68 Media Bina Ilmiah ISSN No. 1978-3787 REVITALISASI PARTAI POLITIK Oleh: H. M. Yusuf A.R Dosen PNS dpk pada Universitas 45 Mataram Abstrak : Fungsi-fungsi partai politik tidak berjalan sebagaimana mestinya. Parpol seolah berjalan sendiri terpisah dari masyarakat. Partai politik lebih disibuhkan dengan kegiatan mengurus diri sendiri demi elit pengurus partai politik. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah seharusnya parpol mengambil peran dan tanggung jawab dalam proses demokratisasi. Agar partai mengakar atau melembaga dengan kuat di masyarakat, maka perlu revitalisasi dengan cara menjalankan seluruh fungsi partai politik yaitu fungsi komunikasi politik, fungsi sosialisasi, fungsi rekrutmen, dan fungsi pengelolaan konflik. Kata kunci : Revitalisasi, Partai Politik PENDAHULUAN Selama ini, partai-patai politik pada umumnya sangat kurang memiliki kemampuan dalam menjalankan fungsi-fungsinya sebagai partai politik. Kekurang mampuan ini dibuktikan dengan tidak tersalurkannya aspirasi masyarakat karena partaipartai politik hanya berfungsi menyalurkan kepentingan elit partai politik. Idealnya, partai politik berperan dalam memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negaranya. Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 pasal 1, mendefinisikan partai politik adalah “…organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“. Guna menjalankan peran tersebut, partai politik memiliki sejumlah fungsi seperti fungsi komunikasi politik, fungsi sosialisasi politik, fungsi rekruitmen politik, dan fungsi mengelola konflik (Budiardjo, 2003). Munculnya politik uang, munculnya kandidat bukan dari kader partai, munculnya konflik-konflik di masyarakat adalah bukti tidak berjalannya fungsi partai politik. Fungsi komunikasi politik selama ini hanya berlangsung menjelang atau selama pemilihan umum ataupun pemilukada. Pengurus partai rajin mendekati masyarakat dengan harapan mendapatkan dukungan suara dengan cara mengarahkan dukungan ke kandidat pilihan partai, bukan dalam rangka menjaring aspirasi warga masyarakat. Idealnya, partai politik berperan menyalurkan aspirasi masyarakat dan menekan kesimpangsiuran pendapat di masyarakat agar tidak timbul kesalahpahaman. Keberadaan partai politik menjadi wadah penggabungan aspirasi anggota masyarakat yang sependapat (interest aggregation) agar dapat diartikulasikan secara terstruktur atau teratur. Selanjutnya, partai politik merumuskan aspirasi tersebut menjadi suatu usulan kebijakan kepada pemerintah agar menjadi suatu kebijakan publik. Fungsi sosialisasi politik idealnya mampu mendidik dan membangun orientasi pemikiran anggota-anggota partainya serta masyarakat luas agar sadar akan peran dan tanggungjawabnya sebagai warga negara. Partai politik seharusnya memberikan pendidikan politik kepada konstituennya agar mampu menjadi warga negara yang baik. Fungsi ini tidak berjalan dengan baik karena sosialisasi pun hanya berlangsung menjelang pemilihan umum, yaitu partai-partai sibuk menyosialisasikan visi dan misinya, menyampaikan program-programnya apabila memenangi pemilu. Jadi jelas, sosialisasi hanya dimaksudkan untuk mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat. Tetapi, partai politik melupakan atau bahkan tidak mau tahu tentang aspirasi masyarakatnya sendiri. Fungsi rekrutmen politik juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Partai politik memiliki fungsi untuk merekrut orang-orang agar bersedia menjadi anggota atau kader partai politik dengan harapan kader bersangkutan dapat memperluas partisipasinya dalam kegiatan politik, termasuk menyiapkan kader menjadi pemimpin dalam struktur politik, baik dalam struktur partai politik atau pemimpin dalam struktur negara. Fungsi mengelola konflik dilakukan oleh partai politik agar konflik yang muncul di masyarakat sebagai suatu akibat adanya dinamika demokrasi tidak berdampak buruk. Konflik dapat dikelola dengan baik sehingga tidak memboroskan energi di masyarakat. Fakta menunjukkan masyarakat kita ____________________________________ Volume 6, No. 6, Desember 2012 http://www.lpsdimataram.com ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah 69 ………...