PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini 3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah 4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah Selamat membaca !!! Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh UPT PERPUSTAKAAN UNISBA KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERAPIS DALAM MENANGANI ANAK-ANAK AUTISMA Studi Deskrptif Dengan Data Kualitatif Mengenai Komunikasi Terapeutik Terapis Dalam Menangani Anak-Anak Autisma Di Pusat Terapi dan Ramediasi Risantya Bandung SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung Disusun Oleh : Arifniati Fatimah 10080002213 BIDANG KAJIAN HUBUNGAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 1428 H / 2007 M LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI Judul : KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERAPIS DALAM MENANGANI ANAK – ANAK AUTISMA Subjudul : Studi Deskriptif Dengan Data Kualitatif Mengenai Komunikasi Terapeutik Terapis Dalam Menangani Anak-Anak Autisma di Pusat Terapi dan Remediasi Risantya Bandung Nama : Arifniati Fatimah Npm : 10080002213 Bidang Kajian : Hubungan Masyarakat Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Hj Neni Yulianita, Dra., M.Si Wulan Trigartanti, S.Sos Mengetahui, Ketua Bidang Kajian Hubungan Masyarakat Oji Kurniadi, Drs., M.Si Tanggal Lulus : Motto : Artinya : Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (Q.S. Al Balad :17 ) ABSTRAK Autisma, sebuah sindrom gangguan perkembangan system syaraf pusat yang ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak-kanak hingga masa-masa sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak-anak yang menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan sosial secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah. Hambatan komunikasi pada anak autisma seperti senang meniru atau membeo (echoladia), bicara tidak dipakai untuk alat komunikasi, minimnya eye contact, tidak menggunakan bahasa/ isyarat tubuh, dan sebagainya. Dengan adanya hambatan dalam perkembangan perilaku, komunikasi verbal maupun nonverbal, dan interaksi sosial maka dibutuhkan bagi anak-anak penyandang Autisma untuk melakukan terapi. Terapi bagi anak-anak Autisma dapat berupa terapi perilaku, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi fisik. Salah satu cara komunikasi terapis yang tepat dalam menangani anak yang menderita Autisma adalah dengan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik yang digunakan baik secara verbal maupun nonverbal. Dalam hal ini, terapis memakai dirinya secara terapeutik dan memakai berbagai teknik komunikasi agar perilaku anak berubah ke arah yang positif seoptimal mungkin. Berkenaan dengan itu, penulis merumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana Komunikasi Terapeutik Terapis dalam Menangani Anak-Anak Autisma?”. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana komunikasi terapeutik terapis secara verbal dan nonverbal serta teknik-teknik komunikasi terapeutik yang digunakan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan data kualitatif. Metode deskriptif, menjelaskan bahwa metode ini bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu secara faktual dan cermat (Rakhmat, 2001 :22). Dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara secara mendalam , studi kepustakaan dan observasi. Berdasarkan pengumpulan data maka penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Melalui komunikasi terapeutik verbal tersebut menghasilkan anak-anak autisma berkomunikasi dalam pengungkapan perasaan secara verbal dan mengerti akan setiap kata-kata. Sehingga komunikasi terapetik verbal yang dilakukan terapis membuat perkembangan yang baik dan kemajuan bagi anak-anak autisma dalam komunikasi verbal. Komunikasi terapeutik nonverbal membuat perubahan dan kemajuan dalam perilaku anak menjadi lebih baik. Terutama kontak mata adalah hal yang paling utama diberikan kepada anak-anak autisma untuk membangun komunikasi mereka. Serta penggunaan teknik-teknik komunikasi terapeutik menjadikan komunikasi anak-anak autis menjadi lebih terbuka, juga sebagai tolak ukur terapis dalam melihat kemajuan anak-anak autis. KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Assalamualaikum, wr. wb. Segala Puji dan Syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, saudara, para sahabat beliau sampai kepada umatnya. Dengan izin Allah SWT, serta dorongan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Komunikasi Terapeutik Terapis Dalam Menangani Anak-Anak Autisma”. Sebagai manusia, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh untuk dikatakan sempurna dan tidak luput dari kekurangan serta kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya koreksi yang membangun untuk perbaikan, dan kesempurnaan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang dihadapi oleh penulis. Namun dengan ijin Allah SWT dan berkat usaha, doa, bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, akhirnya penelitian ini dapat penulis selesaikan. Untuk itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. Yusuf Hamdan, Drs., M. Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi yang telah memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menyusun skripsi. 2. Ibu Dr. Hj Neni Yulianita, Dra., M. Si selaku pembimbing utama penulis, yang telah banyak memberikan kemudahan dan waktunya untuk pengarahan, i didikan serta bimbingannya sampai penulis menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Wulan Trigartanti, S.Sos selaku pembimbing pendamping penulis, yang telah banyak memberikan pengajaran, arahan serta bimbingannya. 4. Bapak Oji Kurniadi, Drs., M. Si selaku Ketua Bidang Kajian Hubungan Masyarakat yang telah memberikan pengarahan dan kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi. 5. Bapak Maman Suherman, Drs., M. Si selaku Dosen Wali, terima kasih atas kesetiaannya mengarahkan penulis dari pertama memasuki jenjang perkuliahan sampai pada tahap akhir. 6. Seluruh pimpinan, staf pengajar dan karyawan Fakultas Ilmu Komunikasi UNISBA atas ilmu yang diberikan dan kemudahan dalam hal administrative selama kuliah. 7. Ibu Rini selaku Leader Terapis Risantya yang telah memberi kesempatan penulis untuk melakukan penelitian. 8. Ibu Asih, Ibu Septi, Ibu Mutmainah, Mas Henri, Amel, dan Ibu Tuti yang telah memberikan waktu dan kesediannya untuk membantu penulis dalam penelitian di Risantya. 9. Anak-Anak Special Needs di Risantya, yang telah menjadi inspirasi penulis untuk meneliti tentang kalian. Semoga kalian menjadi anak yang pintar dan baik di masa yang akan datang. 10. Yang Tercinta, Ibu dan Bapak yang selalu menyebutkan nama anak-anaknya dalam setiap doa dan langkah serta memberikan dorongan baik moril maupun materiil yang tiada hentinya, juga atas kasih sayang, didikan serta pengorbanan yang dicurahkan. ii 11. Kel Besar Seohadjie H, Nenek, Arief, Fajar, Teh Erni, Mak Isah, Teh Titi yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penullis. My Lovely cats Noni and Cilipa yang selalu setia menemani penulis. 12. Dimas Satrio W, terima kasih atas cinta, kasih sayang, pengorbanan, doa, dan dukungan selama ini. Akhirnya kita bisa berjuang bersama dalam menyelesaikan kuliah ini. Love You Forever 13. Sahabat-sahabatku ; Sevi, Dina, Mega, Adjeng, Mila, Indri, Dya, Imong, Ntat, Faris, Herdie, Away, Beno, Andri, Agung, Subhan, Didin, Alif, Juan, dll terima kasih atas jalinan pertemanan yang indah selama lima tahun dan semoga selamanya…..amien….. 14. Semua teman-teman Hubungan Masyarakat, Fikom ’02, dan HIMHUM ‘06 15. Dan orang-orang yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Sekali lagi, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kebaikan dan bantuan yang telah diberikan. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dengan pahala yang berlipat ganda. Amien. Semoga skripsi ini dapat berguna. Bandung, Mei 2007 Penulis iii DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR.............................................................................................. i DAFTAR ISI............................................................................................................ iv DAFTAR TABEL.................................................................................................... vii DAFTAR BAGAN………………………………………………………………... viii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………..ix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah …………............……………………............ 1 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………........... 5 1.3 Identifikasi Masalah ….........…………………………………….......... 5 1.4 Tujuan Penelitian ………........……………………………………....... 6 1.5 Alasan Pemilihan Masalah ………………………………………........ 6 1.6 Pembatasan Masalah dan Pengertian Istilah …...………………......... 6 1.6.1 Pembatasan Masalah ......………………....……………........ 6 1.6.2 Pengertian Istilah …..……………………………………...... 7 1.7 Kegunaan Penelitian…………………………………………………… 8 1.7.1 Kegunaan Teoritis…………………………………………… .8 1.7.2 Kegunaan Praktis…………………………………………….. 9 1.8 Anggapan Dasar ........……………………………………………......... 9 1.9 Operasional Variabel ......………………..………………………......... 11 1.10 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ……………......... 12 1.10.1 Metode Penelitian .................................................................. 12 1.10.2 Teknik Pengumpulan Data .................................................... 13 1.11 Key Informan……………………………………………………….... 13 1.12 Organisasi Karangan………………………………………………..... 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik…………………………................. 16 2.2 Tinjauan Komunikasi Terapeutik… ....................................................... 18 iv 2.2.1 Tujuan Komunikasi Terapeutik ................................................18 2.2.2 Karakteristik Komunikasi Terapeutik...................................... 19 2.2.3 Fungsi Komunikasi Terapeutik…. .......................................... 22 2.3 Komunikasi Verbal Dan Nonverbal…………….................................... 23 2.3.1 Komunikasi Verbal………………………….......................... 23 2.3.2 Komunikasi Nonverbal............................................................. 26 2.4 Komunikasi Verbal Dan Nonverbal Pada Komunikasi Terapeutik......... 34 2.4.1 Komunikasi Verbal Pada Komunikasi Terapeutik................... 35 2.4.2 Komunikasi Nonverbal Pada Komunikasi Terapeutik……..... 35 2.5 Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik................................................... 38 BAB III OBJEK PENELITIAN 3.1 Latar Belakang Historis Risantya…….................................................... 46 3.2 Visi dan Misi Risantya………… ........................................................... 47 3.3 Motto Risantya……………………........................................................ 48 3.4 Tujuan Risantya…………….................................................................. 48 3.5 Tahapan Penanganan Anak di Risantya……………………....... .......... 49 3.6 Syarat Anak untuk Bergabung di Risantya............................................ 49 3.7 Waktu Terapi Anak…………………………………………………..... 50 3.8 Syarat Menjadi Terapis di Risantya………………………………........ 50 3.9 Proses Penanganan Anak Autisma…………………………………...... 51 3.9.1 Proses Penanganan Oleh Terapis.................................. ........... 51 3.9.2 Proses Penanganan Oleh Orang Tua…………. ........... ........... 52 3.10 Pelaksanaan Program Risantya……………………………….. ........... 53 3.10.1 Terapi Perilaku…………………………………………....... 53 3.10.2 Terapi Wicara……………………………………………..... 58 3.10.3 Terapi Okupasi…………………………………….... ........... 60 3.10.4 Terapi Fisik/ Fisioterapi………………………………........ 61 3.10.5 Remediasi dan Pendidikan………………………….. ........... 62 3.11 Struktur Kelembagaan Risantya…………………………………….... 63 3.12 Pengertian Autisma………………………………………….... ........... 66 3.13 Tinjauan Autisma……………………………………………... ........... 66 3.13. 1 Penyebab Autisma………………………………………..... 66 3.13.2 Gejala Autisma…………………………………………........69 v 3.13.3 Karakteristik Autisma…………………………………......... 71 3.13.4 Pengelompokan Autisma………………………........ ........... 74 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Komunikasi Terapeutik Verbal Terapis Dalam Menangani Anak-Anak Autisma………………………………………………….. 77 4.1.1 Penyampaian Pesan Verbal Melalui Kemaknaan............. ........... 78 4.1.2 Penyampaian Pesan Verbal Melalui Pembendaharaan Kata.............................................................................................. 80 4.1.3 Penyampaian PesanVerbal Melalui Keringkasan Dan Kejelasan Pesan......................................................... ........... 82 4.2 Komunikasi Terapeutik Nonverbal Terapis Dalam Menangani Anak-Anak Autisma……………………………………………............85 4.2.1 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Gerak Mata……....... 85 4.2.2 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Eksprsi Wajah……... 87 4.2.3 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Isyarat Tangan……. 89 4.2.4 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Sentuhan………....... 90 4.2.5 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Kesediaan Ruang Dan Jarak............................................................................... 93 4.3 Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik……………………………..... 95 4.3.1 Teknik Mendengar Dengan Aktif………………………….... 95 4.3.2 Teknik Pertanyaan Terbuka………………………................. 97 4.3.3. Teknik Memberi Informasi………………………...... ........... 98 4.3.4 Teknik Memberi Pujian/ Penghargaan……………................. 101 4.3.5 Teknik Diam………………………………………..... ........... 102 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan............................................................................................ 104 5.2 Saran........................................................................................................ 105 5.2.1 Saran Pengembangan Teoritis.......................................................... 105 5.2.2 SaranPengembangan Praktis ........................................................... 105 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................106 vi DAFTAR TABEL Tabel 2.3 Halaman Types Of Communications.........................................................................24 vii DAFTAR GAMBAR Bagan Halaman 2.3 Gambar Air Muka Seseorang…………………………………..........30 3.11 Struktur Kelembagaan Risantya…………………………………... ..65 viii DAFTAR LAMPIRAN 1. Pedoman Wawancara 2. Panduan Observasi 3. Syarat Risantya 4. Foto Aktifitas Kegiatan Risantya 5. Foto Aktifitas Terapi Perilaku dan Remediasi di Risantya 6. Foto Aktifitas Terapi Okupasi / SI di Risantya 7. Foto Aktifitas Terapi Wicara di Risantya 8. Foto Aktivitas Terapi Fisik/ Fisioterapi di Risantya 9. Foto Aktifitas Parents Support Group di Risantya 10. Foto Para Terapis dan Karyawan di Risantya 11. Biodata terapis Risantya 12. Surat Ijin Pra Riset/ Riset 13. Surat Balasan Ijin Pra Riset/ Riset dari Risantya ix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menjelang ‘Akhir Zaman’ yang konon katanya sudah semakin dekat, semakin banyak penyakit yang baru muncul dan baru dikenal. Seperti halnya penyakit Autis yang baru muncul dan baru dikenal. Autis yang akhir – akhir ini baru menjadi perhatian bagi sejumlah masyarakat dan orang tua. Memang sampai sekitar sepuluh tahun yang lalu, kelainan ini tampaknya belum dipublikasikan di Indonesia. Penderitaannya juga (katanya) tidak banyak dijumpai. Para dokter dan awam baru tersentak ketika jumlahnya “tiba – tiba” melonjak dengan cepat. Kelainan perkembangan perilaku yang timbul pada masa anak – anak ini kemudian menjadi hal yang menakutkan. Apalagi setelah media massa mulai tertarik untuk memuat dan memberitakannya. Karena informasi ini cepat menyebar di masyarakat, maka jumlahnya seakan meningkat semakin cepat. Banyak orang tua yang tiba – tiba sadar bahwa perilaku anaknya kelihatan cocok dengan gejala autisma yang di beritakan. Saat ini prevalensi anak dengan kelainan hambatan perkembangan perilaku telah mengalami peningkatan yang sangat mengejutkan. Di Pensylvania, Amerika serikat, jumlah anak – anak Autisma saja dalam lima tahun terakhir menigkat sebesar 500%, menjadi 40 dari 10.000 kelahiran. Belum terhitung anak – anak dengan perilaku lainnya. Sejauh ini di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian untuk hal ini. Akan tetapi kita tahu bahwa faktor – faktor penyebab dari 1 hambatan perkembangan perilaku anak ini lebih tinggi di Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat. Maka dapat diperkirakan bahwa jumlah anak dengan kelainan ini, pasti jauh lebih banyak daripada di Amerika Serikat. Jenis kelainan pada anak – anak dengan kebutuhan khusus ini dapat berupa Autisma infantil (yang merupakan kelainan terberat), Asperger’s disease, Attention Deficit (Hyperactive) Disorder atau AD(H)D, Speech Delay, Dyslexia, Dyspraxia, dan sebagainya. Anak “special needs” atau anak dengan kebutuhan khusus termasuk anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan perilakunya. Perilaku anak – anak ini, yang antara lain terdiri dari wicara dan okupasi, tidak berkembang seperti anak yang normal. Padahal kedua jenis perilaku ini penting untuk komunikasi dan sosialisasi. Sehingga apabila hambatan ini tidak diatasi secara cepat dan tepat, maka proses belajar anak – anak tersebut juga akan terhambat. Intelegensi, emosi dan perilaku sosialnya tidak dapat berkembang dengan baik. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan deteksi sedini mungkin bagi anak – anak ini. Deteksi dini yang berhasil mengenai perilaku ini dapat mempercepat langkah – langkah yang harus diambil segera. Anak – anak dengan kelainan perilaku atau anak – anak dengan kebutuhan khusus (special needs) terdiri dari berbagai tingkat dan derajat, dimulai dengan kebutuhan khusus (special needs) terdiri dari berbagai tingkat dan derajat, dimulai dengan autisma anak yang merupakan derajat terberat. Kemudian Asperger’s disease, Attention Deficit (Hyperactive) Disorder atau AD(H)D, Speech Delay, Dylexia, Dspraxia,dsb. 2 Sebagai orang tua anak Autisma juga pengelola Pusat Terapi dan sekolah Khusus, seringkali mengalami kesulitan untuk melakukan deteksi dini. Banyak yang sudah sangat terlambat, artinya usia anaknya sudah melebihi 5 tahun. Bahkan ada yang membawa anaknya dengan autisma yang telah berusia 15 tahun. Anak dengan kebutuhan khusus, sama dengan anak manapun, mengalami perkembengan otak yang cepat pada usia dibawah 5 tahun. Dan yang paling ideal untuk intervensi dini adalah pada usia 2 – 3 tahun, karena saat ini otak anak berkembang paling cepat. Disamping itu, karena proses terapi berlangsung sekitar 2 – 3 tahun, maka dengan intervensi sedini mungkin, anak dapat masuk sekolah regular sesuai dengan usianya. Bahkan di beberapa negara, deteksi dini gejala autisma pada anak, dilakukan pada usia dibawah 2 tahun. Dengan penanganan yang sangat dini ini, anak dengan gejala autisma ini dapat dicegah menjadi anak autisma. Sehingga setelah orang tua dapat mendeteksi anaknya sedini mungkin diharapkan dengan segera memberikan penanganan dengan segera berupa terapi kepada anaknya. Karena dengan memberikan terapi kepada anak dengan gejala autisma dapat memberikan peluang untuk anak berkelainan ini untuk menjadi “normal” kembali cukup besar, oleh karenanya orang tua harus selalu bersikap optimis. Suatu catatan penting yang sangat perlu diperhatikan sungguh – sungguh: Kiranya jangan sampai terjadi bahwasannya seorang anak yang seharusnya masih memiliki peluang untuk menjadi ‘normal’. Menjadi hilang peluangnya hanya disebabkan oleh pilihan orang tua yang salah dalam menentukan metoda dan intensitas terapinya. 3 Dengan meningkatnya jumlah anak yang menderita autism akan banyak pula lembaga pusat terapi dan remediasi bermunculan. Hal ini diharapkan dapat membantu anak – anak yang menderita Autis. Salah satu lembaga pusat terapi dan remediasi untuk anak – anak dengan kebutuhan khusus di Bandung adalah Risantya. Risantya adalah Pusat Terapi dan Remediasi anak – anak dengan kebutuhan khusus. Pelaksanaan program – program yang diberikan oleh lembaga Risantya antara lain terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi/motorik halus, terapi fisik/ fisioterapi, remediasi pendidikan dan sosial. Salah satu cara komunikasi terapis yang tepat dalam menangani anak yang menderita Autisma di Risantya adalah dengan komunikasi terapeutik. Dalam hal ini, terapis memakai dirinya secara terapeutik dan memakai berbagai teknik komunikasi agar perilaku anak berubah ke arah yang positif seoptimal mungkin (Anna, 1996:29). Komunikasi terapeutik yang dibangun oleh terapis terhadap anak Autisma adalah membangkitkan interaksi dari anak tersebut. Sehingga anak Autisma tergugah dirinya untuk bertindak dan melakukan interaksi. Banyak cara yang dilakukan Risanya untuk melakukan terapi terhadap anak Autisma. Cara komunikasi terapeutik terapis dilakukan dengan komunikasi verbal dan nonverbal. Pelaksanaan komunikasi terapeutik oleh para terapis dalam upaya terapi penyembuhan, tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Hambatan – hambatan itu antara lain adanya sikap acuh tak acuh anak – anak terhadap terapis dalam melakukan komunikasi, menolak pesan komunikasi yang 4 disampaikan, mendengarkan tetapi anak autisma tersebut tidak melaksanakan atau lambat dalam melaksanakan perintah dari terapis. Menghadapi hambatan – hambatan tersebut, diharapkan terapis menangani dengan sabar dengan situasi kondisi anak – anak dengan kebutuhan khusus (Autisma), sehingga hambatan tersebut dapat dianggap sebagai tantangan kerja dan memacu terapis untuk meningkatkan komunikasi terapeutik yang dilakukan dengan mengupayakan adanya suatu kedekatan secara psikologis. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : “ Bagaimana Komunikasi Terapeutik Terapis dalam menangani anak – anak Autisma di Pusat Terapi dan Remediasi Risantya Bandung”. 1.3 Identifikasi Masalah 1. Bagaimana komunikasi terapeutik terapis secara verbal dalam menangani anak-anak Autisma? 2. Bagaimana komunikasi terapeutik terapis secara nonverbal dalam menangani anak – anak Autisma? 3. Bagaimana teknik komunikasi terapeutik terapis dalam menangani anak – anak Autisma? 