Komunikasi-Konflik dalam Perspektif Kehendak

advertisement
Komunikasi-Konflik dalam Perspektif Kehendak Bebas
Dewanto Putra Fajar
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya Malang
Abstract
Along time, communication and conflict always seen through same way.
Perception which it always sees that this two process as result from social
interaction between indivudual person with the environment. Now almost
scientist of social science sees that conflict as part of social interaction
which it need communication procces. So, communication become a
important thing in conflict as social interaction. In simple, persons who
join the conflict can exactly need communication as a aspect to connect all
participation. But, the perception is the common sense in social scientist
perception. Seldom social scientist see that communication and conflict as
result from complex processing, so need indeepth philosophy
understanding about aspect from individual person and result of biology
determination combination inside of human body and social environment
determination. They are known as free will. The paper try to see more
deepth about communication and conflict through different perspectif is
free will perspective.
Key words: communication, conflict, biology determination, social
determination, individual attitude, social interaction
Pendahuluan
Komunikasi dan konflik merupakan satu kondisi yang tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan manusia. Dengan begitu komunikasi dan konflik
menjadi satu aspek penting yang harus dipelajari dan dikaji dengan baik, untuk
menghasilkan pemahaman yang baik dan komprehensif. Sebagai suatu proses
sosial, konflik membutuhkan satu mekanisme penghubung yang dikenal sebagai
komunikasi. Fakta tesebut bisa dipahami, karena komunikasi merupakan satu
aspek yang bisa digunakan pada semua bidang kehidupan. Sayangnya, para pakar
komunikasi selalu membahas konflik dari satu perspektif yang menempatkan
konflik hanya sebagai suatu produk dari interaksi sosial, terutama hasil dari
perbedaan kepentingan dan sebagainya. Perspektif tersebut hanya mampu
menjelaskan proses permulaan konflik, eskalasi, dan penyelesaiannya berdasarkan
interaksi sosial yang melingkupi konflik. Hal itu membuat cara pandang tersebut
tidak mampu menjelaskan secara fundamental mengapa individu memulai
konflik.
Ada satu perspektif untuk memahami konflik yang jarang diperhatikan
oleh para pakar konflik, yaitu perspektif kehendak bebas. Secara sederhana
perspektif kehendak bebas memberikan pandangan bahwa individu memiliki
kemampuan untuk memulai konflik dan mengakhiri konflik sesuai kehendaknya.
Pandangan tentang kehendak bebas sebenarnya memberikan individu suatu
peranan besar untuk bebas melakukan apapun yang menjadi kehendaknya.
Pemikiran kehendak bebas sebenranya sudah menjadi wancana serius di sebagian
besar ahli biologi yang menentang bentuk-bentuk determinisme biologis.
Menariknya, pemikiran yang pada mulanya digunakan untuk mengembalikan
kemampuan manusia menentukan keinginan pribadinya, bisa digunakan untuk
memahami bentuk-bentuk interaksi sosial manusia.
Jika kehendak bebas merupakan bagian paling penting bagi individu untuk
menentukan apa yang menjadi pilihannya, maka dari mana kehendak bebas ini
berasal. Jawaban dari pertanyaan tersebut begitu rumit, namun para ilmuwan,
termasuk filosof dan pakar biologi berusaha memberikan jawaban yang tepat dari
pertanyaan tersebut. Evan Fales, seorang filosof, menjelaskan kehendak bebas
muncul karena kondidi genetik individu merancang otak dalam kondisi yang tepat
untuk memberikan individu kemampuan memilih dan melakukan tindakan secara
bebas (Rothstein, 1999: 98; Fales, 1994—Carson dan Rothstein).
Berdasarkan penjelasan Fales (1994) dapat dipahami bahwa kehendak
bebas muncul karena otak memiliki kemampuan untuk memberikan alasan dan
pilihan terhadap satu tindakan tertentu. Jika demikian maka dapat dipastikan
bahwa kehendak bebas terhadap perilaku bisa dimodifikasi, sehingga kehendak
bebas dalam diri individu seolah hilang. Pakar genetik Xandra Breakefield
menghubungkan tindakan agresivitas individu dengan bentuk mutasi gen terhadap
monoamine oxidase (MAO) (Nelkin, 1999: 159—Carson dan Rothstein). Bagi
Breakefield kehendak bebas bisa dipengaruhi oleh bentuk determinasi yang paling
mendasar, yaitu determinasi genetik. Dengan kata lain perilaku individu serta
kehendak bebas pada beberapa kondisi dipengaruhi secara penuh oleh aspek
genetik individu.
