Published: March 2016 ISSN: 2502–8634 Volume 1, Number 6 LSC INSIGHTS The Contemporary Policy Issues in Indonesia DARI PABRIK KE PARLEMEN: GERAKAN BURUH INDONESIA PASCAREFORMASI Nawawi Asmat Department of Politics and International Studies, University of Leeds Ringkasan Eksekutif Dalam tulisan ini, Nawawi Asmat menganalisis fenomena gerakan buruh Indonesia pasca-reformasi. Menurutnya, tren maraknya gerakan buruh di Indonesia, serta transformasi gerakan tersebut menjadi gerakan politik mesti disikapi secara positif untuk memperbaiki nasib kaum buruh di Indonesia, walaupun ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan oleh Gerakan Buruh itu sendiri. www.policyreview.id Pendahuluan Tumbangnya rezim otoriter Orde Baru pada Mei 1998 telah memberikan angin segar bagi gerakan masyarakat sipil di Indonesia, termasuk bangkitnya organisasi buruh. Setelah hampir 32 tahun dibungkam secara politik pada masa rezim Suharto, gerakan buruh di Indonesia kembali mendapatkan kemerdekaannya terutama setelah pada Juni 1998 Presiden Habibie menandatangani Konvensi ILO No.87 tentang Kebebasan Berorganisasi dan Perlindungan terhadap Hak untuk Berorganisasi. Ratifikasi konvensi ILO tersebut dilakukan satu bulan setelah Habibie dilantik menjadi presiden ketiga Indonesia dan merupakan kebijakan politik internasional pertama yang dikeluarkan pemerintah pada awal era reformasi. Dua tahun setelah ratifikasi konvensi ILO tersebut, pemerintah kembali membuka jalan kebebasan politik bagi gerakan buruh setelah dikeluarkannya tiga perundang-undangan terkait perburuhan yang intinya mengurangi intervensi pemerintah dalam konteks hubungan industrial1. Jika pada masa sebelumnya Serikat Pekerja (SP)/Serikat Buruh (SB) hanya memiliki satu serikat (SPSI), setelah dikeluarkannya UU No. 21 tahun 2000 tentang SP/SB, minimal 10 pekerja dibolehkan mendirikan SP/SB di tingkat lokasi kerja, 5 SP/SB dalam satu daerah dan berbeda lokasi kerja dapat mendirikan 1 Federasi SP/SB, dan 3 federasi SP/SB dalam satu wilayah dapat mendirikan 1 Konfederasi SP/SB tingkat nasional. Sebagai hasilnya, data terakhir tahun 2013 dari Pusdatin Kemenakertrans terdapat 3 Konfederasi SP/SB di tingkat nasional, 93 Federasi SP/SB, dan 11.852 SP/SB di tingkat lokasi kerja. Dua Implikasi Jika dilihat secara lebih kritis, ada beberapa implikasi dari berkembangnya organisasi buruh tersebut. Pertama, meningkatnya bargaining position buruh dalam hubungan industrial di Indoensia. Pada tingkat lokal, koalisi organisasi buruh semakin kuat terutama ketika berhadapan dengan isu bersama, seperti penetapan upah minimum, penolakan praktik sistem kerja outsourcing dan kontrak, dan usulan revisi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kini, dalam menyuarakan kepentingan politiknya, gerakan buruh tidak hanya melakukan gerakan turun ke jalan seperti mogok kerja, demonstrasi atau unjuk rasa, tetapi juga menggunakan media massa untuk mendapatkan perhatian publik dan meningkatkan posisi tawar, melobi pihak legislatif, hingga menempuh jalur hukum. Sebagai contoh, pada tahun 2004, setelah melalui proses perjuangan pengadilan yang cukup panjang, seorang manajer perusahaan Jepang di kota Surabaya 1 Ketiga UU tersebut adalah UU No.21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakejaan, dan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penanganan Masalah Konflik Hubungan Industrial. 