hati terkadang tidak terarah karena klien cenderung sangat emosional.
Individu dalam berbicara mungkin kesana – kemari (tidak fokus). perawat
bisa memfokuskan pembicaraan klien pada saat yang tepat misalnya
dengan mengatakan “Bagaimana kalau kita kembali ke topik pembicaraan
semula.”
g. Membagi Persepsi
Membagi persepsi (sharing perception) adalah meminta pendapat klien
tentang hal yang perawat rasakan atau pikirkan. Teknik ini digunakan
ketika perawat merasakan atau melihat ada perbedaan antara respons
verbal dan respons nonverbal klien.(Suryani, 2005:77)
Contoh :
Pernyataan klien: Ketika perawat masuk ke ruangan klien dan
menyapanya, klien tersenyum kecut dengan ekspresi wajah sedikit
tegang.
Respons perawat : “Anda tersenyum, tapi saya merasakan Anda
sedang marah pada saya.”
h. Mengidentifikasi Tema
Perawat harus tanggap terhadap cerita yang disampaikan klien dan harus
menangkap tema dari seluruh pembicaraan tersebut. Gunanya adalah
untuk meningkatkan pengertian dan menggali masalah penting.
Contoh :
“Saya perhatikan sejak awal pertemuan sampai sekarang, kamu
banyak bercerita tentang kekecewaanmu karena cintamu ditolak. Apakah
menurutmu ini hal penting yang akan kita diskusikan?”
Teknik ini sangat bermanfaat pada awal tahap kerja untuk memfokuskan
pembicaraan pada masalah yang benar- benar dirasakan klien.
i. Memberi Informasi
Memberikan tambahan informasi (informing) merupakan tindakan
penyuluhan kesehatan untuk klien. Teknik ini sangat membantu dalam
mengajarkan kesehatan atau pendidikan pada klien tentang aspek-aspek
yang relevan dengan perawatan diri dan penyembuhan klien. Informasi
yang diberikan pada klien harus dapat memberikan pengertian dan
pemahaman tentang masalah yang dihadapi klien serta membantu dalam
memberikan alternatif pemecahan masalah.
Teknik ini tidak sama dengan teknik advice (saran). Pada teknik ini
perawat hanya memberikan informasi, keputusan tetap pada klien.
Sedangkan pada teknik advice, selain memberikan informasi, perawat
42
sekaligus memberi kesan bahwa apa yang dikatakan perawat adalah yang
terbaik dalam mengatasi masalah klien. Bahaya dari teknik advice ini
adalah ketika apa yang disarankan perawat kepada klien ternyata tidak
dapat mengatasi permasalahan klien. Akibatnya klien bisa merasa sangat
kecewa dan tidak percaya lagi pada perawat.
j. Eksplorasi
Teknik eksplorasi ini bertujuan untuk mencari atau menggali lebih jauh
atau lebih dalam masalah yang dialami klien supaya masalah tersebut bisa
diatasi.” (Suryani,2005: 76).
Teknik ini juga sangat bermanfaat pada tahap kerja untuk mendapatkan
gambaran yang detail tentang masalah yang dialami klien.
Jangan tergesa- gesa dalam menyimpulkan masalah klien dan memberi
saran untuk pemecahan masalah tersebut. Hal ini menyebabkan klien
merasa bahwa perawat tidak mampu memahami dirinya atau tidak mampu
memecahkan masalah yang dihadapinya.
k. Memberi Pujian/ Memberikan Penghargaan
Jalaludin Rahmat dalam Suryani (2005:79) menyatakan bahwa,
“Seseorang akan cenderung berinteraksi apabila ia merasa interaksi
tersebut menguntungkan, baik secara psikologis maupun ekonomis.”
Memberikan pujian (reinforcement) merupakan keuntungan psikologis
yang didapatkan klien ketika berinteraksi dengan perawat. Reinforcement
berguna untuk meningkatkan harga diri dan menguatkan perilaku klien.
Reinforcement bisa diungkapkan dengan kata-kata ataupun melalui isyarat
nonverbal.
Memberikan salam kepada pasien dengan menyebutkan namanya,
menunjukan kesadaran tentang perubahan yang terjadi, menghargai pasien
sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai hak dan tanggung jawab atas
dirinya sendiri sebagi individu.
Misalnya “Selamat pagi Tufi!” “ Ibu perhatikan Tufi tampak cerah hari
ini!”.
Isyarat nonverbal bisa disampaikan dengan memberikan ancungan jempol
ketika klien melakukan sesuatu yang menurut perawat merupakan
perubahan positif.
l. Diam
Teknik diam (silence) digunakan untuk memberikan kesempatan pada
klien sebelum menjawab pertanyaan perawat. Diam akan memberikan
kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisasi pikiran
masing-masing.” (Suryani,2005:72).
Teknik ini memberikan waktu pada klien untuk berpikir dan menghayati,
memperlambat tempo interaksi, sambil perawat menyampaikan dukungan,
pengertian dan penerimaannya. Diam juga memungkinkan klien untuk
berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan berguna pada saat klien harus
mengambil keputusan.
Teknik ini tidak sama dengan teknik listening. Pada teknik ini, perawat
memberi waktu pada klien untuk menjawab pertanyaan perawat. Jadi,
setelah perawat mengajukan pertanyaan, perawat memberi jeda waktu bagi
43
klien untuk memikirkan dan menyusun informasi yang ingin
disampaikannya ke perawat. Sedangkan listening dilakukan perawat pada
saat klien mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
Sebagai contoh, setelah perawat (terapis) mengajukan pertanyaan kepada
anak autis, “Berapakah dua dikali lima?” perawat (terapis) memberi jeda
waktu 10 detik diam untuk memberi kesempatan klien (anak) menjawab.
Kemudian ketika klien (anak) mengungkapkan jawabannya, perawat
(terapis) menggunakan teknik listening dengan mendengarkan jawaban
anak tersebut dengan penuh perhatian.
m. Humor
Humor bisa mempunyai beberapa fungsi dalam hubungan terapeutik.
Florance Nightingale dalam Suryani (2005:78) pernah mengatakan bahwa
“Suatu pengalamam pahit sangat baik ditangani dengan humor. Menurut
Anonymous (1999), Humor dapat meningkatkan kesadaran mental dan
kreativitas, serta menurunkan tekanan darah dan nadi.
Tidak ada aturan kapan, bagaimana, dan dimana humor seharusnya
digunakan. Dalam hubungan terapeutik penggunaannya bergantung pada
kualitas hubungan . dalam beberapa kondisi berikut humor mungkin bisa
dilakukan :
1) Pada saat klien sedang mengalami kecemasan ringan sampai
sedang, humor mungkin bisa menurunkan kecemasan klien.
2) Jika relavan dan konsistan dengan sosial budaya klien.
3) Membantu klien mengatasi masalah lebih efektif.
n. Menyimpulkan
Menyimpulkan (summerizing) adalah teknik komunikasi yang membantu
klien mengeksplorasi poin penting dari interaksi perawat-klien. Teknik ini
membantu perawat dan klien untuk memiliki pikiran dan ide yang sama
saat mengakhiri pertemuan. Poin utama dari menyimpulkan yaitu
peninjauan kembali komunikasi yang telah dilakukan.Menyimpulkan
berarti pembicaraan
yang menekankan masalah, dan pengembangan diri.
Dalam menyimpulkan bisa diawali dengan kata seperti : “Dari
pembicaraan kita tadi”, “Saya coba menyimpulkan bahwa .....” atau
“Kalau boleh saya simpulkan....”
Manfaat dari menyimpulkan antara lain :
1. Memfokuskan pada topik yang relevan.
2. Menolong perawat dalam mengulang aspek utama interaksi.
3. Membantu klien untuk merasa bahwa perawat memahami
pesannya.
4. Membantu klien untuk dapat mengulang informasi dan
membuat tambahan atau koreksi terhadap informasi
sebelumnya.
Teknik menyimpulkan ini juga sangat bermanfaat pada tahap kerja.
Pada saat menyimpulkan, perawat dan klien dapat mendefinisikan pokok
mesalah, sehingga memungkinkan membuat perencanaan untuk mengatasi
masalah.
44
Dalam hal ini perawat perlu menganalisis teknik yang tepat pada setiap
berkomunikasi dengan klien, karena ketidaktepatan menggunakan teknik dalam
berkomunikasi dapat berpengaruh terhadap proses dan keberhasilan komunikasi.
Informasi yang akurat dapat disampikan melalui komunikasi verbal, namun aspek
emosi dan perasaan tidak dapat diungkapkan seluruhnya melalui verbal. Dalam
hal ini dibutuhkan kemampuan perawat untuk menghadirkan diri menggunakan
teknik omunikasi secara tepat dan pemahaman terhadap respons emosional klien.
Dengan mengerti proses komunikasi dan mempunyai berbagai keterampilan
berkomunikasi, perawat diaharapkan mampu menggunakan dirinya secara utuh
(verbal dan nonverbal) dalam memberikan efek terapeutik pada klien.
45
BAB III
OBJEK PENELITIAN
3.1
Latar Belakang Historis Risantya
Setiap
tahun perkembangan
anak berkebutuhan
khusus semakin
meningkat, maka untuk membantu anak berkebutuhan khusus ini meningkatkan
potensi dan mencapai potensi yang optimal maka didirikanlah sebuah Pusat
Terapi yang diberi nama Risantya,
Risantya merupakan lembaga yang bergerak di bidang pelatihan dan
pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang berdiri sejak bulan
April 2003 bertempat di jalan Kota Baru no. 30 Bandung. Nama Risantya diambil
dari Bapak
Risan dan Ibu Butiyah yang merupakan orang tua dari pemilik
yayasan.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mempunyai hambatan
perkembangan fisik, mental, kognitif, bahasa / komunikasi, interaksi sosial dan
perilaku. Dalam memberikan pelayanannya Risantya di dukung tenaga ahli yang
profesional dengan latar belakang pendidikan Ahli Madya Fisioterapi dan
Okupasi Terapi. Selain terapis Risantya juga di dukung ahli medis dokter spesialis
syaraf anak serta psikolog perkembangan anak dan konsultan pendidikan.
Risantya memberikan pelayanan dengan pelayanan utamanya memahami
dan mengarahkan perilaku anak yang menggunakan pendekatan individual
melalui intervensi dini dengan memanfaatkan plastisitas otak sesuai kebutuhan
individual.
46
Saat ini Risantya telah menangani anak-anak dengan kebutuhan khusus
dengan jumlah 64 anak. Adapun anak yang mengalami Autisma berjumlah 29
anak dengan usia 5 bulan sampai 12 tahun.
Adapun kegiatan ekstrakulikuler Risantya yaitu seni rupa dan outbond.
Kegiatan ini ditujukan agar anak-anak dengan kebutuhan khusus dapat tersalurkan
dan membentuk kreatifitas anak.
3.2
Visi dan Misi Risantya
•
Adapun visi Risanya adalah menjadi pusat informasi, pelayanan,
pelatihan dan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus untuk mencapai
potensi yang optimal dan hidup yang lebih baik.
•
Adapun misi Risantya adalah
-
memberikan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan
anak, sesuai dengan fase tumbuh kembang normal
(neurodevelopment).
-
Mengembangkan dan menciptakan lingkungan belajar yang
optimal dalam mengatasi problem belajar, gangguan
konsentrasi, autisma.
-
Mengembangkan suatu persaingan yang sehat dalam
mewujudkan visi.
-
Membantu dan melibatkan ortu, keluarga dalam
mengimplementasikan program neurodevelopment menuju
47
kehidupan anak berdasarkan pola perkembangan yang
spesifik.
-
Mengembankan kemampuan dan potensi yang optimal pada
anak.
3.3
Motto Risantya
“We provide better method of therapy to yield substantial and observable result”
3.4
Tujuan Risantya
Adapaun tujuan Risantya dalam memahami dan mengarahkan perilaku
anak:
1. Mengatasi problem belajar, gangguan pemusatan perhatian
(attention deficit disorder/ADD), attention deficit hyperactive
disorder (ADHD), Autisme, dan beberapa sindrom lain.
2. Menciptakan lingkungan belajar optimal dengan mengaitkan
aktivitas yang dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan
normal (neurodevelopment).
3. membantu dan memberdayakan orang tua dan keluarga dalam
implementasi program neurodevelopment menuju kehidupan anak
berdasarkan pola perkembangan spesifiknya.
48
Tahapan Penanganan Anak di Risantya
Intervensi dini baik pada upaya akselerasi perkembangan normal maupun
remediasi pendidikan / edukasi ditempuh melalui 3 fase.
Fase I : Review riwayat perkembangan, pendidikan, sosial dan perilaku.
Pemeriksaan neurodevelopment / perkembangan pendengaran, penglihatan, dan
fungsi kognitif.
Fase II : Pelaksanaan program dengan Terapi Perilaku, Terapi Wicara,
Fisioterapi /
Terapi fisik, Terapi Okupasi / Sensori Integrasi , Remediasi
pendidikan dan sosial.
Fase III : Bimbingan dan latihan bagi orang tua dan keluarga untuk dapat
menerapkan program secara individual, program Risantya merupakan program
yang terpadu bersama orang tua, pendidik, psikolog, dokter anak / syaraf anak dan
terapis.
Syarat Anak Untuk Bergabung dengan Risantya
1. Mengisi formulir pendaftaran
2. Menyerahkan surat rujukan dari dokter.
3. Pas foto ukuran 3x4 (2 lbr)
4. Keterangan mengikuti terapi (bila ada)
5. Umur anak max 7 thn (ketika awal masuk)
49
Waktu Terapi Anak
Risantya memberikan waktu untuk terapi setiap hari Senin – Jumat, pukul
08.00- 17.00 WIB. Setiap anak mengikuti terapi 2-3 kali dalam seminggu, lama
terapi 1 jam atau lebih.
Syarat Menjadi Terapis di Risantya
Sebelum dan sewaktu melakukan terapi seharusnya setiap terapis sudah
mempunyai syarat-syarat menjadi seorang terapis untuk menangani anak-anak
dengan kebutuhan khusus. Syarat-syarat menjadi terapis yaitu:
1. Mempunyai latar belakang pendidikan berbasic terapis seperti Fisioterapi,
Speech terapy, psikolog, dan okupasi terapi.
