BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN PERSEROAN TERBATAS (PT) 1.1 Prinsip Dasar Perlindungan Hukum Sebelum menguraikan mengenai dasar perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang dirugikan akibat peristiwa yang dibuat karena penggabungan perusahaan (Merger), maka terlebih dahulu diuraikan dasar penerimaan doktrin tersebut dalam sistem hukum Indonesia. Penerimaan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek pengaturannya dalam hukum perseroan. Sebagaimana telah dikemukakan, Doktrin Merger itu berasal dari sistem Common Law yang pada awalnya berkembang di Inggris. Namun demikian secara bertahap doktrin tersebut pada akhirnya diterima dan diterapkan di berbagai negara seperti Prancis dan negara-negara Eropa lainnya, Amerika Serikat, Australia, dll. Bagaimana halnya dengan Indonesia yang sampai saat ini sudah memperbarui sistem hukum perseroannya secara berturut-turut dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk mengetahui apakah di Indonesia juga berlaku atau diterapkan Doktrin Merger yang berasal dari sistem common law itu, maka terlebih dahulu haruslah diketahui apakah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mengatur dalam pengertian menerima doktrin tersebut. 21 Berdasarkan penelusuran terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007(UUPT) yang merupakan hukum perseroan positif di Indonesia, ternyata dalam undang-undang tersebut tidak dijumpai satu ketentuan pun yang mengatur secara tegas mengenai Merger terutama dari segi konsep atau peristilahannya. Namun demikian hal tersebut tidaklah mengandung pengertian bahwa Indonesia tidak menerima Doktrin Merger, semata-mata karena tidak dijumpai adanya aturan atau norma dalam sistem hukumnya yang menentukannya secara tegas. Suatu sistem hukum pada dasarnya tidaklah hanya terdiri dari komponen aturan atau norma hukum berupa pasal-pasal yang bersifat eksplisit saja. Dalam kaitan ini dimana sistem hukum perseroan juga terdiri dari perjanjian yang tertuang dalam anggaran dasar dan pendapat-pendapat hukum yang relevan. Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, yang masih mendasarkan pendapatnya pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 mengemukakan bahwa secara prinsip, Doktrin Ultra Vires berlaku di Indonesia dengan pertimbangan pada pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa prinsip Merger ini sudah merupakan doktrin yang berlaku universal. Bahkan di negeri Belanda sendiri, yang merupakan negara dari mana hukum Indonesia berasal, juga memberlakukan Doktrin Merger ini. 2. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 mengisyaratkan berlakunya Doktrin Mergers, yang antara lain menempatkan maksud dan tujuan perseroan pada posisi yang penting. Konsekuensi logisnya adalah bahwa pelanggaran terhadap maksud dan tujuan tersebut dapat menjadi masalah yang serius.1 Kendatipun masih mendasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 yang sudah diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007, pendapat tersebut pada pokoknya merupakan pendapat yang relevan dan dapat diterima. Hal ini disebabkan karena kedua undang-undang itu sama-sama memandang bahwa mengenai maksud dan tujuan perseroan merupakan aspek yang sangat penting sebagai penentu arah bagi jenis dan jumlah kegiatan perseroan yang harus ditentukan secara tegas dalam undang-undang dan dituangkan dalam anggaran dasar secara tegas pula. Secara ringkas dapat dikemukakan, secara implisit UUPT mengakui dan menerima Doktrin Merger. Pengakuan dan penerimaan ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Sehubungan dengan ini dalam UUPT terdapat sekitar 3 (tiga) kelompok ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sebagai berikut: 1. Pasal 2 tentang keharusan memiliki maksud dan tujuan serta kegiatan usaha, 2. Pasal 15 ayat (1) yang mewajibkan untuk menyatakan secara tegas maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan dalam anggaran dasarnya, 3. Pasal 9, 10, 11, 19 sampai dengan Pasal 28 yang mencerminkan ketatnya prosedur yang harus ditempuh apabila melakukan perubahan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. 