Pengertian Arsitektur Kolonial Arsitektur kolonial merupakan sebutan singkat untuk langgam arsitektur yang berkembang selama masa penjajahan Bangsa Eropa di tanah air. Masuknya unsur Eropa ke dalam komposisi kependudukan menambah kekayaan ragam arsitektur di nusantara. Semangat modernisasi dan globalisasi (khususnya pada abad ke-18 dan ke-19) memperkenalkan bangunan modern seperti administrasi pemerintah kolonial, rumah sakit atau fasilitas militer. Bangunan – bangunan inilah yang disebut dikenal dengan bangunan kolonial. Arsitektur kolonial lebih banyak mengadopsi gaya neo-klasik, yakni gaya yang berorientasi pada gaya arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Ciri menonjol terletak pada bentuk dasar bangunan dengan trap-trap tangga naik (cripedoma). Kolom-kolom dorik, ionik dan corinthian dengan berbagai bentuk ornamen pada kapitalnya. Bentuk pedimen, yakni bentuk segi tiga berisi relife mitos Yunani atau Romawi di atas deretan kolom. Bentuk-bentuk tympanum (konstruksi dinding berbentuk segi tiga atau setengah lingkaran) diletakkan di atas pintu dan jendela berfungsi sebagai hiasan. Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya Barat dan Timur. Arsitektur ini hadir melalui karya arsitek Belanda dan diperuntukkan bagi bangsa Belanda yang tinggal di Indonesia, pada masa sebelum kemerdekaan. Arsitektur yang hadir pada awal masa setelah kemerdekaan sedikit banyak dipengaruhi oleh arsitektur kolonial disamping itu juga adanya pengaruh dari keinginan para arsitek untuk berbeda dari arsitektur kolonial yang sudah ada. Arsitektur klonial Belanda adalah gaya desain yang cukup popular di Netherland tahun 1624-1820. Ciri-cirinya yakni facade simetris, material dari batu bata atau kayu tanpa pelapis, entrance mempunyai dua daun pintu, pintu masuk terletak di samping bangunan, denah simetris, jendela besar berbingkai kayu, terdapat dormer (bukaan pada atap) Wardani. Arsitektur kolonial adalah arsitektur cangkokan dari negeri induknya Eropa kedaerah jajahannya, Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur Belanda yang dikembangkan di Indonesia, selama Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda sekitar awal abad 17 sampai tahun 1942. Eko Budihardjo (1919), menjelaskan arsitektur kolonial Belanda adalah bangunan peninggalan pemerintah kolonial Belanda seperti benteng Vastenburg, Bank Indonesia di Surakarta dan masih banyak lagi termasuk bangunan yang ada di Karaton Surakarta dan Puri Mangkunegaran. a. Gaya bangunan Gaya berasal dari bahasa Latin stilus yang artinya alat bantu tulis, yang maksudnya tulisan tangan menunjukan dan mengekspresikan karakter individu. Dengan melihat tulisan tangan seseorang, dapat diketahui siapa penulisnya. Gaya bisa dipelajari karena sifatnya yang publik dan sosial Wardani (2009). Gaya desain ini timbul dari keinginan dan usaha orang Eropa untuk menciptakan negara jajahan seperti negara asal mereka. Pada kenyataannya, desain tidak sesuai dengan bentuk aslinya karena iklim berbeda, material kurang tersedia, teknik di negara jajahan, dan kekurangan lainnya. Akhirnya, diperoleh bentuk modifikasi yang menyerupai desain di negara mereka, kemudian gaya ini disebut gaya colonial. b. Bentuk Arti kata bentuk secara umum, menunjukkan suatu kenyataan jumlah, tetapi tetap merupakan suatu konsep yang berhubungan. Juga disebutkan sebagai dasar pengertian kita mengenai realita dan seni.dalam arsitektur, arti kata bentuk mempunyai pengertian berbeda-beda, sesuai dengan pandangan dan pemikiran pengamatnya, (Suwondo, 1982). Bentuk adalah wujud dari organisasi ruang yang merupakan hasil dari suatu proses pemikiran. Proses