Di lain pihak, kehendak bebas dipahami sebagai bentukan lingkungan
sosial di sekitar individu. Jurnalis dan penulis lepas, Matt Ridley, memahami
kehendak bebas sebagai hasil determinisme genetik dan determinisme sosial,
sederhananya perilaku individu ditentukan oleh beragam faktor penting baik di
dalam inidvidu maupun di luar individu, karena disadari atau tidak, individu tidak
dapat melepaskan diri dari bentuk determinisme apapun (Ridley, 2005: 356-359).
Dengan kata lain, kehendak bebas merupakan bentuk-bentuk tindakan individu
terhadap lingkungan sosialnya yang ditentukan berdasarkan banyak faktor
penting, termasuk faktor biologis dan faktor sosial.
Menariknya para filosof abad ke 19, seperti Marx, Hegel dan Kant sudah
menyadari bahwa kehendak bebas memegang peranan penting dalam interaksi
sosial. Patrick Lee Plaisance (2009: 4191—Donsbach) menjelaskan bahwa Hegel
dan Kant memandang bahwa aspek kehendak bebas dan kemampuan memberikan
alasan, termasuk logika membuat manusia berbeda dengan hewan. Bagi Kant
keberadaan kehendak bebas mendasari munculnya sistem moral dan etika, serta
menjadi pedoman untuk berpikir rasional (Pleisance, 2009: 1574—Donsbach).
Lebih lanjut, Plaisance menjelaskan bahwa kemampuan ini memberikan manusia
bentuk tanggung jawab pada aspek moral, fisik, emosional, dan intelektual
(Plaisance, 2009: 4191—Donsbach). Pemikiran Kant yang dijelaskan Pleisance
(2009) menunjukkan bahwa kehendak bebas memberikan manusia kemampuan
untuk mengambil keputusan apapun dengan konsekuansi dan tanggung jawab
yang menyertainya. Karena itu, tanggung jawab yang muncul dari kehendak
bebas melingkupi aspek moral hingga emosional dalam diri individu.
Pada aplikasinya, kehendak bebas dalam ilmu sosial dipahami sebagai
bentuk perlawanan yang muncul dari bentuk determinasi sosial. Sederhananya
tindakan yang kita lakukan dipahami sebagai hasil bentukan kondisi dan situasi
sosial yang ada di sekeliling inidvidu. Karl Marx memahami determinisme sosial
sebagai satu faktor yang menetukan tindakan individu, mulai dari perang,
kekerasan kelompok dan eksploitasi manusia, sehingga pemikiran Marx
mendukung
pemikiran Darwinisme
sosial (Deutsch,
2006:14—Deutsch).
Pandangan determinisme sosial juga didukung oleh Gordon (1959) yang
menyatakan bahwa determinisme sosial membuat individu bergerak layaknya
proses dramaturgi dengan skenario tertentu (dalam Turner, 2006: 96—Bryan).
Pemikiran Marx dan Gordon sebenarnya memberikan petunjuk penting bahwa
tindakan individu sebenarnya ditentukan oleh kondisi sosial yang dihadapi,
namun fakta yang ada tidak selalu menujukkan hal tersebut. Dalam pandangan
determinisme sosial indivdiu dianggap tidak memiliki pilihan untuk bertindak
selain hanya ditentukan oleh situasi dan kondisi sosial yang ada. Padahal,
kehendak bebas memberikan individu beragam pilihan yang sebenarnya
memberikan konsekuensi yang berbeda pada setiap pilihan yang diambil.
