pelaksanaan gugatan citizen lawsuit model penyelesaian sengketa

advertisement
LAPORAN HASIL PENELITIAN
PELAKSANAAN GUGATAN CITIZEN LAWSUIT MODEL
PENYELESAIAN SENGKETA SECARA KELOMPOK DALAM
PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Oleh:
HENIYATUN, SH. MHum
NURUL MAGHFIROH, SH. LLM
BAMBANG TJATUR ISWANTO, SH. MH
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2011
PELAKSANAAN GUGATAN CITIZEN LAWSUIT MODEL
PENYELESAIAN SENGKETA SECARA KELOMPOK DALAM
PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Bab I. Pendahuluan
Manusia dalam mengadakan hubungan dengan manusia lainnya sering terjadi hubungan
yang kurang harmonis, tak terkecuali hubungan antara warga masyarakat dengan pemerintah
atau sebaliknya. Hubungan semacam ini kemudian menimbulkan sengketa hukum, karena ada
yang tidak memenuhi kewajiban atau melanggar hak orang lain, bahkan perbuatan yang
dilakukan tersebut terkadang melawan hukum. Apabila sudah terjadi hal yang demikian maka
orang yang merasa haknya dilanggar atau orang yang dirugikan akibat kepentingannya dilanggar
atau tidak diindahkan, akan menuntut ganti kerugian dengan mengajukan gugatan ke pengadilan,
dengan harapan bahwa orang yang dirasa merugikannya akan memenuhi prestasi.
Terjadinya sengketa hukum tersebut terkadatang bermula dari kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah, yang seharusnya mempertimbangkan kepentingan umum atau
kepentingan orang banyak (publik) dan bukan hanya kepentingan orang per orang saja. Akan
tetapi kenyataannya, banyak terjadi suatu kebijakan bahkan merugikan kepentingan umum,
sehingga seringkali kepentingan umum diabaikan, akibatnya kepentingan umum tidak lagi
menjadi prioritas utama. Hal inilah yang menjadi penyebab pelanggaran hukum sering terjadi,
yang dilakukan oleh penguasa. Terjadinya pelanggaran hukum inilah yang menimbulkan daya
dorong bagi masyarakat untuk ikut berperan serta dalam upaya menyelesaikan sengketa guna
menegakkan hukum.
Sejalan dengan hal tersebut supremasi hukum yang konsisten serta pemberian
perlindungan hukum terhadap masyarakat mutlak diperlukan dan diwujudkan dalam berbagai
bidang. Perwujudan perlindungan hukum itu sendiri haruslah memberikan jaminan pemenuhan
terhadap hak-hak masyarakat yang diatur oleh hukum. Hal ini penting dilakukan mengingat
penegakan hukum (law enforcement) sering tidak sesuai dengan harapan itu sendiri dimana di
dalam perkembangannya banyak peristiwa pelanggaran hukum seperti tindakan main hakim
sendiri (eigenrichting) yang membawa dampak yang sangat merugikan, bahkan bukan hanya
seorang saja akan tetapi dapat juga menimpa sekelompok orang dalam jumlah besar atau
masyarakat luas masih sering terjadi. (Sundari, 2002: 1)
Ada berbagai macam cara untuk penyelesaian sengketa, yaitu bisa melalui jalur litigasi
maupun non litigasi (di luar pengadilan). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini biasanya
ditempuh dengan cara ADR (Alternative Dispute Resolution), yaitu meliputi upaya: negosiasi,
mediasi, arbitrase maupun konsiliasi. Upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan biasanya
lebih diminati oleh masyarakat (khususnya oleh kalangan pengusaha atau pebisnis) karena lebih
bersifat sosial, bernuansa damai serta dapat mengakomodasi kepentingan mereka, namun bukan
hal yang jarang terjadi bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan sering menemui jalan
buntu, hal ini disebabkan konflik kepentingan masing-masing pihak sehingga tidak dapat
ditempuh dengan jalan damai.
