BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN
PERSEROAN TERBATAS (PT)
1.1 Prinsip Dasar Perlindungan Hukum
Sebelum menguraikan mengenai dasar perlindungan hukum terhadap
pihak ketiga yang dirugikan akibat peristiwa yang dibuat karena penggabungan
perusahaan (Merger), maka terlebih dahulu diuraikan dasar penerimaan doktrin
tersebut dalam sistem hukum Indonesia.
Penerimaan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek pengaturannya dalam
hukum perseroan. Sebagaimana telah dikemukakan, Doktrin Merger itu berasal
dari sistem Common Law yang pada awalnya berkembang di Inggris. Namun
demikian secara bertahap doktrin tersebut pada akhirnya diterima dan diterapkan
di berbagai negara seperti Prancis dan negara-negara Eropa lainnya, Amerika
Serikat, Australia, dll. Bagaimana halnya dengan Indonesia yang sampai saat ini
sudah memperbarui sistem hukum perseroannya secara berturut-turut dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Untuk mengetahui apakah di Indonesia juga berlaku atau diterapkan
Doktrin Merger yang berasal dari sistem common law itu, maka terlebih dahulu
haruslah diketahui apakah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mengatur dalam pengertian menerima
doktrin tersebut.
21
Berdasarkan penelusuran terhadap Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2007(UUPT) yang merupakan hukum perseroan positif di
Indonesia, ternyata dalam undang-undang tersebut tidak dijumpai satu ketentuan
pun yang mengatur secara tegas mengenai Merger terutama dari segi konsep atau
peristilahannya. Namun demikian hal tersebut tidaklah mengandung pengertian
bahwa Indonesia tidak menerima Doktrin Merger, semata-mata karena tidak
dijumpai adanya aturan atau norma dalam sistem hukumnya yang menentukannya
secara tegas.
Suatu sistem hukum pada dasarnya tidaklah hanya terdiri dari komponen
aturan atau norma hukum berupa pasal-pasal yang bersifat eksplisit saja. Dalam
kaitan ini dimana sistem hukum perseroan juga terdiri dari perjanjian yang
tertuang dalam anggaran dasar dan pendapat-pendapat hukum yang relevan.
Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Doktrin-Doktrin Modern
Dalam Corporate law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, yang masih
mendasarkan pendapatnya pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1995 mengemukakan bahwa secara prinsip, Doktrin Ultra Vires berlaku di
Indonesia dengan pertimbangan pada pokoknya sebagai berikut:
1.
Bahwa prinsip Merger ini sudah merupakan doktrin yang berlaku universal.
Bahkan di negeri Belanda sendiri, yang merupakan negara dari mana hukum
Indonesia berasal, juga memberlakukan Doktrin Merger ini.
2.
Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 mengisyaratkan
berlakunya Doktrin Mergers, yang antara lain menempatkan maksud dan
tujuan perseroan pada posisi yang penting.
Konsekuensi logisnya adalah bahwa pelanggaran terhadap maksud dan
tujuan tersebut dapat menjadi masalah yang serius.1 Kendatipun masih
mendasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995
yang sudah diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
2007, pendapat tersebut pada pokoknya merupakan pendapat yang relevan dan
dapat diterima. Hal ini disebabkan karena kedua undang-undang itu sama-sama
memandang bahwa mengenai maksud dan tujuan perseroan merupakan aspek
yang sangat penting sebagai penentu arah bagi jenis dan jumlah kegiatan
perseroan yang harus ditentukan secara tegas dalam undang-undang dan
dituangkan dalam anggaran dasar secara tegas pula.