Pilihan yang muncul dalam hubungannya dengan kehendak bebas dapat
ditemukan pada semua bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh satu individu
dengan indvidu yang lain. Dalam
kondisi demikian maka determinasi sosial
seperti yang dijelaskan oleh Marx tidak sepenuhnya bisa diterapkan dengan baik,
karena individu bebas melakukan apa yang diinginkan. Sebagai ilustrasi, penulis
bisa dan punya kesempatan yang besar untuk menuliskan banyak berita bohong
dan informasi yang tidak berguna dalam artikel jurnal ini, namun penulis tidak
menghendaki hal itu, mengapa?, karena penulis memiliki kehendak bebas untuk
menentukan apa yang ingin penulis tulis dan penulis memilih untuk menulis
sesuatu yang menarik tentang kehendak bebas dan hubungannya dengan interaksi
sosial. Di lain kondisi, individu bebas menetukan apa yang harus dibicarakan,
dengan siapa dia harus berbicara, hingga kebebasan untuk memulai atau
mengakhiri konflik. Berdasarkan paparan yang telah penulis jelaskan pada
beberapa paragraf di atas, maka dapat dipahami bahwa kehendak bebas
mempengaruhi interaksi sosial individu terhadap lingkungannya.
Kehendak Bebas dalam Interaksi Sosial dan Komunikasi
Determinisme sosial yang menjadi satu faktor penting dalam kehendak
bebas, atau setidaknya menetukan pilihan bagi individu untuk menanggapi situasi
sosialnya. Dalam bahasa yang lebih mudah, kehendak bebas memberikan
individu beragam pilihan untuk menentukan bagaimana interaksi sosial tersebut
dilakukan. Individu bebas menjalin hubungan interaksional yang beragam dan
dalam situasi apapun, termasuk menentukan apa yang harus dilakukan. Dengan
begitu, komunikasi, sebagai interaksi sosial, juga melibatkan aspek kehendak
bebas yang sama dengan bentuk interaksi sosial yang lain.
Komunikasi secara umum dipahami sebagai proses yang berlangsung
terus-menerus yang melibatkan komunikator sebagai pengirim pesan, serta pada
beberapa kasus bisa juga berfungsi sebagai penerima pesan, hingga munculnya
beragam gangguan fisik dan psikologi (Adler dan Rodman, 2006: 502). Definisi
komunikasi yang diajukan oleh Adler dan Rodman menujukkan bahwa
komunikasi merupakan proses yang berkelanjutan serta bentuk interaksi yang
mengutamakan penyampaian pesan, serta dipengaruhi oleh beragam gangguan
psikologis dan fisik yang cenderung mengurangi efektivitas penyampaian pesan
tersebut. Perhatikan bahwa kondisi psikologis semua pihak menjadi satu faktor
penting yang mempengaruhi bagaimana proses komunikasi tersebut terjadi. Jika
faktor psikologis menjadi satu bagian penting yang mempengaruhi komunikasi,
maka sejatinya kehendak bebas juga bisa menjadi satu faktor dalam diri individu
yang mempengaruhi komunikasi. Singkatnya komunikasi menjadi efektif karena
individu yang menginginkan komunikasi tersebut menjadi efektif.
Sebagai ilustrasi sederhana, saya pernah menemui rekan kerja saya yang
mendapatkan telepon dari seseorang, namun kondisi sinyal telepon yang kurang
baik membuat proses komunikasi yang terjadi antara rekan kerja saya dengan
seseorang di ujung telepon menjadi terhambat. Sederhananya suara telepon yang
kurang jelas membuat penyampaian pesan dan pengiriman tanggapan menjadi
sangat tidak efektif. Pandangan tentang proses komunikasi secara tradisional akan
mengatakan bahwa gangguan fisik dan teknologi membuat pesan yang dikirimkan
dalam proses tersebut menjadi kurang lengkap dan tidak jelas, benar. Namun
pandangan tradisional tidak memberikan penjelasan tentang pilihan yang akan
dilakukan individu menghadapi situasi tersebut.
Di lain pihak, pandangan tentang kehendak bebas justru menekankan
bahwa individu bisa menentukan pilihannya untuk mendapatkan komunikasi yang
lebih efektif. Dalam keadaan sebenarnya rekan saya tersebut mengatakan bahwa
ia akan memutuskan telepon kemudian mengirimkan pesan singkat untuk kembali
mengefektifkan pesan dala proses komunikasi tersebut. Jika dihubungkan dengan
kondisi psikologis individu, maka dapat dipahami bahwa proses komunikasi yang
tidak efektif membuat individu memperhitungkan semua kondisi terkait untuk
menghasilkan tindakan tertentu, dalam hal ini memutuskan hubungan telepon,
atau pada kondisi yang berbeda justru meneruskan komunikasi meskipun dengan
kondisi yang sangat terbatas.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa kehendak bebas tidak dapat
dilepaskan dari semua aspek sosial dan interaksi yang dilakukan oleh individu.
