coping stress pada remaja korban bullying di

advertisement
Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
COPING STRESS PADA REMAJA KORBAN BULLYING DI SEKOLAH ”X”
Puspita Sari
Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul, Jakarta
Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebon Jeruk, Jakarta 11510
[email protected]
Abstrak
Bullying merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi tingkah laku agresif yang dilakukan oleh
remaja. Tindakan-tindakan seperti menghina, menebar gosip, memukul, menendang, dikunci di suatu
ruangan, dan lain-lain sering terjadi di sekolah. Tindakan-tindakan tersebut dapat membuat para
remaja merasa tertekan (stres). Untuk dapat mengatasi stres yang remaja rasakan, maka remaja
melakukan coping stress. Coping stress menurut Lazarus dan Folkman (1984) adalah respon stres dan
perubahan kognitif secara terus-menerus serta upaya-upaya dalam memenuhi tuntutan eksternal dan
internal yang dinilai melebihi kemampuan individu. Berdasarkan fungsinya coping stress dibagi
menjadi dua, yaitu problem focused coping dan emotional focused coping.
Kata kunci : Coping Stress, Remaja, Bullying
konsentrasi di kelas karena hanya memikirkan
bagaimana caranya untuk menghindari para pelaku
bullying. Seperti peristiwa yang dialami oleh remaja
kelas I SMU 82, remaja tersebut dikeroyok oleh seniornya. Akibat dari pengeroyokan, remaja tersebut
mengalami trauma (www.solopos.com).
Hasil survey yang dilakukan di Amerika
Serikat pada tahun 1999 menunjukkan bahwa 1 dari
13 remaja SMU korban bullying melakukan usaha
bunuh diri (Coloroso, 2003). Selain itu, dalam artikel berjudul 'Presecuted Even on the Playground'
di majalah Liberation 2001, Richard Werly melaporkan bahwa 10 % dari pelajar korban bullying mengalami stres dan pernah berusaha bunuh diri. Apabila dibandingkan dengan data pada tahun 1998,
data tahun 1999 tersebut menunjukkan peningkatan
tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Stres pada remaja korban bullying tidak hanya
berakibat buruk bagi remaja itu sendiri, akan tetapi
bisa juga berakibat buruk pada lingkungan sekitarnya seperti peristiwa di Pennsylvania pada tahun
2001. Seorang remaja SMP yang menjadi korban
bullying membawa senjata ayahnya dan menembaki
serta melukai teman-temannya di sekolah. Peristiwa
lainnya terjadi di Santee, USA pada tahun 2001.
Seorang remaja SMU yang menjadi korban bullying
di sekolah, melakukan pembalasan dengan menembaki serta membunuh beberapa teman sekolahnya.
(Coloroso, 2003).
Dari fenomena diatas dapat dilihat bahwa
stres pada remaja korban bullying bisa menimbulkan
berbagai dampak negatif, baik bagi remaja itu sendiri maupun bagi lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang gambaran
coping stress pada remaja korban bullying di
sekolah.
Pendahuluan
Bullying bukan merupakan fenomena baru di
lingkungan sekolah. Tindakan-tindakan seperti memaki, menebar gosip, menampar, menginjak kaki,
mencibir, mengancam dan lain sebagainya sudah
sering dilakukan oleh remaja, baik di Sekolah Dasar
maupun di Sekolah Menengah (Olweus, 1993).
Seperti peristiwa yang dialami oleh remaja kelas 1
SMU X di Bogor. Remaja tersebut dibawa ke suatu
tempat (diculik) kemudian di maki-maki oleh kakak
kelas dengan perkataan kotor, ditampar, dan dijambak rambutnya (Koran Tempo, 2004). Selain dilakukan secara individual bullying juga bisa dilakukan
secara berkelompok. Seperti yang dilakukan oleh
geng NERO (Neko-neko di Royok) pada tanggal 13
Juni 2008 di Pati, Jawa Tengah. Senior-senior geng
tersebut menampar dan mencacimaki remaja junior
dengan kata-kata yang tidak sopan.
