80 PENDEKATAN DALAM PENELITIAN MAKNA PADA INSTITUSI

advertisement
PENDEKATAN DALAM PENELITIAN MAKNA
PADA INSTITUSI MEDIA MASSA
Irwanto
Program Studi Penyiaran Akademi Komunikasi BSI Jakarta
Jl. Kayu Jati V No. 2, Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur
[email protected]
Abstract
Media institutions in this case the mass media has the power to condition the message to be understood by the people. At a critical perspective, it means that is consumed by the community is the result of a
battle between media institutions. In this case, the meaning can not be separated from the text so that cultural
factors also contribute to the meaning of the fight in the field. On the other side of the ideological media
institutions bring each to be brought to the battlefield meaning to the power of the political economy of the
media contributes to the war. Thus there are two approaches that can be used to assess significance. The first
is known as the cultural studies approach and the second study political economy approach. As study materials, then both of these approaches are able to reach all aspects of the problem which is attached to the realm
of study related to mass media institutions, including the battle of meaning in the mass media institutions
Keyword : mass media, meaning, research
Abstraksi
Institusi media dalam hal ini media massa memiliki kekuatan untuk mengkondisikan pesan yang akan dimaknai oleh masyarakat. Pada perspektif kritis, ternyata makna yang dikonsumsi oleh masyarakat merupakan hasil dari pertarungan antar institusi media. Pada hal ini, makna tidak bisa lepas dari teks sehingga faktor budaya juga
turut andil dalam pertarungan di medan makna itu. Pada sisi lain institusi media membawa ideologinya masingmasing untuk dibawa ke medan perang makna hingga kekuatan ekonomi politik media turut berkontribusi pada
peperangan tersebut. Dengan demikian terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji makna.
Pertama dikenal dengan pendekatan kajian studi budaya serta yang kedua pendekatan ekonomi politik. Sebagai
bahan kajian, maka kedua pendekatan ini mampu menjangkau semua aspek persoalan yang tedapat pada ranah
kajian yang berhubungan dengan institusi media massa, termasuk pertarungan makna pada institusi media massa.
Kata kunci : media massa, makna, penelitian
I.PENDAHULUAN
Pengalaman hidup manusia melewati indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan bau.
Akan tetapi pengalaman manusia juga diperoleh dari
sesuatu yang abstrak. Seperti halnya fenomena dan kesadaran dari yang dipikirkan, bandingkan serta melalui proses mental. Manusia memiliki kapasitas untuk
memahami dunia dan sensasinya. Pemahaman yang
dihasilkan tidak begitu saja secara sederhana dipahaminya dalam persepsi. Manusia pun sadar akan hal ini.
Manusia sebagai makhluk ‘jiwa’ yang mencoba untuk
‘masuk akal’ dari dunianya sendiri. Manusia membagi
pemahaman, pemikiran serta perasaan kepada orang
lain melalui bahasa. Kapasitas manusia mengajak
proses berbagi sangat ditingkatkan oleh perkembangan
beragam
bentuk
media.
Pada
akhirnya
kemampuan manusia berbahasa, berbagi dan memahami pemahaman berujung pada kemampuan untuk memaknai. Sehingga mampu untuk melakukan
persepsi, memprosesnya, memahaminya dan kemudian berbagi dengan orang lain. Pada sebagian orang
beranggapan bahwa makna yang dijalani dalam kehidupan ini adalah hal yang sangat sederhana, seperti
halnya proses bernafas dengan menggunakan udara.
Proses ‘memaknai’ dipahami sebagai proses mengambil lalu diberikan serta refleksi bagaimana pemahaman tersebut dikonstruk. Namun makna tidak begitu
saja hadir. Memaknai adalah proses aktif yang terebentuk dari cara manusia menghadapi dan berpikir.
tentang dunia serta mencoba mencari cara untuk menyampaikan kepada orang lain mengenai apa yang
80
dipikirkannya. Memaknai juga merupakan menciptakan kembali (rekonstruk) .
Dalam dunia kontemporer, memaknai kerap
dibuat oleh institusi yang kita kenal dengan istilah
media. Lembagai ini memproduksi makna menjadi
profesi. Hal ini melibatkan munculnya hubungan
kekuatan antara
orang-orang dalam pengaturan
kelembagaan. Pengungkapan agenda, kepentingan
dan perjuangan antara orang-orang seperti itu membantu memberi wawasan ke dalam dunia makna yang
dilalui.
Memahami makna dalam lingkungan tidak
hanya pekerjan akademik saja. Bagaimanapun juga
kegagalan dalam merefleksikan makna berpotensi dapat menimbulkan manipulasi bagi mereka yang merefleksikan proses komunikasi ini, dan mengurangi kapasitas keterlibatan dalam lingkungan demokrasi.
Bagi mereka yang tertarik dalam pengungkapan makna dalam perspektif kritis terdapat dua
pendekatan yang dapat digunakan, yang pertama
dikenal dengan pendekatan kajian studi budaya dan
pendekatan ekonomi politik. Kajian budaya fokus
pada dekonstruksi teks dan sistem koding sebagai
upaya menghilangkan ketidakjelasan makna. Contohnya: kajian budaya tentang penyanyi pop Madona
diluar dimensi musik. Kajian ini mengeksplorasi apa
yang dikomunikasikannya tentang perilaku kontemporer melalui pemikiran feminisme. Sebuah analisa
tentang Madonna dan fans nya bisa menjadi sebuah
studi tentang tubuh wanita, seksualitas dan hubungan
gender dipahami (dikonstruk) dalam konvensional
dan alternatif sub budaya. Sementara pendekatan
ekonomi politik fokus pada bagaimana makna dibuat
oleh orang-orang yang terlibat dalam proses produksi
makna. Hal ini melibatkan eksplorasi posisi sosial
orang-orang, hubungan diantara mereka, perebutan
makna-produksi dan organisasi. Sebagai contoh,
ekonomi politik menggunakan kemungkinan hubungan antara isi pemberitan The Australian dan fakta
bahwa surat kabar ini bagian dari korporasi yang
dimiliki oleh Rupert Murdoch. Kedua pendekatan
kritis ini saling melengkapai dan bisa secara bersama
diaplikasikan untuk mendekonstruksi efek maksimum saat menganailsa proses komunikasi.