2. Sehat jasmani dan rohani.
3. Dapat memahami kondisi anak dengan kebutuhan khusus.
4. Mempunyai keinginan menangani anak dengan kebutuhan khusus.
5. Berkeinginan mempelajari perkembangan anak.
6. Memiliki rasa kasih sayang, penyabar dan empati.
7. Harus Profesional
8. Disiplin.1
1
Company Profile Risantya, January 2007
50
Proses Penanganan Anak Autisma
3.9.1 Proses Penanganan Anak Autisma Oleh Terapis
Proses penanganan anak autis oleh terapis biasanya terlebih dahulu terapis
melakukan observasi pada anak, yaitu dengan mengamati gejala-gejala yang ada
pada anak. Setelah itu dilanjutkan dengan proses penanganan pada anak di dalam
kelas, yaitu terapi behaviour dan berinteraksi.
Proses penanganan anak autis oleh terapis di dalam kelas, adalah setiap satu
terapis menangani satu anak. Bila perlu dapat dipakai seorang co-terapis yang
bertugas sebagai prompter (pemberi prompt). Pertama – tama anak duduk
berhadapan dengan terapis dan diberi jarak oleh meja, kemudian diajarkan cara
ucapan salam dan berdoa untuk setiap memulai terapi dan selesai terapi.
Setelah itu terapis melakukan kontak mata terhadap anak, karena kontak
mata adalah kunci masuk dalam metode terapi. Kemudian terapis melakukan apa
yang disebut dengan siklus dari Discrete Trial Training, yang dimulai dengan
instruksi dan diakhiri dengan imbalan. Siklus penuh terdiri dari 3 kali instruksi,
dengan pemberian tenggang waktu 3-5 detik pada instruksi ke-1 dan ke-2.
Adapun anak autis diajarkan konsep warna, bentuk, angka, huruf dengan
menggunakan media visual (gambar), karena anak autis lebih cepat mengingat
melalui media gambar.
Setelah anak mengerti mengenai konsep warna, bentuk, angka, dan huruf
kemudian terapis mengajarkan suatu perilaku malalui tahap-tahap pembentukan
yang semakin mendekati respon yang dituju yaitu perilaku target.
51
Untuk pembentukan perilaku anak tersebut mula-mula terapis memberi
instruksi kepada anak dengan memberikan contoh, misalkan “ambil bola” pertama
tama anak telah mengetahui bentuk “bola” kemudian kata “ambil” sambil
memeragakan cara mengambil.
Begitu seterusnya dalam mengajarkan dan membentuk perilaku kepada anak autis
yang selanjutnya dapat memberikan instruksi dengan 3 suku kata,maupun 4 suku
kata.2
3.9.2
Proses Penanganan Anak Autisma Oleh Orang Tua
Intensitas terapi perilaku yang ideal adalah 40 jam dalam seminggu,
jadi rata-rata 8 jam per hari, bila Sabtu dan Minggu libur. Tetapi untuk mencapai
hasil terapi yang maksimal, anak harus ditangani selama dia bangun. Persyaratan
ini pasti sangat berat untuk siapapun. Oleh karean itu, tidak mungkin terapi anak
autisma hanya dilakukan oleh satu orang saja, misalnya ibunya atau ayahnya atau
pengasuhnya. Jadi disamping terapi di institusi atau sekolah khusus, masih
dibutuhkan penanganan di rumah yang justeru lebih lama dari di sekolah. Untuk
ini diperlukan suatu kerjasama yang baik dan terkoordinir atau terorganosir, serta
dipantau secara intensif, agar seluruh program dapat berjalan dengan lancar dan
tidak buang waktu.
Orang tua yang mempunyai anak autisma, perlu sekali memahami apa
yang diajarkan terapis pada anaknya. Orang tua perlu diberi penjelasan mengenai
perkembangan anaknya selama mengikuti terapis.
2
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis di Risantya pada tanggal 18
Januari 2007
52
Setelah sampai dirumah orang tua hendaknya mencoba apa yang diajarkan terapis
kepada anaknya. Selain itu juga dalam menangani anak autis sebaiknya orang tua
mendisiplinkan anak dirumah tetapi tidak dengan mendiktenya. Selalu berikan
kata-kata yang positif pada anak untuk memotivasi. Dalam berkomunikasi dengan
anak hendaknya hilangkan kata-kata “tidak boleh” atau “jangan” karena akan
membuat anak tersebut semakin penasaran dan akan melakukan hal yang dilarang.
Biasanya orang tua senang memberi imbalan atau reward kepada anaknya,
sebisa mungkin hindari memberi reward yang nilainya semakin lama semakin
mahal, hal ini tidak baik apabila suatu saat anak meminta imbalan yang tidak bisa
dipenuhi oleh orang tuanya maka ia akan marah atau tantrum. Dan ketika anak
tantrum jangan dibujuk atau dirayu oleh orang tua.
Sebaiknya anak diberikan
tugas / pekerjaan rumah yang ringan-ringan saja, yang sekiranya anak tersebut
mampu menyelasaikan dan mengerjakan pekerjaan dirumah.
Orang tua sebaiknya memberikan aturan yang seragam dalam rumah, tidak
terkecuali untuk anaknya yang normal juga. Sehingga anak autis lebih mematuhi
dan disiplin.3
3.10
Pelaksanaan Program Risantya
3.10.1 Terapi Perilaku
Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak
autistik dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang
berkekurangan (belum ada) ditambahkan. Terapi perilaku yang dikenal di seluruh
3
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan orang tua yang memiliki anak autis di
Risantya pada tanggal 18 Januari 2007.
53
dunia adalah Applied Behavioral Analysis (ABA) yang diciptakan oleh O.Ivar
Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA). ABA merupakan
salah satu metode terapi yang memiliki ciri strujtur, terarah, dan terukur sehingga
memudahkan kita dalam melihat perkembangan anak.
Terstuktur
: Pengajaran memekai teknik yang jelas
Terarah
: Ada kurikulum yang jelas untuk membantu orang
tua dalam mengarahkan terapi.
Terukur
: Keberhasilan atau kegagalan anak dalam
menghasilkan perilaku yang diharapkan dapat
diukur dengan berbagai cara karena perilaku
tersebut terlihat dengan jelas.
Dalam pelaksanaannya terapi ini prinsip pengajaranya konsep dan
keterampilan yang lebih mudah diajarkan terlebih dahulu dan keterampilan
yang rumit belum diajarkan sebelum anak menguasai persyaratannya.
Materi / Program yang diberikan :
Beberapa program yang diberikan dalam terapi ini antara lain
a) Kemampuan untuk memperhatikan
Kemampuan ini sebagai dasar sikap belajar yang diperlukan
untuk
sekolah dan bekerja. Anak diajarkan mempertahankan rentang
perhatiannya, karena jika tidak bisa akan mengalami kesulitan
dalammenerima pelajaran ataupun mendengarkan instruksi.
54
b) Meniru / Imitasi
Kemampuan meniru memungkinkan anak belajar dari lingkungan,
dengan sedikit mengarahkan atau tanpa pengarahan sama sekali .
Materi imitasi dibagi dalam beberapa :
-
Imitasi motor kasar, seperti anak meniru tepuk tangan,
lompat, tangan keatas, dll.
-
Imitasi motorik halus, seperti meniru menggosok tangan,
mengacungkan ibu jari, dll.
-
Imitasi aksi terhadap benda, ini dapat diarahkan menjadi
aktivitas bermain.
-
Imitasi suara, bisa dikembangkan menjadi belajar bicara
karena anak diarahkan meniru kata-kata orang lain.
-
Imitasi pola balok, untuk mempersiapkan anak belajar
membaca.
-
Imitai gambar sederhana, merupakan awal kemampuan
belajar menulis.
-
Imitasi perilaku bermain teman.
c) Mencocokan / Menyamakan
Ini sebagai keterampilan dasar dari berbagai tuntunan belajar
dilingkungan umum agar anak dapat mengenal ciri benda berdasarkan
ciri tertentu misalkan bentuk, warna, fungsi, dan sebagainya.
Kemampuan ini mendasar kemampuan mensortir dan mengerjakan
kertas kerja.
55
Misalnya menyamakan warna, gambar, benda yang identik pada
awalnya
sampai
digeneralisasi
dengan
klasifikasi.
Dalampelaksanaannnya bisabisa memakai instruksi samakan, cari yang
sama, pasangkan, dll.
d) Identifikasi
Anak dimimta menentukan pilihan dengan mengambil, menunjuk,
memengang satu dari beberapa hal/ benda. Dengan teknik ini kita akan
tahu pemahaman anak tentang berbagai konsep tanpa haru tergantung
pada kemampuan bicara anak. Misal, anak menunjuk tempat, benda,
anggota tubuh, dll.
e) Melabel / Ekspresif
Kemampuan ini merupakan sesuatu yang sukit karena anak
menggunakan kemampuan mengingat dan mengungkapkan (bahasa
ekpresif). Misal, anak menyebutkan / melabel gambar, bentuk,
hewan,benda,dll. Anak menjawab pertanyaan apa ini?, Siapa ini?,
Dimana?, dll.
f) ADL (Activity Day Living)
Anak diajarkan kemampuan mandiri untuk aktivitas sehari-harinya
agar tidak tergantung dengan orang lain. Misal, latihan BAK/ BAB
sendiri dengan toiletting dikamar mandi, minim sendiri dengan gelas,
memakai dan melepas baju, kaos, celana, sepatu dll.
56
Semua program dan kemampuan yang diajarkan harus generalisasi agar
anak dapat menerapkannya dalam situasi dan keadaan berbeda dalam kehidupan
sehari-harinya.
Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian
reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang
diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak
berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia
tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini
diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan
mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap
instruksi yang diberikan.
Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C;
yakni A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan C
(consequence). Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku) berupa
instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak autis. Melalui gaya
pengajarannya yang terstruktur, anak autis kemudian memahami Behavior
(perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya sesudah instruksi tersebut
diberikan, dan perilaku tersebut diharapkan cenderung terjadi lagi bila anak
memperoleh Consequence (konsekuensi perilaku, atau kadang berupa imbalan)
yang menyenangkan.
Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman
dan kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya mendapatkan hasil yang
signifikan bila dilakukan secara intensif, teratur dan konsisten pada usia dini.
57
3.10.2 Terapi wicara
Bagi anak dengan Speech delay, maka terapi wicara merupakan pilihan
utama. Untuk memperoleh hasil yang optimal, materi speech terapi sebaiknya
dilaksanakan dengan metode ABA.
Bagi penyandang autisma oleh karena semua penyandang autisma
mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa, speech terapi adalah
suatu keharusan, tetapi pelaksanaannya harus dengan metode ABA. Menerapkan
terapi wicara pada penyandang autisma berbeda dengan pada anak lain. Terapis
harus berbekal diri dengan pengetahuan yang cukup mendalam tentang gejala dan
gangguan bicara yang khas bagi penyandang autisma.
Area bantuan dan Terapi yang dapat diberikan oleh Terapis Wicara:
1. Untuk Organ Bicara dan sekitarnya (Oral Peripheral Mechanism),
yang sifatnya fungsional, maka Terapis Wicara akan mengikut
sertakan latihan-latihan Oral Peripheral Mechanism Exercises;
maupun Oral-Motor activities sesuai dengan organ bicara yang
mengalami kesulitan.
2. Untuk Artikulasi atau Pengucapan:
Artikulasi/ pengucapan menjadi kurang sempurna karena karena
adanya gangguan, Latihan untuk pengucapan diikutsertakan Cara dan
Tempat Pengucapan (Place and manners of Articulation). Kesulitan
pada Artikulasi atau pengucapan, biasanya dapat dibagi menjadi:
substitution (penggantian), misalnya: rumah menjadi lumah, l/r;
omission (penghilangan), misalnya: sapu menjadi apu; distortion
58
(pengucapan untuk konsonan terdistorsi); indistinct (tidak jelas); dan
addition (penambahan). Untuk Articulatory Apraxia, latihan yang
dapat diberikan antara lain: Proprioceptive Neuromuscular.
3. Untuk Bahasa: Aktifitas-aktifitas yang menyangkut tahapan bahasa
dibawah:
a. Phonolog (bahasa bunyi)
b. Semantic (kata), termasuk pengembangan kosa kata
c. Morphology (perubahan pada kata)
d. Syntax (kalimat), termasuk tata bahasa
e. Discourse (Pemakaian Bahasa dalam konteks yang lebih luas)
f. Metalinguistics (Bagaimana cara bekerjanya suatu Bahasa)
g. Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial)
Dari nada, intensitas, kualitas, atau penyimpangan
penyimpangan
lainnya dari atribut-atribut dasar pada suara, yang mengganggu
komunikasi,
membawa
perhatian
negatif
pada
si
pembicara,
mempengaruhi si pembicara atau pun si pendengar, dan tidak pantas
(inappropriate) untuk umur, jenis kelamin, atau mungkin budaya dari
individu itu sendiri.
4. Pendengaran: Bila keadaan diikut sertakan dengan gangguan pada
pendengaran maka bantuan dan Terapi yang dapat diberikan:
(1). Alat bantu ataupun lainnya yang bersifat medis akan di rujuk
kepada dokter yang terkait.
59
(2) Terapi; Penggunaan sensori lainnya untuk membantu
komunikasi.
3.10 3 Terapi Okupasi
Sebagian penyandang kelainan perilaku, terutama autisma, juga
mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan
kurang luwes bila dibanding dengan anak-anak seumurnya. Pada anak-anak ini
perlu diberi bantuan terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki
koordinasi dan keterampilan ototnya. Otot jari tangan misalnya sangat penting
dikutkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan melakukan semua hal yang
membutuhkan keterampilan otot jari tangannya, seperti menunjuk, bersalaman,
memegang raket, memetik gitar, main piano, dsb. Terapi ini bertujuan untuk
memaksimalkan fungsi, mencegah kecacatan, dan melatih kemandirian anak.
Para terapis okupasi juga seringkali memakai Sensory Intergration (SI),
Neurodevelopmental Treatment (NDT) / Bobath, Behavior modification, terapi
bermain, dll untuk menterapi kelainan sensoris pada anak autisma. Sensori
integrasi merupakan suatu proses neurologikal yang normal dimanan kita
mengatur sensasi-sensasi sekitar kita untuk digunakan dalam kehidupan ita sehariharu agar bisa “survive”, belajar dan berfungsi.