didasarkan atas pertimbangan fungsi dan usaha pernyataan diri (ekspresi). Menurut Mies van der Rohe dalam Sutedjo (1982) bentuk adalah wujud dari penyelesaian akhir dari konstruksi yang pengertiannya sama. Benjemin Handler mengatakan, bentuk adalah wujud keseluruahan dari fungsi-fungsi yang bekerja secara bersamaan, yang hasilnya merupakan susunan suatu bentuk Bentuk merupakan ekspresi fisik yang berupa wujud dapat diukur dan berkarakter karena memeilki tekstur berupa tampak baik berupa tampak tiga dimensi maupun tampak dua dimensi. c. Fasade/Tampak bangunan Fasade bangunan merupakan elemen arsitektur terpenting yang mampu menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan. Akar kata fasade (façade) diambil dari kata latin facies yang merupakan sinonim dari face (wajah) dan appearance (penampilan). Oleh karena itu, membicarakan wajah sebuah bangunan, yaitu fasade, yang kita maksudkan adalah bagian depan yang menghadap jalan, Juanda (2011). Krier dalam Juanda (2011) Fasade adalah representasi atau ekspresi dari berbagai aspek yang muncul dan dapat diamati secara visual. Dalam konteks arsitektur kota, fasade bangunan tidak hanya bersifat dua dimensi saja akan tetapi bersifat tiga dimensi yang dapat merepresentasikan masing-masing bangunan tersebut dalam kepentingan public kota atau sebaliknya. Untuk itu komponen fasade bangunan yang diamati meliputi Selanjutnya menurut Krier (2001), wajah bangunan juga menceritakan dan mencerminkan kepribadian penghuni bangunannya, memberikan semacam identits kolektif sebagai suatu komunitas bagi mereka, dan pada puncaknya merupakan representasi komunitas tersebut dalam publik. Aspek penting dalam wajah bangunan adalah pembuatan semacam pembedaan antara elemen horizontal dan vertikal, dimana proporsi elemen tersebut harus sesuai terhadap keseluruhannya. d. Elemen arsitektur Pengaruh budaya barat terlihat pada pilar-pilar besar, mengingatkan kita pada bentuk arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Pintu termasuk terletak tepat ditengah, diapit dengan jendela-jendela besar pada kedua sisinya. Bangunan bergaya kolonial adalah manifestasi dari nilai-nilai budaya yang ditampilkan bentuk atap, dinding, pintu, dan jendela serta bentuk ornamen dengan kualitas tinggi sebagai elemen penghias gedung. Elemen-elemen pendukung wajah bangunan menurut Krier (2001), antara lain adalah sebagai berikut: e. Atap Jenis atap ada bermacam-macam. Jenis yang sering dijumpai saat ini adalah atap datar yang terbuat dari beton cor dan atap miring berbentuk perisai ataupun pelana. Secara umum, atap adalah ruang yang tidak jelas, yang paling sering dikorbankan untuk tujuan eksploitasi volume bangunan. Atap merupakan mahkota bagi bangunan yang disangga oleh kaki dan tubuh bangunan, bukti dan fungsinya sebagai perwujudan kebanggaan dan martabat dari bangunan itu sendiri. Secara visual, atap merupakan sebuah akhiran dari wajah bangunan, yang seringkali disisipi dengan loteng, sehingga atap bergerak mundur dari pandangan mata manusia. Perlunya bagian ini diperlakukan dari segi fungsi dan bentuk, berasal dari kenyataan bangunan memiliki bagian bawah (alas) yang menyuarakan hubungan dengan bumi, dan bagian atas yang memberitahu batas bangunan berakhir dalam konteks vertikal. f. Pintu Pintu memainkan peranan penting dan sangat menentukan dalam menghasilkan arah dan makna yang tepat pada suatu ruang. Ukuran umum pintu yang biasa digunakan adalah perbandingan proporsi 1:2 atau 1:3. ukuran pintu selalu memiliki makna yang berbeda, misalnya pintu berukuran pendek, digunakan sebagai entrance ke dalam ruangan yang lebih privat. Skala manusia tidak selalu menjadi