Pakar komunikasi, Judee K. Burgoon, Lesa A. Stern, dan Leesa Dillman,
menjelaskan bahwa kondisi biologis mempengaruhi perilaku yang dilakukan oleh
individu dalam hubungannya dengan komunikasi (Burgoon, et al, 1995: 29).
Meskipun, pada dasarnya Burgoon dan koleganya tidak menjelaskan tentang
kehendak bebas, namun pernyataan yang diajukan Burgoon dan rekan-rekannya
mendukung pengaruh kehendak bebas dalam perilaku individu dalam aspek
komunikasi dan interaksi sosial. Paparan yang diajukan oleh Burgoon dan rekanrekan tampaknya menjelaskan bahwa sebenarnya kondisi biologis dalam diri
individu menghasilkan sejumlah pengaruh tertentu yang berhubungan dengan
kehendak bebas, dan aspek pengambilan keputusan pada interaksi sosial, melalui
proses komunikasi. Paparan tersebut juga mendukung pemikiran kehendak bebas
yang diajukan oleh Fales (1994).
Kehendak bebas dalam proses komunikasi pada dasarnya memberikan
kebebasan bagi individu untuk menentukan semua hal yang berhubungan dengan
keefektivan
proses
tersebut,
termasuk pada
aspek
penyusunan
pesan,
penyampaian pesan, hingga penerjemahan pesan. Kenyataan yang ada
menjelaskan bahwa pesan sebenarnya menjadi satu indikasi penting untuk kondisi
psikologis dan kognisi individu, hingga menjadi petunjuk untuk mempengaruhi
audien (Semin, 2001: 171—Tesser dan Schwarts). Dengan kata lain kondisi
psikologis inidvidu mendorong munculnya kehendak bebas untuk memilih
bagaimana seorang komunikator menyandikan pesan yang hendak disampaikan.
Dengan begitu, secara tidak langsung ada bentuk determinasi untuk mengambil
keputusan tertentu berdasarkan kondisi psikologis yang muncul dalam diri
individu, terutama dalam penyandian pesan dan penguraian pesan. Kondisi
tersebut sebenarnya juga bisa memberikan dukungan positif pada munculnya
konflik.
Jika kehendak bebas dalam beberapa kasus tertentu muncul karena bentuk
determinasi—biologis atau sosial, maka sebentulnya hal itu tidak dapat disebut
sebagai kehendak bebas. Fakta itu tidak sepeuhnya benar, juga tidak sepenuhnya
salah, kehendak bebas bisa hadir dalam tanpa munculnya ketergantungan
terhadap determinasi. Dengan demikian, individu memiliki peranan besar untuk
menentukan apa yang akan dilakukannya, serta bagaimana proses komunikasi
yang akan dijalankan, termasuk pilihan untuk memulai atau bahkan mengakhiri
konflik.
Konflik dan Perspektif Kehendak Bebas
Pemahaman tentang kehendak bebas menghasilkan kondisi penting yang
menghasilkan penjelasan bahwa konflik tidak hanya muncul karena kondisi
situasional yang berada di sekitar individu, namun juga muncul karena kehendak
bebas individu. Dengan kata lain, konflik bisa muncul karena individu
menghendaki konflik tersebut. Kondisi ini sudah dipahami oleh pakar konflik,
Walter Mischel. Aaron L. Desmet, dan Ethan Kross, yang menjelaskan bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan melawan semua
pengendalian diri yang merefleksikan karakter dasar manusia, seperti ego dan
kesadaran (Mischel, et al, 2006: 296—Deustch). Sederhananya, Mischel dan
koleganya hendak mengatakan bahwa manusia sebenarnya memiliki mekanisme
penuh untuk mengendalikan semua hal yang berhubungan dengan sifat serta
kondisi lain dibelakangnya, fakta itu dikenal sebagai bentuk nyata dari kehendak
bebas. Dengan kondisi seperti itu, individu sebenarnya memiliki kesadaran penuh
untuk mengatur dan mengendalikan konflik yang sudah terjadi atau yang akan
terjadi.