NDT memberikan stimulasi secara postural untuk merangsang pertumbuhan dan
perkembangan normal.
Namun dari banyak penelitian yang telah dilakukan, dibuktikan bahwa SI saja
tidak dapat meningkatkan perilaku anak, bahkan sering mengakibatkan
60
kemunduran perilaku, dan tidak berhasil menghilangkan ataupun mengurangi
perilaku-perilaku aneh dari anak.
3.10.4 Terapi Fisik / Fisioterapi
Merupakan suatu bentuk terapi dengan meningkatkan kapasitas
fisik
dan kemampuan fungsional baik individu maupun kelompok untuk mancapai
kemandirian dengan pendekatan sumber yang berasal dari alam maupun exercise
latihan.
Metode yang digunakan dalam pelaksanaan terapi fisik antara lain :
a. Terapi latihan dengan menggunakan teknik
- PNF (Propionceptif Neuro Fasilitation) suatu teknik terapi
yang menitik beratkan pada penguatan dan latihan pola
gerak.
- Bobath Konsep NDT (Neurodevelopmental Treatment),
suatu teknik terapi untuk memperbaiki secara postural
dengan memberikan fasilitasi gerak dan inhibisi pola gerak.
b. Elektro terapi dengan Infra merah (IR), Vibrator, terapi
dengan memakai sinar infra merah maupun vibrator
diberikan untuk memberikan rileksasi pada oto-otot sebelum
diberikan terapi latihan.
c. AFR (Aktifitas Fungsional dan Rekreasi), suatu bentuk
terapi dengan memberikan aktifitas menyenangkan pada
anak seperti latihan jalan dengan jalan dibatu, rumput, dll.
61
Program terapi yang diberikan dalam terapi fisik antara lain:
-
Fasilitasi/
merangsang
otot
yang
spastik,
inhibisi
menghambat spasitisitas/ kelakuan dengan terapi latihan.
-
Latihan gerak pasif, aktif, aktif asisted/ akti dengan
bantuan, aktif resisted/ aktif melawan tahanan.
-
Latihan stimulasi gerak fungsional seperti berguling,
duduk,
merangkak,
berjalan,
sesuai
perkembangan
dankebutuhan anak.
-
Latihan pola gerak dan postural anak sesuai perkembangan
anak.
-
Latihan ADL/ Activity Daily Living
-
Strengthening/penguatan otot, strethcing / penguluran otot.
-
Latihan memelihara dan meningkatkan lingkup gerak
sendiri/ LGS
-
Home program bagi orang tua untuk mendukung terapi
yang diberikan.
3.10.5 Remediasi Pendidikan dan Sosial
Merupakan suatu bentuk terapi untuk mempersiapkan anak masuk
sekolah dengan menggunakan pendekatan individual maupun kelompok.
Program terapi yang diberikam antara lain :
62
-
Pra akademik / akademik meliputi pengenalan huruf,
bentuk, warna, angka, konsep matematika, menulis, dll.
-
Kemampuan motorik baik motorik kasar, halus, mulut
disesuaikan dengan kebutuhan dan usia anak sesuai level
perkembangan anak.
-
Kemampuan memecahkan masalah seperti memecahkan
puzzel, menyusun pola balok, komstruksi, dll.
-
Kemampuan dalam berkompetisi dengan tean.
-
Outbond untuk pengenalan lingkungan interaksi sosial.
Semua terapi yang diberikan dilakukan evaluasi dalam tiap caturwulan,
sehimgga perkembangan terakhit pada anak terlihat. Dan untuk melibatkan
orang tua dalam mendukung proses terapi setiap 4 bulan sekali ada
pertemuan orang tua. Pertemuan orang tua ini dilakukan agar semua orang
tua bisa berbagi dan bertukar pengalaman dalam membimbing dan
mengarahkan anaknya.4
3.11
Stuktur Kelembagaan Risantya
Pada Lembaga Risantya memiliki stuktur organisasi yang dipimpin oleh
Ketua Yayasan Risantya yang membawahi Pimpinan, Tim Medis dan POMG
(Persatuan Orang Tua Murid dan Guru). Dimana Pimpinan juga dibantu oleh
Leader, Terapis, dan Asisten dalam menangani anak – anak berkebutuhan khusus.
4
Company Profile Risantya, Januari 2007
63
Secara stuktural, Ketua Yayasan Risantya saat ini dipimpin oleh Ir.
Hilman Risan, sedangkan pimpinan dipimpin oleh Wardi Supardi, untuk Tim
medis oleh dr. Nelly A Risan.Sp.A (K), psikolog oleh Dewi Sartika, S.Psi.
Sebagai Leader dipimpin oleh Kusdarini, AMF. Bagian Terapis meliputi
Mutmainah, AMd.OT, Margiasih Setiyati,AMF, Septi Hermiati, AMF dan Henri
Eko P, AMF. Sedangkan asisten terdiri dari Dwi Subekti,Amd.TW dan Amalia
Fitriya.
Untuk lebih jelasnya, adapun stuktur kelembagaan Risantya dapat dilihat
sebagai berikut
64
GAMBAR 3.1
BAGAN STRUKTUR KELEMBAGAAN PUSAT TERAPI DAN REMEDIASI
ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS RISANTYA
YAYASAN
PIMPINAN
TIM MEDIS
POM
LEADER
TERAPIS
ASISTEN
(Sumber: Company Profile Risantya, Januari 2007)
65
3.12
Pengertian Autisma
Istilah Autisme berasal dari kata Autos yang berarti diri sendiri dan
Isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik hanya pada
dunia sendiri.
Autisma adalah berasal dari kata auto yang berarti sendiri.
Penyandang autisma seakan – akan hidup di dunianya sendiri. Sehingga autisma
ini disebut dengan kelainan yang berada pada diri seseorang dimulai pada masa
kanak
–
kanak
(Kanner,2003:12).
Autisme merupakan ganguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang
sosial dan afek, komunikasi verbal (bahasa) dan non – verbal, imajinasi,
fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi. Ini suatu kelainan
dengan ciri perkembangan terlambat atau yang abnormal dari hubungan sosial dan
bahasa
Gejala penting lainnya adalah tidak suka dengan perubahan, prilaku motorik
yang “aneh”, kedekatan yang tidak biasa dengan benda tertentu dan reaksi
emosional yang mendadak. Kelainan ini terlihat sejak ia muda, sebelum usia tiga
tahun.
3.13
Tinjauan Autisme
3.13.1 Penyabab Autisma
Banyak pakar telah sepakat bahwa pada otak anak autisme dijumpai suatu
kelainan pada otaknya. Ada tiga lokasi di otak yang ternyata mengalami kalainan
66
neuro– anatomis. Apa sebabnya sampai timbul kelainan tersebut memang belum
dapat dipastikan. Banyak teori yang diajukan oleh para pakar, kekurangan nutrisi
dan oksigenasi, serta akibat polusi udara, air dan makanan. Diyakini bahwa
ganguan tersebut terjadi pada fase pembentukan organ – organ (organogenesis)
yaitu pada usia kehamilan antara 0 – 4 bulan. Organ otak sendiri baru terbentuk
pada usia kehamilan selama lima minggu.
Dari penelitian yang dilakukan oleh para pakar dari banyak negara
diketemukan beberapa fakta yaitu adanya kelainan anatomis pada lobus patietalis,
cerebellum dan sistem limbiknya. 43 % penyandang autisme mempunyai kelainan
pada lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak cuek terhadap
lingkungannya.
Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama pada lobus
ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat,
berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Juga didapatkan jumlah
sel Purkinye di otak kecil yang sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan
keseimbangan serotonin dan dopamine, akibatnya terjadi gangguan atau
kekacauan
lalu
–
lalang
impuls
di
otak.
Ditemukan pula kelainan yang khas di daerah sistem limbik yang disebut
hippocampus dan amygdale. Akibatnya terjadi gangguan fungsi kontrol terahadap
agresi dan emosi. Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali terlalu
agresif atau sangat pasif. Amygdala juga bertanggung jawab terhadap berbagai
rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, rasa
dan rasa takut. Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya
67
ingat. Terjadilah kesulitan penyimpanan informasi baru. Perilaku yang diulang –
ulang yang aneh dan hiperaktif juga disebabkan gangguan hippocampus.
Faktor genetika diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan
autisme, walaupun bukti – bukti yang konkrit masih sulit ditemukan. Memang
ditengarai adanya kelainan kromosom pada anak autisme, namun kelainan itu
tidak berada pada kromosom yang selalu sama. Penelitian masih terus dilakukan
sampai saat ini. Disamping faktor genetika ini, diperkirakan masih banyak faktor
pemicu yang berperan dalam timbulnya gejala autisme. Pada kehamilan trimester
pertama, yaitu 0 – 4 bulan, factor pemicu ini bisa terdiri dari : infeksi
(toksoplasmosis, rubella, candida, dsb) logam berat (Pb, Al, Hg dan Cd), zat adiif
(MSG, pasawat, pewarna, dsb), alergi berat, obat – obatan, jamu peluntur, muntah
– muntah hebat (hiperemesis) perdarahan berat, dll.
Pada proses kelahiran yang lama (partus lama) dimana terjadi gangguan
nutrisi dan oksigenasi pada janin, pemakaian forsep, dll dapat memicu terjadinya
austisme. Bahkan sesudah lahir (post partum) juga dapat terjadi pengaruh dari
berbagai pemicu, misalnya : infeksi ringan – berat pada bayi, imunisasi MMR dan
hepatitis B (mengenai 2 jenis imunisasi ini masih controversial), logam berat,
MSG, zat pewarna, zat pengawet, protein susu sapi (kasein) dan protein tepung
terigu (gluten). Tumbuhnya jamur yang berlebihan di susu anak sebagai akibat
dari pemakaian antibiotika yang berlebihan, dapat menyebabkan terjadinya
‘kebocoran’ usus (leaky – get syndrome) dan tidak sempurnanya pencernaan
kasein dan gluten. Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida.
68
Polipeptida yang timbul dari kedua protein tersebut terserap kedalam aliran darah
dan menimbulkan ‘efek morfin’ pada otak anak.
Masih ada sesuatu kelainan yang disebut sebagai Sensory Interpretation
Errors yang juga menyebabkan terjadinya gejala autisme. Rangsangan sensoris
yang berasal dari reseptor visual, auditori dan taktil, mengalami proses yang
kacau di otak anak, sebagai timbul persepsi yang semrawut, kacau atau
berlebihan, yang pada akhirnya menyebabkan kebingungan dan ketakutan pada
anak. Akibatnya anak menarik diri dari lingkungan yang “menakutkan” tersebut
(Handojo, 2003: 14-15).
3.13.2 Gejala Autisma
Gejala autisme dapat dibagi atas gejala gangguan perilaku dan gangguan
intelektual, juga dapat disebabkan oleh gangguan fisik.
1.
Gangguan perilaku
Gangguan perilaku yang mencolok ialah interaksi dan hubungan yang
abnormal terhadap lingkungan atau sosial. Anak mungkin telah
abnormal sejak lahir, kurang menunjukan respon tidak menikmati
sentuhan fisik dan menghindari kontak mata (pandangan). Pada usia 23 tahun anak tidak mencari orang tuanya untuk bermanja-manja,
kolokan. Dengan bertambahnya usia, abnormalitas lainnya muncul,
misalnya tidak bermain dengan anak lain. Pada usia remaja individu
ini mempunyai hubungan yang kurang pas, kurang sadar pada opini
orang lain atau perasaan orang lain.
69
Komunikasi verbal (bahasa), nonverbal ialah abnormal. Bila
kemampuan bicara berkembang terdapat abnormalisasi, seperti
echolalia (mengulang kata seperti burung beo) dan neologisme (“kata
baru”). Komprehensi dan ekspresi terlambat dan keterlambatan ini
sangat bermakna pada separuh individu yang autistik.
Komunikasi nonverbal juga terlihat, misalnya isyarat tangan
melalui gerak-gerik tubuh (gesture) kurang.
Bermain imajinatif (mengandai, misalnya ia sebagai pengemudi
mobil balap) atau pikiran imajinatif berkurang atau sedikit, hal ini
mungkin karena kurang berkembang pikiran simbolik pada individu
yang autistik. Perilaku motorik yang sering djumpai ialah anak yang
suka berputar-putar, jalan jinjit, atau bertepuk tangan.
Anak yang autis sering mempunyai ritual yang stereotip dan bila
diganggu menyebabkab distress dan kadang ia menentang. Mereka
sering terikat pada objek-objek yang “sepele” misalnya kaleng.
Letupan emosional sering terjadi, misalnya marah, gelisah, atau cemas.
Dan hal ini dapat dicetuskan oleh masalah yang kecil. Anak autis dapat
pula mempunyai masalah dengan tidur, buang air besar dan kecil.
2.
Gangguan Intelektual
Kecerdasan
sering
di
ukur
(eses
melalui
perkembangan
nonverbal,karena terdapat gangguan bahasa. Diadapatkan IQ dibawah
70 pada 70% penderita, dan dibawah 50 pada 50%. Namun sekitar 5%
mempunyai IQ diatas 100.
70
Anak autis sulit melakukan tugas yang melibatkan pemikiran simbolis
atau empati. Namun ada yang mempunyai kemampuan menonjol di
satu bidang, misalnya matematika atau kemampuan memori. Sekitar
seperlima anak autis berdeteriorasi bidang kognitifnya pada usia
remaja.
3.
Gangguan Fisik
Gangguan pada anak autis dapat dijumpai pada fungsi motorik kasar
dan halus. Gangguan ini biasanya lebih berat pada mereka dengan IQ
yang lebih rendah.
3.13.3 Karakterisrik Autisma
Anak-anak penyandang autisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
Perkembangan abnormal atau terganggu sebelum usia 3 tahun seperti yang
ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal pada paling sedikit
satu dari bidang-bidang berikut.
a) Komunikasi
1. Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada
2. Ekspresi wajah yang datar.
3. Tidak menggunakan bahasa/ isyarat tubuh.
4. Jarang memulai komunikasi.
5. Tidak meniru aksi atau suara.
6. Tampak tidak mengerti arti kata.
7. Kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
71
8. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang dengan bahasa yang tidak
dapat dimengerti orang lain.