patokan untuk menentukan ukuran sebuah pintu. Contohnya pada sebuah bangunan monumental, biasanya ukuran dari pintu dan bukaan lainnya disesuaikan dengan proporsi kawasan sekitarnya. Posisi pintu ditentukan oleh fungsi ruangan atau bangunan, bahkan pada batasan-batasan fungsional yang rumit, yang memiliki keharmonisan geometris dengan ruang tersebut. Proporsi tinggi pintu dan ambang datar pintu terhadap bidang-bidang sisa pada sisi-sisi lubang pintu adalah hal yang penting untuk diperhatikan. Sebagai suatu aturan, pengaplikasian sistem proporsi yang menentukan denah lantai dasar dan tinggi sebuah bangunan, juga terhadap elemen-elemen pintu dan jendela. Alternatif lainnya adalah dengan membuat relung-relung pada dinding atau konsentrasi suatu kelompok bukaan seperti pintu dan jendela. g. Jendela Jendela dapat membuat orang yang berada di luar bangunan dapat membayangkan keindahan ruangan-ruangan dibaliknya, begitu pula sebaliknya. Krier (2001), mengungkapkannya sebagai berikut: “...dari sisi manapun kita memasukkan cahaya, kita wajib membuat bukaan untuknya, yang selalu memberikan kita pandangan ke langit yang bebas, dan puncak bukaan tersebut tidak boleh terlalu rendah, karena kita harus melihat cahaya dengan mata kita, dan bukanlah dengan tumit kita: selain ketidaknyamanan, yaitu jika seseorang berada di antara sesuatu dan jendela, cahaya akan terperangkap, dan seluruh bagian dari sisa ruangan akan gelap...” Pada beberapa masa, evaluasi dan makna dari tingkat-tingkat tertentu diaplikasikan pada rancangan jendelanya. Susunan pada bangunan-bangunan ini mewakili kondisi-kondisi sosial, karena masingmasing tingkat dihuni oleh anggota dari kelas sosial yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan jendela pada wajah bangunan, seperti penataan komposisi, yaitu dengan pembuatan zona wajah bangunan yang terencana. Memperhatikan keharmonisan proporsi geometri, jendela memberikan distribusi pada wajah bangunan, oleh karena itu, salah satu efek atau elemen tertentu tidak dapat dihilangkan atau bahkan dihilangkan. Jendela dapat bergabung dalam kelompok-kelompok kecil atau membagi wajah bangunan dengan elemen-elemen yang hampir terpisah dan membentuk simbol atau makna tertentu. h. Dinding Keberadaan jendela memang menjadi salah satu unsur penting dalam pembentukan wajah bangunan bangunan, akan tetapi dinding juga memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya dengan jendela, dalam pembentukan wajah bangunan. Penataan dinding juga dapat diperlakukan sebagai bagian dari seni pahat sebuah bangunan, bagian khusus dari bangunan dapat ditonjolkan dengan pengolahan dinding yang unik, yang bisa didapatkan dari pemilihan bahan, ataupun cara finishing dari dinding itu sendiri, seperti warna cat, tekstur, dan juga tekniknya. Permainan kedalaman dinding juga dapat digunakan sebagai alat untuk menonjolkan wajah bangunan. Perkembangan Arsitektur Kolonial di Indonesia Sejarah mencatat, bahwa bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Portugis, yang kemudian diikuti oleh Spanyol, Inggris dan Belanda. Pada mulanya kedatangan mereka dengan maksud berdagang. Mereka membangun rumah dan pemukimannya di beberapa kota di Indonesia yang biasanya terletak dekat dengan pelabuhan. Dinding rumah mereka terbuat dari kayu dan papan dengan penutup atap ijuk. Namun karena sering terjadi konflik mulailah dibangun benteng. Hampir di setiap kota besar di Indonesia. Dalam benteng tersebut, mulailah bangsa Eropa membangun beberapa bangunan dari bahan batu bata. Batu bata dan para tukang didatangkan dari negara Eropa. Mereka membangun banyak rumah, gereja dan bangunanbangunan