1 Munir Fuady, 2002, Op.cit, hal. 147 Di samping beberapa pengertian mengenai Merger yang telah mengisyaratkan keterkaitan antara tindakan yang dilakukan oleh perseroan melalui Direksinya dengan anggaran dasar (memorandum of association), terdapat pula pandangan, bahwa bilamana suatu perusahaan telah berbadan hukum, perusahaan itu membutuhkan suatu konstitusi (memorandum of association) yang secara mendasar mencatat maksud-maksud untuk mana perusahaan itu didirikan, dan yang mengatur pendistribusian wewenang dalam perusahaan dan yang persoalan-persoalan prosedur internal.2 Dari pengertian dan pandangan tersebut dapat diketahui fungsi-fungsi anggaran dasar. Di samping merupakan suatu wadah yang mengakomodasikan berbagai ketentuan mendasar mengenai perseroan seperti nama, tempat kedudukan, jangka waktu berdiri dan maksud serta tujuan pendiri, dalam hubungan ini anggaran dasar berfungsi pula sebagai pedoman umum untuk mengukur terjadi atau tidaknya tindakan penggabungan perusahaan (merger). Oleh karena itu adanya ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sudah cukup membuktikan bahwa UUPT menerima Doktrin Merger, dan dengan demikian terdapat pula dasar hukum untuk menerapkan doktrin tersebut dalam kasus-kasus yang relevan. Dicantumkannya tujuan perseroan di dalam anggaran dasar terutama adalah untuk melindungi investor atau para pemegang saham. Sehubungan dengan adanya tindakan Merger yang berdampak merugikan pihak yang lemah yang 2 Andrew Hicks dan SH. Goo., 2001, Op.cit, hal. 165 mengadakan perjanjian dengan perseroan, maka sudah semestinya terdapat pula perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah. Kendati pun perjanjian pihak yang lemah dengan perseroan yang bersifat merger itu batal (null and void) dan tidak dapat diratifikasi, hal ini tidaklah merupakan dasar untuk mengabaikan perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah yang pada hakekatnya juga telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi kelangsungan usaha perseroan. Dalam hubungan ini terdapat beberapa dasar yang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak yang lemah. Dasar-dasar tersebut adalah sebagai berikut: a. Asas Itikad Baik b. Asas Pacta Sun Servanda c. Doktrin Merger Modern. 1.2 Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Istilah perlindungan hukum atau rechtsbescherming (Belanda) atau legal protection (Inggris) untuk kepentingan uraian ini dipergunakan sebagai suatu konsep untuk menggambarkan hal-hal yang dapat dan patut diberikan oleh hukum agar tidak sampai timbul kerugian pada satu sisi, serta hal-hal yang dapat dan wajib dilakukan untuk menanggulangi kerugian yang timbul. Batasan tersebut pada dasarnya merujuk pada jenis-jenis perlindungan hukum yaitu: perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Dikaji dari aspek tujuannya, perlindungan hukum preventif bertujuan mencegah terjadinya akibat hukum yang merugikan dan perlindungan hukum represif bertujuan untuk menanggulangi atau menyediakan sarana-sarana hukum dalam melakukan penanggulangan terhadap akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu peristiwa atau hubungan hukum. Dalam kaitannya dengan merger, perlindungan hukum preventif dalam pengertian upaya-upaya menghindarkan atau mencegah agar perjanjian-perjanjian yang merger tidak terwujud dan pihak ketiga tidak terjerumus membuat perjanjian seperti itu (enter into contract) serta mengalami kerugian pada pokoknya terdiri dari: a. Meningkatkan konsistensi direksi terhadap anggaran dasar b. Meningkatkan client awareness. Ad.a. Meningkatkan konsistensi direksi terhadap anggaran dasar Dalam hubungan ini perlu dikemukakan kembali bahwa anggaran dasar memegang peranan yang sangat penting. Bagi perseroan eksistensi anggaran dasar merupakan konstitusi dimana ketentuan-ketentuan terutama yang berkenaan dengan pendirian dan beberapa aspek dalam pengoperasian perseroan dituangkan. Hal tersebut dapat disimak dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUPT yang pada pokoknya menentukan anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya: a. Nama dan tempat kedudukan Perseroan; b. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; c. Jangka waktu berdirinya Perseroan; d. Besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor; e. Jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham; f. Nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris; g. