n. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hama Helopeltis spp Klasifikasi hama Helopeltis spp adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Filum: Arthropoda, Kelas: Insekta, Ordo: Hemiptera, Sub Ordo: Heteroptera, Famili: Miridae, Genus: Helopeltis, Nama Ilmiah: Helopeltis spp (Ambika & Abraham, 1983) Helopeltis spp adalah serangga jenis kepik berwarna cokelat kehitaman, panjang tubuh 4,5 - 6 cm, pada bagian toraks terdapat tonjolan seperti jarum pentul yang membengkok ke belakang. Serangga ini memiliki antena 4 ruas, dengan panjang antena dua kali panjang tubuhnya dan memiliki tipe alat mulut menusuk dan menghisap (Karmawati dan Mardiningsih, 2005). * Helopeltis spp memiliki telur berwarna putih dengan panjang 1,5 -- 2,0 mm. Telur berbentuk oval, tetapi sedikit bengkok dengan penutup bulat dan terdapat dua rambut pada satu ujungnya. Menurut Kilin dan Atmadja (2002), Telur dimasukkan satu-satu dalam jaringan tanaman yang lunak seperti bakal buah, ranting muda, bagian sisi bawah tulang daun, tangkai buah, dan buah yang masih muda. Imago betina Helopeltis spp mampu meletakkan telur 93 butir selama hidupnya (Karmawati dan Mardiningsih, 2005) dengan telur rata-rata 18 butir dalam setiap kali bertelur. Waktu yang dibutukan telur-telur tersebut mulai menetas menjadi nimfa selama ± 6 - 8 hari (Sudarmadji 1979; Sudarsono 1980). Hasil Penelitian Wardoyo (1983), periode nimfa berkisar antara 1 1 - 1 3 hari. Lama nimfa instar pertama, kedua, ketiga dan keempat adalah 2 - 3 hari, sedangkan lama instar kelima 3 - 4 hari. Dari setiap 30 ekor nimfa dapat diperoleh 24-29 ekor imago, dengan perbandingan jantan dan betina 1 : 1,3. Nimfa Helopeltis spp tidak bersayap dan berwarna coklat muda. Lama hidup serangga betina berkisar antara 1 0 - 4 2 hari, sedangkan serangga jantan 8 - 5 2 hari. Selain menyerang buah, hama Helopeltis spp juga menyerang tunas-tunas muda atau pucuk tanaman. Buah muda yang terserang akan mengering lalu rontok, jika buah tetap tumbuh, permukaan kulit buah akan retak dan terjadi perubahan bentuk. Serangan pada buah tua, tampak penuh bercak-bercak cekung 6 berwarna cokelat kehitaman, kulitnya mengeras dan retak. Serangan pada pucuk atau ranting menyebabkan pucuk layu dan mati, serta ranting mengering (Wignyosoemarto dan Soebiyakto, 1980). Gambar 1. Nimfa Helopeltis spp Gambar 2. Imago betina Helopeltis spp Sumber: Atmadja (2003) Sumber: Atmadja (2003) 2.2. Cendawan Entoniopatogen ^eauven'a 6a55/ana Klasifikasi cendawan entomopatogen B. bassiana menurut Barneth dan Barry (1972) adalah sebagai berikut : Kingdom: Fungi, Filum: Ascomycota, Kelas: Sordariomycetes, Ordo: Hypocreales, Famili: Clavicipitaceae, Genus: Beauveria, Spesies: bassiana, Nama ilmiah : Beauveria bassiana Vuillemin. Cendawan ini pertama kali dideskripsikan oleh Agostina Bassi De Lodi pada tahun 1835 sebagai penyebab penyakit pada serangga yang dikenal dengan istilah m?/5c<m;ft/7e di Italia (Anonim, 2006a). Beauveria diketahui mempunyai 14 spesies yang masing-masing memiliki sifat dan karakteristik serta inang tertentu. Menurut Riyatno dan Santoso (1991), secara umum cendawan B. bassiana berwarna putih seperti kapas, yang tumbuh secara berkoloni dan tersusun tidak teratur. Konidiofor bercabang, berbentuk zigzag dan pada bagian ujungnya terbentuk konidia (spora) serta miselium yang menggelembung pada bagian bawah. Konidia bersel satu, berbentuk bulat sampai oval, berukuran 2 - 3 mikron dan berdinding licin (Haryono dkk, 1993). r Beberapa keunggulan cendawan entomopatogen B. bassiana sebagaiagen hayati, antara lain; (1) selektif terhadap serangga sasaran sehingga tidak membahayakan serangga lain yang bukan sasaran, seperti predator, parasitoid, serangga penyerbuk, dan serangga berguna seperti lebah madu, (2) tidak meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam tanah maupun dalam aliran air, (3) tidak menyebabkan fitotoksin (keracunan) pada tanaman, dan (4) mudah diproduksi dengan teknik sederhana. Keberhasilan infeksi cendawan entomopatogen B. bassiana sangat dipengaruhi oleh sifat patogenesitas dari cendawan entomopatogen tersebut. B. bassiana melakukan penetrasi ke dalam tubuh inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya (Anonim, 2006b). Inokulum cendawan yang menempel pada kulit serangga akan melakukan infeksi dengan