Log In Sign Up more o o o o o o o o o o o Job Board About Press Blog People Papers Terms Privacy Copyright We're Hiring! Help Center Log In Sign Up doc ANOMALI_PARPOL.doc 4 Pages ANOMALI_PARPOL.doc Uploaded by Fery Chofa connect to download Get doc ANOMALI_PARPOL.doc Download ANOMALI_PARPOL.doc Uploaded by Fery Chofa ANOMALI PARTAI POLITIK Oleh: Fery Chofa (*) “All political parties die at last of swallowing their own lies.” ― John Arbuthnot Semua partai politik mati pada akhirnya karena menelan kebohongan mereka sendiri. Ungkapan seorang fisikawan dan satiris Inggris ratusan tahun yang lalu itu, ternyata masih memiliki korelasi dan relevansi dengan situasi kekinian.Tidak terkecuali juga dengan situasi dan kondisi serupa yang menghinggapi partai politik di Indonesia saat ini. Berbagai kebohongan publik dan dagelan politik yang dipentaskan dengan akting sempurna sesungguhnya adalah racun kematian bagi mereka. Dengan mengamati dinamika partai politik di Indonesia pasca era reformasi 1998, berdasarkan fenomena dan fakta yang ada, dapat disimpulkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis tumbuh berkembang pesat dalam artian kuantitas, tetapi tidak dalam kualitas. Puluhan partai berdiri dan tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan, akan tetapi sarat dengan berbagai persoalan yang menjadi ganjalan bagi tumbuh kembangnya kehidupan demokrasi yang baik. Anomali Partai Politik Sulit diterima logika akal sehat, misalnya seorang pejabat politik pimpinan lembaga negara yang bermasalah dengan etika perilakunya masih sempatnya dipilih untuk memimpin partai politik. Belum lagi, dengan banyaknya anggota DPR, DPRD dan para pejabat publik yang berasal dari parpol yang tersandung kasus korupsi. Begitu juga dengan maraknya sengketa dan konflik kepengurusan maupun pemilihan pengurus partai yang berkepanjangan. Masih ada isu politik transaksional dalam berbagai bentuk dan kemasan seperti jual beli suara, donasi illegal, jual beli kebijakan publik dan anggaran negara. Konsentrasi media, dimana media yang kepemilikannya didominasi oleh pimpinan atau berafiliasi dengan partai politik tertentu, turut menambah aroma tidak sedap kehidupan demokrasi. Pragmatisme politik yang berorientasi pada legitimasi kekuasaan melalui pemenangan dalam jabatan-jabatan politik dan publik melalui mekanisme pemilu telah menjadikan parpol tidak lebih dari sekedar mesin pendulang suara dalam pemilu. Tidaklah mengherankan, sikap apatis dan isu deparpolisasi berhembus begitu kencangnya ditengah- tengah masyarakat pada saat ini. Thomas Carothers(2006;66) menyimpulkan bahwa partai politik di negara transisi demokrasi memiliki kecenderungan bersifat top-down, figur-sentris, lemah dalam organisasi, korup dan kabur dalam hal ideologis. Semuanya identik dengan pelbagai kelemahan dan permasalahan yang menimpa partai politik di Indonesia, per se. Partai politik semestinya menjadi gerbong terdepan dan entitas yang esensial dalam membangun dan konsolidasi demokrasi suatu negara dibandingkan berbagai bentuk organisasi lainnya(Diamond and Gunther;2001). Partai politik di Indonesia saat ini seolah telah gagal menjalankan fungsi normatifnya sendiri sebagai saran untuk komunikasi dan agregasi aspirasi politik, rekrutmen jabatan politik dan jabatan publik, partisipasi politik, maupun pendidikan politik masyarakat sebagaimana yang telah digariskan dalam ketentuan Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Bagaimana mungkin sebuah kehidupan demokrasi yang sehat dan kompetitif akan terwujud apabila sarana untuk menggerakan dan membangun masyarakat yang demokratis itu sendiri penuh dengan borok dan terjangkit virus akut.Sungguh sebuah anomali politik. Good Governance Apa yang dibutuhkan saat ini adalah gagasan pemikiran yang membaharukan partai politik di Indonesia dalam rangka mewujudkan demokrasi yang berkelanjutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan implementasi prinsip-prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) bagi partai politik. Demokrasi tanpa tata kelola yang baik dan benar rentan bagi perilaku korup