Secara ringkas dapat dikemukakan, secara implisit UUPT mengakui dan
menerima Doktrin Merger. Pengakuan dan penerimaan ini tercermin dari adanya
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan
usaha perseroan. Sehubungan dengan ini dalam UUPT terdapat sekitar 3 (tiga)
kelompok ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan maksud dan tujuan
serta kegiatan usaha perseroan sebagai berikut:
1. Pasal 2 tentang keharusan memiliki maksud dan tujuan serta kegiatan usaha,
2. Pasal 15 ayat (1) yang mewajibkan untuk menyatakan secara tegas maksud
dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan dalam anggaran dasarnya,
3. Pasal 9, 10, 11, 19 sampai dengan Pasal 28 yang mencerminkan ketatnya
prosedur yang harus ditempuh apabila melakukan perubahan maksud dan
tujuan serta kegiatan usaha perseroan.
1
Munir Fuady, 2002, Op.cit, hal. 147
Di
samping beberapa
pengertian
mengenai
Merger
yang telah
mengisyaratkan keterkaitan antara tindakan yang dilakukan oleh perseroan
melalui Direksinya dengan anggaran dasar (memorandum of association), terdapat
pula pandangan, bahwa bilamana suatu perusahaan telah berbadan hukum,
perusahaan itu membutuhkan suatu konstitusi (memorandum of association) yang
secara mendasar mencatat maksud-maksud untuk mana perusahaan itu didirikan,
dan yang mengatur pendistribusian wewenang dalam perusahaan dan yang
persoalan-persoalan prosedur internal.2
Dari pengertian dan pandangan tersebut dapat diketahui fungsi-fungsi
anggaran dasar. Di samping merupakan suatu wadah yang mengakomodasikan
berbagai ketentuan mendasar mengenai perseroan seperti nama, tempat
kedudukan, jangka waktu berdiri dan maksud serta tujuan pendiri, dalam
hubungan ini anggaran dasar berfungsi pula sebagai pedoman umum untuk
mengukur terjadi atau tidaknya tindakan penggabungan perusahaan (merger).
Oleh karena itu adanya ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan
usaha perseroan sudah cukup membuktikan bahwa UUPT menerima Doktrin
Merger, dan dengan demikian terdapat pula dasar hukum untuk menerapkan
doktrin tersebut dalam kasus-kasus yang relevan.
Dicantumkannya tujuan perseroan di dalam anggaran dasar terutama
adalah untuk melindungi investor atau para pemegang saham. Sehubungan dengan
adanya tindakan Merger yang berdampak merugikan pihak yang lemah yang
2
Andrew Hicks dan SH. Goo., 2001, Op.cit, hal. 165
mengadakan perjanjian dengan perseroan, maka sudah semestinya terdapat pula
perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah.
Kendati pun perjanjian pihak yang lemah dengan perseroan yang bersifat
merger itu batal (null and void) dan tidak dapat diratifikasi, hal ini tidaklah
merupakan dasar untuk mengabaikan perlindungan hukum terhadap pihak yang
lemah yang pada hakekatnya juga telah memberikan kontribusi yang tidak kecil
bagi kelangsungan usaha perseroan.
Dalam hubungan ini terdapat beberapa dasar yang dapat dipergunakan
sebagai alasan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak yang lemah.
Dasar-dasar tersebut adalah sebagai berikut:
a. Asas Itikad Baik
b. Asas Pacta Sun Servanda
c. Doktrin Merger Modern.
1.2 Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum
Istilah perlindungan hukum atau rechtsbescherming (Belanda) atau legal
protection (Inggris) untuk kepentingan uraian ini dipergunakan sebagai suatu
konsep untuk menggambarkan hal-hal yang dapat dan patut diberikan oleh hukum
agar tidak sampai timbul kerugian pada satu sisi, serta hal-hal yang dapat dan
wajib dilakukan untuk menanggulangi kerugian yang timbul.
Batasan tersebut pada dasarnya merujuk pada jenis-jenis perlindungan
hukum yaitu: perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
Dikaji dari aspek tujuannya, perlindungan hukum preventif bertujuan mencegah
terjadinya akibat hukum yang merugikan dan perlindungan hukum represif
bertujuan untuk menanggulangi atau menyediakan sarana-sarana hukum dalam
melakukan penanggulangan terhadap akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu
peristiwa atau hubungan hukum.
