ANATOMI OTOT DAERAH BAHU DAN LENGAN ATAS TRENGGILING JAWA (Manis javanica) CATUR FAJRIE DIAH ASTUTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Anatomi Otot Daerah Bahu dan Lengan Atas Trenggiling Jawa (Manis javanica) adalah karya saya dengan arahan dari Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, April 2012 Catur Fajrie Diah Astuti B04070124 ABSTRAK CATUR FAJRIE DIAH ASTUTI. Anatomi Otot Daerah Bahu dan Lengan Atas Trenggiling Jawa (Manis javanica). Dibimbing oleh CHAIRUN NISA’ dan SAVITRI NOVELINA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui susunan otot daerah bahu dan lengan atas trenggiling, beserta origo dan insersionya untuk menduga fungsi dari otot-otot tersebut. Sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah trenggiling yang telah difiksasi dalam formalin 10%. Pengamatan dilakukan dengan mengamati anatomi luar daerah bahu dan lengan atas trenggiling. Penentuan letak origo dan insersio masing-masing otot daerah bahu dan lengan atas trenggiling dilakukan dengan mempreparir otot-otot daerah tersebut untuk dapat melihat kelompok otot yang berada pada lapis profundal. Penamaan otot didasarkan pada Nomina Anatomica Veterinaria 2005. Otot-otot daerah bahu yang ditemukan pada trenggiling terdiri atas m. trapezius, m. rhomboideus, m. brachiocephalicus, m. omotransversarius, m. latissimus dorsi, m. serratus ventralis, m. deltoideus, m. supraspinatus, m. infraspinatus, m. teres minor, m. subscapularis, m. teres major, m. coracobrachialis, m. pectoralis superficialis (m. pectoralis descendens dan m. pectoralis transversus), dan m. pectoralis profundus (m. subclavius dan m. pectoralis ascendens). Otot-otot daerah lengan atas yang ditemukan terdiri atas m. triceps brachii, m. tensor fascia antibrachii, m. brachialis, dan m. biceps brachii. Secara umum trenggiling memiliki kemiripan fungsi otot-otot daerah bahu dan lengan atas dengan anjing yaitu sebagai hewan penggali dan Macaca sp. sebagai hewan pemanjat. Aktivitas trenggiling saat memanjat pohon diduga dipengaruhi oleh m. brachiocephalicus, m. latissimus dorsi, m. pectoralis descendens, m. pectoralis transversus, m. subclavius, m. pectoralis ascendens, dan m. deltoideus pars scapularis. Sedangkan kemampuan trenggiling saat menggali tanah diduga dipengaruhi oleh perbedaan struktur m. brachiocephalicus, m. latissimus dorsi, m. deltoideus pars scapularis, m. teres major, dan m. pectoralis ascendens. Kata kunci: trenggiling Jawa, otot, bahu, lengan atas. ABSTRACT CATUR FAJRIE DIAH ASTUTI. Anatomy of the Shoulder and Arm Muscles of the Malayan Pangolin (Manis javanica). Under direction of CHAIRUN NISA’ and SAVITRI NOVELINA. The study was aimed to observe the anatomy of muscles in shoulder and arm regions of Malayan pangolin included their origins and insertions in order to describe the functions of the muscles. The study was used two samples of Malayan pangolin preserved in 10% formaline. The muscles of shoulder and arm region were observed macroscopically after the skin were incised and opened. The locations of muscles origins and insertions were determined by dissected the muscles. The name of muscles based on Nomina Anatomica Veterinaria (2005) and compared with others animal such as dog and macaques. The results were documented by photograph. The muscles found in shoulder regions were the trapezius, rhomboideus, brachiocephalicus, omotransversarius, latissimus dorsi, serratus ventralis, deltoideus, supraspinatus, infraspinatus, teres minor, subscapularis, teres major, coracobrachialis, pectoralis superficialis (pectoralis descendens and pectoralis transversus), and pectoralis profundus (subclavius and pectoralis ascendens) muscles. Otherwise the muscles of arm region were the triceps brachii, tensor fascia antibrachii, brachialis, and biceps brachii muscles. The result showed that generally the pangolin’s muscles were quite similar with those of dog and macaques. Activity of pangolin when climbing a tree thought to be influenced by the brachiocephalicus, latissimus dorsi, pectoralis descendens, pectoralis transversus, subclavius, pectoralis ascendens, and deltoideus pars scapularis muscles. The quick movement of pangolin when digging a hole thought to be influenced by the brachiocephalicus, latissimus dorsi, deltoideus pars scapularis, teres major, and pectoralis ascendens muscles. Keywords: Malayan pangolin, muscles, shoulder, arm ©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian sebagiaan atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. ANATOMI OTOT DAERAH BAHU DAN LENGAN ATAS TRENGGILING JAWA (Manis javanica) CATUR FAJRIE DIAH ASTUTI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi : Anatomi Otot Daerah Bahu dan Lengan Atas Trenggiling Jawa (Manis javanica) Nama : Catur Fajrie Diah Astuti NIM : B04070124 Disetujui Dr. Drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet Pembimbing I Dr. Drh. Savitri Novelina, MSi, PAVet Pembimbing II Diketahui Drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal Lulus: PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini tersusun dari hasil penelitian saya yang berjudul “Anatomi Otot Daerah Bahu dan Lengan Atas Trenggiling Jawa (Manis javanica)”. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua Ayahanda Totok Karwoto dan Ibunda tercinta Titin Mutamimmah Asriyah, ketiga kakak tersayang Tito, Tika, dan Trias, yang telah memberikan do’a, dukungan, dan semangat. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada: 1. Dr. Drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet selaku pembimbing utama yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi, dan atas kesabarannya selama penelitian penulis. 2. Dr. Drh. Savitri Novelina, MSi, PAVet selaku dosen pembimbing kedua dengan kesabaran dan waktu luangnya untuk saya selama penelitian. 3. Drh. Supratikno, Msi, PAVet, Dr. Drh. Nurhidayat, MS, PAVet, Dr. Drh. Heru Setijanto, PAVet (K), dan Dr. Drh. Srihadi Agungpriyono, PAVet (K). 4. Dr. Drh. Joko Pamungkas, MSc selaku dosen pembimbing akademik atas nasehat dan arahannya selama penulis mengikuti perkuliahan. 5. Dosen-dosen Bagian Radiologi dan Bedah yang sudah memberikan tempat untuk saya. 6. Seluruh staff pengajar dan karyawan di Laboratorium Anatomi FKH IPB atas tenaga, kebaikan, dan waktu luangnya untuk saya selama melakukan penelitian. 7. Teman satu penelitan yang sudah membantu selama penelitian berlangsung. 8. Singgih Pratiknyo Sundawa yang sudah membantu saya dalam pembuatan sketsa gambar. 9. Teman-teman Gianuzzi 44, para pengurus BEM FKH IPB, para pengurus Himpro Satwaliar FKH IPB, para pengurus IMAKAHI FKH IPB, para pengurus STERIL FKH IPB serta pihak-pihak lainnya yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 10. Kakak-kakak kelas FKH IPB dan adik-adik kelas Avenzoar, Geochelone, Acromion, dan FKH 48 atas dukungan dan motivasinya selama ini. 11. Keluarga kecil CEVANA (Eka M, Vully, Ani, Ningrum, Archi). 12. Keluarga kecil LASKAR UNYU-UNYU (Ka Binol, Faisal Tanjung, Mirzan, Maya, Rahmad, Andra, Yusuf, Nunuy, dll) 13. Dan semua pihak atas bantuan dan kerjasamanya yang tidak tersebut satu persatu. Akhirnya penulis telah menyelesaikan skripsi ini dengan penuh kesadaran dan keterbatasan pengetahuan yang jauh dari sempurna. Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan veteriner. Bogor, April 2012 Catur Fajrie Diah Astuti RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 4 September 1989 dari ayah Totok Karwoto dan ibu Titin Mutamimah Asriyah. Penulis merupakan putri keempat dari empat bersaudara. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 01 Cilacap dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih mayor Kedoteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Anatomi Veteriner, Bedah Khusus Veteriner dan Radiologi Veteriner, Pengelolaan Kesehatan Hewan dan Lingkungan, Penghayatan Profesi Kedokteran Hewan pada tahun ajaran 2011/2012. Selain itu, penulis aktif di UKM Basket 2007-2009 sebagai Sekretaris dan Bendahara, Basket FKH IPB 2009-2012 sebagai Sekretaris dan Bendahara, Badan Eksekutif Mahasiswa Kabinet Sinergis 2008-2009 FKH IPB sebagai Sekretaris Departemen Budaya Olahraga dan Seni (BOS), Badan Eksekutif Mahasiswa Kabinet Katalis 2009-2010 FKH IPB sebagai Sekretaris Lembaga Struktural Bahasa, IMAKAHI cabang FKH IPB 2008-2009 sebagai anggota Divisi Infokom, IMAKAHI cabang FKH IPB 2009-2010 sebagai anggota Divisi Kaderisasi, Himpunan Minat Profesi Satwaliar FKH IPB 20082010 sebagai anggota Divisi Pendidikan, dan Komunitas Steril FKH IPB 20082009 sebagai anggota Divisi Event Organizer, dan Komunitas Steril FKH IPB 2009-2010 sebagai anggota Divisi Musik. Selain itu, penulis juga mengikuti berbagai macam kepanitian. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI……………………………………………………… DAFTAR TABEL………………………………………………… DAFTAR GAMBAR……………………………………………... PENDAHULUAN………………………………………………... 1 Latar Belakang…………………………………………………. 1 Tujuan Penelitian………………………………………………. 2 Manfaat Penelitian……………………………………………... 3 TINJAUAN PUSTAKA…………………………..