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS); h. Tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris. i. Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen. Sebagai landasan konstitusional perseroan, maka anggaran dasar tersebut dapat dikatakan merupakan norma dasar dan menjadi pedoman dalam perseroan. Dengan demikian sudah semestinya tindakan Direksi yang mewakili perseroan harus mematuhi dan sesuai dengan anggaran dasar. Tindakan merger perseroan melalui Direksi itu terjadi karena ketidaksesuaian tindakan tersebut dengan anggaran dasar. Jadi Direksi harus bersikap konsisten terhadap ketentuanketentuan dalam anggaran dasar terutama yang mengatur mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Disamping melindungi investor dalam perseroan yaitu pemegang saham sendiri, ketentuan tersebut juga mengandung tujuan melindungi khalayak ramai baik yang berkedudukan sebagai kreditor maupun konstituen lain bagi perseroan seperti pemasok dan pelanggan. Direksi tidak boleh seperti terbujuk dan terdorong untuk melakukan tindakan-tindakan atau transaksi-transaksi seperti memberikan derma atau pemberian lain, menjadi penjamin atau memberikan jaminan atas utang perusahaan lain baik dalam satu kelompok (grup perusahaan) maupun yang tidak terafiliasi sama sekali, padahal perseroan tidak memiliki kapasitas untuk mengikatkan diri dalam perjanjian seperti itu karena tidak tercantum dalam ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Dalam hukum perseroan dengan sistem common law, perjanjian atau transaksi-transaksi seperti disebut dengan Gratuitous Transactions yang pada pokoknya merupakan tindakan atau transaksi-transaksi yang tidak berdasar. Dalam kaitan ini Andrew Hicks dan SH. Goo mengemukakan, perseroan tidak memiliki kompetensi mengadakan penggabungan perusahaan dalam perjanjian seperti itu dan seluruh transaksi yang tidak berdasar itu bersifat merger. (company did not have the capacity to enter into wholly gratuitous transactions which were thus ultra vires).3 Ditambahkan pula, untuk mengukur apakah suatu perseroan melakukan gratuitous transactions atau tidak, terdapat beberapa tes yang relevan. Tes-tes tersebut pada pokoknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah transaksi tersebut dilakukan secara insidental ? 2. Apakah transaksi tersebut dapat dipercaya (bonafide) ? 3. Apakah transaksi tersebut menguntungkan dan dapat memajukan kesejahteraan perseroan.4 Tes tersebut pada dasarnya dapat bersifat subyektif karena dapat pula mendorong Direksi untuk berspekulasi dan melakukan interpretasi sendiri terhadap anggaran dasar, sehingga akurasinya dalam menentukan apakah suatu transaksi merupakan Gratuitous Transactions atau sebaliknya dapat mengundang keragu-raguan. 3 Andrew Hicks dan SH. Goo, 2001, Op.cit, hal. 184. 4 Ibid Oleh karena itu pencegahan terhadap tindakan merger dan kerugian pada pihak yang lemah masih lebih efektif apabila dilakukan dengan mempergunakan secara langsung ketentuan-ketentuan dalam anggaran dasar sebagai ukuran yang dicocokan dengan perilaku nyata Direksi. Dengan demikian dalam rangka perlindungan hukum preventif terhadap pihak ketiga maka terhadap Direksi tetap dituntut bersikap konsisten atau taat asas terhadap anggaran dasar. Ad.b. Meningkatkan client awareness Client awareness pada dasarnya merupakan salah satu sikap yang direkomendasikan oleh Robert A. Feldman dan Raymond T. Nimmer sehubungan dengan perancangan kontrak yang efektif.5 Penulis itu sendiri tidak memberikan definisi mengenai istilah tersebut. Namun demikian istilah tersebut dapat diuraikan dapat diuraikan secara kata demi kata. Istilah client pada umumnya dipergunakan untuk menyebut antara lain orang yang dibela oleh pengacara dan orang-orang yang dilayani oleh notaris. Akan tetapi secara gramatikal berarti langganan atau nasabah. Oleh karena itu pihak ketiga baik kreditor maupun pemasok dan pelanggan yang berhubungan dengan perseroan dapat pula disebut client perseroan. Sementara itu awareness berarti sadar atau mengetahui. Dengan demikian client awareness mengandung makna, bahwa pihak yang lemah dalam menjalin hubungan kontraktual dengan perseroan harus menyadari dan mengetahui kondisi perseroan, apakah perseroan memiliki kompetensi membuat perjanjian yang dimaksud dengan pihak ketiga. 