Untuk mengatasi hal tersebut, upaya lain yang dapat digunakan untuk penyelesaian
sengketa yaitu melalui jalur litigasi, yaitu melalui badan peradilan, sebab pengadilan merupakan
suatu badan yang memegang peranan penting dalam penyelesaian sengketa. Mengingat fungsi
pengadilan itu sendiri adalah menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
Bentuk
pengajuan gugatan tersebut ada yang dilakukan secara individu, ada yang
dilakukan secara perwakilan/ kelompok. Gugatan yang dilakukan secara perwakilan/ kelompok
ini dikenal dalam berbagai bentuk yaitu Class action, Action popularis, Citizen lawsuit,
Groepacties serta NGO’S Standing. Pengaturan pengajuan gugatan perdata ini prosedur dan
ketentuannya telah diatur dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) untuk Jawa dan
Madura dan Rbg (Rechtsreglement Buitengewesten) untuk luar Jawa dan Madura. Khusus untuk
gugatan yang dilakukan secara kelompok / perwakilan, selain mengacu pada HIR juga ada
peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut, yakni: PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang
acara gugatan perwakilan kelompok.
Saat ini Gugatan perwakilan/ kelompok banyak dilakukan oleh para pencari keadilan,
salah satu yang sering digunakan adalah model gugatan Citizen lawsuit. Gugatan ini merupakan
bentuk gugatan yang mengatasnamakan kepentingan umum. Konsep gugatan seperti ini memang
belum banyak dikenal, namun keberadaannya sangat penting dalam menunjang pembaharuan
hukum dalam menghadapi kasus-kasus yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh pemerintah.
Secara normatif, Gugatan citizen lawsuit merupakan gugatan yang menggunakan
prosedur pengajuan gugatan kelompok, yang merupakan hasil adopsi dari sistem hukum
Common law, namun demikian meskipun Gugatan citizen lawsuit ini merupakan hasil adopsi
sistem hukum common law, akan tetapi sekarang sudah banyak yang menggunakan gugatan
seperti itu, meskipun sistem hukum acara perdata di Indonesia belum mengatur akan hal tersebut.
Hal ini karena berdasarkan Undang – undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 yang mengatur acara gugatan perwakilan/
kelompok, hakim tidak boleh menolak memeriksa dan memutus setiap perkara yang diajukan,
dengan dalih belum ada peraturan yang mengaturnya.
Oleh karena itu sejak keluarnya PERMA Nomor 1 Tahun 2002, maka upaya penyelesaian
sengketa menggunakan gugatan perwakilan kelompok menjadi pilihan. Hal ini terbukti dari
adanya pengadilan yang menangani gugatan citizen lawsuit dan memberikan putusannya, yaitu
misalnya pada tahun 2007, tepatnya 27 Mei 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutus
perkara gugatan citizen lawsuit, yaitu bahwa Pemerintah cq Departemen Pendidikan Nasional
dinilai telah lalai dalam memberi pemenuhan dan perlindungan HAM (khususnya hak atas
pendidikan dan hak anak) terhadap warga negara yang menjadi korban ujian nasional.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga minta agar Pemerintah meningkatkan kualitas guru,
kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap sebelum
melaksanakan ujian nasional. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan kasasi di Mahkamah Agung. (M.Dja’is, 2010: 14). Selain itu
gugatan citizen lawsuit yang lain yaitu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 251/ Pdt/
G/ 1998/ PN Jkt Pst, fakta permasalahan hukum yang dialami oleh penggugat dan orang-orang
yang diwakilinya adalah sama-sama warga DKI yang menderita demam berdarah. Putusan
Pengadilan Negeri Yogyakarta No.73/Pdt.G/2006/PN.YK. tanggal 3 Mei 2007, gugatan ini
berawal dari kejadian bencana alam gempa bumi yang menimpa Daerah Istimewa Yogyakarta
dan sekitarnya yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat, baik kerugian materiil maupun
kerugian immateriil sebagai akibat dari kelambanan serta ketidak responsifan negara/
pemerintah. Pemerintah dinilai tidak mampu memberikan perlindungan serta menjamin
terpenuhinya hak – hak warga negara.
Selain dapat mengefisiensikan dan mengefektifkan upaya penyelesaian sengketa yang
merugikan masyarakat banyak, upaya gugatan perwakilan kelompok tentunya akan
menguntungkan pengadilan maupun para pihak, yaitu karena menghemat waktu, biaya, dan
tenaga. Akan tetapi kenyataannya baik masyarakat, hakim maupun pengacara/ penasehat hukum
banyak yang belum memahami ataupun mengetahui cara pengajuan gugatan perwakilan
kelompok khususnya mereka yang mengatasnamakan kepentingan umum guna membela
kepentingan umum / masyarakat yang dirugikan.