……………… 4 Trenggiling Jawa (Manis javanica)……..……………………… 4 Klasifikasi Trenggiling Jawa (Manis javanica)…………..…..... 4 Persebaran Geografis Trenggiling……………………………... 5 Morfologi dan Tingkah Laku Trenggiling……………………... 5 Status Konservasi………………………………………………. 8 Sistem Lokomosi……………………………………………….. 9 Kontruksi Alat Lokomosi Kaki Depan………………………… 10 Susunan Anatomi Otot Daerah Bahu dan Lengan Atas……….. 12 BAHAN DAN METODE…………………....…………………… 15 Waktu dan Tempat Penelitian………………………………….. 15 Bahan dan Alat Penelitian……………………………………… 15 Metode Penelitian……………………………………………… 15 HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………… 17 Hasil……………………………………………………………. 17 Pembahasan…………………………………………………….. 32 SIMPULAN DAN SARAN………………………………………. 39 Simpulan……………………………………………………...... 39 Saran……………………………………………………………. 39 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….. 40 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1 Origo dan insersio otot-otot gelang bahu trenggiling………….. 19 2 Origo dan insersio otot-otot daerah bahu trenggiling………….. 26 3 Origo dan insersio otot-otot daerah lengan atas trenggiling…... 30 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1 Perkiraan wilayah persebaran trenggiling………………………… 4 2 Trenggiling jawa (Manis javanica) saat menjulurkan lidah untuk 7 mendapatkan minum……………………….…………………....... 3 Trenggiling jawa (Manis javanica) saat (A) menggulung tubuh (B) memanjat pohon……...…………...…….................................. 4 Morfologi tulang kaki depan tampak lateral (A) dan dorsal (B)………...……………………………………………………………… 5 Otot-otot beruk daerah bahu bagian profundal 13 Otot-otot beruk daerah pektoral bagian superfisial setelah platysma dikuakkan ….................................................................... 8 13 setelah m. trapezius dan m. latissimus dorsi dikuakkan ………................. 7 11 Otot-otot beruk daerah bahu bagian superfisial setelah kulit dikuakkan………………………………………………..…........... 6 8 14 Struktur eksterior tubuh trenggiling daerah bahu tampak lateral, sisik bagian dorsal berwarna coklat tua dan bagian ventral berwarna coklat muda.……………..…………............................... 17 Otot kulit trenggiling setelah kulit dikuakkan ………………….... 18 10 Otot-otot superfisial daerah gelang bahu dan lengan atas ……….. 20 11 Otot-otot daerah gelang bahu setelah m. trapezius dikuakkan … 21 9 12 Otot-otot daerah gelang bahu setelah m. latissimus dorsi dikuakkan…………………………………………………………. 23 13 Otot-otot daerah pektoral................................................................. 24 14 Otot-otot daerah bahu bagian medial.………….............................. 25 15 Otot-otot daerah bahu dan lengan atas bagian lateral setelah 27 m. brachiocephalicus dikuakkan ……………………………….... 16 Otot-otot daerah bahu dan lengan atas ………………………….... 28 17 Otot-otot profundal daerah bahu dan lengan atas setelah m. brachiocephalicus, m. deltoideus (pars acromialis dan pars scapularis), dan m. triceps brachii caput laterale dikuakkan……. 29 18 Otot-otot daerah lengan atas bagian medial …………………………. 31 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan keanekaragaman hayati flora dan fauna yang melimpah, sehingga disebut sebagai negara megabiodiversitas. Kekayaan tersebut harus dilindungi dan dilestarikan agar tidak terjadi kepunahan. Pelestarian keanekaragaman hayati melalui pemanfaatan secara positif dapat bermakna sebagai pemanfaatan keanekaragaman hayati dalam ilmu pengetahuan yang mendukung upaya konservasi. Trenggiling Jawa (Manis javanica) merupakan salah satu jenis hewan yang dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Trenggiling termasuk hewan langka yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia, berdasarkan PP Nomor 7 tahun 1999. IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) memasukkan trenggiling dalam kategori endangered yang artinya status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu akan datang, sehingga masuk dalam daftar Red List. Berbeda dengan IUCN, CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang mengatur perdagangan spesies satwa dan tumbuhan yang terancam punah, memasukkan trenggiling ke dalam daftar Appendix II. Artinya trenggiling Jawa tidak boleh diperjualbelikan secara bebas karena memiliki risiko kepunahan yang tinggi. Risiko kepunahan trenggiling Jawa dapat diakibatkan oleh perburuan ilegal dan kerusakan habitat (IUCN 2011). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), trenggiling akan terancam punah jika perdagangannya tidak diatur. Populasi trenggiling di alam diduga semakin menurun akibat semakin maraknya perburuan dan perdagangan ilegal trenggiling serta kerusakan habitat. Maraknya perburuan dan perdagangan trenggiling disebabkan oleh kepercayaan sebagian masyarakat, khususnya masyarakat Cina, bahwa sisik dan daging trenggiling berkhasiat untuk menyembuhkan keracunan, inflamasi, scabies, dan reumatik (Nowak 1999). Trenggiling hidup di hutan tropis dataran rendah dan merupakan spesies mamalia yang unik, karena sisik yang menutupi seluruh bagian atas tubuhnya dan membuatnya lebih mirip reptil. Sistem pencernaan trenggiling memiliki keunikan dan mirip dengan unggas. Hewan ini tidak memiliki gigi (toothless), namun memiliki lidah yang dapat menjulur panjang hampir sepanjang tubuhnya. Penampakan lambung secara eksterior tidak berbeda dengan lambung mamalia monogastrik pada umumnya, yaitu berbentuk menyerupai kacang mede atau kacang merah. Perbedaan terlihat pada bagian internal lambung yaitu bagian berdinding otot tebal yang mirip gizzard pada sistem pencernaan unggas (Nisa’ 2005). Keunikan lainnya adalah trenggiling dapat menggulung tubuhnya serta menggelinding dan memiliki ekor yang digunakan untuk berpegangan (prehensile) pada saat memanjat atau menahan tubuh saat berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Selain itu trenggiling merupakan hewan plantigradi dan masing-masing kakinya memiliki lima buah jari. Setiap jari dilengkapi kuku cakar yang cukup panjang dan berguna pada saat memanjat maupun menggali tanah untuk membuat sarang di bawah tanah (Attenborough 2007). Sebagai hewan plantigradi, trenggiling memiliki kemampuan yang baik dalam memanjat dan menggali. Aktivitas ini melibatkan skeleton tungkai dan otot-ototnya. Sejauh ini penelitian mengenai skelet tungkai sudah dilakukan (Cahyono 2007), namun penelitian mengenai otot-otot daerah tungkai trenggiling belum pernah dilaporkan. Penelitian mengenai anatomi trenggiling yang sudah dilaporkan, antara lain pada otot mastikasi (Endo et al. 1998), organ pencernaan (Nisa’ 2005; Junandar 2007; Gofur 2007; Sari 2007), saluran pernafasan (Ruhyana 2007), dan organ reproduksi betina (Kimura 2006; Rahmawati 2011). Penelitian mengenai anatomi otot-otot trenggiling penting dilakukan untuk dapat menjelaskan kaitan antara struktur otot dan fungsi yang dapat dilakukannya dalam perilaku hariannya. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari anatomi otot-otot daerah bahu dan lengan atas trenggiling Jawa (Manis javanica), beserta origo dan insersionya. Penelitian ini membandingkan fungsi anatomi otot-otot daerah bahu dan lengan atas trenggiling tersebut dengan hewan lain, khususnya anjing dan beruk. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat dalam memperkaya data biologi satwaliar di Indonesia khususnya Manis javanica dan sebagai data dasar mengenai anatomi otot trenggiling untuk memahami perilakunya yang penting dalam upaya konservasi. TINJAUAN PUSTAKA Trenggiling Jawa (Manis javanica) Trenggiling Jawa merupakan salah satu jenis mamalia langka yang menjadi kekayaan alam hayati Indonesia. Trenggiling Jawa mempunyai nama populer Malayan pangolin yang berasal dari bahasa melayu yakni pengguling atau guling yang berarti menggulung atau melingkar seperti bola. Trenggiling merupakan salah satu hewan yang dilindungi, karena populasi hewan ini di alam semakin berkurang dari waktu ke waktu. Populasi trenggiling di alam semakin menurun dan terancam punah akibat perburuan dan perdagangan liar, serta kerusakan habitat. Masyarakat Asia khususnya masyarakat Cina mempercayai sisik dan daging trenggiling memiliki khasiat obat (Nowak 1999). Risiko kepunahan trenggiling Jawa yang tinggi didukung pula oleh kemampuan reproduksinya yang hanya dapat menghasilkan 1-2 anak dalam satu periode kebuntingan. Aktivitas reproduksi merupakan salah satu upaya yang dilakukan makhluk hidup untuk melestarikan jenis. Klasifikasi Trenggiling Jawa (Manis javanica) Trenggiling termasuk ke dalam ordo Pholidota yang artinya bersisik banyak. Ordo ini memiliki satu famili Manidae dan satu genus Manis dengan delapan spesies yang tersebar di Asia dan Afrika. Trenggiling Jawa merupakan salah satu dari delapan spesies trenggiling (Linnaeus 1758; Corbet & Hill 1992). Secara sistematis klasifikasi trenggiling Jawa adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Pholidota Famili : Manidae Genus : Manis Spesies : Manis javanica Persebaran Geografis Trenggiling Distribusi trenggiling Jawa di Indonesia meliputi hutan hujan tropis di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan