11 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Rerata Mortalitas A. craccovira pada beberapa konsentrasi B. Bassiana Hasil uji patogenisitas B. bassiana terhadap A. craccivora dengan perlakuan jumlah konidia/ml B. bassiana menunjukkan bahwa setiap perlakuan dapat mematikan A. craccivora (Tabel 1). Dan berdasarkan analisis statistik mortalitas A. craccivora berbeda nyata pada taraf 5 % (Lampiran 7). Tabel 1. Rerata Mortalitas A. craccivora pada beberapa konsentrasi B. bassiana Perlakuan Mortalitas (%) Mortalitas terkoreksi (jumlah konidia/ml) BNT Abbot Kontrol 1,66 0 B 10 5 5 3,50 B 10 6 10 5,26 B 10 7 21,66 17,54 A 10 8 28,33 24,56 A 10 9 33,33 29,82 A Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada uji BNT taraf 5%. Tabel menunjukkan antara perlakuan tertinggi jumlah konidia 109/ml, 108/ml dan 107/ml tidak berbeda dalam mematikan A. craccivora, dan berbeda nyata dengan perlakuan jumlah konidia 106/ml, 105/ml maupun kontrol. Secara keseluruhan perlakuan konsentrasi jumlah konidia/ml B. bassiana yang diaplikasikan pada A. craccivora mampu mematikan serangga uji akan tetapi tidak efektif untuk mematikan A. craccivora secara keseluruhan karena tingkat mortalitasnya di bawah 50%. Berbeda halnya dengan penelitian Gusti (2006), bahwa persentase kematian pada perlakuan jumlah konidia B. bassiana 1015/ml lebih tinggi dibanding perlakuan lain terhadap walang sangit yaitu 1010/ml dan 105/ml pada pengamatan sampai hari ke 10, dengan jumlah konidia yang banyak akan lebih berpeluang untuk menginfeksi sehingga akan lebih banyak mematikan serangga uji. Rendahnya tingkat kematian A. craccivora terjadi karena cendawan B. bassiana memiliki sifat yang agak spesifik dalam menginfeksi serangga. Cendawan ini akan efektif jika diisolasi dari isolat yang sama. Pada penelitian ini isolat yang digunakan adalah walang sangit yang berasal dari family Alydidae (Hemiptera). Menurut Trizelia et al., 12 (2005), patogenisitas konidia cendawan entomopatogen yang baik adalah isolat berasal dari inang yang sama dengan serangga uji yang berasal dari ekosistem yang sama. Selain itu Soetopo et al., (2005) menambahkan keberhasilan dan kegagalan cendawan entomopatogen ditentukan oleh strain cendawan yang dapat membunuh serangga dan kondisi lingkungan yang sesuai. Tingkat persentase mortalitas tertinggi terlihat pada konsentrasi jumlah konidia 109 /ml dibanding dengan perlakuan lainnya, karena semakin tinggi konsentrasi yang diberikan maka akan semakin besar peluang untuk mematikan serangga. Menurut Wilujeng (2007) dan Wagiman (2003), perbedaan tinggi rendahnya mortalitas serangga yang terinfeksi dipengaruhi oleh patogenisitas B. bassiana, juga umur dan kerentanan serangga uji itu sendiri. Schroer et al., (2005), mengemukakan bahwa keberhasilan aplikasi B. bassiana pada serangga di batasi oleh pengaruh lingkungan seperti suhu, kekeringan dan sinar ultra violet. Menurut Santoso dalam Sapdi (1999) faktor yang sangat penting untuk timbulnya penyakit pada serangga adalah kontak antara inokulum cendawan dengan tubuh serangga. Semakin tinggi konsentrasi akan semakin banyak konidia yang mengalami kontak secara langsung dengan tubuh serangga, sehingga penetrasi dan infeksi konidia