TINJAUAN PUSTAKA Trenggiling Jawa (Manis javanica) Trenggiling Jawa merupakan salah satu jenis mamalia langka yang menjadi kekayaan alam hayati Indonesia. Trenggiling Jawa mempunyai nama populer Malayan pangolin yang berasal dari bahasa melayu yakni pengguling atau guling yang berarti menggulung atau melingkar seperti bola. Trenggiling merupakan salah satu hewan yang dilindungi, karena populasi hewan ini di alam semakin berkurang dari waktu ke waktu. Populasi trenggiling di alam semakin menurun dan terancam punah akibat perburuan dan perdagangan liar, serta kerusakan habitat. Masyarakat Asia khususnya masyarakat Cina mempercayai sisik dan daging trenggiling memiliki khasiat obat (Nowak 1999). Risiko kepunahan trenggiling Jawa yang tinggi didukung pula oleh kemampuan reproduksinya yang hanya dapat menghasilkan 1-2 anak dalam satu periode kebuntingan. Aktivitas reproduksi merupakan salah satu upaya yang dilakukan makhluk hidup untuk melestarikan jenis. Klasifikasi Trenggiling Jawa (Manis javanica) Trenggiling termasuk ke dalam ordo Pholidota yang artinya bersisik banyak. Ordo ini memiliki satu famili Manidae dan satu genus Manis dengan delapan spesies yang tersebar di Asia dan Afrika. Trenggiling Jawa merupakan salah satu dari delapan spesies trenggiling (Linnaeus 1758; Corbet & Hill 1992). Secara sistematis klasifikasi trenggiling Jawa adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Pholidota Famili : Manidae Genus : Manis Spesies : Manis javanica Persebaran Geografis Trenggiling Distribusi trenggiling Jawa di Indonesia meliputi hutan hujan tropis di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan beberapa pulau kecil seperti kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung, Nias, Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali, serta Lombok (Corbet & Hill 1992). Persebaran trenggiling di luar wilayah Indonesia meliputi Burma, Thailand, Indocina, Malaysia, Filipina (Lekagul & McNeely 1977), serta Vietnam, Laos, dan Singapura (Corbet & Hill 1992). Gambar 1 Perkiraan wilayah persebaran trenggiling (Rahmawati 2011). Daerah distribusi trenggiling. Morfologi dan Tingkah Laku Trenggiling Trenggiling mempunyai morfologi tubuh yang unik (Corbet & Hill 1992). Permukaan tubuh bagian dorsal terdapat sisik-sisik yang keras dan di antara sisik tersebut terdapat rambut-rambut kasar. Sisik trenggiling merupakan derivat kulit yang berkembang dari lapis basal epidermis. Sisik ini hanya tumbuh pada bagian dorsal tubuh trenggiling dan berwarna coklat terang, sedangkan pada bagian ventral tubuhnya tidak terdapat sisik dan hanya terdapat rambut-rambut. Terdapat perbedaan ukuran antara trenggiling jantan dan betina. Trenggiling jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan tenggiling betina. Rata rata panjang tubuhnya adalah 75-150 cm dengan panjang ekor sekitar 45-65% dari panjang total tubuh. Berat tubuh trenggiling sekitar 2 kg (Grzimek 1975). Kepala trenggiling berukuran kecil dan berbentuk tirus dengan mata yang kecil dan dilindungi oleh kelopak mata yang tebal. Fungsi kelopak mata trenggiling ini untuk melindungi mata dari gigitan semut. Trenggiling memiliki daun telinga yang berukuran kecil dan berbentuk seperti bulan sabit, selain itu trenggiling juga memiliki lidah yang dapat menjulur panjang dan dihubungkan oleh otot-otot yang berkembang subur. Lidah trenggiling berbentuk ramping dan panjang. Lidah ini akan semakin menipis dan menyempit pada bagian apex (Sari 2007). Bentuk tersebut membuat lidah trenggiling menyerupai cacing (vermiform) dan bersifat lengket, sehingga memudahkan trenggiling untuk mencari pakan (Amir 1978). Tubuh trenggiling yang panjang ditunjang oleh empat kaki yang pendek. Kaki trenggiling dilengkapi dengan masing-masing lima jari serta mempunyai kuku cakar yang panjang