9. Bicara tidak dipakai untuk alat komunikasi.
10. Senang meniru atau membeo (echoladia)
11. Bila senang meniru hafal benar kata-kata atau nyanyian
tersebut tanpa mengerti artinya.
12. Sebagian dari anak ini tidak berbicara (nonverbal) atau sedikit
berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa.
13. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa
yang ia inginkan , misalnya bila ingin meminta sesuatu.
b) Interaksi sosial
1. Penyandang autis lebih suka menyendiri.
2. Tidak ada atau sedikit kontak mata.
3. Menghindar untuk bertatapan.
4. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.
5. Bila diajak bermain ia tidak mau dan menjauh.
c) Respon terhadap rangsangan indera/ sensoris
1. Sangat sensitive terhadap sentuhan, seperti tidak suka
dipeluk.
2. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
3. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
4. Tidak sensitive terhadap rasa sakit dan rasa takut.
5. Kadang seperti tuli.
72
6. Panik terhadap suara-suara tertentu.
7. Bermain-main dengan cahaya dan pantulan.
8. Memainkan jari-jari di depan mata.
9. Tertarik pada pola/ tekstur/ bau tertentu.
d) Perilaku
1. Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan
(hipoaktif).
2. Memperlihatkan prilaku stimulus diri sendiri seperti bergoyang
goyang, mengepakan tangan seperti burung, berputar-putar,
mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/ berjalan bolak balik,
melakukan gerakan berulang- ulang.
3. Tidak suka pada perubahan.
4. Dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong.
e) Emosi
1.
Sering marah-marah tanpa alas an yang jelas, tertawa-tawa,
menangis tanpa alasan.
2.
Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau
tidak diberikan keinginannya.
3.
Kadang suka menyerang dan merusak.
4.
Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya
sendiri.
5.
Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang
lain.
73
3.13.4 Pengelompokan Autisma
Dr. Faisal Yatim mengelompokan autisme menjadi 3 kelompok yaitu :
a. Autisme Persepsi
Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme internal
karena kelainan sudah timbul sebelum lahir.
b. Autisme Reaksi
Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak – anak usia lebih besar (6
– 7 tahun) sebelum anak memasuki memasuki tahap berfikir logis.
Tetapi bisa juga terjadi sejak usia minggu – minggu pertama. Penderita
autisme reaktif ini bisa membuat gerakan – gerakan tertentu berulang –
ulang dan kadang – kadang disertai kejang – kejang.
c. Autisme yang timbul kemudian
Faisal Yatim pun memberikan tip – tip untuk mengelola penderita anak
autisme, berikut ini :
1. Menentukan terlebih dulu masalah penyimpangan perilaku dan
perilaku yang mana kira – kira yang perlu ditingkatkan.
2. Menentukan berapa seringnya penyimpangan perilaku tersebut.
3. Menentukan apa factor pencetus timbulnya penyimpangan
perilaku tersebut.
4. Menentukan perubahan mana yang perlu untuk meningkatkan
atau mengurangi penyimpangan perilaku.
74
5. Meyakinkan dan mengusahakan agar semua pihak yang terlibat
ikut peduli dengan program tersebut.
6. Memeriksa dan mengusahakan agar semua program yang
direncanakan bisa berjalan dengan konsisten.
7. Mengadakan penilaian program secara teratur dan jangan terlalu
mengharapkan hasilnya dalam waktu singkat.
8. Mengadakan modifikasi atau menghentikan program setelah
hasil yang anda harapkan tercapai, ingat, beberapa jenis kelainan
perilaku tidak mudah untuk diubah.
9. Salah seorang ahli manganjurkan 3 bulan setelah program
dilaksanakan baru dilakukan penilaian apakah berhasil atau
gagal.
10. Memberikan permainan rutin dan tetep merupakan jenis
pengobatan bagi anak autisma, yang bisa mengurangi kecemasan
dan meningkatkan rasa aman dalam dunianya.
11. Bergaul akrab dengan penderita, menuntun dalam berjalan,
misalnya
waktu
berekreasi
juga
dianjurkan
oleh
para
professional.
12. Pengobatan secara psikologi dan bermain termasuk yang
dianjurkan.
75
BAB IV
PEMBAHASAN
Bab ini merupakan laporan hasil penelitian tentang masalah yang telah
dirumuskan pada bab sebelumnya yaitu “Bagaimana komunikasi terapeutik
terapis dalam menangani anak-anak Autisma”. Bab ini juga merupakan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam identifikasi masalah. Sedangkan
data yang terhimpun dalam bab ini merupakan hasil wawancara serta observasi
yang dilakukan dengan terapis yang menangani anak-anak Autisma di Pusat
Terapi dan Remediasi Risantya Bandung.
Adapun susunan penulisan data hasil penelitian pada bab ini berdasarkan
urutan identifikasi masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu : (1)
Bagaimana komunikasi terapeutik terapis secara verbal dalam menangani anakanak autisma?, (2) Bagaimana komunikasi terapeutik terapis secara nonverbal
dalam menangani anak-anak Autisma?, (3) Bagaimana teknik komunikasi
terapeutik terapis dalam menangani anak-anak Autisma?
Pemaparan data hasil penelitian kemudian diinterpretasikan dengan cara
membandingkan data yang diperoleh di lapangan dengan teori yang ada.
76
4.1 Komunikasi Terapeutik Terapis Secara Verbal dalam Menangani anakanak Autisma
Pada umumnya anak Autis mempunyai keterbatasan dan gangguan dalam
berkomunikasi baik verbal maupun nonverbal. Gangguan komunikasi verbal
dimana anak bisa bicara tapi tidak digunakan untuk berkomunikasi. Contohnya
,membeo, ekolali dan berbicara dalam situasi yang salah. Sebaliknya, gangguan
komunikasi nonverbal nampak dari hal-hal sederhana seperti eye contact minim,
tidak memahami bahasa tubuh, sampai dengan terlambat bicara atau sama sekali
tidak bisa bicara.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:77 ) yang menyatakan bahwa
autisma adalah gangguan perkembangan anak yang berakibatkan tidak dapat
berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya
sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu.
Untuk mengatasi hal ini anak penyandang autis dibutuhkan terapi khusus agar
anak menjadi normal kembali. Biasanya anak autis harus terlabih dahulu melalui
terapi behavior untuk memperbaiki tingkah laku anak tersebut. Dalam terapi
behavior juga diajarkan kata-kata, benda,huruf, warna,bentuk, dll.
Komunikasi yang dilakukan terapis dalam menterapi anak autisma dapat
disebut dengan komunikasi terapeutik.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang
untuk tujuan terapi. Seorang penolong (helper) atau perawat dapat membantu
klien (pasien) mengatasai masalah yang dihadapinya melalui komunikasi.
(Suryani,2006:12)
77
Komunikasi terapeutik terapis dalam menangani anak-anak autisma dapat
berupa komunikasi verbal dan nonverbal. Potter dan Perry dalam Arwani
(2002:20) mengidentifikasi bahwa “Komunikasi verbal sangat dipengaruhi
beberapa faktor yaitu denotative and connotativee meaning (kemaknaan),
vocabulary (pembendaharaan kata), clarity dan brevity (kejelasan dan
keringkasan), dan timing ang relavance ( waktu dan relevansi)” .
4.1.1 Penyampaian Pesan Verbal Melalui Kemaknaan
Kemaknaan dari kata, kalimat, atau bahasa yang digunakan seseorang
menjadi hal yang sangat relevan untuk dikaji dan dimengerti oleh orang yang
sedang melakukan proses komunikasi verbal. Sebab bisa jadi satu kata akan
mengandung beribu makna. Kemaknaan kata dapat berupa kiasan (connotative
meaning) atau bisa juga berbentuk makna sesungguhnya (denotative meaning).
(Arwani, 2002 : 20 )
Pada kenyataan sehari-hari arti kiasan (connotative meaning) sering kali
membuat proses komunikasi kita terganggu bahkan tidak jarang menimbulkan
persepsi berbeda yang berakhir dengan konflik di antara pelaku komunikasi.
Kemaknaan kiasan bisa diwujudkan dengan kata yang memang berbeda dengan
arti sesungguhnya. Hanya karena tidak tidak biasa dilakukan atau dilafalkan
dengan intonasi yang bernada “merendahkan” atau “mengejek” ditambah dengan
adanya perbedaan persepsi pada lawan bicaranya tidak jarang menimbulkan
perbedaan persepsi dari makna sebenarnya yang dimaksudkan oleh pembicaranya.
Pada anak autis, kemaknaan juga digunakan oleh terapis dalam berkomunikasi
secara verbal.
Menurut Ibu Rini selaku Leader di Risantya mengatakan bahwa
“Kemaknaan yang diberikan terapis kepada anak autis adalah kemaknaan yang
78
tidak terlalu rumit atau sulit pengertiannya. Karena anak autis hanya mengerti
beberapa kata yang sudah diajarkan. Seperti kemaknaan connotative tidak banyak
digunakan oleh terapis, karena anak autis itu sulit dalam memahami sesuatu yang
sifatnya abstrak, biasanya kita terlebih dahulu memperkenalkan
nama-nama
yang sifatnya konkret dan dapat disentuh.
Pada umumnya anak-anak autis memiliki kemampuan bidang visual.
Mereka lebih mudah untuk mengingat dan diperlihatkan gambar atau tulisan dari
benda-benda, kejadian, maupun konsep-konsep abstrak. Dengan melihat gambar
sehingga anak autis akan membentuk gambaran mental atau image yang
permanen dalam benaknya. Apabila kita berkomunikasi dengan anak autis sama
saja dengan mengajarkan sesuatu kepadanya.
Sebaliknya, bila materi yang dipelajarinya hanya diucapkan saja akan
mudah melupakannya karena daya ingat mereka amat terbatas karena itu, dalam
melakukan terapi menggunakan sebanyak mungkin gambar-gambar dan alat bantu
visual lain untuk membantu daya ingat. Anak-anak yang tergolong autis verbal
pun tetap membutuhkan alat bantu visual,”katanya.5
Kemaknaan denotatif yang diberikan terapis adalah
kemaknaan yang
sesungguhnya, tetapi tetap menggunakan gambar dan diberi penjelasan akan arti
dari gambar tersebut. Misalkan kemaknaan dari kata dokter, rumah sakit, obat,
guru, sekolah, papan tulis, dan sebagainya. Tidak hanya kemaknaan denotatif dan
konotatif saja yang disampaikan, tapi dapat juga kemaknaan yang lain. Seperti
5
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 Januari 2007
di Risantya
79
sinonim, atau hubungan antara kata-kata, misalkan Aku = Saya , Sedih = Susah ,
Hujan – Air , Siang – Matahari, Laut – Kapal, dan lain-lain.
Hasil akhir dari kemaknaan yang digunakan terapis kepada anak-anak
autisma membuahkan hasil yang baik untuk perkembangan mereka dalam
komunikasi verbal dan pengetahuan.
4.1.2 Penyampai Pesan Verbal Melalui Pembendaharaan Kata
Pembendaharaan kata yang dipunyai seseorang juga akan berpengaruh
terhadap jalannya komunikasi secara verbal. Bisa dikatakan bahwa komunikasi
menjadi tidak berhasil apabila penerima tidak mampu mengartikan kata-kata atau
kalimat pengirim. Idealnya, antara pengirim dan penerima mempunyai kapasitas
kemampuan (usia, pendidikan, budaya, ras, negara, agama, politik, sosial, fisik,
psikologis) yang relatif sama. Sehingga kemungkinan ketidakpahaman dan
kesalahpahaman arti kata atau kalimat dapat dikurangi sekecil mungkin. Tetapi,
pada kenyataannya komunikasi tidak selalu berlangsung pada tatanan dan
kapasitas yang sepadan. Misalnya komunikasi antara orang tua dan anak,
komunikasi antara orang Indonesia dan orang asing, antara orang tuli dan orang
normal. Walaupun kondisi tersebut tidak selamanya menimbulkan gangguan,
namun paling tidak butuh waktu yang relatif lama untuk membuat komunikasi
menjadi sesuatu yang bertujuan untuk mencapai sebuah kebersamaan. (Arwani,
2002 : 22-23)
Pembendaharaan kata yang diberikan terapis pada anak autis dalam terapi
behavior adalah mengenai kata benda, kata sifat, kata kerja, profesi seseorang,
warna, bentuk, dan lain-lain. Hal pertama yang dilakukan terapis adalah membuat
kontak mata dengan anak, kemudian berikan anak gambar-gambar atau benda
seperti bola, pensil, gambar polisi, dokter, petani, guru, gambar orang berlari,
duduk, melompat, berputar, lempar, simpan, makan, minum, mandi dan lain-lain.
Terapis Ibu Rini mengatakan bahwa ”Anak-anak autis harus diajarkan
bahasa verbal dalam hal kemaknaan kata, hal ini ditujukan untuk mengembangkan
pengetahuan dan penggunaan kata-kata kerja, benda, sifat,dll dan juga untuk
80
meningkatkan kemampuan memakai bahasa sebagai ungkapan perasaan. Sehingga
apabila anak di instruksi secara lisan oleh kita dia bisa melaksanakannya, dan
apabila diajak berkomunikasi dengan memberikan pertanyaan maka anak bisa
menjawabnya.”
Adapun cara atau tahap-tahap dimana terapis bisa memberikan
pembendaharaan kata kepada anak autis. Misalkan memberikan pembendaharaan
kata kerja, pertama-tama siapkan gambar-gambar orang yang sedang melakukan
perbuatan sehari-hari. Kemudian duduklah berhadapan dengan anak, menghadap
meja. Tunjukan padanya gambar “orang berlari”, dan sebutkan kata kerjanya
dengan jelas “Berlari”. Kemudian tanyakan padanya “orang ini sedang apa?”
Kalau anak menjawab benar, berikan imbalan. Bila tidak merespon atau jawaban
salah, katakan “Berlari” dan minta anak menirukannya. Kemudian berikan
imbalan. Kata kerja yang dapat diajarkan misalnya juga duduk, makan, minum,
tidur, melompat, merangkak, menulis, membaca, dsb.