5 1.4 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui penyampaian pesan komunikasi terapeutik secara verbal yang disampaikan oleh terapis dalam menangani anak Autisma. 2. Untuk mengetahui penyampaian pesan komunikasi terapeutik secara nonverbal yang disampaikan oleh terapis dalam menangani anak Autisma 3. Untuk mengetahui teknik komunikasi terapeutik terapis dalam menangani anak Autisma. 1.5 Alasan Pemilihan Masalah 1. Anak dengan kebutuhan khusus seperti Autisma sangat memerlukan terapi dengan komunikasi terapeutik untuk merubah anak ke arah yang positif seoptimal mungkin. 2. Anak yang menderita Autisma mempunyai kelainan pada perilaku dan cara berkomunikasi. 3. Komunikasi terapeutik merupakan kegiatan yang sangat penting dalam pusat terapi Risantya, dalam menangani anak dengan kebutuhan khusus. 1.6 Pembatasan Masalah dan Pengertian Istilah 1.6.1 Pembatasan Masalah Untuk menghindari agar tidak terlalu meluasnya pembahasan, maka ruang lingkup yang diteliti dibatasi menjadi : 1. Masalah dibatasi pada kegiatan komunikasi terapeutik terapis, dalam menangani anak – anak Autisma. Kegiatan tersebut meliputi penyampaian 6 pesan secara verbal dan nonverbal, dan teknik komunikasi terapeutik terapis. 2. Peneliti hanya meneliti anak – anak yang mempunyai Autisma. 3. Lokasi penelitian dilakukan di Pusat terapi dan remediasi Risantya jalan Kota Baru no.30 Bandung. 4. Batas waktu penelitian di Pusat Terapi Risantya selama bulan Januari 2007 sampai dengan bulan April 2007. 1.6.2 Pengertian Istilah 1. Komunikasi Terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. (Purwanto, 1994:20). 2. Komunikasi adalah informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan lain-lain dengan menggunakan simbol kata-kata, gambar, bagan, grafik, dan lainlain. Komunikasi berlangsung dengan menggunakan simbol verbal dan nonverbal saja termasuk ke dalam proses komunikasi secara primer. (Liliweri, 1994:6) 3. Terapis adalah orang yang melakukan terapi pada seseorang. 4. Autisma adalah berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisma seakan – akan hidup di dunianya sendiri. Sehingga autisma ini disebut dengan kelainan yang berada pada diri seseorang dimulai pada masa kanak – kanak (Kanner,2003:12). 7 5. Teknik komunikasi terapeutik adalah kepandaian perawat dalam menanggapi respons yang disampaikan klien (pasien) baik secara verbal maupun nonverbal. (Suryani, 2005 : 65) 1.7 Kegunaan Penelitian Penulisan laporan ini memiliki beberapa kegunaan, baik itu kegunaan teoritis, maupun kegunaan praktis. Adapun kegunaan tersebut antara lain : Kegunaan Teoritis 2. Bagi penulis, selain untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam melakukan pengembangan serta melatih kemampuan berpikir secara sistematis, juga sebagai proses belajar untuk dapat menerapkan pengetahuan yang diterima selama perkuliahan dan mempertajam daya nalar. 3. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan menjadi bahan rujukan bagi peneliti lain yang sejenis sehingga berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Serta penulis mencoba menjelaskan mengenai komunikasi terapeutik terapis pada anak-anak Autisma kepada khalayak yang mungkin belum banyak mengetahui mengenai hal ini. 1.7.2 Kegunaan Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi khalayak dalam membantu penyembuhan anak-anak Autisma. 8 1.8 Anggapan Dasar Anggapan dasar merupakan landasan teori yang penulis jadikan dasar atau titik tolak dalam penelitian, yang berkaitan dengan tema yang diajukan. Anggapan dasar tersebut antara lain : 1. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi. Seorang penolong (helper) atau perawat dapat membantu klien mengatasai masalah yang dihadapinya melalui komunikasi.( Suryani,2006:12) 2. Komunikasi verbal adalah penggunaan kata – kata atau tulisan. Bahasa yang digunakan seseorang biasanya mengusyaratkan arti khusus yang kadang hanya dimengerti oleh komunitas tempat individu berada. Sehingga dengan bahasa yang diucapkan atau dituliskan, kita dapat menebak seseorang berasal dari komunitas mana. Dalam komunikasi terapeutik, pesan verbal sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu denotative and connotative meaning (kemaknaan), vocabulary (pembendaharaan kata), clarity and brevity (kejelasan dan keringkasan), dan timing and relevance (waktu dan relevansi). ( Potter dan Pery dalam Arwani,1987:19,20) 3. Komunikasi nonverbal diartikan sebagai transmisi dari pesan dengan menitikberatkan pada kiasan makna kata dibandingkan dengan makna kata itu sendiri. Dengan kata lain, pesan yang disampaikannya telah keluar dari kata yang sebenarnya. 9 Dalam komunikasi nonverbal isyarat – isyarat lebih signifikan dibandingkan dengan kata – kata yang ada. Namun demikian, seringkali komunikasi nonverbal membantu memberikan kepastian atau kebenaran terhadap komunikasi verbal. Dalam komunikasi terapeutik pesan nonverbal dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; penampilan, postur dan cara berjalan, gerakan mata, ekspresi muka, sentuhan, isyarat tangan, kesedian ruang dan jarak. (Arwani,2003:35-45). 5. Dalam menanggapi pesan yang disampaikan pasien (anak Autisma), terapis dapat menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik. Suryani dalam bukunya Komunikasi Terapeutik Teori & Praktek, menyebutkan teknik komunikasi terapeutik yang terdiri dari : 1. Mendengarkan dengan aktif 2. Pertanyan terbuka 3. Mengulang 4. Klarifikasi 5. Refleksi 6. Memfokuskan 7. Membagi Persepsi 8. Mengidentifikasi tema 9. Memberi Informasi 10. Eksplorasi 11. Memberi pujian/ memberi penghargaan 10 12. Diam 13. Humor 14. Menyimpulkan 1.9 Operasianal Variabel Operasionalisasi variabel adalah “Mengukur konsep abstrak menjadi besaran yang dapat diukur, sedangkan variabel adalah konstruk yang sifat – sifatnya sudah diberi nilai“. (Rakhmat, 2001 : 12) Variabel : Komunikasi terapeutik Terapis Indikator 1 : Penyampaian pesan verbal Alat ukur : 1. kemaknaan 2. perbendaharaan kata 3. kejelasan dan keringkasan pesan Indikator 2 : Penyampaian pesan nonverbal Alat ukur : 1. gerakan mata 2. ekspresi wajah 3. isyarat tangan 4. sentuhan 5. kesedian ruang dan jarak Indikator 3 : Teknik komunikasi terapeutik Alat ukur : 1. mendengarkan dengan aktif 2. pertanyaan terbuka 3. memberi informasi 11 4. memberi pujian/ penghargaan 5. diam 1.10 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data 1.10.1 Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif yaitu metode penelitian yang hanya memaparkan situasi atau peristiwa. Tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi (Rakhmat, 2001:24). Menurut Isaac dan Michael, metode deskriptif bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat (Rahkmat 2001:22). Metode deskriptif sebagai penelitian survai (Isaac dan Michael, 1981 : 46) atau penelitian observation (Wood, 1977 : 29) (Rahkmat, 2001 : 24-25). Menurut Rahkmat (2001:25) penelitian deskriptif ditujukan untuk : 1. Mengumpulkan informasi faktual secara terperinci yang melukiskan gejala-gejala yang ada. 2. Mengidentifikasi masalah atau menganalisa situasi-kondisi dan praktek-praktek yang berlaku. 3. Membuat perbandingan atau evaluasi. 4. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah dan belajar dari pengalaman untuk dapat menetapkan rencana dan keputusan pada masa yang akan datang. Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk melukiskan fakta yang kemudian di analisis mengenai kegiatan komunikasi verbal, nonverbal dan teknik komunikasi terapeutik terapis dalam menangani anak-anak autisma di Pusat Terapi dan Remediasi Risantya. 12 1.10.2 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Wawancara Yaitu suatu cara untuk mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada terapis yang berhubungan dengan penelitian ini yang dimaksudkan untuk memperoleh data yang benar dan jelas. Dalam hal ini penulis memperoleh data dengan cara bertanya secara mendalam kepada terapis yang menangani anak – anak Autisma. 2. Studi Kepustakaan Yaitu dengan membaca buku dan karya ilmiah yang dianggap mendukung penelitian. 3. Observasi Yaitu mengumpulkan data dan mengolah data dengan cara melakukan tinjauan secara langsung ke objek penelitian yaitu di Pusat Terapi dan Remediasi Risantya Bandung. Adapun alat yang digunakan dalam observasi yaitu menggunakan Tape recorder, Catatan Lapangan, dan Camera foto. 1.11 Key Informan Dalam penelitian ini peneliti menggunakan lima orang informan atau sumber informasi utama yang dapat dipercaya. Informan tersebut adalah Kusdarini, Margiasih, Mutmainah, Henri dan Septi Hermiati mereka para terapis yang menangani anak-anak autisma di Risantya. (Sumber : Risantya, November 2006) 13 1.12 Organisasi Karangan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap babnya terbagi dalam beberapa sub, dimana hal ini dilakukan agar penulisan tersusun secara teratur, serta pembahasan dapat dilakukan secara terarah dan terpadu. BAB I : PENDAHULUAN Bab I merupakan Bab Pendahuluan, dimana di dalamnya berisi mengenai : latar belakang masalah, perumusan masalah, identifikasi masalah, alasan pemilihan masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah dan pengertian istilah, kegunaan penelitian, anggapan dasar, operasionalisasi variabel, metode penelitian dan teknik pengumpulan data, key informan, organisasi karangan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab II merupakan Bab Tinjauan Teoritis dimana di dalamnya berisi mengenai teori-teori yang berhubungan dengan masalah yang penulis teliti, teori-teori tersebut adalah teori-teori tentang : pengertian komunikasi terapeutik, tinjauan komunikasi terapeutik, tujuan komunikasi terapeutik, karakteristik komunikasi terapeutik, fungsi komunikasi terapeutik, komunikasi verbal, komunikasi nonverbal, komunikasi verbal pada komunikasi terapeutik, komunikasi nonverbal pada komunikasi terapeutik, teknik-teknik komunikasi terapeutik. 14 BAB III : OBJEK PENELITIAN Bab III merupakan Bab Objek Penelitian, yang di dalamnya berisi mengenai : latar belakang Risantya, visi dan misi Risantya, motto Risantya, tujuan Risantya, tahapan penanganan anak di Risantya, syarat anak untuk bergabung dengan Risantya, waktu terapi anak, syarat menjadi terapis di Risantya, proses penanganan anak autis oleh terapis, proses penanganan anak autisma oleh orang tua, pelaksanaan program Risantya, struktur kelembagaan Risantya, pengertian autisma, penyebab autisma, gejala-gejala autisma, karakteristik autisma, pengelompokan autisma. BAB IV : PEMBAHASAN Bab IV merupakan Bab Pembahasan, dimana di dalamnya peneliti akan menguraikan tentang hasil dari analisis yang terfokus pada identifikasi masalah yaitu mengenai komunikasi terapeutik terapis secara verbal dalam menangani anak-anak Autisma, komunikasi terapeutik terapis secara nonverbal dalam menangani anak-anak Autisma, teknik komunikasi terapeutik terapis dalam menangani anak-anak Autisma. BAB V : PENUTUP Bab V merupakan Bab Penutup, yang di dalamnya berisi mengenai kesimpulan dan saran-saran terhadap permasalahan yang dibahas. 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik Komunikasi dalam bidang keperawatan merupakan proses untuk menciptakan hubungan antara perawat dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya, untuk mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta kerja sama dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam keperawatan komunikasi terapeutik sangat memegang peranan penting untuk membantu pasien dalam memecahkan masalah. Kemampuan komunikasi tidak dapat dipisahkan dari tingkah laku seseorang yang melibatkan aktifitas fisik, mental, disamping juga dipengaruhi latar belakang sosial, pengalaman, usia, pendidikan dan tujuan yang ingin dicapai. Dalam era kemajuan seperti sekarang ini komunikasi dari perawat sebagai orang yang terdekat dengan pasien menjadi lebih penting baik secara verbal maupun nonverbal dalam membantu penyembuhan pasien. Stuart, G. W., dalam Suryani (2005:12) menyatakan bahwa, “Komunikasi ditujukan untuk mengubah perilaku klien dalam mencapai tingkat kesehatan yang optimal.” Karena bertujuan untuk terapi maka komunikasi dalam keperawatan disebut komunikasi terapeutik. Northhouse dalam Suryani (2005:12) menyatakan bahwa, “Komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau keterampilan perawat untuk membantu klien 16 beradaptasi terhadap stress, mengatasi gangguan psikologis, dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain.” Sedangkan Stuart G.W., dalam Suryani (2006:12) menyatakan bahwa, “Komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara perawat dan klien, dalam hubungan ini perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien”. Dari beberapa pengertian di atas Suryani menyimpulkan bahwa Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi. Seorang penolong (helper) atau perawat dapat membantu klien mengatasai masalah yang dihadapinya melalui komunikasi. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang di rencanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi professional yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan. (Purwanto, 1994:20) Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Persoalan mendasar dari komunikasi ini adalah adanya saling kebutuhan antara perawat dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi diantara perawat dan pasien, perawat membantu dan pasien menerima bantuan. 17 2.2 Tinjauan Komunikasi Terapeutik 2.2.1 Tujuan Komunikasi Terapeutik Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi klien ke arah yang lebih positif atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi : 1. Realisasi diri, penerimaan diri, dan peningkatan penghormatan diri. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri klien. Klien yang tadinya tidak bisa menerima diri apa adanya atau merasa rendah diri, setelah berkomunikasi terapeutik dengan perawat akan mampu menerima dirinya. Dengan melakukan komunikasi terapeutik pada klien , diharapkan perawat dapat mengubah cara pandang klien tentang penyakitnya, dirinya, dan masa depannya sehingga klien dapat menghargai dan menerima diri apa adanya. 2. Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superficial dan saling bergantung dengan orang lain. Melalui komunikasi terapeutik, klien belajar bagaimana menerima dan diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur, dan menerima klien apa adanya, perawat akan dapat meningkatkan kemampuan klien dalam membina hubungan saling percaya. 3. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan yang realistis. Terkadang klien menetapkan ideal diri atau tujuan yang terlalu tinggi tanpa mengukur kemampuannya. Taylor,Lilis dan La Mone dalam 18 Suryani (2005:14) mengatakan bahwa “Individu yang merasa kenyataan dirinya mendekati ideal diri mempunyai harga diri yang tinggi sedangkan individu yang merasa kenyatan hidupnya jauh dari ideal dirinya akan merasa rendah diri.” Peran perawat adalah membimbing klien dalam membuat tujuan yang realistis dan meningkatkan kemampuan klien memenuhi kebutuhan dirinya. 4. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri. Identiras personal di sini termasuk status, peran, dan jenis kelamin. Klien yang mengalami ganguan identitas personal biasanya tidak mempunyai rasa percaya diri dan mengalami harga diri rendah. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat membantu klien meningkatkan integritas dirinya dan identitas diri yang jelas. Perawat berusaha menggali semua aspek kehidupan klien di masa sekarang dan masa lalu. Kemudian terapis membantu meningkatkan integritas diri klien melalui komunikasinya dengan klien. (Suryani, 2005 : 13-14) 2.2.2 Karakteristik Komunikasi Terapeutik Ada tiga hal mendasar yang memberi cirri-ciri komunikasi terapeutik yaitu keikhlasan (genuineness), empati (empathy), dan kehangatan (warmth). (Arwani, 2002:54-58) 19 1. Gunuineness Dalam rangka membantu klien, terapis harus menyadari tentang nilai, sikap, dan perasaan yang dimiliki terhadap keadaan klien. Apa yang perawat pikirkan dan rasakan tentang individu dan dengan siapa dia berinteraksi selalu dikomunikasikan pada individu, baik secara verbal maupun nonverbal. Terapis yang mampu menunjukan rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dipunyai terhadap pasien sehingga mampu belajar untuk mengkomunikasikannya secara tepat. Terapis tidak akan menolak segala bentuk perasaan negative yang dipunyai klien, bahkan ia akan berusaha berinteraksi dengan klien. Hasilnya, terapi akan mampu mengeluarkan segala perasaan yang dimiliki dengan cara yang tepat, bukan dengan cara menyalahkan atau menghukum klien. 2. Empathy Empati merupakan perasaan “pemahaman” dan “penerimaan” terapis terhadap perasaan yang dialami klien dan kemampuan merasakan “dunia pribadi pasien”. Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitive, dam tidak dibuat-buat (objektif) didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati berbeda dengan simpati. Simpati merupakan kecenderungan berfikir atau merasakan apa yang sedang dilakukan atau dirasakan oleh pasien. Karenanya, simpati lebih bersifat subjektif dengan melihat “dunia orang lain” untuk mencegah perspektif yang lebih jelas dari semua sisi yang ada tentang isu-isu yang sedang dialami seseorang. 20 Empati bisa dikatakan sebagai “kunci” sukses dalam berkomunikasi dan ikut memberikan dukungan tentang apa yang sedang dirasakan klien. Sebagai “perawat empatik” , perawat harus berusaha keras untuk mengetahui secara pasti apa yang sedang dipikirkan dan dialami klien. Pada komdisi seperti ini, empati dapat diekspresikan melalui berbagai cara yang dapat dipakai ketika dibutuhkan, mengatakan sesuatu tentang apa yang perawat pikirkan tentang klien, dan memperhatikan kesadaran tentang apa yang saat ini sedang dialami pasien. Empati memperbolehkan perawat untuk berpatisipasi sejenak terhadap sesuatu yang terlait dengan emosi klien. Perawat yang berempati dengan orang lain dapat menghindarkan penilaian berdasarkan kata hati (impulsive judgement) tentang seseorang dan pada umumnya dengan empati akan menjadi lebih sensitif dan ikhlas. 3. Warmth Hubungan yang saling membantu (helping relationship) dibuat untuk memberikan kesempatan klien mengelurkan “unek-unek” (perasaan dan nilai-nilai) secara bebas. Dengan kehangatan, perawat akan mendorong klien untuk mengekspresikan ide-ide dan menuangkannya dalam bentuk perbuatan tanpa rasa takut dimaki atau dikonfrontasi. Suasana yang hangat, pesimisif, dan tanpa adanya ancaman menunjukan adanya rasa penerimaan perawat terhadap pasien. Sehingga pasien akan mengekspresikan perasaannya secara lebih mendalam. Kondisi ini akan membuat perawat mempunyai kesempatan lebih luas untuk mengetahui 21 kebutuhan klien. Kehangatan juga dapat dikomunikasikan secara nonverbal. Penampilan yang tenang, suara yang meyakinkan, dan pegangan tangan yang halus menunjukan rasa kasihan atau kasih sayang perawat terhadap pasien. Komunikasi juga mempunyai arti bagi perawat. Menurut Stuart & Sundeen (1995), arti komunikasi bagi perawat adalah : 1. Merupakan alat untuk membangun hubungan terapeutik. 2. Merupakan alat bagi perawat untuk mempengaruhi tingkah laku klien dan kemudian untuk mendapatkan keberhasilan dalam intervensi keperawatan. 3. Komunikasi merupakan hubungan itu sendiri, dimana tanpa ini tidak mungkin terjadi hubungan terapeutik itu perawat- klien. (Nurjannah, 2001:37). 2.2.3 Fungsi Komunikasi Terapeutik Fungsi komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Perawat berusaha mengungkap perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan. Proses komunikasi yang baik dapat memberikan pengertian tingkah laku pasien dan membantu pasien untuk dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi pada tahap perawatan. Sedangkan pada tahap preventif kegunaannya adalah mencegah adanya tindakan yang negatif terhadap pertahanan diri pasien. (Purwanto,1994 : 20 -21) 22 2.3 Komunikasi Verbal dan Nonverbal 2.3.1 Komunikasi Verbal Komunikasi selalu terjadi dalam berbagai hal tempat dan pada setiap aktivitas kehidupan manusia, tidak terkecuali pada aktifitas keperawatan atau pengobatan. Dalam setiap aktivitasnya, perawat (terapis) dengan klien (pasien) tidak terlepas dari peristiwa- peristiwa komunikasi yang berlangsung. Dalam pergaulan hidup manusia, di mana individu-individu tersebut saling berinteraksi, saling mempengaruhi demi keuntungan dan kepentingan pribadi masing-masing, terjadilah saling mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam bentuk perkataan. Komunikasi adalah pengungkapan perasaan dan pikiran seseorang kepada orang lain yang diungkapkan lewat kata – kata yang termasuk ke dalam bahasa. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Effendy, “Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.” (Effendy,1993: 28) John B. Hobbeb dalam Liliweri (1994:5) mengatakan bahwa, “Komunikasi adalah pertukaran verbal dari pemikiran atau gagasan.”. Dalam definisi tersebut, penekanan komunikasi adalah pada konsep bahasa sebagai lambang verbal dalam pembicaraan. Akan tetapi komunikasi tidak hanya bisa diungkapkan melalui pesan-pesan verbal saja, melainkan juga dengan malalui pesan- pesan nonverbal yang berupa simbol-simbol. Simbol yang digunakan 23 dalam komunikasi bukan saja simbol verbal yang berupa kata-kata tapi juga menggunakan simbol yang berupa gambar, grafik, dan simbol-simbol lainnya yang merupakan simbol nonverbal. Hal tersebut dikemukakan oleh Berelson dan Steiner dalam Liliweri (1994:6) yang menyatakan bahwa “Komunikasi adalah informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan lain-lain dengan menggunakan simbol kata-kata, gambar, bagan, grafik, dan lain-lain.” Komunikasi berlangsung dengan menggunakan simbol verbal dan nonverbal saja termasuk ke dalam proses komunikasi secara primer. “Proses komunikasi secara primer menggunakan lambang sebagai media atau salurannya. Lambang-lambang ini terdiri dari lambang verbal dan nonverbal.” (Effendy, 1993:333). Sementara itu John Stewart dan Gary D’ Angelo menggolongkan tipe komunikasi sebagai berikut : Types Of Communication Vocal Communication Verbal Communication Spoken Word Nonvocal Communication Written Word Tone of voice, sighs, Gestures, Nonverbal Communication screams, vocal qualities appearance, movement, facial, (loudness, picth, and so expression, and so on) on) Adapted from John Stewart & Gary D’Angelo, togethet: Communicating Interpersonally, 2nd (Reading Mass.: Addison-Wesley, 1980). p:22 (Alder Rodmen, 1985:96) 24 Komunikasi verbal terbagi menjadi dua bagian, yaitu komunikasi verbal vokal dan komunikasi verbal nonvokal, begitu pula dengan komunikasi nonverbal yang terdiri dari komunikasi nonverbal vokal dan komunikasi nonverbal nonvokal. Komunikasi verbal vokal merupakan komunikasi melalui kata-kata yang terangkum dalam suatu kalimat dan menjadi suatu bahasa yang diucapkan, sedangkan komunikasi verbal nonvokal merupakan komunikasi melalui kata-kata yang tidak diucapkan yang dituangkan malalui tulisan. Sedangkan komunikasi nonverbal vokal yaitu komunikasi tanpa kata-kata yang hanya mengeluarkan suara tanpa ada suatu arti yang terkandung dalam komunikasi lisan atau verbal, misalnya nada suara, teriakan, kualitas vokal, tinggi rendahnya suara, kekerasan suara, dan sebagainya. Komunikasi nonverbal nonvokal merupakan komunikasi tanpa mengeluarkan suara dan kata-kata, ini hanya merupakan gerakan-gerakan dari tubuh yang memiliki arti tertentu seperti bentuk tubuh, gerak tubuh, penampilan, mimik muka, ekspresi muka dan lain-lain. Komunikasi verbal vokal disebut juga komunikasi verbal lisan. Menurut Devito Victoria dan Robert dalam Liliweri (1994:43-44) , komunikasi lisan terdiri dari enam jenis yaitu : 1. 