dan melengkung. Kuku cakar pada kaki depan biasanya lebih panjang hingga satu setengah kali dibandingkan kuku cakar kaki belakang. Kuku cakar pada kaki depan berperan sangat penting ketika trenggiling menggali lubang semut atau rayap (Lekagul & McNeely 1977). Perilaku unik dari trenggiling terjadi saat mencari pakan. Trenggiling merupakan hewan plantigradi, yaitu hewan yang cara berjalannya dengan seluruh tapak kakinya di atas tanah. Keberadaan kuku pada kaki depan dan belakang tidak menghalanginya ketika bergerak. Kuku kaki depan dan belakang trenggiling dilipat ke dalam dan bertumpu pada bagian luar dari telapak kakinya. Saat berjalan, trenggiling terkadang berhenti dan berdiri dengan kedua kaki belakang disangga oleh ekor. Ketika menggali lubang semut, trenggiling akan bertumpu pada kedua kaki belakang dan ekor sebagai penyangga, sementara kedua kaki depannya digunakan untuk menggali lubang tersebut. Saat memanjat pohon, kedua kaki depan dan ekor digunakan untuk mencengkeram batang pohon dengan kuat. Belitan ekor trenggiling sangat kuat karena pada ekor trenggiling terdapat gerigi sisik di lateral ekor yang memperkokoh cengkeraman pada pohon. Selain itu, trenggiling selalu menjaga posisi badan dalam keadaan melengkung seperti busur serta ekornya yang panjang dan terangkat tidak menyentuh tanah digunakan untuk menjaga keseimbangan (Grzimek’s 1975). Aktivitas trenggiling dapat berlangsung sepanjang hari tetapi lebih tinggi ketika malam hari (nokturnal). Trenggiling lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur di dalam lubang-lubang, di bawah dedaunan atau dicelah-celah pohon saat siang hari (Amir 1978). Dalam usaha mendapatkan pakan, organ penciuman merupakan sistem indera yang berperan utama membantu menemukan sarang rayap atau semut sebagai makanan utamanya. Indera lain yang berkembang selain organ penciuman adalah organ pendengaran, sedangkan organ penglihatannya kurang berperan karena tidak berkembang dengan baik (Lekagul & McNeely 1977). Trenggiling termasuk hewan mamalia pemakan semut sehingga sering disebut dengan Anteater (Feldhamer et al. 1999). Pakan utama dari trenggiling adalah semut (Ordo Hymenoptera) dan rayap (Ordo Isoptera). Menurut Heryatin 1983, pakan yang lebih disukai oleh trenggiling di antara keduanya yaitu semut merah tanah (Myrmicaria sp). Pakan tersebut tidak dihancurkan di dalam mulut karena trenggiling tidak mempunyai gigi, sehingga pakan digiling di dalam lambungnya terutama di bagian pilorus dengan adanya tonjolan-tonjolan seperti gigi (pyloric teeth) dan dibantu oleh batu kerikil yang tertelan (Nisa’ 2005). Proses mendapatkan pakan pada trenggiling tidak jauh berbeda dengan proses minum. Trenggiling mengeluarkan lidahnya dan memasukkannya kembali dengan cepat ketika minum (Nowak 1999). Gambar 2 Trenggiling jawa (Manis javanica) saat menjulurkan lidah untuk mendapatkan minum (Sari 2007) Keunikan lain yang dimiliki oleh trenggiling selain hal-hal di atas adalah upaya pertahanan diri dari predatornya. Trenggiling merupakan satwa yang menjadi mangsa beberapa jenis karnivora besar di habitat aslinya. Oleh karena itu trenggiling membuat mekanisme pertahanan diri dengan cara menggulungkan tubuhnya jika terancam. Sisik keratin kokoh ikut membantu pertahanan diri trenggiling (Lekagul dan McNeely 1997). Beberapa spesies trenggiling memiliki kelenjar perianal yang menghasilkan sekreta berbau tajam. Sekreta ini berbau menyerupai urin menyengat dan biasa digunakan untuk menandai teritori trenggiling serta mengusir predator-predator. Predator utama dari trenggiling antara lain manusia, macan (Panthera pardus) dan ular python (Breen 2003). A B Gambar 3 Trenggiling jawa (Manis javanica) saat (A) menggulung tubuh (B) memanjat pohon (Rahmawati 2011) Status Konservasi Terdapat delapan