Dalam kaitannya dengan merger, perlindungan hukum preventif dalam
pengertian upaya-upaya menghindarkan atau mencegah agar perjanjian-perjanjian
yang merger tidak terwujud dan pihak ketiga tidak terjerumus membuat perjanjian
seperti itu (enter into contract) serta mengalami kerugian pada pokoknya terdiri
dari:
a. Meningkatkan konsistensi direksi terhadap anggaran dasar
b. Meningkatkan client awareness.
Ad.a. Meningkatkan konsistensi direksi terhadap anggaran dasar
Dalam hubungan ini perlu dikemukakan kembali bahwa anggaran dasar
memegang peranan yang sangat penting. Bagi perseroan eksistensi anggaran dasar
merupakan konstitusi dimana ketentuan-ketentuan terutama yang berkenaan
dengan pendirian dan beberapa aspek dalam pengoperasian perseroan dituangkan.
Hal tersebut dapat disimak dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUPT yang
pada pokoknya menentukan anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya:
a. Nama dan tempat kedudukan Perseroan;
b. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
c. Jangka waktu berdirinya Perseroan;
d. Besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
e. Jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham
untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan
nilai nominal setiap saham;
f. Nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris;
g. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS);
h. Tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi
dan Dewan Komisaris.
i. Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen.
Sebagai landasan konstitusional perseroan, maka anggaran dasar tersebut
dapat dikatakan merupakan norma dasar dan menjadi pedoman dalam perseroan.
Dengan demikian sudah semestinya tindakan Direksi yang mewakili perseroan
harus mematuhi dan sesuai dengan anggaran dasar. Tindakan merger perseroan
melalui Direksi itu terjadi karena ketidaksesuaian tindakan tersebut dengan
anggaran dasar. Jadi Direksi harus bersikap konsisten terhadap ketentuanketentuan dalam anggaran dasar terutama yang mengatur mengenai maksud dan
tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Disamping melindungi investor dalam
perseroan yaitu pemegang saham sendiri, ketentuan tersebut juga mengandung
tujuan melindungi khalayak ramai baik yang berkedudukan sebagai kreditor
maupun konstituen lain bagi perseroan seperti pemasok dan pelanggan.
Direksi tidak boleh seperti terbujuk dan terdorong untuk melakukan
tindakan-tindakan atau transaksi-transaksi seperti memberikan derma atau
pemberian lain, menjadi penjamin atau memberikan jaminan atas utang
perusahaan lain baik dalam satu kelompok (grup perusahaan) maupun yang tidak
terafiliasi sama sekali, padahal perseroan tidak memiliki kapasitas untuk
mengikatkan diri dalam perjanjian seperti itu karena tidak tercantum dalam
ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan.
Dalam hukum perseroan dengan sistem common law, perjanjian atau
transaksi-transaksi seperti disebut dengan Gratuitous Transactions yang pada
pokoknya merupakan tindakan atau transaksi-transaksi yang tidak berdasar.
Dalam kaitan ini Andrew Hicks dan SH. Goo mengemukakan, perseroan tidak
memiliki kompetensi mengadakan penggabungan perusahaan dalam perjanjian
seperti itu dan seluruh transaksi yang tidak berdasar itu bersifat merger. (company
did not have the capacity to enter into wholly gratuitous transactions which were
thus ultra vires).3
Ditambahkan pula, untuk mengukur apakah suatu perseroan melakukan
gratuitous transactions atau tidak, terdapat beberapa tes yang relevan. Tes-tes
tersebut pada pokoknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah transaksi tersebut dilakukan secara insidental ?