2. 3. Emotive Speech. Emotive Speech merupakan gaya bicara yang lebih mementingkan aspek psikologis. Lebih mengutamakan pemilihan kata yang didukung oleh pesan verbal. Phatic Speech. Phatic Speech merupakan komunikasi verbal yang berusaha menciptakan hubungan sosial. Cognitive Speech. Cognitive Speech merupakan jenis komunikasi verbal yang mengacu pada kerangka berfikir atau rujukan yang secara tegas mengartikan suatu kata secara denotatif dan bersifat informatif. 25 4. 5. 6. Rethorical Speech. Rethorical Speech mengacu pada komunikasi verbal yang menekankan sifat konotatif. Gaya bicara ini mengarahkan pilihan ucapan yang mendorong terbentuknya prilaku. Metalingual Speech. Metalingual Speech yaitu komunikasi lisan secara verbal yang tema pembicaraannya tidak mengacu pada objek dan peristiwa dalam dunia nyata melainkan tentang pembicaraan itu sendiri. Tipe pembicaraan ini sangat berbeda dari yang lain, bersifat sangat abstrak dan berorientasi pada tanda-tanda komunikasi. Poetic Speech. Poetic Speech yaitu komunikasi verbal lisan yang berkutat pada struktur. Penggunaan kata yang melalui perindahan pilihan kata, ketepatan ungkapan biasanya menggambarkan rasa seni dan pandangan serta gaya-gaya lain yang khas. 2.3.2 Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang dilakukan secara sengaja ataupun secara spontan oleh seseorang. Larry A. Samovar dan Richard E. Poerter mengatakan bahwa : Komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan (Mulyana,2001 : 308 ). Komunikasi nonverbal terdiri dari komunikasi nonverbal vokal dan nonverbal nonvokal. Nonverbal vokal terdiri dari tone of voice, sighs, screams, vocal qualitiea (loudness, pitch, and so on) sedangkan nonverbal nonvokal terdiri dari getures, movement, appearance, facial expression, and so on. (Alder & Rodman, 1985 : 96). Kita mengirimkan banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan tersebut bermakna bagi orang lain. Sebagaimana kata-kata, kebanyakan pesan nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi pesan 26 nonverbal yang dimiliki oleh suatu masyarakat tidak akan sama dengan pesan nonverbal yang terdapat pada masyarakat yang berbeda. Dengan kata lain pesan nonverbal ini merupakan suatu hal yang dipelajari, bukan bawaan, artinya pesan nonverbal yang dimiliki itu tidak terlepas dari budaya yang ada pada masyarakat tersebut. Secara teori, komunikasi nonverbal berbeda dan dipisahkan dengan komunikasi verbal, tetapi pada kenyataannya komunikasi verbal selalu dibarengi oleh komunikasi nonverbal. Kedua jenis komunikasi ini selalu digunakan bersamaan dalam komunikasi tatap muka yang dilakukan sehari-hari. Ketika seseorang melakukan komunikasi secara verbal melalui bahasa tapi juga melakukan komunikasi nonverbal pada waktu bersamaan. Komunikasi nonverbal yang dilakukannya dapat terlihat melalui nada suaranya, gerakan tubuhnya, ekspresi wajahnya, penampilannya, ataupun melalui tatapan matanya. Komunikasi nonverbal ini dilakukan secara sadar ataupun spontan dalam komunikasi tatap muka.yang terjadi. Ronald B. Alder dan George Rodman dalam bukunya Understanding In Human Communication, menyebutkan karakteristik komunikasi nonverbal yang terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5. Nonverbal communication exsist One can’t not communicate Nonverbal communication transmit feelings Nonverbal communication is ambigous Much nonverbal communication is culture- bound ( 1985 :97-99) Dapat diartikan bahwa komunikasi nonverbal selalu ada mengikuti komunikasi verbalnya. Hal ini terlihat ketika seseoarang berbicara, ia tidak dapat 27 menyembunyikan pikiran dan perasaan yang sesungguhnya karena apa yang dia rasakan dan pikirkan akan terlihat dari bahasa nonverbal yang dilakukannya, meskipun dalam komunikasi verbalnya ia tidak mengatakan apa yang dirasakan dan dipikirkannya. Karakteristik komunikasi nonverbal yang kedua menyatakan bahwa komunikasi tidak dapat dilakukan, artinya biarpun seseorang tidak berbicara, ia tetap melakukan komunikasi. Diam yang dia lakukan memberikan makna bagi orang lain dan setiap orang bisa mengartikan makna yang berbeda. Karakteristik komunikasi nonverbal yang ketiga adalah komunikasi nonverbal dapat mengungkapkan perasaan seseorang. Pesaraan seseorang seringkali terungkap melalui komunikasi nonverbal yang dia lakukan. Karakteristik yang keempat yaitu komunikasi nonverbal bersifat ambigu, artinya komunikasi nonverbal yang dilakukan oleh seseorang bisa memiliki makna berbeda pada orang lain dan setiap orang bisa mengartikan makna yang berbeda beda pada komunikasi nonverbal yang dilakukan oleh seseorang. Komunikasi nonverbal menjalankan sejumlah fungsi penting. Menurut Mark L. Knapp dalam Rakhmat (2000:287), fungsi dari komunikasi nonverbal adalah : 1. Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. 2. Subtitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. 3. Kontradiksi, yaitu menolak pesan verbal atau menggantikan makna lain terhadap pesan verbal. 4. Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. 5. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. 28 Dengan menggunakan komunikasi nonverbal, pesan-pesan yang disampaikan secara verbal dapat lebih dimengerti dengan adanya pesan-pesan nonverbal. Komunikasi nonverbal memberikan makna dalam setiap pesannya.pesan nonverbal yang dikomunikasikan bersamaan dengan pesan verbal memberikan makna yang utuh, tidak dapat dipisah-pisahkan, karena itulah, komunikasi nonverbal berfungsi untuk mempertegas komunikasi verbal yang dilakukan. Duncan dalam Rakhmat (2000:289-294) menyebutkan enam jenis pesan nonverbal, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kinesik atau gerak tubuh Paralinguistik atau suara Proksemik atau penggunaan ruang personal dan sosial. Olfaksi atau penciuman. Sensitivitas kulit. Faktor artifaktual, seperti pakaian dan kosmetik. Sementara itu Leathers dalam Rakhmat (2000:289) membagi pesan nonverbal menjadi tiga kelompok besar, yaitu pesan nonverbal visual yang meliputi kinesik, proksemik, dan artifaktual; pesan nonverbal auditif yaitu paralinguistik; dan pesan nonverbal nonvisual auditif yaitu tidak berupa kata-kata, tidak terlihat, dan tidak terdengar meliputi sentuhan dan penciuman. Pesan kinesik atau gerak tubuh adalah pesan yang tidak menggunakan gerak tubuh, terdiri dari tiga komponen utama yaitu: pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural. Pesan fasial adalah pesan yang menggunakan air muka untuk menyampaikan isyarat tertentu. Pesan gestural adalah pesan yang menunjukan gerakan sebagian anggota tubuh seperti mata dan tangan untuk 29 mengkomunikasikan berbagai makna. Sedangkan pesan postural adalah pesan yang berkenaan dengan seluruh anggota badan. (Rakhmat,200:289) Pesan fasial dapat terlihat dari air muka, termasuk mata daan bibir, berikut ini gambar yang menunjukan air muka seseorang. (Tubbs & Moss, 200:131) Gambar tersebut menunjukan berbagai macam air muka seseorang. Air muka seseorang dapat terlihat melalui mata, alis dan bibir. Bila seseorang tersenyum, maka garis bibir akan tertarik keatas, bila cemberut maka garis bibir tertarik kebawah, bila seseorang sedih maka garia bibir ditarik ke bawah disertai garis alis yang menurun sedangkan bila seseorang sedang marah maka garis bibir akan ditarik ke bawah disertai alis yang tertarik ke atas. Komunikasi mata, seperti halnya pesan kinesik, juga menggambarkan pikiran dan perasaan seseorang. Arah pandangan mata mengkomunikasikan seseuatu. Pesan yang dikomunikasikan oleh mata bervariasi, tergantung pada lamanya, arah pandangan, dan perilaku mata. Paul Ekman dalam Mulyana (2001:314) menyebutkan lima fungsi pesan nonverbal yang dapat dilukiskan dengan perilaku mata, yakni sebagai berikut: 1. 2. 3. Emblem. Gerakan mata merupakan simbol yang memiliki kesetaraan dengan simbol verbal. Ilustrator. Pandangan ke bawah dapat menunjukan depresi atau kesedihan. Regulator. Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka. Memalingkan muka menandakan ketidaksediaan berkomunikasi. 30 4. 5. Penyesuai. Kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang berada dalam tekanan. Itu merupakan upaya tubuh untuk mengurangi kecemasan. Affect Display. Pembesaran manik mata (pupil dilation) menunjukan peningkatan emosi. Madenik dalam Tubbs & Moss (2000:134) membagi pola gerakan mata, teori tentang mengakses informasi sebagai berikut : 1. Isyarat mengakses visual. Isyarat pengakses visual adalah pola gerakan mata yang berhubungan dengan sesuatu yang kita lihat. Pola gerakan mata ini terdiri dari : Mengingat gambar (atas dan kiri). Pada umumnya seseorang yang mengingat peristiwa-peristiwa yang mereka lihat, pola gerakan mata akan mengarah ke sudut kiri atas. Membayangkan menciptakan gambar (atas dan kanan). Ketika membayangkan sesuatu atau menciptakan gambaran pada sesuatu yang sedang dibayangkan, pola gerakan mata akan menunjuk ke arah kanan atas. Membuat gambar (tidak terfokus). Orang yang melamun atau membuat sendiri gambaran sesuatu yang sedang dipirkannya pola gerakan matanya akan menatap kosong ke depan, sehingga tatapannya tidak terfokus pada suatu sudut. 2. Isyarat pengakses oditori. Isyarat pengakses orditori adalah pola gerakan mata yang mencari informasi yang berkaitan dengan bunyi dan suara. Pola gerakan mata mengakses orditori ini adalah sebagai berikut : Mengingat bunyi (samping liri). Seseorang yang sedang mengingat bunyi-bunyian yang ia dengar maka pola gerakan matanya akan mengarah ke samping kiri. Membayangkan/ menciptakan suara (samping kanan). Seseorang yang sedang membayangkan bunyi yang pernah ia dengar atau sedang menciptakan bunyi-bunyian dalam benaknya, maka matanya akan bergerak kesamping kanan. Dialog internal (bawah dan kiri). Gerakan mata ke arah sudut kiri bawah biasanya menunjukan seseorang yang sedang melakukan dialog internal dengan dirinya sendiri. 3. Isyarat pengakses kinesik. Ini adalah gerakan mata yang berhubungan dengan sentuhan, pengecapan, penciuman, dan perasaan. Isyarat pengakses kinesik ini adalah melalui pola gerakan mata ke arah kanan bawah. mengakses sentuhan, pengecapan, penciuman, perasaan (bawah dan kanan) 31 Pesan paralinguistik atau parabahasa adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan cara mengucapkan pesan verbal (Rakhmat, 2000:292). Satu pesan verbal yang sama dapat mengartikan arti yang berbeda bila diucapkan dengan cara yang berbeda. Pesan paralinguistik terdiri dari nada, kualitas suara, volume, kecepatan, dan ritme. Kualitas suara yang menunjukan ‘penuh’ atau ‘tipisnya’ suara. Setiap individu mempunyai kualitas suara tersendiri, sehingga kualitas suara mengungkapkan identitas dan kepribadiannya. Volume suara menunjukan tinggi rendahnya suara. (Rakhmat, 2000:293) Proksemik adalah pesan nonverbal yang mengunakan ruang. Edward T Hall membedakan empat macam jarak yang menggambarkan macam hubungan yang dibolehkan, yaitu: 1. Jarak Intim. Dimulai dengan fasa (bersentuhan) sampai dengan fasa jauh sekitar 15-45 cm. Kehadiran seseorang sangat jelas. Masingmasing pihak dapat mendengar, mencium, dan merasakan nafas yang lain. Fasa jauh memungkinkan kita untuk saling menyentuh dengan mengulurkan tangan. 2. Jarak pribadi (personal distance). Dalam fasa dekat jarak pribadi ini antara 45-75 cm. Kita masih dapat saling menyentuh atau memegang tapi hanya dengan mengulurkan tangan. Fasa jauh yaitu 75-120 cm, dua orang dapat saling menyentuh jika keduanya mengulurkan tangan. Fasa jauh ini menggambarkan sejauhmana kita dapat secara fisik menjangkaukan tangan untuk meraih sesuatu. 3. Jarak sosial. Kita kehilangan detil fisual yang diperoleh dalam jarak pribadi. Fasa dekat yaitu 120-210 cm adalah jarak yang kita gunakan bila melakukan pertemuan bisnis dan interaksi pada pertemuanpertemuan yang bersifat sosial. Fasa jauh yaitu 210-360 cm adalah untuk transaksi bisnis yang lebih resmi. Pada jarak ini kontak mata dan suara keras sangat penting, jika tidak komunikasi akan hilang. 4. Jarak Publik. Fasa dekat yaitu 360-450 cm. Orang terlindung oleh jarak. Walaupun kita tidak dapat mengamati secara detail wajah dan mata orang itu., kita masih dapat cukup dekat untuk melihat apa yang sedang berlangsung. Fasa jauh yaitu lebih dari 750 cm. Contoh dari fasa jauh ini adalah aktor yang sedang bersandiwara di atas panggung (Devito,1996:198) 32 Selain penggunakan jarak, Alder dan Rodman menyebutkan pula territory dan environtment sebagai pesan proksemik. Territory adalah the way people use space can communicate a good deal about power and status relationship (1985:113). Territoty merupakan wilayah yang digunakan dalam berkomunikasi. Dengan adanya wilayah ini maka komunikasi tidak hanya berlangsung dengan baik tapi juga dapat memperjelas suatu status hubungan. Sedangkan envitontment adalah lingkungan yang digunakan untuk berkomunikasi. Menurut Alder dan Rodman, a large kind of communication that takes place in it (1985:113). Hal ini menunjukan bahwa lingkungan yang sesuai akan mempertajam terjadinya komunikasi sehingga komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan nyaman. Komunikasi verbal lainnya adalah sensivitas kulit atau sentuhan. Montague dalam Devito (1996:203) mengatakan, “Komunikasi sentuhan dinamai juga haptik (haptics), barangkali merupakan bentuk komunikasi yang paling primitif.” Dikatakan sebagai komunikasi yang paling primitif karena manusia sudah bisa merasakan komunikasi sejak masih di dalam kandungan. Dengan komunikasi sentuhan, orang bisa merasakan perasaan yang sedang dialami oleh orang lain. Smith melaporkan bahwa “Perasaan yang biasanya dikomunikasikan melalui sentuhan adalah tanpa perhatian (detached), kasih sayang (mothering), takut (fearful), marah (angry), dan bercanda (playful).” (Rakhmat, 2000:293) 33 2.4 Komunikasi Verbal Dan Nonverbal Pada Komunikasi Terapeutik 2.4.1 Komunikasi Verbal Pada Komunikasi Terapeutik Potter dan Perry dalam Arwani (2001:20-30) mengidentifikasi bahwa “Komunikasi verbal sangat dipengaruhi beberapa vaktor yaitu denotative and connotativee meaning (kemaknaan), vocabulary (pembendaharaan kata), clarity dan brevity (kejelasan dan keringkasan), dan timing ang relavance ( waktu dan relevansi)” . 1. Kemaknaan Kemaknaan dari kata, kalimat, atau bahasa yang digunakan seseorang menjadi hal yang sangat relevan untuk dikaji dan dimengerti oleh orang yang sedang melakukan proses komunikasi verbal. Sebab bisa jadi satu kata akan mengandung beribu makna. Kemaknaan kata dapat berupa kiasan (connotative meaning) atau bisa juga berbentuk makna sesungguhnya (denotative meaning). Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran atau perasaan atau ide yang terdapat dalam satu kata. Kata serius dipahami klien sebagai suatu kondisi mendekati kematian, tetapi perawat akan menggunakan kata kritis untuk menjelaskan keadaan mendekati kematian. Ketika berkomunikasi dengan klien perawat harus hati-hati memilih kata-kata sehingga tidak mudah untuk disalahtafsirkan. 2. Pembendaharaan kata Pembendaharaan kata yang dipunyai seseorang juga akan berpengaruh terhadap jalannya komunikasi secara verbal. Bisa dikatakan bahwa komunikasi menjadi tidak berhasil apabila penerima tidak mampu mengartikan kata-kata atau kalimat pengirim. Idealnya, antara pengirim dan penerima mempunyai kapasitas kemampuan (usia, pendidikan, budaya, ras, negara, agama, politik, sosial, fisik, psikologis) yang relatif sama. Sehingga kemungkinan ketidakpahaman dan kesalahpahaman arti kata atau kalimat dapat dikurangi sekecil mungkin. Pada konteks kesehatan (kedokteran dan keperawatan) seringkali kata-kata yang dipakai mencerminkan “kesulitan” tersendiri bagi orang awam atau pasien. Istilah medis dan keperawatan yang sangat bervariasi akan mudah dimengerti bagi dokter dan perawat, tetapi bagi orangawam atau pasien membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memahaminya. Karenanya, perawat dan tenaga kesehatan lain disamping harus mampu memahami pembendaharaan kata yang terkait dengan kesehatan dan keperawatan, meraka juga harus dituntut mengerti pembendaharaan kata yang dimiliki oleh pasien. 34 3. Kejelasan dan keringkasan pesan yang disampaikan Komunikasi dikatakan efektif jika disampaikan dengan cara yang sederhana, ringkas, dan padat, dan langsung pada aspek yang dibicarakan. Semakin singkat kata yang digunakan, semakin sedikit kebingungan yang timbul. Karena veriabel dalam diri seseorang (interpersonal veriables) juga terlihat dalam komunikasi, akibatnya komunikasi sering tidak memberikan arti yang tepat. Kata membingungkan seperti “kau mengerti” harus ditambah sedikit penjelasan agar pesan yang disampaikan menjadi jelas. Kejelasan penyampaian pesan dapat dilakukan melalui pembicaraan pelan (ingat jangan terlalu pelan) dan memberi tekanan yang jelas dan tepat. Pada umumnya dengan memberikan contoh, akan mempermudah penerima pesan memahami pesan yang disampaikan. Sedangkan keringkasan kata atau kalimat dapat dicapai dengan menggunakan kata yang tepat dan sederhana untuk mengekspresikan ide-ide yang ada. 4. Waktu dan Relevansi yang tepat Waktu menjadi sesuatu yang sangat kritis bagi persepsi seseorang terhadap pesan yang ia terima. Misalnya, seorang yang sedang menangis karena nyeri yang dirasakan, akan sangat tidak signifikan pada waktu yang bersamaan jika perawat menerangkan mengenai resiko-resiko yang mungki terjadi akibat operasi. Sekalipun pesan disampaikan dengan pelan dan jelas, tetapi karena waktu yang tidak tepat mengakibatkan penerimaaan isi pesan jadi terabaikan. Karenanya perawat harus sensitif untuk menggunakan waktu yang tepat guna mendiskusikan masalahmasalah yang sedang dihadapi pasiennya. Boleh dicatat bahwa waktu yang tepat untuk berinteraksi dengan pasien adalah jika pasien telah menunjukan ketertarikannya dan kesediannya untuk berkomunikasi atau mengkomunikasikan masalah yang sedang dihadapi. 2.4.2 Komunikasi Nonverbal Pada Komunikasi Terapeutik Komunikasi nonverbal diartikan sebagai transmisi dari pesan dengan menitikbaratkan pada kiasan makna kata dibandingkan dengan makna kata itu sendiri. Dengan kata lain, pesan yang disampaikannya telah keluar dari kata yang sebenarnya. Dalam komunikasi nonverbal isyarat – isyarat lebih signifikan dibandingkan dengan kata – kata yang ada. Namun demikian, seringkali 35 komunikasi nonverbal membantu memberikan kepastian atau kebenaran terhadap komunikasi verbal. Dalam komunikasi terapeutik pesan nonverbal dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; penampilan, postur dan cara berjalan, gerakan mata, ekspresi muka, sentuhan, isyarat tangan, dan kesediaan ruang dan jarak.(Arwani,2003:35-45). 1. Penampilan Penampilan merupakan salah satu hal paling diperhatikan dalam proses komunikasi. Karakteristik, cara berpakaian, dan pemakaian perhiasan merefleksikan penampilan fisik yang baik dari seseorang, disamping kepribadian, status sosial, pekerjaan agama, kebudayaan, dan konsep diri. Perawat yang memperhatikan penampilan dirinya dapat menimbulkan citra diri yang positi dan sikap profesional yang positif. Penampilan fisik perawat mempengaruhi persepsi klien terhadap pelayanan/ asuhan keperawatan yang diterima, karena tiap klien mempunyai pandangan atau citra bagaimana seharusnya perawat berpenampilan. Walaupun penampilan tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan, tetapi penampilan perawat dapat memengaruhinya dalam membina hubungan saling percaya dengan klien . 2. Postur dan cara berjalan Postur dan cara berjalan juga memengaruhi proses komunikasi nonverbal. Cara orang berdiri dan bergerak adalah bentuk ekspresi diri yang dapat dilihat. Postur dan gaya berjalan dapat mencerminkan emosi, komsep diri, dan kondisi fisik yang prima. Postur tegak dan langkah tegap memberikan gambaran tentang kondisi yang sehat dan rasa percaya diri yang tinggi. Postur yang tidak tegap lagi dan cara berjalan yang timpang (pincang) mungkin mengindikasikan adanya depresi atau ketidaknyamanan. Postur yang terlalu bungkuk kemungkinan menunjukan adanya respons penyakit fisik atau adanya cedera. Dengan demikian, perawat dapat mengumpulkan informasi yang bermanfaat dengan mengamati sikap tubuh dan langkahnya serta memperoleh umpan balik dari orang lain. Langkah dapat dipengaruhi oleh faktor fisik seperti rasa sakit, obat atau fraktur. 