Studi budaya memberikan wawasan bahwa
manusia berenang dalam lautan makna yang menghasilkan proses semiosis yang berguna dalam menyediakan titik awal penggunaan semiotika. Kita lahir
ke dalam kolam makna dan alami proses internalisasi
hingga kita bersosialisasi dan belajar berkomunikasi.
Berbagai kolam komunikasi telah muncul sebagai
kelompok atau struktur makna yang telah beku dari
waktu ke waktu. Kolam komunikatif ini adalah gaya
81
komunikasi atau pola sirkulasi yang diambil pada
bentuk identifikasi yang kita sebut sebagai masyarakat
atau budaya. Kolam makna telah berkembang menjadi
‘budaya global’ yang telah digabungkan dari berbagai
variasi sub kolam (atau masyarakat) termasuk diantaranya Inggris, Amerika, Kanada dan Australia. Pada
masyarakat barat, variasi kolam telah tergabung dalam
produksi dan sistem sirkulasi yang kita kenal dengan
sebutan media. Sebagaimana salah satu diantara kita
yang telah terinternalisasi dengan makna yang ada
disekeliling kita sebagai manusia dan anggota dari
dari variasi grup sosial budaya. Makna ini kita gunakan untuk menghasilkan persona, untuk negosiasi
dan posisi kita di lingkungan sosial. Tetapi juga membantu untuk menciptakan dan meyebarkan makna ini
untuk proses hidup. Karena masyarakat dan budaya
tidak statis-mereka terus menerus menemukan kembali serta berjuang, tiap individu memberikan kontribusi untuk membentuk makna sosial dalam proses komunikasi sehari-hari. Kita tidak dapat menolong tapi
hanya mengubah struktur koding ketika individu berjuang agar masuk akal serta memberikan bentuk terhadap dunia ini. Sebab itulah, kolam makna tadi yang
membentuk kita dan pada gilirannya kita dibentuk
melalui kehidupan kita. Pergeseran kecil dalam kolam
makna akan menjadi perbedaan dalam tiap generasi.
Budaya kita berubah dan berkembang karena proses
komunikasi koding dan dekoding tidak dapat dihitung
dan transaksi kreatif antar manusia terus berkembang.
Begitu juga yang terjadi pada media massa di
Indonesia, baik itu cetak maupun elektronik. Monopoli, konglomerasi dan hegemoni media dipegang
oleh kalangan tertentu. Ini berimplikasi terhadap
pesan yang berada di ruang publik. Tiap-tiap perusahaan media tersebut berlomba-lomba menguasai opini
publik. Hal seperti ini sangat terasa sekali ketika masa
menjelang kampanye atau pada saat kampanye, baik
itu pada tingkat lokal seperti halnya pemilihan kepala
daerah atau pada saat pemilihan presiden. Bahkan
pada pemilihan presiden 2014 beberapa media secara
terang-terangan berpihak pada salah satu kontestan.
Di era kampanye 2014 lalu, bentuk komunikasi
politik yang sewajarnya dibolehkan hanya lewat kampanye dan dengan durasi waktu yang telah ditentukan,
namun semua itu dilanggar. Berita yang seharusnya
tidak bermuatan tendensius mendekung partai politik
atau calon presiden malah menjadi mesin kampanye.
Ranah jurnalistik berubah menjadi medan perang para
kontestan politik. Rakyat awam tidak bisa membedakan mana yang seha-rusnya diterima sebagai berita dan
mana yang seharusnya dipahami sebagai kampanye.
Ini terjadi karena pertarungan makna pada media
massa.
Tentunya persoalan ini akan menarik untuk dijadikan
objek penelitian. Tulisan ini menawarkan pendekatan
yang dapat digunakan peneliti untuk dijadikan metode
yang dapat digunakan dalam penelitian media massa.
II. PEMBAHASAN
2.1.Ekonomi-Politik Pada Kontekstualisasi Media
Membicarakan makna, lazimnya tidak bisa
lepas dari kekuasaan dan otoritas komunikator, dalam hal ini institusi media. Konten yang diterima dan
dikonsumsi audien yang berupa makna tadi bukan
hanya hasil dari proses komunikasi tapi juga hasil
dari proses ekonomi, bahkan kekuasaan. Ekonomi
politik media memandang bahwa, institusi media
harus dipandang sebagai bagian dari sistem ekonomi
yang juga berkaitan erat dengan sistem politik. Teori
ini memusatkan perhatian pada media sebagai proses komunikasi yang menghasilkan komoditas (isi).