umum lainnya dengan bentuk tata kota dan arsitektur yang sama persis dengan negara asal mereka. Dari era ini pulalah mulai berkembang arsitektur kolonial Belanda di Indonesia. Setelah memiliki pengalaman yang cukup dalam membangun rumah dan bangunan di daerah tropis lembab, maka mereka mulai memodifikasi bangunan mereka dengan bentuk-bentuk yang lebih tepat dan dapat meningkatkan kenyamanan di dalam bangunan Periodesasi Arsitektur Kolonial a. Abad 16 sampai tahun 1800 – an Waktu itu Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda, VOC. Arsitektur Kolonial Belanda selama periode ini cenderung kehilangan orientasinya pada bangunan tradisional di Belanda. Bangunan perkotaan orang Belanda pada periode ini masih bergaya Belanda dimana bentuknya cenderung panjang dan sempit, atap curam dan dinding depan bertingkat bergaya Belanda di ujung teras. Bangunan ini tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas, atau tidak beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat. Kediaman Reine de Klerk (sebelumnya Gubernur Jenderal Belanda) di Batavia. b. Tahun 1800-an sampai tahun 1902 Pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari VOC. Setelah pemerintahan tahun 1811-1815 wilayah Hindia Belanda sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Pada saat itu, di Hindia Belanda terbentuk gaya arsitektur tersendiri yang dipelopori oleh GubernurJenderal HW yang dikenal engan the Empire Style, atau The Ducth Colonial Villa: Gaya arsitektur neo-klasik yang melanda Eropa (terutama Prancis) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya berbentuk gaya Hindia Belanda yang bercitra Kolonial yang disesuaikan dengan ingkungan lokal, iklim dan material yang tersedia pada masa itu. Bangunanbangunan yang berkesan grandeur (megah) dengan gaya arsitektur Neo Klasik dikenal Indische Architectuur karakter arsitektur seperti: - Denah simetris dengan satu lantai, terbuka, pilar di serambi depan dan belakang (ruang makan) dan didalamnya terdapat serambi tengah yang mejuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lainnya. - Pilar menjulang ke atas (gaya Yunani) dan terdapat gevel atau mahkota di atas serambi depan dan belakang. c. Menggunakan atap perisai. Tahun 1902 sampai tahun 1920-an Secara umum, ciri dan karakter arsitektur kolonial di Indonesia pada tahun 19001920-an : a. Menggunakan Gevel (gable) pada tampak depan bangunan b. Bentuk gable sangat bervariasi seperti curvilinear gable, stepped gable, gambrel gable, pediment (dengan entablure). c. Penggunaan Tower pada bangunan d. Tower pada mulanya digunakan pada bangunan gereja kemudian diambil alih oelh bangunan umum dan menjadi mode pada arsitektur kolonial Belanda pada abad ke 20. e. Bentuknya bermacam-macam, ada yang bulat, segiempat ramping, dan ada yang dikombinasikan dengan gevel depan. f. Penggunaaan Dormer pada bangunan g. Penyesuaian bangunan terhadap iklim tropis basah h. Ventilasi yang lebar dan tinggi. i. Membuat Galeri atau serambi sepanjang bangunan sebagai antisipasi dari hujan dan sinar matahari. d. Tahun 1920 sampai tahun 1940-an Gerakan pembaharuan dalam arsitektur baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini mempengaruhi arsitektur kolonial Belanda di Indonesia. Pada awal abad 20, arsitek-arsitek yang baru datang dari negeri Belanda memunculkan pendekatan untuk rancangan arsitektur di Hindia Belanda. Aliran baru ini, semula masih memegang unsur-unsur mendasar bentuk klasik, memasukkan unsur-unsur yang terutama dirancang untuk mengantisipasi matahari hujan lebat tropik. Selain unsur-unsur arsitektur tropis, juga memasukkan unsur-unsur arsitektur tradisional (asli) Indonesia sehingga menjadi konsep yang eklektis. Konsep ini nampak pada karya Maclaine Pont seperti kampus Technische Hogeschool (ITB), Gereja Poh sarang di Kediri. Beberapa Aliran yang Mempengaruhi Perkembangan Arsitektur Kolonial di Indonesia a. Gaya Neo Klasik (the Empire Style / the Dutch Colonial Villa) (tahun 1800) Ciri – Ciri dan Karakteristik : a. Denah simetris penuh dengan satu lanmtai atas dan ditutup dengan atap perisai. b. Temboknya tebal c. Langit – langitnya tinggi d. Lantainya dari marmer e. Beranda depan dan belakang sangat luas dan terbuka f. Diujung beranda terdapat barisan pilar atau kolom bergaya Yunani (doric, ionic, korinthia) g. Pilar menjulang ke atas sebagai pendukung atap h. Terdapat gevel dan mahkota diatas beranda depan dan belakang i. Terdapat central room yang berhubungan langsung dengan beranda depan dan belakang, kiri kananya terdapat kamar tidur j. Daerah servis dibagian belakang dihubungkan dengan rumah induk oleh galeri. Beranda belakang sebagai ruang makan. k. Terletak ditanah luas dengan kebun di depan, samping dan belakang. b. Bentuk Vernacular Belanda dan Penyesuaian Terhadap Iklim Tropis (sesudah tahun 1900) Ciri dan karakteristik a. Penggunaan gevel(gable) pada tampak depan bangunan b. Penggunaan tower pada bangunan c. Penggunaan dormer pada bangunan Beberapa penyesuaian dengan iklim tropis bsaah di Indonesia: a. Denah tipis bentuk bangunan rampingBanyak bukaan untuk aliran udara memudahkan cross ventilasi yang diperlukan iklim tropis basah b. Galeri sepanjang bangunan untuk menghindari tampias hujandan sinar matahari langsung c. Layout bangunan menghadap Utara Selatan dengan orientasi tepat terhadap sinar matahari tropis Timur Barat c. Gaya Neo Gothic ( sesudah tahun 1900) Ciri-ciri dan karakteristik a. Denah tidak berbentuk salib tetapi berbentuk kotak b. Tidak ada penyangga( flying buttress)karena atapnya tidak begitu tinggi tidak runga yang dinamakan double aisle atau nave seperti layaknya gereja gothic c. Disebelah depan dari denahnya disisi kanan dan kiri terdapat tangga yang dipakai untuk naik ke lantai 2 yang tidak penuh d. Terdapat dua tower( menara ) pada tampak mukanya, dimana tangga tersebut ditempatkan dengan konstruksi rangka khas gothic e. Jendela kacanya berbentuk busur lancip f. Plafond pada langit-langit berbentuk lekukan khas gothic yang terbuat dari besi. d. Nieuwe Bouwen / International Style( sesudah tahun 1900-an) Ciri-ciri dan karakteristik ; a. Atap datar b. Gevel horizontal c. Volume bangunan berbentuk kubus d. Berwarna putih Nieuwe Bouwen / International Style di Hindia Belanda mempunyai 2 aliran utama ; 1. Nieuwe Zakelijkheid Ciri-ciri dan karakteristik ; a.Mencoba mencari keseimbangan terhadap garis dan massa b. Bentuk-bentuk asimetris void saling tindih ( interplay dari garis hoeizontal dan vertical) 2. Ekspresionistik ; Ciri-ciri dan karakteristik ; a.Wujud curvilinie Contoh : villa Isola ( CP.Wolf ), Hotel Savoy Homann( AF aalbers e. Art Deco Ciri – ciri dan karakteristik : a. Gaya yang ditampilkan berkesan mewahdan menimbulkan rasa romantisme b. Pemakaian bahan – bahan dasar yang langka serta material yang mahal c. Bentuk massif d. Atap datar e. Perletakan asimetris dari bentukan geometris f. Dominasi garis lengkung plastis Benteng Rotterdam (Fort Rotterdam), Ujung Pandang. 