spesies trenggiling di dunia yang tersebar di wilayah hutan tropis Asia dan daerah tropis hingga subtropis Afrika. Empat spesies trenggiling yang tersebar di wilayah Asia adalah M. crassicaudata (trenggiling India), M. pentadactyla (trenggiling Cina), M. culionensis (trenggiling Palawan), dan M. javanica (trenggiling jawa), sedangkan di Indonesia, M. javanica dapat ditemukan di beberapa pulau seperti Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (Corbet & Hill 1992). Trenggiling termasuk hewan langka yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia, yang dimuat dalam PP Nomor 7 tahun 1999. IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) sebagai badan dunia yang memasukkan trenggiling dalam kategori endangered yang artinya status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu akan datang, sehingga masuk dalam daftar Red List. Berbeda dengan IUCN, CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang mengatur perdagangan spesies satwa dan tumbuhan yang terancam punah, memasukkan trenggiling ke dalam daftar Appendix II. Artinya trenggiling Jawa tidak boleh diperjualbelikan secara bebas karena memiliki risiko kepunahan yang tinggi. Risiko kepunahan trenggiling Jawa dapat diakibatkan oleh perburuan ilegal dan kerusakan habitat (IUCN 2011). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), trenggiling akan terancam punah jika perdagangannya tidak diatur. Sistem Lokomosi Alat lokomosi berfungsi untuk melakukan gerakan berpindah tempat, seperti berjalan dan berlari. Alat lokomosi terdiri atas sepasang kaki depan dan sepasang kaki belakang. Umumnya alat gerak tubuh dibentuk oleh dua unsur, yaitu alat gerak pasif dan alat gerak aktif (Sigit 2000). Bagian dari alat gerak pasif dibentuk oleh tulang, tulang rawan, ligamentum, dan tendo. Tulang dan tulang rawan membentuk kerangka yang berfungsi untuk memberi bentuk pada tubuh, melindungi organ-organ tubuh yang lunak seperti otak, sumsum tulang belakang, organ-organ di dalam rongga dada, serta menjadi tempat bertautnya otot-otot kerangka. Sedangkan tendo merupakan jaringan yang menghubungkan otot dengan tulang, baik di bagian origo maupun di bagian insersio. Pembersitan disebelah proksimal tulang biasanya disebut origo dan pertautan di distal tulang disebut insersio (Sigit 2000; Tortora & Derrickson 2009). Otot merupakan alat gerak aktif. Otot tubuh berdasarkan morfologi dibagi menjadi tiga tipe otot, antara lain otot kerangka atau otot lurik, otot jantung, dan otot polos. Otot kerangka termasuk golongan otot bergaris melintang yang diinervasi oleh syaraf somatomotoris yang bekerja di bawah sadar (Sigit 2000) dan berfungsi sebagai alat lokomosi pada saat bergerak. Selain memberikan bentuk tubuh, otot kerangka juga membantu tubuh dalam menjalankan berbagai jenis gerakan, seperti berjalan dan berlari, serta menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Ketika otot-otot tersebut berkontraksi, otot akan menarik tulang yang menyebabkan terjadinya gerakan (Marieb 1988; Tortora & Derrickson 2009). Otot-otot kerangka disusun dari serabut-serabut otot yang disatukan oleh endomisium membentuk fasikulus dan dibungkus oleh perimisium. Gabungan fasikulus membentuk otot dan dibungkus oleh epimisium. Serabut otot merupakan kumpulan paralel dari miofibril yang saling berikatan dan berupa filamen-filamen. Filamen tersebut terdiri atas filamen tebal dan filamen tipis. Filamen tebal tersusun oleh miosin, sedangkan filamen tipis tersusun oleh aktin, tropomisin, dan troponin. Kontruksi Alat Lokomosi Kaki Depan Alat lokomosi hewan dijalankan oleh tulang-tulang apendikular, yaitu tulang-tulang anggota gerak tubuh. Tulang-tulang apendikular terdiri atas tulang pembentuk kaki depan dan kaki belakang. Kaki belakang dan kaki depan memiliki perbedaan yaitu kaki