Menurut Garnhan, McQuail dalam Kansong (2009:66) menyebutkan kualitas pengetahuan
tentang masyarakat yang diproduksi oleh media,
sebagian besar dapat ditentukan oleh transaksi berbagai ragam isi dalam kondisi yang memaksakan
perluasan pasar, pasar, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik media. Berbagai
kepentingan tadi terkait erat dengan kebutuhan untuk
memperoleh keuntungan dari hasil kerja media dan
juga untuk kepentingan bidang usaha lainnya untuk
memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya
kecenderungan monopolistis dan proses integrasi,
baik secara vertikal maupun horizontal. Keuntungan
yang dimaksud tidak hanya berupa uang dan materi
saja namun juga kontrol terhadap isu, wacana, serta
opini yang berujung pada kekuasaan. Jelas sekali
bahwa teori ekonomi politik media memandang media sebagai institusi ekonomi yang berupaya mencari
keuntungan dalam bentuk materi dan kekuasaan. Dengan demikian, memandang institusi ekonomi memiliki kekuatan dalam memproduksi dan mendistribusi
makna memiliki landasan yang kuat dalam dunia komunikasi.
Dalam kajian komunikasi, manusia berada pada kolam makna, dan kolam makna yang kita
huni ini tidak didasari oleh tindakan komunikasi
individu secara acak. Tentu semua individu berperan dalam pembuatan, serta sirkulasi makna. Namun beberapa dari individu dan kelompok mempunyai kekuasaan yang lebih dibandingkan dengan
yang lain dalam hal proses memproduksi makna.
Posisi masyarakat dibedakan berdasar hubungan
kekuasaan yang ada dalam masyarakat tersebut.
Jabatan seseorang adalah masalah yang kontekstual.
Masing-masing orang yang terlibat komunikasi adalah bagian dari konteks yang dibedakan oleh tempat
dan waktu. Makna yang dikonsumsi masyarakat membut ikatan kontekstual, berakar, dalam situasi yang
unik dan saling berhubungan. Kekuatan pendekatan
ekonomi politik menekankan pada analisa kontekstual komunikasi. Selama ekonomi politik hadir, makna
dibutuhkan untuk melihat eratnya ikatan (fisik dan
sementara) dalam wadah yang dibuat dan digunakan
oleh masyarakat sendiri. Seperti halnya gagasan untuk
menghilangkan makna kebenaran yang valid. Sebab
itulah, pendekatan ekonomi politik mencari ide yang
mana makna orisinal si pencetus awal dapat ditransportasikan secara sederhana melampau ruang dan
waktu. mungkin naif. Jadi makna bukanlah permainan
bahasa gratis, sebagaimana kosmologi Derrida (1976)
atau Laclau dan Mouffe (1985). Meski, makna dipahami sebagai permainan bahasa, tapi bahasa tersebut
terikat secara khusus pada sebuah hubungan manusia,
yang berdasarkan kenyataan dan waktu yang terukur.
Periode waktu, tempat dan kekuasaan merelatifkan
kebenaran. Banyak kebenaran yang sifatnya kontekstual serta hubungan kekuasaan memberikan sebuah
kebenaran.
Ekonomi politik menguji ‘makna’ yang menaruh perhatian pada pemetaan hubungan manusia
dan cara individu dalam meraih kekuasaan melalui
jabatan mereka, dan jabatannya di dalam media serta
sistem sirkulasinya. Gagasan ini mutlak bahwa makna berjuang sebagaimana orang-orang bekerja untuk
peningkatan jabatan mereka. Pada bingkai ini, makna
berimplikasi pada persoalan kontekstual yang berakar pada proses perebutan dan akuisisi kekuasaan.
Memperoleh akses ke sarana produksi komunikasi
atau sirkulasi merupakan upaya memproleh kekuasan. Dalam konteks apapun, kunci utamanya adalah
dengan kekuasaan, akan memperoleh dampak yang
luas dalam prose pembuatan makna dan sirkulasinya.
Sebab mereka memiliki akses yang luas dalam mengkoding sistem sirkulasi. Tidak heran, wacana yang
diproduksi (seperti halnya redaksi, film atau studio
tv, parlemen, pengadilan, perguruan tinggi dan balai
riset) dan media tempat wacana tersebut akan dilalui
sseperti halnya sekolah, media massa dan perusahaan
telekomuniksi adalah wadah penting untuk melakukan perjuangan. Terdapat perjuangan yang konstan
dalam merebut akses dan atau malah akses itu dibatasi. Kolam makna tempat dimana kita dilahirkan
adalah hasil dari pertarungan masa lampau yang berakar pada hubungan konteks masa lalu. Seperti halnya
hasil perjuangan dimana kita terlibat dalam kahidupan kita untuk membantu dalam membentuk kolam
82
makna untuk generasi selanjutnya.
Sifat dan hasil dari pertarungan ini mendefinisikan tekstur setiap konteks. Dalam ekonomi politik, tekstur bukanlah masalah pokok. Sebaliknya,
tekstur unik dari setiap waktu dan tempat malah menyediakan wawasan kunci ke dalam sifat dari setiap
‘makna’. Untuk alasan ini hubungan kekuasaan antar
manusia merupakan variabel sentral sebagai peta bagi
siapa saja yang mencoba memahami mengapa seperangkat makna beredar pada waktu dan tempat tertentu. Namun peta kekuasan adalah persoalan kompleks seperti makna pemetaan yang terus-menerus
mengalami pergeseran, begitu juga halnya distribusi
kekuasaan. Terdapat berjuang kekuasaan pada semua
kelompok manusia dan penataan yang konstan dalam
pemenang dan yang kalah dalam pertarungan itu.