1545 FORT ROTTERDAM (1545) Vernakular Gambar 3.1 Benteng Rotterdam masa lalu Sumber : Google.com Gambar 3.2 Benteng Rotterdam masa kini Sumber : Google.com a. Sejarah Pendirian Benteng Rotterdam Makassar dibangun oleh Raja Gowa ke IX Daeng Matare Karaeng Manguntungi Tumapa’risi’ Kallonna dan diselesaikan oleh putranya Raja Gowa X Imanriogau Bontokaraeng lakiung Tonipallangga Ulaweng pada tahun 1545. Benteng ini merupakan peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Di benteng ini pernah di jajah oleh pasukan belanda, untuk memperluas daerah kekuasaannya karena kerajaan gowa memliki rempah-rempah yang banyak, Setahun lebih benteng digempur oleh Belanda dibantu oleh pasukan sewaan dari Maluku, hingga akhirnya kekuasaan raja Gowa disana berakhir. Seisi benteng porak poranda, rumah raja didalamnya hancur dibakar oleh tentara musuh. Kekalahan ini membuat Belanda memaksa raja menandatangani "Perjanjian Bongaya" pada 18 Nov 1667 Di tempat ini juga Pangeran Diponegoro dipenjara. b. Fungsi Pada masa Kolonial Belanda, Benteng Ujung Pandang dibangun kembali dan ditata sesuai dengan arsitektur Belanda. Pada masa ini, benteng dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan penampungan rempah-rempah Belanda di Indonesia. Pada masa kolonial Jepang, benteng ini beralih fungsi menjadi pusat studi pertanian dan bahasa. Sementara setelah Indonesia merdeka, benteng ini dijadikan sebagai pusat komando yang kemudian beralih fungsi menjadi pusat kebudayaan dan seni Makassar. Benteng ini amat mudah dikenali mengingat bangunannya yang sangat mencolok dibandingkan dengan gedung perkantoran ataupun rumah disekitarnya. Memasuki pintu utama benteng ini, nuansa kejayaan masa lalu terekam jelas melalui dinding benteng yang masih kokoh. Di sudut benteng, terdapat bastion yang di bangun sebagai pertahanan artileri utama. Di tempat ini pula terdapat beberapa lubang meriam untuk pertahanan benteng. Di benteng ini juga terdapat beberapa ruang tahanan yang salah satunya pernah digunakan untuk menahan Pangeran Diponegoro. Ruang tahanan amat kokoh dengan dinding melengkung. Selain itu di tempat ini juga terdapat gereja yang merupakan gereja pertama yang ada di Makassar. Sebagai pusat kebudayaan dan seni, saat ini dalam kompleks benteng terdapat Museum Nageri La Gilago yang menyimpan beragam koleksi prasejarah, numismatik, keramik asing, sejarah hingga naskah serta etnografi. Kebanyakan benda kebudayaan yang dipamerkan berasal dari suku-suku di Sulawesi seperti suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Benteng Ujung Pandang memang memiliki keunikan tersendiri. Sebagai bangunan sejarah, benteng ini merupakan bukti nyata kisah panjang masa kolonialisme yang pernah ada di bumi nusantara. Selain itu, benteng ini juga menjadi saksi bisu sejarah panjang kota Makassar. - Koleksi Nusantara Disalah satu ruangan museum La Galigo anda dapat jumpai replika dari beberapa situs atau cagar budaya di Indonesia, seperti bangunan candi , Arca, dan bentuk bentuk nisan yang banyak ditemukan pada makam - makam kuno. - Koleksi Keramik Diruangan Koleksi Keramik terdapat berbagai jenis keramik kuno dari berbagai dinasti seperti Dinasti Sung abad 13-14 Dinasti Swaton abad 16-18, Dinasti cing abad 17-19, Dinasti Yuan terjan abad 14-16, Dinasti Annamese abad 14-16 Keramik - keramik ini berasal dari China, Vietnam, Thailand ,Siam dan Jepang. - Alat-alat Tradisional Perikanan dan Kelautan Pada bangunan lain Museum Lagaligo terdapat koleksi Perangkat Tradisional para pelaut dan nelayan bugis Makassar terdapat replika Perahu Pinisi yang terkenal sampai ke manca negara berbagai jenis peralatan nelayan untuk mengkap ikan yang umumnya masih dapat dijumpai dalam kehidupan masyrakat pesisisr hingga saat ini. - Sepeda dan Bendi Terdapat pula bendai, Sepeda ataupun Dokar, koleksi Perangkat pertanian Tadisional yang terdapat dalam useum lagaligo ini sebagai bukti sejarah peradaban bahwa sejak jaman dahulu bangsa indonesia khususnya