2. Apakah transaksi tersebut dapat dipercaya (bonafide) ?
3. Apakah transaksi tersebut menguntungkan dan dapat memajukan
kesejahteraan perseroan.4
Tes tersebut pada dasarnya dapat bersifat subyektif karena dapat pula
mendorong Direksi untuk berspekulasi dan melakukan interpretasi sendiri
terhadap anggaran dasar, sehingga akurasinya dalam menentukan apakah suatu
transaksi merupakan Gratuitous Transactions atau sebaliknya dapat mengundang
keragu-raguan.
3
Andrew Hicks dan SH. Goo, 2001, Op.cit, hal. 184.
4
Ibid
Oleh karena itu pencegahan terhadap tindakan merger dan kerugian pada
pihak yang lemah masih lebih efektif apabila dilakukan dengan mempergunakan
secara langsung ketentuan-ketentuan dalam anggaran dasar sebagai ukuran yang
dicocokan dengan perilaku nyata Direksi. Dengan demikian dalam rangka
perlindungan hukum preventif terhadap pihak ketiga maka terhadap Direksi tetap
dituntut bersikap konsisten atau taat asas terhadap anggaran dasar.
Ad.b. Meningkatkan client awareness
Client awareness pada dasarnya merupakan salah satu sikap yang
direkomendasikan oleh Robert A. Feldman dan Raymond T. Nimmer sehubungan
dengan perancangan kontrak yang efektif.5 Penulis itu sendiri tidak memberikan
definisi mengenai istilah tersebut. Namun demikian istilah tersebut dapat
diuraikan dapat diuraikan secara kata demi kata.
Istilah client pada umumnya dipergunakan untuk menyebut antara lain
orang yang dibela oleh pengacara dan orang-orang yang dilayani oleh notaris.
Akan tetapi secara gramatikal berarti langganan atau nasabah. Oleh karena itu
pihak ketiga baik kreditor maupun pemasok dan pelanggan yang berhubungan
dengan perseroan dapat pula disebut client perseroan. Sementara itu awareness
berarti sadar atau mengetahui. Dengan demikian client awareness mengandung
makna, bahwa pihak yang lemah dalam menjalin hubungan kontraktual dengan
perseroan harus menyadari dan mengetahui kondisi perseroan, apakah perseroan
memiliki kompetensi membuat perjanjian yang dimaksud dengan pihak ketiga.
5
Robert A. Feldman dan Raymond T. Nimmer, 2002, Drafting Efective Contract, A
Practitioner’s Guide, Aspen Law & Business, New York, hal. 1-3
Untuk menunjang pelaksanaan client awareness tersebut pihak yang lemah
berhak memperoleh informasi mengenai kompetensi perseroan sesuai anggaran
dasar dan Direksi wajib memberikan informasi tersebut. Di Indonesia hal ini
menjadi
sangat
relevan
sehubungan
dengan
adanya
kewajiban
untuk
mengumumkan anggaran dasar perseroan dalam Berita Negara Republik
Indonesia (BNRI) dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia(TBNRI)
dengan tujuan agar khalayak mengetahuinya.
Dengan demikian terlihat dengan jelas client awareness yang menekankan
perlunya kesadaran dan kewajiban pihak yang lemah untuk mengetahui
kompetensi perseroan itu pada dasarnya bertujuan mencegah terjadinya
penggabungan perusahaan (merger) dan kerugian pada pihak yang lemah, karena
apabila pihak yang lemah mengetahui atau menyadarinya sudah tentu pihak yang
lemah dapat mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan perjanjian dengan
perseroan yang merger.
Perlindungan hukum represif dalam pengertian upaya menanggulangi atau
menyelesaikan akibat-akibat dari penggabungan perusahaan (merger) terhadap
pihak yang lemah yang mengalami kerugian adalah dengan memulihkan atau
mengembalikan kondisi pihak yang lemah pada keadaan semula. Dalam kaitan itu
sistem hukum harus membuka kesempatan kepada pihak yang lemah untuk
memperoleh kondisi-kondisinya kembali baik secara litigasi atau penyelesaian
sengketa melalui pengadilan maupun non litigasi seperti arbitrase dan bentukbentuk penyelesaian sengketa alternatif. Sementara itu perseroan apabila terbukti
merger berkewajiban memberikan remedy berupa kompensasi.