Apabila anak sudah menguasai satu persatu, lakukan secara bergantian
secara acak, untuk meyakinkan kita bahwa anak benar-benar mengerti arti katakata kerja itu. Kemudian lakukan generalisasi pada kenyataan nyata, misalnya ada
orang berjalan di jalan, tanyakan “Orang itu sedang apa?”, dst. Selain generalisasi
objeknya, lakukan juga generalisasi instruksinya, lingkunganya dan subjeknya.6
Adapun pemberian pembendaharaan kata kepada anak autis untuk
memberi salam dan selamat jalan. Biasanya hal yang abstrak seperti ini yang sulit
diberikan kepada anak autis. Tapi pembendaharaan kata salam dan selamat jalan
6
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Asih selaku terapis pada tanggal 1 Februari 2007 di
Risantya
81
adalah hal yang penting untuk pertama kali diberikan kepada anak autis,
tujuannya adalah untuk mengembangkan pembendaharaan kata sosial yang tepat,
agar anak dapat memberi salam atau mengatakan “Hai” dan “Bye-bye” sendiri
pada saat yang tepat dan juga untuk mengawali anak berinteraksi sosial dengan
yang lain.
Cara untuk memberikan pembendaharaan kata salam dan selamat jalan
adalah setiap kali kita bertemu anaak di suatu ruangan, katakan “Hai........(nama
anak)” sambil mengangkat tangan kita atau “Apa kabar......(nama anak)?”
kemudian ajarkan anak dengan jawaban “Baik”. Adapun ucapan salam yang
diajarkan terapis pada anak untuk saat memulai terapi di kelas seperti “Selamat
pagi Bu Rini”. Kemudian anak mencium tangan terapis.
Kadang jawaban dari anak autis saat ditanya oleh terapisnya tidak sesuai
dengan kondisi yang sedang dialaminya, misalnya dia sedang sedih kemudian
ditanya oleh terapis “Apa kabar Tufi?”, lalu anak menjawab “Baik”, kemudian
terapis memberitahu kepada anak “Salah”, “Kamu sedang sedih”. Hal ini kadang
sering terjadi karena anak autis sudah hapal benar jawaban apabila ditanya “Apa
kabar”. Dan tidak mempedulikan kondisi yang sedang dialami.
4.1.3 Penyampaian Pesan Verbal Melalui Keringkasan dan Kejelasan
Pesan
Komunikasi dikatakan efektif jika disampaikan dengan cara yang
sederhana, ringkas, dan padat, dan langsung pada aspek yang dibicarakan.
Semakin singkat kata yang digunakan, semakin sedikit kebingungan yang timbul.
Karena veriabel dalam diri seseorang (interpersonal veriables) juga terlihat dalam
komunikasi, akibatnya komunikasi sering tidak memberikan arti yang tepat. Kata
82
membingungkan seperti “kau mengerti” harus ditambah sedikit penjelasan agar
pesan yang disampaikan menjadi jelas. (Arwani, 2002 : 27-28)
Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek, dan langsung. Makin
sedikit kata-kata yang digunakan, semakin kecil kemungkinan terjadinya
kerancuan. Kejelasan dapat di ucapkan dengan berbicara secara lambat dan
mengucapkan kata dengan jelas. Pengunaan contoh bisa membuat penjelasan
lebih mudah dipahami, demikian juga mengulang bagian yang penting dari pesan
yang disampaikan.
Dalam komunikasi terapeutik verbal kepada anak autisma, terapis harus
berbicara secara ringkas dan jelas. Karena, pada umumnya anak autis tidak
mudah untuk mencerna kalimat yang panjang dan rumit, mereka harus diberikan
kata-kata atau kalimat yang singkat dan jelas. Terapis Ibu Rini juga menjelaskan
bahwa “Biasanya anak-anak autis itu akan mengerti perintah dari kita apabila kita
menggunakan kalimat yang singkat, kalimat yang pernah diajarkan sebelumnya.
Memang pada awalnya untuk mengajarkan kata atau kalimat pada anak autis ada
tahap-tahapnya. Pertama-tama anak diperkenalkan “Bola” setelah anak mengerti
kemudian diajarkan kata “Ambil” sambil diperagakan cara mengambil. Setelah
berulang-ulang anak diajarkan “Bola” dan “Ambil” maka kedua kata tersebut
digabungkan menjadi “Ambil bola”. Kemudian terapis dapat memberikan
perintah kepada anak, dengan perintah “Ambil bola”, apabila anak melaksanakan
apa yang diperintahkan dan benar maka anak sudah mengerti.
Keringkasan pesan yang disampaikan terapis kepada anak autisma dengan
dua suku kata selanjutnya pemberian kalimat dapat bertambah menjadi tiga suku
83
kata dan menjadi kalimat yang kompleks. Hal ini dilakukan agar anak mudah
mengerti apa yang kita sampaikan.”7
Keringkasan dan kejelasan pesan terapis juga dipergunakan pada saat
memberikan instruksi kepada anak. Hal ini dapat dilakukan apabila anak autis
sudah dapat verbal. Kejelasan pesan yang disampaikan terapis kepada anak
autisma diucapkan dengan lembut dan lambat. Terapis juga menyampaikan pesan
dengan jelas apabila memberi instruksi kepada anak, meskipun anak autis
akhirnya salah pengertian juga. Misalnya dalam contoh berikut ini, Ibu Rini
berkata,”Tolong ke Ibu Tuti minta kertas” . Kemudian anak melaksanakan
instruksi tersebut dan berlari ke ruang administrasi, tetapi anak tersebut diam
dahulu tidak langsung meminta kepada Ibu Tuti. Barulah Ibu Tuti bertanya,
“Kamu mau apa kesini?”, kemudian anak menjawab “Aku mau ambil kertas”, dan
Ibu Tuti pun memberikan kertas kepada anak tersebut. Menurut terapis Ibu Rini,
“biasanya anak autis itu lebih memahami kata “Ambil daripada kata “Meminta”,
sehingga apabila kita menyuruhnya untuk meminta dia akan mengatakan “Ambil”
sesuatu.
Keringkasan dan kejelasan pesan yang diberikan terapis kepada anak-anak
autisma adalah suatu hal yang harus diperhatikan juga penggunaannya dalam
komunikasi , sehingga komunikasi yang terjadi antara terapis dengan anak autis
akan berjalan dengan lancar.
7
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku Leader terapis pada tanggal 30 Januari
2007 di Risantya
84
4.2 Komunikasi Terapeutik Nonverbal Terapis Dalam Menangani AnakAnak Autisma
Selain gangguan verbal yang dialami anak-anak autisma, mereka juga
mengalami gangguan nonverbal. Gangguan nonverbal yang dialami anak autisma
adalah minimnya eye contact (kontak mata), tidak memahami bahasa tubuh, dan
ekspresi wajah kurang dalam mengungkapkan emosi. Untuk menghilangkan
gangguan nonverbal anak autis, terapis berusaha untuk melakukan komunikasi
terapeutik secara nonverbal dalam terapi behavior.
Pada komunikasi terapeutik nonverbal perawat (terapis) harus benar-benar
memahami apakah pasiennya (anak autis) mengalami apa yang disebut dengan
“communicating two different message”. Artinya, satu sisi lain menunjukan
gejala adanya ketidaknyamanan. Komunikasi nonverbal sering berlawanan
dengan apa yang di verbalkan oleh pasien.
Dalam komunikasi terapeutik pesan nonverbal dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu; penampilan, postur dan cara berjalan, gerakan mata, ekspresi muka,
sentuhan, isyarat tangan, kesediaan ruang dan jarak.
(Arwani,2003:35-45).
4.2.1 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Kontak Mata
Pada komunikasi terapeutik kontak mata juga memberikan arti yang cukup
signifikan dalam komunikasi nonverbal. Gerakan bola mata ke arah tertentu akan
bisa memberikan arti tertentu pula.(Arwani, 2002 : 39)
Anak autis mengalami gangguan kontak mata yang minim, mereka tidak
akan pernah untuk melakukan kontak mata dengan orang lain. Sehingga hal ini
85
perlu diperbaiki untuk anak autis, karena bagi anak autis kontak mata adalah hal
yang paling mendasar untuk mereka bisa dapat berkomunikasi atau berinteraksi
dengan orang lain. Apabila anak sudah dapat berkontak mata dengan orang lain
berarti ada suatu ketertarikan dari dirinya untuk melakukan interaksi atau adanya
perhatian dari anak tersebut. Setelah terapis dapat menarik perhatian anak autis,
selanjutnya terapis dapat memberikan materi- materi dalam terapi behavior.
Terapis Ibu Rini menjelaskan bahwa “Untuk melakukan kontak mata
dengan anak autis tidaklah mudah. Ada cara untuk dapat melakukan kontak mata
dengan mereka, pertama-tama terapis harus duduk berhadapan dengan anak yang
dihalangi oleh satu meja. Kemudian dekatkan mata kita dengan mata anak
tersebut sambil memanggil namanya. Apabila mata anak masih melihat kemanamana, terapis menggunakan bantuan telapak tangan untuk menutupi sisi-sisi mata
anak. Atau bisa juga dengan bantuan benda, misalkan terapis memanggil nama
anak terlebih dahulu, “Faris...”! kemudian dekatkan benda kemata anak tersebut
dan arahkan kepada mata kita, sehingga akhirnya dia bisa melakukan kontak mata
dengan kita.”8
Terapis Ibu Asih juga menambahkan bahwa tujuan dilakukannya kontak
mata untuk anak autis, agar anak bisa melakukan kontak komunikasi dengan
orang lain dan dapat memperhatikan apa yang kita instruksikan. Biasanya anak
autis yang pemula melakukan kontak mata selama satu detik itu sudah satu hal
yang bagus sekali. Terapis juga harus memperhatikan kualitas dari kontak mata
anak tersebut, karena banyak juga anak-anak autis yang bisa lama melakukan
8
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leared terapis pada tanggal 30 Januari 2007
di Risantya.
86
kontak mata tetapi kualitasnya sangat rendah. Ia memandang mata orang lain
dihadapannya namun tidak bisa membangun kontak secara emosional.
Ada juga anak yang ketika dipanggil ia bisa melakukan kontak mata, tapi
ketika kita mengajaknya bercakap-cakap dia belum tentu bisa melakukan kontak
mata.
Kontak mata adalah hal yang terpenting dalam komunikasi verbal terapis
dengan anak autis, sehingga penggunaanya harus dilakukan setiap akan memulai
komunikasi dengan anak autis.
4.2.2 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Ekspresi Wajah
Ekspresi raut wajah sebagai faktor yang mempengaruhi jalannya
komunikasi nonverbal merupakan aspek penting dan paling sering menjadi
perhatian dalam komunikasi. Sebagai bagian tubuh paling ekspresif, raut wajah
sering memberikan tanda paling awal dalam menginterpretasikan pesan yang
disampaikan.
Menurut Knapp dalam Arwani (2003: 38) menunjukan bahwa dari raut
wajah dapat dilihat paling tidak enam ekspresi utama emosi : heran (suprise),
takut (fear), marah, senang (happiness), sedih (sadness), dan benci atau muak
(disgust).
Dalam komunikasi terapeutik ekspresi wajah menjadi dasar dalam
berkomunikasi interpersonal antara perawat dengan pasien. tapi terkadang
ekspresi wajah susah untuk dinilai. Wajah mungkin menampakan emosi yang
87
sebenarnya atau sebaliknya menunjukan ekspresi tidak sesuai dengan emosi yang
dirasakan, atau bahkan sedang mengekspresikan adanya suatu tekanan.
Ekspresi wajah terapis dalam menghadapi anak-anak autis pada saat terapi
behaviour di ruang kelas biasanya menunjukan ekspresi wajah yang serius dan
terlihat sedikit galak, tidak tersenyum dan tidak tertawa atau menertawakan anak
apabila anak melakukan kesalahan. Walau terkadang memang bagi orang awam
seperti saya yang bukan terapis, melihat kesalahan yang dilakukan anak autis itu
merupakan suatu hal yang lucu. Ekspresi wajah yang ditampilkan terapis seperti
itu menandakan bahwa terapis benar-benar serius dalam menangani anak-anak
autis dalam terapi behaviour.
Umumnya mayoritas penderita autis memiliki kesulitan untuk membaca
ekspresi wajah dan mentafsirkan bahasa tubuh atau perilaku dengan kesan –kesan
tertentu. Terapis Ibu Rini menjelaskan “ Karena anak autis itu memang
mempunyai kesulitan untuk membaca ekspresi wajah dan juga tidak bisa
mengekspresikan wajah dirinya sendiri, maka terapis dalam terapi behaviour
mengajarkan anak autis ekspresi wajah dengan memperkenalkannya melalui
media gambar, seperti gambar orang sedang marah, menangis, tertawa, senang,
dan takut. Setelah anak telah mengenal gambar-gambar ekspresi wajah tersebut,
terapis memberikan instruksi kepada anak supaya anak menirukan ekspresi wajah
yang ada di gambar sambil melihat diri sendiri di cermin.”9
Ada juga ekspresi wajah yang ditampilkan terapis pada saat anak tidak
mau patuh pada instruksi, terapis menampakan ekspresi wajah marah, dengan
9
Beradasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 Januari
2007 di Risantya
88
diam dan memalingkan wajah. Sehingga anak tahu dan merasa bahwa terapisnya
sedang benar-benar marah (untuk anak autis yang belum verbal). Ada pula anak
autis yang menarik-narik terapisnya sambil berkata “Ibu akau mau belajar.”
(untuk anak autis yang verbal).
Ekspresi wajah yang ditampilkan terapis dalam berkomunikasi nonverbal
dengan anak autis memang menampilkan ekspresi yang sebenarnya, ekspresi
wajah yang sesuai dengan verbalnya.
4.2.3 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Isyarat Tangan
Perasaan hormat, dengan lambaian tangan atau acungan jempol
merupakan bagian dari isyarat tangan. Di dalam pemberian isyarat, gerakan
tangan dapat pula diartikan sebuah usaha, pemberian tanda baca, klarifikasi dari
kata yang seharusnya diucapkan. Isyarat sendiri mungkin menampakan arti
khusus atau membuat pesan dalam hubungannya dengan tanda dari komunikasi
jenis lain. (Arwani, 2002 : 40)
Dalam komunikasi terapeutik isyarat tanggan juga sangat diperhatikan
oleh para terapis, karena isyarat tangan biasanya memberikan suatu arti. Sehingga
terapis harus benar-benar bisa memahami arti dari sebuah isyarat tanggan. Hal ini
bisa dilakukan malalui pengalaman yang dapat diperoleh selama berinteraksi
dengan orang lain termasuk pasien.