Kasus bullying ternyata tidak hanya terjadi di
Indonesia. Di negara-negara lain juga terjadi sejumlah kasus, seperti di negara Australia sebanyak 2530 % populasi pelajar menjadi korban bullying setiap hari. Selain itu, pada tahun 2001, data dari
Departemen Kehakiman Amerika menunjukkan
bahwa 77 % populasi pelajar Amerika mengalami
bullying secara verbal, fisik, dan psikologis.
Menurut Baumeister & Kessler, (1991) tindakan bullying menempati peringkat pertama dalam
daftar hal-hal yang menimbulkan ketakutan di sekolah. Hasil riset yang dilakukan oleh National Association of School Psychologist menunjukkan bahwa
lebih dari 160.000 remaja di Amerika Serikat bolos
sekolah setiap hari karena takut di bullying. Dampak
lain namun berefek jangka panjang pada korban
bullying adalah penyesuaian sosial yang buruk,
ingin pindah atau keluar dari sekolah tersebut, sulit
Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
75
Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
nunjukkan sikap positif dan 24 item unfavorable
yang menunjukkan sikap negatif.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini saya akan menggunakan metode kuantitatif deskriptif, karena dalam penelitian ini variabel yang ada akan dianalisa secara
statistik dan hasilnya ditunjukan dengan angka-angka (Sugiono, 2002). Pada penelitian ini, penulis
akan menggunakan metode deskriptif karena metode
ini dianggap tepat untuk mendapatkan gambaran coping stress pada remaja korban bullying di sekolah.
Selain itu, pada penelitian ini akan disamarkan nama
sekolah yang akan diteliti dikarenakan untuk menjaga nama baik sekolah tersebut.
Alat Ukur Bullying
Remaja yang memilih satu jawaban atau
lebih yang ada pada daftar perilaku yang pernah dialami di sekolah, merasa menderita dengan memilih
jawaban “YA”, Jika remaja tersebut memilih satu
jawaban atau lebih yang ada pada daftar perilaku, tetapi tidak merasa menderita akibat dari tindakan tersebut dengan memilih jawaban “TIDAK”.
Uji Coba Alat Ukur
Validitas Item
Penghitungan validitas alat ukur dilakukan
dengan menggunakan tipe construct validity. Setelah di uji cobakan ke lapangan kemudian data ditabulasikan, dan melakukan pengujian dengan analisis
item total korelasi, yaitu dengan mengkorelasikan
antar skor butir instrumen (Sugiyono, 2002) dengan
menggunakan rumus Pearson Product Moment,
Dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap
coping stress berdasarkan problem focused coping
diperoleh 16 pernyataan yang valid dari 24 pernyataan dan berdasarkan emotional focused coping diperoleh 16 pernyataan yang valid dari 24 pernyataan, (nilai diatas 0,30).
Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari
satu variabel yaitu coping stress yang diukur pada
remaja korban bullying di sekolah.
Subjek Penelitian
1. Karakteristik Subyek Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian untuk melihat ” coping stress pada remaja korban bullying di
sekolah”. Maka karakteristik subjek dalam pengambilan data, adalah sebagai berikut:
a. Remaja korban bullying di sekolah ”X”.
b. Berusia 15-17 tahun karena pada usia tersebut
tergolong pertengahan remaja.
c. Sekolah “X” yang berada di Bogor, lokasi ini
dipilih karena jumlah siswa cukup banyak dan
lokasi strategis sehingga lebih efisien dalam
pengambilan data.
Reliabilitas Item
Alat uji reliabilitas menggunakan teknik
Alpha Cronbach karena rumus ini digunakan pada
item yang diskor lebih dari 1 seperti pada skala
Likert.
Hasil analisis uji reliabelitas coping stres
dengan menggunakan tehnik Alpha Cronbach diperoleh koefisien sebesar 0,906.
2. Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel yang dilakukan
menggunakan Probability Sampling Adapun bentuk
dari teknik Probability Sampling yang digunakan
yaitu Simple Random Sampling. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah remaja kelas X “X”
di Bogor.