Pergeseran kekuasaan pun terjadi sehingga terdapat dinamika makna dan perubahan produksi. Sampai disini, peta mekanik dari
produksi makna sangat kontekstual dan digunakan sesuai waktu, tempat serta pergantian hubungan makna sehingga terdapat dinamika makna
.dan perubahan produksi. Sampai disini, peta mekanik
dari produksi makna sangat kontekstual dan digunakan
sesuai waktu, tempat serta pergantian hubungan makna
dengan harga lebih murah. Sirkulai yang dikenal dengan massa ‘penny press’ terbentuk. Akhir abad 19, Amerika menemukan ‘korporasi’
sebagai bentuk organisasi. Sebuah bentuk industri budaya dan produksi serta distribusi makna.
Selanjutnya hal ini akan menjadi bentuk praktek baru
bagi perkembangan suratkabar, majalah, film, radio
dan televisi pada akhir abad 20 (praktek edukasi juga
termasuk ke dalam industri masif makna). Tibanya
jaringan digital elektronik selama tahun 1990 maka
83
2.2. Produksi Makna Secara Institusional – Media
Abad 20 memperlihatkan mulainya industrialisasi makna oleh ‘Barat’. Prosesnya dimulai oleh
suratkabar. Walau aslinya suratkabar dimulai pada
abad 15 di Jerman, namun hal itu tidaklah benarbenar secara institusional. Sirkulai media berkembang sesuai dengan revolusi industri. Abad 19
membawa berbagai perkembangan pada kreasi baru
dalam berkomunikasi, diawali oleh negara-negara
Anglo lalu menyebar keseluruh penjuru dunia. Penemuan cara untuk memproduksi kertas dan tinta
secara murah, mesin cetak dan mesin set mewujudkan teknologi untuk menghasilkan suratkabar. Revolusi industri juga membantu dalam penemuan jalan
raya, rel KA sebgai transportasi untuk menyebarkan pasar suratkabar tersebut. Lalu munculah iklan,
yang memungkinkan untuk membuat suratkabar
praktek ini mendapat tanda-tanda akan dimodifikasi.
Pada dasarnya, bentuk industrialisasi komunikasi ini melibatkan intelektual yang terinstitusional.
Intelektual datang untuk bekerja di dalam organisasi
yang memiliki hirarkis dan mekanisme. Dalam gambar 1 merepresentasikan komunikasi pada pra industrialisasi. Gambar 2 merepresentasikan efek dari
industrialisasi pembuatan makna. Dalam gambar 1
komunikasi adalah proses penyebaran. Makna mengalir diantara komunikator dan penerima (makna).
Dalam faktanya peran komunikator dan penerima
bisa berubah. Makna yang dihasilkan terlepas dari
peran tadi. Medium hanya fasilitas untuk melakukan
proses pertukaran tersebut. Pada gambar 2 komunikator bekerja pada institusi komunikasi – bentuk dari
medium menjadi bagian inti dari proses komunikasi
dan komunikator menajadi berfungsi sebagai industri
budaya.
Penting dalam model ini bahwa medium ‘kacau’ sebab menjadi satu dengan komunikator. Berangkat dari sudut pandang audiens atau penerima, tiap
jarak antara komunikator dan dan medium menjadi
tidak penting – ia tampak menjadi bagian dari entitas
organisasi ; media. Dalam perasaan komunikator telah terjadi de-personalisasi, ide individunya tidak lagi
menjadi penting dalam model komunikasi gambar 2.
Pada
ini, penerima mengonsumsi makna, dan ketika
.
menerima produk dari industri budaya, maka hal ini
menjadi identitas kolektif organisasi. Produk akhir
merupakan hasil kerja para pegawai dalam organisasi. Ini semakin sulit untuk diidentifikasi, apakah opini
atau hasil kerja sang pemilik media. Lebih lanjut tentang pemilik, kita akan menemukan peran institusi
(yang diarahkan untuk kepentingan institusi). Intelektual organisasi menciptakan makna yang didistribusikan melalui aturan ‘organisasi’ yang memerintah dan
mengontrol dirinya.
Lebih jauh institusi komunikasi merubah peran penerima dalam proses komunikasi, yang awalnya
sebagai partner (gambar 1) dalam menciptakan makna menjadi audiens yang pasif (gambar 2). Alur isi
pernyataan menjadi satu arah, dalam industrilisasi komunikasi hanya terdapat jangkauan yang kecil untuk
feedback. Secara simultan kapasitas untuk membawa
pesan telah jauh berubah. Melalui industrialisasi komunikasi jangkauan dan potensi pesan yang diantar
berubah secara dramatis. Saat ini sulit mencari jarak bagi seseorang untuk keluar dari jangkauan media. Jadi media massa secara simultan meningkatkan
pula jangkauan komunikator profesional. Ketika secara dramatis menyempitkan peran penerima menjadi
makhluk pasif dalam pembuatan makna. Akibat hal
ini industri budaya khas melakukan rekonseptualisasi
akan audiens sebagi massa penerima menjadi target yang tidak dikenal (publik). Komunikator secara
efektif melakukan de-personalisasi kepada penerima
pesan. Termasuk yang dialamatkan kepada manusia,
mereka akan lebih konstruk untuk menjangkau publik
melalui tekhnik sebagai laiknya komunikator profesional. Karena kualitas kemanusiaan dari pesan itu
telah mengalami pengurangan dalam waktu yang
bersamaan dan potensinya telah berubah oleh industrialisasi (Schoor, 1986:115-120)
Proses industrialisasi komunikasi mengarahkan pada komunikasi massa, yang terdapat konsep
top-down dan manipulasi. Industrialisasi mengurangi
jarak bagi orang biasa (awam) untuk menciptakan
makna. Akhirnya komunikasi massa terstruktur dan
top-down serta memiliki satu arahan (uni-directional),
tidak sebagaimana laiknya komunikasi popular yang
membiarkan arahan dari manapun (multi-directional)
dan komunikasi dengan pola bottom-up (White 1980:
24). Mahzab Frankfurt menaruh perhatian mengenai
industri budaya yang bertugas untuk mengenali, media massa yang mengarahkan dirinya kepada retorik
(top-down), melakukan manipulasi dan kontrol. Bagi
mahzab Frankfurt, industrialisasi komunikasi mengkreasikan sisi efek negatif. Hal ini meningkatkan
kesempatan untuk memanipulasi/mengkontrol komunikasi ketika terjadi reduksi jarak untuk melakukan
(komunikasi) dialog. Mahzab Frankfurt memandang
ini sebagai produksi ‘masyarakat’. Pada hal ini
masyarakat mayoritas dipercaya menjadi konsumen
pasif dari produksi makna secara massif. Perihal ini
menumuhkan masyarakat pasif ‘satu-dimensi’. Dimensi ini terlihat sebagai hasil alami dari penyempitan jangkauan suara/opini yang didistribusi secara
lebar dan ‘keras’ oleh media massa. Ini adalah efek
megapon sebuah industrialisasi yang cenderung untuk ‘mendiamkan’ suara-suara yang menurrut media
itu tidak pantas utuk didistribusikan. Dilihat dari sisi
yang berbeda, media menjadi agenda-setter. Menurut
Cohen (1963;13), media boleh jadi tidak sukses dalam
menyuruh orang utuk berpikir tentang apa, tapi sukses
menyuruh pembaca tentang apa yang diceritakannya.