1.3 Pengertian Dan Dasar Hukum Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan Terbatas adalah, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah
badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang –
undang ini serta peraturan pelaksanaannya. (Bab I Pasal 1 angka 1 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007)
Bilamana seseorang akan mendirikan perseroan terbatas, maka para
pendiri, yang biasanya terdiri dari 2 orang atau lebih, melakukan perbuatan
hukum sebagai yang tersebut di bawah ini:
a. Pertama, para pendiri datang di kantor Notaris untuk diminta dibuatkan akta
pendirian PT. Yang disebut akta pendirian itu termasuk di dalamnya anggaran
dasar dari PT yang bersangkutan. Anggaran dasar ini sendiri dibuat oleh para
pendiri, sebagai hasil musyawarah mereka. Kalau para pendiri merasa tidak
sanggup untuk membuat anggaran dasar tersebut, maka hal itu dapat
diserahkan pelaksanaannya kepada Notaris yang bersangkutan.
b. Kedua, setelah pembuatan akta pendirian itu selesai, maka notaris
mengirimkan akta tersebut kepada Kepala Direktorat Perdata, Departemen
Kehakiman. Akta pendirian tersebut juga dapat dibawa sendiri oleh para
pendiri untuk minta pengesahan dari Menteri Kehakiman, dalam hal ini
Kepala Direktorat Perdata tersebut, tetapi harus ada surat pengantar dari
notaris yang bersangkutan. Kalau penelitian akta pendirian perseroan terbatas
itu tidak mengalami kesulitan, maka Kepala Direktorat Perdata atas nama
Menteri Kehakiman mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendirian
PT yang bersangkutan. Kalau ada hal- hal yang harus diubah, maka perubahan
itu harus ditetapkan lagi dengan akta notaris sebagai tambahan akta notaris
yang dahulu. Tambahan akta notaris ini harus mnedapat pengesahan dari
Departemen Kehakiman. Begitulah sampai ada surat keputusan terakhir dari
Departemen Kehakiman tentang akta pendirian PT yang bersangkutan.
c. Ketiga, para pendiri atau salah seorang atau kuasanya, membawa akta
pendirian yang sudah mendapat pengesahan dari Departemen Kehakiman
beserta surat keputusan pengesahan dari Departemen Kehakiman tersebut ke
kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang mewilayahi domisili PT untuk
didaftarkan. Panitera yang berwenang mengenai hal ini mengenai surat hal ini
mengeluarkan surat pemberitahuan kepada notaris yang bersangkutan bahwa
akta pendirian PT sudah didaftar pada buku register PT.
d. Keempat, para pendiri membawa akta pendirian PT beserta surat keputusan
tentang pengesahan dari Departemen Kehakiman, serta pula surat dari Panitera
Pengadilan negeri tentang telah didaftarnya akta pendirian PT tersebut ke
kantor Percetakan Negara, yang menerbitkan Tambahan Berita Negara RI.
Sesudah akta pendirian PT tersebut diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara RI, maka PT yang bersangkutan sudah sah menjadi badan hukum.
Perseroan mempunyai kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan masing –
masing pemegang saham perseroan. Termasuk dalam harta kekayaan perseroan
terbatas adalah modal, yang terdiri dari:
a. Modal perseroan atau modal dasar, yaitu jumlah maksimum modal yang
disebut dalam akta pendirian. Ketentuan modal dasar diatur pada Pasal 31-32
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007. Modal dasar
perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham. (Pasal 31 (1)). Modal dasar
paling sedikit Rp.50.000.000,00 (Pasal 32 (1)).
b. Modal yang disanggupkan atau ditempatkan diatur pada Pasal 33 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007. Paling sedikit 25% dari
modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan
disetor penuh (Pasal 33 (1)).
c. Modal yang disetor, yakni modal yang benar-benar telah disetor oleh para
pemegang saham pada kas perseroan. Diatur pada Pasal 34 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007. Penyetoran atas modal saham
dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya (Pasal 34
(1)). Penyetoran atas modal saham selanjutnya diatur pada Pasal 34 ayat 2 dan
ayat 3.