5 Robert A. Feldman dan Raymond T. Nimmer, 2002, Drafting Efective Contract, A Practitioner’s Guide, Aspen Law & Business, New York, hal. 1-3 Untuk menunjang pelaksanaan client awareness tersebut pihak yang lemah berhak memperoleh informasi mengenai kompetensi perseroan sesuai anggaran dasar dan Direksi wajib memberikan informasi tersebut. Di Indonesia hal ini menjadi sangat relevan sehubungan dengan adanya kewajiban untuk mengumumkan anggaran dasar perseroan dalam Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia(TBNRI) dengan tujuan agar khalayak mengetahuinya. Dengan demikian terlihat dengan jelas client awareness yang menekankan perlunya kesadaran dan kewajiban pihak yang lemah untuk mengetahui kompetensi perseroan itu pada dasarnya bertujuan mencegah terjadinya penggabungan perusahaan (merger) dan kerugian pada pihak yang lemah, karena apabila pihak yang lemah mengetahui atau menyadarinya sudah tentu pihak yang lemah dapat mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan perjanjian dengan perseroan yang merger. Perlindungan hukum represif dalam pengertian upaya menanggulangi atau menyelesaikan akibat-akibat dari penggabungan perusahaan (merger) terhadap pihak yang lemah yang mengalami kerugian adalah dengan memulihkan atau mengembalikan kondisi pihak yang lemah pada keadaan semula. Dalam kaitan itu sistem hukum harus membuka kesempatan kepada pihak yang lemah untuk memperoleh kondisi-kondisinya kembali baik secara litigasi atau penyelesaian sengketa melalui pengadilan maupun non litigasi seperti arbitrase dan bentukbentuk penyelesaian sengketa alternatif. Sementara itu perseroan apabila terbukti merger berkewajiban memberikan remedy berupa kompensasi. 1.3 Pengertian Dan Dasar Hukum Perseroan Terbatas (PT) Perseroan Terbatas adalah, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang – undang ini serta peraturan pelaksanaannya. (Bab I Pasal 1 angka 1 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007) Bilamana seseorang akan mendirikan perseroan terbatas, maka para pendiri, yang biasanya terdiri dari 2 orang atau lebih, melakukan perbuatan hukum sebagai yang tersebut di bawah ini: a. Pertama, para pendiri datang di kantor Notaris untuk diminta dibuatkan akta pendirian PT. Yang disebut akta pendirian itu termasuk di dalamnya anggaran dasar dari PT yang bersangkutan. Anggaran dasar ini sendiri dibuat oleh para pendiri, sebagai hasil musyawarah mereka. Kalau para pendiri merasa tidak sanggup untuk membuat anggaran dasar tersebut, maka hal itu dapat diserahkan pelaksanaannya kepada Notaris yang bersangkutan. b. Kedua, setelah pembuatan akta pendirian itu selesai, maka notaris mengirimkan akta tersebut kepada Kepala Direktorat Perdata, Departemen Kehakiman. Akta pendirian tersebut juga dapat dibawa sendiri oleh para pendiri untuk minta pengesahan dari Menteri Kehakiman, dalam hal ini Kepala Direktorat Perdata tersebut, tetapi harus ada surat pengantar dari notaris yang bersangkutan. Kalau penelitian akta pendirian perseroan terbatas itu tidak mengalami kesulitan, maka Kepala Direktorat Perdata atas nama Menteri Kehakiman mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendirian PT yang bersangkutan. Kalau ada hal- hal yang harus diubah, maka perubahan itu harus ditetapkan lagi dengan akta notaris sebagai tambahan akta notaris yang dahulu. Tambahan akta notaris ini harus mnedapat pengesahan dari Departemen Kehakiman. Begitulah sampai ada surat keputusan terakhir dari Departemen Kehakiman tentang akta pendirian PT yang bersangkutan. c. Ketiga, para pendiri atau salah seorang atau kuasanya, membawa akta pendirian yang sudah mendapat pengesahan dari Departemen Kehakiman beserta surat keputusan pengesahan dari Departemen Kehakiman tersebut ke kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang mewilayahi domisili PT untuk didaftarkan. Panitera yang berwenang mengenai hal ini mengenai surat hal ini mengeluarkan surat pemberitahuan kepada notaris yang bersangkutan bahwa akta pendirian PT sudah didaftar pada buku register PT. d. Keempat, para pendiri membawa akta pendirian PT beserta surat keputusan tentang pengesahan dari Departemen Kehakiman, serta pula surat dari Panitera Pengadilan negeri tentang telah didaftarnya akta pendirian PT tersebut ke kantor Percetakan Negara, yang menerbitkan Tambahan Berita Negara RI. Sesudah akta pendirian