1 diputuskan bersalah dan dipenjara selama 1,5 tahun setelah memecat 4 orang pengurus SP/SB di perusahaan tersebut. Pada tahun 2013 buruh di PT Freeport berhasil mendesak perusahaan tersebut untuk menaikkan tingkat upah setelah 3 hari melakukan mogok kerja. Di Bekasi dan Serang, pada tahun 2012, tingkat upah minimum yang sebelumnya telah ditetapkan oleh Bupati kembali dibatalkan setelah desakan berbagai organisasi buruh di daerah tersebut. Sementara itu, guguatan Judificial Review pekerja pada beberapa pasal UU No.13 tentang Ketenagakerjaan dikabulkan di Mahkamah Konstitusi. Bahkan saat ini, di tingkat nasional seluruh organisasi buruh bersatu menolak di tetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, yang menurut pandangan penulis proses penyusunan dan isi PP tersebut sangat kontroversial. Kedua, mulai muncul tren buruh untuk ‘Go Politics’. Peran gerakan buruh pun tidak berhenti hanya sebagai kelompok penekan (pressure group) yang cenderung memperjuangkan kepentingn ekonomi buruh (economic unionism), tetapi juga mulai masuk ke ranah politik praktis (political unionism). Hal tersebut ditandai dengan keikutsertaan beberapa elit organisasi buruh dalam pencalonan sebagai kandidat anggota DPRD, DPD, dan DPR RI sejak pemilu demokratis di gelar tahun 2004. Pada pemilu 2014 lalu, 4 pimpinan organisasi buruh terpilih dalam pemilihan di tingkat daerah dan nasional. Walaupun jumlahnya masih sedikit, keberhasilan beberapa elit SP/SB dalam politik praktis dapat menjadi penanda baik kembali masuknya organisasi buruh dalam politik praktis di Indonesia. Hal ini menarik untuk didiskusikan lebih dalam. Apa implikasi fenomena ‘Buruh Goes Politics tersebut? Seberapa penting buruh untuk masuk ke ranah politik praktis di ruang-ruang parlemen? Gerakan Buruh ‘Goes Politics’: Mengapa Tidak? Saya melihat tren ini secara positif. Ada beberapa alasan mengapa buruh semestinya bisa masuk ke politik praktis dan memanfaatkan ruang-ruang politik formal yang tersedia. Pertama, setiap kebijakan terkait perburuhan merupakan produk politik. Maka dari itu, untuk mengoptimalkan pengaruh politiknya, buruh tidak hanya berpolitik di “luar pagar” tetapi harus masuk ke arena “dalam pagar” dimana di situ segala peraturan, regulasi, dan kebijakan terkait nasib buruh ditentukan. Kombinasi kedua jenis gerakan tersebut dapat memberikan kekuatan politik bagi gerakan buruh di Indonesia, teruatama untuk mengimbangi kekuatan pemilik modal (pengusha) yang selama ini sudah lama berkecimpung dalam politik praktis. Bahkan kelompok pengusaha telah menguasai sebagai besar kursi legislatif di tingkat nasional dan daerah. 2 Kedua, posisi kader elit organisasi buruh yang maju sebagai kandidat anggota dewan berbeda dengan kader partai politik umumnya. Mereka bukan calon “floating”, tetapi terikat dengan konstituen pemilih yang jelas (kelompok buruh). Jika terpilih, maka akan sangat mudah bagi masa buruh untuk memberikan penekanan politik kepada wakil yang mereka pilih, terutama dalam menyampaikan tuntuntan kebijakan politik yang pro-buruh. Ini berbeda pada kader partai yang cendrung bersifat ‘mengambang’ karena konstituens mereka berasal dari pemilih yang bervariasi. Ketiga, keikutsertaan elit serikat buruh dalam politik praktis dapat memutus stagnasi kepekaan proses regulasi atau kebijakan. Hal ini penting, terutama terkait isu sensitif yang berpengaruh terhadap kehidupan pekerja, seperti regulasi pengupahan dan regulasi-regulasi yang berkaitan dengan perusahaan. Pada titik ini kekuatan buruh di parlemen menentukan nasib buruh secara lebih luas. Keempat, ada