Pengkategorian Subjek
Adalah mengelompokkan subjek kedalam
kategori yang lebih dominan, yaitu problem focused
coping atau emotional focused coping. Teknik statistik yang digunakan untuk melihat faktor dominan
coping stres menggunakan Standardized Z-Score.
3. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian adalah remaja
korban bullying di sekolah “X”. Jumlah populasi
yang terdapat dalam sekolah “X” yang sesuai dengan karakteristik sampel sebanyak 325 remaja. Dengan tingkat kesalahan 5 %, maka sampel yang representatif berjumlah 167 remaja.
Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini alat pengumpul data
digunakan adalah kuesioner. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik skala untuk mengambil data penelitian. Data yang akan diambil, meliputi : jenis kelamin, usia, urutan kelahiran, dan dukungan sosial. Perhitungan data identitas subyek dilakukan dengan menggunakan program komputer
SPSS 13.0. Perhitungan untuk mengelompokan jenis
coping stress pada korban bullying menggunakan Zscore seperti dijelaskan pada ringkasan subjek.
Alat Ukur Coping Stress
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kuesioner. Skala coping stress berisi 48
item yang terdiri dari 24 item favorable yang me-
Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
76
Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
Gambaran Umum Coping Stress
Dari hasil analisis crosstabs terlihat bahwa
remaja SMU X yang menyelesaikan masalah
dengan menggunakan problem focused coping sebanyak 77 remaja (46,10 %), sedangkan emotional
focused coping sebanyak 90 remaja (53,89 %). Pada
tabel dibawah dapat dilihat remaja yang menggunakan emotional focused coping paling banyak
dibandingkan dengan remaja yang menggunakan
problem focused coping.
Hasil Dan Pembahasan
Profil Siswa Korban Bullying
Penelitian ini melibatkan 167 sampel penelitian yang diambil dari SMA X di Bogor. Berikut
ini akan diuraikan gambaran mengenai profil remaja
penelitian yang ditinjau dari jenis kelamin, usia,
urutan kelahiran, dan bullying. Adapun gambaran
sampel penelitian tersebut diperoleh hasil sebagai
berikut:
1) Jenis Kelamin, Dalam penelitian ini yang menjadi remaja penelitian adalah berjenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Diperoleh informasi
bahwa remaja korban bullying yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 85 orang (50,89%), sedangkan remaja korban bullying berjenis kelamin perempuan sebanyak 82 orang (49,10%).
Dapat dikatakan bahwa jumlah korban bullying
laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah perempuan.
2) Usia, Usia sampel penelitian berkisar antara 1518 tahun. Dapat dilihat dari grafik 4.2 bahwa remaja korban bullying pada usia 15 tahun sebanyak 40 orang (23,95%), pada usia 16 tahun sebanyak 56 orang (33,53%), pada usia 17 tahun
sebanyak 41 orang (24,55%), sedangkan pada
usia 18 tahun sebanyak 30 orang (17,96%). Dari
uraian tersebut nampak bahwa remaja korban
bullying yang paling banyak berusia 16 tahun
sedangkan yang paling sedikit berusia 18 tahun.
3) Urutan Kelahiran, Berdasarkan data yang dikumpulkan, diperoleh informasi bahwa remaja
korban bullying, pada urutan kelahiran sulung
sebanyak 34 orang (20,35%), pada urutan kelahiran tengah sebanyak 73 orang (43,71%),
pada urutan kelahiran bungsu sebanyak 46
orang (27,54%), sedangkan pada urutan kelahiran tunggal sebanyak 14 orang (8,38%). Dapat
dikatakan bahwa remaja korban bullying yang
paling banyak pada urutan kelahiran tengah,
sedangkan yang paling sedikit pada urutan kelahiran tunggal.