3. Gerakan Mata (Kontak Mata) Gerakan mata juga membertikan arti yang cukup signifikan dalam komunikasi nonverbal. Gerakan bola mata ke arah tertentu akan bisa memberikan arti tertentu pula. Misalnya gerakan mata membelalak/melotot sering dihubungkan dengan keterusterangan, teror dan kenaifan. Pandangan mata sekilas mengartikan kesederhanaan, menaikan alis mata menyiratkan perasaan tidak senang, dan tatapan yang menetap atau terus menerus memaknakan kebencian dan perasaan dingin. Jika dua orang bertemu dan 36 saling berhadapan, kontak mata sering menjadi media pendahuluan dari pesan yang akan dikirimkan. Keinginan melakukan kontak mata selama percakapan dipersepsikan sebagai bisa dipercaya. Perawat harus menghindari melihat ke arah bawah pasien selama diskusi. Upayakan untuk tidak terlalu dominan dan berkesan mengancam serta duduk berhadapan dengan pasien dengan kontak mata pada posisi yang sama. 4. Ekspresi Wajah Ekspresi raut wajah sebagai faktor yang mempengaruhi jalannya komunikasi nonverbal merupakan aspek penting dan paling sering menjadi perhatian dalam komunikasi. Sebagai bagian tubuh paling ekspresif, raut wajah sering memberikan tanda paling awal dalam menginterpretasikan pesan yang disampaikan. Penelitian yang dilakukan oleh Knapp (1972) menunjukan bahwa dari raut wajah dapat dilihat paling tidak enam ekspresi utama emosi : heran (suprise), takut (fear), marah, senang (happiness), sedih (sadness), dan benci atau muak (disgust). Ekspresi raut wajah sering menjadi dasar untuk menentukan hubungan interpersonal. Karena terlalu banyaknya macam ekspresi wajah, akibatnya arti dari ekspresi wajah tersebut menjadi susah untuk dinilai. Wajah mungkin menampakan emosi yang sebenarnya, atau sebaliknya menunjukan ekspresi tidak sesuai dengan emosi yang dirasakan, atau bahkan sedang mengekspresikan adanya suatu tekanan. Sering orang tidak tidak menyadari bahwa pada saat mereka mengirimkan pesan, berarti mereka mengirimkan ekspresi. Dengan memberi umpan balik yang jelas membantu mengurangi kebingungan yang tirjadi akibat adanya konflik antara pesan dan ekspresi. Jika ekspresi wajah gagal menampakan pesan yang jelas, verbal komunikasi harus segera dilakukan untuk myakinkan niat dari pemberi pesan. Misalnya, perawat sebagai pihak yang selalu ada dalam penglihatan atau perhatian pasien, harus bisa mempertimbangkan dampak dari ekspresi wajahnya, terlebih bagi pasien yang sedang bertanya “akankah kematiaku sudah dekat?”. Perubahan sedikit saja dari ekspresi wajah. Namun paling tidak, perawat harus belajar untuk menyadari untuk apa ekspresi wajah ditampakan kepada pasien. 5. Sentuhan Sentuhan juga merupakan faktor lain yang bisa memengaruhi jalannya komunikasi nonverbal. Sentuhan bersifat sangat pribadi, sehingga sentuhan pada umumnya dilakukan di antara orang yang memang benarbenar mempunyai hubungan dekat. Sentuhan tangan lebih bersifat spontan dibandingkan dengan komunikasi verbal, pada umumnya kelihatan lebih nyata. Beragam pesan dapat disampaikan melalui sentuhan tangan , seperti rasa kasih sayang, dukungan emosi, dorongan atau motivasi, penawaran, dan perhatian pribadi. Menurut Stuart,G.W., sentuhan merupakan alat komunikasi yang sangat kuat. Sentuhan juga dapat menimbulkan reaksi positif atau negatif, bergantung pada orang yang terlibat dan lingkungan disekeliling mereka, sentuhan penting dilakukan pada saat klien merasa sangat sedih. Sentuhan 37 pada situasi ini mempunyai arti empati. Sentuhan juga dapat menunjukan arti “Saya peduli”. Akan tetapi pada pelaksanaannya sangat perlu untuk memahami siapa, kapan, dan mengapa sentuhan, dilakukan karena komunikasi nonverbal ini mempunyai efek yang berbeda pada setiap individu. Sentuhan akan memberikan manfaat jika penggunaannya didasarkan atas aspek terapi. 6. Isyarat tangan Perasaan hormat, dengan lambaian tangan atau acungan jempol merupakan bagian dari isyarat tangan. Di dalam pemberian isyarat, gerakan tangan dapat pula diartikan sebuah usaha, pemberian tanda baca, klarifikasi dari kata yang seharusnya diucapkan. Isyarat sendiri mungkin menampakan arti khusus atau membuat pesan dalam hubungannya dengan tanda dari komunikasi jenis lain. Perawat harus benar-benar bisa memahami arti dari sebuah isyarat tangan. Hal ini bisa dilakukan melalui pengalaman yang dapat diperoleh selama berinteraksi dengan orang lain termasuk pasien. 7. Kesediaan ruang dan jarak Kewilayahan dimaknakan sebagai upaya untuk meningkatkan, memelihara, dan mempertahankan hak eksklusif seseorang untuk sebuah wilayah pada ruang tertentu. Selama interaksi sosial, orang secara sadar akan menjaga jarak diantara mereka. Jarak dalam berkomunikasi sangat penting diperhatikan oleh perawat karena akan memengaruhi kelancaran komunikasi. Jarak yang terlalu jauh menyebabkan perawat sulit untuk berespons secara tepat karena perawat tidak bisa melakukan active listening. Menurut Stuart G.W dalam Suryani (2005:49) Jarak untuk berhubungan intim terapeutik adalah 0 – 45 cm, sedangkan jarak pribadi adalah 45 – 120 cm. Berdasarkan pengalaman jarak yang paling nyaman bagi perawat dan klien dalam berinteraksi adalah antara 30 – 40 cm, akan tetapi pada pasien – pasien dengan perilaku kekerasan, jarak yang bisa digunakan antara 100 – 120 cm. 2.5 Teknik – Teknik Komunikasi Terapeutik Tiap individu adalah unik. Artinya tiap individu mempunyai pikiran, perasaan, pengalaman, latar belakang budaya, agama, status sosial ekonomi, dan kebutuhan yang berbeda – beda. Tiap individu juga mempunyai respons yang berbeda- beda dalam menghadapi masalah. Ada yang mampu mengatasinya dan ada yang tidak mampu mengatasinya. Hal ini tentu bergantung pada koping yang dimiliki dan ada tidaknya support system 38 (sistem pendukung). Selain itu, ketika mengalami masalah, tiap individu mengekspresikan masalahnya dan ada pula yang tidak mampu mengungkapkannya. Untuk itu diperlukan perawat yang mempunyai kepekaan terhadap berbagai respon klien, mempunyai kemampuan analisis yang cukup tinggi, dan kemampuan menanggapi respons tersebut. Dalam menanggapi respon yang disampaikan klien, perawat dapat menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik. Suryani dalam bukunya Komunikasi Terapeutik Teori & Praktek, menyebutkan teknik komunikasi terapeutik yang terdiri dari : a. Mendengarkan dengan aktif (Active Listening) Mendengarkan (listening) merupakan dasar utama dalam komunikasi terapeutik. Mendengarkan adalah proses aktif dan penerimaan informasi serta penelaahan reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima. Nilai terapeutik dari mendengarkan yaitu mengkomunikasikan kepada klien tentang minat dan penerimaan perawat secara nonverbal . Selama mendengarkan, perawat harus mengikuti apa yang dibicarakan klien dengan penuh perhatian. Perawat memberikan tanggapan pada saat yang tepat, dan tidak memotong pembicaraan klien. Respons yang bisa disampaikan untuk menunjukan bahwa perawat mendengarkan klien adalah seperti, “M...m...”, “O ya....”, “Terus....”, “Lalu....” Kemampuan listening ini sangat penting dalam komunikasi terapeutik terutama pada fase kerja. Tanpa listening yang baik, perawat tidak akan mampu menggali masalah klien dan memberikan alternatif pemecahan masalah. b. Pertanyaan terbuka Antai- Otong dalam Suryani (2005:66) mengatakan bahwa, “ Pernyataan terbuka (open question) digunakan apabila perawat membutuhkan jawaban yang banyak dari klien. Dengan pertanyaan terbuka, perawat akan mampu mendorong klien mengekspresikan dirinya.” Pertanyaan terbuka bisa diawali dengan kata “apa” dan “bagaimana”. Sedangkan pertanyaan tertutup (closed ended question) digunakan ketika perawat membutuhkan jawaban yang singkat. Contoh : • Pertanyaan terbuka “Bagaimana kabar Ibu hari ini?” “Ceritakan kepada saya, apa yang Ibu pikirkan?” 39 • Pertanyaan tertutup “Masih ingat janji kita kemarin, Bu?” “Berapa orang saudara perempuan Anda?” Selain itu ada juga Inapropriate Quantity Question yaitu pertanyaan yang kurang baik dari sisi jumlah pertanyaan, ini terjadi apabila perawat terlalu banyak bertanya, yang mengakibatkan klien bingung dalam menjawab. Terlalu banyak bertanya merupakan tindakan yang tidak terapeutik karena menimbulkan kebingungan klien untuk menjawab (Long,L., 1994). Contoh : o “Apakah Bapak pulang besok?Kemana?Apakah Bapak senang?” o “Dengan apa Ibu datang kemari? Mobil atau motor? Siapa yang mengantar?” Inapropriate Quality Question yaitu pertanyaan yang tidak baik diberikan pada klien danbiasanya dimulai dengan kata “why” (mengapa). Why question ini dipertimbangkan tidak terapeutik karena 1. Terkesan menginterogasi, sehingga klien merasa seolah-olah diintimidasi. Hal ini bisa menghambat keterbukaan klien terhadap perawat. 2. Tidak dapat menggali perasaan klien yangsebenarnya karena why question menggiring klien untuk menjawab secara rasional atau mengemukakan alasan dari suatu perbuatan atau keadaan, bukan bagaimana perasaannya terhadap kejadian. Contoh : “Mengapa Bapak mengkhianati istri Bapak?” “Mengapa Ibu tega meninggalkan anak-anak Ibu?” Pada kenyataan di lapangan, beberapa perawat masih sering menggunakan why question karena kebiasaan. Contoh pertanyaan yang sering di ucapkan seperti, “Mengapa anda menangis?” , “Mengapa Anda terlambat?” dan sebagainya. c. Mengulang Stuart, G.W.,dalam Suryani (2005:69) yang menyatakan bahwa “ Mengulang (restating) disini yaitu mengulang kembali pikiran utama yang telah diekspresikan oleh klien.” Hal ini menunjukan bahwa perawat sedang mendengarkan dan memvalidasi, menguatkan dan mengembalikan perhatian klien pada sesuatu yang telah diucapkan klien. Restating (pengulangan) merupakan suatu strategi yang mendukung listening. Sebagai contoh, ketika klien mengatakan, “Saya pusing, banyak sekali masalah yang harus saya selesaikan.” Perawat bisa menggunakan restating dengan mengatakan, “Anda punya banyak masalah?” pertanyaan itu untuk menunjukan pada klien bahwa perawat mendengarkan klien dan tertarik dengan apa yang diungkapkan klien. Cara seperti ini terapeutik karena dengan begitu klien merasa bahwa dirinya penting bagi perawat dan ini akan menambah kepercayaan klien terhadap perawat. 40 d. Klarifikasi Geldard,D., dalam Suryani (2005:69) mengatakan bahwa “Klarifikasi (clarification) adalah menjelaskan kembali ide atau pikiran klien yang tidak jelas atau meminta klien untuk menjelaskan arti dari ungkapannya.” Nilai terapeutik dari klarifikasi yaitu membantu mengklarifikasi perasaan, ide, dan persepsi klien serta memberikan kejelasan tentang hibungan antara perasaan, ide, dan persepsi klien dengan tindakannya. Menurut Geldard,D.,“Pada saat klarifikasi, perawat tidak boleh menginterpretasikan apa yang dikatakan klien juga tidak boleh menambah informasi. “ (Suryani,2005 : 69). Apabila perawat menginterpretasikan pembicaraan klien, maka penilaiannya akan berdasarkan pandangan dan perasaannya. Melalui teknik ini klien diharapkan memahami apa yang diungkapkanya. Sehingga perawat dan klien akan mempunyai kejelasan yang sama mengenai pertanyaan klien tersebut. Fokus utama klarifikasi adalah pada perasaan, karena pengertian terhadap perasaan klien sangat penting dalam memahami klien. Klarifikasi mungkin bisa dilakukan dengan meminta klien mengulang apa yang baru saja disampaikannya pada perawat dengan mengatakan “Maaf saya masih kurang jelas tentang apa yang Ibu atau Bapak katakan tadi, bisa lebih diperjelas?” Long,L., dalam Suryani (2005:70) juga mengatakan bahwa “Teknik ini paling sering digunakan pada tahap kerja. Pada tahap kerja, perawat perlu mengklarifikasi ungkapan klien, karena tanpa klarifikasi perawat tidak akan memperoleh gambaran yang jelas tentang permasalahan klien.” e. Refleksi Antai-Otong dalam Suryani (2005:70) menyatakan bahwa “Refleksi (reflection) adalah mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan, dan isi pembicaraan kepada klien. Hal ini digunakan untuk memvalidasi pengertian perawat tentang apa yang diucapkan klien dan menekankan empati, minat, dan penghargaan terhadap klien.” Teknik refleksi terdiri dari reflection of content (refleksi isi ) dan reflection of feeling (refleksi perasaan). Refleksi isi dilakukan dengan paraphrasing (memparafrasekan) yaitu membuat kalimat yang isinya sama dengan katakata yang berbeda, dan bukan hanya sekedar mengulang sebagian dari ungkapan klien. (Suryani,2005 : 70). Dengan menggunakan teknik ini perawat merefleksikan kepada klien persis seperti apa yang ingin disampaikan klien pada perawat. Sedangkan refleksi perasaan adalah merefleksikan perasaan apa yang dirasakan klien ketika menyampaikan sesuatu. Jadi, refleksi isi berfokus pada isi pembicaraan dan pikiran, sedangkan refleksi perasaan berfokus pada emosi atau perasaan. Sama seperti teknik klarifikasi, teknik refleksi ini banyak digunakan pada fase kerja. Biasanya penggunaan kedua teknik ini saling mendukung satu sama lain. Menurut Suryani (2005), “Teknik ini sangat bermanfaat untuk menggali perasaan klien yang sebenarnya tentang suatu kejadian. 41 f. Memfokuskan Teknik memfokuskan (focusing) bertujuan memberi kesempatan kepada klien untuk membahas masalah inti dan mengarahkan komunikasi klien pada pencapaian tujuan. (Suryani, 2005 : 71-72). Dengan demikian akan terhindar dari pembicaraan tanpa arah dan penggantian topik pembicaraan. Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode ini adalah usahakan untuk tidak memutus pembicaraan ketika klien menyampaikan masalah penting. Komunikasi pada klien yang mengalami perubahan psikologis akibat luka di hati terkadang tidak terarah karena klien cenderung sangat emosional. Individu dalam berbicara mungkin kesana – kemari (tidak fokus). perawat bisa memfokuskan pembicaraan klien pada saat yang tepat misalnya dengan mengatakan “Bagaimana kalau kita kembali ke topik pembicaraan semula.” g. Membagi Persepsi Membagi persepsi (sharing perception) adalah meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan atau pikirkan. Teknik ini digunakan ketika perawat merasakan atau melihat ada perbedaan antara respons verbal dan respons nonverbal klien.(Suryani, 2005:77) Contoh : Pernyataan klien: Ketika perawat masuk ke ruangan klien dan menyapanya, klien tersenyum kecut dengan ekspresi wajah sedikit tegang. Respons perawat : “Anda tersenyum, tapi saya merasakan Anda sedang marah pada saya.” h. Mengidentifikasi Tema Perawat harus tanggap terhadap cerita yang disampaikan klien dan harus menangkap tema dari seluruh pembicaraan tersebut. Gunanya adalah untuk meningkatkan pengertian dan menggali masalah penting. Contoh : “Saya perhatikan sejak awal pertemuan sampai sekarang, kamu banyak bercerita tentang kekecewaanmu karena cintamu ditolak. Apakah menurutmu ini hal penting yang akan kita diskusikan?” Teknik ini sangat bermanfaat pada awal tahap kerja untuk memfokuskan pembicaraan pada masalah yang benar- benar dirasakan klien. i. Memberi Informasi Memberikan tambahan informasi (informing) merupakan tindakan penyuluhan kesehatan untuk klien. Teknik ini sangat membantu dalam mengajarkan kesehatan atau pendidikan pada klien tentang aspek-aspek yang relevan dengan perawatan diri dan penyembuhan klien. Informasi yang diberikan pada klien harus dapat memberikan pengertian dan pemahaman tentang masalah yang dihadapi klien serta membantu dalam memberikan alternatif pemecahan masalah. Teknik ini tidak sama dengan teknik advice (saran). Pada teknik ini perawat hanya memberikan informasi, keputusan tetap pada klien. Sedangkan pada teknik advice, selain memberikan informasi, perawat 42 sekaligus memberi kesan bahwa apa yang dikatakan perawat adalah yang terbaik dalam mengatasi masalah klien. Bahaya dari teknik advice ini adalah ketika apa yang disarankan perawat kepada klien ternyata tidak dapat mengatasi permasalahan klien. Akibatnya klien bisa merasa sangat kecewa dan tidak percaya lagi pada perawat. j. Eksplorasi Teknik eksplorasi ini bertujuan untuk mencari atau menggali lebih jauh atau lebih dalam masalah yang dialami klien supaya masalah tersebut bisa diatasi.” (Suryani,2005: 76). Teknik ini juga sangat bermanfaat pada tahap kerja untuk mendapatkan gambaran yang detail tentang masalah yang dialami klien. Jangan tergesa- gesa dalam menyimpulkan masalah klien dan memberi saran untuk pemecahan masalah tersebut. Hal ini menyebabkan klien merasa bahwa perawat tidak mampu memahami dirinya atau tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapinya. k. Memberi Pujian/ Memberikan Penghargaan Jalaludin Rahmat dalam Suryani (2005:79) menyatakan bahwa, “Seseorang akan cenderung berinteraksi apabila ia merasa interaksi tersebut menguntungkan, baik secara psikologis maupun ekonomis.” Memberikan pujian (reinforcement) merupakan keuntungan psikologis yang didapatkan klien ketika berinteraksi dengan perawat. Reinforcement berguna untuk meningkatkan harga diri dan menguatkan perilaku klien. Reinforcement bisa diungkapkan dengan kata-kata ataupun melalui isyarat nonverbal. Memberikan salam kepada pasien dengan menyebutkan namanya, menunjukan kesadaran tentang perubahan yang terjadi, menghargai pasien sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai hak dan tanggung jawab atas dirinya sendiri sebagi individu. Misalnya “Selamat pagi Tufi!” “ Ibu perhatikan Tufi tampak cerah hari ini!”. Isyarat nonverbal bisa disampaikan dengan memberikan ancungan jempol ketika klien melakukan sesuatu yang menurut perawat merupakan perubahan positif. l. Diam Teknik diam (silence) digunakan untuk memberikan kesempatan pada klien sebelum menjawab pertanyaan perawat. Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisasi pikiran masing-masing.” (Suryani,2005:72). Teknik ini memberikan waktu pada klien untuk berpikir dan menghayati, memperlambat tempo interaksi, sambil perawat menyampaikan dukungan, pengertian dan penerimaannya. Diam juga memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan berguna pada saat klien harus mengambil keputusan. Teknik ini tidak sama dengan teknik listening. Pada teknik ini, perawat memberi waktu pada klien untuk menjawab pertanyaan perawat. Jadi, setelah perawat mengajukan pertanyaan, perawat memberi jeda waktu bagi 43 klien untuk memikirkan dan menyusun informasi yang ingin disampaikannya ke perawat. Sedangkan listening dilakukan perawat pada saat klien mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Sebagai contoh, setelah perawat (terapis) mengajukan pertanyaan kepada anak autis, “Berapakah dua dikali lima?” perawat (terapis) memberi jeda waktu 10 detik diam untuk memberi kesempatan klien (anak) menjawab. Kemudian ketika klien (anak) mengungkapkan jawabannya, perawat (terapis) menggunakan teknik listening dengan mendengarkan jawaban anak tersebut dengan penuh perhatian. m. Humor Humor bisa mempunyai beberapa fungsi dalam hubungan terapeutik. Florance Nightingale dalam Suryani (2005:78) pernah mengatakan bahwa “Suatu pengalamam pahit sangat baik ditangani dengan humor. Menurut Anonymous (1999), Humor dapat meningkatkan kesadaran mental dan kreativitas, serta menurunkan tekanan darah dan nadi. Tidak ada aturan kapan, bagaimana, dan dimana humor seharusnya digunakan. Dalam hubungan terapeutik penggunaannya bergantung pada kualitas hubungan . dalam beberapa kondisi berikut humor mungkin bisa dilakukan : 1) Pada saat klien sedang mengalami kecemasan ringan sampai sedang, humor mungkin bisa menurunkan kecemasan klien. 2) Jika relavan dan konsistan dengan sosial budaya klien. 3) Membantu klien mengatasi masalah lebih efektif. n. Menyimpulkan Menyimpulkan (summerizing) adalah teknik komunikasi yang membantu klien mengeksplorasi poin penting dari interaksi perawat-klien. Teknik ini membantu perawat dan klien untuk memiliki pikiran dan ide yang sama saat mengakhiri pertemuan. Poin utama dari menyimpulkan yaitu peninjauan kembali komunikasi yang telah dilakukan.Menyimpulkan berarti pembicaraan yang menekankan masalah, dan pengembangan diri. Dalam menyimpulkan bisa diawali dengan kata seperti : “Dari pembicaraan kita tadi”, “Saya coba menyimpulkan bahwa .....” atau “Kalau boleh saya simpulkan....” Manfaat dari menyimpulkan antara lain : 1. Memfokuskan pada topik yang relevan. 2. Menolong perawat dalam mengulang aspek utama interaksi. 3. Membantu klien untuk merasa bahwa perawat memahami pesannya. 4. Membantu klien untuk dapat mengulang informasi dan membuat tambahan atau koreksi terhadap informasi sebelumnya. Teknik menyimpulkan ini juga sangat bermanfaat pada tahap kerja. Pada saat menyimpulkan, perawat dan klien dapat mendefinisikan pokok mesalah, sehingga memungkinkan membuat perencanaan untuk mengatasi masalah. 44 Dalam hal ini perawat perlu menganalisis teknik yang tepat pada setiap berkomunikasi dengan klien, karena ketidaktepatan menggunakan teknik dalam berkomunikasi dapat berpengaruh terhadap proses dan keberhasilan komunikasi. Informasi yang akurat dapat disampikan melalui komunikasi verbal, namun aspek emosi dan perasaan tidak dapat diungkapkan seluruhnya melalui verbal. Dalam hal ini dibutuhkan kemampuan perawat untuk menghadirkan diri menggunakan teknik omunikasi secara tepat dan pemahaman terhadap respons emosional klien. Dengan mengerti proses komunikasi dan mempunyai berbagai keterampilan berkomunikasi, perawat diaharapkan mampu menggunakan dirinya secara utuh (verbal dan nonverbal) dalam memberikan efek terapeutik pada klien. 45 BAB III OBJEK PENELITIAN 3.1 Latar Belakang Historis Risantya Setiap tahun perkembangan anak berkebutuhan khusus semakin meningkat, maka untuk membantu anak berkebutuhan khusus ini meningkatkan potensi dan mencapai potensi yang optimal maka didirikanlah sebuah Pusat Terapi yang diberi nama Risantya, Risantya merupakan lembaga yang bergerak di bidang pelatihan dan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang berdiri sejak bulan April 2003 bertempat di jalan Kota Baru no. 30 Bandung. Nama Risantya diambil dari Bapak Risan dan Ibu Butiyah yang merupakan orang tua dari pemilik yayasan. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mempunyai hambatan perkembangan fisik, mental, kognitif, bahasa / komunikasi, interaksi sosial dan perilaku. Dalam memberikan pelayanannya Risantya di dukung tenaga ahli yang profesional dengan latar belakang pendidikan Ahli Madya Fisioterapi dan Okupasi Terapi. Selain terapis Risantya juga di dukung ahli medis dokter spesialis syaraf anak serta psikolog perkembangan anak dan konsultan pendidikan. Risantya memberikan pelayanan dengan pelayanan utamanya memahami dan mengarahkan perilaku anak yang menggunakan pendekatan individual melalui intervensi dini dengan memanfaatkan plastisitas otak sesuai kebutuhan individual. 