Penyampaian pesan nonverbal terapis dalam menggunakan isyarat tangan
dengan anak autis biasanya dilakukan pada saat tertentu saja dan juga terapis
jarang menggunakan isyarat tangan untuk mengartikan sesuatu yang khusus dan
rumit karena memang anak autis sulit untuk membaca isyarat dengan kesan-kesan
tertentu.
89
Hal ini juga diakui oleh terapis Ibu Rini bahwa “ Para terapis disini
memang jarang menggunakan isyarat tangan yang mengartikan sesuatu yang
tidak dimengerti olah anak. Biasanya kita menggunakan isyarat tangan hanya
pada saat terapi behaviour. Apabila anak melakukan hal yang benar dengan
acungan jempol, cium tangan atau salam saat bertemu dan berpisah, dan
menunjuk benda pada saat memberi instruksi. Semua itu dilakukan seiring dengan
verbalnya juga, agar anak benar-benar mengerti.”10
Isyarat tangan yang diberikan terapis kepada anak autisma ialah berupa
acungan jempol, hal ini dilakukan apabila anak pandai atau benar dalam
mengerjakan apa yang di instruksikan oleh terapis. Adapula lambaian tangan atau
cium tangan pada saat anak akan berpisah dengan terapis. Kemudian pada saat
terapis menginstruksi anak untuk mengambil sesuatu sambil menunjuk benda
tersebut dengan jari telunjuk.
Isyarat tangan yang
dilakukan terapis kepada anak-anak autisma,
sebelumnya terapis mengajarkannya terlebih dahulu yang kemudian di
instruksikan kepada anak untuk menirunya, sehingga anak akan tahu benar arti
dari isyarat tangan apabila terapis melakukannya.
4.2.4 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Sentuhan
Sentuhan juga merupakan faktor lain yang bisa memengaruhi jalannya
komunikasi nonverbal. Sentuhan bersifat sangat pribadi, sehingga sentuhan pada
umumnya dilakukan di antara orang yang memang benar-benar mempunyai
10
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 Januari
2007 di Risantya
90
hubungan dekat. Sentuhan tangan lebih bersifat spontan dibandingkan dengan
komunikasi verbal, pada umumnya kelihatan lebih nyata. Beragam pesan dapat
disampaikan melalui sentuhan tangan , seperti rasa kasih sayang, dukungan emosi,
dorongan atau motivasi, penawaran, dan perhatian pribadi.
Menurut Stuart,G.W., sentuhan merupakan alat komunikasi yang sangat
kuat. Sentuhan juga dapat menimbulkan reaksi positif atau negatif,
bergantung pada orang yang terlibat dan lingkungan disekeliling mereka,
sentuhan penting dilakukan pada saat klien merasa sangat sedih. Sentuhan
pada situasi ini mempunyai arti empati. Sentuhan juga dapat menunjukan
arti “Saya peduli”. ( Suryani, 2005: 49)
Akan tetapi pada pelaksanaannya sangat perlu untuk memahami siapa,
kapan, dan mengapa sentuhan, dilakukan karena komunikasi nonverbal ini
mempunyai efek yang berbeda pada setiap individu. Sentuhan akan memberikan
manfaat jika penggunaannya didasarkan atas aspek terapi.
Sentuhan yang diberikan terapis pada anak autis dalam komunikasi
terapeutik adalah dengan memberikan pelukan, usapan di kepala atau pada saat
terapi fisioterapi. Sentuhan pelukan yang diberikan terapis kepada anak autis
hanya untuk pada saat tertentu saja biasanya pada saat anak sedang tantrum, yaitu
agresif pada orang lain atau self-abuse atau menyakiti diri sendiri.
Dalam
keadaan perilaku yang parah ini, biasanya terapis melakukan pelukan dengan cara
berikut:
-
Duduk di lantai dengan bersandar ke tembok
-
Meletakan anak di antara kedua paha terapis, hadapkan kepala anak ke
depan (jangan menghadap ke terapis, supaya tidak di ggit). Waspada
terhadap benturan kepala anak pada dagu terapis.
91
-
Menyilangkan kedua lengan melalui bahu anak dan memegang kedua
tangan anak secara menyilang. Kepala anak berada di antara kedua lengan
terapis.
-
Menahan kedua kaki anak dengan kaki terapis.
-
Memberikan pelukan yang menentramkan (jangan emosional dan gugup)
dan tetap erat tanpa menyakitkan anak.
-
Menyuarakan kata-kata yang lembut dan menenangkan.
-
Terapis merasakan rontaan anak, kalau sudah berhenti diberikanlah suatu
pujian sambil tetap dipegang dengan genggaman yang agak longgar tapi
waspada. Apabila masih terjadi rontaan, diulangi dari awal, sampai anak
benar-benar tenang.
Pelukan yang diberikan bertujuan untuk menenangkan anak yang tantrum dan
juga memberikan rasa nyaman, tetapi ada pula anak yang tidak suka dengan
sentuhan pelukan. Terapis Ibu Septi menjelaskan bahwa “ Tidak semua anak autis
itu suka akan pelukan yang sering dilakukan oleh terapis, ada juga yang kita peluk
malah menangis tapi ada juga yang senang, mereka akan lari menghampiri kita
dan ingin dipeluk. Dari kejadian tersebut, sehingga kita harus tahu benar
bagaimana menghadapi anak yang suka dipeluk dan yang tidak suka dengan
pelukan .”11
Cara terapis dalam menghadapi anak autis yang tidak suka akan pelukan
adalah dengan cara tetap memberikan pelukan itu kepada anak autis. Karena
apabila anak tidak suka dipeluk terapis harus mengajarkanya agar anak autis
11
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Septi selaku terapis behaviour pada tanggal 6 Februari
2007 di Risantya
92
senang dipeluk. Sehingga penolakan sentuhan pelukan anak autis berangsurangsur akan menghilang
Usapan di kepala yang diberikan terapis kepada anak terjadi apabila anak
pintar dalam melaksanakan perintah dari terapis.
4.2.5 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Kesediaan Ruang Dan Jarak
Kewilayahan dimaknakan sebagai upaya untuk meningkatkan, memelilhara,
dan mempertahankan hak eksklusif seseorang untuk sebuah wilayah pada ruang
tertentu. Selama interaksi sosial, orang secara sadar akan menjaga jarak diantara
mereka. Jarak dalam berkomunikasi sangat penting diperhatikan oleh perawat
karena akan memengaruhi kelancaran komunikasi. Jarak yang terlalu jauh
menyebabkan perawat sulit untuk berespons secara tepat karena perawat tidak
bisa melakukan active listening.
Menurut Stuart G.W (1998) dalam Suryani (2005:49) Jarak untuk
berhubungan intim terapeutik adalah 0 – 45 cm, sedangkan jarak
pribadi adalah 45 – 120 cm. Berdasarkan pengalaman jarak yang
paling nyaman bagi perawat dan klien dalam berinteraksi adalah
antara 30 – 40 cm, akan tetapi pada pasien – pasien dengan
perilaku kekerasan, jarak yang bisa digunakan antara 100 – 120
cm.
Ruang yang diberikan terapis dalam komunikasi terapeutik dengan anak autis
yaitu berada di ruangan kelas dengan ukuran ruangan 3x 2 untuk terapi behaviour.
Di dalam ruang kelas tersedia satu meja, dua kursi, cermin, papan whiteboard dan
mainan peraga. Ruangan diberi nuansa warna biru dan kaca-kaca jendela ditutupi
dengan tirai atau kertas bergambar hal ini dimaksudkan agar orang tua anak tidak
93
bisa melihat pada saat anak sedang terapi yang dapat menggangu konsentrasi
anak.
Selain di dalam ruangan kelas untuk terapi behaviour, ada juga ruang yang
disediakan yaitu ruang bermain outdoor dan ruang bermain indoor untuk terapi
fisioterapi. Hal ini dimaksudkan agar anak dapat berlatih dalam penguatan otototot yang lemah, dimana mereka dilatih berdiri, berguling-guling, berjalan,
merangkak, naik dan turun pada alat peraga.
Jarak yang diberikan terapis dalam komunikasi terapeutik dengan anak
autisma adalah jarak intim terapeutik 0-45 cm dan jarak pribadi 55-70 cm. Jarak
intim dilakukan apabila anak sedang dalam terapi fisioterapi, terapis sangat dekat
sekali dengan anak dan dapat melakukan sentuhan fisioterapi atau pelukan pada
saat anak sedang tantrum sehinggga anak juga merasakan kehadiran dan sentuhan
dari terapis. Jarak pribadi dilakukan apabila anak sedang dalam terapi behavior di
dalam ruangan kelas. Untuk awal terapi behaviour anak diberi jarak satu tangan
terapis kira-kira 70 cm dengan duduk berhadapan tanpa meja, hal ini dilakukan
untuk menterapi anak belajar duduk tenang. Apabila anak sudah dapat duduk
tenang anak dapat memulai materi selanjutnya, terapis dan anak duduk
berhadapan dengan dibatasi satu meja kira-kira 55 cm.
Terapis Ibu Rini menjelaskan bahwa “Untuk melakukan terapi pada anak autis
dibutuhkan ruang dan jarak yang ditentukan, hal ini dimaksudkan agar anak autis
benar-benar dapat konsentrasi dalam menerima materi dari terapi selain itu juga
menjadikan anak disiplin. Dalam ruang yang tidak terlalu besar dan jarak yang
94
dekat dimaksudkan agar anak dan terapis dapat merasakan kehadiran satu sama
lain, dan juga terapis dapat menjangkau anak dengan mudah.”12
4.3 Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik
Dalam komunikasi terapeutik terkadang perawat sangat sulit untuk
menanggapi respon pasien yang mempunyai masalah yang berbeda-beda
sehinggga perawat harus mampu peka dan mampu menanggapi respon pasien.
Dalam menanggapi respon yang disampaikan klien, perawat dapat
menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik. Disini terapis dalam
menangani anak-anak autisma juga menggunakan teknik-teknik komunikasi
terapeutik untuk menanggapi respon anak-anak tersebut. Dari sekian banyak
teknik komunikasi terapeutik yang ada , hanya beberapa teknik yang terapis
gunakan yang sesuai dengan kebutuhan dalam terapi. Teknik- teknik komunikasi
terapeutik terapis yang digunakan yaitu; mendengar secara aktif, pertayaan
terbuka, membagi persepsi, memberi informasi, dan memberi pujian/penghargaan
dan diam.
4.3.1 Teknik Komunikasi Terapeutik Mendengar Secara Aktif
Mendengarkan (listening) merupakan dasar utama dalam komunikasi
terapeutik.. Mendengarkan adalah proses aktif dan penerimaan informasi serta
penelaahan reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima. Nilai terapeutik dari
12
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 januari
2007 di Risantya
95
mendengarkan yaitu mengkomunikasikan kepada klien tentang minat dan
penerimaan perawat secara nonverbal .
Selama mendengarkan, perawat harus mengikuti apa yang dibicarakan
klien dengan penuh perhatian. Perawat memberikan tanggapan pada saat yang
tepat, dan tidak memotong pembicaraan klien
Mendengarkan akan menciptakan situasi interpersonal dari keterlibatan
maksimal yang dianggap aman dan membuat klien merasa bebas. (Nurjanah,
2001: 54)
Mendengar secara aktif yang dilakukan terapis dalam menangani anakanak autis adalah pada saat terapi behaviour. Dimana ketika anak sedang
menceritakan sesuatu atau menjawab pertanyaan dari terapis. Caranya adalah
dengan badan menghadap ke anak dan memperhatikan sambil mendengarkan apa
yang anak bicarakan, sambil sekali-kali terapis mengatakan “Terus...” atau
“Mmm....” sehingga anak akan terpancing untuk terus bercerita. Menurut Ibu Rini
terapis memang dituntut untuk bisa menjadi pendengar yang aktif, agar terapis
mengetahui dan mengukur kemampuan anak dalam menerima materi yang
diajarkan atau daya imajinasi anak dalam bercerita. Dan juga anak akan
merasakan bahwa apa yang ia bicarakan atau ungkapkan didengarkan oleh orang
lain (terapis) sehingga mereka juga akan merasa dihargai.13
Teknik mendengar secara aktif merupakan teknik yang selalu digunakan
oleh terapis dalam menangani anak-anak autis baik itu didalam terapi maupun di
luar terapi. Hasil dari penggunaan teknik tersebut membuat anak autis menjadi
13
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 Januari
2007 di Risantya
96
lebih terbuka dan berani dalam bercerita, sehingga hal ini membuat komunikasi
semakin lancar.
4.3.2 Teknik Komunikasi Terapeutik Pertanyaan Terbuka
Antai- Otong (1995) mengatakan bahwa, “ Pernyataan terbuka (open
queation) digunakan apabila perawat membutuhkan jawaban yang banyak
dari klien. Dengan pertanyaan terbuka, perawat akan mampu mendorong
klien mengekspresikan dirinya.” (Suryani, 2005:66).
Pertanyaan terbuka bisa diawali dengan kata “apa” dan “bagaimana”.
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban “Ya” dan
“Mungkin” tetapi pertanyaan memerlukan jawaban yang luas, sehinga pasien
dapat mengemukakan masalahnya, dengan kata-kata sendiri, atau dapat
memberikan informasi yang diperlukan. Sedangkan pertanyaan tertutup (closed
ended queation) digunakan ketika perawat membutuhkan jawaban yang singkat.
Stuart & Sundeen, (1995) dalam Nurjanah (2001:60) mengatakan bahwa
“Kegiatan pertanyaan terbuka akan bernilai terapeutik apabila klien menunjukan
penerimaan dan nilai inisiatif klien dan menjadi non terapeutik apabila perawat
mendominasi interaksi dan menolak respon klien.”