cendawan yang berhasil berkecambah akan lebih cepat terjadi. Gambaran perkembangan mortalitas A. craccivora setelah perlakuan B. bassiana dapat dilihat pada Gambar 4 berikut : Gambar 4. Histogram mortalitas A. craccivora pada beberapa konsentrasi B. bassiana. Gambar 4 terlihat bahwa perlakuan jumlah konidia 109 konidia/ml mengakibatkan persentase kematian A. craccivora 33,33% tertinggi dibanding perlakuan lain. kemudian diikuti konsentrasi 108 konidia/ml (28,33%), 107 konidia/ml (21,65%), 106 konidia/ml (10%), 105 konidia/ml (5%) dan kontrol yaitu 1,66%. Persentase kematian A. craccivora meningkat cepat pada hari ke 3 sampai ke 7, hal ini senada dengan yang disampaikan 13 Bauer et al. (2003) bahwa waktu proses infeksi yang dibutuhkan B. bassiana untuk menginfeksi serangga adalah 7 hari pada kerapatan 106/ml. 4. 2. Waktu kematian A. craccovira setelah aplikasi B. bassiana Hasil penelitian pengaruh B. bassiana dengan berbagai konsentrasi memberikan pengaruh yang tidak nyata (Lampiran 11) terhadap waktu kematian A. craccivora. Gambar 5. Histogram waktu kematian A. craccivora pada berbagai konsentrasi B. bassiana Gambar 5 menunjukkan bahwa rerata waktu kematian Aphis yang paling lambat mati terjadi pada perlakuan konsentrasi 106 konidia/ml, yaitu 5,44 HSA, diikuti perlakuan 109 konidia/ml yaitu 4,75 HSA, selanjutnya perlakuan 107 konidia/ml ,105 konidia/ml dan 108 konidia/ml masing-masing 3,75 HSA, 3,66 HSA dan 3,63 HSA (Lampiran 10). Antara perlakuan tertinggi maupun terendah tidak berbeda terhadap waktu kematian karena sedikit banyaknya konidia yang menempel pada A. craccivora tidak berpengaruh terhadap waktu kematian setelah dianalisis dengan analisis varian. Pengaruh tidak nyata dari pemberian berbagai jumlah konidia/ml cendawan B. bassiana terhadap A. craccivora disebabkan oleh B. bassiana membutuhkan waktu untuk bisa menginfeksi dan mematikan A. craccovira dimana penetrasinya memerlukan waktu 12-24 jam. Menurut MacLeod (1963) dalam Tanada & Kaya (1993), periode proses awal infeksi sampai kematian serangga terjadi dalam kurun waktu yang singkat yaitu hanya 3 hari dan selambat-lambatnya 12 hari, namun pada umumnya terjadi dalam waktu 5-8 hari dan periode tersebut dapat berbeda tergantung pada ukuran inang. Mekanisme penetrasi dimulai dengan pertumbuhan konidia pada kutikula selanjutnya B. bassiana mengeluarkan 14 enzim-enzim yang dihasilkan oleh konidia cendawan seperti proteinase, lipase dan chitinase ( Burgers, 1970: Tanada, 1994 dalam Kusnadi dan Sanjaya, 2003). Cendawan B. bassiana menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak inang, masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan menginfeksi inang baru. B. bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Konidia jamur yang menempel pada tubuh serangga inang akan berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh. Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Pada proses selanjutnya, jamur akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan berkecambah dalam tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga seluruh hifa memenuhi rongga tubuh A. craccivora dan akhirnya mati. Miselia jamur menembus ke luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam hitungan hari, serangga akan mati. Serangga yang terserang jamur B. bassiana akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna putih. (Haryono, (2014). 