4) Jenis Bullying, bentuk-bentuk bullying yang dialami oleh remaja dalam penelitian ini terdiri
dari 2 jenis, yaitu fisik dan verbal. Remaja korban bullying yang mendapat perlakuan fisik sebanyak 332 orang (65,87%), sedangkan remaja
korban bullying yang mendapat perlakuan verbal sebanyak 172 orang (34,12%). Dari uraian
tersebut nampak bahwa remaja korban bullying
yang paling banyak yang mendapat perlakuan
fisik, sedangkan yang paling sedikit mendapatkan perlakuan verbal.
Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
Gambaran Umum Subjek Penelitian
Gambaran Coping Stres Berdasarkan Jenis
kelamin Responden
Berdasarkan perhitungan statistik deskriptif
menggunakan SPSS 13.0.0 terlihat bahwa remaja
perempuan dengan problem focused coping sejumlah 32 orang (39,02%) dan remaja perempuan
dengan emotional focused coping sejumlah 50 orang
(60,97%). Sedangkan remaja laki-laki dengan problem focused coping sejumlah 45 orang (52,94%) dan
remaja laki-laki dengan emotional focused coping
sejumlah 40 orang (47,05%). Pada tabel diatas dapat
dilihat bahwa remaja perempuan lebih banyak
menggunakan emotional focused coping dari pada
remaja laki-laki.
Gambaran Coping Stress Berdasarkan Usia
Responden
Berdasarkan analisis crosstabs terlihat bahwa remaja usia 15 tahun dengan problem focused
coping sejumlah 12 orang (30%) dan remaja usia 15
tahun dengan emotional focused coping sejumlah 28
orang (70%). Sedangkan remaja usia 16 tahun dengan problem focused coping sejumlah 25 orang
(44,65%) dan remaja usia 16 tahun dengan emotional focused coping sejumlah 31 orang (55,35%).
Remaja usia 17 tahun dengan problem focused coping sejumlah 20 orang (48,78%) dan remaja usia 17 tahun dengan emotional focused coping sejumlah 21 orang (51,21%). Sedangkan remaja usia 18 tahun dengan problem focused coping
sejumlah 20 orang (66,66%) dan remaja usia 18 tahun dengan emotional focused coping sejumlah 10
orang (33,33%). Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa remaja usia 15-17 tahun lebih banyak yang
menggunakan emotional focused coping dari pada
remaja usia 18 tahun.
Gambaran Coping Stress
Urutan Kelahiran Responden
Berdasarkan
Berdasarkan analisis crosstabs terlihat bahwa remaja urutan kelahiran sulung dengan problem
77
Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
focused coping sejumlah 8 orang (23,52%) dan remaja urutan kelahiran sulung dengan emotional focused coping sejumlah 26 orang (76,47%). Sedangkan remaja urutan kelahiran tengah dengan problem
focused coping sejumlah 35 orang (47,94%) dan
remaja urutan kalahiran tengah dengan emotional
focused coping sejumlah 38 orang (52,05%).
Remaja urutan kelahiran bungsu dengan
problem focused coping sejumlah 27 orang
(58,69%) dan remaja urutan kelahiran bungsu dengan emotional focused coping sejumlah 19 orang
(41,30%). Sedangkan remaja urutan kelahiran tunggal dengan problem focused coping dan emotional
focused masing-masing sejumlah 7 orang (50%).
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa remaja untuk
urutan kelahiran sulung dan tengah lebih banyak
yang menggunakan emotional focused coping dari
pada remaja urutan kelahiran bungsu. Sedangkan
urutan kelahiran tunggal lebih banyak yang menggunakan kedua-duanya yaitu problem focused coping dan emotional focused coping.
orang (27,27%). Pada dimensi planfull problem solving sebanyak 25 orang (32,46%) dan dimensi seeking sosial support terdapat 31 orang (40,25%). Hasil
perhitungan statistik ini didapat sebaran seperti pada
tabel 5.0a sebagai berikut:
Berdasarkan dimensi dari jenis emotional
focused coping dapat dilihat bahwa remaja yang
menggunakan dimensi accepting responsibility sebanyak 12 orang (13,33%), dimensi self control sebanyak 24 orang (26,67%). Sedangkan remaja dimensi escape avoidance sebanyak 18 orang (20%).