Pada terapi anak-anak autis, teknik pertanyaan terbuka sering dilakukan
oleh terapis. Teknik ini dilakukan pada saat terapi behaviour di dalam kelas atau
pada saat percakapan biasa di luar kelas. Cara terapis melakukan teknik
pertanyaan terbuka kepada anak autis misalkan dengan contoh seperti ini;
Terapis : “Tufi sekarang mau kemana?”
Tufi
: “Aku mau ke toko Griya sama mama”.
97
Terapis : “Memangnya di Griya Tufi mau beli apa?”
Tufi
: “Aku mau beli kentang, kentang aku sudah habis!”
Terapis : “Pergi ke Griya Tufi naik apa sama mama?”
Tufi
: “Aku pergi naik mobil”.
Terapis : “ Kalau Mobil itu kendaraan roda berapa sih Tufi?”
Tufi
: “Roda empat”.
Diatas merupakan sedikit contoh percakapan antara terapis dengan anak
autis yang bernama Tufi, dari contoh percakapan tersebut terlihat bahwa terapis
mencoba melakukan teknik pertanyaan terbuka kepada anak. Terlihat pertanyaan
yang dilontarkan kepada anak adalah pertanyaan yang membuat anak menjawab
tidak singkat, anak akan menjawab apa yang ada dipikiran dan dirasakan anak.
Setelah terapis bertanya hal yang umum kemudian terapis biasanya
mencoba bertanya yang ada kaitannya dengan materi yang telah diberikan kepada
anak. Menurut Terapis Ibu Asih hal ini dilakukan terapis untuk mengukur
kemampuan anak mengerti dan mengingat materi-materi yang telah diberikan di
dalam kelas. Dan juga melatih anak untuk berkomunikasi secara terbuka dan
bebas sesuai apa yang ingin anak ungkapkan.
4.3.3 Teknik Komunikasi Terapeutik Memberi Informasi
Memberikan
tanbahan
informasi
(informing)
merupakan
tindakan
penyuluhan kesehatan untuk klien. Teknik ini sangat membantu dalam
mengajarkan kesehatan atau pendidikan pada klien tentang aspek-aspek yang
relevan dengan perawatan diri dan penyembuhan klien. Informasi yang diberikan
98
pada klien harus dapat memberikan pengertian dan pemahaman tentang masalah
yang dihadapi klien serta membantu dalam memberikan alternatif pemecahan
masalah.
Suart & Sundeen (1995) dalam Nurjanah (2001:57) mengatakan bahwa
Menyediakan tambahan informasi dengan tujuan untuk mendapatkan
respon lebih lanjut. Beberapa keuntungan dari menawarkan informasi
adalah akan memfalsilitasi komunikasi, mendorong pendidikan kesehatan,
dan memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan.
Memberikan informasi kepada pasien mengenai hal-hal yang tidak / belum
diketahuinya atau bila pasien bertanya memberikan informasi. Yang diperlukan
bisa juga sebagai suatu cara untuk membina hubungan saling percaya dengan
pasien sehingga menambah pengetahuan pasien yang akan berguna baginya untuk
mengambil keputusan secara realistik.
Dalam menangani anak-anak autis, terapis juga menggunakan teknik
memberi informasi kepada mereka. Teknik memberi informasi ini dilakukan
terapis pada saat terapi behaviour di ruang kelas. Biasanya informasi yang
diberikan terapis kepada anak-anak autis adalah informasi mengenai kesehatan
dan pengetahuan umum.
Ibu Rini menjelaskan bahwa “Terapis biasanya menggunakan teknik
memberi informasi pada saat terapi behavior di ruang kelas, informasi yang
diberikan seputar tentang kesehatan atau pengetahuan umum saja. Cara memberi
informasi kepada anak-anak autis berbeda penyampaiannya dengan anak yang
lain. Misalkan terapis memberikan informasi mengenai kesehatan, bagi anak yang
sudah verbal biasanya dengan media gambar yang mengandung cerita. Pada
99
gambar tersebut menceritakan gambar anak bermain lumpur, gambar anak tidak
langsung mandi, kemudian gambar anak yang badannya gatal-gatal”
Dari gambar tersebut anak diberi informasi oleh terapis bahwa apabila
bermain lumpur harus cepat-cepat mandi, apabila tidak mandi maka badannya
akan gatal-gatal. Maka dengan pemberian informasi seperti itu diharapkan anak
akan mengerti apa yang dimaksud dan akan melakukan apa yang telah ia pelajari,
sambil sekali-kali terapis menanyakan ulang informasi yang telah diberikan
kepada anak untuk mengukur kemampuan mereka dalam memahaminya.”14
Memberi informasi kepada anak yang belum verbal adalah dengan cara
memberikan contoh kepada mereka, misalkan sehabis makan buang sampah pada
tempatnya. Terapis mengajarkan anak membuang sampah ketempatnya sambil
diarahkan. Sambil memberi tahu kepada anak “Ini tempat sampah”. Apabila anak
diberi instruksi “buang ke tempat sampah” maka anak akan membuangnya ke
tempat sampah.
Teknik memberi informasi ini dinyatakan perlu dilakukan oleh terapis.
Teknik memberi informasi diberikan seiring dengan materi yang diberikan pada
saat terapi behaviour, sehingga memberi informasi kepada anak autis ditujukan
untuk menambah pengetahuan anak, dan membantu anak untuk kemampuan bantu
diri (self help skills).
14
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 Januari
2007 di Risantya
100
4.3.4 Teknik Komunikasi Terapeutik Memberi Penghargan
Jalaludin rahmat menyatakan bahwa, “Seseorang akan cenderung
berinteraksi apabila ia merasa interaksi tersebut menguntungkan, baik secara
psikologis maupun ekonomis.” (Suryani, 2005:79)
Memberikan pujian (reinforcement) merupakan keuntungan psikologis
yang didapatkan klien ketika berinteraksi dengan perawat. Reinforcement berguna
untuk meningkatkan harga diri dan menguatkan perilaku klien. Reinforcement
bisa diungkapkan dengan kata-kata ataupun melalui isyarat nonverbal.
Dalam menangani anak-anak autis, terapis juga selalu menggunakan
teknik memberi penghargaan kepada anak-anak autis. Biasanya teknik
penghargaan ini diberikan pada saat terapi behaviour dalam kelas. Penghargaan
diberikan apabila anak bisa atau mampu melaksanakan apa yang diperintahkan
terapis atau pada saat anak mampu menjawab dengan benar pertanyaan dari
terapis.
Cara terapis melakukan teknik memberi penghargaan verbal adalah
dengan memberikan pujian “Bagus” atau “Pintar”. Ada juga penghargaan
nonverbal dengan mengancungkan jempol saat anak melakukan hal yang benar.
“Ada berbagai macam cara terapis memberikan penghargaan kepada anak, selain
dengan kata-kata “Bagus dan “Pintar” maupun acungan jempol, ada juga
pemberian penghargaan berupa mengabulkan apa yang diinginkan oleh anak.
Misalkan anak telah mau dan benar melakukan apa yang di instruksikan oleh
terapis, kemudian terapis menawarkan sesuatu kepada anak “Kamu mau apa
101
sekarang?” apabila anak menginginkan “Aku mau main di luar” , maka terapis
mengabulkan apa yang diinginkan oleh anak.” kata Terapis Ibu Rini.15
Sebaiknya penghargaan yang diberikan kepada anak autis diharapkan
jangan berupa makan, karena anak autis harus benar-benar sekali dijaga dan diatur
soal makanan.
Dan berikan penghargaan yang kira-kira kita mampu untuk
memberikan kepada anak tersebut. Jangan terlalu berlebihan, karena bisa jadi
apabila setiap anak terlalu sering diberi penghargaan berupa barang, dan tiba-tiba
kita tidak bisa memberikan barang maka anak tersebut akan mengamuk untuk
sesuatu yang diinginkan, tapi kita tidak mampu untuk membelinya. Jadi,
berikanlah anak autis penghargaan sesuai dengan porsi dan kebutuhannya. Teknik
memberi penghargaan ini ditujukan agar anak merasa senang dan menjadi
motivasi anak untuk melakukan sesuatu yang baik.
4.3.5 Teknik Komunikasi Terapeutik Diam
Stuart & Sundeen (1998) dalam Suryani (2005:72) mengungkapkan
bahwa, Teknik diam (silence) digunakan untuk memberikan kesempatan
pada klien sebelum menjawab pertanyaan perawat. Diam akan
memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisasi
pikiran masing-masing.
Teknik ini memberikan waktu pada klien untuk berpikir dan menghayati,
memperlambat tempo interaksi, sambil perawat menyampaikan dukungan,
pengertian dan penerimaannya. Diam juga memungkinkan klien untuk
berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan berguna pada saat klien harus
mengambil keputusan
15
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 Januari
2007 di Risantya
102
Diam yang positif dan penuh penerimaan merupakan media terapeutik
yang sangat berharga karena dapat memotivasi pasien untuk bicara, mengarahkan
isi pikirannya kepada masalah yang dialaminya. Memberi waktu kepada pasien
dalam menimbang alternatif tindakan yang perlu dilakukan dan memberikan
kesempatan untuk merasakan bahwa dirinya diterima seutuhnya, meskipun pasien
tetap berdiam diri atau merasa malu, tetapi pasien tetap merasa bahwa dirinya
tetap berharga dan diterima.
Teknik diam ini juga selalu digunakan terapis dalam menghadapi anakanak autisma khususnya pada saat pemberian materi pada terapi behaviour di
dalam kelas. Terapis menggunakan teknik diam pada saat menunggu anak berfikir
untuk menjawab pertanyaan terapis. Diam yang dilakukan terapis adalah diam
yang positif, hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada anak
berfikir atas jawaban. Apabila anak terlalu lama diam (berfikir) maka terapis akan
kembali mengulang pertanyaannya kepada anak.
Sebagai contoh, setelah perawat (terapis) mengajukan pertanyaan kepada
anak autis, “Berapakah dua dikali lima?” perawat (terapis) memberi jeda waktu 10
detik diam untuk memberi kesempatan klien (anak) menjawab. Kemudian ketika
klien (anak) mengungkapkan jawabannya, perawat (terapis) menggunakan teknik
listening dengan mendengarkan jawaban anak tersebut dengan penuh perhatian.
Diam dapat mendorong atau menghambat komunikasi sehingga perawat
harus hati-hati dalam menggunakan teknik ini. Bagi pasien depresi diam bisa
diartikan sebagai dorongan pengertian dan penerimaan.
103
Dalam hal ini terapis perlu menganalisis teknik yang tepat pada setiap
berkomunikasi dengan anak, karena ketidaktepatan menggunakan teknik dalam
berkomunikasi dapat berpengaruh terhadap proses dan keberhasilan komunikasi.
Informasi yang akurat dapat disampikan melalui komunikasi verbal, namun aspek
emosi dan perasaan tidak dapat diungkapkan seluruhnya melalui verbal. Dalam
hal ini dibutuhkan kemampuan terapis untuk menghadirkan diri menggunakan
teknik komunikasi secara tepat dan pemahaman terhadap respons emosional klien.
Dengan mengerti proses komunikasi dan mempunyai berbagai keterampilan
berkomunikasi, perawat diaharapkan mampu menggunakan dirinya secara utuh
(verbal dan nonverbal) dalam memberikan efek terapeutik pada anak.
104
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis terhadap komunikasi
terapeutik terapis dalam menangani anak-anak Autisma, maka penulis dapat
menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Komunikasi terapeutik terapis dalam menangani anak-anak Autisma
dilakukan dengan komunikasi terapeutik verbal. Komunikasi terapeutik
verbal yang dilakukan terapis adalah kemaknaan, pembendaharaan kata,
keringkasan dan kejelasan pesan. Melalui komunikasi terapeutik verbal
tersebut
menghasilkan
anak-anak
autisma
berkomunikasi
dalam
pengungkapan perasaan secara verbal dan mengerti akan setiap kata-kata.
Sehingga komunikasi terapetik verbal yang dilakukan terapis membuat
perkembangan yang baik dan kemajuan bagi anak-anak autisma dalam
komunikasi verbal.
2. Komunikasi terapeutik nonverbal yang dilakukan terapis dalam menangani
anak-anak autisma adalah gerak mata, ekspresi wajah, isyarat tangan,
sentuhan, kesedian ruang dan jarak. Melalui komunikasi terapeutik
nonverbal tersebut membuat perubahan dan kemajuan dalam perilaku anak
menjadi lebih baik. Terutama kontak mata adalah hal yang paling utama
diberikan kepada anak-anak autisma untuk membangun komunikasi
mereka.
105
3. Teknik komunikasi terapeutik yang dilakukan terapis adalah teknik
mendengar dengan aktif, teknik pertanyaan terbuka, teknik memberi
informasi, teknik memberi pujian/ penghargaan, dan teknik diam. Teknik
komunikasi terapeutik tersebut digunakan oleh terapis sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan dalam menangani anak-anak Autisma. Penggunaan
teknik-teknik komunikasi terapeutik menjadikan komunikasi anak-anak
autis menjadi lebih terbuka, juga sebagai tolak ukur terapis dalam melihat
kemajuan anak-anak autis.
5.2
Saran
5.2.1 Saran pengembangan Teoritis
1. Untuk penelitian sejenis, disarankan bagi peneliti berikutnya akan
lebih menarik jika meneliti masalah interaksi sosial anak autis dengan
metode penelitian fenomenologi atau studi kasus.
2. Dalam penggunaan teori komunikasi terapeutik tidak hanya ditujukan
untuk komunikasi perawat di rumah sakit saja, tetapi dapat digunakan
dalam terapi atau penyembuhan lainnya.
5.2.2 Saran Pengembangan Praktis
1. Pada program terapi yang diberikan Risantya akan lebih baik ditambah
dengan program hiburan, seperti menonton film kartun, bermain
musik, dan belajar bahasa inggris. Sehingga anak tidak akan merasa
jenuh dengan penyampaian materi sehari-hari.
106
2. Perhatian Risantya terhadap publikasi sangat kurang seperti membuat
iklan, plang penunjuk tempat Risantya dan leafeat yang menarik. Hal
ini disarankan agar orang-orang lebih mengetahui keberadaan
Risantya.
3. Tingkatkan kembali sarana dan prasarana yang sudah ada maupun
yang belum ada, untuk mengembangkan Risantya semakin lebih baik.