46 Saat ini Risantya telah menangani anak-anak dengan kebutuhan khusus dengan jumlah 64 anak. Adapun anak yang mengalami Autisma berjumlah 29 anak dengan usia 5 bulan sampai 12 tahun. Adapun kegiatan ekstrakulikuler Risantya yaitu seni rupa dan outbond. Kegiatan ini ditujukan agar anak-anak dengan kebutuhan khusus dapat tersalurkan dan membentuk kreatifitas anak. 3.2 Visi dan Misi Risantya • Adapun visi Risanya adalah menjadi pusat informasi, pelayanan, pelatihan dan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus untuk mencapai potensi yang optimal dan hidup yang lebih baik. • Adapun misi Risantya adalah - memberikan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak, sesuai dengan fase tumbuh kembang normal (neurodevelopment). - Mengembangkan dan menciptakan lingkungan belajar yang optimal dalam mengatasi problem belajar, gangguan konsentrasi, autisma. - Mengembangkan suatu persaingan yang sehat dalam mewujudkan visi. - Membantu dan melibatkan ortu, keluarga dalam mengimplementasikan program neurodevelopment menuju 47 kehidupan anak berdasarkan pola perkembangan yang spesifik. - Mengembankan kemampuan dan potensi yang optimal pada anak. 3.3 Motto Risantya “We provide better method of therapy to yield substantial and observable result” 3.4 Tujuan Risantya Adapaun tujuan Risantya dalam memahami dan mengarahkan perilaku anak: 1. Mengatasi problem belajar, gangguan pemusatan perhatian (attention deficit disorder/ADD), attention deficit hyperactive disorder (ADHD), Autisme, dan beberapa sindrom lain. 2. Menciptakan lingkungan belajar optimal dengan mengaitkan aktivitas yang dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan normal (neurodevelopment). 3. membantu dan memberdayakan orang tua dan keluarga dalam implementasi program neurodevelopment menuju kehidupan anak berdasarkan pola perkembangan spesifiknya. 48 Tahapan Penanganan Anak di Risantya Intervensi dini baik pada upaya akselerasi perkembangan normal maupun remediasi pendidikan / edukasi ditempuh melalui 3 fase. Fase I : Review riwayat perkembangan, pendidikan, sosial dan perilaku. Pemeriksaan neurodevelopment / perkembangan pendengaran, penglihatan, dan fungsi kognitif. Fase II : Pelaksanaan program dengan Terapi Perilaku, Terapi Wicara, Fisioterapi / Terapi fisik, Terapi Okupasi / Sensori Integrasi , Remediasi pendidikan dan sosial. Fase III : Bimbingan dan latihan bagi orang tua dan keluarga untuk dapat menerapkan program secara individual, program Risantya merupakan program yang terpadu bersama orang tua, pendidik, psikolog, dokter anak / syaraf anak dan terapis. Syarat Anak Untuk Bergabung dengan Risantya 1. Mengisi formulir pendaftaran 2. Menyerahkan surat rujukan dari dokter. 3. Pas foto ukuran 3x4 (2 lbr) 4. Keterangan mengikuti terapi (bila ada) 5. Umur anak max 7 thn (ketika awal masuk) 49 Waktu Terapi Anak Risantya memberikan waktu untuk terapi setiap hari Senin – Jumat, pukul 08.00- 17.00 WIB. Setiap anak mengikuti terapi 2-3 kali dalam seminggu, lama terapi 1 jam atau lebih. Syarat Menjadi Terapis di Risantya Sebelum dan sewaktu melakukan terapi seharusnya setiap terapis sudah mempunyai syarat-syarat menjadi seorang terapis untuk menangani anak-anak dengan kebutuhan khusus. Syarat-syarat menjadi terapis yaitu: 1. Mempunyai latar belakang pendidikan berbasic terapis seperti Fisioterapi, Speech terapy, psikolog, dan okupasi terapi. 2. Sehat jasmani dan rohani. 3. Dapat memahami kondisi anak dengan kebutuhan khusus. 4. Mempunyai keinginan menangani anak dengan kebutuhan khusus. 5. Berkeinginan mempelajari perkembangan anak. 6. Memiliki rasa kasih sayang, penyabar dan empati. 7. Harus Profesional 8. Disiplin.1 1 Company Profile Risantya, January 2007 50 Proses Penanganan Anak Autisma 3.9.1 Proses Penanganan Anak Autisma Oleh Terapis Proses penanganan anak autis oleh terapis biasanya terlebih dahulu terapis melakukan observasi pada anak, yaitu dengan mengamati gejala-gejala yang ada pada anak. Setelah itu dilanjutkan dengan proses penanganan pada anak di dalam kelas, yaitu terapi behaviour dan berinteraksi. Proses penanganan anak autis oleh terapis di dalam kelas, adalah setiap satu terapis menangani satu anak. Bila perlu dapat dipakai seorang co-terapis yang bertugas sebagai prompter (pemberi prompt). Pertama – tama anak duduk berhadapan dengan terapis dan diberi jarak oleh meja, kemudian diajarkan cara ucapan salam dan berdoa untuk setiap memulai terapi dan selesai terapi. Setelah itu terapis melakukan kontak mata terhadap anak, karena kontak mata adalah kunci masuk dalam metode terapi. Kemudian terapis melakukan apa yang disebut dengan siklus dari Discrete Trial Training, yang dimulai dengan instruksi dan diakhiri dengan imbalan. Siklus penuh terdiri dari 3 kali instruksi, dengan pemberian tenggang waktu 3-5 detik pada instruksi ke-1 dan ke-2. Adapun anak autis diajarkan konsep warna, bentuk, angka, huruf dengan menggunakan media visual (gambar), karena anak autis lebih cepat mengingat melalui media gambar. Setelah anak mengerti mengenai konsep warna, bentuk, angka, dan huruf kemudian terapis mengajarkan suatu perilaku malalui tahap-tahap pembentukan yang semakin mendekati respon yang dituju yaitu perilaku target. 51 Untuk pembentukan perilaku anak tersebut mula-mula terapis memberi instruksi kepada anak dengan memberikan contoh, misalkan “ambil bola” pertama tama anak telah mengetahui bentuk “bola” kemudian kata “ambil” sambil memeragakan cara mengambil. Begitu seterusnya dalam mengajarkan dan membentuk perilaku kepada anak autis yang selanjutnya dapat memberikan instruksi dengan 3 suku kata,maupun 4 suku kata.2 3.9.2 Proses Penanganan Anak Autisma Oleh Orang Tua Intensitas terapi perilaku yang ideal adalah 40 jam dalam seminggu, jadi rata-rata 8 jam per hari, bila Sabtu dan Minggu libur. Tetapi untuk mencapai hasil terapi yang maksimal, anak harus ditangani selama dia bangun. Persyaratan ini pasti sangat berat untuk siapapun. Oleh karean itu, tidak mungkin terapi anak autisma hanya dilakukan oleh satu orang saja, misalnya ibunya atau ayahnya atau pengasuhnya. Jadi disamping terapi di institusi atau sekolah khusus, masih dibutuhkan penanganan di rumah yang justeru lebih lama dari di sekolah. Untuk ini diperlukan suatu kerjasama yang baik dan terkoordinir atau terorganosir, serta dipantau secara intensif, agar seluruh program dapat berjalan dengan lancar dan tidak buang waktu. Orang tua yang mempunyai anak autisma, perlu sekali memahami apa yang diajarkan terapis pada anaknya. Orang tua perlu diberi penjelasan mengenai perkembangan anaknya selama mengikuti terapis. 2 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis di Risantya pada tanggal 18 Januari 2007 52 Setelah sampai dirumah orang tua hendaknya mencoba apa yang diajarkan terapis kepada anaknya. Selain itu juga dalam menangani anak autis sebaiknya orang tua mendisiplinkan anak dirumah tetapi tidak dengan mendiktenya. Selalu berikan kata-kata yang positif pada anak untuk memotivasi. Dalam berkomunikasi dengan anak hendaknya hilangkan kata-kata “tidak boleh” atau “jangan” karena akan membuat anak tersebut semakin penasaran dan akan melakukan hal yang dilarang. Biasanya orang tua senang memberi imbalan atau reward kepada anaknya, sebisa mungkin hindari memberi reward yang nilainya semakin lama semakin mahal, hal ini tidak baik apabila suatu saat anak meminta imbalan yang tidak bisa dipenuhi oleh orang tuanya maka ia akan marah atau tantrum. Dan ketika anak tantrum jangan dibujuk atau dirayu oleh orang tua. Sebaiknya anak diberikan tugas / pekerjaan rumah yang ringan-ringan saja, yang sekiranya anak tersebut mampu menyelasaikan dan mengerjakan pekerjaan dirumah. Orang tua sebaiknya memberikan aturan yang seragam dalam rumah, tidak terkecuali untuk anaknya yang normal juga. Sehingga anak autis lebih mematuhi dan disiplin.3 3.10 Pelaksanaan Program Risantya 3.10.1 Terapi Perilaku Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan (belum ada) ditambahkan. Terapi perilaku yang dikenal di seluruh 3 Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan orang tua yang memiliki anak autis di Risantya pada tanggal 18 Januari 2007. 53 dunia adalah Applied Behavioral Analysis (ABA) yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA). ABA merupakan salah satu metode terapi yang memiliki ciri strujtur, terarah, dan terukur sehingga memudahkan kita dalam melihat perkembangan anak. Terstuktur : Pengajaran memekai teknik yang jelas Terarah : Ada kurikulum yang jelas untuk membantu orang tua dalam mengarahkan terapi. Terukur : Keberhasilan atau kegagalan anak dalam menghasilkan perilaku yang diharapkan dapat diukur dengan berbagai cara karena perilaku tersebut terlihat dengan jelas. Dalam pelaksanaannya terapi ini prinsip pengajaranya konsep dan keterampilan yang lebih mudah diajarkan terlebih dahulu dan keterampilan yang rumit belum diajarkan sebelum anak menguasai persyaratannya. Materi / Program yang diberikan : Beberapa program yang diberikan dalam terapi ini antara lain a) Kemampuan untuk memperhatikan Kemampuan ini sebagai dasar sikap belajar yang diperlukan untuk sekolah dan bekerja. Anak diajarkan mempertahankan rentang perhatiannya, karena jika tidak bisa akan mengalami kesulitan dalammenerima pelajaran ataupun mendengarkan instruksi. 54 b) Meniru / Imitasi Kemampuan meniru memungkinkan anak belajar dari lingkungan, dengan sedikit mengarahkan atau tanpa pengarahan sama sekali . Materi imitasi dibagi dalam beberapa : - Imitasi motor kasar, seperti anak meniru tepuk tangan, lompat, tangan keatas, dll. - Imitasi motorik halus, seperti meniru menggosok tangan, mengacungkan ibu jari, dll. - Imitasi aksi terhadap benda, ini dapat diarahkan menjadi aktivitas bermain. - Imitasi suara, bisa dikembangkan menjadi belajar bicara karena anak diarahkan meniru kata-kata orang lain. - Imitasi pola balok, untuk mempersiapkan anak belajar membaca. - Imitai gambar sederhana, merupakan awal kemampuan belajar menulis. - Imitasi perilaku bermain teman. c) Mencocokan / Menyamakan Ini sebagai keterampilan dasar dari berbagai tuntunan belajar dilingkungan umum agar anak dapat mengenal ciri benda berdasarkan ciri tertentu misalkan bentuk, warna, fungsi, dan sebagainya. Kemampuan ini mendasar kemampuan mensortir dan mengerjakan kertas kerja. 55 Misalnya menyamakan warna, gambar, benda yang identik pada awalnya sampai digeneralisasi dengan klasifikasi. Dalampelaksanaannnya bisabisa memakai instruksi samakan, cari yang sama, pasangkan, dll. d) Identifikasi Anak dimimta menentukan pilihan dengan mengambil, menunjuk, memengang satu dari beberapa hal/ benda. Dengan teknik ini kita akan tahu pemahaman anak tentang berbagai konsep tanpa haru tergantung pada kemampuan bicara anak. Misal, anak menunjuk tempat, benda, anggota tubuh, dll. e) Melabel / Ekspresif Kemampuan ini merupakan sesuatu yang sukit karena anak menggunakan kemampuan mengingat dan mengungkapkan (bahasa ekpresif). Misal, anak menyebutkan / melabel gambar, bentuk, hewan,benda,dll. Anak menjawab pertanyaan apa ini?, Siapa ini?, Dimana?, dll. f) ADL (Activity Day Living) Anak diajarkan kemampuan mandiri untuk aktivitas sehari-harinya agar tidak tergantung dengan orang lain. Misal, latihan BAK/ BAB sendiri dengan toiletting dikamar mandi, minim sendiri dengan gelas, memakai dan melepas baju, kaos, celana, sepatu dll. 56 Semua program dan kemampuan yang diajarkan harus generalisasi agar anak dapat menerapkannya dalam situasi dan keadaan berbeda dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan. Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C; yakni A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan C (consequence). Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku) berupa instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak autis. Melalui gaya pengajarannya yang terstruktur, anak autis kemudian memahami Behavior (perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya sesudah instruksi tersebut diberikan, dan perilaku tersebut diharapkan cenderung terjadi lagi bila anak memperoleh Consequence (konsekuensi perilaku, atau kadang berupa imbalan) yang menyenangkan. Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan secara intensif, teratur dan konsisten pada usia dini. 57 3.10.2 Terapi wicara Bagi anak dengan Speech delay, maka terapi wicara merupakan pilihan utama. Untuk memperoleh hasil yang optimal, materi speech terapi sebaiknya dilaksanakan dengan metode ABA. Bagi penyandang autisma oleh karena semua penyandang autisma mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa, speech terapi adalah suatu keharusan, tetapi pelaksanaannya harus dengan metode ABA. Menerapkan terapi wicara pada penyandang autisma berbeda dengan pada anak lain. Terapis harus berbekal diri dengan pengetahuan yang cukup mendalam tentang gejala dan gangguan bicara yang khas bagi penyandang autisma. Area bantuan dan Terapi yang dapat diberikan oleh Terapis Wicara: 1. Untuk Organ Bicara dan sekitarnya (Oral Peripheral Mechanism), yang sifatnya fungsional, maka Terapis Wicara akan mengikut sertakan latihan-latihan Oral Peripheral Mechanism Exercises; maupun Oral-Motor activities sesuai dengan organ bicara yang mengalami kesulitan. 2. Untuk Artikulasi atau Pengucapan: Artikulasi/ pengucapan menjadi kurang sempurna karena karena adanya gangguan, Latihan untuk pengucapan diikutsertakan Cara dan Tempat Pengucapan (Place and manners of Articulation). Kesulitan pada Artikulasi atau pengucapan, biasanya dapat dibagi menjadi: substitution (penggantian), misalnya: rumah menjadi lumah, l/r; omission (penghilangan), misalnya: sapu menjadi apu; distortion 58 (pengucapan untuk konsonan terdistorsi); indistinct (tidak jelas); dan addition (penambahan). Untuk Articulatory Apraxia, latihan yang dapat diberikan antara lain: Proprioceptive Neuromuscular. 3. Untuk Bahasa: Aktifitas-aktifitas yang menyangkut tahapan bahasa dibawah: a. Phonolog (bahasa bunyi) b. Semantic (kata), termasuk pengembangan kosa kata c. Morphology (perubahan pada kata) d. Syntax (kalimat), termasuk tata bahasa e. Discourse (Pemakaian Bahasa dalam konteks yang lebih luas) f. Metalinguistics (Bagaimana cara bekerjanya suatu Bahasa) g. Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial) Dari nada, intensitas, kualitas, atau penyimpangan penyimpangan lainnya dari atribut-atribut dasar pada suara, yang mengganggu komunikasi, membawa perhatian negatif pada si pembicara, mempengaruhi si pembicara atau pun si pendengar, dan tidak pantas (inappropriate) untuk umur, jenis kelamin, atau mungkin budaya dari individu itu sendiri. 4. Pendengaran: Bila keadaan diikut sertakan dengan gangguan pada pendengaran maka bantuan dan Terapi yang dapat diberikan: (1). Alat bantu ataupun lainnya yang bersifat medis akan di rujuk kepada dokter yang terkait. 59 (2) Terapi; Penggunaan sensori lainnya untuk membantu komunikasi. 3.10 3 Terapi Okupasi Sebagian penyandang kelainan perilaku, terutama autisma, juga mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes bila dibanding dengan anak-anak seumurnya. Pada anak-anak ini perlu diberi bantuan terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan ototnya. Otot jari tangan misalnya sangat penting dikutkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan melakukan semua hal yang membutuhkan keterampilan otot jari tangannya, seperti menunjuk, bersalaman, memegang raket, memetik gitar, main piano, dsb. Terapi ini bertujuan untuk memaksimalkan fungsi, mencegah kecacatan, dan melatih kemandirian anak. Para terapis okupasi juga seringkali memakai Sensory Intergration (SI), Neurodevelopmental Treatment (NDT) / Bobath, Behavior modification, terapi bermain, dll untuk menterapi kelainan sensoris pada anak autisma. Sensori integrasi merupakan suatu proses neurologikal yang normal dimanan kita mengatur sensasi-sensasi sekitar kita untuk digunakan dalam kehidupan ita sehariharu agar bisa “survive”, belajar dan berfungsi. NDT memberikan stimulasi secara postural untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan normal. Namun dari banyak penelitian yang telah dilakukan, dibuktikan bahwa SI saja tidak dapat meningkatkan perilaku anak, bahkan sering mengakibatkan 60 kemunduran perilaku, dan tidak berhasil menghilangkan ataupun mengurangi perilaku-perilaku aneh dari anak. 3.10.4 Terapi Fisik / Fisioterapi Merupakan suatu bentuk terapi dengan meningkatkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional baik individu maupun kelompok untuk mancapai kemandirian dengan pendekatan sumber yang berasal dari alam maupun exercise latihan. Metode yang digunakan dalam pelaksanaan terapi fisik antara lain : a. Terapi latihan dengan menggunakan teknik - PNF (Propionceptif Neuro Fasilitation) suatu teknik terapi yang menitik beratkan pada penguatan dan latihan pola gerak. - Bobath Konsep NDT (Neurodevelopmental Treatment), suatu teknik terapi untuk memperbaiki secara postural dengan memberikan fasilitasi gerak dan inhibisi pola gerak. b. Elektro terapi dengan Infra merah (IR), Vibrator, terapi dengan memakai sinar infra merah maupun vibrator diberikan untuk memberikan rileksasi pada oto-otot sebelum diberikan terapi latihan. c. AFR (Aktifitas Fungsional dan Rekreasi), suatu bentuk terapi dengan memberikan aktifitas menyenangkan pada anak seperti latihan jalan dengan jalan dibatu, rumput, dll. 61 Program terapi yang diberikan dalam terapi fisik antara lain: - Fasilitasi/ merangsang otot yang spastik, inhibisi menghambat spasitisitas/ kelakuan dengan terapi latihan. - Latihan gerak pasif, aktif, aktif asisted/ akti dengan bantuan, aktif resisted/ aktif melawan tahanan. - Latihan stimulasi gerak fungsional seperti berguling, duduk, merangkak, berjalan, sesuai perkembangan dankebutuhan anak. - Latihan pola gerak dan postural anak sesuai perkembangan anak. - Latihan ADL/ Activity Daily Living - Strengthening/penguatan otot, strethcing / penguluran otot. - Latihan memelihara dan meningkatkan lingkup gerak sendiri/ LGS - Home program bagi orang tua untuk mendukung terapi yang diberikan. 3.10.5 Remediasi Pendidikan dan Sosial Merupakan suatu bentuk terapi untuk mempersiapkan anak masuk sekolah dengan menggunakan pendekatan individual maupun kelompok. Program terapi yang diberikam antara lain : 62 - Pra akademik / akademik meliputi pengenalan huruf, bentuk, warna, angka, konsep matematika, menulis, dll. - Kemampuan motorik baik motorik kasar, halus, mulut disesuaikan dengan kebutuhan dan usia anak sesuai level perkembangan anak. - Kemampuan memecahkan masalah seperti memecahkan puzzel, menyusun pola balok, komstruksi, dll. - Kemampuan dalam berkompetisi dengan tean. - Outbond untuk pengenalan lingkungan interaksi sosial. Semua terapi yang diberikan dilakukan evaluasi dalam tiap caturwulan, sehimgga perkembangan terakhit pada anak terlihat. Dan untuk melibatkan orang tua dalam mendukung proses terapi setiap 4 bulan sekali ada pertemuan orang tua. Pertemuan orang tua ini dilakukan agar semua orang tua bisa berbagi dan bertukar pengalaman dalam membimbing dan mengarahkan anaknya.4 3.11 Stuktur Kelembagaan Risantya Pada Lembaga Risantya memiliki stuktur organisasi yang dipimpin oleh Ketua Yayasan Risantya yang membawahi Pimpinan, Tim Medis dan POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru). Dimana Pimpinan juga dibantu oleh Leader, Terapis, dan Asisten dalam menangani anak – anak berkebutuhan khusus. 4 Company Profile Risantya, Januari 2007 63 Secara stuktural, Ketua Yayasan Risantya saat ini dipimpin oleh Ir. Hilman Risan, sedangkan pimpinan dipimpin oleh Wardi Supardi, untuk Tim medis oleh dr. Nelly A Risan.Sp.A (K), psikolog oleh Dewi Sartika, S.Psi. Sebagai Leader dipimpin oleh Kusdarini, AMF. Bagian Terapis meliputi Mutmainah, AMd.OT, Margiasih Setiyati,AMF, Septi Hermiati, AMF dan Henri Eko P, AMF. Sedangkan asisten terdiri dari Dwi Subekti,Amd.TW dan Amalia Fitriya. Untuk lebih jelasnya, adapun stuktur kelembagaan Risantya dapat dilihat sebagai berikut 64 GAMBAR 3.1 BAGAN STRUKTUR KELEMBAGAAN PUSAT TERAPI DAN REMEDIASI ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS RISANTYA YAYASAN PIMPINAN TIM MEDIS POM LEADER TERAPIS ASISTEN (Sumber: Company Profile Risantya, Januari 2007) 65 3.12 Pengertian Autisma Istilah Autisme berasal dari kata Autos yang berarti diri sendiri dan Isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunia sendiri. Autisma adalah berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisma seakan – akan hidup di dunianya sendiri. Sehingga autisma ini disebut dengan kelainan yang berada pada diri seseorang dimulai pada masa kanak – kanak (Kanner,2003:12). Autisme merupakan ganguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan afek, komunikasi verbal (bahasa) dan non – verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi. Ini suatu kelainan dengan ciri perkembangan terlambat atau yang abnormal dari hubungan sosial dan bahasa Gejala penting lainnya adalah tidak suka dengan perubahan, prilaku motorik yang “aneh”, kedekatan yang tidak biasa dengan benda tertentu dan reaksi emosional yang mendadak. Kelainan ini terlihat sejak ia muda, sebelum usia tiga tahun. 3.13 Tinjauan Autisme 3.13.1 Penyabab Autisma Banyak pakar telah sepakat bahwa pada otak anak autisme dijumpai suatu kelainan pada otaknya. Ada tiga lokasi di otak yang ternyata mengalami kalainan 66 neuro– anatomis. Apa sebabnya sampai timbul kelainan tersebut memang belum dapat dipastikan. Banyak teori yang diajukan oleh para pakar, kekurangan nutrisi dan oksigenasi, serta akibat polusi udara, air dan makanan. Diyakini bahwa ganguan tersebut terjadi pada fase pembentukan organ – organ (organogenesis) yaitu pada usia kehamilan antara 0 – 4 bulan. Organ otak sendiri baru terbentuk pada usia kehamilan selama lima minggu. Dari penelitian yang dilakukan oleh para pakar dari banyak negara diketemukan beberapa fakta yaitu adanya kelainan anatomis pada lobus patietalis, cerebellum dan sistem limbiknya. 43 % penyandang autisme mempunyai kelainan pada lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak cuek terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Juga didapatkan jumlah sel Purkinye di otak kecil yang sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine, akibatnya terjadi gangguan atau kekacauan lalu – lalang impuls di otak. Ditemukan pula kelainan yang khas di daerah sistem limbik yang disebut hippocampus dan amygdale. Akibatnya terjadi gangguan fungsi kontrol terahadap agresi dan emosi. Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali terlalu agresif atau sangat pasif. Amygdala juga bertanggung jawab terhadap berbagai rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, rasa dan rasa takut. Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya 67 ingat. Terjadilah kesulitan penyimpanan informasi baru. Perilaku yang diulang – ulang yang aneh dan hiperaktif juga disebabkan gangguan hippocampus. Faktor genetika diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan autisme, walaupun bukti – bukti yang konkrit masih sulit ditemukan. Memang ditengarai adanya kelainan kromosom pada anak autisme, namun kelainan itu tidak berada pada kromosom yang selalu sama. Penelitian masih terus dilakukan sampai saat ini. Disamping faktor genetika ini, diperkirakan masih banyak faktor pemicu yang berperan dalam timbulnya gejala autisme. Pada kehamilan trimester pertama, yaitu 0 – 4 bulan, factor pemicu ini bisa terdiri dari : infeksi (toksoplasmosis, rubella, candida, dsb) logam berat (Pb, Al, Hg dan Cd), zat adiif (MSG, pasawat, pewarna, dsb), alergi berat, obat – obatan, jamu peluntur, muntah – muntah hebat (hiperemesis) perdarahan berat, dll. Pada proses kelahiran yang lama (partus lama) dimana terjadi gangguan nutrisi dan oksigenasi pada janin, pemakaian forsep, dll dapat memicu terjadinya austisme. Bahkan sesudah lahir (post partum) juga dapat terjadi pengaruh dari berbagai pemicu, misalnya : infeksi ringan – berat pada bayi, imunisasi MMR dan hepatitis B (mengenai 2 jenis imunisasi ini masih controversial), logam berat, MSG, zat pewarna, zat pengawet, protein susu sapi (kasein) dan protein tepung terigu (gluten). Tumbuhnya jamur yang berlebihan di susu anak sebagai akibat dari pemakaian antibiotika yang berlebihan, dapat menyebabkan terjadinya ‘kebocoran’ usus (leaky – get syndrome) dan tidak sempurnanya pencernaan kasein dan gluten. Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida. 68 Polipeptida yang timbul dari kedua protein tersebut terserap kedalam aliran darah dan menimbulkan ‘efek morfin’ pada otak anak. Masih ada sesuatu kelainan yang disebut sebagai Sensory Interpretation Errors yang juga menyebabkan terjadinya gejala autisme. Rangsangan sensoris yang berasal dari reseptor visual, auditori dan taktil, mengalami proses yang kacau di otak anak, sebagai timbul persepsi yang semrawut, kacau atau berlebihan, yang pada akhirnya menyebabkan kebingungan dan ketakutan pada anak. Akibatnya anak menarik diri dari lingkungan yang “menakutkan” tersebut (Handojo, 2003: 14-15). 3.13.2 Gejala Autisma Gejala autisme dapat dibagi atas gejala gangguan perilaku dan gangguan intelektual, juga dapat disebabkan oleh gangguan fisik. 1. Gangguan perilaku Gangguan perilaku yang mencolok ialah interaksi dan hubungan yang abnormal terhadap lingkungan atau sosial. Anak mungkin telah abnormal sejak lahir, kurang menunjukan respon tidak menikmati sentuhan fisik dan menghindari kontak mata (pandangan). Pada usia 23 tahun anak tidak mencari orang tuanya untuk bermanja-manja, kolokan. Dengan bertambahnya usia, abnormalitas lainnya muncul, misalnya tidak bermain dengan anak lain. Pada usia remaja individu ini mempunyai hubungan yang kurang pas, kurang sadar pada opini orang lain atau perasaan orang lain. 69 Komunikasi verbal (bahasa), nonverbal ialah abnormal. Bila kemampuan bicara berkembang terdapat abnormalisasi, seperti echolalia (mengulang kata seperti burung beo) dan neologisme (“kata baru”). Komprehensi dan ekspresi terlambat dan keterlambatan ini sangat bermakna pada separuh individu yang autistik. Komunikasi nonverbal juga terlihat, misalnya isyarat tangan melalui gerak-gerik tubuh (gesture) kurang. Bermain imajinatif (mengandai, misalnya ia sebagai pengemudi mobil balap) atau pikiran imajinatif berkurang atau sedikit, hal ini mungkin karena kurang berkembang pikiran simbolik pada individu yang autistik. Perilaku motorik yang sering djumpai ialah anak yang suka berputar-putar, jalan jinjit, atau bertepuk tangan. Anak yang autis sering mempunyai ritual yang stereotip dan bila diganggu menyebabkab distress dan kadang ia menentang. Mereka sering terikat pada objek-objek yang “sepele” misalnya kaleng. Letupan emosional sering terjadi, misalnya marah, gelisah, atau cemas. Dan hal ini dapat dicetuskan oleh masalah yang kecil. Anak autis dapat pula mempunyai masalah dengan tidur, buang air besar dan kecil. 2. Gangguan Intelektual Kecerdasan sering di ukur (eses melalui perkembangan nonverbal,karena terdapat gangguan bahasa. Diadapatkan IQ dibawah 70 pada 70% penderita, dan dibawah 50 pada 50%. Namun sekitar 5% mempunyai IQ diatas 100. 70 Anak autis sulit melakukan tugas yang melibatkan pemikiran simbolis atau empati. Namun ada yang mempunyai kemampuan menonjol di satu bidang, misalnya matematika atau kemampuan memori. Sekitar seperlima anak autis berdeteriorasi bidang kognitifnya pada usia remaja. 3. Gangguan Fisik Gangguan pada anak autis dapat dijumpai pada fungsi motorik kasar dan halus. Gangguan ini biasanya lebih berat pada mereka dengan IQ yang lebih rendah. 3.13.3 Karakterisrik Autisma Anak-anak penyandang autisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Perkembangan abnormal atau terganggu sebelum usia 3 tahun seperti yang ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal pada paling sedikit satu dari bidang-bidang berikut. a) Komunikasi 1. Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada 2. Ekspresi wajah yang datar. 3. Tidak menggunakan bahasa/ isyarat tubuh. 4. Jarang memulai komunikasi. 5. Tidak meniru aksi atau suara. 6. Tampak tidak mengerti arti kata. 7. Kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya. 71 8. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain. 9. Bicara tidak dipakai untuk alat komunikasi. 10. Senang meniru atau membeo (echoladia) 11. Bila senang meniru hafal benar kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya. 12. Sebagian dari anak ini tidak berbicara (nonverbal) atau sedikit berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa. 13. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan , misalnya bila ingin meminta sesuatu. b) Interaksi sosial 1. Penyandang autis lebih suka menyendiri. 2. Tidak ada atau sedikit kontak mata. 3. Menghindar untuk bertatapan. 4. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman. 5. Bila diajak bermain ia tidak mau dan menjauh. c) Respon terhadap rangsangan indera/ sensoris 1. Sangat sensitive terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk. 2. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga. 3. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda. 4. Tidak sensitive terhadap rasa sakit dan rasa takut. 5. Kadang seperti tuli. 72 6. Panik terhadap suara-suara tertentu. 7. Bermain-main dengan cahaya dan pantulan. 8. Memainkan jari-jari di depan mata. 9. Tertarik pada pola/ tekstur/ bau tertentu. d) Perilaku 1. Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif). 2. Memperlihatkan prilaku stimulus diri sendiri seperti bergoyang goyang, mengepakan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/ berjalan bolak balik, melakukan gerakan berulang- ulang. 3. Tidak suka pada perubahan. 4. Dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong. e) Emosi 1. Sering marah-marah tanpa alas an yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan. 2. Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya. 3. Kadang suka menyerang dan merusak. 4. Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri. 5. Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain. 73 3.13.4 Pengelompokan Autisma Dr. Faisal Yatim mengelompokan autisme menjadi 3 kelompok yaitu : a. Autisme Persepsi Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme internal karena kelainan sudah timbul sebelum lahir. b. Autisme Reaksi Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak – anak usia lebih besar (6 – 7 tahun) sebelum anak memasuki memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga terjadi sejak usia minggu – minggu pertama. Penderita autisme reaktif ini bisa membuat gerakan – gerakan tertentu berulang – ulang dan kadang – kadang disertai kejang – kejang. c. Autisme yang timbul kemudian Faisal Yatim pun memberikan tip – tip untuk mengelola penderita anak autisme, berikut ini : 1. Menentukan terlebih dulu masalah penyimpangan perilaku dan perilaku yang mana kira – kira yang perlu ditingkatkan. 2. Menentukan berapa seringnya penyimpangan perilaku tersebut. 3. Menentukan apa factor pencetus timbulnya penyimpangan perilaku tersebut. 4. Menentukan perubahan mana yang perlu untuk meningkatkan atau mengurangi penyimpangan perilaku. 74 5. Meyakinkan dan mengusahakan agar semua pihak yang terlibat ikut peduli dengan program tersebut. 6. Memeriksa dan mengusahakan agar semua program yang direncanakan bisa berjalan dengan konsisten. 7. Mengadakan penilaian program secara teratur dan jangan terlalu mengharapkan hasilnya dalam waktu singkat. 8. Mengadakan modifikasi atau menghentikan program setelah hasil yang anda harapkan tercapai, ingat, beberapa jenis kelainan perilaku tidak mudah untuk diubah. 9. Salah seorang ahli manganjurkan 3 bulan setelah program dilaksanakan baru dilakukan penilaian apakah berhasil atau gagal. 10. Memberikan permainan rutin dan tetep merupakan jenis pengobatan bagi anak autisma, yang bisa mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa aman dalam dunianya. 11. Bergaul akrab dengan penderita, menuntun dalam berjalan, misalnya waktu berekreasi juga dianjurkan oleh para professional. 12. Pengobatan secara psikologi dan bermain termasuk yang dianjurkan. 75 BAB IV PEMBAHASAN Bab ini merupakan laporan hasil penelitian tentang masalah yang telah dirumuskan pada bab sebelumnya yaitu “Bagaimana komunikasi terapeutik terapis dalam menangani anak-anak Autisma”. Bab ini juga merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam identifikasi masalah. Sedangkan data yang terhimpun dalam bab ini merupakan hasil wawancara serta observasi yang dilakukan dengan terapis yang menangani anak-anak Autisma di Pusat Terapi dan Remediasi Risantya Bandung. Adapun susunan penulisan data hasil penelitian pada bab ini berdasarkan urutan identifikasi masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu : (1) Bagaimana komunikasi terapeutik terapis secara verbal dalam menangani anakanak autisma?, (2) Bagaimana komunikasi terapeutik terapis secara nonverbal dalam menangani anak-anak Autisma?, (3) Bagaimana teknik komunikasi terapeutik terapis dalam menangani anak-anak Autisma? Pemaparan data hasil penelitian kemudian diinterpretasikan dengan cara membandingkan data yang diperoleh di lapangan dengan teori yang ada. 76 4.1 Komunikasi Terapeutik Terapis Secara Verbal dalam Menangani anakanak Autisma Pada umumnya anak Autis mempunyai keterbatasan dan gangguan dalam berkomunikasi baik verbal maupun nonverbal. Gangguan komunikasi verbal dimana anak bisa bicara tapi tidak digunakan untuk berkomunikasi. Contohnya ,membeo, ekolali dan berbicara dalam situasi yang salah. Sebaliknya, gangguan komunikasi nonverbal nampak dari hal-hal sederhana seperti eye contact minim, tidak memahami bahasa tubuh, sampai dengan terlambat bicara atau sama sekali tidak bisa bicara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:77 ) yang menyatakan bahwa autisma adalah gangguan perkembangan anak yang berakibatkan tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu. Untuk mengatasi hal ini anak penyandang autis dibutuhkan terapi khusus agar anak menjadi normal kembali. Biasanya anak autis harus terlabih dahulu melalui terapi behavior untuk memperbaiki tingkah laku anak tersebut. Dalam terapi behavior juga diajarkan kata-kata, benda,huruf, warna,bentuk, dll. Komunikasi yang dilakukan terapis dalam menterapi anak autisma dapat disebut dengan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi. Seorang penolong (helper) atau perawat dapat membantu klien (pasien) mengatasai masalah yang dihadapinya melalui komunikasi. (Suryani,2006:12) 77 Komunikasi terapeutik terapis dalam menangani anak-anak autisma dapat berupa komunikasi verbal dan nonverbal. Potter dan Perry dalam Arwani (2002:20) mengidentifikasi bahwa “Komunikasi verbal sangat dipengaruhi beberapa faktor yaitu denotative and connotativee meaning (kemaknaan), vocabulary (pembendaharaan kata), clarity dan brevity (kejelasan dan keringkasan), dan timing ang relavance ( waktu dan relevansi)” . 4.1.1 Penyampaian Pesan Verbal Melalui Kemaknaan Kemaknaan dari kata, kalimat, atau bahasa yang digunakan seseorang menjadi hal yang sangat relevan untuk dikaji dan dimengerti oleh orang yang sedang melakukan proses komunikasi verbal. Sebab bisa jadi satu kata akan mengandung beribu makna. Kemaknaan kata dapat berupa kiasan (connotative meaning) atau bisa juga berbentuk makna sesungguhnya (denotative meaning). (Arwani, 2002 : 20 ) Pada kenyataan sehari-hari arti kiasan (connotative meaning) sering kali membuat proses komunikasi kita terganggu bahkan tidak jarang menimbulkan persepsi berbeda yang berakhir dengan konflik di antara pelaku komunikasi. Kemaknaan kiasan bisa diwujudkan dengan kata yang memang berbeda dengan arti sesungguhnya. Hanya karena tidak tidak biasa dilakukan atau dilafalkan dengan intonasi yang bernada “merendahkan” atau “mengejek” ditambah dengan adanya perbedaan persepsi pada lawan bicaranya tidak jarang menimbulkan perbedaan persepsi dari makna sebenarnya yang dimaksudkan oleh pembicaranya. Pada anak autis, kemaknaan juga digunakan oleh terapis dalam berkomunikasi secara verbal. Menurut Ibu Rini selaku Leader di Risantya mengatakan bahwa “Kemaknaan yang diberikan terapis kepada anak autis adalah kemaknaan yang 78 tidak terlalu rumit atau sulit pengertiannya. Karena anak autis hanya mengerti beberapa kata yang sudah diajarkan. Seperti kemaknaan connotative tidak banyak digunakan oleh terapis, karena anak autis itu sulit dalam memahami sesuatu yang sifatnya abstrak, biasanya kita terlebih dahulu memperkenalkan nama-nama yang sifatnya konkret dan dapat disentuh. Pada umumnya anak-anak autis memiliki kemampuan bidang visual. Mereka lebih mudah untuk mengingat dan diperlihatkan gambar atau tulisan dari benda-benda, kejadian, maupun konsep-konsep abstrak. Dengan melihat gambar sehingga anak autis akan membentuk gambaran mental atau image yang permanen dalam benaknya. Apabila kita berkomunikasi dengan anak autis sama saja dengan mengajarkan sesuatu kepadanya. Sebaliknya, bila materi yang dipelajarinya hanya diucapkan saja akan mudah melupakannya karena daya ingat mereka amat terbatas karena itu, dalam melakukan terapi menggunakan sebanyak mungkin gambar-gambar dan alat bantu visual lain untuk membantu daya ingat. Anak-anak yang tergolong autis verbal pun tetap membutuhkan alat bantu visual,”katanya.5 Kemaknaan denotatif yang diberikan terapis adalah kemaknaan yang sesungguhnya, tetapi tetap menggunakan gambar dan diberi penjelasan akan arti dari gambar tersebut. Misalkan kemaknaan dari kata dokter, rumah sakit, obat, guru, sekolah, papan tulis, dan sebagainya. Tidak hanya kemaknaan denotatif dan konotatif saja yang disampaikan, tapi dapat juga kemaknaan yang lain. Seperti 5 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 Januari 2007 di Risantya 79 sinonim, atau hubungan antara kata-kata, misalkan Aku = Saya , Sedih = Susah , Hujan – Air , Siang – Matahari, Laut – Kapal, dan lain-lain. Hasil akhir dari kemaknaan yang digunakan terapis kepada anak-anak autisma membuahkan hasil yang baik untuk perkembangan mereka dalam komunikasi verbal dan pengetahuan. 4.1.2 Penyampai Pesan Verbal Melalui Pembendaharaan Kata Pembendaharaan kata yang dipunyai seseorang juga akan berpengaruh terhadap jalannya komunikasi secara verbal. Bisa dikatakan bahwa komunikasi menjadi tidak berhasil apabila penerima tidak mampu mengartikan kata-kata atau kalimat pengirim. Idealnya, antara pengirim dan penerima mempunyai kapasitas kemampuan (usia, pendidikan, budaya, ras, negara, agama, politik, sosial, fisik, psikologis) yang relatif sama. Sehingga kemungkinan ketidakpahaman dan kesalahpahaman arti kata atau kalimat dapat dikurangi sekecil mungkin. Tetapi, pada kenyataannya komunikasi tidak selalu berlangsung pada tatanan dan kapasitas yang sepadan. Misalnya komunikasi antara orang tua dan anak, komunikasi antara orang Indonesia dan orang asing, antara orang tuli dan orang normal. Walaupun kondisi tersebut tidak selamanya menimbulkan gangguan, namun paling tidak butuh waktu yang relatif lama untuk membuat komunikasi menjadi sesuatu yang bertujuan untuk mencapai sebuah kebersamaan. (Arwani, 2002 : 22-23) Pembendaharaan kata yang diberikan terapis pada anak autis dalam terapi behavior adalah mengenai kata benda, kata sifat, kata kerja, profesi seseorang, warna, bentuk, dan lain-lain. Hal pertama yang dilakukan terapis adalah membuat kontak mata dengan anak, kemudian berikan anak gambar-gambar atau benda seperti bola, pensil, gambar polisi, dokter, petani, guru, gambar orang berlari, duduk, melompat, berputar, lempar, simpan, makan, minum, mandi dan lain-lain. Terapis Ibu Rini mengatakan bahwa ”Anak-anak autis harus diajarkan bahasa verbal dalam hal kemaknaan kata, hal ini ditujukan untuk mengembangkan pengetahuan dan penggunaan kata-kata kerja, benda, sifat,dll dan juga untuk 80 meningkatkan kemampuan memakai bahasa sebagai ungkapan perasaan. Sehingga apabila anak di instruksi secara lisan oleh kita dia bisa melaksanakannya, dan apabila diajak berkomunikasi dengan memberikan pertanyaan maka anak bisa menjawabnya.” Adapun cara atau tahap-tahap dimana terapis bisa memberikan pembendaharaan kata kepada anak autis. Misalkan memberikan pembendaharaan kata kerja, pertama-tama siapkan gambar-gambar orang yang sedang melakukan perbuatan sehari-hari. Kemudian duduklah berhadapan dengan anak, menghadap meja. Tunjukan padanya gambar “orang berlari”, dan sebutkan kata kerjanya dengan jelas “Berlari”. Kemudian tanyakan padanya “orang ini sedang apa?” Kalau anak menjawab benar, berikan imbalan. Bila tidak merespon atau jawaban salah, katakan “Berlari” dan minta anak menirukannya. Kemudian berikan imbalan. Kata kerja yang dapat diajarkan misalnya juga duduk, makan, minum, tidur, melompat, merangkak, menulis, membaca, dsb. Apabila anak sudah menguasai satu persatu, lakukan secara bergantian secara acak, untuk meyakinkan kita bahwa anak benar-benar mengerti arti katakata kerja itu. Kemudian lakukan generalisasi pada kenyataan nyata, misalnya ada orang berjalan di jalan, tanyakan “Orang itu sedang apa?”, dst. Selain generalisasi objeknya, lakukan juga generalisasi instruksinya, lingkunganya dan subjeknya.6 Adapun pemberian pembendaharaan kata kepada anak autis untuk memberi salam dan selamat jalan. Biasanya hal yang abstrak seperti ini yang sulit diberikan kepada anak autis. Tapi pembendaharaan kata salam dan selamat jalan 6 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Asih selaku terapis pada tanggal 1 Februari 2007 di Risantya 81 adalah hal yang penting untuk pertama kali diberikan kepada anak autis, tujuannya adalah untuk mengembangkan pembendaharaan kata sosial yang tepat, agar anak dapat memberi salam atau mengatakan “Hai” dan “Bye-bye” sendiri pada saat yang tepat dan juga untuk mengawali anak berinteraksi sosial dengan yang lain. Cara untuk memberikan pembendaharaan kata salam dan selamat jalan adalah setiap kali kita bertemu anaak di suatu ruangan, katakan “Hai........(nama anak)” sambil mengangkat tangan kita atau “Apa kabar......(nama anak)?” kemudian ajarkan anak dengan jawaban “Baik”. Adapun ucapan salam yang diajarkan terapis pada anak untuk saat memulai terapi di kelas seperti “Selamat pagi Bu Rini”. Kemudian anak mencium tangan terapis. Kadang jawaban dari anak autis saat ditanya oleh terapisnya tidak sesuai dengan kondisi yang sedang dialaminya, misalnya dia sedang sedih kemudian ditanya oleh terapis “Apa kabar Tufi?”, lalu anak menjawab “Baik”, kemudian terapis memberitahu kepada anak “Salah”, “Kamu sedang sedih”. Hal ini kadang sering terjadi karena anak autis sudah hapal benar jawaban apabila ditanya “Apa kabar”. Dan tidak mempedulikan kondisi yang sedang dialami. 4.1.3 Penyampaian Pesan Verbal Melalui Keringkasan dan Kejelasan Pesan Komunikasi dikatakan efektif jika disampaikan dengan cara yang sederhana, ringkas, dan padat, dan langsung pada aspek yang dibicarakan. Semakin singkat kata yang digunakan, semakin sedikit kebingungan yang timbul. Karena veriabel dalam diri seseorang (interpersonal veriables) juga terlihat dalam komunikasi, akibatnya komunikasi sering tidak memberikan arti yang tepat. Kata 82 membingungkan seperti “kau mengerti” harus ditambah sedikit penjelasan agar pesan yang disampaikan menjadi jelas. (Arwani, 2002 : 27-28) Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek, dan langsung. Makin sedikit kata-kata yang digunakan, semakin kecil kemungkinan terjadinya kerancuan. Kejelasan dapat di ucapkan dengan berbicara secara lambat dan mengucapkan kata dengan jelas. Pengunaan contoh bisa membuat penjelasan lebih mudah dipahami, demikian juga mengulang bagian yang penting dari pesan yang disampaikan. Dalam komunikasi terapeutik verbal kepada anak autisma, terapis harus berbicara secara ringkas dan jelas. Karena, pada umumnya anak autis tidak mudah untuk mencerna kalimat yang panjang dan rumit, mereka harus diberikan kata-kata atau kalimat yang singkat dan jelas. Terapis Ibu Rini juga menjelaskan bahwa “Biasanya anak-anak autis itu akan mengerti perintah dari kita apabila kita menggunakan kalimat yang singkat, kalimat yang pernah diajarkan sebelumnya. Memang pada awalnya untuk mengajarkan kata atau kalimat pada anak autis ada tahap-tahapnya. Pertama-tama anak diperkenalkan “Bola” setelah anak mengerti kemudian diajarkan kata “Ambil” sambil diperagakan cara mengambil. Setelah berulang-ulang anak diajarkan “Bola” dan “Ambil” maka kedua kata tersebut digabungkan menjadi “Ambil bola”. Kemudian terapis dapat memberikan perintah kepada anak, dengan perintah “Ambil bola”, apabila anak melaksanakan apa yang diperintahkan dan benar maka anak sudah mengerti. Keringkasan pesan yang disampaikan terapis kepada anak autisma dengan dua suku kata selanjutnya pemberian kalimat dapat bertambah menjadi tiga suku 83 kata dan menjadi kalimat yang kompleks. Hal ini dilakukan agar anak mudah mengerti apa yang kita sampaikan.”7 Keringkasan dan kejelasan pesan terapis juga dipergunakan pada saat memberikan instruksi kepada anak. Hal ini dapat dilakukan apabila anak autis sudah dapat verbal. Kejelasan pesan yang disampaikan terapis kepada anak autisma diucapkan dengan lembut dan lambat. Terapis juga menyampaikan pesan dengan jelas apabila memberi instruksi kepada anak, meskipun anak autis akhirnya salah pengertian juga. Misalnya dalam contoh berikut ini, Ibu Rini berkata,”Tolong ke Ibu Tuti minta kertas” . Kemudian anak melaksanakan instruksi tersebut dan berlari ke ruang administrasi, tetapi anak tersebut diam dahulu tidak langsung meminta kepada Ibu Tuti. Barulah Ibu Tuti bertanya, “Kamu mau apa kesini?”, kemudian anak menjawab “Aku mau ambil kertas”, dan Ibu Tuti pun memberikan kertas kepada anak tersebut. Menurut terapis Ibu Rini, “biasanya anak autis itu lebih memahami kata “Ambil daripada kata “Meminta”, sehingga apabila kita menyuruhnya untuk meminta dia akan mengatakan “Ambil” sesuatu. Keringkasan dan kejelasan pesan yang diberikan terapis kepada anak-anak autisma adalah suatu hal yang harus diperhatikan juga penggunaannya dalam komunikasi , sehingga komunikasi yang terjadi antara terapis dengan anak autis akan berjalan dengan lancar. 