Pada dimensi positif reappraisal sebanyak 29 orang
(32,22%) dan pada dimensi distancing sebanyak 7
orang (7,78%).
Secara keseluruhan tampak bahwa untuk problem focused coping yang paling tinggi adalah seeking sosial support. Sedangkan untuk emotional
focused coping yang paling tinggi adalah positif
reappraisal.
Pembahasan
Dalam penelitian ini remaja korban bullying
paling banyak menggunakan emotional focused coping yaitu sebanyak 90 remaja (53,89%). Sedangkan
remaja yang menggunakan problem focused coping
sebanyak 77 remaja (46,10%). Perbedaan ini berkaitan dengan karakteristik remaja penelitian yang
sebagian besar berusia 15 sampai 17 tahun
(176,56%). Menurut Ebata & Moos (1994) remaja
berusia 15 tahun sampai 17 tahun lebih banyak
menggunakan emotional focused coping karena remaja yang lebih muda mudah merasa tertekan, dan
mengalami stres. Selain itu, mereka juga kurang memiliki pengalaman dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi terlihat pada jawaban subjek
yang menyatakan sering mengabaikan masalah tersebut (item 31).
Pada gambaran coping stress berdasarkan
jenis kelamin (Tabel 4.6), terlihat bahwa coping
stress pada dimensi problem focused coping lebih
banyak pada laki-laki yaitu 45 remaja (52,94%).
Sedangkan dimensi emotional focused coping lebih
banyak pada perempuan yaitu 50 siswa (60,97%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori dari Baron
dan Byrne (1994) yang mengatakan bahwa laki-laki
lebih sering menggunakan problem focused coping.
Laki-laki cenderung merespon masalah yang dihadapi dengan menggunakan persepsi berdasarkan pemikiran-pemikiran seperti melakukan pembalasan
ketika dianiaya, dan meminta bantuan kepada
ahlinya, dapat dilihat pada jawaban subjek yang menyatakan sering membela diri (item 1). Sedangkan
perempuan lebih sering menggunakan emotional focused coping karena cenderung mempersepsikan
masalah yang dihadapi dengan emosi-emosinya, se-
Gambaran Coping Stress Remaja Korban
Bullying Berdasarkan Dukungan Sosial
Berdasarkan analisis data crosstabs terlihat
beberapa macam dukungan sosial yang di peroleh
masing-masing remaja. Dukungan tersebut bisa berasal dari ayah, ibu, saudara, teman, dan lain-lain
(pacar, kakek/nenek, dan paman/bibi). Remaja yang
mendapatkan dukungan dari ayah sebanyak 52
orang. Sedangkan yang mendapatkan dukungan dari
ibu sebanyak 76 orang. Remaja yang mendapatkan
du-kungan dari saudara sebanyak 80 orang, dan
yang mendapatkan dukungan dari teman sebanyak
124 orang. Sedangkan yang mendapatkan dukungan
sosial dari yang lain (pacar, kakek/nenek, dan
paman/bibi) sebanyak 81 orang. Apabila dibandingkan antara keseluruhan dukungan tampak bahwa
yang terbanyak diperoleh dari teman. Sebaliknya
dukungan yang paling sedikit diperoleh dari ayah.
Berdasarkan pendapat Webb & Colette
(1975) bahwa individu yang memperoleh jumlah
dukungan sosial yang lebih banyak akan menggunakan problem focused coping. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini remaja yang mendapatkan dukungan sosial kurang dari tiga dukungan termasuk
kedalam kategori Emotional Focused Coping, sedangkan remaja yang memiliki dukungan sosial
lebih dari tiga dukungan termasuk kedalam kategori
Problem Focused Coping.