PT tersebut diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, maka PT yang bersangkutan sudah sah menjadi badan hukum. Perseroan mempunyai kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan masing – masing pemegang saham perseroan. Termasuk dalam harta kekayaan perseroan terbatas adalah modal, yang terdiri dari: a. Modal perseroan atau modal dasar, yaitu jumlah maksimum modal yang disebut dalam akta pendirian. Ketentuan modal dasar diatur pada Pasal 31-32 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007. Modal dasar perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham. (Pasal 31 (1)). Modal dasar paling sedikit Rp.50.000.000,00 (Pasal 32 (1)). b. Modal yang disanggupkan atau ditempatkan diatur pada Pasal 33 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007. Paling sedikit 25% dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh (Pasal 33 (1)). c. Modal yang disetor, yakni modal yang benar-benar telah disetor oleh para pemegang saham pada kas perseroan. Diatur pada Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya (Pasal 34 (1)). Penyetoran atas modal saham selanjutnya diatur pada Pasal 34 ayat 2 dan ayat 3. Perubahan atas besarnya jumlah modal perseroan harus mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman, sesudah mana harus didaftarkan dan diumumkan seperti biasa. Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas, mengatur mengenai klasifikasi saham pada perseroan terbatas. Pasal 53 Ayat (1) Anggaran dasar menetapkan 1 (satu) klasifikasi saham atau lebih. Ayat (2) Setiap saham dalam klasifikasinya yang sama memberikan kepada pemegangnya hak yang sama. Ayat (3) Dalam hal terdapat lebih dari 1(satu) klasifikasi saham, anggaran dasar menetapkan salah satu diantaranya sebagai saham biasa. Ayat (4) Klasifikasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain: a. saham dengan hak suara atau tanpa hak suara; b. saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; c. saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain; d. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif; e. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi. Adapun alat perlengkapan tersebut ialah: a. Rapat umum pemegang saham (Bab 1 Pasal 1 angka 4 UUPT) Rapat umum pemegang saham adalah yang selanjutnya disebut RUPS, adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan undang – undang ini dan/atau anggaran dasar. b. Dewan Direksi (Bab 1 Pasal 1 angka 5 UUPT) Dewan Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan dasar. c. Dewan Komisaris (Bab 1 Pasal 1 angka 6 UUPT) Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada direksi Ketentuan Pasal 51-52 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007, mengatur mengenai hak pemegang saham yang berbunyi: Pasal 51, Pemegang saham diberi bukti pemilikan saham untuk saham yang dimilikinya. Pasal 52 (1) Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk: a. menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS; b. menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; c. menjalankan hak lainnya berdasarkan undang- undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku setelah saham dicatat dalam daftar pemegang saham atas nama pemiliknya. a. Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. (Pasal 61(1). b. Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan (Pasal 62(1). c. Dalam hal anggaran dasar mengharuskan pemegang saham penjual menawarkan terlebih dahulu sahamnya kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain, dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari) terhitung sejak tanggal penawaran dilakukan ternyata pemegang saham tersebut tidak membeli, pemegang saham penjual dapat menawarkan dan menjual sahamnya kepada pihak ketiga Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun alasan – alasan sebuah perseroan itu dibubarkan diatur pada Pasal 142 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007. Pembubaran Perseroan terjadi: a. berdasarkan keputusan RUPS; b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir; c. berdasarkan penetapan pengadilan; d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan; e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang – undangan. 