belakang memiliki persendian antar tulang dengan tubuh, sedangkan kaki depan dihubungkan oleh otot-otot dengan tubuh. Perbedaan ini dikarenakan fungsi dari kaki depan sebagai penunjang atau menahan berat tubuh. Konstruksi tersebut akan menguntungkan karena pada kaki depan bekerja juga sebagai pegas, sehingga goncangan pada waktu hewan berjalan atau meloncat dapat diperhalus (Sigit 2000). Susunan tulang kaki depan pada trenggiling terdiri atas os scapulae, os humerus, os radius, os ulnare, ossa carpi, ossa metacarpalia, dan ossa sessamoidea. Os scapulae merupakan tempat pertautan atau insersio dari otot-otot gelang bahu yang berasal dari daerah leher, punggung, dan dada. Selain itu, os scapulae juga menjadi origo dari otot-otot bahu seperti m. supraspinatus, m. infraspinatus, m. deltoideus, m. teres minor, m. subscapularis, m. teres major, dan m. coracobrachialis. Otot-otot ini selanjutnya akan berinsersio di daerah os humerus. Os scapulae trenggiling berbentuk pipih, terletak di ujung proksimal kaki depan dan di bagian anterior dinding lateral thorax. Os scapulae memiliki dua facies (permukaan), tiga margo (tepi), dan tiga unguli (sudut). Facies lateralis dibagi oleh spina scapulae menjadi dua fossa yaitu fossa supraspinata dan fossa infraspinata, sedangkan pada fossa supraspinata di dekat collum scapulae terdapat daerah yang melebar (processus accessorius). Daerah yang melebar ini menambah luas fossa supraspinata. Facies lateralis dapat terlihat beberapa foramina nutrien. Facies medialis mempunyai fossa subscapularis yang diapit oleh facies serrata. Ketiga facies dibagi dengan jelas oleh dua garis. Margo caudalis rata dan tebal di proksimal serta konkaf di distal. Margo vertebralis terletak di proksimal kemudian ke dorsal bersambung dengan cartilago scapulae. Margo cranialis sedikit konkaf di bagian distal. Angulus caudalis menebal serta terdapat tambahan tulang (processus accessorius) dengan batas persambungan yang terlihat jelas. Angulus caudalis berbentuk tumpul dan tipis. Angulus glenoidalis dihubungkan oleh suatu bagian yang sempit, collum scapulae. Angulus glenoidalis memiliki bidang persendian dengan os humerus pada cavitas glenoidalis. Tuber scapulae terlihat di anterior dari collum scapulae (Cahyono 2007). Gambar 4 Morfologi tulang kaki depan tampak lateral (A) dan dorsal (B). a. os scapulae, b. os humerus, c. olecranon, d. os ulnare, e. os radius, f. daerah manus, g. processus accessorius pada angulus caudalis, h. processus accessorius pada angulus glenoidalis, i. tuberculum humeri lateralis, j. tuberculum humeri medialis, k. os sessamoidea, l. epicondylus medialis, m. foramen supracondyloidea (bar : 1 cm) (Cahyono 2007). Os humerus merupakan tulang besar yang memiliki satu corpus dan dua extremitas. Os humerus trenggiling memiliki beberapa daerah yang sangat berkembang, yaitu satu corpus dan extremitas. Extremitas proximalis mempunyai caput yang besar dan permukaan persendian berbentuk konveks (cembung) yang luas. Tuberculum humeri medialis besar sedangkan tuberculum humeri lateralis lebih kecil dan berbentuk seperti crista. Crista ini kemudian bersambung dengan tuberositas teres. Corpus os humerus memiliki banyak lekukan dan crista. Tuberositas teres mempunyai permukaan yang luas, kemudian bersambung menuju extremitas distalis membentuk crista. Extremitas distalis melebar seperti ujung dayung. Condylus medialis dan lateralis mengadakan hubungan persendian dengan os radius dan os ulna serta dipisahkan oleh suatu lekukan. Di bagian proksimal dari lekukan terdapat fossa olecrani yang cukup dalam dan besar. Di bagian lateral dari epicondylus lateralis terdapat os sessamoidea (tulang tambahan). Crista condylus lateralis pada trenggiling terlihat jelas. Epicondylus medialis sangat berkembang ke medial. Bagian