beberapa pulau kecil seperti kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung, Nias, Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali, serta Lombok (Corbet & Hill 1992). Persebaran trenggiling di luar wilayah Indonesia meliputi Burma, Thailand, Indocina, Malaysia, Filipina (Lekagul & McNeely 1977), serta Vietnam, Laos, dan Singapura (Corbet & Hill 1992). Gambar 1 Perkiraan wilayah persebaran trenggiling (Rahmawati 2011). Daerah distribusi trenggiling. Morfologi dan Tingkah Laku Trenggiling Trenggiling mempunyai morfologi tubuh yang unik (Corbet & Hill 1992). Permukaan tubuh bagian dorsal terdapat sisik-sisik yang keras dan di antara sisik tersebut terdapat rambut-rambut kasar. Sisik trenggiling merupakan derivat kulit yang berkembang dari lapis basal epidermis. Sisik ini hanya tumbuh pada bagian dorsal tubuh trenggiling dan berwarna coklat terang, sedangkan pada bagian ventral tubuhnya tidak terdapat sisik dan hanya terdapat rambut-rambut. Terdapat perbedaan ukuran antara trenggiling jantan dan betina. Trenggiling jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan tenggiling betina. Rata rata panjang tubuhnya adalah 75-150 cm dengan panjang ekor sekitar 45-65% dari panjang total tubuh. Berat tubuh trenggiling sekitar 2 kg (Grzimek 1975). Kepala trenggiling berukuran kecil dan berbentuk tirus dengan mata yang kecil dan dilindungi oleh kelopak mata yang tebal. Fungsi kelopak mata trenggiling ini untuk melindungi mata dari gigitan semut. Trenggiling memiliki daun telinga yang berukuran kecil dan berbentuk seperti bulan sabit, selain itu trenggiling juga memiliki lidah yang dapat menjulur panjang dan dihubungkan oleh otot-otot yang berkembang subur. Lidah trenggiling berbentuk ramping dan panjang. Lidah ini akan semakin menipis dan menyempit pada bagian apex (Sari 2007). Bentuk tersebut membuat lidah trenggiling menyerupai cacing (vermiform) dan bersifat lengket, sehingga memudahkan trenggiling untuk mencari pakan (Amir 1978). Tubuh trenggiling yang panjang ditunjang oleh empat kaki yang pendek. Kaki trenggiling dilengkapi dengan masing-masing lima jari serta mempunyai kuku cakar yang panjang dan melengkung. Kuku cakar pada kaki depan biasanya lebih panjang hingga satu setengah kali dibandingkan kuku cakar kaki belakang. Kuku cakar pada kaki depan berperan sangat penting ketika trenggiling menggali lubang semut atau rayap (Lekagul & McNeely 1977). Perilaku unik dari trenggiling terjadi saat mencari pakan. Trenggiling merupakan hewan plantigradi, yaitu hewan yang cara berjalannya dengan seluruh tapak kakinya di atas tanah. Keberadaan kuku pada kaki depan dan belakang tidak menghalanginya ketika bergerak. Kuku kaki depan dan belakang trenggiling dilipat ke dalam dan bertumpu pada bagian luar dari telapak kakinya. Saat berjalan, trenggiling terkadang berhenti dan berdiri dengan kedua kaki belakang disangga oleh ekor. Ketika menggali lubang semut, trenggiling akan bertumpu pada kedua kaki belakang dan ekor sebagai penyangga, sementara kedua kaki depannya digunakan untuk menggali lubang tersebut. Saat memanjat pohon, kedua kaki depan dan ekor digunakan untuk mencengkeram batang pohon dengan kuat. Belitan ekor trenggiling sangat kuat karena pada ekor trenggiling terdapat gerigi sisik di lateral ekor yang memperkokoh cengkeraman pada pohon. Selain itu, trenggiling selalu menjaga posisi badan dalam keadaan melengkung seperti busur serta ekornya yang panjang dan terangkat tidak menyentuh tanah digunakan untuk menjaga keseimbangan (Grzimek’s 1975). Aktivitas trenggiling dapat berlangsung sepanjang hari tetapi lebih tinggi ketika malam hari (nokturnal). Trenggiling lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur di dalam lubang-lubang, di bawah dedaunan atau dicelah-celah pohon saat siang hari (Amir 1978). Dalam usaha mendapatkan pakan, organ penciuman merupakan sistem indera yang berperan utama membantu menemukan sarang rayap atau semut sebagai makanan utamanya. Indera lain yang berkembang selain organ penciuman adalah organ pendengaran, sedangkan organ penglihatannya kurang berperan karena tidak berkembang dengan baik (Lekagul & McNeely 1977). Trenggiling termasuk hewan mamalia pemakan semut sehingga sering disebut dengan Anteater (Feldhamer et al. 1999). Pakan utama dari trenggiling adalah semut (Ordo Hymenoptera) dan rayap (Ordo Isoptera). Menurut Heryatin 1983, pakan yang lebih disukai oleh trenggiling di antara keduanya yaitu semut merah tanah (Myrmicaria sp). Pakan tersebut tidak dihancurkan di dalam mulut karena trenggiling tidak mempunyai gigi, sehingga pakan digiling di dalam lambungnya terutama di bagian pilorus dengan adanya tonjolan-tonjolan seperti gigi (pyloric teeth) dan dibantu oleh batu kerikil yang tertelan (Nisa’ 2005). Proses mendapatkan pakan pada trenggiling tidak jauh berbeda dengan proses minum. Trenggiling mengeluarkan lidahnya dan memasukkannya kembali dengan cepat ketika minum (Nowak 1999). Gambar 2 Trenggiling jawa (Manis javanica) saat menjulurkan lidah untuk mendapatkan minum (Sari 2007) Keunikan lain yang dimiliki oleh trenggiling selain hal-hal di atas adalah upaya pertahanan diri dari predatornya. Trenggiling merupakan satwa yang menjadi mangsa beberapa jenis karnivora besar di habitat aslinya. Oleh karena itu trenggiling membuat mekanisme pertahanan diri dengan cara menggulungkan tubuhnya jika terancam. Sisik keratin kokoh ikut membantu pertahanan diri trenggiling (Lekagul dan McNeely 1997). Beberapa spesies trenggiling memiliki kelenjar perianal yang menghasilkan sekreta berbau tajam. Sekreta ini berbau menyerupai urin menyengat dan biasa digunakan untuk menandai teritori trenggiling serta mengusir predator-predator. Predator utama dari trenggiling antara lain manusia, macan (Panthera pardus) dan ular python (Breen 2003). A B Gambar 3 Trenggiling jawa (Manis javanica) saat (A) menggulung tubuh (B) memanjat pohon (Rahmawati 2011) Status Konservasi Terdapat delapan spesies trenggiling di dunia yang tersebar di wilayah hutan tropis Asia dan daerah tropis hingga subtropis Afrika. Empat spesies trenggiling yang tersebar di wilayah Asia adalah M. crassicaudata (trenggiling India), M. pentadactyla (trenggiling Cina), M. culionensis (trenggiling Palawan), dan M. javanica (trenggiling jawa), sedangkan di Indonesia, M. javanica dapat ditemukan di beberapa pulau seperti Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (Corbet & Hill 1992). Trenggiling termasuk hewan langka yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia, yang dimuat dalam PP Nomor 7 tahun 1999. IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) sebagai badan dunia yang memasukkan trenggiling dalam kategori endangered yang artinya status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu akan datang, sehingga masuk dalam daftar Red List. Berbeda dengan IUCN, CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang mengatur perdagangan spesies satwa dan tumbuhan yang terancam punah, memasukkan trenggiling ke dalam daftar Appendix II. Artinya trenggiling Jawa tidak boleh diperjualbelikan secara bebas karena memiliki risiko kepunahan yang tinggi. Risiko kepunahan trenggiling Jawa dapat diakibatkan oleh perburuan ilegal dan kerusakan habitat (IUCN 2011). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), trenggiling akan terancam punah jika perdagangannya tidak diatur. Sistem Lokomosi Alat lokomosi berfungsi untuk melakukan gerakan berpindah tempat, seperti berjalan dan berlari. Alat lokomosi terdiri atas sepasang kaki depan dan sepasang kaki belakang. Umumnya alat gerak tubuh dibentuk oleh dua unsur, yaitu alat gerak pasif dan alat gerak aktif (Sigit 2000). Bagian dari alat gerak pasif dibentuk oleh tulang, tulang rawan, ligamentum, dan tendo. Tulang dan tulang rawan membentuk kerangka yang berfungsi untuk memberi bentuk pada tubuh, melindungi organ-organ tubuh yang lunak seperti otak, sumsum tulang belakang, organ-organ di dalam rongga dada, serta menjadi tempat bertautnya otot-otot kerangka. Sedangkan tendo merupakan jaringan yang menghubungkan otot dengan tulang, baik di bagian origo maupun di bagian insersio. Pembersitan disebelah proksimal tulang biasanya disebut origo dan pertautan di distal tulang disebut insersio (Sigit 2000; Tortora & Derrickson 2009). Otot merupakan alat gerak aktif. Otot tubuh berdasarkan morfologi dibagi menjadi tiga tipe otot, antara lain otot kerangka atau otot lurik, otot jantung, dan otot polos. Otot kerangka termasuk golongan otot bergaris melintang yang diinervasi oleh syaraf somatomotoris yang bekerja di bawah sadar (Sigit 2000) dan berfungsi sebagai alat lokomosi pada saat bergerak. Selain memberikan bentuk tubuh, otot kerangka juga membantu tubuh dalam menjalankan berbagai jenis gerakan, seperti berjalan dan berlari, serta menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Ketika otot-otot tersebut berkontraksi, otot akan menarik tulang yang menyebabkan terjadinya gerakan (Marieb 1988; Tortora & Derrickson 2009). Otot-otot kerangka disusun dari serabut-serabut otot