masyarakat Sulawesi Selatan telah dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutama tanaman padi sebagai bahan makanan pokok. - Koleksi Peralatan Menempa Besi dan Hasilnya Terdapat koleksi tradisional menempa besi, Hasil tempaan berupa berbagai jenis senjata tajam, baik untuk penggunan sehari - hari maupun untuk perlengkapan upacara adat. - Koleksi Peralatan Tenun Tradisonal Koleksi Peralatan Tenun Tradisional, sebagai bukti budaya menenun di Sulawesi Selatan diperkirakan berawal dari jaman prasejarah, yakni ditemukan berbagai jenis benda peninggalan kebudayaan dibeberapa daerah seperti leang - leang kabupaten maros yang diperkirakan sebagai pendukung pembuat pakaian dari kulit kayu dan serat - serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika pengetahuan manusia pada zaman itu mulai Berkembang mereka menemukan cara yang lebih baik yakni alat pemintal tenun dangan bahan baku benang kapas. Dari sinilah mulai tercipta berbagai jenis corak kain saung dan pakaian tradisional. - Alat Senjata Terdapat koleksi senjata senjata tradisional maupun modern yang berperan dalam perang yang berlangsung dalam sejarah Benteng ini c. Arsitektur Gambar 3.3 Site Plan Benteng Rotterdam Sumber : Google.com Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng bergaya Vernakular peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Saat ini bahan konstruksi pada benteng Rotterdam telah menggunakan bahan bahan yang digunakan pada bangunan saat ini seperti penggunaan batu bata dan semen , dan penggunaan penutup atap genteng . Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Gambar 3.4 Gambaran Bentuk Dasar Benteng Rotterdam Sumber : Google.com Bentuk kawasan Fort Rotterdam memiliki bentuk yang menyerupai sebuah kura kura / penyu , Dimana bentuk kura kura / penyu ini memiliki makna yang kokoh dan tangguh dari seekor penyu / kura kura yang sesuai dengan karakteristik benteng yang kokoh dan sebagai tempat pertahanan. Karakteristik Arsitektur Vernakular yang diterapkan pada pada benteng ini dapat dilihat dari penggunaan bentuk atap gevel pada seluruh bangunan pada kawasan Benteng Roterdam dan penggunaan Boven pada atap bangunan sebagai penanda adanya ruang pada bangunan di kawasan benteng ini . Luas Benteng Rotterdam Makassar adalah 28.595,55 meter bujur sangkar, dengan ukuran panjang setiap sisi berbeda, serta tinggi dinding berfariasi antara 5-7 meter dengan ketebalan 2 meter. Benteng Rotterdam Makassar mempunyai lima buah sudut (Bastion), yaitu : - Bastion Bone terletak di sebelah barat - Bastion Bacam terletak di sudut barat daya - Bastion Butan terletak di sudut barat laut - Bastion Mandarsyah terletak di sudut timur laut - Bastion Amboina terletak di sudut tenggara Benteng Speelwijk. 1685 Lokasi Benteng Speelwijk terltetak di Kampung Pamarican, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Sebelah timur komplek Mesjid Agung Banten , tepatnya di seberang Vihara Avalokitesvara yang hanya dipisahkan oleh sebuah sungai yang hampir mati karena dangkal. Anda akan melihat sisi ini dari Fort Speelwijk ketika menuju ke biara. Speelwijk Castle adalah salah satu tanda sisa pendudukan tentara kolonial Belanda di Banten. pintu masuk ke Benteng Speelwijk terbuka lebar bagi para pengunjung yang ingin menjelajahinya. Gambar 3.5 Benteng Speelwijk Sumber : wikipedia.com a. Sejarah Pada tahun 1682, perang saudara pecah di daerah tersebut. Sultan Haji meminta bantuan dari VOC, untuk menggulingkan ayahnya, Sultan Ageng.Dalam pertukaran untuk bantuan, Belanda menginginkan monopoli perdagangan di kawasan tersebut dan membangun sebuah benteng. Oleh karena itu pada tahun 1685, pembangunan