proksimal dari condylus medialis terdapat foramen supracondyloidea (Cahyono 2007). Susunan Anatomi Otot Daerah Bahu dan Lengan Atas Secara umum susunan anatomi otot pada anjing dan trenggiling mempunyai persamaan dan perbedaan, hal ini disebabkan oleh sikap dan tingkah laku kedua spesies. Otot pada daerah bahu dan lengan atas pada anjing dapat dikelompokkan menjadi kelompok otot ekstrinsik, kelompok otot bahu lateral, kelompok otot bahu medial, kelompok otot lengan atas bagian kranial dan kaudal (Miller 1993). Kelompok otot ekstrinsik pada anjing yang ditemukan adalah m. trapezius, m. omotransversarius, m. rhomboideus, m. serratus ventralis, m. brachiocephalicus, m. latissimus dorsi, m. pectoralis superficialis, dan m. pectoralis profundus. Kelompok otot bahu lateral yang ditemukan adalah m. supraspinatus, m. infraspinatus, m. teres minor, dan m. deltoideus. Kelompok otot bahu medial yang ditemukan adalah m. subscapularis dan m. teres major. Kelompok otot lengan atas bagian kranial yang ditemukan adalah m. biceps brachii, m. brachialis, dan m. coracobrachialis, sedangkan kelompok otot lengan atas bagian kaudal terdiri atas m. triceps brachii, m. anconeus, dan m. tensor fasciae antebrachii (Miller 1993). Otot-otot yang ditemukan pada daerah bahu dan lengan atas beruk adalah m. panniculus carnosus, m. trapezius, m. rhomboideus, m. serratus ventralis cervicis, m. serratus ventralis thoracis, m. pectoralis transversus, m. pectoralis descendens, m. pectoralis ascendens, m. deltoideus, m. coracobrachialis, m. teres major, m. latissimus dorsi, m. biceps brachii, m. brachialis, m. triceps brachii, m. teres minor, m. supraspinatus, m. infraspinatus, dan m. subscapularis (Husein 2012). Gambar 5 Otot-otot beruk daerah bahu bagian superfisial setelah kulit dikuakkan. 1. platysma, 2. m. trapezius (a. pars cervicalis, b. pars thoracica), 3. m. deltoideus (a. pars scapularis, b. pars acromialis), 4. m. triceps brachii (a. caput laterale, b. caput longum, c. caput accessorium), 5. m. infraspinatus, 6. m. teres major, 7. m. latissimus dorsi, 8. m. pectoralis transversus, 9. m. brachialis, 10. m. brachioradialis, 11. m. extensor carpi radialis longus, 12. m. extensor digitorum, 13. m. extensor carpi radialis brevis, 14. m. extensor digiti minimi, 15. m. pectoralis descendens, 16. m. obliquus externus abdominis, 17. m. panniculus carnosus (Husein 2012). Gambar 6 Otot-otot beruk daerah bahu bagian profundal setelah m. trapezius dan m. latissimus dorsi dikuakkan. 1. platysma, 2. m. trapezius (a. pars cervicalis, b. pars thoracica), 3. m. atlantoscapularis (a. pars cranialis, b. pars caudalis), 4. m. rhomboideus (a. pars capitis, b. pars cervicis, c. pars thoracis), 5. m. supraspinatus, 6. m. infraspinatus, 7. m. teres major, 8. m. deltoideus (a. pars scapularis, b. pars acromialis), 9. m. triceps brachii (a. caput longum, b. caput laterale, c. caput accessorium), 10. m. latissimus dorsi, 11. m. serratus ventralis thoracis, 12. m. longisimus thoracis, 13. m. spinalis thoracis, 14. m. multifidus, 15. m. serratus dorsalis cranialis, 16. m. obliquus externus abdominis, 17. m. pectoralis descendens (Husein 2012). BAHAN DAN METODE Gambar 7 Otot-otot beruk daerah pektoral bagian superfisial setelah platysma dikuakkan. 1. platysma, 2. m. sternothyrohyoideus, 3. m. sternocleidomastoideus, 4. m. trapezius pars cervicalis, 5. m. deltoideus (a. pars clavicularis, b. pars acromialis), 6. m. pectoralis transversus, 7. m. pectoralis descendens, 8. m. rectus abdominis, 9. linea alba, 10. m. obliquus externus abdominis, 11. m. latissimus dorsi, 12. m. triceps brachii (a. caput accessorium, b. caput medial), 13. m. biceps brachii (a. caput longum, b. caput brevis), 14. m. brachioradialis, 15. m. pronator teres, 16. m. flexor carpi ulnaris (Husein 2012).