…………………………………………….………………………………………………… begitu mudah terpancing untuk berkonflik, tanpa ada partai politik yang dapat meredamnya. Berbagai fakta di atas memperlihatkan adanya disfungsi partai politik. Disfungsi berarti tidak berjalannya fungsi-fungsi yang sudah dirumuskan. Salah satu sumber mendasar penyebab disfungsi adalah kuatnya budaya oligarki, yaitu kecenderungan suatu partai politik untuk memperjuangkan kepentingan pengurusnya di atas kepentingan masyarakat secara umum. Dalam hal ini, aspirasi masyarakat tidak didengar. Jangankan aspirasi masyarakat, aspirasi anggotanya saja tidak diperhatikan. Anggota-anggota tidak memiliki kemampuan untuk menjadi warga partai yang bebas menyuarakan aspirasi politiknya. Apabila kondisi tersebut terus berkelanjutan dan dipandang sebagai suatu kewajaran maka sulit bagi Indonesia untuk tumbuh menjadi bangsa besar. Modal utama untuk menjadi bangsa besar bukan hanya dari jumlah penduduk yang besar, kekayaan alam yang melimpah dan iklim demokratis yang sudah ada di Indonesia saat ini. Jepang, Korea Selatan, Jerman, Belanda dan negara-negara maju di Eropa bukan mengandalkan jumlah penduduk yang besar, tetapi karena warga negaranya yang terdidik dan berkarakter. Selama ini partai politik sangat kurang memperhatikan pentingnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Pendidikan politik memang telah dilaksanakan di sekolah-sekolah, khususnya melalui pendidikan kewarganegaraan, namun tidak cukup hanya diajarkan di sekolah. Pendidikan karakter memang sudah diajarkan di sekolah, di madrasah, pesantren, gereja atau di dalam keluarga, tetapi masyarakat lebih memperhatikan apa yang dialami, didengar, dilihat atau dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui media massa, masyarakat dengan mudah melihat dan mendengar bagaimana rusaknya moral bangsa. Korupsi tidak menunjukkan tanda berkurang, melibatkan leblih banyak pihak, tidak hanya di eksekutif tetapi juga di parlemen, partai politik dan para pengusaha. Dalam kasus Hambalang misalnya, banyak publik figur yang terlibat seperti Menpora, ketua umum Demokrat, beberapa anggota parlemen, bahkan diduga sejumlah ketua badan ataupun komisi di parlemen. Meskipun disangkal oleh yang bersangkutan tampak jelas ada yang disembunyikan dari publik. Tidak kalah ramainya adalah korupsi di daerah-daerah yang melibatkan bupati/gubernur. Dan masih banyak lagi kasus seperti narkoba, peradilan yang tidak adil dan sebagainya. Ketika ada pelanggaran hukum yang begitu terbuka dan para elit politik bersikap pura-pura tidak tahu karena teman separtai yang menjadi pelakunya, maka menunjukkan sikap yang tidak konsisten. Perilaku politikus yang teekespos di media massa dengan mudah dilihat atau didengar oleh masyarakat. Apabila perilakunya positif tidak masalah, tetapi perilaku yang negatif dapat berbahaya karena akan dijadikan sebagai pembenar bahwa perilaku tersebut sebagai hal yang wajar. Masyarakat melakukan apa yang disebut dengan peniruan atau imitasi. Dalam kasus Hambalang, misalnya, banyak pihak yang terlibat menjawab tidak tahu. Jawaban “tidak tahu” seolah menjadi senjata ampuh untuk menghindari tuduhan yang disangkakan. Anas Urbaningrum, Ketua Umum Demokrat mengaku tidak tahu kasus Hambalang. Saan Mustofa, wakil Sekjen Partai Demokrat juga memberikan jawaban sama tentang Hambalang yaitu, tidak tahu. Jawaban “tidak tahu” juga ditunjukkan oleh para anggota banggar DPR ketika dimintai kesaksiannya dalam kasus Hambalang. Misalnya, Mirwan Amir kerap mengaku lupa atau tidak tahu ketika dimintai kesaksiannya. Jawaban