oleh kelompok mayoritas (corruption by majority). Pada awalnya, istilah good governance tersebut dikoinkan oleh lembaga-lembaga internasional seperti World Bank dan United Nations Development Programs (UNDP) dalam kerangka pencapaian demokratisasi proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik suatu negara dengan pelibatan tiga domain yang terlibat dalam pola hubungan masyarakat mulai dari negara, masyarakat sipil (civil society) dan pasar (market) dalam pola hubungan heterarkhis dengan adanya kesetaraan kedudukan namun dengan fungsi yang berbeda. Implementasi prinsip-prinsip good governance pada awalnya lebih difokuskan kepada negara dengan menyentuh para institusi didalamnya baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Dalam perkembangannya, praktek tersebut merambah ke sektor swasta dengan munculnya konsep good corporate governance dan terus merambah ke pilar civil society dengan adanya berbagai tuntutan transparansi, akuntabilitas, demokratisasi terhadap berbagai elemen masyarakat madani seperti LSM, Ormas dan organisasi profesi. Partai politik seakan tidak tersentuh sama sekali oleh tuntutan tersebut. Entah karena eksistensinya sebagai intitusi formal representatif yang demokratis atau secara fungsional partai politik dianggap telah merefleksikan sebagian besar dari praktek good governance itu sendiri? Dalam konteks good governance, partai politik berada dalam wilayah abu-abu (Rustam Ibrahim;2008). Partai politik adalah bagian dari organisasi masyarakat sipil ketika mereka sedang berjuang untuk merebut kekuasaan politik dan berada diluar pemerintahan dan parlemen. Di sisi lain, partai politik akan dianggap sebagai bagian dari negara ketika adanya orang-orang yang menjadi representasi partai di parlemen maupun pemerintahan. Penerapan prinsip-prinsip good governance tersebut hendaknya dirumuskan dalam suatu kaidah norma hukum yang memaksa, sehingga semua partai politik merasa berkewajiban untuk mematuhi dan melaksanakannya. Merevisi kembali UU Parpol dengan mengadopsi perintah dan keharusan penerapan good governance oleh setiap partai politik dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya, kiranya layak untuk dipertimbangkan. Dalam penjabarannya, norma tersebut diwajibkan untuk dituangkan dalam AD/ART masing-masing partai. Setidaknya ada empat sampai lima prinsip/karakteristik good governance yang perlu menjadi fokus utama dalam tata kelola kepartaian dalam pelaksanaan fungsifungsi partai politik yang meliputi transparansi, partisipasi, akuntabilitas, daya tanggap dan ketaatan terhadap aturan hukum yang berlaku. Mekanisme agregasi komunikasi, rekrutmen, partisipasi dan pendidikan politik serta tata kelola keuangan partai politik semestinya dilaksanakan dengan kepatuhan pada penerapan prinsip-prinsip tata kelola kepartaian yang baik (good party governance) yang terukur dan rinci dalam suatu standar, prosedur dan kriteria yang normatif dalam UU Parpol dengan tidak menghilangkan hakikat keberadaan partai politik itu sendiri sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat bagi warganegara secara demokratis. Guna membangun demokrasi yang sesungguhnya, tiada pilihan lagi kecuali dengan memperbaiki perilaku menyimpang partai politik dengan implementasi prinsipprinsip good governance dalam menjalankan fungsi-fungsinya ataukah kita telah bersepakat untuk menguburkan demokrasi itu kembali seiring dengan kematian partai politik itu sendiri? (*) (*) Penulis PNS Daerah dan Pengajar di Fakultas Hukum UMSB, Bukittinggi. Alumnus Universiteit Maastricht. Contact Person: [email protected] READ PAPER GET file ×Close Log In Log In with Facebook Log In with Google or Email: Password: Remember me on this computer or reset password Enter the email address you signed up with and we'll email you a reset link. Need an account? Click here to sign up About Blog People Papers Job Board Advertise We're Hiring! Help Center Find new research papers in: Physics Chemistry Biology Health Sciences Ecology Earth Sciences Cognitive Science Mathematics Computer Science Terms Privacy Copyright Academia ©2017