Lahirnya PERMA Nomor 1 Tahun 2002 merupakan langkah untuk mengantisipasi
apabila ada pihak yang mengajukan gugatan perwakilan kelompok, sehingga dapat mewujudkan
penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan dan transparan.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis akan mengadakan penelitian dengan
judul: “PELAKSANAAN GUGATAN CITIZEN LAWSUIT MODEL PENYELESAIAN
SENGKETA SECARA KELOMPOK DALAM PERBUATAN MELAWAN HUKUM”
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dalam penelitian ini penulis
mengajukan rumusan masalah hanya pada:
a. Bagaimana prosedur pengajuan gugatan citizen lawsuit di pengadilan ?
b. Apa kendala dan hambatan yang dihadapi dalam pengajuan gugatan citizen lawsuit?
c. Upaya hukum apa yang ditempuh untuk mengatasi hambatan tersebut?
Bab II. Tinjauan Pustaka

Gugatan Perdata

Pengertian Gugatan
Apabila suatu perkara tidak dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat oleh
pihak-pihak yang bersengketa, maka
salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah
perkara tersebut diajukan kepada pengadilan yang berwenang, yaitu dengan mengajukan
gugatan. Adapun pengertian gugatan Sudikno, menyebutnya sebagai “surat gugatan”
dengan istilah “tuntutan hak” sebagai tindakan yang bertujuan untuk memperoleh
perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”.
(Sudikno, 2002: 48).
Darwan Prinst (dalam Lilik, 2005: 38) menyebutkan “gugatan” adalah suatu
permohonan yang disampaikan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang,
mengenai suatu tuntutan terhadap lainnya, dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu
oleh pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, maka yang dimaksud dengan gugatan perdata
adalah gugatan yang mengadung sengketa hukum antara dua pihak atau lebih dalam
bidang perdata yang pemeriksaan dan penyelesaiannya diserahkan dan diajukan ke
pengadilan. Berdasar pengertian tersebut, maka upaya mengajukan gugatan merupakan
pilihan penyelesaian sengketa yang ideal, hal ini untuk menghindari dan mencegah
terjadinya eigenrichting. Oleh karena itu dalam penyelesaian suatu sengketa atau perkara
melalui pengadilan dapat memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang
bersengketa.
Suatu gugatan menurut pandangan doktrina dapat disimpulkan bahwa dalam
praktik seseorang atau badan hukum yang “merasa” dan “dirasa” bahwa haknya
dilanggar orang lain lazim disebut dengan “penggugat” atau “eiser/ plaintiff”. Adapun
orang/ badan hukum yang “diarasa” telah melanggar hyak orang lain disebut dengan
“tergugat” atau “gedaagde/ dependant” (Lilik, 2005: 38). Berdasarkan hal tersebut dapat
dipahami bahwa para pihak yang berperkara terdiri dari penggugat dan tergugat.
Penggugat adalah pihak yang mengajukan gugatan atau pihak yang memohon
penyelesaian sengketa (Plaintif – Planctus the party who institute a legal action or
claim), yaitu: pihak yang merasa haknya dilanggar. Adapun tergugat adalah pihak yang
ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian (Defendant the party against whom a
civil is brougt).
Para pihak dalam gugatan perdata , baik penggugat maupun tergugat bisa berupa
badan hukum maupun individu atau perseorangan. Setiap perkara perdata yang berada
dalam pemeriksaaan pengadilan, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang saling
berhadapan, yaitu pihak penggugat adalah orang yang mengajukan gugatan atau
memohon penyelesaian sengketa (Plaintif = Planctus the party who institute a legal
action or claim), yaitu pihak yang merasa haknya dilanggar, dan pihak tergugat yang
ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian (Defendant the party against whom a
civil is brougt), yaitu pihak yang dirasa oleh penggugat sebagai yang merugikan haknya
(Yahya Harahap, 2006: 47)
Para pihak dalam perkara perdata yang terdiri dari penggugat maupun tergugat
ini bisa individu/perorangan maupun badan hukum. Badan hukum ini dapat bersifat
publik (negara, propinsi, kabupaten, instansi-instansi pemerintah) dan dapat bersifat
privat (PT, koperasi, perkapalan, perasuransian, yayasan). Subyek hukum yang berupa
individu/perorangan tanggung jawab perdatanya secara pribadi, sedangkan subyek
hukum yang berupa badan hukum, tanggung jawabnya adalah badan hukum itu sendiri,
yang dalam hal ini diwakili oleh pengurus yang berwenang sesuai yang ada di dalam
AD/ART perusahaan atau organisasi itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1661
KUH Perdata, yaitu bahwa “Para anggota atau perkumpulan tidaklah bertanggung jawab
secara pribadi untuk perikatan perkumpulan”
Gugatan yang ditujukan kepada badan hukum publik dialamatkan kepada
pimpinannya. Gugatan terhadap negara, ditujukan kepada pemerintah yang dianggap
bertempat tinggal di departemen. Akan tetapi jika pemerintah yang digugat, maka
gugatan ditujukan kepada pimpinan departemen yang bersangkutan.