yang disatukan oleh endomisium membentuk fasikulus dan dibungkus oleh perimisium. Gabungan fasikulus membentuk otot dan dibungkus oleh epimisium. Serabut otot merupakan kumpulan paralel dari miofibril yang saling berikatan dan berupa filamen-filamen. Filamen tersebut terdiri atas filamen tebal dan filamen tipis. Filamen tebal tersusun oleh miosin, sedangkan filamen tipis tersusun oleh aktin, tropomisin, dan troponin. Kontruksi Alat Lokomosi Kaki Depan Alat lokomosi hewan dijalankan oleh tulang-tulang apendikular, yaitu tulang-tulang anggota gerak tubuh. Tulang-tulang apendikular terdiri atas tulang pembentuk kaki depan dan kaki belakang. Kaki belakang dan kaki depan memiliki perbedaan yaitu kaki belakang memiliki persendian antar tulang dengan tubuh, sedangkan kaki depan dihubungkan oleh otot-otot dengan tubuh. Perbedaan ini dikarenakan fungsi dari kaki depan sebagai penunjang atau menahan berat tubuh. Konstruksi tersebut akan menguntungkan karena pada kaki depan bekerja juga sebagai pegas, sehingga goncangan pada waktu hewan berjalan atau meloncat dapat diperhalus (Sigit 2000). Susunan tulang kaki depan pada trenggiling terdiri atas os scapulae, os humerus, os radius, os ulnare, ossa carpi, ossa metacarpalia, dan ossa sessamoidea. Os scapulae merupakan tempat pertautan atau insersio dari otot-otot gelang bahu yang berasal dari daerah leher, punggung, dan dada. Selain itu, os scapulae juga menjadi origo dari otot-otot bahu seperti m. supraspinatus, m. infraspinatus, m. deltoideus, m. teres minor, m. subscapularis, m. teres major, dan m. coracobrachialis. Otot-otot ini selanjutnya akan berinsersio di daerah os humerus. Os scapulae trenggiling berbentuk pipih, terletak di ujung proksimal kaki depan dan di bagian anterior dinding lateral thorax. Os scapulae memiliki dua facies (permukaan), tiga margo (tepi), dan tiga unguli (sudut). Facies lateralis dibagi oleh spina scapulae menjadi dua fossa yaitu fossa supraspinata dan fossa infraspinata, sedangkan pada fossa supraspinata di dekat collum scapulae terdapat daerah yang melebar (processus accessorius). Daerah yang melebar ini menambah luas fossa supraspinata. Facies lateralis dapat terlihat beberapa foramina nutrien. Facies medialis mempunyai fossa subscapularis yang diapit oleh facies serrata. Ketiga facies dibagi dengan jelas oleh dua garis. Margo caudalis rata dan tebal di proksimal serta konkaf di distal. Margo vertebralis terletak di proksimal kemudian ke dorsal bersambung dengan cartilago scapulae. Margo cranialis sedikit konkaf di bagian distal. Angulus caudalis menebal serta terdapat tambahan tulang (processus accessorius) dengan batas persambungan yang terlihat jelas. Angulus caudalis berbentuk tumpul dan tipis. Angulus glenoidalis dihubungkan oleh suatu bagian yang sempit, collum scapulae. Angulus glenoidalis memiliki bidang persendian dengan os humerus pada cavitas glenoidalis. Tuber scapulae terlihat di anterior dari collum scapulae (Cahyono 2007). Gambar 4 Morfologi tulang kaki depan tampak lateral (A) dan dorsal (B). a. os scapulae, b. os humerus, c. olecranon, d. os ulnare, e. os radius, f. daerah manus, g. processus accessorius pada angulus caudalis, h. processus accessorius pada angulus glenoidalis, i. tuberculum humeri lateralis, j. tuberculum humeri medialis, k. os sessamoidea, l. epicondylus medialis, m. foramen supracondyloidea (bar : 1 cm) (Cahyono 2007). Os humerus merupakan tulang besar yang memiliki satu corpus dan dua extremitas. Os humerus trenggiling memiliki beberapa daerah yang sangat berkembang, yaitu satu corpus dan extremitas. Extremitas proximalis mempunyai caput yang besar dan permukaan persendian berbentuk konveks (cembung) yang luas. Tuberculum humeri medialis besar sedangkan tuberculum humeri lateralis lebih kecil dan berbentuk seperti crista. Crista ini kemudian bersambung dengan tuberositas teres. Corpus os humerus memiliki banyak lekukan dan crista. Tuberositas teres mempunyai permukaan yang luas, kemudian bersambung menuju extremitas distalis membentuk crista. Extremitas distalis melebar seperti ujung dayung. Condylus medialis dan lateralis mengadakan hubungan persendian dengan os radius dan os ulna serta dipisahkan oleh suatu lekukan. Di bagian proksimal dari lekukan terdapat fossa olecrani yang cukup dalam dan besar. Di bagian lateral dari epicondylus lateralis terdapat os sessamoidea (tulang tambahan). Crista condylus lateralis pada trenggiling terlihat jelas. Epicondylus medialis sangat berkembang ke medial. Bagian proksimal dari condylus medialis terdapat foramen supracondyloidea (Cahyono 2007). Susunan Anatomi Otot Daerah Bahu dan Lengan Atas Secara umum susunan anatomi otot pada anjing dan trenggiling mempunyai persamaan dan perbedaan, hal ini disebabkan oleh sikap dan tingkah laku kedua spesies. Otot pada daerah bahu dan lengan atas pada anjing dapat dikelompokkan menjadi kelompok otot ekstrinsik, kelompok otot bahu lateral, kelompok otot bahu medial, kelompok otot lengan atas bagian kranial dan kaudal (Miller 1993). Kelompok otot ekstrinsik pada anjing yang ditemukan adalah m. trapezius, m. omotransversarius, m. rhomboideus, m. serratus ventralis, m. brachiocephalicus, m. latissimus dorsi, m. pectoralis superficialis, dan m. pectoralis profundus. Kelompok otot bahu lateral yang ditemukan adalah m. supraspinatus, m. infraspinatus, m. teres minor, dan m. deltoideus. Kelompok otot bahu medial yang ditemukan adalah m. subscapularis dan m. teres major. Kelompok otot lengan atas bagian kranial yang ditemukan adalah m. biceps brachii, m. brachialis, dan m. coracobrachialis, sedangkan kelompok otot lengan atas bagian kaudal terdiri atas m. triceps brachii, m. anconeus, dan m. tensor fasciae antebrachii (Miller 1993). Otot-otot yang ditemukan pada daerah bahu dan lengan atas beruk adalah m. panniculus carnosus, m. trapezius, m. rhomboideus, m. serratus ventralis cervicis, m. serratus ventralis thoracis, m. pectoralis transversus, m. pectoralis descendens, m. pectoralis ascendens, m. deltoideus, m. coracobrachialis, m. teres major, m. latissimus dorsi, m. biceps brachii, m. brachialis, m. triceps brachii, m. teres minor, m. supraspinatus, m. infraspinatus, dan m. subscapularis (Husein 2012). Gambar 5 Otot-otot beruk daerah bahu bagian superfisial setelah kulit dikuakkan. 1. platysma, 2. m. trapezius (a. pars cervicalis, b. pars thoracica), 3. m. deltoideus (a. pars scapularis, b. pars acromialis), 4. m. triceps brachii (a. caput laterale, b. caput longum, c. caput accessorium), 5. m. infraspinatus, 6. m. teres major, 7. m. latissimus dorsi, 8. m. pectoralis transversus, 9. m. brachialis, 10. m. brachioradialis, 11. m. extensor carpi radialis longus, 12. m. extensor digitorum, 13. m. extensor carpi radialis brevis, 14. m. extensor digiti minimi, 15. m. pectoralis descendens, 16. m. obliquus externus abdominis, 17. m. panniculus carnosus (Husein 2012). Gambar 6 Otot-otot beruk daerah bahu bagian profundal setelah m. trapezius dan m. latissimus dorsi dikuakkan. 1. platysma, 2. m. trapezius (a. pars cervicalis, b. pars thoracica), 3. m. atlantoscapularis (a. pars cranialis, b. pars caudalis), 4. m. rhomboideus (a. pars capitis, b. pars cervicis, c. pars thoracis), 5. m. supraspinatus, 6. m. infraspinatus, 7. m. teres major, 8. m. deltoideus (a. pars scapularis, b. pars acromialis), 9. m. triceps brachii (a. caput longum, b. caput laterale, c. caput accessorium), 10. m. latissimus dorsi, 11. m. serratus ventralis thoracis, 12. m. longisimus thoracis, 13. m. spinalis thoracis, 14. m. multifidus, 15. m. serratus dorsalis cranialis, 16. m. obliquus externus abdominis, 17. m. pectoralis descendens (Husein 2012). BAHAN DAN METODE Gambar 7 Otot-otot beruk daerah pektoral bagian superfisial setelah platysma dikuakkan. 1. platysma, 2. m. sternothyrohyoideus, 3. m. sternocleidomastoideus, 4. m. trapezius pars cervicalis, 5. m. deltoideus (a. pars clavicularis, b. pars acromialis), 6. m. pectoralis transversus, 7. m. pectoralis descendens, 8. m. rectus abdominis, 9. linea alba, 10. m. obliquus externus abdominis, 11. m. latissimus dorsi, 12. m. triceps brachii (a. caput accessorium, b. caput medial), 13. m. biceps brachii (a. caput longum, b. caput brevis), 14. m. brachioradialis, 15. m. pronator teres, 16. m. flexor carpi ulnaris (Husein 2012). BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai Januari 2012 di Laboratorium Anatomi, Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan dua ekor trenggiling Jawa (M. javanica) yang telah difiksasi dalam formalin 10%. Trenggiling yang digunakan adalah sampel yang digunakan dalam penelitian Nisa’ (2005) dan telah mendapat ijin dari Dirjen PHKA. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat diseksi yang meliputi pinset, skalpel, gunting, alat ukur, alat tulis, dan perlengkapan fotografi (Canon Eos 450D). Metode Penelitian Pengamatan diawali dengan mengamati morfologi luar daerah bahu dan lengan atas trenggiling Jawa. Preparasi awal dilakukan dengan melepaskan sisiksisik pada trenggiling, dilanjutkan dengan menyayat dan melepaskan kulit serta mempreparir otot. Penyayatan kulit pertama dilakukan secara transversal pada pangkal leher dan costae terakhir. Selanjutnya dilakukan sayatan secara longitudinal pada ventromediad tubuh di ujung-ujung sayatan pertama. Sayatan berikutnya dilakukan sepanjang tepi volar pada daerah bahu dan lengan atas, sehingga kulit dapat dikuakkan ke dorsal. Jaringan lemak dan jaringan ikat yang ada di antara kulit dan permukaan otot dibersihkan dengan menggunakan pinset, gunting, dan skalpel. Musculus cutaneus yang terdapat di bawah kulit dikuakkan ke ventral. Selanjutnya otot-otot di lateral dan medial daerah bahu serta lengan atas dipreparir mulai dari otot superfisial dan profundal. Penamaan otot dilakukan berdasarkan Nomina Anatomica Veterinaria (2005). Setelah dilakukan pencatatan, kelompok-kelompok otot tersebut didokumentasi dengan menggunakan kamera Canon Eos 450D. Hasil dokumentasi selanjutnya dibuat sketsa dan diolah dengan menggunakan program Adobe Photoshop. Otot-otot pada daerah bahu dan lengan atas trenggiling kemudian dibandingkan dengan literatur mengenai otot-otot pada daerah bahu dan lengan atas hewan lain yang memiliki perilaku mirip dengan trenggiling, khususnya anjing dan beruk. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Permukaan bagian dorsal tubuh trenggiling dilindungi oleh sisik-sisik yang keras dan rambut-rambut yang kasar di antara sisik tersebut. Sedangkan pada bagian ventral tubuhnya tidak ditutupi sisik hanya terdapat rambut-rambut di daerah tersebut (Gambar 8). Gambar 8 Struktur eksterior tubuh trenggiling daerah bahu tampak lateral, sisik bagian dorsal berwarna coklat tua dan bagian ventral berwarna coklat muda. Setelah sisik-sisik pada trenggiling dilepaskan dan kulit bagian bahu dikuakkan ke dorsal, maka akan terlihat otot kulit musculus cutaneus yang menutupi otot-otot superfisial daerah bahu dan dada. Saat mempreparir m. cutaneus, harus dilakukan secara hati-hati agar otot ini tidak ikut tersayat karena otot ini menempel pada kulit. Serabut otot ini mengarah longitudinal dan berjalan dari lateral bahu hingga ke daerah pangkal ekor trenggiling (Gambar 9). 1 Gambar 9 Otot kulit trenggiling setelah kulit dikuakkan. Kelompok Otot Daerah Gelang Bahu Setelah m. cutaneus dikuakkan ke ventral, ditemukan otot-otot daerah gelang bahu yang terdiri atas m. trapezius, m. rhomboideus, m. brachiocephalicus, m. omotransversarius, m. latissimus dorsi, m. serratus ventralis, dan m. pectoralis (m. pectoralis superficialis dan m. pectoralis profundus) (Tabel 1). Kelompok otot ini menghubungkan tulang kaki depan dengan badan. Tabel 1 Origo dan insersio otot-otot gelang bahu trenggiling Nama Otot 1 M. trapezius a. pars cervicis b. pars thoracis 2 M. rhomboideus a. m. rhomboideus cervicis b. m. rhomboideus thoracis 3 M. brachiocephalicus 4 M. omotransversarius 5 M. latissimus dorsi 6 M. serratus ventralis a. m. serratus ventralis cervicis b. m. serratus ventralis thoracis 7 M.pectoralis superficialis a. m. pectoralis descendens b. m. pectoralis transverses 8 M. pectoralis profundus a. m. subclavius b. m. pectoralis ascendens Origo Insersio processus spinosus os vertebrae cervicalis Iprocessus spinosus os vertebrae thoracalis II processus spinosus os vertebrae thoracalis II spina scapulae os scapulae os vertebrae cervicalis II os vertebrae thoracalis V bagian craniomedial dan craniolateral cartilago scapulae dan sepanjang spina scapulae os scapulae bagian caudomedial dan caudolateral cartilago scapulae os scapulae bagian proksimomedial os radius dan os ulna processus spinosus os vertebrae thoracalis V-IX alae atlantis os atlas dan processus transversus os vertebrae cervicales Alae atlantis os atlas fascia lumbodorsalis dan os costae IX-XIII sepertiga proximal dari spina scapulae os scapulae bagian proksimal spina scapulae os scapulae tuberculum teres major os humerus processus transversus os vertebrae cervicalis IIIVII os costae I-X/XI bagian anterior fascia serrata os scapulae cartilago manubri os sternum tuberositas deltoidea dan crista humeri os humerus tuberositas deltoidea os humerus os sternum os sternum -lapis superfisial: origo bersatu dengan m. cutaneus -lapis profundal: segmen pertama (os costae V-VI), segmen kedua (os costae VII), segmen ketiga (os costae VIII), dan segmen keempat (os costae IX) bagian posterior fascia serrata os scapulae tuberculum minus os humerus tuberculum minus dan fascies cranialis os humerus 9b 9a 8 5 10a 4 1 3 7 10b 10c 2 6 9b 9a 8 5 10a 4 1 2 10b 10c 3 7 6 Gambar 10 Otot-otot superfisial daerah gelang bahu dan lengan atas. 1. m. brachiocephalicus, 2. m. cleidobrachialis, 3. m. cutaneus, 4. m. deltoideus pars scapularis, 5. m. latissimus dorsi, 6. m. pectoralis ascendens, 7. m. tensor fasciae antibrachii, 8. m. teres major, 9. a) m. trapezius pars cervicis, b) m. trapezius pars thoracis, 10. a) m. triceps brachii caput longum, b) m. triceps brachii caput laterale, c) m. triceps brachii caput accessorium 9b 5a 9b 4 5b 8 9a 8 6 3 10a 3 2 1 10b 7 9b 5a 9b 4 5b 8 9a 8 6 3 10a 2 3 1 10b 7 Gambar 11 Otot-otot daerah gelang bahu setelah m. trapezius dikuakkan. 1. m. cleidobrachialis, 2. m. deltoideus pars scapularis, 3. m. latissimus dorsi, 4. m. longissimus thoracis, 5. a) m. rhomboideus cervicis, b) m. rhomboideus thoracis, 6. m. serratus ventralis thoracis, 7. m. tensor fascia antibrachii, 8. m. teres major, 9. a) m. trapezius pars cervicis, b) m. trapezius pars thoracis, 10. a) m. triceps brachii caput longum, b) m. triceps brachii caput laterale. M. trapezius merupakan otot besar yang berbentuk kipas. Berdasarkan letak origonya, otot ini dibagi dalam dua bagian yaitu m. trapezius pars cervicis yang memiliki arah serabut caudoventrad dan m. trapezius pars thoracis yang memiliki arah serabut cranioventrad (Gambar 10). Otot yang terletak di profundal m. trapezius dan menghubungkan bagian dorsal thorax dengan os scapulae dinamakan m. rhomboideus. Otot ini terbagi menjadi dua bagian yaitu m. rhomboideus cervicis dan m. rhomboideus thoracis (Gambar 11). Ditemukannya insersio m. rhomboideus pada bagian medial dan lateral os scapulae merupakan hal yang menarik dari penelitian,bahkan pada m. rhomboideus cervicis memiliki insersio di sepanjang spina scapulae os scapulae. Trenggiling memiliki m. brachiocephalicus yang panjang, besar, dan tebal serta berinsersio di bagian proksimomedial os radius dan os ulna. Pada trenggiling otot ini memiliki m. cleidobrachialis yang letaknya ada di caudodistal m. brachiocephalicus. Trenggiling memiliki m. latissimus dorsi yang tebal dan hampir menutupi seluruh m. serratus ventralis thoracis pada daerah thorax (Gambar 10). Setelah otot ini dikuakkan, ditemukan m. serratus ventralis yang menutupi daerah thorax. Otot ini terdiri atas m. serratus ventralis cervicis (Gambar 14) dan m. serratus ventralis thoracis (Gambar 12 dan 14). M. pectoralis superficialis terdiri atas m. pectoralis descendens dan m. pectoralis transversus, sedangkan m. pectoralis profundus terdiri atas m. subclavius dan m. pectoralis ascendens (Gambar 13). Otot-otot tersebut memiliki origo di daerah thorax dan insersio di daerah lengan atas. Trenggiling memiliki dua lapis m. pectoralis ascendens, yaitu lapis superfisial yang origonya bersatu dengan m. cutaneus dan lapis profundal yang terdiri dari empat segmen. Segmen pertama dari m. pectoralis ascendens yaitu berorigo di os costae V-VI, segmen kedua pada os costae VII, segmen ketiga pada os costae VIII, dan segmen terakhir pada os costae IX. 4 8b 2 8a 6 5 9a 2 3 1 9b 4 3 9c 8b 4 2 8a 6 5 9a 2 1 9b 3 3 7 9c Gambar 12 Otot-otot daerah gelang bahu setelah m. latissimus dorsi dikuakkan. 1. m. deltoideus pars scapularis, 2. m. latissimus dorsi, 3. m. pectoralis ascendens, 4. m. rhomboideus thoracis, 5. m. serratus ventralis thoracis, 6. m. teres major, 7. m. tensor fascia antibrachii, 8. a) m. trapezius pars cervicis, b) m. trapezius pars thoracis, 9. a) m. triceps brachii caput longum, b) m. triceps brachii caput laterale, c) m. triceps brachii caput accessorium. 3 1 2 5 4 4 6 3 1 4 2 6 5 4 Gambar 13 Otot-otot daerah pektoral. 1. m. brachiocephalicus, 2. m. coracobrachialis, 3. m. pectoralis ascendens, 4. m. pectoralis descendens, 5. m. pectoralis transversus, 6. m. subclavius. 14 8 3 12b 10 9 12a 7 13 13 13 6 11 6 5 4 3 1 2 10 8 14 12b 13 3 13 12a 13 9 7 13 6 5 11 6 3 4 2 1 Gambar 14 Otot-otot daerah bahu bagian medial. 