tidak tahu mengandung banyak penafsiran. Secara tekstual berarti tidak mengetahui sama sekali. Tetapi secara kontekstual, jawaban tidak tahu dapat berarti tidak mau tahu, pura-pura tidak tahu, menyembunyikan sesuatu, tidak mau mengakui, atau pengingkaran terhadap apa yang sesungguhnya terjadi. Ketika jawaban tersebut diucapkan, sejatinya masyarakat dapat menilai kapasitas moral politikus bersangkutan. Entah benar atau salah tuduhan tersebut, yang jelas jawaban tidak tahu mencerminkan ketidakjujuran, ketiadaan tanggungjawab, atau paling tidak adalah ketakutan untuk bersaksi. Masalahnya, sikap tidak baik tersebut justru menjadi referensi warga masyarakat untuk meniru perilaku sang tokoh politikus. Artinya, virus ketidakjujuran, virus kebohongan dari para elit menyebar kepada masyarakat luas. Perilaku berbohong tampaknya sudah dipandang jamak atau wajar oleh dilakukan oleh para politikus, baik yang kemudian duduk di legislatif ataupun menjadi kepala daerah. Berbohong berarti menyembunyikan sesuatu yang dipandang kurang atau tidak baik. Apabila sesuatu yang tidak baik itu tindakan kejahatan, maka dua kesalahan yang telah dilakukan, yaitu kejahatan dan kebohongan untuk menutupi kejahatannya. Partai politik jelas dirugikan atas perilaku negatif para kadernya. Minimal nama baik partai tercoreng, lebih parahnya adalah ditinggalkan oleh para pendukungnya. Bukan hanya partai politik yang dirugikan, tetapi juga masyarakat luas. Korupsi telah merusak sistem yang seharusnya berpihak pada masyarakat. Anggaran bocor sejak awal di badan anggaran, bocor di anggota parlemen yang notabene adalah juga kader partai. Kebocoran juga terjadi di tingkat daerah. Dalam hal ini, jelas masyarakat sangat dirugikan. _____________________________________ http://www.lpsdimataram.com Volume 6, No. 6, Desember 2012 70 Media Bina Ilmiah Hal ini menunjukkan bahwa output kader pilihan partai politik tidak cukup berkualitas secara moral. Pertanyaannya, apakah partai politik benarbenar menjalankan proses kepartaian dengan benar? Dengan kata lain, apakah partai politik memang menjalankan fungsinya dengan baik sehingga menghasilkan kader-kader partai yang sesuai dengan harapan masyarakat? Jawabannya cenderung tidak. Pada proses rekrutmen, partai politik tidak melakukan seleksi dengan baik. Siapapun yang bersedia membayar sejumlah uang yang ditetapkan partai politik dapat direkrut untuk menjadi pengurus partai, calon anggota legislatif, atau calon kepala daerah. Materi menjadi ukuran utama seseorang pantas atau tidak pantas direkrut oleh partai politik. Kader partai yang pilih bukan didasarkan pada kualitas atau kinerja kader selama aktif di partai. Keberadaan pengurus partai bukan mengurusi anggota, tetapi lebih pada melayani kepentingan elit partai. Akibatnya, anggota atau kader partai yang sesungguhnya tidak diperhatikan. Sebagai wadah dan instrumen sosialisasi politik, termasuk memberikan pendidikan politik kepada warga partai yang juga warga negara, pengurus partai telah lalai. Pendidikan politik lebih bersifat informal karena mekanisme formal tidak berjalan atau bahkan tidak tersedia secara memadai. Dari banyak partai yang ada, mungkin hanya PKS yang secara terbuka menyatakan sebagai perkaderan. PKS juga memiliki jalur kaderisasi yang kuat. Sistem perkaderan dimulai dari proses rekrutmen peserta tarbiyah. Rekrutmen dijalankan secara personal dan informal ataupun secara formal dan berjamaah melalui sarana kepartaian. Secara berjamaah, rekrutmen dilakukan dengan memanfaatkan komunitas yang sudah ada seperti lembaga dakwah sekolah dan lembaga dakwah kampus. Mereka yang direkrut mengikuti kegiatan tarbiyah akan diangkat menjadi anggota yang memiliki tujuh tingkatan pengaderan. Penjenjangan kader mulai dari anggota pemula, anggota muda, anggota madya, anggota dewasa, anggota ahli, anggota purna, dan anggota kehormatan. Hubungan