Ciri-ciri gugatan perdata adalah: a). Permasalahan hukum yang diajukan ke
pengadilan mengandung sengketa hukum (disputes, differences). b). Sengketa tersebut
melibatkan beberapa pihak, paling kurang dua pihak. c). Gugatan perdata bersifat partai
(party), dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai
penggugat dan pihak yang lain berkedudukan sebagai tergugat.
2. Syarat dan unsur-unsur surat gugatan.
Hukum acara perdata menentukan bahwa seseorang dapat mengajukan gugatan di
muka pengadilan dengan terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan formal.
Berdasarkan Pasal 118 HIR ditentukan bahwa gugatan yang diajukan harus disertai surat
permintaan, yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Surat permintaan
tersebut dalam praktek disebut dengan surat gugat atau surat gugatan (introductief
rekest). Gugatan yang diajukan dapat dilakukan secara tertulis (Pasal 118 HIR), maupun
secara lisan (Pasal 120 HIR). Gugatan yang diajukan secara lisan ini diperbolehkan,
apabila pihak yang mengajukan gugatan buta huruf.
Setelah gugatan diajukan, maka para pihak juga harus memperhatikan hal-hal
yang harus dimuat dalam suatu surat gugatan agar gugatan tersebut dapat diterima
sehingga mencegah pengajuan gugatan yang tidak sempurna (obscuur libel). Gugatan
harus mengandung tiga unsur, yaitu: (Sudikno, 2002: 50)
a. Identitas para pihak (identity of the parties); yang dimaksud identitas ialah ciri-ciri
daripada penggugat dan tergugat, yaitu meliputi nama, alamat atau tempat tinggal,
umur, status kawin atau tidak, pekerjaan dan agama.
b. Fundamentum petendi/ posita atau dasar tuntutan, yang memuat uraian tentang
kejadiaan atau peristiwa (factual grounds) serta bagian yang menguraikan tentang
hukum, yaitu adanya hak dan hubungan hukum pihak-pihak yang berperkara
(tergugat / penggugat) yang menjadi dasar yuridis dari pada tuntutan.
c.
Petitum atau tuntutan (onderwerp van den eis met een duidelijke en bepalde
conclusie), berisi uraian mengenai tuntutan yang diajukan penggugat, yang meliputi
dua macam tuntutan, yaitu tuntutan primair (primari claim) merupakan tuntutan
pokok dan tuntutan sekunder (subsidiary claim) merupakan tuntutan pengganti
apabila tuntutan pokok ditolak oleh hakim.
Hukum acara perdata menentukan bahwa suatu gugatan perdata itu memiliki ciri
khas yang harus dipenuhi, yaitu: (Yahya Harahap, 2006: 47-48)
a. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa hukum
(disputes, differences)
b.
Sengketa tersebut melibatkan beberapa pihak, paling kurang dua pihak.
c. Gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak yang satu bertindak
dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain berkedudukan sebagai
tergugat.
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah ketika akan mengajukan gugatan,
maka harus memperhatikan tempat di mana gugatan tersebut harus diajukan, hal ini
diatur dalam pasal 118 HIR, yaitu :
a. Gugatan perdata di tingkat pertama diajukan di Pengadilan Negeri dalam daerah
hukum tempat tinggal tergugat (dikenal dengan Azas Actor Sequitur Forum Rei), jika
tempat tinggalnya tidak diketahui maka di tempat diam tergugat.
b. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugatan diajukan pada tempat
tinggal salah seorang dari tergugat yang menjadi pilihan para penggugat.
c. Apabila tergugat lebih dari seorang, namun tergugat satu sama lain dalam
perhubungan sebagai perutangan pertama (debitur utama) dan yang lain adalah
sebagai penanggung (penjamin), maka gugatan dimasukkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri di tempat orang yang berhutang utama.
d. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugatan akan
diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat.
e. Gugatan terhadap benda tidak bergerak, dapat diajukan kepada ketua Pengadilan
Negeri dimana barang tetap itu berada.
f. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut.