4.3. Gejala A. craccivora yang terinfeksi B. bassiana. Hasil pengamatan terhadap Aphis yang mati menunjukkan gejala kaku dan mengeras dan rata serta mengering seperti mumi (mumifikasi), seperti yang dapat terlihat pada gambar di bawah ini : Gambar 6. A. craccivora yang terinfeksi B. Bassiana. Santoso (1994) dalam Jauharlina dan Hendrival (2003) menambahkan bahwa pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan B. bassiana untuk pertumbuhan dan perkembangannya, akibatnya serangga mati dengan tubuh mengeras seperti mumi. Jika keadaan mendukung, cendawan menembus keluar 15 tubuh serangga terutama pada artikulasi embelan tubuh dan alat mulut. Pada A. craccivora yang tersporulasi cendawan B. bassiana ditandai dengan tumbuhnya miselia cendawan yang berwarna putih pada permukaan tubuh serangga. Saat pengamatan terhadap A. craccovira terinfeksi B. bassiana diketahui bahwa jumlah aphis terinfeksi tertinggi dijumpai pada perlakuan 109 konidia/ml. Kematian A. craccivora yang terinfeksi B. bassiana diakibatkan oleh racun yang dihasilkan oleh cendawan dalam tubuh Aphis. Menurut Robert (1981), setelah melakukan penetrasi ke dalam tubuh serangga, hifa cendawan B. bassiana berkembang dan memasuki pembuluh darah, selain itu cendawan ini juga menghasilkan beberapa toksin yaitu beauvericin, beauverolit, bassianolit dan isorolit, yang dapat menaikkan pH dan penggumpalan darah, serta terhentinya peredaran darah. Cendawan tersebut juga menyebabkan kerusakan jaringan haemocoel secara mekanis seperti saluran pencernaan, otot, sistem pernafasan. Keseluruhan proses tersebut akhirnya menyebabkan matinya serangga tersebut. 16 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. B. bassiana yang diperlakukan dengan berbagai konsentrasi (jumlah konidia/ml) dapat mematikan A. craccivora tapi tidak efektif untuk mengendalikan A. craccivora. 2. Mortalitas tertinggi terdapat pada perlakuan dengan jumlah konidia B. bassiana 109/ml dengan rata-rata persentase kematian A. craccivora 33,33%, waktu yang dibutuhkan untuk mematikan A. craccivora tidak berpengaruh nyata antar perlakuan (3,63 – 5,44) hari. 5.2. SARAN Untuk penelitian selanjutnya maka dianjurkan menguji mortalitas B. bassiana pada serangga hama yang lainnya, serta menggunakan bahan perekat dan melakukan pengamatan A. craccivora yang tersporulasi. 17 DAFTAR PUSTAKA Abdi Negara. 2003. Penggunaan Analisis Probit untuk Pendugaan Tingkat Kepekaan Populasi Spodoptera exigua terhadap Deltametrin di Daerah Istimewa Yogyakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Informatika Pertanian Volume 12 (Desember 2003). Ahmad, R.Z. 2008. Lethal Time 50 Cendawan Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae terhadap Sarcoptes. [Online]. http: //bbalitvet. litbang. deptan. go. id/ind/attachments /160_33. pdf. Arifin, M., A. Iqbal, I.B.G. Suryawan, T. Djuwarso, dan W. Tengkaao. 1997. Potensi dan pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama kedelai. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor, 23-25 Agustus 1993. 5: 1383-1393. Barnett. 