Ini telah diargumentasikan bahwa masyarakat industri media massa mengatur agenda medianya untuk
disebarkan pada masyarakat. Sementara masyarakat
cenderung berpikir tentang posisi media dalam diskusi agenda sosial. Bila posisi ini diterima, maka relatif
hanya segelintir kelompok komunikator profesional
tang terlibat aktif dalam mengambil keputusan agenda
untuk ‘massa’. Jadi industrialisasi pemaknaan terlihat
menyempitkan pilihan dalam komunikasi. Namun
pada 1990 an industri budaya mulai mengalami reorgaisasi sebagai penyesuaaian terhadap kemungkinan
84
adanya temuan teknologi informasi. Intinya ketika
logika Ford telah masuk dalam industri budaya.
Secara teoritis hal ini mengkreasikan kemungkinan untuk menarik kembali media massa – karena komersialisasi media tidak lagi mengkonfirmasi
logika produksi massa yang bertujuan untuk mencari
pasar. Bagimanapun juga industri budaya tidak secara
fundamental menantang logika industri produksi media. Ini mudah terlihat dari audiens media massa yang
terfragmentasi, yang artinya media profesional menjadi spesifik dalam mentargetkan sasaranya. Akan
terjadi peningkatan jangkauan kepada komunikator
profesional untuk memanipulasi audiens lebih efektif. Tekhnologi media yang baru memiliki banyak
kemungkinan untuk pengembangan bentuk alternatif
(dialog-non top down) komunikasi yang secara fundamental menantang ‘satu-arah’ industri budaya abad
dua puluh. Tapi seiring dengan berkembangya jaman,
tidak ‘pas’ lagi, zamannya korporasi media global
yang sukses melakukan kolonisasi jarak berdasarkan
teknologi masa kini.
Dalam pandangan mahzab Frankfurt hal tersebut adalah benar, industrialisasi komunikasi mereduksi jarak dari ‘bawah ke atas’ melakukan pertarungan
makna saat mendapat kemungkinan terjadinya kontrol dari atas ke bawah. Kajiannya juga menyadarkan
bahwa media memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi opini.
2.3. Pertarungan Makna
Makna tidak dapat dipahami dari luar
kekuasaan dan pertarungan konteks yang spesifik. Sebagai contoh ‘affirmmative action’ mengandung satu makna di Amerika, ketika hal tersebut dideskripsikan sebagai kebijakan terhadap
meningkatnya representasi etnis minoritas dalam
beberapa kategori jabatan. Berbeda dengan di Afrika Selatan, affirmmative action dipahami sebagai
adanya reposisi etnis mayoritas dalam kekuasaan.
Pada akhirnya, seluruh masyarakat memiliki kelompok yang dominan dan mendominasi. Kelompok dominan memiliki dua mekanisme untuk
menciptakan dan mempertahankan dominasi, yakni
menggunakan kekerasan bagi siapapun yang melawan
kepentingan mereka, atau mengkreasikan dominasi
pada tatanan sosial yang memberikan mereka posisi
dominan. Pada umumnya semakin legitimate sekelompok orang, kian sedikit pula kekerasan yang digunakan. Dalam situasi delegitimasi yang serius, militer
bisa dikerahkan. Sebagai contoh; Malaysia pada tahun 1960, Vietnam pada tahun 1950 sampai 1970, Indonesia (Aceh) dan Checna (Rusia) pada tahun 90 an.
85
Pada situasi normal, kelas dominan tidak gunakan
kekerasan karena mereka sukses mengkriminalisasi
siapapun yang tidak tunduk dengan aturannya. Ini
berarti masyarakat ‘memahami’ bahwa hukum hanyalah sekadar ‘hukum’. Jadi ketika polisi, pengadilan,
penjara digunakan terhadap para kriminal yang mengancam sistem seolah terlihat hal yang sah. Aturan
kelompok dibuat untuk melindungi dominasi mereka.
Dalam hal ini proses pembuatan dan sirkulasi makna
menjadi hal penting bagi mereka yang akan mendominasi. Louw dalam Gramsci (1971) mencatat, elemen
kunci dalam membangun atau mempertahankan dominasi yaitu dengan suksesnya memanipulasi makna.