Pemilihan domisili ini hanya merupakan suatu hak istimewa yang diberikan kepada
penggugat.
Keberadaan peradilan perdata bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul diantara anggota masyarakat. Ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau
pemecahan perjanjian (breach of contract), perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige
daad), sengketa hak milik (property right), perceraian, pailit, penyalahgunaan wewenang
oleh penguasa yang merugikan pihak tertentu.(Yahya Harahap, 2006: 179)
3. Putusan pengadilan
Setelah pemeriksaan perkara selesai, maka untuk mengakhiri suatu perkara hakim
akan memberikan suatu putusan. Hukum acara perdata mengenal bermacam-macam jenis
putusan, baik yang dimuat dalam HIR maupun yang tidak dimuat dalam HIR. Putusan
pengadilan atau vonis merupakan pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang
pengadilan yang terbuka untuk umum. Pasal 185 HIR, putusan dibedakan menjadi dua
macam yaitu:

Putusan akhir (eind vonis), yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim pada akhir
pemeriksaan pokok perkara

Putusan Sela (Tussen vonnis), yaitu putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir
yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan
pemeriksaan perkara.
Kemudian secara ringkas disebutkan bahwa putusan akhir menurut sifatnya
dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (Taufik, 2004: 130)
1). Putusan Declaratoir, yaitu keputusan yang hanya menegaskan suatu keadaan hukum
semata-mata, artinya bahwa keadaan hukum yang dituntut oleh penggugat atau
pemohon ada atau tidak ada, tanpa mengakui adanya hak atas suatu prestasi. Amar
putusan declaratoir tidak memerlukan upaya memaksa dan tidak berisi
penghukuman, karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan dari pihak
lawan yang dikalahkan untuk melaksanakannya, sehingga hanya mempunyai
kekuatan mengikat saja, misalnya tentang status anak yang syah, tentang hak milik
atas suatu benda .
2). Putusan Constitutief, yaitu keputusan yang meniadakan sesuatu keadaan hukum atau
yang menimbulkan sesuatu keadaan hukum baru, artinya tidak menetapkan hak atas
suatu prestasi tertentu. Amar putusan Constitutif tidak memerlukan upaya paksa dan
tidak berisi penghukuman, karena perubahan keadaan atau hubungan hukum terjadi
sekaligus pada saat putusan dibacakan oleh hakim, misalnya putusan yang
dikeluarkan untuk memutuskan perkawinan, pernyataan jatuh pailit.
3). Putusan Condemnatoir, yaitu keputusan yang menetapkan bagaimana hubungannya
sesuatu keadaan hukum (duduknya hubungan hukum), disertai dengan penetapan
hukuman terhadap salah satu pihak. Amar putusan berisi penghukuman bahwa salah
satu pihak harus melakukan prestasi, misalnya untuk membayar sejumlah uang,
menyerahkan suatu benda.
Ketiga jenis putusan tersebut, hanya putusan Condemnatoir yang perlu dilakukan
eksekusi, apabila pihak yang kalah dalam perkara tersebut tidak mau melaksanakan isi
putusan hakim secara sukarela maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan
kepada hakim untuk dilakukan eksekusi. Adapun putusan Deklaratoir dan putusan
Constitutief tidak perlu dilakukan eksekusi, karena pada saat hakim membacakan putusan
maka keadaan hukum sudah berubah.
Putusan sela yang dikenal dalam hukum acara perdata dibagi menjadi empat macam,
yaitu: (Lilik Mulyadi, 2009: 157-158)
1). Putusan preparator (preparatoir vonnis), yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim
guna mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara. Sifat dasar dari putusan
preparator adalah tidak mempengaruhi pokok perkara, misalnya putusan yang
menetapkan bahwa gugat balik (gugatan dalam rekonvensi) tidak diputus
bersama-sama dengan gugatan dalam konvensi, atau putusan yang menolak/
menerima penundaan sidang disebabkan alasan yang tidak dapat diterima, dan
sebagainya.