fungsional dari masing-masing jenjang tampak dari materi pendidikan politik yang diberikan di masingmasing tingkatan sebagai pentahapan pendidikan politik. Setelah anggota muda mengikuti berbagai kegiatan kepartaian yang sudah disusun PKS, seorang anggota muda dapat menjadi pengurus partai di tingkat ranting atau menjadi staf di DPC, kegiatan kepanitiaan di DPC ataupun DPD, menjadi jurkam di tingkat DPD atau badan-badan lain setingkat kecamatan. Kegiatan selama menjadi anggota muda harus diikuti selama minimal 2 tahun. Anggota madya dapat dipilih menjadi pengurus atau ketua DPC, anggota pengurus DPD, kegiatan ISSN No. 1978-3787 kepanitiaan DPD, dan menjadi jurkam tingkat DPD ataupun DPW. Kader yang telah lulus mengikuti kegiatan-kegiatan kepartaian tingkat tinggi dan lulus Training Lanjtan-II akan ditetapkan oleh Dewan Pengurus Pusat sebagai anggota ahli. Anggota ahli dapat dipilih sebagai pengurus pusat (Abdullah, 2007). Mekanisme pendidikan bagi kader pada internal PKS cukup baik sehingga tidak ada mekanisme rekrutmen berdasarkan ikatan dinasti sebagaimana banyak dilakukan partai-partai politik yang lainnya. Mekanisme rekrutmen menurut jalur dinasti membuktikan tidak berjalannya mekanisme kepartaian. Ketua partai ataupun pengurus partai yang lain hanya memperhatikan, menyosialisasikan, dan merekrut anggota keluarga atau kerabatnya. Artinya sumber daya partai dan akses kekuasaan berputar di lingkungan keluarga dan kerabat elit partai, baik di pusat ataupun di daerah-daerah. SBY menurun kepada anaknya, Edi Baskoro, Megawati menurun kepada Puan Maharani, adik ipar dan ibu tiri Gubernur Banten menjadi Wali Kota Tangerang Selatan dan Wakil Bupati Pandeglang, dan masih banyak lagi contoh di Indonesia. Apakah Edi Baskoro dan Puan Maharani sudah teruji sebelumnya? Punya pengalaman memimpin suatu organisasi? Apabila rekrutmen hanya didasarkan pada keturunan, bukan seleksi kualitas, maka partai politik hanya memunculkan pemimpin yang tidak berkualitas. Akibatnya, rakyatlah yang menjadi korban karena kedaulatan dirinya dieksploitasi dan dimanipulasi oleh partai politik dalam rangka mendapatkan kekuasaan bagi para elit partai. Elit partai memobilitasi dukungan dari massa dan mengatasnamakan rakyat untuk mendapatkan kekuasaan bagi dirinya. PEMBAHASAN Orde reformasi politik sejak tahun 1998 hingga tahun 2012 saat ini telah melahirkan sistem politik multipartai sebagai bukti tumbuhnya demokratisasi di Indonesia. Jika dilihat demokrasi sebagai kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, maka demokratisasi masih jauh dari harapan dibandingkan dengan fakta maraknya politik dinasti dan tidak berjalannya mekanisme kepartaian. Demokrasi yang dibangun partai-partai hanyalah demokrasi semu. Menurut Subono (2007), eksistensi parpol lebih banyak ditopang oleh elit-elit lama (dan baru) yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan kelompok mereka sendiri dengan mengabaikan aspirasi warga negara, kecuali pada masa kampanye dan pemungutan suara dalam pemilihan umum. Karena itu, parpol justru dinilai menyebabkan terjadinya defisit demokrasi. ____________________________________ Volume 6, No. 6, Desember 2012 http://www.lpsdimataram.com ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah 71 ………...…………………………………………….