Kelompok dominan tentu terlibat dalam proses membangun hegemoni, dan inti dari proses ini adalah karya
intelektual yang terlibat dalam resultan pertarungan
makna. Bagi Gramsci, ada dua jenis intelektual yakni,
tradisional dan organik. Intelektual tradisional adalah
mereka mengadopsi cita-cita luhur dan menahan diri
menjauhkan diri dari perjuangan kontemporer. Sedangkan intelektual organik, tumbuh secara organik dari
jajaran kelompok yang berbeda dalam masyarakat.
Kelompok ini mengasilkan ide yang terjerat dengan
aspirasi kelompok mereka berasal. Yang penting, untuk Gramsci, pertarungan tentu terjadi karena akan
selalu ada konflik kepentingan antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dalam pandangan Gramsci, gagasan bahwa intelektual organik selalu terlibat dalam pertarungan untuk membantu kelompok
dominan melawan kolompok yang didominasi. Bagi
Gramci, makna merupakan hasil dari pertarungan
para intelektual hingga makna itu bersifat cair. Kelompok dominan berada dalam posisi yang untung,
karena mereka mempunyai sumber yang bisa digunakan untuk mempayar para profesional intelektual.
Dalam angapan ini pemilihan presiden dan legislator
dalam sistem demokrasi diuntungkan dengan sumbersumber yang digunaknnya untuk membuat kampanye dan donasi yang besar. Kontestan mampu untuk
membayar konsultan terbaik dan public relation (PR)
politik untuk meningkatkan peluang sukses dengan
meningkatkan kemungkinan menempatkan ide-ide
mereka pada agenda sosial.
Gramsci melihat mengenai pandangan intelektual yang akan dijadikan titik awal guna menganalisa produksi makna. Bagi Gramsci, para intelektual membangun hegemoni. Hegemoni adalah kreasi
dan pemeliharaan dari kelompok yang mendominasi
kepada kelompok yang didominasi. Menurut Gramsci, ini melibatkan intelektual dengan tiga tugas nya;
Pertama, mereka membantu membangun legitimasi
bagi kelompok dominan suatu masyarakat. Ini melibatkan organisasi dan dukungan kepada kepentingan
dan tujuan kelompok dominan tersebut. Ini juga berarti kelompok yang didominasi menerima ‘kepemimpinan’ dan aturan-aturan dari kelompik dominan. Legitimasi ini, hal ini makin mudah terlihat dalam sistem
media dan pendidikan. Kedua, para intelektual membantu organisasi dan berkompromi. Perihal ini jelas
terlihat dalam parlemen, ketika perjanjian, kompromi
dan tawar-menawar terjadi antara kelompok yang saling berkepentingan. Ketiga, para intelektual membantu melakukan strategi untuk mengarahkan kekuatan
politik. Bagi Gramsci, kekerasan mendasari seluruh
hegemoni. Mungkin tidak benar-benar perlu menggunakan kekerasan terhadap sebagian besar warga namun ancaman kekerasan niscaya ada dimana-mana.
Sebuah contoh adalah penegakan aturan hukum oleh
polisi dan sistem peradilan. Bagi kebanyakan warga,
memahami konsekuensi dari melanggar hukum sudah cukup untuk mencegah mereka dari melakukannya. Para intelektual mengatur hal ini menjadi sebuah
'kekuatan' yang sah. Gramsci menambahkan tugas
intelektual, yaitu pengembangan pengetahuan teknokratis, yaitu intelektual membantu untuk mengatur
perekonomian yang berhubungan dengan produksi.
Louw dalam Habermas (1971) mengemukakan bahwa ideologi teknokratis, yakni naturalisasi 'kemajuan'
didasarkan pada perkembangan teknologi, ini telah
diadopsi pada masyarakat Barat. Pada akhirnya, kolam makna dalam konteks apapun adalah hasil dari
hegemonik dan kontra- hegemonik dan keterlibatan
atau pertarungan atau persaingan makna. Budaya
dibangun dari hasil perjuangan tersebut yakni dari
proses pengkodean hegemonik dan kontra hegemonik, dari proses penerimaan dan pengkodean kembali,
dari hybridisasi dan sintesis. Untuk lebih detilnya,
hasil (makna) diperoleh juga dari sistem budaya lain
karena tidak terisolasi dari satu sama lain . Terkadang
makna tersebut sengaja direkayasa oleh para intelektual sebagai bagian dari pertempuran hegemonik mereka. Tetapi banyak informasi dan ide-ide (makna) yang
diperoleh dari aliran informasi global. Oleh karena itu
, perjuangan dalam satu konteks dapat menghasilkan
pergeseran makna yang secara tidak sengaja tumpah
ke dalam konteks lain . Sebagai contoh,wacana multikulturalisme pada awalnya dikembangkan untuk
yang berurusan dengan masalah sosial Amerika Utara
tetapi menyebar melalui intelektual ke Australia.