7 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku Leader terapis pada tanggal 30 Januari 2007 di Risantya 84 4.2 Komunikasi Terapeutik Nonverbal Terapis Dalam Menangani AnakAnak Autisma Selain gangguan verbal yang dialami anak-anak autisma, mereka juga mengalami gangguan nonverbal. Gangguan nonverbal yang dialami anak autisma adalah minimnya eye contact (kontak mata), tidak memahami bahasa tubuh, dan ekspresi wajah kurang dalam mengungkapkan emosi. Untuk menghilangkan gangguan nonverbal anak autis, terapis berusaha untuk melakukan komunikasi terapeutik secara nonverbal dalam terapi behavior. Pada komunikasi terapeutik nonverbal perawat (terapis) harus benar-benar memahami apakah pasiennya (anak autis) mengalami apa yang disebut dengan “communicating two different message”. Artinya, satu sisi lain menunjukan gejala adanya ketidaknyamanan. Komunikasi nonverbal sering berlawanan dengan apa yang di verbalkan oleh pasien. Dalam komunikasi terapeutik pesan nonverbal dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; penampilan, postur dan cara berjalan, gerakan mata, ekspresi muka, sentuhan, isyarat tangan, kesediaan ruang dan jarak. (Arwani,2003:35-45). 4.2.1 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Kontak Mata Pada komunikasi terapeutik kontak mata juga memberikan arti yang cukup signifikan dalam komunikasi nonverbal. Gerakan bola mata ke arah tertentu akan bisa memberikan arti tertentu pula.(Arwani, 2002 : 39) Anak autis mengalami gangguan kontak mata yang minim, mereka tidak akan pernah untuk melakukan kontak mata dengan orang lain. Sehingga hal ini 85 perlu diperbaiki untuk anak autis, karena bagi anak autis kontak mata adalah hal yang paling mendasar untuk mereka bisa dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain. Apabila anak sudah dapat berkontak mata dengan orang lain berarti ada suatu ketertarikan dari dirinya untuk melakukan interaksi atau adanya perhatian dari anak tersebut. Setelah terapis dapat menarik perhatian anak autis, selanjutnya terapis dapat memberikan materi- materi dalam terapi behavior. Terapis Ibu Rini menjelaskan bahwa “Untuk melakukan kontak mata dengan anak autis tidaklah mudah. Ada cara untuk dapat melakukan kontak mata dengan mereka, pertama-tama terapis harus duduk berhadapan dengan anak yang dihalangi oleh satu meja. Kemudian dekatkan mata kita dengan mata anak tersebut sambil memanggil namanya. Apabila mata anak masih melihat kemanamana, terapis menggunakan bantuan telapak tangan untuk menutupi sisi-sisi mata anak. Atau bisa juga dengan bantuan benda, misalkan terapis memanggil nama anak terlebih dahulu, “Faris...”! kemudian dekatkan benda kemata anak tersebut dan arahkan kepada mata kita, sehingga akhirnya dia bisa melakukan kontak mata dengan kita.”8 Terapis Ibu Asih juga menambahkan bahwa tujuan dilakukannya kontak mata untuk anak autis, agar anak bisa melakukan kontak komunikasi dengan orang lain dan dapat memperhatikan apa yang kita instruksikan. Biasanya anak autis yang pemula melakukan kontak mata selama satu detik itu sudah satu hal yang bagus sekali. Terapis juga harus memperhatikan kualitas dari kontak mata anak tersebut, karena banyak juga anak-anak autis yang bisa lama melakukan 8 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leared terapis pada tanggal 30 Januari 2007 di Risantya. 86 kontak mata tetapi kualitasnya sangat rendah. Ia memandang mata orang lain dihadapannya namun tidak bisa membangun kontak secara emosional. Ada juga anak yang ketika dipanggil ia bisa melakukan kontak mata, tapi ketika kita mengajaknya bercakap-cakap dia belum tentu bisa melakukan kontak mata. Kontak mata adalah hal yang terpenting dalam komunikasi verbal terapis dengan anak autis, sehingga penggunaanya harus dilakukan setiap akan memulai komunikasi dengan anak autis. 4.2.2 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Ekspresi Wajah Ekspresi raut wajah sebagai faktor yang mempengaruhi jalannya komunikasi nonverbal merupakan aspek penting dan paling sering menjadi perhatian dalam komunikasi. Sebagai bagian tubuh paling ekspresif, raut wajah sering memberikan tanda paling awal dalam menginterpretasikan pesan yang disampaikan. Menurut Knapp dalam Arwani (2003: 38) menunjukan bahwa dari raut wajah dapat dilihat paling tidak enam ekspresi utama emosi : heran (suprise), takut (fear), marah, senang (happiness), sedih (sadness), dan benci atau muak (disgust). Dalam komunikasi terapeutik ekspresi wajah menjadi dasar dalam berkomunikasi interpersonal antara perawat dengan pasien. tapi terkadang ekspresi wajah susah untuk dinilai. Wajah mungkin menampakan emosi yang 87 sebenarnya atau sebaliknya menunjukan ekspresi tidak sesuai dengan emosi yang dirasakan, atau bahkan sedang mengekspresikan adanya suatu tekanan. Ekspresi wajah terapis dalam menghadapi anak-anak autis pada saat terapi behaviour di ruang kelas biasanya menunjukan ekspresi wajah yang serius dan terlihat sedikit galak, tidak tersenyum dan tidak tertawa atau menertawakan anak apabila anak melakukan kesalahan. Walau terkadang memang bagi orang awam seperti saya yang bukan terapis, melihat kesalahan yang dilakukan anak autis itu merupakan suatu hal yang lucu. Ekspresi wajah yang ditampilkan terapis seperti itu menandakan bahwa terapis benar-benar serius dalam menangani anak-anak autis dalam terapi behaviour. Umumnya mayoritas penderita autis memiliki kesulitan untuk membaca ekspresi wajah dan mentafsirkan bahasa tubuh atau perilaku dengan kesan –kesan tertentu. Terapis Ibu Rini menjelaskan “ Karena anak autis itu memang mempunyai kesulitan untuk membaca ekspresi wajah dan juga tidak bisa mengekspresikan wajah dirinya sendiri, maka terapis dalam terapi behaviour mengajarkan anak autis ekspresi wajah dengan memperkenalkannya melalui media gambar, seperti gambar orang sedang marah, menangis, tertawa, senang, dan takut. Setelah anak telah mengenal gambar-gambar ekspresi wajah tersebut, terapis memberikan instruksi kepada anak supaya anak menirukan ekspresi wajah yang ada di gambar sambil melihat diri sendiri di cermin.”9 Ada juga ekspresi wajah yang ditampilkan terapis pada saat anak tidak mau patuh pada instruksi, terapis menampakan ekspresi wajah marah, dengan 9 Beradasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 Januari 2007 di Risantya 88 diam dan memalingkan wajah. Sehingga anak tahu dan merasa bahwa terapisnya sedang benar-benar marah (untuk anak autis yang belum verbal). Ada pula anak autis yang menarik-narik terapisnya sambil berkata “Ibu akau mau belajar.” (untuk anak autis yang verbal). Ekspresi wajah yang ditampilkan terapis dalam berkomunikasi nonverbal dengan anak autis memang menampilkan ekspresi yang sebenarnya, ekspresi wajah yang sesuai dengan verbalnya. 4.2.3 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Isyarat Tangan Perasaan hormat, dengan lambaian tangan atau acungan jempol merupakan bagian dari isyarat tangan. Di dalam pemberian isyarat, gerakan tangan dapat pula diartikan sebuah usaha, pemberian tanda baca, klarifikasi dari kata yang seharusnya diucapkan. Isyarat sendiri mungkin menampakan arti khusus atau membuat pesan dalam hubungannya dengan tanda dari komunikasi jenis lain. (Arwani, 2002 : 40) Dalam komunikasi terapeutik isyarat tanggan juga sangat diperhatikan oleh para terapis, karena isyarat tangan biasanya memberikan suatu arti. Sehingga terapis harus benar-benar bisa memahami arti dari sebuah isyarat tanggan. Hal ini bisa dilakukan malalui pengalaman yang dapat diperoleh selama berinteraksi dengan orang lain termasuk pasien. Penyampaian pesan nonverbal terapis dalam menggunakan isyarat tangan dengan anak autis biasanya dilakukan pada saat tertentu saja dan juga terapis jarang menggunakan isyarat tangan untuk mengartikan sesuatu yang khusus dan rumit karena memang anak autis sulit untuk membaca isyarat dengan kesan-kesan tertentu. 89 Hal ini juga diakui oleh terapis Ibu Rini bahwa “ Para terapis disini memang jarang menggunakan isyarat tangan yang mengartikan sesuatu yang tidak dimengerti olah anak. Biasanya kita menggunakan isyarat tangan hanya pada saat terapi behaviour. Apabila anak melakukan hal yang benar dengan acungan jempol, cium tangan atau salam saat bertemu dan berpisah, dan menunjuk benda pada saat memberi instruksi. Semua itu dilakukan seiring dengan verbalnya juga, agar anak benar-benar mengerti.”10 Isyarat tangan yang diberikan terapis kepada anak autisma ialah berupa acungan jempol, hal ini dilakukan apabila anak pandai atau benar dalam mengerjakan apa yang di instruksikan oleh terapis. Adapula lambaian tangan atau cium tangan pada saat anak akan berpisah dengan terapis. Kemudian pada saat terapis menginstruksi anak untuk mengambil sesuatu sambil menunjuk benda tersebut dengan jari telunjuk. Isyarat tangan yang dilakukan terapis kepada anak-anak autisma, sebelumnya terapis mengajarkannya terlebih dahulu yang kemudian di instruksikan kepada anak untuk menirunya, sehingga anak akan tahu benar arti dari isyarat tangan apabila terapis melakukannya. 4.2.4 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Sentuhan Sentuhan juga merupakan faktor lain yang bisa memengaruhi jalannya komunikasi nonverbal. Sentuhan bersifat sangat pribadi, sehingga sentuhan pada umumnya dilakukan di antara orang yang memang benar-benar mempunyai 10 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 Januari 2007 di Risantya 90 hubungan dekat. Sentuhan tangan lebih bersifat spontan dibandingkan dengan komunikasi verbal, pada umumnya kelihatan lebih nyata. Beragam pesan dapat disampaikan melalui sentuhan tangan , seperti rasa kasih sayang, dukungan emosi, dorongan atau motivasi, penawaran, dan perhatian pribadi. Menurut Stuart,G.W., sentuhan merupakan alat komunikasi yang sangat kuat. Sentuhan juga dapat menimbulkan reaksi positif atau negatif, bergantung pada orang yang terlibat dan lingkungan disekeliling mereka, sentuhan penting dilakukan pada saat klien merasa sangat sedih. Sentuhan pada situasi ini mempunyai arti empati. Sentuhan juga dapat menunjukan arti “Saya peduli”. ( Suryani, 2005: 49) Akan tetapi pada pelaksanaannya sangat perlu untuk memahami siapa, kapan, dan mengapa sentuhan, dilakukan karena komunikasi nonverbal ini mempunyai efek yang berbeda pada setiap individu. Sentuhan akan memberikan manfaat jika penggunaannya didasarkan atas aspek terapi. Sentuhan yang diberikan terapis pada anak autis dalam komunikasi terapeutik adalah dengan memberikan pelukan, usapan di kepala atau pada saat terapi fisioterapi. Sentuhan pelukan yang diberikan terapis kepada anak autis hanya untuk pada saat tertentu saja biasanya pada saat anak sedang tantrum, yaitu agresif pada orang lain atau self-abuse atau menyakiti diri sendiri. Dalam keadaan perilaku yang parah ini, biasanya terapis melakukan pelukan dengan cara berikut: - Duduk di lantai dengan bersandar ke tembok - Meletakan anak di antara kedua paha terapis, hadapkan kepala anak ke depan (jangan menghadap ke terapis, supaya tidak di ggit). Waspada terhadap benturan kepala anak pada dagu terapis. 91 - Menyilangkan kedua lengan melalui bahu anak dan memegang kedua tangan anak secara menyilang. Kepala anak berada di antara kedua lengan terapis. - Menahan kedua kaki anak dengan kaki terapis. - Memberikan pelukan yang menentramkan (jangan emosional dan gugup) dan tetap erat tanpa menyakitkan anak. - Menyuarakan kata-kata yang lembut dan menenangkan. - Terapis merasakan rontaan anak, kalau sudah berhenti diberikanlah suatu pujian sambil tetap dipegang dengan genggaman yang agak longgar tapi waspada. Apabila masih terjadi rontaan, diulangi dari awal, sampai anak benar-benar tenang. Pelukan yang diberikan bertujuan untuk menenangkan anak yang tantrum dan juga memberikan rasa nyaman, tetapi ada pula anak yang tidak suka dengan sentuhan pelukan. Terapis Ibu Septi menjelaskan bahwa “ Tidak semua anak autis itu suka akan pelukan yang sering dilakukan oleh terapis, ada juga yang kita peluk malah menangis tapi ada juga yang senang, mereka akan lari menghampiri kita dan ingin dipeluk. Dari kejadian tersebut, sehingga kita harus tahu benar bagaimana menghadapi anak yang suka dipeluk dan yang tidak suka dengan pelukan .”11 Cara terapis dalam menghadapi anak autis yang tidak suka akan pelukan adalah dengan cara tetap memberikan pelukan itu kepada anak autis. Karena apabila anak tidak suka dipeluk terapis harus mengajarkanya agar anak autis 11 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Septi selaku terapis behaviour pada tanggal 6 Februari 2007 di Risantya 92 senang dipeluk. Sehingga penolakan sentuhan pelukan anak autis berangsurangsur akan menghilang Usapan di kepala yang diberikan terapis kepada anak terjadi apabila anak pintar dalam melaksanakan perintah dari terapis. 4.2.5 Penyampaian Pesan Nonverbal Melalui Kesediaan Ruang Dan Jarak Kewilayahan dimaknakan sebagai upaya untuk meningkatkan, memelilhara, dan mempertahankan hak eksklusif seseorang untuk sebuah wilayah pada ruang tertentu. Selama interaksi sosial, orang secara sadar akan menjaga jarak diantara mereka. Jarak dalam berkomunikasi sangat penting diperhatikan oleh perawat karena akan memengaruhi kelancaran komunikasi. Jarak yang terlalu jauh menyebabkan perawat sulit untuk berespons secara tepat karena perawat tidak bisa melakukan active listening. Menurut Stuart G.W (1998) dalam Suryani (2005:49) Jarak untuk berhubungan intim terapeutik adalah 0 – 45 cm, sedangkan jarak pribadi adalah 45 – 120 cm. Berdasarkan pengalaman jarak yang paling nyaman bagi perawat dan klien dalam berinteraksi adalah antara 30 – 40 cm, akan tetapi pada pasien – pasien dengan perilaku kekerasan, jarak yang bisa digunakan antara 100 – 120 cm. Ruang yang diberikan terapis dalam komunikasi terapeutik dengan anak autis yaitu berada di ruangan kelas dengan ukuran ruangan 3x 2 untuk terapi behaviour. Di dalam ruang kelas tersedia satu meja, dua kursi, cermin, papan whiteboard dan mainan peraga. Ruangan diberi nuansa warna biru dan kaca-kaca jendela ditutupi dengan tirai atau kertas bergambar hal ini dimaksudkan agar orang tua anak tidak 93 bisa melihat pada saat anak sedang terapi yang dapat menggangu konsentrasi anak. Selain di dalam ruangan kelas untuk terapi behaviour, ada juga ruang yang disediakan yaitu ruang bermain outdoor dan ruang bermain indoor untuk terapi fisioterapi. Hal ini dimaksudkan agar anak dapat berlatih dalam penguatan otototot yang lemah, dimana mereka dilatih berdiri, berguling-guling, berjalan, merangkak, naik dan turun pada alat peraga. Jarak yang diberikan terapis dalam komunikasi terapeutik dengan anak autisma adalah jarak intim terapeutik 0-45 cm dan jarak pribadi 55-70 cm. Jarak intim dilakukan apabila anak sedang dalam terapi fisioterapi, terapis sangat dekat sekali dengan anak dan dapat melakukan sentuhan fisioterapi atau pelukan pada saat anak sedang tantrum sehinggga anak juga merasakan kehadiran dan sentuhan dari terapis. Jarak pribadi dilakukan apabila anak sedang dalam terapi behavior di dalam ruangan kelas. Untuk awal terapi behaviour anak diberi jarak satu tangan terapis kira-kira 70 cm dengan duduk berhadapan tanpa meja, hal ini dilakukan untuk menterapi anak belajar duduk tenang. Apabila anak sudah dapat duduk tenang anak dapat memulai materi selanjutnya, terapis dan anak duduk berhadapan dengan dibatasi satu meja kira-kira 55 cm. Terapis Ibu Rini menjelaskan bahwa “Untuk melakukan terapi pada anak autis dibutuhkan ruang dan jarak yang ditentukan, hal ini dimaksudkan agar anak autis benar-benar dapat konsentrasi dalam menerima materi dari terapi selain itu juga menjadikan anak disiplin. Dalam ruang yang tidak terlalu besar dan jarak yang 94 dekat dimaksudkan agar anak dan terapis dapat merasakan kehadiran satu sama lain, dan juga terapis dapat menjangkau anak dengan mudah.”12 4.3 Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik Dalam komunikasi terapeutik terkadang perawat sangat sulit untuk menanggapi respon pasien yang mempunyai masalah yang berbeda-beda sehinggga perawat harus mampu peka dan mampu menanggapi respon pasien. Dalam menanggapi respon yang disampaikan klien, perawat dapat menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik. Disini terapis dalam menangani anak-anak autisma juga menggunakan teknik-teknik komunikasi terapeutik untuk menanggapi respon anak-anak tersebut. Dari sekian banyak teknik komunikasi terapeutik yang ada , hanya beberapa teknik yang terapis gunakan yang sesuai dengan kebutuhan dalam terapi. Teknik- teknik komunikasi terapeutik terapis yang digunakan yaitu; mendengar secara aktif, pertayaan terbuka, membagi persepsi, memberi informasi, dan memberi pujian/penghargaan dan diam. 4.3.1 Teknik Komunikasi Terapeutik Mendengar Secara Aktif Mendengarkan (listening) merupakan dasar utama dalam komunikasi terapeutik.. Mendengarkan adalah proses aktif dan penerimaan informasi serta penelaahan reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima. Nilai terapeutik dari 12 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 januari 2007 di Risantya 95 mendengarkan yaitu mengkomunikasikan kepada klien tentang minat dan penerimaan perawat secara nonverbal . Selama mendengarkan, perawat harus mengikuti apa yang dibicarakan klien dengan penuh perhatian. Perawat memberikan tanggapan pada saat yang tepat, dan tidak memotong pembicaraan klien Mendengarkan akan menciptakan situasi interpersonal dari keterlibatan maksimal yang dianggap aman dan membuat klien merasa bebas. (Nurjanah, 2001: 54) Mendengar secara aktif yang dilakukan terapis dalam menangani anakanak autis adalah pada saat terapi behaviour. Dimana ketika anak sedang menceritakan sesuatu atau menjawab pertanyaan dari terapis. Caranya adalah dengan badan menghadap ke anak dan memperhatikan sambil mendengarkan apa yang anak bicarakan, sambil sekali-kali terapis mengatakan “Terus...” atau “Mmm....” sehingga anak akan terpancing untuk terus bercerita. Menurut Ibu Rini terapis memang dituntut untuk bisa menjadi pendengar yang aktif, agar terapis mengetahui dan mengukur kemampuan anak dalam menerima materi yang diajarkan atau daya imajinasi anak dalam bercerita. Dan juga anak akan merasakan bahwa apa yang ia bicarakan atau ungkapkan didengarkan oleh orang lain (terapis) sehingga mereka juga akan merasa dihargai.13 Teknik mendengar secara aktif merupakan teknik yang selalu digunakan oleh terapis dalam menangani anak-anak autis baik itu didalam terapi maupun di luar terapi. Hasil dari penggunaan teknik tersebut membuat anak autis menjadi 13 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 Januari 2007 di Risantya 96 lebih terbuka dan berani dalam bercerita, sehingga hal ini membuat komunikasi semakin lancar. 4.3.2 Teknik Komunikasi Terapeutik Pertanyaan Terbuka Antai- Otong (1995) mengatakan bahwa, “ Pernyataan terbuka (open queation) digunakan apabila perawat membutuhkan jawaban yang banyak dari klien. Dengan pertanyaan terbuka, perawat akan mampu mendorong klien mengekspresikan dirinya.” (Suryani, 2005:66). Pertanyaan terbuka bisa diawali dengan kata “apa” dan “bagaimana”. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban “Ya” dan “Mungkin” tetapi pertanyaan memerlukan jawaban yang luas, sehinga pasien dapat mengemukakan masalahnya, dengan kata-kata sendiri, atau dapat memberikan informasi yang diperlukan. Sedangkan pertanyaan tertutup (closed ended queation) digunakan ketika perawat membutuhkan jawaban yang singkat. Stuart & Sundeen, (1995) dalam Nurjanah (2001:60) mengatakan bahwa “Kegiatan pertanyaan terbuka akan bernilai terapeutik apabila klien menunjukan penerimaan dan nilai inisiatif klien dan menjadi non terapeutik apabila perawat mendominasi interaksi dan menolak respon klien.” Pada terapi anak-anak autis, teknik pertanyaan terbuka sering dilakukan oleh terapis. Teknik ini dilakukan pada saat terapi behaviour di dalam kelas atau pada saat percakapan biasa di luar kelas. Cara terapis melakukan teknik pertanyaan terbuka kepada anak autis misalkan dengan contoh seperti ini; Terapis : “Tufi sekarang mau kemana?” Tufi : “Aku mau ke toko Griya sama mama”. 97 Terapis : “Memangnya di Griya Tufi mau beli apa?” Tufi : “Aku mau beli kentang, kentang aku sudah habis!” Terapis : “Pergi ke Griya Tufi naik apa sama mama?” Tufi : “Aku pergi naik mobil”. Terapis : “ Kalau Mobil itu kendaraan roda berapa sih Tufi?” Tufi : “Roda empat”. Diatas merupakan sedikit contoh percakapan antara terapis dengan anak autis yang bernama Tufi, dari contoh percakapan tersebut terlihat bahwa terapis mencoba melakukan teknik pertanyaan terbuka kepada anak. Terlihat pertanyaan yang dilontarkan kepada anak adalah pertanyaan yang membuat anak menjawab tidak singkat, anak akan menjawab apa yang ada dipikiran dan dirasakan anak. Setelah terapis bertanya hal yang umum kemudian terapis biasanya mencoba bertanya yang ada kaitannya dengan materi yang telah diberikan kepada anak. Menurut Terapis Ibu Asih hal ini dilakukan terapis untuk mengukur kemampuan anak mengerti dan mengingat materi-materi yang telah diberikan di dalam kelas. Dan juga melatih anak untuk berkomunikasi secara terbuka dan bebas sesuai apa yang ingin anak ungkapkan. 