benteng pun dimulai.Penamaan Benteng Speelwijk dicetuskan oleh Gubernur Banten dan tak lama kemudian Batavia menjadi Pelabuhan Internasional Banten. Benteng ini dahulu dihuni oleh hampir 400 tentara garnisun VOC. Namun, karena kondisi tropis dan kurangnya kebersihan di daerah tersebut, hampir tiga perempat dari pasukan tewas. Dalam catatan sejarah, benteng ini mulanya bekas benteng milik Kesultanan Banten yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Banten Abu Nasr Abdul Qohhar (1672 – 1687). Pada 1685, Kesultanan Banten diserbu penjajah Belanda dan menguasa Banten. Benteng itu kemudian direnovasi di atas reruntuhan sisi sebelah utara tembok keliling kota Banten. b. Fungsi Berfungsi untuk mengontrol segala kegiatan yang berkaitan dengan kesultanan banten dan juga sebagai tempat berlindung/bermukim bagi orang Belanda. Dengan adanya benteng ini semakin mengokohkan posisi Belanda dalam usahanya memonopoli perdagangan merica yang berasal dari Lampung Selatan untuk kemudian dijual lagi kepada pedagang-pedagang asing yang berasal dari Cina, Malaysia, Arab, India dan Vietnam (bah/dari berbagai sumber) c. Arsitektur Benteng ini dirancang arsitektur yang sudah masuk Islam dan menjadi anggota kesultanan yang bernama Hendrick Lucaszoon Cardeel. Nama Speelwijk yang melekat pada benteng itu untuk menghormati Gubernur Jenderal Speelma. Benteng Speelwijk dibangun seperti kebanyakan benteng pada abad ke-17. Bagian depan Benteng Speelwijk dengan lubang masuk berbentuk lengkung yang pintunya sudah tidak ada lagi. Lubang itu terletak lebih tinggi dari tanah di luarnya. Bagian terbuka di sisi atas kanannya tampaknya dipakai untuk membidik pasukan yang menyerang dengan senapan atau senjata lainnya. Di dalam benteng masih ada lorong-lorong perlindungan dan ada pula ruanganruangan yang semuanya terbuat dari dinding batu. Benteng Speelwijk sepertinya dibuat dengan perhitungan cermat sebagai benteng pertahanan yang lebih dari kuat untuk menghadapi serangan pasukan pribumi yang persenjataannya tidak begitu baik. Berjalan melewati lorong-lorong di dalam benteng itu masih bisa dirasakan suasana ketegangan penghuninya ketika harus berada di sebuah bangunan pertahanan yang seberapa pun kuat dan amannya benteng itu namun tetap terasa ada ketidaknyamanan di hati. Ada pula ruang bawah tanah gelap yang dulu digunakan sebagai penjara. Tinggi dinding Benteng Speelwijk tampaknya tidak kurang dari 5 meter, dengan pintu masuk yang kecil dan sempit di setiap sisinya, yang membuat penyerbu akan lebih sulit untuk memasukinya secara beramai- rami. Namun kenyataan bahwa Benteng Speelwijk yang kuat itu kini tinggal reruntuhan telah membuktikan bahwa tidak ada satu pun yang abadi di dunia ini. Lebar dinding Benteng Speelwijk sekitar 1 meter Tebal dinding benteng adalah sekitar 5 meter, dan panjang setiap sisi dinding kuarng lebih 80 meter. Di sekitar Benteng Speelwijk terdapat 4 benteng lainnya yang memiliki bentuk seperti bintang. Di sekeliling benteng ini terdapat sejumlah makam orangorang Eropa, terutama bangsawan dan prajurit penjajah yang tewas melawan laskar Kesultanan Banten. Sebagian makam ini tampak sudah rusak. Makammakam dengan arsitektur Eropa, mempertegas benteng ini sebagai sisa kejayaan penjajah Belanda di ranah Banten. Daftar Pustaka - http://adyah2011.blogspot.com/2013/11/benteng-rotterdam-makassar.html - http://safar-mikami.faa.im/sejarah-benteng-terluas-di-dunia-benteng.xhtml - http://desaininterioreksteriorklasik.blogspot.com/2015/03/indahnya-arsitektur-luarbenteng.html - http://id.wikipedia.org/wiki/Benteng Arsitektur Indonesia (Sejarah Perkembangan Benteng di Indonesia) 21