Gambaran Umum Remaja Berdasarkan
Dimensi Coping Stress
Berdasarkan dimensi dari jenis problem focused coping dapat dilihat bahwa remaja yang menggunakan dimensi confrontive coping sebanyak 21
Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
78
Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
membagikan masalahnya kepada orang lain sehingga menghadapinya dengan menangis, mengisolasikan diri dan bentuk-bentuk emotional focused coping lainnya.
Pada gambaran umum remaja berdasarkan
dimensi problem focused coping, terlihat bahwa remaja paling banyak menggunakan dimensi seeking
sosial support, yaitu sebanyak 31 orang (40,25%).
Hal ini didukung oleh pendapat Bonner dalam
Gunawan (2010) yang menyatakan bahwa dukungan
sosial merupakan suatu interaksi antara dua orang
atau lebih dimana individu yang satu membutuhkan
masukan-masukan yang bermanfaat dari individu
yang lain ketika menghadapi berbagai macam masalah. Di Indonesia, pada umumnya orangtua sudah
melatih remaja-remajanya untuk saling membantu
dan tolong-menolong di dalam keluarga seperti
membantu adik mengerjakan tugas, menjaga saudara yang sedang sakit dan sebagainya. Oleh karena
itu, remaja Indonesia terlatih untuk mencari bantuan
ketika sedang menghadapi masalah terlihat pada jawaban subjek yang menyatakan sering menelepon
teman (item 19).
Pada gambaran umum remaja berdasarkan
dimensi emotional focused coping, terlihat bahwa
remaja paling banyak menggunakan dimensi positif
reappraisal sebanyak 29 orang (32,22%), seperti
berdoa, pergi ketempat ibadah, dan mendengarkan
ceramah. Hal ini berkaitan dengan karakteristik remaja yang seluruhnya beragama Islam. Menurut
Broom dan Selznick (1981) agama berperan penting
dalam memberikan dorongan psikologis dan membantu individu yang mengalami kesulitan serta
memberikan jawaban mengenai berbagai masalah.
Pada umumnya, para pemeluk agama Islam telah
diajarkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
seperti sholat, puasa, membaca Al-Quran, berdoa
ketika menghadapi masalah. Selain di rumah, aktivitas rohani tersebut juga diajarkan di sekolah-sekolah
terlihat pada jawaban subjek yang menyatakan sering mendekatkan diri padaTuhan (item 22).
perti menangis, mengisolasikan diri, berusaha untuk
sabar dan menerimanya.
Pada gambaran coping stress berdasarkan
urutan kelahiran terlihat bahwa remaja sulung dan
tengah lebih banyak menggunakan emotional focused coping masing-masing sebanyak 26 dan 38 siswa (76,47% dan 52,05%). Sedangkan remaja bungsu lebih banyak menggunakan problem focused coping, yaitu sebanyak 27 remaja (58,69%) terlihat pada jawaban subjek yang menyatakan sering mencari
informasi tentang masalah tersebut (item 18).
Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian
Roslina Veruli, Mpsi dalam Aditrock (2009) bahwa
urutan kelahiran turut mempengaruhi perbedaan
reaksi individu terhadap stres. Remaja sulung pada
umumnya mengatasi permasalahannya karena mendapatkan banyak tuntutan dari orangtua dan lingkungan, sehingga sering merasa tertekan.
Roslina Veruli, Mpsi dalam Aditrock (2009)
juga menyatakan bahwa remaja tengah memiliki karakteristik antara lain sangat membutuhkan kasih sayang karena orangtua sibuk dengan remaja sulung
dan remaja bungsu. Akibatnya remaja tengah tidak
terlatih untuk mengekspresikan emosinya. Mereka
cenderung merasa tidak disayang orang tua dan merasa tidak lebih baik dari pada kakaknya. Hal tersebut membuat remaja tengah merasa tertekan dan
merasa tidak mampu mengatasi stressor. Berbeda
dengan remaja sulung dan tengah, remaja bungsu
yang mempunyai tuntutan untuk lebih baik dari kakaknya karena tidak adanya tekanan dan adanya banyak dukungan sehingga mereka sangat percaya diri
dalam mengatasi masalahnya terlihat pada jawaban
subjek yang menyatakan sering mencari pemecahan
masalah tersebut (item 27).