4.3.3 Teknik Komunikasi Terapeutik Memberi Informasi Memberikan tanbahan informasi (informing) merupakan tindakan penyuluhan kesehatan untuk klien. Teknik ini sangat membantu dalam mengajarkan kesehatan atau pendidikan pada klien tentang aspek-aspek yang relevan dengan perawatan diri dan penyembuhan klien. Informasi yang diberikan 98 pada klien harus dapat memberikan pengertian dan pemahaman tentang masalah yang dihadapi klien serta membantu dalam memberikan alternatif pemecahan masalah. Suart & Sundeen (1995) dalam Nurjanah (2001:57) mengatakan bahwa Menyediakan tambahan informasi dengan tujuan untuk mendapatkan respon lebih lanjut. Beberapa keuntungan dari menawarkan informasi adalah akan memfalsilitasi komunikasi, mendorong pendidikan kesehatan, dan memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan. Memberikan informasi kepada pasien mengenai hal-hal yang tidak / belum diketahuinya atau bila pasien bertanya memberikan informasi. Yang diperlukan bisa juga sebagai suatu cara untuk membina hubungan saling percaya dengan pasien sehingga menambah pengetahuan pasien yang akan berguna baginya untuk mengambil keputusan secara realistik. Dalam menangani anak-anak autis, terapis juga menggunakan teknik memberi informasi kepada mereka. Teknik memberi informasi ini dilakukan terapis pada saat terapi behaviour di ruang kelas. Biasanya informasi yang diberikan terapis kepada anak-anak autis adalah informasi mengenai kesehatan dan pengetahuan umum. Ibu Rini menjelaskan bahwa “Terapis biasanya menggunakan teknik memberi informasi pada saat terapi behavior di ruang kelas, informasi yang diberikan seputar tentang kesehatan atau pengetahuan umum saja. Cara memberi informasi kepada anak-anak autis berbeda penyampaiannya dengan anak yang lain. Misalkan terapis memberikan informasi mengenai kesehatan, bagi anak yang sudah verbal biasanya dengan media gambar yang mengandung cerita. Pada 99 gambar tersebut menceritakan gambar anak bermain lumpur, gambar anak tidak langsung mandi, kemudian gambar anak yang badannya gatal-gatal” Dari gambar tersebut anak diberi informasi oleh terapis bahwa apabila bermain lumpur harus cepat-cepat mandi, apabila tidak mandi maka badannya akan gatal-gatal. Maka dengan pemberian informasi seperti itu diharapkan anak akan mengerti apa yang dimaksud dan akan melakukan apa yang telah ia pelajari, sambil sekali-kali terapis menanyakan ulang informasi yang telah diberikan kepada anak untuk mengukur kemampuan mereka dalam memahaminya.”14 Memberi informasi kepada anak yang belum verbal adalah dengan cara memberikan contoh kepada mereka, misalkan sehabis makan buang sampah pada tempatnya. Terapis mengajarkan anak membuang sampah ketempatnya sambil diarahkan. Sambil memberi tahu kepada anak “Ini tempat sampah”. Apabila anak diberi instruksi “buang ke tempat sampah” maka anak akan membuangnya ke tempat sampah. Teknik memberi informasi ini dinyatakan perlu dilakukan oleh terapis. Teknik memberi informasi diberikan seiring dengan materi yang diberikan pada saat terapi behaviour, sehingga memberi informasi kepada anak autis ditujukan untuk menambah pengetahuan anak, dan membantu anak untuk kemampuan bantu diri (self help skills). 14 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 Januari 2007 di Risantya 100 4.3.4 Teknik Komunikasi Terapeutik Memberi Penghargan Jalaludin rahmat menyatakan bahwa, “Seseorang akan cenderung berinteraksi apabila ia merasa interaksi tersebut menguntungkan, baik secara psikologis maupun ekonomis.” (Suryani, 2005:79) Memberikan pujian (reinforcement) merupakan keuntungan psikologis yang didapatkan klien ketika berinteraksi dengan perawat. Reinforcement berguna untuk meningkatkan harga diri dan menguatkan perilaku klien. Reinforcement bisa diungkapkan dengan kata-kata ataupun melalui isyarat nonverbal. Dalam menangani anak-anak autis, terapis juga selalu menggunakan teknik memberi penghargaan kepada anak-anak autis. Biasanya teknik penghargaan ini diberikan pada saat terapi behaviour dalam kelas. Penghargaan diberikan apabila anak bisa atau mampu melaksanakan apa yang diperintahkan terapis atau pada saat anak mampu menjawab dengan benar pertanyaan dari terapis. Cara terapis melakukan teknik memberi penghargaan verbal adalah dengan memberikan pujian “Bagus” atau “Pintar”. Ada juga penghargaan nonverbal dengan mengancungkan jempol saat anak melakukan hal yang benar. “Ada berbagai macam cara terapis memberikan penghargaan kepada anak, selain dengan kata-kata “Bagus dan “Pintar” maupun acungan jempol, ada juga pemberian penghargaan berupa mengabulkan apa yang diinginkan oleh anak. Misalkan anak telah mau dan benar melakukan apa yang di instruksikan oleh terapis, kemudian terapis menawarkan sesuatu kepada anak “Kamu mau apa 101 sekarang?” apabila anak menginginkan “Aku mau main di luar” , maka terapis mengabulkan apa yang diinginkan oleh anak.” kata Terapis Ibu Rini.15 Sebaiknya penghargaan yang diberikan kepada anak autis diharapkan jangan berupa makan, karena anak autis harus benar-benar sekali dijaga dan diatur soal makanan. Dan berikan penghargaan yang kira-kira kita mampu untuk memberikan kepada anak tersebut. Jangan terlalu berlebihan, karena bisa jadi apabila setiap anak terlalu sering diberi penghargaan berupa barang, dan tiba-tiba kita tidak bisa memberikan barang maka anak tersebut akan mengamuk untuk sesuatu yang diinginkan, tapi kita tidak mampu untuk membelinya. Jadi, berikanlah anak autis penghargaan sesuai dengan porsi dan kebutuhannya. Teknik memberi penghargaan ini ditujukan agar anak merasa senang dan menjadi motivasi anak untuk melakukan sesuatu yang baik. 4.3.5 Teknik Komunikasi Terapeutik Diam Stuart & Sundeen (1998) dalam Suryani (2005:72) mengungkapkan bahwa, Teknik diam (silence) digunakan untuk memberikan kesempatan pada klien sebelum menjawab pertanyaan perawat. Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisasi pikiran masing-masing. Teknik ini memberikan waktu pada klien untuk berpikir dan menghayati, memperlambat tempo interaksi, sambil perawat menyampaikan dukungan, pengertian dan penerimaannya. Diam juga memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan berguna pada saat klien harus mengambil keputusan 15 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rini selaku leader terapis pada tanggal 30 Januari 2007 di Risantya 102 Diam yang positif dan penuh penerimaan merupakan media terapeutik yang sangat berharga karena dapat memotivasi pasien untuk bicara, mengarahkan isi pikirannya kepada masalah yang dialaminya. Memberi waktu kepada pasien dalam menimbang alternatif tindakan yang perlu dilakukan dan memberikan kesempatan untuk merasakan bahwa dirinya diterima seutuhnya, meskipun pasien tetap berdiam diri atau merasa malu, tetapi pasien tetap merasa bahwa dirinya tetap berharga dan diterima. Teknik diam ini juga selalu digunakan terapis dalam menghadapi anakanak autisma khususnya pada saat pemberian materi pada terapi behaviour di dalam kelas. Terapis menggunakan teknik diam pada saat menunggu anak berfikir untuk menjawab pertanyaan terapis. Diam yang dilakukan terapis adalah diam yang positif, hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada anak berfikir atas jawaban. Apabila anak terlalu lama diam (berfikir) maka terapis akan kembali mengulang pertanyaannya kepada anak. Sebagai contoh, setelah perawat (terapis) mengajukan pertanyaan kepada anak autis, “Berapakah dua dikali lima?” perawat (terapis) memberi jeda waktu 10 detik diam untuk memberi kesempatan klien (anak) menjawab. Kemudian ketika klien (anak) mengungkapkan jawabannya, perawat (terapis) menggunakan teknik listening dengan mendengarkan jawaban anak tersebut dengan penuh perhatian. Diam dapat mendorong atau menghambat komunikasi sehingga perawat harus hati-hati dalam menggunakan teknik ini. Bagi pasien depresi diam bisa diartikan sebagai dorongan pengertian dan penerimaan. 103 Dalam hal ini terapis perlu menganalisis teknik yang tepat pada setiap berkomunikasi dengan anak, karena ketidaktepatan menggunakan teknik dalam berkomunikasi dapat berpengaruh terhadap proses dan keberhasilan komunikasi. Informasi yang akurat dapat disampikan melalui komunikasi verbal, namun aspek emosi dan perasaan tidak dapat diungkapkan seluruhnya melalui verbal. Dalam hal ini dibutuhkan kemampuan terapis untuk menghadirkan diri menggunakan teknik komunikasi secara tepat dan pemahaman terhadap respons emosional klien. Dengan mengerti proses komunikasi dan mempunyai berbagai keterampilan berkomunikasi, perawat diaharapkan mampu menggunakan dirinya secara utuh (verbal dan nonverbal) dalam memberikan efek terapeutik pada anak. 104 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis terhadap komunikasi terapeutik terapis dalam menangani anak-anak Autisma, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Komunikasi terapeutik terapis dalam menangani anak-anak Autisma dilakukan dengan komunikasi terapeutik verbal. Komunikasi terapeutik verbal yang dilakukan terapis adalah kemaknaan, pembendaharaan kata, keringkasan dan kejelasan pesan. Melalui komunikasi terapeutik verbal tersebut menghasilkan anak-anak autisma berkomunikasi dalam pengungkapan perasaan secara verbal dan mengerti akan setiap kata-kata. Sehingga komunikasi terapetik verbal yang dilakukan terapis membuat perkembangan yang baik dan kemajuan bagi anak-anak autisma dalam komunikasi verbal. 2. Komunikasi terapeutik nonverbal yang dilakukan terapis dalam menangani anak-anak autisma adalah gerak mata, ekspresi wajah, isyarat tangan, sentuhan, kesedian ruang dan jarak. Melalui komunikasi terapeutik nonverbal tersebut membuat perubahan dan kemajuan dalam perilaku anak menjadi lebih baik. Terutama kontak mata adalah hal yang paling utama diberikan kepada anak-anak autisma untuk membangun komunikasi mereka. 105 3. Teknik komunikasi terapeutik yang dilakukan terapis adalah teknik mendengar dengan aktif, teknik pertanyaan terbuka, teknik memberi informasi, teknik memberi pujian/ penghargaan, dan teknik diam. Teknik komunikasi terapeutik tersebut digunakan oleh terapis sesuai dengan kondisi dan kebutuhan dalam menangani anak-anak Autisma. Penggunaan teknik-teknik komunikasi terapeutik menjadikan komunikasi anak-anak autis menjadi lebih terbuka, juga sebagai tolak ukur terapis dalam melihat kemajuan anak-anak autis. 5.2 Saran 5.2.1 Saran pengembangan Teoritis 1. Untuk penelitian sejenis, disarankan bagi peneliti berikutnya akan lebih menarik jika meneliti masalah interaksi sosial anak autis dengan metode penelitian fenomenologi atau studi kasus. 2. Dalam penggunaan teori komunikasi terapeutik tidak hanya ditujukan untuk komunikasi perawat di rumah sakit saja, tetapi dapat digunakan dalam terapi atau penyembuhan lainnya. 5.2.2 Saran Pengembangan Praktis 1. Pada program terapi yang diberikan Risantya akan lebih baik ditambah dengan program hiburan, seperti menonton film kartun, bermain musik, dan belajar bahasa inggris. Sehingga anak tidak akan merasa jenuh dengan penyampaian materi sehari-hari. 106 2. Perhatian Risantya terhadap publikasi sangat kurang seperti membuat iklan, plang penunjuk tempat Risantya dan leafeat yang menarik. Hal ini disarankan agar orang-orang lebih mengetahui keberadaan Risantya. 3. Tingkatkan kembali sarana dan prasarana yang sudah ada maupun yang belum ada, untuk mengembangkan Risantya semakin lebih baik. Dan menjaga dari persaingan lembaga terapi lain yang semakin modern. 107 PEDOMAN WAWANCARA 1. Ditujukan Kepada : 2. Tema Wawancara : 3. Tanggal dan Waktu Wawancara : A. Penyampaian pesan verbal 1. Bagaimana kemaknaan yang diberikan terapis pada anak-anak autis? 2. Kemaknaan seperti apa yang diberikan kepada anak-anak autis? 3. Tujuan kemaknaan bagi anak-anak autis? 4. Bagaimana pembendaharaan kata yang diberikan terapis pada anakanak autis? 5. Pembendaharaan kata seperti apa yang diberikan kepada anak-anak autis? 6. Tujuan pembendaharaan kata bagi anak-anak autis? 7. Bagaimana kejelasan dan keringkasan pesan yang disampaikan terapis pada anak-anak autis? 8. Mengapa penyampaian pesan verbal terapis harus jelas dan ringkas pada anak-anak autis? 9. Menurut anda apakah komunikasi verbal itu sangat penting untuk anak-anak autis, khususnya pada komunikasi terapeutik? Jelaskan jika YA B. Penyampaian pesan nonverbal 1. Bagaimana gerakan mata (kontak mata) terapis pada anak-anak autis? 2. Mengapa kontak mata itu harus dilakukan kepada anak-anak autis? 3. Tujuan melakukan kontak mata pada anak-anak autis? 4. Bagaimana ekspresi wajah terapis pada anak-anak autis? 5. Pada saat seperti apa terapis melakukan ekspresi wajah pada anak-anak autis? Dan bagaimana? 6. Tujuan melakukan ekspresi wajah pada anak-anaka autis? 7. Bagaimana isyarat tangan yang diberikan terapis pada anak-anak autis? 8. Pada saat seperti apa terapis melakukan isyarat tangan kepada anakanak autis? 9. Bagaimana cara sentuhan terapis pada anak-anak autis? 10. Pada saat seperti apa sentuhan dapat diberikan pada anak-anak autis? 11. Apakah setiap anak autis senang dengan sentuhan yang diberikan oleh terapis? Jika TIDAK, bagaimana cara mengatasinya? 12. Bagaimana kesedian ruang dan jarak terapis ketika berkomunikasi dengan anak-anak autis? 13. Mengapa kesedian ruang dan jarak ketika berkomunikasi dengan anak-anak autis harus ditentukan? 14. Menurut anda apakah komunikasi nonverbal itu penting untuk anak autis?Jelaskan jika YA C. Teknik Komunikasi Terapeutik 1. Bagaimana teknik “mendengar secara aktif” terapis dalam menangani anak-anak autis? 2. Kapan terapis melakukan teknik “mendengar secara aktif” pada anak autis? 3. Tujuan melakukan teknik “mendengar secara aktif” pada anak autis? 4. Bagaimana teknik “pertanyaan terbuka” terapis dalam menangani anak-anak autis? 5. Kapan terapis melakukan teknik “pertanyaan terbuka” pada anak-anak autis? 6. Tujuan melakukan “pertanyaan terbuka” pada anak autis? 7. Bagaimana teknik “diam” terapis dalam menangani anak-anak autis? 8. Kapan terapis melakukan teknik “diami” pada anak autis? 9. Tujuan melakukan teknik “diam” pada anak autis? 10. Bagaimana teknik “memberi informasi” terapis dalam menangani anak-anak autis? 11. Informasi seperti apa yang diberikan kepada anak-anak autis? 12. Kapan terapis melakukan teknik “memberi informasi” pada anak autis? 13. Tujuan melakukan teknik “memberi informasi” pada anak autis? 14. Bagaimana teknik “memberi pujian/penghargaan” terapis dalam menangani anak-anak autis? 15. Kapan terapis melakukan teknik “memberi pujian/penghargaan” pada anak autis? 16. Tujuan melakukan teknik “memberi pujian/penghargaan” pada anak autis? 17. Dampak dalam memberikan “pujian /penghargaan” bagi anak-anak autis? PANDUAN OBSERVASI Hari / Tanggal : Kamis, 18 Januari 2007 Waktu : 13.00 – 14.00 Tempat Penelitian : Ruang Terapi Behaviour di Risantya Hari ini Tufi dan Ruri mendapatkan terapi behaviour yang ditangani oleh Ibu Septi dan Ibu Asih. Sebelum memulai terapi, anak-anak terlebih dahulu berdoa dan memberi salam kepada terapis. Di dalam ruang terapi terapis menangani satu anak, satu terapi dengan duduk berhadapan dihalangi oleh satu meja. Materi pertama yang diberikan terapis pada terapi behavior hari ini adalah memberii nstruksi kepada Tufi dan Ruri untuk bercakap-cakap dengan bertanya satu sama lain mengenai nama, alamat rumah, dan nama orang tua. Pada saat Tufi dan Ruri bercakap-cakap ada saja hal yang menggelikan atau membuat terapis menjadi marah karena mereka berdua tidak konsentrasi dan bercanda satu sama lain. Tufi kontak matanya masih kurang dan harus selalu di peringati oleh terapis, terlihat pada saat ia di instruksikan oleh terapis untuk bertanya kepada Ruri, matanya selalu tidak melihat kepada lawan bicara, ketika ia di tegur oleh terapis Ibu Septi baru ia melakukannya, itupun hanya beberapa detik saja. Ada juga pada saat di instruksi bercakap-cakap Tufi malah menggelitik badan Ruri, ia melakukan hal itu karena Tufi sangat gemesan kepada temennya, sehingga mereka berdua bukannya bercakap-cakap malah jadi bercanda dan tertawa-tawa membuat Ibu Septi dan Ibu Asih menjadi marah. Setelah diberi materi bercakap-cakap untuk interaksi sosial sesama teman, kemudian terapis memberi materi berhitung yang ditulis di papan tulis. Materi yang diberikan seputar penjumlahan, pengurangan, dan perkalian yang angkanya tidak lebih dari sepuluh. Setelah itu satu persatu di instruksikan ke depan untuk menjawab soal di papan tulis. Ketika Tufi mengerjakan di depan terlihat ia sangat lama dalam menjawab soal, karena memang cara ia berfikir sedikit agak lama, sehingga terapis selalu mengatakan “cepat Tufi” atau mengatakan “ di Hitung loh”. Apabila semua soal telah dijawab, maka terapis kembali bertanya kepada mereka apakah jawaban yang mereka tulis benar atau salah. Materi selanjutnya adalah pemberian kalimat yang kemudian mereka tulis kembali di buku tulis. Kalimat yang diberikan pertama-tama adalah dengan dua suku kata semisal, “agamaku Islam”. Apabila anak ada kesalahan dalam penulisan kata atau huruf maka terapis kemudian mengoreksinya. Dilanjutkan dengan tiga suku kata semisal, “Saya belajar bersama” , kemudian empat suku kata semisal, “Ayah pergi ke kantor”. Nada suara terapis pada saat memberi materi kepada anak autisma menggunakan nada yang tinggi dan sedikit keras, itu menandakan bahwa terapis tegas dalam memberikan perintah kepada anak. Adapun ekspresi wajah terapis dalam ,emterapi anak dengan wajah yang sedikit serius dan terlihat sedikit galak, tidak tertawa atau mentertawakan anak apabila anak salah dalam melakukan perintah dari terapis. hal ini menandakan bahwa terapis serius dalam menangani anak-anak Autis, sehingga anak-anak pun akan mengikuti dengan serius dan konsentransi dalam menerima materi. Setelah terapi behaviour selesai anak- anak terlebih dahulu berdoa dan mengucapkan salam berpisah kepada terapis. keudian terapis mengisi buku harian perkembangan anak satu persatu. PANDUAN OBSERVASI Hari / Tanggal : 7 November 2006 Waktu : 09.45 – 11.30 Tempat Penelitian : Kantor BP.4 Kecamatan Arcamanik JL. Cisaranten Kulon No. 127 Bandung Uraian Penggunaan kata-kata yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti klien, terkadang juga diselingi dengan bahasa sunda karena pasangan suami istri berasal dari sunda. Muka kecewa sesekali terlihat pada muka Pak Dindin ketika Pak Dindin menasehati pihak suami Ia terkesan acuh tak acuh, namun Pak Dindin tidak sama sekali memperlihatkan wajah marah pada klien. Klien (pihak suami) bersikap acuh tak acuh, tidak jarang sesekali ia menyangkal atas apa yang disampaikan penasehat, klien(pihak istri) diam saja, menangis, sambil mendengar pesan-pean yang disampaikan penasehat. Pesan persuasi yang disampaikan, “bagaimana nasib anak dan istri Bapak nanti kalau Bapak sampai masuk penjara, Apakah Bapak tidak kasihan sama anak istri Bapak, dan bagaimana nasib mereka kelak, masa depan mereka, apakah tidak terfikirkan oleh Bapak” SYARAT-SYARAT PENDAFTARAN 1. Mengisi formulir pendaftarans 2. Membawa surat rujukan dari dokter 3. Membayar biaya pendaftaran 4. Membayar biaya terapi 5. Usia anak awal masuk maksimal 7 tahun 6. Foto ukuran 3 x 4 = 2 lembar RINCIAN BIAYA Uang pangkal , pendaftaran + seragam Rp 530.000,- Biaya terapi : terapi perilaku lamanya terapi 1 jam : 2 x / minggu Rp 240.000,- / bulan 3 x / minggu Rp 360.000,- / bulan 4 x / minggu Rp 480.000,- / bulan 5 x / minggu Rp 600.000,- / bulan Terapi Wicara ( lama terapi 45 menit ) Rp 40.000,- / jam dibayarkan bulanan Terapi Sensori Integrasi (SI) / OT, Fisioterapi 1 x / minggu Rp 160.000,- / bulan 2 x / minggu Rp 320.000,- / bulan 3 x / minggu Rp 480.000,- / bulan 4 x / minggu Rp 640.000,- / bulan 5 x / minggu Rp 800.000,- / bulan Catatan : ∗ Uang yang sudah masuk tidak bisa diminta kembali. ∗ Biaya terapi dibayarkan di muka, ,apabila tidak datang terapi/ hari libur nasional tidak ada penggantian terapi. ∗ Orang tua ikut mendukung program terapi dengan juga melakukan intervensi / terapi di rumah. ∗ Cuti terapi dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 100.000,-, maksimal cuti 2 bulan, jika tidak dianggap keluar dan bila masuk lagi dianggap pasien baru. (cuti 1 minggu sebelumnya harus sudah memberitahu) Risantya Pimpinan Wardi Supardi Perintis berdirinya Risantya Konsultan pendidikan Terapis Okupasi Mutmainah, AMd.OT Penanggung jawab program Okupasi Terapi Terapis Wicara Amaliah F, Amd. TW dan penanggung jawab program terapi wicara Koordinator terapis Kusdarini, AMF Penanggung jawab program Fisioterapi dan pelaksana terapi Fisioterapis Margiasih Setiyati, AMF Pelaksna terapi Fisik dan behavioural terapi Terapis Wicara Dwi Subekti, Amd.TW (bekerja sampai Februari 2007) Administrasi Tuti Kustiah, SE Fisioterapis Septi Hermiati, AMF Pelaksna terapi Fisik dan behavioural terapi Administrasi Puty Nurdiansari ( bekerja sampai Mei 2006 ) Fisioterapis Henri Eko P, AMF Pelaksna terapi Fisik dan behavioural terapi Office boy Budi BIODATA TERAPIS NAMA LENGKAP : Kudsarini ALAMAT : Jl. Sekelimus Barat 43 RT 3 RW 5 Buah Batu Bandung NOMER TELFON :- TEMPAT, TGL LAHIR : Sragen, 12 Mei 1976 STATUS : Menikah JENIS KELAMIN : Wanita AGAMA : Islam HP : 081 321 30 11 94 PENDIDIKAN TERAKHIR : D3 Fisioterapi AKFIS Solo NAMA LENGKAP : Septi Hermiati, AMF ALAMAT : Jl. Murni I No. 37 Ciateul Bandung NOMER TELFON : TEMPAT, TGL LAHIR : Jakarta, 1 September 1982 STATUS : Menikah JENIS KELAMIN : Wanita AGAMA : Islam HP : 0813 22 304 380 PENDIDIKAN TERAKHIR : D3 Akademi Fisioterapi UKI Jakarta BIODATA TERAPIS NAMA LENGKAP : Mutmainah ALAMAT : Jl. Murni No. 1 Ciateul Bandung NOMER TELFON : TEMPAT, TGL LAHIR : Karanganyar, 31 januari 1981 STATUS : Belum menikah JENIS KELAMIN : Perempuan AGAMA : Islam HP : 0815 84 13 81 08 PENDIDIKAN TERAKHIR : D3 Okupasi Terapi NAMA LENGKAP : Margiasih Setiyati ALAMAT : Jl. Cigondewah Kaler No. 38 Cigondewah Holis Bandung NOMER TELFON : TEMPAT, TGL LAHIR : Klaten, 12 mei 1980 STATUS : Menikah JENIS KELAMIN : Perempuan AGAMA : Islam HP : 0813 22 77 26 17 PENDIDIKAN TERAKHIR : D3 Fisioterapi DEPKES BIODATA TERAPIS NAMA LENGKAP : Henry Eko Prasetyo ALAMAT : Jl. Warung Contong RT 02/14 N0. 106 Cimahi Tengah NOMER TELFON : 6642802 TEMPAT, TGL LAHIR : Jakarta, 23 September 1984 STATUS : Belum Menikah JENIS KELAMIN : Laki-Laki AGAMA : Islam HP : 0813 21 87 95 10 PENDIDIKAN TERAKHIR : D3 Fisioterapi RS. Dustira Cimahi