………………………………………………… Kondisi kepartaian tersebut perlu diperbaiki guna meningkatkan vitalitas partai politik dalam menumbuhkembangkan demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia. Dengan kata lain, partai politik-partai politik perlu direvitalisasi. Revitalisasi berasal dari kata dasar vital. Kata vital menunjuk pada alat, organ atau bagian-bagian yang vital atau penting. Revitalisasi berarti membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting kembali. Kata revitalisasi dapat ditujukan bagi semua hal yang sudah mengalami penurunan arti pentingnya karena sebab-sebab tertentu. Kata revitalisasi dalam tulisan ini layak ditujukan bagi partai-partai politik di Indonesia. Maksud dari revitalisasi ini adalah memastikan partai politik berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hal ini patut disimak pemikiran memperbaiki kondisi kepartaian agar terlepas dari oligarki dari Jimly Asshiddiqie (2006) berikut. Pertama, memperbaiki mekanisme internal yang dapat mendorong meningkatnya partisipasi anggota dalam pengambilan keputusan partai. Mekanisme ini perlu dirumuskan secara formal dalam AD/ART, mekanisme ini juga perlu ditradisikan sebagai kebiasaan sehari-hari partai politik. Bersama dengan AD dan ART diperlukan suatu panduan kode etik internal organisasi yang ketiganya menjadi panduan bagi seluruh anggota dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan di internal partai secara demokratis. Kedua, perlu menyediakan suatu mekanisme yang memungkinkan warga masyarakat di luar partai dapat berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang sedang dirumuskan atau diperjuangkan partai politik. Keberadaan pengurus harus berfungsi sebagai fasilitator bagi masyarakat yang akan menyampaikan aspirasi dan kepentingan konstituennya. Ketiga, perlu adanya penyelenggaraan negara yang baik dengan kualitas pelayanan publik yang baik sebagai penunjang bagi terciptanya suatu iklim politik yang sehat. Pelayanan publik yang berkualitas dan terbentuknya tata pemerintahan yang baik akan memperkecil peluang elite partai politik dalam memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Keempat, adanya kebebasan pers yang disertai praktik jurnalistik yang profesional dengan semangat mendidik masyarakat luas. Pers berperan memberikan kontrol atau umpan balik bagi partai politik dalam menjalankan fungsi-fungsi partai politik. Terkait dengan pemikiran di atas, penulis mengusulkan pentingnya partai-partai politik untuk kembali kepada masyarakat dengan menumbuhkan keberdayaan dalam diri masyarakat. Tujuannya satu yaitu membantu setiap warga masyarakat agar sadar tentang peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Kesadaran sebagai warga negara sangat penting dalam berbangsa dan bernegara. Dalam konteks pluralitas bangsa Indonesia saat ini, masyarakat begitu mudah terpancing masalahmasalah dan perbedaan yang sangat sepele. Terjadinya konflik fisik antar umat beragama, antar suku, bahkan antar desa atau kampung mencerminkan lemahkan kesadaran bernegara, di sisi lain menunjukkan kuatnya ikatan kampung/desa. Kesadaran warga pada umumnya baru terbatas pada kampung atau desanya, sehingga dengan mudah terprovokasi untuk perang antar kampung. Jika kesadaran tidak beranjak dari kampung maka akan semakin banyak energi yang dibuang percuma dalam setiap konflik, seperti korban jiwa, luka-luka, pembakaran rumah, anak-anak takut sekolah dan sebagainya. Kesadaran tentang peran dan tanggung jawab sebagai warga negara perlu ditumbuhkan oleh partai-partai politik. Pendidikan politik kepada warga masyarakat harus dilakukan. Novel Ali (2003) menyatakan bahwa hakikat pendidikan politik adalah sebuah penanaman nilai dan character building berkesinambungan serta berjangka panjang dengan tujuan utama mewujudkan kepentingan mayoritas (negara dan bangsa), bukan kepentingan minoritas (pendukung partai politik semata). Pendidikan politik dimaksudkan untuk membentuk kader bangsa yang mempunyai kepribadian politik yang baik dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ketika warga sadar dengan peran dan tanggung jawabnya, maka warga merasa dirinya berdaya sehingga merasa mampu untuk berpartisipasi. Partai politik juga harus datang ke masyarakat guna menjaring aspirasi masyarakat dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Parpol melalui pengurus dan para kadernya hendaknya lebih banyak terjun ke masyarakat guna mencari tahu persoalan