2). Putusan interlokutor (Interlocutoir vonnis), yaitu putusan sela yang dijatuhkan oleh
hakim dengan amar berisikan perintah pembuktian dan dapat mempengaruhi pokok
perkara, contohnya putusan berisi perintah untuk mendengar keterangan ahli, putusan
tentang beban pembuktian kepada salah satu pihak agar membuktikan sesuatu,
putusan dengan amar memerintahkan dilakukan pemeriksaan stempat (descente), dan
sebagainya.
3). Putusan provisionil (putusan takdim/ provisionil vinnis), yaitu putusan (karena adanya
hubungan dengan pokok perkara) menetapkan suatu tindakan sementara bagi
kepentingan salah satu pihak berperkara.
Putusan provisionil yaitu putusan yang dijatuhkan sehubungan dengan tuntutan
dalam pokok perkara/tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara agar
diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan
akhir dijatuhkan, misalnya pada perkara perceraian, sebelum perkara pokoknya
diputuskan, si isteri minta agar diperkenankan meninggalkan tempat tinggal bersama
selama proses berlangsung (Heniyatun, 2008: 76). Darwan Prinst (dalam Lilik, 2009:
42) menyebutnya gugatan provisionil sebagai suatu gugatan untuk memperoleh
tindakan sementara selama proses perkara masih berlangsung. Adapun Sudikno
Mertokusumo (2002: 223) menyebutnya sebagai putusan yang menjawab tuntutan
provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutkan agar sementara diadakan
pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
4). Putusan insidentil (incidentieel vonnis), yaitu penjatuhan putusan hakim berhung
adanya “insiden”, yaitu menurut sistim RV diartikan sebagai timbulnya kejadian
yang menunda jalannya perkara. Contohnya, ketika pemeriksaan sedang berlangsung,
salah satu pihak berperkara mohon agar saksinya didengar atau diperkenankan
seseorang/ pihak ketiga masuk dalam perkara (vrijwaring, voeging dan tussenkomst),
dan sebagainya.
Putusan pengadilan dalam hukum acara perdata mempunyai tiga kekuatan, yaitu:
(Heniyatun, 2008: 76)
1). Kekuatan mengikat, maksudnya adalah putusan pengadilan dimaksudkan untuk
menyelesaikan perkata, yaitu dengan menetapkan hak dan apa yang merupakan
hukumnya. Apabila para pihak yang berperkara tidak dapat menyelesaikan perkara
mereka sendiri secara damai dan kemudian menyerahkan penyelesaian perkara
yersebut kepada pengadilan, maka berarti bahwa para pihak tersebut akan tunduk dan
patuh kepada putusan yang dijatuhkan pengadilan. Oleh karena itu putusan yang
dijatuhkan oleh pengadilan tersebut harus dihormati oleh pihak-pihak yang
berperkara denga tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan putusan. Jadi
putusan pengadilan tersebut mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak
yang berperkara.
2). Kekuatan pembuktian; yaitu bahwa putusan pengadilan selalu dituangkan dalam
bentuk tertulis. Putusan pengadilan yang tertuang dalam bentuk tertulis ini
merupakan akte otentik, yang dapat digunakan sebagai alat bukti oleh pihak-pihak
yang berperkara untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaannya. Adanya
putusan pengadilan maka ada kepastian hak dan kepastian hukum tentang suatu
persoalan dalam suatu perkara yang telah diputuskan tersebut. Oleh karena itu
apabila ada gugatan baru mengenai hal (objek) yang sama, pihak-pihaknya sama, dan
alasan yang sama pula, maka berdasarkan azas ne bis in idem, maka gugatan tersebut
harus dinyatakan ditolah.
3). Kekuatan eksekutorial; putusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial,
maksudnya adalah mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa terhadap
pihak yang tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Putusan pengadilan
mempunyai kekuatan eksekutorial karena peradilan dilakukan “Demi Keadilan
Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat irah-irah dalam kepala putusan
pengadilan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha
Esa”, tersebut yang memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan pengadilan.
B. Gugatan Citizen Lawsuit
1. Pengertian gugatan perwakilan kelompok
Sebelum membahas mengenai gugatan Citizen Lawsuit, terlebih dahulu akan
dijelaskan mengenai gugatan perwakilan/ kelompok. Pasal 1 huruf (a) PERMA Nomor 1
Tahun 2002 menyebutkan mengenai pengertian gugatan perwakilan kelompok yaitu
suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili
kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri dan sekaligus
mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak yang memiliki kesamaan fakta atau
dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Menurut Sudikno Mertokusumo (2008:1) gugatan perwakilan atau kelompok
adalah suatu gugatan yang diajukan secara perwakilan atau oleh sekelompok orang yang
mempunyai kepentingan yang sama dalam suatu perkara yang dilakukan oleh salah
seorang anggota atau lebih dari kelompok tersebut tanpa menyebut anggota kelompok
satu demi satu .