membentuk tabung kecambah (germ tube) yang dapat merusak jaringan kulit dan masuk ke dalam tubuh serangga. Mekanisme penembusan dilakukan secara mekanis ataupun secara kimiawi dengan cara mengeluarkan enzim atau toksin. Setelah masuk cendawan akan berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh inang yang mengakibatkan kematian serangga. Miselia cendawan B. bassiana yang berkembang di dalam jaringan tubuh akan menembus keluar dan menutupi permukaan luar tubuh serangga serta memproduksi konidia. i i i r > : ; Ada beberapa faktor yang mempengaruhi patogenesitas B. bassiana antara lain: kelembaban, suhu, jenis isolat, asal isolat, kerapatan konidia dan ketahanan inang. Faktor kelembaban dan suhu sangat mempengaruhi proses perkecambahan konidia dan perkembangan cendawan B. bassiana. Jika kelembaban udara tinggi maka proses perkecambahan konidia akan berlangsung secara optimal. Sebaliknya jika kelembaban udara rendah maka perkembangan cendawan B. bassiana hanya berlangsung dalam tubuh inang saja. Konsentrasi B. bassiana 1,1 x 10^ cfli/ml efektif dan direkomendasikan untuk mengendalikan hama Helopeltis spp (Warsi dkk, 2001). Hasil penelitian Manullang (2008), kerapatan konidia cendawan entomopatogen B. bassiana Isolat Lokal Riau untuk konsentrasi 35 gr/1 air adalah 45,5 x 10^ cfli/ml. Berdasarkan hasil penelitian di atas konsentrasi cendawan entomopatogen B. bassiana yang digunakan dalam penelitian ini adalah 80 gr/1 air dan 85 gr/1 air. 2.3. Tanaman Mimbsi {Azadirachtaindica A. Juss) Tanaman Mimba (Azadirachta indica A. Juss) adalah tanaman asli daerah tropika Asia Tenggara. Tumbuh dengan cepat dan merupakan tanaman tahan kekeringan, serta telah lama dibudidayakan di daerah Asia sebagai sumber kayu (Kardinan, 2000). 8 Klasifikasi Mimba adalah sebagai berikut : Kingdom: Plantae, Divisi: Spermatophyta, Subdivisi: Angiospermae, Kelas: Dicotyledonae, Sub kelas: Dialypetaleae, Ordo: Rutales, Famili: Meliaceae, Genus: Azadirachta, Spesies: indica. Nama Ilmiah: Azadirachta indica A. Juss. (Tjitrosoepomo, 1996 dalam Kardinan, 2000). , Menurut Ahmed (1995) dalam Kardinan (2003), mimba memenuhi persyaratan untuk dikembangkan menjadi pestisida nabati, karena antara lain; (1) merupakan tanaman tahunan, (2) tidak perlu dimusnahkan apabila suatu saat bagian tanamannya diperlukan, (3) mudah dibudidayakan, (4) tidak menjadi gulma atau inang bagi organisme pengganggu tumbuhan (OPT), dan (5) mudah dalam proses pembuatan. , Mimba merupakan tanaman pohon dengan tinggi 10 - 15 m dan berakar tunggang. Batang tegak, berkayu, berbentuk bulat, permukaan kasar, percabangan simpodial, dan berwarna cokelat. Daun majemuk dengan letak berhadapan, berbentuk lonjong, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal meruncing, tulang daun menyirip, panjang daun 5 - 7 cm, lebar 3 - 4 cm, panjang tangkai daun 8 - 2 0 cm, dan berwarna hijau. Mimba tumbuh baik di daerah tropis, dengan ketinggian 1 - 700 m dpi. Gambar 3. Tanaman Mimba {Azadirachta indica A. Juss) Sumber : Kardinan dan D/ialimi (2003) Daun dan biji mimba mengandung beberapa komponen yang diduga sangat bermanfaat, baik dalam bidang pertanian (pestisida dan pupuk) maupun farmasi (kosmetik dan obat-obatan). Beberapa diantaranya adalah azadirachtin, salanin, dan meliantriol (Raskin, 1993 dalam Kardinan dan Dhalimi, 2003). Azadirachtin dalam tanaman mimba berperan sebagai ecdyson blocker atau zat yang dapat menghambat kerja hormon ecdyson, yaitu suatu hormon yang berfungsi dalam proses metamorfosis serangga. Serangga akan terganggu pada proses pergantian kulit, maupun proses perubahan telur menjadi nimfa atau dari nimfa menjadi dewasa. Biasanya kegagalan dalam proses ini seringkali mengakibatkan kematian serangga (Chiu, 1988 dalam Kardinan dan Dhalimi, 2003). Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan {anti-feedant) yang mengakibatkan melemahnya tubuh serangga, meskipun tidak menyebabkan kematian pada serangga. Meliantrol berperan sebagai penghalau {repellent) yang mengakibatkan serangga hama enggan mendekati zat tersebut (Sudarmaji, 1999). Berdasarkan hasil penelitian Mardiningsih dkk (2001) bahwa konsentrasi ekstrak daun mimba yang terbaik untuk mengendalikan H. antonii adalah 10%, sehingga dalam penelitian ini konsentrasi ekstrak daun mimba yang digunakan adalah 5% dan 10%. - - ci- -r