Perubahan atas besarnya jumlah modal perseroan harus mendapat
pengesahan dari Menteri Kehakiman, sesudah mana harus didaftarkan dan
diumumkan seperti biasa.
Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007
tentang perseroan terbatas, mengatur mengenai klasifikasi saham pada perseroan
terbatas.
Pasal 53
Ayat (1) Anggaran dasar menetapkan 1 (satu) klasifikasi saham atau lebih.
Ayat (2) Setiap saham dalam klasifikasinya yang sama memberikan kepada
pemegangnya hak yang sama.
Ayat (3) Dalam hal terdapat lebih dari 1(satu) klasifikasi saham, anggaran dasar
menetapkan salah satu diantaranya sebagai saham biasa.
Ayat (4) Klasifikasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain:
a. saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;
b. saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris;
c. saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau
ditukar dengan klasifikasi saham lain;
d. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas
pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif;
e. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian
sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi.
Adapun alat perlengkapan tersebut ialah:
a. Rapat umum pemegang saham (Bab 1 Pasal 1 angka 4 UUPT)
Rapat umum pemegang saham adalah yang selanjutnya disebut RUPS, adalah
organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada
direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan undang – undang
ini dan/atau anggaran dasar.
b. Dewan Direksi (Bab 1 Pasal 1 angka 5 UUPT)
Dewan Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung
jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam
maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan dasar.
c. Dewan Komisaris (Bab 1 Pasal 1 angka 6 UUPT)
Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta
memberi nasehat kepada direksi
Ketentuan Pasal 51-52 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
2007, mengatur mengenai hak pemegang saham yang berbunyi:
Pasal 51,
Pemegang saham diberi bukti pemilikan saham untuk saham yang
dimilikinya.
Pasal 52
(1) Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk:
a. menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
b. menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi;
c. menjalankan hak lainnya berdasarkan undang- undang ini.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku setelah saham
dicatat dalam daftar pemegang saham atas nama pemiliknya.
a. Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap
Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan
Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai
akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris.
(Pasal 61(1).
b. Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar
sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang
bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan
pemegang saham atau Perseroan (Pasal 62(1).
c. Dalam hal anggaran dasar mengharuskan pemegang saham penjual
menawarkan terlebih dahulu sahamnya kepada pemegang saham
klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain, dan dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh hari) terhitung sejak tanggal penawaran
dilakukan ternyata pemegang saham tersebut tidak membeli,
pemegang saham penjual dapat menawarkan dan menjual
sahamnya kepada pihak ketiga
Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun alasan –
alasan sebuah perseroan itu dibubarkan diatur pada Pasal 142 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007. Pembubaran Perseroan terjadi:
a. berdasarkan keputusan RUPS;
b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar
telah berakhir;
c. berdasarkan penetapan pengadilan;
d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan
tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam
keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan
melakukan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
1.4 Perseroan Terbatas (PT) Sebagai Badan Hukum Serta Struktur
Permodalan Perseroan Terbatas (PT)
Menurut Subekti pengertian badan hukum yaitu suatu badan atau
perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti
menerima serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat, dan menggugat di muka
hakim.6
Menurut Teori Fiksi yang dipelopori oleh Sarjana Von Savigny, bahwa
hanya manusia saja yang mempunyai kehendak. Menurut alam manusia selalu
subjek hukum, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya badan hukum selalu
subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia, jadi orang bersikap seolaholah ada subjek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat
melakukan perbuatan-perbuatan sehingga yang melakukan adalah manusia
sebagai wakilnya. Selanjutnya dikemukakan bahwa badan hukum adalah suatu
abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang kongkrit, jadi karena suatu abstraksi
maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum sebab hukum
memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan
6
Handri Raharjo, 2009, Hukum Perusahaan, PT. Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal. 18.