Gugatan perwakilan atau kelompok memiliki berbagai macam bentuk, antara lain
Class Action, Actio popularis, Citizen Lawsuit, Group Acties serta Legal standing.
Masing-masing bentuk gugatan tersebut memiliki pengertian yang berbeda-beda. Di
bawah ini, penulis akan memberikan gambaran mengenai gugatan perwakilan kelompok
tersebut .
Pertama, gugatan yang dikenal dengan istilah Class action atau gugatan
perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang
atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka
sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki
kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok
dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan wakil kelompok adalah satu orang atau
lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekligus mewakili
kelompok
orang
yang
lebih
banyak
jumlahnya.
(Info
Hukum,
2005,
www.pnpm-perdesaan.or.id/.../)
Menurut Mas Achmad Santosa (2011: 1), menyebutkan Class Action pada intinya
adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti
kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang banyak, yang tidak
banyak misalnya satu atau dua orang) sebagai perwakilan kelas (class representatif)
mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang
lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut
diistilahkan
sebagai
class
member.
(http://inclaw-hukum.com/index.php/hukum-perdata/hukum-acara-perdata/139-gugatan-c
lass-action)
Pengertian Class Action dalam Black’s law dictionary, yaitu sekelompok
besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat
menuntut atau dituntut mewakili ke kelompok besar orang tersebut tanpa perlu
menyebut satu peristiwa atau satu anggota yang diwakili.
Untuk mengajukan gugatan Class Action, baik pihak wakil kelompok maupun
anggota kelompok harus mengalami kerugian secara nyata (concrete injured parties).
Tuntutan atau petitumnya dalam gugatan Class Action pada umumnya berupa
ganti rugi secara materiil.
Perwakilan kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya untuk dan
atas nama mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok yang mereka wakili,
tanpa memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok. Kemudian dalam pengajuan
gugatan tersebut, tidak perlu disebutkan secara individual satu per satu identitas anggota
kelompok yang diwakili, yang penting, asal kelompok yang diwakili dapat didefinisikan
identifikasi anggota kelompok secara spesifik. Selain itu antara seluruh anggota
kelompok dengan wakil kelompok terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang
melahirkan: kesamaan kepentingan (common interest); kesamaan penderitaan (common
grievance); apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh
anggota.(Yahya Harahap, 2006: 139)
Gugatan semacam ini adalah hasil adopsi dari sistem hukum Anglo saxon, namun
telah diatur dalam beberapa perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, misalnya
UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kedua, gugatan yang dikenal dengan istilah Actio Popularis. Istilah Actio
Popularis pada dasarnya sama dengan Citizen Lawsuit. Menurut Sundari, gugatan Actio
popularis/Citizen Lawsuit ialah gugatan yang dapat diajukan oleh setiap warga negara,
tanpa pandang bulu, dengan pengaturan oleh negara. (Sundari, 2002: 15)
Menurut Kotenhagen-Edzes, dalam Actio popularis setiap orang dapat
menggugat atas nama kepentingan umum dengan menggunakan Pasal 1401
Niew BW (Pasal 1365 KUH Perdata). Berdasarkan kedua pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa Actio popularis adalah suatu gugatan yang dapat
diajukan oleh setiap orang terhadap suatu perbuatan melawan hukum, dengan
mengatasnamakan
kepentingan
umum,
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan yang mengatur adanya prosedur tersebut.
Menurut Sjahdeini (dalam Sudikno Mertokusumo, 2008: 2) yang dimaksud
dengan Actio Popularis/Citizen Lawsuit adalah prosedur pengajuan gugatan yang
melibatkan kepentingan umum secara perwakilan. Gugatan dapat ditempuh dengan acuan
bahwa setiap warga negara tanpa kecuali mempunyai hak membela kepentingan umum,
artinya setiap warga negara atas nama kepentingan umum dapat menggugat negara atau
pemerintah atau siapa saja yang melakukan perbuatan melawan hukum, yang nyata-nyata
merugikan kepentingan umum dan kesejahteraan luas. Hak mengajukan gugatan bagi
warga negara atas nama kepentingan umum adalah tanpa syarat, sehingga orang yang
mengambil inisiatif mengajukan gugatan tidak harus orang yang mengalami sendiri
kerugian secara langsung dan tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota
masyarakat yang diwakilinya.