1960. Ilustrated Genera of Imperfecty Fungi. Second Edition. Burgess Publishing Company. P : 62. Bauer, L.S., H. Liu, dan D. L. 2003. Evaluation of a Mikrobial Insecticide to Control Emerald Ash Borer. www.springerlink.com.pdf. 05 Juli 2014. Cloyd, R. 2004. Orchid pest : Aphis gossypii. G. Lover. http://www.orchid. mo/problem/pest/aphid-gossypii. htm. 12 Januari 2005. Dixon. AFG. 2000. Insect Predator-Prey Dynamics: Ladybird beetles & Biological Control. Spain: Cambridge Univ Pr 257 p. Dunn, J.A. and D.P.H. Kempton. 1971. Seasonal changes in aphid population on Brussels sprouts. Ann. Appl. Biol. 68(3):233-244. Ferron, P. 1978. Influence of relative humidity on the development of fungal infection caused by Beauveria bassiana (Fungi Inperfecti, Monilae) in imagines of acanthoscelides of obtectus (Col : Bruchidae). J. Enthomophaga 22 (4):393-396. Gusti. V. 2006. Patogenisitas Beauveria bassiana (Bals.) Vuill terhadap Walang Sangit (Leptocorisa acuta. Thumb.). Skripsi. Program Studi Ilmu Hama Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Universitas Bengkulu: (tidak dipublikasikan). Haryono, H., S. Nuraiani dan Riyatno. 1993. Prospek Penggunaan Beauveria bassiana untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan. Symposium Patologi Serangga. Yogyakarta 12-13 oktober 1993. Haryono, N. 2014. Beauveria Bassiana. Sumber : http://id.wikipedia. org/wiki/Beauveria_bassiana. diunduh pada tanggal 9 juni 2014. Jauharlina dan Hendrival. 2003. Toksisitas (LC50 dan LT50) jamur entomopatogen B. bassiana. (Bals.) Vuill. terhadap ulat grayak Spodoptera litura F. Jurnal Agrista. 7(3): 295-301. 18 Kalshoven, L. G. E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Revised and translated by P. A. Van der Laan. pr. Ichtiar Baru-Van Hoeve Jakarta. 406 dan 710. Karmila, Y. 2006. Patogenisitas Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Pada Kumbang Penggerek ubi jalar Cylas formicarius Fabr. Skripsi. Program Studi Ilmu Hama Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Universitas Bengkulu. (tidak di publikasikan). Kessing, L. B and R. F. L. Mau. 2004. Aphis gossypii (Gover). Department of Entomology. Honohulu. Hawaii. Kusnadi dan Y. Sanjaya. 2003. Pengujian Efektivitas Starter Jamur Beauveria bassiana terhadap Mortalitas Hypothenemus hampei. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. V(9) : 87-91. Kuswanto, A. Kasno, L. Soetopo dan T. Hadiasto. 2005. Seleksi galur-galur harapan kacang panjang (Vigna sesquipedalis L. Fruwirth) Unibraw. Habitat XVI (4) : 258 269. Mudjiono, Trustinah dan Kasno, A. 1999. Toleransi genotipe kacang panjang terhadap komplek hama dan penyakit. Dalam Prosiding Simposium V PERIPI Komisariat Jatim. Universitas Brawijaya. Malang. Nugroho, B. A. 2005. Patogenisitas Beauveria bassiana dengan penambahan ekstrak daun paitan terhadap hama Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae). Skripsi Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Prabaningrum, L. 1996. Kehilangan Hasil Panen Kacang Panjang (Vigna sinensis) akibat Serangan Kutu Kacang Aphis craccivora Koch. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran, pp 355-359. Pracaya. 1998. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta. Rahayu, D.S. 2006. Keefektifan beberapa strain Beauveria bassiana terhadap mortalitas Helopeltis antonii pada bibit jambu mete (Anacardium ocidentale L.). Skripsi Sarjana Universitas Pakuan, Bogor. halaman. 94. Rauf, A. 1996. PHT mereguk manfaat dari globalisasi pasar. Disampaikan dalam Seminar dan Rapat Koordinasi Wilayah II. Himpunan Mahasiswa Perlindungan Tanaman Indonesia, 22-24 Desember 1996. Robert, D. W. 1981. Toxins of Entomopathogenic Fungi. In H.D. Burges (ed.). Microbial Control of Pest and Plant Disease.1970-1980. First ed. London: Academic Press. Saleh, R. H. M. dan C. Irsan. 2000. Spesies kutu daun (Homoptera : Aphididae) yang terdapat di kampus dan di kebun percobaan Universitas Sriwijaya. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda. 16-18 Oktober 2000. 19 Sapdi. 1999. Mortalitas nimpha Nezara viridula L. Pada beberapa tingkat konsentrasi suspensi cendawan entomopatogen Beauveria bassiana Vuill. Agrista 3(1). 72-77. Sastrosiswodjo S, Oka I.N. 1997. Implementasi pengelolaan serangga secara berkelanjutan. Makalah disajikan pada Kongres ke V dan Simposium Entomologi. PEI. 24-26 ..Juni 1997, Bandung. Schroer, S, D. Sulistyanto dan R.U. Ehrers. 2005. Control of Plutella xylostella using polymer formulated Steinernema carpocapsae and Bacillus thuringiensis in cabbage fields. Journal Entonomol. 129 : 198-204. Setokuci. 1981. Occurrence and fecundity of two colour forms in A. craccivora. (Homoptera:Aphididae) on Dasheen leaves. Appl. Entomol. Zool. 16(1) 50-52 . Soetopo, D. 2004. Efficacy of selected Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. isolates in combination with a resistant cotton variety (PSB-Ct 9) againts the cotton bollworm, Helicoverpa armigera (Hübner) (Lepidoptera: Noctuidae). Philippines: University of The Philippines Los Banos. [Disertasi]. (Tidak Dipublikasikan). Soetopo. D., S. G. Reyes, D.R. Santiago. 2005. Laboratory assay of Beauveria bassiana isolates against Helicoverpa armigera. Paper presented at the 1st International Conference of Crop Security for Food Safety. Malang. 20-22 September 2005. Steinhaus, E.A. 1949. Microbial diseases of insect. In Paul De Bach (Ed.). Biological Control of Insect Pest and Weeds. P.515-546. New York. John Wiley and Sons. Stoll, G.. 1988. Natural Crop Protection in the Tropics. Arecol, Switzerland. Subiyakto. Dan G. Kartono.1998. Prospek penggunaan benih atau tanah sebagai komponen serangga hama penghisap tanaman Kapas. Jurnal Litbang Pertanian. 45-53. Sudarmaji, D. dan S. Gunawan. 1994. Patogenesitas fungi entomopatogen Beauveria bassiana terhadap Helopeltis antonii. Menara Perkebunan. 62 (1) :1-5. Suharto, E.B. Trisusilowati dan H. Purnomo. 1998. Kajian aspek fisiologi Beauveria bassiana dan virulensinya terhadap Helicoverpa armigera. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 4 (2): 112-119. Suhaeriyah. 2006. Uji patogenisitas beberapa isolat jamur Beauveria bassiana (Bals) Vuill terhadap larva penggerek batang (Xystrocera festiva Pascoe) pada Albasia (Albizzia falcataria (L) Fosberg) di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Laporan Praktek Kerja Lapang. 46 hlm. Suharto, E. B. Trisusilowati dan H. Purnomo. 