1.4 Perseroan Terbatas (PT) Sebagai Badan Hukum Serta Struktur Permodalan Perseroan Terbatas (PT) Menurut Subekti pengertian badan hukum yaitu suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti menerima serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat, dan menggugat di muka hakim.6 Menurut Teori Fiksi yang dipelopori oleh Sarjana Von Savigny, bahwa hanya manusia saja yang mempunyai kehendak. Menurut alam manusia selalu subjek hukum, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya badan hukum selalu subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia, jadi orang bersikap seolaholah ada subjek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan sehingga yang melakukan adalah manusia sebagai wakilnya. Selanjutnya dikemukakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang kongkrit, jadi karena suatu abstraksi maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan 6 Handri Raharjo, 2009, Hukum Perusahaan, PT. Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal. 18. kehendak berkuasa. Badan hukum semata-mata hanya buatan pemerintah atau negara. Kecuali negara badan hukum itu fiksi yakni suatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan untuk menerangkan sesuatu hal. Menurut Scholten, Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang mempunyai harta kekayaan sendiri yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan, mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai organ Perseroan Terbatas (PT).7 Menurutnya Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang memenuhi unsurunsur: 1) Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu perbuatan hukum pemisahan. 2) Mempunyai tujuan sendiri (tertentu) 3) Mempunyai alat perlengkapan (organisasi). Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 27 Juni 1973 Nomor 124/Sip/1973.8 Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung ini maka kedudukan Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan hukum telah mempunyai kepastian hukum dalam hukum di Indonesia. 7 8 Ibid. H.P.Pangabean, 2002, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan, (Termasuk Aset Lembaga Keagamaan), dan Upaya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 10. Sebelum Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, status badan hukum Perseroan Terbatas (PT) tidak memberikan kepastian hukum apakah Perseroan terbatas tersebut merupakan badan hukum atau bukan badan hukum sehingga dalam masyarakat terdapat penafsiran bahwa Perseroan Terbatas merupakan badan hukum atau penafsiran Perseroan Terbatas bukan badan hukum. berdasarkan Yurisprudensi tersebut di atas sudah jelas bahwa Perseroan Terbatas merupakan badan hukum, tetapi yang belum jelas adalah bagaimana tata cara menurut hukum yang harus dipenuhi oleh Perseroan Terbatas untuk mendirikan Perseroan Terbatas dan bagaimana cara memperoleh status badan hukum tersebut. Kebiasaan selama ini Perseroan Terbatas yang didirikan oleh swasta atau perorangan biasanya dilakukan dengan akta notaris. Kekayaan yang dipisahkan dari milik para pendiri atau pengurus Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Kebiasaan yang terjadi akta notaris tersebut tidak didaftarkan atau didaftarkan di Kantor Pengadilan Negeri setempat. Untuk mendapatkan status badan hukum Perseroan Terbatas maka memerlukan suatu proses yaitu diperolehnya pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007) dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Dengan dilaksanakan pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia maka resmilah yayasan sebagai Badan Hukum karena ini merupakan syarat mutlak Perseroan Terbatas untuk diakui sebagai badan hukum. Fungsi pengesahan ini adalah untuk keabsahan keberadaan badan hukum sehingga badan hukum itu tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang ada, kebebasan isi akta pendirian termasuk permodalan, hal ini dimaksudkan agar tidak ada penipuan. Dari keterangan, jelas terlihat bahwa Perseroan Terbatas menjadi badan hukum karena paksaan dari negara yaitu seperti terlihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa: Perseroan Terbatas adalah badan hukum. Hal ini sesuai apa yang dikemukakan oleh teori fiksi yang dipelopori oleh Von Savigny yang mengatakan bahwa badan hukum adalah semata-mata buatan negara. Jadi tanpa diatur oleh negara Perseroan Terbatas ini tidak berbadan hukum.