Pemegang Saham Parpol

advertisement
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
Pusat Dokumentasi dan Jaringan Informasi Hokum Nasional
JI.May.Jen. Sutoyo -Cililitan- Jakarta Timur
! Hari/Tgl: /CA-MJ{ j~v/J/IJU/J~/~OJr Hlm/Kol :. VI j; ·-3,
Somber : R,Ef(.JBLIM
Subjek : P/IA.POL- -
f>cMEG~/\16
...!'AH/1/Yl
Bidang:
2
>Pemegang Saham Parpol
•
MOH ILHAM A HAMUDY
Peneliti BPP Kementerian Dalam Negeri
azimnya di perusahaan,
pemegang saham (shareholder atau stockholder)
adalah seseorang a tau badan hukum yang secara
sah memiliki satu a tau lebih sa ham pada perusahaan. Pemegang
saham adalah pemilik perusahaan itu.
Dalam konsep pemegang saham,
perusahaan hanya memiliki tanggung
jawab kepada pemegang saham dan
pemiliknya dan bekerja demi keuntungan mereka. Pemegang saham juga cliberi
hak khusus yang bergantung pada jenis
saham, salah satunya hak memberikan
suara dalam pemilihan dewan dir~ksi.
Akan tetapi, dalam konteks partai
politik (parpol), pemegang saham adalah
tidak lazim. Celakanya, tidak sedikit
parpol di Indonesia yang dikelola bak
perusahaan oleh pemegang saham ini.
Pemegang saham parpol biasanya dimiliki satu a tau segelintir orang. Acap kali
pemegang saham memaksakan parpol
diurus sesuai keinginannya, termasuk
pemilihan pengurus parpol. Hal inilah
yang berlaku dalam tubuh beberapa
parpol kita. Sebut saja, misalnya, PDIP,
Gerindra, Hanura, Demokrat, dan PAN.
Kuku pemegang saham di kelima
parpol terse but sangat kuat mencengkeram pengelolaan partai. Untuk hal-hal
strategis, utamanya penempatan direksi
(baca: pengurus partai) ditentukan pemegang saham. Tak jarang di antara pemegang saham itu menempatkan dirinya sebagai CEO (baca: ketua partai).
Jadi, tak heran penentuan kader sebagai
pengurus parpol di kelima partai itu
harus melalui persetujuan Megawati,
Prabowo Subianto, Wiranto, Susilo
Bambang Yudhoyono, ataupun Amien
Rais. Merekalah pemegang sahamnya.
Khusus untuk nama pemegang saham yang disebut terakhir, kini sedang
ramai dibincangkan publik. Seperti di-
L
ketahui, PAN akan menggelar kongres
pada pengujung Februa:ri nanti di Bali.
Salah satu agenda penting adalah pemilihan ketua umum. Sejauh ini, ada dua
kandidat calon ketua umum yang bakal
bertarung, yaitu petahana Hatta Rajasa
dan Ketua MPR Zulkifli Hasan.
Sebagian besar pengurus teras PAN
di pusat maupun di daerah mendukung
Hatta. Sementara, pengurus teras yang
lain, dan didukung pemegang saham
Amien Rais, agaknya lebih condong ke
Zulkifli. Ketidakberpihakan Amien kepada Hatta terlihat dari beberapa kali
pernyataannya yang meminta kader agar
memahami jabatan ketua umum hanya
satu periode. Secara implisit Amien pun
mendorong kader memilih Zulkifli. Dukungan itu tidak mengherankan sebab
Zulkifli adalah besan Amien Rais.
Peran Ami en Rais memang dominan
dalam setiap kesempatan. Penentuan arah
koalisi PAN sejak era presiden SBY sampai bergabungnya PANke Koalisi Merah
Putih, ditentukan oleh manuver Amien.
Terlebih lagi dalam penentuan ketua
umum PAN, Amien Rais selalu mengendalikan. Terpilihnya Soetrisno Bachir dan
Hatta, contohnya.
Hal ini agak berbeda dengan Partai
Golkar. Di partai itu, hampir seluruh kader, terutama yang senior, menjadi pemegang saham partai sehingga saat penentuan ketua umum, semua kader berperan
penting. Saking banyaknya pemegang
saham, dalam setiap munas berujung kisruh. Kader yang terpental membuat partai
baru. Berita terakhir, Munas Partai Golkar melahirkan dua format kepengurusan,
versi Munas Bali dengan ketua umumnya
Aburizal Bakrie dan Munas Jakarta yang
dipimpin Agung Laksono.
Sejauh ini, partai yang pemegang sahamnya tunggal tampak relatif lebih
adem ayem dalam setiap kontestasi reguler di internal partai. Namun, fenome-
Sambungan
Somber:
Hariffgl:
na pemegang saham tunggal di parpol
hanya akan merusak sistem kaderisasi
dalam tubuh parpol, mengganggu ritme
kaderisasi, dan tentu saja tidak sehat.
Tidak bisa dimungkiri saat ini sistem
oligarki parpol masih sangat kuat. Fenomena itu senyatanya kian mengukuhkan
tesis Herbert Feith (1962) yang menyatakan, elite parpol kita masih menjadi
penentu kemajuan dan kemunduran demokrasi konstitusional Indonesia, serta
menjembatani konflik di internal dan
kepentingan ideologis antarmereka.
Kecanduan parpol pada pemegang
saham masih menjadi fenomena. Parpol
belum bisa menerapkan demokrasi di
lingkungan internal. Ada stagnasi rekrutmen dan kaderisasi partai berdasarkan prinsip meritokrasi. Jika ada kaderisasi di partai, umumnya dikuasai
jaringan oligarki. Oligarki kian diperkuat oleh kecenderungan parpol untuk
memproduksi orang-orang yang hanya
taat kepada pemegang saham parpol.
Padahal, di sistem parpol modern,
yang memiliki peran penting adalah
konstituen dan seluruh kader tanpa terkecuali sehingga nepotisme politik dengan pemegang saham tidak boleh ada.
Partai juga harus menyerahkan mekanisme kontestasi di internal parpol kepada seluruh kader. Sebisa mungkin, seleksi kader juga melibatkan partisipasi publik sehingga siapa pun yang ikut proses
itu tidak masalah asalkan mengikuti
mekanisme yang ada ..
Untuk itu, parpol harus jelas dan terbuka dalam rekrutmen kader partai.
Parpol harus mendengar aspirasi konstituen dan mayoritas kadernya mengenai calon dari partai yang akan diajukan
jadi ketua umum dan pengurus. Proses
seleksi kader di internal harus selektif
dengan kriteria integritas, kemampuan,
dan keterpilihan. Jangan terjebak pada
figur dan pengaruh pemegang saham. •
] Hlm/Kol:
Download