Penting, perjuangan atas makna tidak perlu
dilihat sebagai Fenomena murni subjektif karena
pergeseran makna memiliki konsekuensi materi dan
sebaliknya. Valentin Volosinov (1973) memelopori
gagasan perjuangan semiotik yang bersamaan didasarkan pada perebutan makna dan perebutan
sumber daya material sehingga dengan mengubah
sifat berarti kita juga bisa mengubah interaksi manusia, organisasi sosial dan distribusi sumber daya. Keberhasilan Feminis dalam menempatkan isu-isu gender dalam agenda sosial, Misalnya, interaksi manusia
berubah, praktek kerja dan sumber daya distribusi dalam masyarakat Barat maju. Kebalikannya juga benar
dari perspektif Volosinovian: mengubah pergeseran
hubungan interaksi manusia yang kemudian menggeser makna. Misalnya, transfer kesejahteraan ke
tangan kulit hitam pasca-apartheid di Afrika Selatan
dengan cepat mengubah banyak mantan pro-sosialis
'kawan-kawan' ke pro-'perdagangan bebas' pengusaha. Interaktivitas ini antara struktur sosial, ekonomi
dan kesadaran signifikasi juga bidang yang menarik
buat tertarik Jurgen Habermas. Bagi Habermas, interpenetrasi kompleks dari material dan tindakan
subyektif serta kesadaran merupakan ‘kehidupan’.
Namun pandangan, Volosinov akan kompleksitas ini
termasuk keprihatinan dengan apa yang mungkin disebut ‘pertarungan bahasa ‘ – pertarungan untuk mengkonstruk dan merekonstruksi masyarakat, budaya dan
sistem ekonomi, pada beberapa bagian, pertarungan
melibatkan pelepasan dan perebutan kembali makna
sampai ke tingkat terkecil signifikansi, yaitu tandatanda. Tapi pergeseran semiotik menghasilkan perubahan lebih dari bahasa dan pandangan dunia (bagaimana kita ‘melihat’ dan ‘berbicara’ tentang dunia),
dan ini dapat mengubah cara hidup manusia. Manusia
selalu diposisikan dan direposisi dalam hubungan
yang berubah ini. Jadi ada kemungkinan memproduksi
satu set makna dominan yang permanen stabil. Sebaliknya, pekerjaan hegemonik melibatkan tugas yang
tidak pernah berakhir menghadapi tantangan, penyimpangan, penerimaan, pelencengan, pergeseran pola
aliansi antara relasi sosial. Makna hanya hegemonik
sementara. Karena, dari saat konsepsi, mereka berada
di bawah tantangan. Meskipun demikian, akan selalu
ada beberapa intelektual berusaha mengendalikan
dan menstabilkan makna. Kemudian menjadi pertanyaan sampai sejauh mana makna dapat dikendalikan?
2.3. Pengendalian Makna
Secara luas terdapat dua perspektif pada kontrol makna. Pendapat pertama menyatakan bahwa
makna yang dikonsumsi dapat dikendalikan dan dimanipulasi. Dalam konteks ini mahzab kontrol memegang peranan penting sebagai dasar pemikiranya.
Sedang aspek teori peluru dan konsep propaganda
menjadi landasan untuk menganalisanya. Sehubungan
dalam hal ini konsep kaum Marxis ortodoks (dalam
ideologi kelasnya) serta strukturalis menjadi irisan
pemikiran ini. Sebab mereka mempercayai adanya
86
penjara rumah bahasa. Makna yang hadir di tengah
audiens sebagai sesuatu yang tersandera oleh bahasa.
Di sisi lain, ada pendekatan tentang makna yang berpendapat bahwa makna liar yang artinya tidak dapat
dikontrol karena penerima aktif untuk membaca, menafsirkan dan mengirim makna bagi diri mereka sendiri. Pendekatan ini menekankan kreatifitas manusia
yang aktif dalam proses komunikasi dan menantang
gagasan bahwa auidens mudah tertipu dan sangat terbuka untuk dimanipulasi oleh komunikator profesional. Pendukung pendekatan ini David Morley (1992) ,
John Fiske (1987) dan teori penerimaan Holub (1984) .
Dua perspektif ini tidak perlu dipaksa saling
mutual. Hal ini dimungkinkan untuk memahami individu dan kelompok yang berusaha untuk mengendalikan produksi dan distribusi makna yang sukses
pada kelompok dan konteks tertentu, namun tidak
berhasil pada orang lain. Hal ini sama, seperti halnya
membayangkan berbagai tingkat pembaca aktif atau
penerima yang berada pada konteks yang berbeda,
kasus ini menantang pendekatan komunikasi manipulatif. Pada akhirnya, bagi kebanyakan orang, mungkin akan ada dialektika yang terus bergeser antara
menjadi rentan terhadap manipulasi atau kontrol
dan keterlibatannya dalam penerimaan. Pergeseran
dialektika terkait dengan relasional berbasis kontekstual variabel, mengubah keanggotaan kelompok
dan perbedaan individu yang menentukan kecenderungan seseorang untuk menjadi audiens yang aktif.
Terdapat kejelasan bahwa akan selalu ada beberapa individu atau kelompok yang berusaha mengendalikan makna. Pondasi ini adalah persaingan
sumber daya yang mencakup material, budaya dan
status. Kehidupan ini ditetapkan oleh parameter sosial yang memfasilitasi atau menghambat akses ke
sumber daya tersebut. Konteks berbeda sehubungan
dengan bagaimana sumber daya yang terbatas. Selama ada sumber daya yang memadai untuk memenuhi
semua, maka pertarungan akan terjadi antara kelompok dan individu. Dan hasil dari perjuangan tersebut adalah aturan tata kelola dalam konteks apapun.
Para pendukung perspektif Gramsci sampai Foucault
sepakat pertempuran atas makna terpusat dalam hal
ini, karena aturan ditetapkan dalam makna-struktur.
Setiap pemain yang terlibat dalam proses sirkulasi
makna dapat melakukan kontrol.