Jika kita berbicara tentang konflik dan kehendak bebas, maka sebenarnya
kita juga berbicara pada peranan kehendak bebas pada tiga aspek struktural yang
menyusun konflik, termasuk penyebab, eskalasi konflik, hingga penyelesaian.
Kehendak bebas memberikan perbedaan besar pada kondisi yang menyebabkan
konflik serta faktor-faktor lain yang mendukung hal itu. Dalam penyebab konflik,
ada faktor-faktor internal dan lingkungan yang mendukung munculnya kondisi
dan pertentangan antara pihak-pihak tertentu. Hand (1986) mengajukan pendapat
bahwa
konflik
muncul
karena
adanya
perbedaan
kepentingan
hingga
menghasilkan tindakan yang saling menekan dan mencari perbedaan satu dan
lainnya demi mencapai tujuan tertentu (dalam Preuschoft dan van Schaik,
2000:78—Aureli dan De Waal).
Pendapat yang diajukan Hand tampaknya menempatkan individu pada
posisi yang pasif sehingga patuh dengan semua bentuk determinasi lingkungan
sekitarnya. Dalam perspektif kehendak bebas pandangan Hand tidak sepenuhnya
benar, namun juga tidak salah. Kehendak bebas memberikan individu pilihan
untuk memulai konflik, menghentikan konflik, dan pilihan untuk mengalah.
Dengan demikian, konflik bisa muncul dan berkembang atau justru hilang
sebelum dimulai, tergantung pada pilihan yang diambil oleh individu. Kondisi
tersebut menjelaskan bahwa determinasi sosial tidak sepenuhnya bisa menentukan
tindakan yang akan dilakukan oleh individu untuk memulai konflik.
Perspektif kehendak bebas juga bisa digunakan untuk memahami proses
eskalasi konflik yang berkembang. Keputusan untuk meningkatkan eskalasi
sebenarnya berada pada kehendak bebas yang dimiliki individu. Mischel dan
koleganya (2006) memberikan pemahaman bahwa individu memiliki kesempatan
penuh bagi individu untuk menentukan apa yang akan dipilihnya. Sederhananya
kehendak bebas dalam eskalasi konflik memberikan pemahaman penting bahwa
individu bisa meneruskan konflik pada tahap yang lebih tinggi atau menghentikan
konflik sebelum konflik tersebut menjadi tidak terkendali. Meskipun kehendak
bebas memberikan individu kekuatan untuk memlih dan memutuskan, namun
semua itu tergantung pada kondisi lingkungan dan situasi di sekitar individu.
Keadaan
ini
sebenarnya
menujukkan
bahwa
determinasi
sosial
mempengaruhi pilihan dan keputusan yang akan diambil oleh individu.
Singkatnya dalam kondisi tertentu, inividu cenderung takluk pada bentuk
determinasi sosial, hingga mengalahkan kehendak bebas yang menyertainya.
Dengan demikian eskalasi konflik dipengaruhi oleh banyak faktor penting dari
dalam individu, seperti, kondisi psikologis dan kehendak bebas, serta kondisi
eksternal individu, seperti situasi, konteks, dan kondisi lingkungan di sekitar
individu.
Kondisi yang sama juga bisa ditemukan pada upaya penyelesaian konflik.
Secara sederhana, kehendak bebas menjadi satu bagian penting dan berpengaruh
pada efektivitas penyelesaian konflik. Berdasarkan pemahaman tersebut,
keberhasilan penyelesaian konflik sangat tergantung pada niatan baik semua
pihak dan kehendak bebas yang dimiliki oleh semua pihak yang terlibat konflik.
Pakar konflik Kenneth Kressel (2006: 730-732--Deustch) menjelaskan bahwa ada
enam faktor penting yang mengurangi keberhasilan penyelesaian konflik, yaitu:
Pertama, tingginya tingkat dan kekuatan konflik; Kedua, rendahnya motivasi
mencapai kesepakatan; Ketiga, rendahnya komitmen terhadap mediasi; Keempat,
kurangnya jumlah sumber daya; Kelima, terlibatnya bentuk-bentuk keyakinan
dasar; serta, Keenam, ketidakseimbangan kekuatan antara semua pihak yang
terlibat. Meskipun Kressel tidak memberikan pernyataan secara eksplisit tentang
peranan kehendak bebas, namun ada dua faktor yang diajukan Kressel,
berhubungan dengan kehendak bebas.