Dan menjaga dari persaingan lembaga terapi lain yang semakin
modern.
107
PEDOMAN WAWANCARA
1. Ditujukan Kepada
:
2. Tema Wawancara
:
3. Tanggal dan Waktu Wawancara :
A. Penyampaian pesan verbal
1. Bagaimana kemaknaan yang diberikan terapis pada anak-anak autis?
2. Kemaknaan seperti apa yang diberikan kepada anak-anak autis?
3. Tujuan kemaknaan bagi anak-anak autis?
4. Bagaimana pembendaharaan kata yang diberikan terapis pada anakanak autis?
5. Pembendaharaan kata seperti apa yang diberikan kepada anak-anak
autis?
6. Tujuan pembendaharaan kata bagi anak-anak autis?
7. Bagaimana kejelasan dan keringkasan pesan yang disampaikan terapis
pada anak-anak autis?
8. Mengapa penyampaian pesan verbal terapis harus jelas dan ringkas
pada anak-anak autis?
9. Menurut anda apakah komunikasi verbal itu sangat penting untuk
anak-anak autis, khususnya pada komunikasi terapeutik? Jelaskan jika
YA
B. Penyampaian pesan nonverbal
1. Bagaimana gerakan mata (kontak mata) terapis pada anak-anak autis?
2. Mengapa kontak mata itu harus dilakukan kepada anak-anak autis?
3. Tujuan melakukan kontak mata pada anak-anak autis?
4. Bagaimana ekspresi wajah terapis pada anak-anak autis?
5. Pada saat seperti apa terapis melakukan ekspresi wajah pada anak-anak
autis? Dan bagaimana?
6. Tujuan melakukan ekspresi wajah pada anak-anaka autis?
7. Bagaimana isyarat tangan yang diberikan terapis pada anak-anak autis?
8. Pada saat seperti apa terapis melakukan isyarat tangan kepada anakanak autis?
9. Bagaimana cara sentuhan terapis pada anak-anak autis?
10. Pada saat seperti apa sentuhan dapat diberikan pada anak-anak autis?
11. Apakah setiap anak autis senang dengan sentuhan yang diberikan oleh
terapis? Jika TIDAK, bagaimana cara mengatasinya?
12. Bagaimana kesedian ruang dan jarak terapis ketika berkomunikasi
dengan anak-anak autis?
13. Mengapa kesedian ruang dan jarak ketika berkomunikasi dengan
anak-anak autis harus ditentukan?
14. Menurut anda apakah komunikasi nonverbal itu penting untuk anak
autis?Jelaskan jika YA
C. Teknik Komunikasi Terapeutik
1. Bagaimana teknik “mendengar secara aktif” terapis dalam menangani
anak-anak autis?
2. Kapan terapis melakukan teknik “mendengar secara aktif” pada anak
autis?
3. Tujuan melakukan teknik “mendengar secara aktif” pada anak autis?
4. Bagaimana teknik “pertanyaan terbuka” terapis dalam menangani
anak-anak autis?
5. Kapan terapis melakukan teknik “pertanyaan terbuka” pada anak-anak
autis?
6. Tujuan melakukan “pertanyaan terbuka” pada anak autis?
7. Bagaimana teknik “diam” terapis dalam menangani anak-anak autis?
8. Kapan terapis melakukan teknik “diami” pada anak autis?
9. Tujuan melakukan teknik “diam” pada anak autis?
10. Bagaimana teknik “memberi informasi” terapis dalam menangani
anak-anak autis?
11. Informasi seperti apa yang diberikan kepada anak-anak autis?
12. Kapan terapis melakukan teknik “memberi informasi” pada anak autis?
13. Tujuan melakukan teknik “memberi informasi” pada anak autis?
14. Bagaimana teknik “memberi pujian/penghargaan” terapis dalam
menangani anak-anak autis?
15. Kapan terapis melakukan teknik “memberi pujian/penghargaan” pada
anak autis?
16. Tujuan melakukan teknik “memberi pujian/penghargaan” pada anak
autis?
17. Dampak dalam memberikan “pujian /penghargaan” bagi anak-anak
autis?
PANDUAN OBSERVASI
Hari / Tanggal
: Kamis, 18 Januari 2007
Waktu
: 13.00 – 14.00
Tempat Penelitian
: Ruang Terapi Behaviour di Risantya
Hari ini Tufi dan Ruri mendapatkan terapi behaviour yang ditangani oleh
Ibu Septi dan Ibu Asih. Sebelum memulai terapi, anak-anak terlebih dahulu
berdoa dan memberi salam kepada terapis. Di dalam ruang terapi terapis
menangani satu anak, satu terapi dengan duduk berhadapan dihalangi oleh satu
meja.
Materi pertama yang diberikan terapis pada terapi behavior hari ini adalah
memberii nstruksi kepada Tufi dan Ruri untuk bercakap-cakap dengan bertanya
satu sama lain mengenai nama, alamat rumah, dan nama orang tua. Pada saat Tufi
dan Ruri bercakap-cakap ada saja hal yang menggelikan atau membuat terapis
menjadi marah karena mereka berdua tidak konsentrasi dan bercanda satu sama
lain.
Tufi kontak matanya masih kurang dan harus selalu di peringati oleh
terapis, terlihat pada saat ia di instruksikan oleh terapis untuk bertanya kepada
Ruri, matanya selalu tidak melihat kepada lawan bicara, ketika ia di tegur oleh
terapis Ibu Septi baru ia melakukannya, itupun hanya beberapa detik saja. Ada
juga pada saat di instruksi bercakap-cakap Tufi malah menggelitik badan Ruri, ia
melakukan hal itu karena Tufi sangat gemesan kepada temennya, sehingga mereka
berdua bukannya bercakap-cakap malah jadi bercanda dan tertawa-tawa membuat
Ibu Septi dan Ibu Asih menjadi marah.
Setelah diberi materi bercakap-cakap untuk interaksi sosial sesama teman,
kemudian terapis memberi materi berhitung yang ditulis di papan tulis. Materi
yang diberikan seputar penjumlahan, pengurangan, dan perkalian yang angkanya
tidak lebih dari sepuluh. Setelah itu satu persatu di instruksikan ke depan untuk
menjawab soal di papan tulis. Ketika Tufi mengerjakan di depan terlihat ia sangat
lama dalam menjawab soal, karena memang cara ia berfikir sedikit agak lama,
sehingga terapis selalu mengatakan “cepat Tufi” atau mengatakan “ di Hitung
loh”. Apabila semua soal telah dijawab, maka terapis kembali bertanya kepada
mereka apakah jawaban yang mereka tulis benar atau salah.
Materi selanjutnya adalah pemberian kalimat yang kemudian mereka tulis
kembali di buku tulis. Kalimat yang diberikan pertama-tama adalah dengan dua
suku kata semisal, “agamaku Islam”. Apabila anak ada kesalahan dalam penulisan
kata atau huruf maka terapis kemudian mengoreksinya. Dilanjutkan dengan tiga
suku kata semisal, “Saya belajar bersama” , kemudian empat suku kata semisal,
“Ayah pergi ke kantor”.
Nada suara terapis pada saat memberi materi kepada anak autisma
menggunakan nada yang tinggi dan sedikit keras, itu menandakan bahwa terapis
tegas dalam memberikan perintah kepada anak.
Adapun ekspresi wajah terapis dalam ,emterapi anak dengan wajah yang
sedikit serius dan terlihat sedikit galak, tidak tertawa atau mentertawakan anak
apabila anak salah dalam melakukan perintah dari terapis. hal ini menandakan
bahwa terapis serius dalam menangani anak-anak Autis, sehingga anak-anak pun
akan mengikuti dengan serius dan konsentransi dalam menerima materi.
Setelah terapi behaviour selesai anak- anak terlebih dahulu berdoa dan
mengucapkan salam berpisah kepada terapis. keudian terapis mengisi buku harian
perkembangan anak satu persatu.
PANDUAN OBSERVASI
Hari / Tanggal
: 7 November 2006
Waktu
: 09.45 – 11.30
Tempat Penelitian
: Kantor BP.4 Kecamatan Arcamanik
JL. Cisaranten Kulon No. 127 Bandung
Uraian
Penggunaan kata-kata yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti
klien, terkadang juga diselingi dengan bahasa sunda karena pasangan suami istri
berasal dari sunda.
Muka kecewa sesekali terlihat pada muka Pak Dindin ketika Pak Dindin
menasehati pihak suami Ia terkesan acuh tak acuh, namun Pak Dindin tidak sama
sekali memperlihatkan wajah marah pada klien.
Klien (pihak suami) bersikap acuh tak acuh, tidak jarang sesekali ia
menyangkal atas apa yang disampaikan penasehat, klien(pihak istri) diam saja,
menangis, sambil mendengar pesan-pean yang disampaikan penasehat.
Pesan persuasi yang disampaikan, “bagaimana nasib anak dan istri Bapak
nanti kalau Bapak sampai masuk penjara, Apakah Bapak tidak kasihan sama anak
istri Bapak, dan bagaimana nasib mereka kelak, masa depan mereka, apakah tidak
terfikirkan oleh Bapak”
SYARAT-SYARAT PENDAFTARAN
1. Mengisi formulir pendaftarans
2. Membawa surat rujukan dari dokter
3. Membayar biaya pendaftaran
4. Membayar biaya terapi
5. Usia anak awal masuk maksimal 7 tahun
6. Foto ukuran 3 x 4 = 2 lembar
RINCIAN BIAYA
Uang pangkal , pendaftaran + seragam
Rp 530.000,-
Biaya terapi : terapi perilaku lamanya terapi 1 jam :
2 x / minggu
Rp 240.000,- / bulan
3 x / minggu
Rp 360.000,- / bulan
4 x / minggu
Rp 480.000,- / bulan
5 x / minggu
Rp 600.000,- / bulan
Terapi Wicara ( lama terapi 45 menit )
Rp 40.000,- / jam dibayarkan bulanan
Terapi Sensori Integrasi (SI) / OT, Fisioterapi
1 x / minggu
Rp 160.000,- / bulan
2 x / minggu
Rp 320.000,- / bulan
3 x / minggu
Rp 480.000,- / bulan
4 x / minggu
Rp 640.000,- / bulan
5 x / minggu
Rp 800.000,- / bulan
Catatan :
∗ Uang yang sudah masuk tidak bisa diminta kembali.
∗ Biaya terapi dibayarkan di muka, ,apabila tidak datang terapi/ hari libur nasional tidak ada penggantian terapi.
∗ Orang tua ikut mendukung program terapi dengan juga melakukan intervensi / terapi di rumah.
∗ Cuti terapi dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 100.000,-, maksimal cuti 2 bulan, jika tidak dianggap
keluar dan bila masuk lagi dianggap pasien baru. (cuti 1 minggu sebelumnya harus sudah memberitahu)
Risantya
Pimpinan
Wardi Supardi
Perintis berdirinya Risantya
Konsultan pendidikan
Terapis Okupasi
Mutmainah, AMd.OT
Penanggung jawab program
Okupasi Terapi
Terapis Wicara
Amaliah F, Amd. TW
dan penanggung jawab
program terapi wicara
Koordinator terapis
Kusdarini, AMF
Penanggung jawab program
Fisioterapi dan pelaksana terapi
Fisioterapis
Margiasih Setiyati, AMF
Pelaksna terapi Fisik dan
behavioural terapi
Terapis Wicara
Dwi Subekti, Amd.TW
(bekerja sampai Februari 2007)
Administrasi
Tuti Kustiah, SE
Fisioterapis
Septi Hermiati, AMF
Pelaksna terapi Fisik dan
behavioural terapi
Administrasi
Puty Nurdiansari
( bekerja sampai Mei 2006 )
Fisioterapis
Henri Eko P, AMF
Pelaksna terapi Fisik dan
behavioural terapi
Office boy
Budi
BIODATA TERAPIS
NAMA LENGKAP
: Kudsarini
ALAMAT
: Jl. Sekelimus Barat 43 RT 3 RW 5 Buah Batu
Bandung
NOMER TELFON
:-
TEMPAT, TGL LAHIR
: Sragen, 12 Mei 1976
STATUS
: Menikah
JENIS KELAMIN
: Wanita
AGAMA
: Islam
HP : 081 321 30 11 94
PENDIDIKAN TERAKHIR : D3 Fisioterapi AKFIS Solo
NAMA LENGKAP
: Septi Hermiati, AMF
ALAMAT
: Jl. Murni I No. 37 Ciateul Bandung
NOMER TELFON
:
TEMPAT, TGL LAHIR
: Jakarta, 1 September 1982
STATUS
: Menikah
JENIS KELAMIN
: Wanita
AGAMA
: Islam
HP : 0813 22 304 380
PENDIDIKAN TERAKHIR : D3 Akademi Fisioterapi UKI Jakarta
BIODATA TERAPIS
NAMA LENGKAP
: Mutmainah
ALAMAT
: Jl. Murni No. 1 Ciateul Bandung
NOMER TELFON
:
TEMPAT, TGL LAHIR
: Karanganyar, 31 januari 1981
STATUS
: Belum menikah
JENIS KELAMIN
: Perempuan
AGAMA
: Islam
HP : 0815 84 13 81 08
PENDIDIKAN TERAKHIR : D3 Okupasi Terapi
NAMA LENGKAP
: Margiasih Setiyati
ALAMAT
: Jl. Cigondewah Kaler No. 38 Cigondewah Holis
Bandung
NOMER TELFON
:
TEMPAT, TGL LAHIR
: Klaten, 12 mei 1980
STATUS
: Menikah
JENIS KELAMIN
: Perempuan
AGAMA
: Islam
HP : 0813 22 77 26 17
PENDIDIKAN TERAKHIR : D3 Fisioterapi DEPKES
BIODATA TERAPIS
NAMA LENGKAP
: Henry Eko Prasetyo
ALAMAT
: Jl. Warung Contong RT 02/14 N0. 106
Cimahi Tengah
NOMER TELFON
: 6642802
TEMPAT, TGL LAHIR
: Jakarta, 23 September 1984
STATUS
: Belum Menikah
JENIS KELAMIN
: Laki-Laki
AGAMA
: Islam
HP : 0813 21 87 95 10
PENDIDIKAN TERAKHIR : D3 Fisioterapi RS. Dustira Cimahi
Download