dampak jangka panjang dari keikutsertaan buruh di politik praktis. Secara jangka panjang, keikutsetaan organisasi buruh bisa menjadi embrio bangkitnya kekuatan buruh dalam politik praktis melalui pendirian partai politik yang digagas oleh organisasi buruh, dan bahkan sangat berpotensi untuk menyuarakan kepentingan kelompok marjinal lainnya, seperti petani, nelayan, dan pedagang. Kelima, gerakan buruh di Indonesia, sebetulnya, sudah sejak lama menggunakan arena politik. partisipasi organisasi buruh dalam politik bukan hal baru. karena dalam sejarahnya pasca kemerdekaan (1945-1966) organisasi buruh begitu kuat baik di partai politik maupun di pemerintahan. Terlebih jika kita melihat dinamika gerakan buruh sebelum kemerdekaan dan masa pemerintahan Soekarno. Catatan Akhir Namun demikian upaya untuk mentransformasi gerakan buruh dari isu pabrik ke politik praktis tentunya tidak semudah yang dapat dibayangkan. Tidak hanya masalah fragmentasi internal organisasi buruh saat ini yang menjadi kendala inti, masalah politik trasaksional dan kekutan lobi internal juga menjadi tantangan tersendiri jika mereka mampu masuk dan terlibat dalam proses politik di parlemen. Dalam hal ini, kader serikat yang ingin masuk ke politik tidak hanya butuh dukungan dari konstituen buruh sebagai kelompok utama sumber suara, tetapi mereka juga harus memiliki kapasitas dan pengalaman organisasi yang mumpuni. Pada satu sisi, mereka harus mampu menempatkan kepentingan partai yang menjadi kendaraan politik, di sisi lain mereka juga dituntut mampu memperjuangkan kepentingan konstituen pemilih. Tantangan lainnya, tidak mudah bagi kader serikat buruh untuk menarik simpati pemilih di tengah kekuatan money politic dan kesadaran masa akar rumput yang masih perlu proses pendewasaan politik. Di sisi 3 lain, secara kuantitas jumlah buruh relatif tidak signifikan sehingga isu dan program yang diajukan tidak hanya kepentingan buruh secara specifik tetapi harus menjangkau isu publik yang lebih luas. Namun demikian, terlepas dari berbagai kendala tersebut, upaya gerakan buruh terlibat dalam politik praktis merupakan langkah strategis bagi penyeimbangan kekuatan politik dan signal kemajuan demokrasi di Indonesia. Upaya elit SP/SB untuk masuk ke politik praktis –beberapa sudah ada yang berhasil masuk menjadi anggota dewan— merupakan sebuah “ baby step” untuk kebangkitan gerakan buruh di masa mendatang. Selanjutnya, tinggal organisasi buruh yang memetik pembelajaran dari pengalaman selama mengikuti kontes politik dalam tiga pemilu terakhir. Pekerjaan Rumah terbesarnya adalah soal konsolidasi internal. Organisasi buruh bebas berkembang dengan berbagai bentuk ideologi yang mereka perjuangkan. Namun, ketika dihadapkan pada kepentingan politik lebih besar maka konsolidasi diantara mereka merupakan sebuah keharusan. Tanpa konsolidasi dan kesadaran politik yang matang diantara organisasi buruh dan anggotanya, akan sulit bagi Gerakan Buruh untuk bersaing secara optimal dalam arena politik praktis. Sebabnya bukan hanya pada kompleksnya intrik dan tipu muslihat yang ada di parlemen, tetapi juga karena kompetitor mereka adalah kekuatan kelompok tertentu yang relatif sudah lebih mapan dan berpengalaman secara politik. Nawawi Asmat adalah Kandidat PhD di Department of Politics and International Studies, University of Leeds. Ia sehari-hari bekerja sebagai Peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Minat kajiannya adalah Gerakan Buruh dan Gerakan Sosial di Indonesia. 4