1998. Kajian aspek fisiologis Beauveria bassiana dan virulensinya terhadap Helicoverpa armigera. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 4:112-119. 20 Suharto, M. Zamroni dan E.B. Trisusilowati. 2003. Produksi Beauveria bassiana (Bals.) pada berbagai media cair dan virulensinya terhadap Plutella xylostella (L.). Agrijurnal 8(1): 29-33. Januari-Juni. Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. Sandiago: Academic Press, INC. Harcourt Brace Jovanovich Publisher. Trizelia. 2005. Cendawan (Deuteromycotyna: Entomopatogen Hypomycetes). Beauveria Keanekaragaman bassiana Genetik, (Bals) Vuil. Karekteristik Fisiologi, dan Virulensinya terhadap Crocidolomia pavonana (F) [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Trizelia, T. Santoso, Sosromarsono, A. Rauf dan L.I. Sudirman. 2005. Persistence of Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Conidia (Deuteromycotina: Hypotemycetes) on cabbage plant and in the soil . paper presented at the 1st International Conference of Crop Security for Food Safety. Malang, 20-22 September 2005. Untung. K. 1993. Konsep Pengendalian Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wagiman, F.X., B. Triman, dan Rr. S. Astuti. 2003. Keefektifan Steinernema sp. terhadap Spodoptera exigua. Jurnal perlindungan Tanaman Indonesia. 9(1): 22-27. Wahyono, TE. Dan Tarigan N. 2007. Uji patogenisitas agen hayati Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae terhadap ulat Serendang (Xystrocera festiva). Buletin Teknik Pertanian. Bogor. Wiludjeng dan Widawati. 2007. Penggunaan nematoda entomopatogen Steinernema carpocapsae (All strain) dan tanaman sela Bawang merah dalam pengendalian hama pada tanaman Kubis. J. Pertanian Mapeta 10 (1) :60-65. 21 LAMPIRAN 22 Lampiran 1. Data mortalitas A. craccivora Pengamatan hari ke Perlakuan ulangan Kontrol 10 5 10 6 10 7 10 8 10 9 1 2 3 4 5 6 7 Total 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 2 2 0 0 0 0 0 1 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 2 0 0 3 2 0 0 0 0 0 0 2 2 3 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 3 0 5 0 0 8 2 0 1 1 0 0 0 1 3 3 0 0 2 0 0 0 0 2 1 0 0 2 7 0 0 0 9 2 0 0 2 1 0 0 0 3 3 0 0 1 4 0 0 0 5 1 0 1 1 5 0 0 0 7 2 0 0 2 0 0 0 5 7 3 0 0 1 3 0 0 2 6 23 Lampiran 2. Akumulasi mortalitas A. craccivora pada beberapa konsentrasi B. bassiana pada tiap ulangan. Ulangan Perlakuan 1 11 111 Total Rata-rata Kontrol 0 0 1 1 0,33 10 5 2 1 0 3 1 10 6 3 2 1 6 2 10 7 8 3 2 13 4,33 10 8 9 3 5 17 5,66 10 9 7 7 6 20 6,66 Lampiran 3. Rata-rata kumulatif mortalitas A. craccivora selama 7 hari pengamatan (%) Pengamatan hari Ke Perlakuan Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 Kontrol 1 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 3 0 5 0 0 0 0 0 Jumlah 0 5 5 5 5 5 5 Rata- 0 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 1 0 0 5 5 5 5 10 2 0 0 0 0 0 5 5 3 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah 0 0 5 5 5 10 15 Rata- 0 0 1,66 1,66 1,66 3,32 5 0 0 5 5 10 10 15 rata 10 5 rata 10 6 1 24 2 0 0 0 0 0 0 10 3 0 0 0 0 5 5 5 Jumlah 0 0 5 5 15 15 30 Rata- 0 0 1,66 1,66 6,66 6,66 10 1 0 0 15 15 40 40 40 2 0 5 10 10 10 10 15 3 0 0 10 10 10 10 10 Jumlah 0 5 30 30 60 60 65 Rata- 0 1,66 10 11,66 19,99 19,99 21,66 1 0 0 10 45 