Pada gambaran coping stress berdasarkan
dukungan sosial terlihat bahwa remaja yang mendapatkan banyak dukungan sosial menggunakan
problem focused coping. Sedangkan remaja yang
mendapatkan sedikit atau tidak mendapatkan dukungan sosial manggunakan emotional focused coping. Hal ini sesuai dengan pendapat Webb &
Colette (1975) yang mengatakan bahwa individu
yang memiliki banyak dukungan sosial cenderung
menggunakan problem focused coping terlihat pada
item menelepon teman. Efek positif dari dukungan
sosial mempengaruhi individu untuk menyelesaikan
permasalahannya. Semakin banyak dukungan yang
diperoleh individu maka akan semakin mudah untuk
menyelesaikan permasalahannya. Oleh karena itu,
suatu permasalahan dapat dianggap sebagai suatu
tantangan bagi individu sehingga dia siap untuk
menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Sedangkan efek negatif dari tiadanya dukungan sosial adalah individu menjadi tidak dapat menyelesaikan permasalahannya karena tidak dapat
Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa penelitian dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar remaja di sekolah X Bogor menggunakan emotional focused coping. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar
remaja di sekolah tersebut belum memiliki kemampuan menghadapi stressor yang dialaminya. Oleh
karena itu, keterampilan dalam menggunakan problem focused coping perlu segera dilatih dan dikembangkan agar kelak para remaja tersebut siap menghadapi stressor.
Remaja yang menggunakan problem focused coping sebagian besar berjenis kelamin laki-laki.
Hal ini sesuai dengan pendapat Baron dan Byrne
79
Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
remaja. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat
menjadi acuan bagi para guru dan orangtua dalam
menangani masalah remaja korban bullying di sekolah “X”.
(1994) yang menyatakan bahwa laki-laki cenderung
menggunakan logika dalam menyelesaikan masalah.
Sedangkan perempuan cenderung lebih menggunakan emosi-emosinya. Oleh karena itu, remaja perempuan perlu mendapatkan pengarahan dari orangtua dan guru tentang cara-cara efektif untuk mengatasi masalah.
Pada penelitian ini, remaja yang berusia 18
tahun cenderung menggunakan problem focused coping ketika menghadapi stres. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ebata & Moos (1994) yang menyatakan
bahwa stressor sebagai suatu pengalaman dan tantangan yang dapat dikendalikan berdasarkan pemikiran-pemikirannya. Oleh karena itu, remaja yang
berusia di bawah 18 tahun masih membutuhkan banyak informasi dari lingkungannya sehinga mendapat penjelasan yang tepat dan bagi para orangtua
untuk menciptakan hubungan keluarga yang dekat
dan terbuka serta tidak terlalu mengekang remajaremajanya dalam menghadapi stressor.
Berdasarkan urutan kelahiran remaja dengan urutan kelahiran bungsu sebagian besar menggunakan problem focused coping dibandingkan dengan urutan kelahiran yang lainnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Roslina Veruli, Mpsi dalam
Aditrock (2009) yang menyatakan bahwa urutan kelahiran turut mempengaruhi perbedaan reaksi individu terhadap coping. Oleh karena itu, remaja dengan urutan kelahiran sulung dan tengah perlu mendapatkan masukan-masukan tentang cara-cara menyelesaikan masalah dari orangtua agar mereka siap
dalam menghadapi stressor.
Remaja yang mendapatkan banyak dukungan sosial cenderung untuk menggunakan problem
focused coping. Hal ini sesuai dengan pendapat
Webb dan Colette (1975) yang menyatakan bahwa
dukungan sosial merupakan resource yang berpengaruh terhadap coping. Oleh karena itu, sangat bermanfaat apabila keluarga dan sekolah dapat membangun suasana yang saling peduli dan saling membantu dalam mengatasi kesulitan hidup.