Faktor-faktor seperti, ‘rendahnya motivasi mencapai kesepakatan’,
‘rendahnya komitmen terhadap mediasi’ yang dijelaskan Kressel sebenarnya
berhubungan bagaimana kehendak bebas mempengaruhi proses penyelesaian
konflik. Kedua faktor di atas menujukkan bahwa kondisi di dalam individu
memegang peranan penting untuk menyelesaian konflik. Selain itu faktor tersebut
menujukkan bahan niatan baik dari dalam individu menjadi bagian paling penting
untuk mencapai kesepakatan. Tanpa niat baik untuk menyelsaikan konflik, maka
dapat dipastikan semua upaya resolusi dan penyelesaian konflik akan gagal.
Kenyataan tersebut menghasilkan pemahaman yang holistik bahwa konflik
merupakan hasil kombinasi beragam faktor penting yang saling berhubungan.
Faktor-faktor yang dijelaskan Kressel (2006) menujukkan bahwa proses
penyelesaian konflik membutuhkan satu bagian penting yang dikenal sebagai
kehendak bebas yang diwujudkan ke dalam niat baik.
Begitu besar peranan kehendak bebas dalam konflik dan segala hal pada
proses penyelesaian konflik menghasilkan pemahaman bahwa individu memiliki
kemampuan untuk mengatur semua hal yang berhubungan dengan semua kondisi
sosial yang melingkupinya. Fakta tentang kehendak bebas sebenarnya dijelaskan
oleh banyak ahli komunikasi dan para pakar konflik, namun kebanyakan dari
mereka tidak secara langsung menyebutkan faktor tentang kehendak bebas
menjadi satu faktor yang penting dalam semua bentuk interaksi sosial kita.
Kesimpulan
Pembahasan panjang-lebar tentang kehendak bebas dan hubungannya
dengan konflik membawa pada satu pemahaman besar bahwa kehendak bebas
memegang peranan penting dalam semua aspek interaksi sosial yang dilakukan
oleh individu. Keberadaan kehendak bebas muncul karena adanya bentuk
determinasi sosial yang membentuk perilaku individu, sehingga individu
memberikan perlawanan terhadap determinasi yang mengekang bentuk-bentuk
keterikatan. Dari aspek biologis kehendak bebas muncul karena adanya
determinasi biologis yang ditanamkan dalam materi genetik kita, serta munculnya
kemampuan otak untuk mengambil keputusan berdasarkan kondisi-kondisi yang
berlaku. Karena itu pada beberapa kasus keberadaan kehendak bebas cenderung
sulit diamati, meskipun sebenarnya ia tetap melekat dalam diri individu.
Singkatnya kehendak bebas merupakan bentukan dari perlawanan individu
terhadap semua determinasi.
Berdasarkan penjelasan dan perspektif kehendak bebas yang sudah
dijelaskan dalam banyak paragraf di atas, maka dapat dipahami bahwa
komunikasi dan konflik secara langsung dipengaruhi oleh kehendak bebas yang
melekat di dalam diri individu. Kehendak bebas memberikan individu
kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukannya, berdasarkan
pilihan yang disediakan oleh konteks dan kondisi situasional yang terjadi. Proses
tersebut melibatkan pertimbangan yang dilakukan oleh individu berdasarkan
konteks dan kondisi situasional yang terjadi. Fakta tersebut memberikan kita
pemahaman bahwa individu bertindak berdasarkan kondisi situasional yang ada
serta bertindak berdasarkan kehendak bebas. Dengan begitu konsep tentang
kehendak bebas bisa digunakan untuk memahami komunikasi dan konflik, serta
hubungan komunikasi dengan konflik.