1. m. pectoralis transversus, 2. m. pectoralis descendens, 3. m. subclavius, 4. m. scalenus dorsalis, 5. m. serratus ventralis cervicis, 6. m. serratus ventralis thoracis, 7. m. subscapularis, 8. m. teres major, 9. m. serratus dorsalis, 10. m. latissimus dorsi, 11. m obliquus externus abdominis, 12. a) m. rhomboideus cervicis, b) m. rhomboideus thoracis, 13. m. pectoralis ascendens, 14. m. coracobrachialis. Kelompok Otot Daerah Bahu Kelompok otot daerah bahu mempunyai origo di os scapulae dan insersio di os humerus. Otot-otot tersebut terdiri atas m. supraspinatus, m. infraspinatus, m. deltoideus, m. teres minor, m. subscapularis, m. teres major, dan m. coracobrachialis (Tabel 2). Tabel 2 Origo dan insersio otot-otot daerah bahu trenggiling Nama Otot Origo Insersio bidang kranial fossa supraspinata dan spina scapulae os scapulae fossa infraspinata os scapulae tuberculum minus os humerus spina scapulae dan margo caudalis os scapulae acromion os scapulae processus styloideus lateralis et medialis os radius tuberositas deltoidea os humerus tuberositas deltoidea os humerus Otot Bahu Lateral 1 M. supraspinatus 2 M. infraspinatus 3 M. deltoideus a. pars scapularis b. pars acromialis 4 M. teres minor margo posterior os scapulae bagian distal tuberculum majus os humerus Otot Bahu Medial 5 M. subscapularis 6 M. teres major 7 M. coracobrachialis fossa subscapularis os scapulae bagian proksimal angulus caudalis dan margo caudalis os scapulae processus coracoideus os scapulae tuberculum minus os humerus tuberositas major os humerus bersama-sama dengan m. latissimus dorsi kira-kira di sepertiga daerah tengah facies cranialis os humerus. Otot-otot daerah bahu bagian lateral terdiri atas m. supraspinatus, m. infraspinatus, m. deltoideus, dan m. teres minor (Gambar 17). Otot-otot daerah bahu bagian medial yang ditemukan pada trenggiling adalah m. subscapularis, m. teres major, dan m. coracobrachialis (Gambar 14). Pada trenggiling, m. deltoideus terdiri atas m. deltoideus pars scapularis dan m. deltoideus pars acromialis (Gambar 15). Trenggiling memiliki ukuran m. deltoideus pars scapularis yang tipis dan berbentuk panjang hingga ke bagian kaudal dari os radius, serta m. deltoideus pars acromialis berukuran tebal dan pendek (Gambar 15). 6 4a 9 5 8 4b 1 2a 7 4c 2b 3 1 6 4a 9 5 8 4b 1 2a 7 3 4c 4c 2b 1 Gambar 15 Otot-otot daerah bahu dan lengan atas bagian lateral setelah m. brachiocephalicus dikuakkan. 1. m. brachiocephalicus, 2. a) m. deltoideus pars scapularis, b) m. deltoideus pars acromialis, 3. m. supraspinatus, 4. a) m. triceps brachii caput longum, b) m. triceps brachii caput laterale, c) m. triceps brachii caput accessorium, 5. m. tensor fascia antibrachii, 6. m. latissimus dorsi, 7. m. omotransversarius, 8. m. trapezius pars cervicis, 9. m. cleidobrachialis. 7 1 3a 5a 8 5b 2 5b 5c 3b 6 5d 4 1 3a 7 1 3a 5a 8 5b 2 5c 5d 3b 1 5b 6 4 3a Gambar 16 Otot-otot daerah bahu dan lengan atas. 1. m. brachiocephalicus, 2. m. supraspinatus, 3. a) m. deltoideus pars scapularis, b) m. deltoideus pars acromialis, 4. m. barchialis, 5. a) m. triceps brachii caput longum, b) m. triceps brachii caput laterale, c) m. triceps brachii caput mediale, d) m. triceps brachii caput accessorium, 6. m. tensor fascia antibrachii, 7. m. trapezius pars cervicis, 8. m. omotransversarius. 7 8 12 9 11 6 10 7 4b 4a 14 2 1 3 4c 4b 4d 14 10 5 13 7 8 10 9 12 11 6 7 4b 4a 14 1 2 14 10 4c 3 4d 4b 5 13 Gambar 17 Otot-otot profundal daerah bahu dan lengan atas setelah m. brachiocephalicus, m. deltoideus (pars acromialis dan pars scapularis), dan m. triceps brachii caput laterale dikuakkan. 1. m. supraspinatus, 2. m. infraspinatus, 3. m. teres minor,4. a) m. triceps brachii caput longum, b) m. triceps brachii caput laterale, c) m. triceps brachii caput mediale, d) m. triceps brachii caput accessorium, 5. m. tensor fascia antibrachii, 6. m. teres major, 7. m. latissimus dorsi, 8. m. trapezius pars thoracis, 9. m. serratus ventralis thoracis, 10. m. brachiocephalicus, 11. m. trapezius pars cervicis, 12. m. cleidobrachialis, 13. m. brachialis, 14. m. deltoideus pars acromialis. Kelompok Otot Daerah Lengan Atas Otot lengan atas trenggiling umumnya berorigo pada os scapulae dan sebagian os humerus. Otot-otot daerah ini yang ditemukan terdiri atas m. brachialis, m. biceps brachii (Gambar 18), m. triceps brachii, dan m. tensor fasciae antebrachii (Tabel 3). Otot lengan atas memiliki fungsi utama dalam menggerakkan fungsi siku. Selain itu, otot- otot ini juga berfungsi sebagai fiksator persendian bahu dan siku saat hewan berdiri tegak (Getty 1975). Tabel 3 Origo dan insersio otot-otot daerah lengan atas trenggiling Nama Otot 1 M. brachialis 2 M. biceps brachii 3 M. triceps brachii a. caput longum Origo kira-kira di sepertiga proksimal fascies caudalis os humerus tuberculum supraglenoidalis os scapulae Insersio tuberositas radii dan tepi medial os radius tuberositas radii os radius margo posterior os scapulae bagian laterovolar olecranon os ulna bagian lateral olecranon os ulna bagian mediodorsal olecranon os ulna b. caput laterale spina scapulae os scapulae c. caput mediale fascies medial dari corpus humeri di distocaudal dari tuberculum teres major os humerus tuberositas deltoideus os humerus margo posterior os scapulae d. caput accessorium 4 M. tensor fasciae antebrachii olecranon os ulna bagian laterovolar olecranon os ulna Trenggiling memiliki m. triceps brachii yang kompleks dan terletak pada siku. Otot ini pada trenggiling memiliki empat caput yang terdiri atas caput longum, caput lateral, caput medial, dan caput accessorium. M. tensor fasciae antebrachii merupakan otot yang cukup tebal dan insersionya bersatu dengan m. triceps brachii caput longum (Gambar 16). 4 1 2 7 3 6 5 8 4 1 3 2 7 6 5 8 Gambar 18 Otot-otot daerah lengan atas bagian medial. 1. m. brachiocephalicus, 2. m. biceps brachii, 3. m. triceps brachii caput medial, 4. m. tensor fasciae antebrachii, 5. m. coracobrachialis, 6. m. pectoralis ascendens, 7. m. pectoralis descendens, 8. m. subclavius. Pembahasan Secara umum trenggiling memiliki fungsi otot-otot daerah bahu dan lengan atas yang mirip dengan anjing yaitu sebagai hewan penggali tanah dan beruk sebagai hewan pemanjat pohon. Perilaku hewan yang berbeda-beda akan mengakib7tkan perbedaan dalam adaptasi fungsi organ tubuhnya. Salah satu fungsi dari kaki depan pada waktu hewan berjalan adalah untuk menerima kembali beban tubuh secara elastis dan tanpa guncangan keras di bumi. Melihat adanya perbedaan fungsi akan berakibat pada perbedaan anatomi, diantaranya yaitu anatomi tulang dan otot. Trenggiling merupakan hewan mamalia yang memiliki perilaku unik, terutama kemampuannya menggulung tubuh pada saat terancam oleh predator. Trenggiling akan membentuk suatu posisi yang kokoh dengan sisik–sisik tajam saat menggulung, sehingga predator menjadi sulit untuk memangsa (Schlitter 2005). Posisi tersebut akan memudahkan trenggiling menggelinding terutama pada daerah tebing yang miring, sehingga dapat menghindar dari pemangsa. Trenggiling mampu menggelinding sejauh 30 meter selama 10 detik (Tenaza 2005). Kemampuan trenggiling lainnya adalah dapat memanjat pohon pada saat mencari pakan dan menggali tanah untuk membuat sarang. Aktivitas-aktivitas saat menggulung, memanjat pohon, dan menggali tanah tersebut yang membutuhkan struktur tubuh khusus pada trenggiling. Keistimewaan ini terletak pada karakteristik skeletonnya (Cahyono 2007), dan otot-ototnya yang juga istimewa. Trenggiling memiliki musculus cutaneus yang tidak terbagi dan menutupi bagian superfisial daerah dada sampai ke pangkal ekor. Otot ini memiliki ketebalan yang lebih tebal dari pemamah biak dan kuda serta berbentuk lebar, diduga berfungsi untuk menggerakkan sisik-sisik di lateral tubuh serta kulit daerah dada dan abdomen. Fungsi lain dari m. cutaneus diduga menunjang pada saat trenggiling menggulung tubuhnya. Beberapa spesies hewan seperti kuda dan pemamah biak, otot kulit ini kurang berkembang dibandingkan dengan trenggiling yaitu terdiri atas m. cutaneus omobrachialis yang menutupi bidang lateral bahu dan lengan atas, serta m. cutaneus trunci yang menutupi dinding lateral dan ventral daerah dada dan perut. Fungsi otot ini pada kuda dan pemamah biak yaitu untuk menggerakkan kulit di daerah tersebut, terutama untuk mengusir lalat atau benda asing yang menempel pada tubuh hewan tersebut. Sedangkan pada beruk otot kulit dinamakan m. panniculus carnosus. Otot ini merupakan otot kulit yang terbentang dari daerah thorax sampai ke daerah gluteal dan berfungsi sebagai penggerak kulit daerah punggung saat menyingkirkan kotoran dan serangga yang menggigit (Husein 2012). Kelompok otot gelang bahu pada trenggiling terdiri atas m. trapezius, m. rhomboideus, m. brachiocephalicus, m. omotransversarius, m. latisimus dorsi, m. serratus ventralis, dan m. pectoralis (m. pectoralis superficialis dan m. pectoralis profundus). Otot-otot ini memiliki fungsi yang penting karena otototot di daerah ini menghubungkan tulang kaki depan dengan badan. Hal ini berhubungan dengan fungsi kaki depan agar dapat menahan beban tubuh secara elastis (Soesetiadi 1977). Otot-otot daerah gelang bahu memiliki beberapa fungsi seperti mencegah penguakan os scapulae ke lateral, menarik os scapulae dan os humerus ke anterior dan posterior, penggantung tubuh, serta sebagai pergerakan kaki depan. Otot yang berfungsi sebagai pencegah penguakan dan mengatur pergerakan dari os scapulae adalah m. trapezius dan m. rhomboideus, sedangkan untuk menarik os scapulae dan os humerus ke anterior dan posterior adalah m. brachiocephalicus dan m. latisimus dorsi. Selain itu, otot daerah ini juga berperan dalam pergerakan kaki depan yaitu aduktor