Pada penelitian ini remaja paling banyak
menggunakan seeking sosial support dan paling sedikit menggunakan confrontive coping. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar remaja di sekolah
tersebut membutuhkan model yang dapat memberikan contoh-contoh tentang confrontive coping seperti bagaimana cara mempertahankan diri ketika
diserang, diolok-olok, di ancam dan lain-lain, dengan cara membalas memukul, menendang, mendorong, dan sebagainya.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa coping stress yang digunakan remaja merupakan
hasil pengaruh dari faktor jenis kelamin, usia, urutan
kelahiran, dan dukungan sosial. Latar belakang yang
berbeda membentuk coping yang berbeda pula pada
Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
Daftar Pustaka
Apa
Itu
Bullying?,
dalam
www.nirwanalife.multiply. com
liputan6.com, 16 Juli 2005 dan kompas, 17
Juli 2005).
Dampak
dari
korban
bullying,
http://www.pikiranrakyat.com.
dalam
Ubah Cara Berfikir Untuk Hindari Stres. Diakses
pada tanggal 22 Februari 2009, Dari
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=35081
Afrian, Desi. (2008). Setahun Beraksi, Genk Nero
Banyak
Makan
Korban.
http://M.okezone.com
Averbach & Gramling. “Stress Management:
Psychological Foundations”, 1988
Baron, Robert. A. & Byrne, Donn “Social Psycholgy
Understanding Human Interaction, 7thed”.
Allyn & Bacon, Massachusetts, 1994.
Buchanan, Paula. “Bullying In Schools: Children’s
Voices”, The University of Lethbridge,
http://www.internationalsped.com/documen
ts/BULLYING
IN
SCHOOLS.doc.31Jan2009.
Coloroso, Barbara, “Stop Bullying”, PT Serambi
Ilmu Semesta, Jakarta, 2003.
Feldman, R.S. “Adjustment Applying Psychology in
a Complex World (International ed)”,
McGraw-Hill
Book
Company,
Singapore,1989.
Greenberg,
J.S.,
“Comprehensive
Stress
Management. 7thed”, McGraw-Hill. Highter
Educations, Boston, 2002.
Gunawan, Ary. H, “Sosiologi Pendidikan, Suatu
Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai
Problem Pendidikan”, Rineka Cipta.
Jakarta, 2010.
Hurlock. “Psikologi Perkembangan”,
Erlangga, Jakarta. 1980.
80
Ed
5.
Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
Kaplan, S.J.et. al, “ Adolescence Physical Abuse and
Suicide Attempts”, Journals of
the
American Academy of Child and Adolescent
Psychiatry,1997.
Lazarus, R. & Susan, F.S, “Stress Appraisal and
Coping”, Springer Publishing Company.
New York, 1984.
Narwoko, J. Dwi. & Bagong, Suyanto, “Sosiologi,
Teks Pengantar dan Terapan”, Ed 1.
Prenada Media, Jakarta, 2004.
Olweus, Dan. “Bullying at School”,Blackwell
Publishing, United Kingdom, 1993.
Papalia, D., Olds, S.W. & Feldman, R.D, “Human
Development, 9thed”, Mc Graw: Hill, New
York. 2002.
Santrock. “Adolescence: Perkembangan Remaja”,
Ed 6. Erlangga, Jakarta, 2003.
Sarafino, E.P, “Health Psychology: Biopsychosocial
Interaction”, 3rd ed, John Willey and Sons,
Inc. New York, 2002.
Septiyaning, Indah, “Korban Bullying, Orangtua
Ngotot Pindah Sekolah”, Diakses pada
tanggal
7
November
2009,
Dari
http://www.solopos.com. 2009.
Subekti Doelhadi, “Strategi Dalam Pengendalian
Dan Pengelolaan Stres”, Anima Indonesian
Psychological Journal Vol XII No. 48,
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Surabaya, Surabaya, 1997
Sugiyono. “Metode Penelitian Bisnis”, CV Alfabeta.
Bandung, 2007.
Yulianto, Aries., “Psikometri”,Fakultas Psikologi,
Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta,
2005.
Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
81
Download