Dalam komunikasi-konflik, kehendak bebas memberikan pemahaman
penting bahwa perilaku individu bebas merancang pesan apapun, dan bebas
melakukan komunikasi dalam bentuk apapun, termasuk merancang pesan-pesan
bersifat keras dan mengundang konflik. Dengan kata lain. individulah yang
merancang dan menentukan semua hal yang berhubungan dengan proses
komunikasi, sehingga secara langsung individu bisa menentukan hasil dari proses
komunikasi tersebut, berdasarkan pesan-pesan yang dirancang sebelumnya. Fakta
tersebut menunjukkan bahwa pesan yang dirancang oleh komunikator sebenarnya
menentukan tanggapan yang akan dihasilkan. Pada akhirnya individu, sebagai
komunikator, yang memiliki kebebasan untuk merancang pesan yang akan
disampaikan sekaligus memastikan tanggapan yang akan dihasilkan dalam proses
komunikasi. Sementara individu, sebagai komunikan memiliki kebebasan untuk
menentukan tanggapan yang akan dikirimkan kembali ke komunikator.
Berdasarkan pemahaman tentang kehendak bebas dalam komunikasi kita
bisa menjelaskan bagaimana sebenarnya konflik dimulai dan diakhiri. Pada
dasarnya konflik dimulai karena satu pihak mengirimkan beragam bentuk pesan
yang menghasilkan konflik, serta menghasilkan tanggapan yang menentang pesan
yang disampaikan. Dalam situasi tersebut, individu memiliki kebebasan penuh
untuk melakukan konflik atau menghentikan konflik berdasarkan situasi yang
ada. Sederhananya
kemunculan konflik atau
keefektivan resolusi atau
penyelesaian konflik sangat tergantung pada kehendak bebas yang dimiliki oleh
individu. Karena itu niatan yang baik dalam diri individu menjadi syarat mutlak
bagi upaya untuk menghindari konflik dan menyelesaikan konflik yang terjadi.
Dengan demikan, kehendak bebas seberanya memegang peranan penting dalam
semua bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh individu, termasuk dalam
konflik dan komunikasi.
Daftar Pustaka
Rothstein, M, A. (1999). Behavioral Genetics Determinism: Its Effect on Culture
and Law. Edisi Ronald A. Carson dan Mark A. Rothstein. “Behavioral
Genetics, The Clash of Culture and Biology.” Baltimore: John Hopkins
University Press.
Nelkin, D. (1999). Behavioral Genetics and Dismantling the Welfare State. Edisi
Ronald A. Carson dan Mark A. Rothstein. “Behavioral Genetics, The
Clash of Culture and Biology.” Baltimore: John Hopkins University Press.
Ridley, M. (2007). Genom, Kisah Spesies Manusia dalam 23 Bab. Edisi
Terjemahan Alex Tri Kantjono W. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Plaisance, P, L (a). (2009). Ethics of Media Content. dalam Wolfgang Donsbach.
Edisi “The International Encyclopedia of Communication.” Malden:
Blackwell Publishing.
(b) (2009). Research Ethics. Edisi Wolfgang Donsbach. “The
International Encyclopedia of Communication.” Malden: Blackwell
Publishing.
Adler, R. B, Rodman, G. (2006). Understanding Human Communication. Ninth
Edition. New York: Oxford University Press.
Deutsch, M. (2006). Introduction. Edisi Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan
Eric C. Marcus. “Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice.”
Second Edition. San Francisco: Jossey-Bass.
Burgoon, J, K, et al. (1995). Interpersonal Adaptation, Dyadic Interaction
Patterns. Cambridge: Cambridge University Press.
Semin, G, R. (2001). Language and Social Cognition. Edisi Abraham Tesser dan
Norman Schwarz. Malden: Blackwell Publisher.
Mischel, W. et al. (2006). Self Regulation in The Service of Conflict Resolution.
Edisi Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus. “Handbook
of Conflict Resolution, Theory and Practice. Second Edition. San
Francisco: Jossey-Bass.
Preuschoft, S, van Schaik, C, P. (2000). Dominance and Communication: Conflict
Management in Various Social Setting. Edisi Fillipo Aureli dan Frans B.
M. De Waal. “Natural Conflict Resolution.” Berkeley: University of
California Press. (Dalam Preuschoft dan Van Schaik, 2000:78—Aureli
dan De Waal).
Kressel, K. (2006). Mediation Revisited. Edisi Morton Deutsch, Peter T.
Coleman, dan Eric C. Marcus. “Handbook of Conflict Resolution, Theory
and Practice.” Second Edition. San Francisco: Jossey-Bass.
Download