Satu kelompok akan memperoleh keuntungan lebih dari kelompok lainnya. Keyakinan bahwa beberapa telah berhasil melakukan ‘kontrol’ atas makna akan menghasilkan
kekhawatiran tentang penyimpaangan dan pembatasan
terhadap proses komunikasi. Pandangan ini menimbulkan sebuah gagasan komunikasi yang terdistorsi,
87
yakni terjadi pengurangan dalam bentuk ideal komunikasi.
Gagasan 'komunikasi terdistorsi' selalu mengasumsikan bahwa komunikasi non-terdistorsi bisa
eksis. Ini juga menyiratkan beberapa agen manusia
harus disalahkan akan distorsi tadi. Jadi menimbulkan pertanyaan: apa yang mendorong agen tersebut
mendistorsi komunikasi? Eksplorasi ini telah berkembang dari teori mutakhir - sebagian besar berhubungan dengan Marxis yang bermutasi konsep 'ideologi' melalui konspirasi sederhana teori media kontrol dan
kepemilikan.
Pendekatan lain untuk kontrol makna, yaitu
proses komunikasi yang dibatasi dalam beberapa
cara. Ada dua pandangan akan hal ini, yaitu; human
condition dan human action. Ide pandangan pertama
menyatakan bahwa proses komunikasi pada manusia
ialah 'alami'. Pendukungnya adalah kaum strukturalis
Perancis yang diprakarsai oleh Saussure, yang percaya
bahwa manusia lahir ke dalam struktur linguistik yang
kemudian mengatur (membatasi) pengalaman dan perilaku. Pada pendekatan ini , ada pembatasan komunikasi karena manusia selalu ditakdirkan oleh ‘penjara-rumah bahasa’ yang permanen. Pemikiran linguistik
‘penjara’ dibangun oleh siapa pun sehingga tidak bisa
ditantang atau diubah. Sebuah versi modifikasi dari
‘linguistik penjara’ dikembangkan oleh Volosinov,
yang menerima bahwa penataan pembatasan terjadi
secara alami , tetapi tidak percaya bahwa struktur
seperti itu secara permanen. Sebaliknya, ia melihat
tindakan manusia berinteraksi dengan struktur bahasa
yang dialami sehingga dapat dialihkan dan berkembang.
Pandangan kedua menganggap pembatasan
komunikatif tidak ‘alami’ melainkan sebagai hasil
produksi manusia. Pembatasan tersebut dilakukan
secara sengaja ketika komunikator profesional sadar
memutuskan untuk memanipulasi atau mensensor arus
komunikasi. Namun bisa jadi, pembatasan tidak perlu
dilakukan dengan sengaja. Sebab komunikator profesional dengan sadar melakukan praktek penyempitan
aliran informasi sebagai bagian dari standar prosedur
ataupun kebijakan institusinya.
Ternyata aspek “memilih, bisa diajarkan dan
berprilaku sesuai kehendak hati” yang terdapat pada
jiwa manusia dilupakan pada kedua pemahaman tentang kontrol komunikasi. Manusia bisa memilih, bisa
diajarkan dan berprilaku sesuai keinginannya, ini bisa
mengurangi efek “membatasi” tadi. Pada pandangan ini akan muncul kelompok yang bisa menggeser
media dan lembaga sejenis dalam memposisikan wacana di ruang publik. Ini bisa dilihat di Amerika Utara
dan Australia dengan adanya feminis, gay, dan etnis
minoritas yang bisa dimobilisasi. Contoh lain di Afrika Selatan yakni berubahnya wacana dominan pemerintah yang beredar. Nasionalisme hitam diganti
nasionalisme Afrika sebagai wacana dominan dan elit
penguasa baru berusaha 'mengajar' orang untuk 'melihat' dan berperilaku berbeda.
Van Schoor, M. 1986. What is Communication? Pretoria: J.L. Van Schaik.
III. PENUTUP
Makna yang terdapat dalam dalam dunia komunikasi bukanlah sekadar hasil dari distribusi simbol komunikator dalam hal ini media kepada audiens.
Namun lebih pada hasil pertarungan relasi-relasi sosial yang terlibat dalam produksi, distribusi dan konsumsi makna itu sendiri. Betapapun institusi media
melalui kekuatan ekonomi-politiknya berupaya untuk
melakukan kontrol terhadap makna, namun pada sisi
lain audiens mempunyai otoritas sendiri untuk memaknai makna itu sendiri.
Semua aktor relasi-relasi sosial yang aktif
dalam memproduksi, mendistribusi dan memaknai
makna itu sendiri. Pada akhirnya makna dalam komunikasi bukanlah sekadar objek yang dibatasi oleh
pemahaman gramatikal namun lebih pada objek yang
memiliki ideologi dari pemenang dalam pertarungan
makna.
DAFTAR PUSTAKA
Cohen, B.C. 1963. The Press and Foreign Policy.
Princeton. NJ: Princeton University Press.
Derrida, J. 1976. Grammatology, Baltimore, MD:
Johns Hopkins University Press.
Fiske, J. 1987. Television Culture. London: Routledge.
Holub, R. 1984. Reception Theory. London: Methuen.
Kansong, Usman. 2009. Ekonomi media : pengantar
konsep dan aplikasi, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Laclau, E. & Mouffe, C. 1985. Hegemony and Socialist Strategy. London: Verso.
Louw, P.Eric. 2001. Media and Cultural Production,
London, Sage Publications Ltd.
Morley, D. 1992. Television, Audiences & Cultural
Studies. London. Routledge
Tomaselli, K.G. 1986. A Contested Terrain: Struggle
through culture, Inaugural Lecture, ietermaritzburg: University of Natal Press.
White, R.A. .1980. Communicacion Popular, Language of Liberation, Media Development, XXVII (3/80).
88
Download