kehendak berkuasa. Badan hukum semata-mata hanya buatan pemerintah atau
negara. Kecuali negara badan hukum itu fiksi yakni suatu yang sebenarnya tidak
ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan untuk menerangkan sesuatu
hal.
Menurut Scholten, Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang
mempunyai harta kekayaan sendiri yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan,
mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai organ Perseroan Terbatas (PT).7
Menurutnya Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang memenuhi unsurunsur:
1) Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu perbuatan hukum
pemisahan.
2) Mempunyai tujuan sendiri (tertentu)
3) Mempunyai alat perlengkapan (organisasi).
Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung sebagaimana termaktub dalam
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 27 Juni 1973 Nomor
124/Sip/1973.8
Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung ini maka kedudukan Perseroan
Terbatas (PT) sebagai badan hukum telah mempunyai kepastian hukum dalam
hukum di Indonesia.
7
8
Ibid.
H.P.Pangabean, 2002, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan, (Termasuk
Aset Lembaga Keagamaan), dan Upaya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian
Sengketa, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 10.
Sebelum Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, status badan hukum
Perseroan Terbatas (PT) tidak memberikan kepastian hukum apakah Perseroan
terbatas tersebut merupakan badan hukum atau bukan badan hukum sehingga
dalam masyarakat terdapat penafsiran bahwa Perseroan Terbatas merupakan
badan hukum atau penafsiran Perseroan Terbatas bukan badan hukum.
berdasarkan Yurisprudensi tersebut di atas sudah jelas bahwa Perseroan Terbatas
merupakan badan hukum, tetapi yang belum jelas adalah bagaimana tata cara
menurut hukum yang harus dipenuhi oleh Perseroan Terbatas untuk mendirikan
Perseroan Terbatas dan bagaimana cara memperoleh status badan hukum tersebut.
Kebiasaan selama ini Perseroan Terbatas yang didirikan oleh swasta atau
perorangan biasanya dilakukan dengan akta notaris. Kekayaan yang dipisahkan
dari milik para pendiri atau pengurus Perseroan Terbatas yang bersangkutan.
Kebiasaan yang terjadi akta notaris tersebut tidak didaftarkan atau didaftarkan di
Kantor Pengadilan Negeri setempat.
Untuk mendapatkan status badan hukum Perseroan Terbatas maka
memerlukan suatu proses yaitu diperolehnya pengesahan dari Menteri Hukum dan
Hak Azasi Manusia (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007)
dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Dengan
dilaksanakan pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia maka
resmilah yayasan sebagai Badan Hukum karena ini merupakan syarat mutlak
Perseroan Terbatas untuk diakui sebagai badan hukum.
Fungsi pengesahan ini adalah untuk keabsahan keberadaan badan hukum
sehingga badan hukum itu tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang
ada, kebebasan isi akta pendirian termasuk permodalan, hal ini dimaksudkan agar
tidak ada penipuan.
Dari keterangan, jelas terlihat bahwa Perseroan Terbatas menjadi badan
hukum karena paksaan dari negara yaitu seperti terlihat Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa: Perseroan Terbatas
adalah badan hukum. Hal ini sesuai apa yang dikemukakan oleh teori fiksi yang
dipelopori oleh Von Savigny yang mengatakan bahwa badan hukum adalah
semata-mata buatan negara. Jadi tanpa diatur oleh negara Perseroan Terbatas ini
tidak berbadan hukum.
Download