yang dirasakan atau dipikirkan oleh masyarakat. Kehadiran parpol di tengah-tengah masyarakat untuk mendengarkan keluhan, kritikan atau masyarakat. Dengan selalu berada di tengah masyarakat, maka komunikasi dengan masyarakat senantiasa terjalin. Persoalan, gejolak, atau potensik konflik di masyarakat dapat dikelola dengan baik oleh partai politik sehingga konflik-konflik horisontal dapat diminimalisir. Demikian pula demo-demo anarkis dapat dicegah karena parpol melalui kader-kadernya yang duduk di parlemen benar-benar merepresentasikan dan sedang memperjuangkan aspirasi masyarakat yang sedang berkembang. _____________________________________ http://www.lpsdimataram.com Volume 6, No. 6, Desember 2012 72 Media Bina Ilmiah Ketika parpol dan masyarakat berada dalam satu nafas perjuangan yang sama, maka parpol akan mengakar sangat kuat di masyarakat, dengan kata lain melembaga dalam masyarakat. Pelembagaan atau institusionalisasi partai politik di Indonesia belum mengalami kemajuan berarti jika dibandingkan dengan negara-negara yang sudah memiliki tradisi demokrasi partai politik yang stabil dan terinstitusionalisasi dengan. Dengan kata lain, partai politik belum mengalami pengakaran yang solid di masyarakat dan kurang stabil sehingga dukungan masyarakat terhadap partai politik berubah-ubah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya komitmen partai politik dalam memenuhi aspirasi konstituen. Dalam membangun sistem demokrasi yang baik, partai politik sebenarnya berada pada posisi yang strategis. Hampir seluruh pengambilan keputusan politik menempatkan posisi partai politik dominan. Jika dikaitkan dengan fungsi-fungsi partai politik, kualitas demokrasi juga dipengaruhi oleh kualitas partai politik. Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik merupakan upaya institusionalisasi partai politik sebenarnya sebagai sebuah cara memenuhi substansi berdemokrasi. Jika fungsi-fungsi partai politik tidak berjalan dengan baik maka akan sangat berpengaruh pada nasib partai politik yang bersangkutan. Misalnya, kualitas demokrasi berkaitan erat dengan fungsi-fungsi partai politik antara lain representasi, pembentukan dan rekrutmen elit, merumuskan tujuan, artikulasi dan agregasi kepentingan, sosialisasi dan mobilisasi, organisasi pemerintah. Pada posisi ini, optimalisasi fungsi partai politik berkaitan pada sejauhmana proses institusionalisasi berlangsung. Misalnya, representasi atau komunikasi politik yang berkaitan erat dengan kapasitas partai dalam mengartikulasikan kepentingan anggota partai maupun konstituen partai yang diperluas dapat dicapai parpol mengakar di masyarakat. ISSN No. 1978-3787 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, 2007, Pemilu 2004:Studi Dukungan Terhadap DPW Partai Keadilan Sejahtera Propinsi Sumatera Selatan Asshiddiqie, Jimly, (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara – Jilid II, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Budiardjo, Miriam, (2003). Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Novel Ali. (2003). Politikus Sebagai Pemimpin Bangsa. Suara Merdeka, 8 Desember 2003. Subono, Nur Iman (2007), Menjadikan Partai Politik Sebagai Solusi bagi Defisit Demokrasi, Majalah Tempo, Edisi 5 November 2007 PENUTUP Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa revitalisasi partai politik harus dilakukan dengan menjalankan fungsi-fungsi parpol, yaitu fungsi sosialisasi politik, komunikasi politik, rekrutmen politik, dan fungsi pengelolaan konflik. Revitalisasi harus pula didukung oleh pelaksanaan pemerintahan yang baik agar tidak terjadi kongkalingkong antara parpol dan pemerintah. Ketika berbagai fungsi ini berjalan dengan baik, maka parpol akan mengakar kuat di masyarakat sehingga demokrasi tumbuh dengan sangat baik. ____________________________________ Volume 6, No. 6, Desember 2012 http://www.lpsdimataram.com