dan retraktor kaki depan. Trenggiling memiliki m. trapezius yang terdiri atas m. trapezius pars cervicis dan m. trapezius pars thoracis. Origo m. trapezius pars cervicis pada trenggiling yaitu di processus spinosus os vertebrae cervicalis I sampai processus spinosus os vertebrae thoracalis II, sementara pada hewan lain umumnya berorigo pada ligamentum nuchae. Contoh hewan yang memiliki origo pada ligamentum nuchae yaitu anjing yang berorigo di os vertebrae cervicales III sampai os vertebrae thoracales III (ligamentum nuchae ) (Miller 1993), serta beruk yang berorigo di protuberantia occipitalis externa, ligamentum nuchae, dan processus spinosus os vertebrae cervicales (Husein 2012). Trenggiling memiliki ligamentum nuchae yang tidak subur dikarenakan karakteristik tubuh trenggiling yang lentur dibuktikan dengan kemampuannya untuk menggulung diri dan menggelinding secara aktif. Sedangkan ligamentum nuchae merupakan suatu jaringan ikat yang terdiri atas serabut elastin membentang dari protuberantia occipitalis externa pada os occipitale hingga processus spinosus daerah gumba (Soesetiadi 1977) dan memiliki fungsi utama sebagai penegak leher pada hewan besar, terutama yang memiliki leher panjang. Otot yang terletak di profundal m. trapezius dan menghubungkan bagian dorsal thorax dengan os scapulae dinamakan m. rhomboideus. Bersama-sama dengan m. trapezius, m. latissimus dorsi, dan m. serratus ventralis, m. rhomboideus berfungsi untuk mencegah penguakkan os scapulae (Nurhidayat et al. 2010). Trenggiling memiliki dua bagian pada otot ini yang terdiri atas m. rhomboideus cervicis dan m. rhomboideus thoracis. Beberapa hewan lainnya seperti pada anjing, otot ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu m. rhomboideus cervicis, m. rhomboideus thoracis, dan m. rhomboideus capitis (Getty 1975). Hal yang menarik dari penelitian ini adalah ditemukannya insersio m. rhomboideus pada bagian medial dan lateral os scapulae, sedangkan pada hewan lain pada umumnya seperti kambing dan kuda, otot ini berinsersio hanya pada bagian medial cartilago os scapulae. Bahkan m. rhomboideus cervicis memiliki insersio di sepanjang spina scapulae os scapulae. Pertautan ganda pada m. rhomboideus yang berbeda dengan hewan lain pada umumnya ini yang diduga berperan dalam fiksasi os scapulae menjadi lebih kuat dari otot fiksasi lainnya serta mengatur pergerakkan os scapulae dalam kaitannya dengan menggulung tubuh. Saat trenggiling menggulung tubuhnya, maka diperlukan otot-otot yang dapat memfiksasi os scapulae dan tulang kaki depan agar tidak terkuak dan tetap terfiksasi. Trenggiling memiliki struktur m. rhomboideus thoracis yang sama dengan beruk yaitu melekat pada bagian lateral dan medial cartilago os scapulae (Husein 2012). Trenggiling memiliki m. brachiocephalicus yang panjang, besar, dan tebal serta berinsersio di bagian proksimomedial os radius dan os ulna. Sedangkan pada kambing, otot ini hanya berupa otot tipis dan panjang serta pada kuda otot ini berukuran besar (Getty 1975). Otot ini pada trenggiling memiliki m. cleidobrachialis yang letaknya ada di caudodistad dari m. brachiocephalicus. Sedangkan pada kuda dan anjing ditemukan m. cleidocervicalis (transversus). Insersio m. brachicephalicus pada hewan lain umumnya di fascia antibrachii dan tuberositas deltoideus dan crista humeri os humerus bagian proksimal. Fungsi utama dari otot ini yaitu sebagai fleksor kepala dan leher apabila kaki depan sebagai titik tetap, serta ekstensor persendian bahu dan protaktor kaki depan ketika kepala berfungsi sebagai titik tetap (Nurhidayat et al. 2010). Terkait dengan fungsinya sebagai fleksor kepala dan leher serta sebagai ektensor bahu, m. brachiocephalicus pada trenggiling akan memberikan kekuatan yang lebih pada kaki depan dan leher saat menggulung tubuhnya. Kekuatan tersebut yang menjadikan trenggiling tidak akan mudah lepas dari posisi menggulung. Kaki depan trenggiling memiliki tingkat kerja lebih tinggi dibandingkan pada hewan lain seperti kambing dan domba yang hanya berperan sebagai alat gerak dan penumpu berat badan saja (Sisson Sisson & Grossman 1962; Tenaza 2005). Selain menggunakan kaki depan sebagai alat gerak dan penumpu berat badan, trenggiling juga menggunakan kaki depannya untuk menggali lubang dalam mencari pakan maupun membuat sarang serta memanjat pohon (Schlitter 2005). Fungsi lain dari m. brachiocephalicus pada trenggiling yaitu sebagai protaktor kaki depan dalam proses penggalian tanah. Trenggiling memiliki m. latissimus dorsi yang tebal dan hampir menutupi seluruh m. serratus ventralis thoracis pada daerah thorax. Otot ini pada hewan lain umumnya merupakan otot yang besar, berbentuk segitiga, dan menutupi dinding laterodorsal thorax. Otot ini berasal dari daerah thorax (fascia lumbodorsalis) dan bertaut ke daerah bahu medial (tuberositas teres major os humerus) (Getty 1975). Fungsi dari otot ini yaitu sebagai fleksor persendian bahu, aduktor lengan atas (Aversi-Ferreira et al. 2007), dan retraktor lengan atas (Stone & Stone 2008). Anjing memiliki fungsi pada kaki depan terutama ketika melakukan penggalian tanah (Miller 1993). Seperti halnya pada anjing, otot ini diduga juga berpengaruh terhadap fungsi kaki depan trenggiling sebagai penggali. Selain menggali tanah, trenggiling juga dapat memanjat pohon seperti layaknya primata, salah satu contoh primata adalah beruk. Menurut Husein (2012), beruk memiliki m. latissimus dorsi yang besar dalam mendukung aktivitas memanjat saat mencari pakan. Semut yang merupakan pakan spesifik dari trenggiling sebagian besar hidup dan membuat sarang di pepohonan, sehingga aktivitas memanjat sangat penting bagi trenggiling dalam usaha mencari pakan. Berdasarkan keadaannya, m. latissimus dorsi diduga merupakan suatu bentuk adaptasi dari kerja berat yang dilakukan oleh kaki depan. M. serratus ventralis terdiri atas m. serratus ventralis cervicis dan m. serratus ventralis thoracis. Otot ini bertaut dari processus transversus os vertebrae cervicalis III-VII (m. serratus ventralis cervicis) dan os costae I-X/XI (m. serratus ventralis thoracis) hingga ke fascia serrata os scapulae. Fungsi secara umum m. serratus ventralis pars cervicis yaitu untuk menarik basis os scapulae ke arah leher dan mengangkat leher atau membengkok leher ke lateral, sedangkan m. serratus ventralis pars thoracis memiliki fungsi untuk menarik basis os scapulae ke kaudal dan sebagai otot inspirasi dalam keadaan memaksa. Trenggiling memiliki m. pectoralis yang terdiri atas m. pectoralis superficialis (m. pectoralis descendens dan m. pectoralis transversus) serta m. pectoralis profundus (m. subclavius dan m. pectoralis ascendens). Saat memanjat pohon, m. pectoralis descendens membantu kerja dan menambah kekuatan m. pectoralis transversus (Kurniawan 2000). Otot ini juga memiliki fungsi yang sinergis dengan m. pectoralis transversus yaitu membantu kerja dan menambah kekuatan dalam melakukan gerakan aduksi dan menekan pada saat memanjat pohon (Aversi-Ferreira et al. 2007; Stone & Stone 2008). Trenggiling memiliki dua lapis m. pectoralis ascendens, yaitu lapis superfisial yang origonya bersatu dengan m. cutaneus dan lapis profundal yang terdiri dari empat segmen. Segmen pertama dari m. pectoralis ascendens yaitu berorigo di os costae V-VI, segmen kedua pada os costae VII, segmen ketiga pada os costae VIII, dan segmen terakhir pada os costae IX. Origo m. pectoralis ascendens yang kompleks inilah yang memberikan dugaan bahwa fungsi sebagai retraktor dan protaktor kaki muka pada trenggiling menjadi bertambah. Sehingga otot ini dapat berperan dalam penggalian tanah untuk mencari pakan. Selain itu, m. pectoralis ascendens menambah kekuatan lengan atas sehingga dapat melakukan gerakan aduksi dan menekan pada saat memanjat pohon. Pada trenggiling, m. pectoralis profundus berpengaruh terhadap aktivitas dalam memanjat pohon saat mencari pakan dan gerak aduktor serta retraktor lengan atas (Aversi-Ferreira et al. 2007). Kelompok otot bahu trenggiling mempunyai origo di os scapulae dan insersio m. di daerah supraspinatus, os m. humerus. Otot-otot infraspinatus, m. bahu tersebut deltoideus, m. terdiri dari teres minor, m. subscapularis, m. teres major, dan m. coracobrachialis (Getty 1975). Stabilitas persendian bahu selama trenggiling bergerak dipengaruhi oleh m. teres minor, m. supraspinatus, m. infraspinatus, dan m. subscapularis. Trenggiling memiliki m. deltoideus yang terdiri atas m. deltoideus pars acromialis dan m. deltoideus pars scapularis, serta memiliki ukuran yang tebal dan pendek (m. deltoideus pars acromialis ) dan berukuran tipis dan panjang hingga ke bagian kaudal dari os radius (m. deltoideus pars scapularis). Insersio dari m. deltoideus pars scapularis pada trenggiling yaitu di processus styloideus lateralis et medialis os radius, sedangkan hewan lain umumnya memiliki insersio pada tuberositas deltoidea. Keadaan ini yang menguatkan dugaan bahwa kaki depan trenggiling berperan dalam aktivitas menggali lubang dan memanjat pohon saat membuat sarang serta mencari pakan sehingga