45 45 45 2 0 0 10 15 15 15 15 3 0 0 5 25 25 25 25 Jumlah 0 0 25 85 85 85 85 Rata- 0 0 8,33 28,33 28,33 28,33 28,33 1 0 5 5 25 35 35 35 2 0 0 10 10 10 10 35 3 0 0 5 15 20 20 30 Jumlah 0 5 20 40 40 40 100 Rata- 0 1,66 8,32 21,65 21,65 21,65 33,33 rata 10 7 rata 10 8 rata 10 9 rata 25 Lampiran 4. Rata-rata akumulasi mortalitas A. craccivora selama 7 hari pengamatan. Ulangan Perlakuan 1 11 111 Total Rata-rata Kontrol 0 0 5 5 1,66 10 5 10 5 0 15 5 10 6 15 10 5 30 10 10 7 40 15 10 65 21,66 10 8 45 15 25 85 28,33 10 9 35 35 30 100 33,33 Lampiran 5. Mortalitas A. craccivora (%) Perlakuan Ulangan Kontrol 10 5 10 6 10 7 10 8 1 2 3 4 5 6 7 Total 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 5 0 0 0 0 0 5 1 0 0 5 0 0 0 5 10 2 0 0 0 0 0 5 0 5 3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 5 0 10 0 0 15 2 0 0 0 0 0 0 10 10 3 0 0 0 0 5 0 0 5 1 0 0 15 0 25 0 0 40 2 0 5 5 0 0 0 5 15 3 0 0 10 0 0 0 0 10 1 0 0 10 35 0 0 0 45 10 9 2 0 0 10 5 0 0 0 26 15 3 0 0 5 20 0 0 0 25 1 0 5 5 25 0 0 0 35 2 0 0 10 0 0 0 25 35 3 0 0 5 15 0 0 10 30 Lampiran 6. Rata-rata mortalitas A. craccivora pada pengamatan hari ke 7 setelah dikoreksi dengan perhitungan abbot. Ulangan Perlakuan 1 11 111 Total Rata-rata Kontrol 0 0 0 0 0 10 5 5,263 0 5,263 10,526 3,508 10 6 10,526 5,263 0 15,789 5,263 10 7 36,842 10,526 5,263 52,631 17,543 10 8 42,103 10,526 21,053 73,682 24,560 10 9 31,579 31,579 26,316 89,474 29,824 Lampiran 7. Analisis keragaman persentase mortalitas A. craccivora SK DB JK KT F HIT PERLAKUAN 5 2265,283 453,0566 4,600229783* GALAT 12 1181,828 98,48564 TOTAL 17 3447,111 F TABEL 3,11 F hit > Fa maka Ho : σi = 0 ditolak, artinya terdapat perbedaan nyata antar perlakuan pada variabel yang diamati. 27 Lampiran 8. Uji BNT 5% Konsentrasi (jumlah Rerata mortalitas Lambang F (10 9) 29,82 A E (10 8) 24,56 A D (10 7) 17,54 A C (10 6) 5,26 B B (10 5) 3,50 B A (Kontrol) 0 B konidia/ml Lampiran 9. Waktu kematian A. craccivora setelah aplikasi (hari) Perlakuan ulangan 1 2 3 4 5 6 7 Ratarata Kontrol 10 5 10 6 10 7 10 8 10 9 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 1 0 0 0 0 0 2 1 0 0 1 0 0 0 1 5 2 0 0 0 0 0 1 0 6 3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 2 0 0 4,33 2 0 0 0 0 0 0 2 7 3 0 0 0 0 1 0 0 5 1 0 0 3 0 5 0 0 4,25 2 0 1 1 0 0 0 1 4 3 0 0 2 0 0 0 0 3 1 0 0 2 7 0 0 0 3,77 2 0 0 2 1 0 0 0 3,33 3 0 0 1 4 0 0 0 3,8 1 0 1 1 5 0 0 0 3,57 2 0 0 2 0 0 0 5 5,85 3 0 0 1 3 0 0 2 4,83 28 Lampiran 10. Rata-rata waktu kematian A. craccivora Ulangan Perlakuan 1 11 111 Total Rata-rata Kontrol 0 0 2 2 0,66 10 5 5 6 0 11 3,66 10 6 4,33 7 5 16,33 5,44 10 7 4,25 4 3 11,25 3,75 10 8 3,77 3,33 3,8 10,9 3,63 10 9 3,57 5,85 4,83 14,25 4,75 Lampiran 11. Analisis keragaman waktu kematian A. craccivora setelah aplikasi SK DB JK KT F HIT PERLAKUAN 4 7,933773 1,983443 0,704643 ns GALAT 10 28,1482 TOTAL 14 36,08197 F TABEL 3,48 2,81482 F hit ˂ F tabel, maka ho : σi = diterima, artinya tidak terdapat perbedaan nyata antar perlakuan pada variabel yang diamati. 29 Denah Penelitian I II III K4U1 K2U2 K6U3 K5U2 K4U1 K5U1 K2U2 K6U3 K4U1 K6U3 K3U2 K3U2 K3U3 K5U1 K1U1 K1U2 K1U3 U K2U2 60 CM S Keterangan : K = Perlakuan U = Ulangan K1 = KONTROL K2 = 105 K3 = 106 K4 =107 K5 = 108 K6 = 109