dibutuhkan otot yang kuat pada kaki depannya. Fungsi secara umum m. deltoideus pars acromialis adalah sebagai abduktor lengan, serta m. deltoideus pars scapularis sebagai ekstensor dan rotator lengan ke arah lateral (Stone & Stone 2008). Trenggiling memiliki m. teres major yang berorigo pada angulus caudalis os scapulae. Mamalia penggali memiliki struktur yang khas pada angulus caudalis os scapulae yaitu bagian tersebut mengalami perluasan yang berfungsi untuk meningkatkan daya angkat kaki depan (Cahyono 2007). Hal inilah yang menguatkan dugaan bahwa trenggiling memiliki kekuatan dalam menggali tanah untuk mencari pakan berupa semut. Otot ini juga memiliki fungsi yang sinergis dengan m. teres minor yaitu sebagai fleksor persendian bahu. Otot lengan atas trenggiling umumnya berorigo di os scapulae dan sebagian os humerus. Otot-otot daerah ini yang ditemukan pada trenggiling terdiri atas m. brachialis, m. biceps brachii, m. triceps brachii, dan m. tensor fasciae antebrachii. Otot lengan atas memiliki fungsi utama dalam menggerakkan fungsi siku. Selain itu, otot-otot ini juga berfungsi sebagai fiksator persendian bahu dan siku saat hewan berdiri tegak (Getty 1975). Trenggiling memiliki m. triceps brachii yang kompleks dan terletak pada siku. Otot ini pada trenggiling memiliki empat caput yang terdiri atas caput longum, caput lateral, caput medial, dan caput accessorium, sedangkan pada hewan lain seperti kambing dan domba, otot ini umumnya memiliki tiga caput yaitu caput longum, caput laterale, dan caput mediale (Nurhidayat et al. 2010). Tambahan caput pada m. triceps brachii yang dimiliki trenggiling akan menyebabkan kemampuan dari otot ini semakin bertambah. Hal ini sangat berkaitan dengan aktivitas kaki depan trenggiling yang berat dan membutuhkan kekuatan luar biasa yang hanya didapatkan dari otot-otot sebagai alat gerak aktif. Keempat caput tersebut berinsersio pada olecranon os ulna. Olecranon merupakan bungkul besar yang terdapat pada ujung proksimal os ulna. Trenggiling memiliki struktur olecranon yang panjang untuk menghasilkan tenaga ungkit yang besar (Cahyono 2007). Fungsi utama dari bungkul ini adalah sebagai insersio utama pada m. triceps brachii dan m. tensor fasciae antebrachii (Sisson & Grossman 1962), sehingga olecranon yang panjang akan memiliki kontribusi khusus pada fungsi otot tersebut. Otot ini berfungsi sebagai fiksator persedian siku, fleksor persendian bahu, dan ekstensor persendian siku (Stone & Stone 2008). Fungsi fiksator juga tidak kalah pentingnya dengan aktivitas besar pada kaki depan trenggiling yang membutuhkan suatu daya fiksasi yang besar untuk melindungi persendian terutama persendian siku. Fungsi m. triceps brachii yang didukung caput accessorium menambah kekuatan dari otot ini untuk menjalankan fungsinya sebagai fiksator persendian siku tersebut. Perbedaan struktur m. brachiocephalicus, m. latissimus dorsi, m. pectoralis descendens, m. pectoralis transversus, m. subclavius, m. pectoralis ascendens, dan m. deltoideus pars scapularis pada trenggiling diduga menyebabkan trenggiling mempunyai kekuatan pada kaki muka yang lebih besar. Hal tersebut berpengaruh terhadap gerakan trenggiling saat memanjat pohon. Sedangkan kemampuan trenggiling saat menggali tanah diduga dipengaruhi oleh perbedaan struktur m. brachiocephalicus, m. latissimus dorsi, m. deltoideus pars scapularis, m. teres major, dan m. pectoralis ascendens. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Secara umum trenggiling memiliki otot-otot daerah bahu dan lengan atas yang mirip dengan anjing dan Macaca sp. Beberapa otot memiliki origo dan insersio yang berbeda antara lain m. brachiocephalicus, m.rhomboideus, m. serratus ventralis, m. deltoideus pars scapularis, m. pectoralis superficialis dan m. pectoralis profundus. fungsi dari otot-otot daerah bahu dan lengan atas, trenggiling secara umum juga memiliki kemiripan dengan anjing yaitu sebagai hewan penggali dan beruk sebagai hewan pemanjat. Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai anatomi daerah lain untuk mendapatkan data dasar dan informasi yang lebih lengkap pada trenggiling DAFTAR PUSTAKA Amir H. 1978. Mamalia di Indonesia, Pedoman Inventarisasi Satwa. Bogor: Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Attenborough D. 2007. The Life of Mammals. Volume 2. Video CD. England: BBC Worldwide Limited. Aversi-Ferreira TA, Pereira-de-Paula J, Prado YCL, Lima-e-Silva MS, Mata JR. 2007. Anatomy of the shoulder and arm muscles of Cebus libidinosus. Braz J Morphol Sci 24(2):63-74. Breen K. 2003. “Manis javanica” (On-Line), Animal Diversity Web, http://animaldiversity.ummz.umich.edu. [10 Desember 2011]. Cahyono E. 2007. Kajian Anatomi Skelet Trenggiling Jawa (Manis javanica). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Corbet , Hill J. 1992. Mammals of Indomalayan Region. Oxford: London and Oxford Univerty Pr. Endo H, Nishiumi I, Kurohmaru M, Nabhitabhata J, Chan-Ard T, Nadee N, Agungpriyono S, Yamada J. 1998. The functional anatomy of the masticatory muscles of the Malayan pangolin, Manis javanica. Mammal Study 23:1-8 Feldhamer GA, Drickamer LC, Vessey SH, Merritt JF. 1999. Adaptation Diversity, and Ecology Mammalogy. Boston: The McGraw Hill. Hlm 252253. Getty R. 1975. Sisson and Grossman’s The Anatomy of the Domestic Animal. Ed ke-5. Philadelphia: W. B. Saunders Company. Hlm 19-32. Gofur A. 2007. Pola Distribusi Sel-Sel Penghasil Hormon pada Pankreas Trenggiling. (Manis javanica). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Grzimek B. 1975. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia Vol.11 Mammals II. New York: Van Nostrand Reinhold Company. Heryatin T. 1983. Beberapa Aspek Trenggiling di Suaka Alam Gunung honje Timur dan Perkebunan Teh Cigombong, Cisadea Cianjur Selatan. [skripsi]. Bandung: Program Studi Biologi (S1) Universitas Negeri Padjadjaran Bandung. Husein WF. 2012. Anantomi Otot Daerah Bahu dan Lengan Atas Beruk (Macaca nemestrina). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. [ICVGAN] International Committee on Veterinary Gross Anatomical Nomenclature. 2005. Nomina Anatomica Veterinaria. Hannover: ICVGAN. [IUCN] International Union for the Conservation of Nature. 2011. Manis javanica (Sunda Pangolin). Http://www.iucnredlist.org. [12 Januari 2011] Junandar. 2007. Gambaran Morfologi Hati Trenggiling (Manis javanica). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Kimura J, Liumsiricharoen M, Chantakru S, Prapong T, Suprasert A. 2006. Anatomical characteristics of the female reproductive organs in the malayan pangolin. Proceeding of AZWMP 2006; Bangkok, 26-29 Oktober 2006. Hlm 44. Kurniawan W. 2000. Anatomi Otot Daerah Skapula dan Humerus Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Lekagul B, McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. Association for the Conservation of Wildlife. Bangkok: Sahakarnbath Co. Marieb E. 1988. Essentials of Human Anatomy and Physiology. Ed ke-2. California: The Benjamin/Cummings Pub. Miller ME. 1993. Anatomy of The Dog. W. B. Saunders Company. New York State Collage of Veterinary Medicine at Cornell University, New York. Nisa’ C. 2005. Morphological Studies of the Stomach of Malayan Pangolin. [disertasi]. Bogor: Graduate School Bogor Agricultural University. Nowak, R. 1999. Walker’s Mammals of the World. Ed ke-6. Baltimore: The Jhe Jhons Hopkins University Press. Nurhidayat, Nisa’ C, Setijanto H, Agungpriyono S, Novelina S, Supratikno, Sigit K. 2010. Penuntun Praktikum Miologi Veteriner. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Rahmawati A. 2011. Morfologi Organ Reproduksi Betina Trenggiling Jawa (Manis javanica) dengan Tinjauan Khusus pada Karakteristik Perkembangan Folikel dan Distribusi Karbohidrat pada Ovarium. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Ruhyana AY. 2007. Kajian Morfologi Saluran Pernapasan Trenggiling (Manis Javanica) dengan Tinjauan Khusus Pada Trakhea dan Paru-Paru. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Sari RM. 2007. Kajian Morfologi Lidah Trenggiling (Manis javanica). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Schlitter DA. 2005. Mammals Species Of The World: A Taxonomic and Geographic Reference. Sigit K. 2000. Peranan Alat Lokomosi sebagai Sarana Kelangsungan Hidup Hewan. Kajian Anatomi Fungsional. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Sisson S, Grossman JD. 1962. The Anatomy of the Domestic Animals. Philadelphia: London. W. B. Saunders Company. Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta: JICA. Hlm 24. Soesetiadi D. 1977. Alat Gerak. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Stone RJ, Stone JA. 2008. Biology: Atlas of Skeletal Muscles. Edisi 6. New York: The McGraw-Hill. Tenaza RR. 2005. Pangolins Rolling Away from Predator Risks. J of Mammal 56:257. Tortora GJ, Derrickson B. 2009. Principles of Anatomy and Physiologi. Edisi 12. Hoboken: John Wiley and Sons. Wicaksono SP. 1993. Anatomi Otot-Otot Kaki Belakang pada Kancil (Tragulus Napi). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.