Actio
Popularis
memiliki
kesamaan dengan
Class
action,
yaitu
sama-sama merupakan gugatan yang melibatkan kepentingan sejumlah besar
orang secara perwakilan oleh seorang atau lebih, namun yang membedakan
dengan Class action adalah dalam Actio popularis yang berhak mengajukan
gugatan adalah setiap orang atas dasar bahwa ia adalah anggota masyarakat
tanpa mensyaratkan bahwa ia adalah orang yang menderita kerugian secara
langsung, sedangkan Class action tidak setiap orang dapat mengajukan
gugatan, melainkan hanya satu atau beberapa orang yang merupakan anggota
kelompok yang mengalami kerugian secara langsung. Kepentingan yang dituntut
dalam Actio popularis adalah kepentingan umum yang dianggap kepentingan
setiap anggota masyarakat juga, sedangkan dalam Class action kepentingan
yang dituntut adalah kepentingan yang sama dalam suatu permasalahan yang
menimpa kelompok tersebut. (Emerson Yuntho, 2005)
Ketiga, gugatan yang dikenal dengan istilah Group Acties, yaitu gugatan
yang dipakai sebagai suatu hak yang diberikan oleh suatu badan hukum untuk
mengajukan gugatan mewakili orang banyak. Prinsip gugatan Group acties yaitu
badan hukum dapat mewakili kepentingan orang banyak apabila dalam
anggaran dasarnya mencantumkan kepentingan yang serupa dengan yang
diperjuangkannya di pengadilan, yaitu memperjuangkan kepentingan orang
banyak yang diwakilinya namun tidak boleh menuntut ganti rugi berupa uang.
(Emerson Yuntho, 2005)
Keempat, gugatan yang dikenal dengan istilah Legal standing, yaitu suatu
tata cara pengajuan gugatan secara perdata yang dilakukan oleh satu atau lebih
lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat atas suatu tindakan atau
perbuatan atau keputusan orang perorangan atau lembaga atau pemerintah
yang
telah
menimbulkan
kerugian
bagi
masyarakat.
Beberapa
perundang-undangan memberikan istilah Legal standing secara berbeda-beda.
Legal standing dalam UU Lingkungan Hidup diistilahkan sebagai Hak Gugat
Organisasi Lingkungan. UU Perlindungan Konsumen dikenal sebagai gugatan
atas pelanggaran pelaku usaha yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat, yaitu tertuang dalam Pasal 46 ayat (1) huruf
(c), yang menyatakan “Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam
anggaran menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya organisasi tersebut
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya.
Gugatan Legal standing tidak mengenal tuntutan ganti kerugian uang.
Ganti rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas pada ongkos atau biaya
yang telah dikeluarkan oleh organisasi tersebut.
2. Pengertian dan Dasar Hukum Gugatan Citizen lawsuit
Tugas dan kewenangan badan peradilan di bidang perdata sesuai dengan Pasal 2
ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35
tahun 1999 dan sekarang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004, adalah
menerima, memeriksa dan mengadili, serta menyelesaikan sengketa diantara para pihak
yang berperkara.
Asas penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan serta transparan; berdasarkan hal tersebut maka badan peradilan berusaha
menciptakan suatu cara atau prosedur guna memudahkan untuk beracara di muka
pengadilan dengan menggunakan gugatan perwakilan kelompok.
Salah satu gugatan perwakilan secara kelompok disebut gugatan Citizen Lawsuit.
Bentuk gugatan ini sangat bermanfaat untuk mengefisiensikan dan mengefektifkan
penyelesaian perkara, mengingat dalam gugatan Citizen Lawsuit ini berkaitan dengan
bentuk gugatan yang mengatasnamakan kepentingan umum. Istilah Citizen Lawsuit
dalam sistem hukum Common law pada prinsipnya sama dengan gugatan Actio Popularis
yang dikenal dalam sistem Eropa Continental, namun sejak 1 Juli 2005 gugatan Actio
Popularis telah dihapus di Negara Belanda.
Istilah Citizen Lawsuit dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “gugatan
warga negara”, adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan jenis tuntutan hak
yang diajukan oleh warga negara. Narayama (dalam Pratiwi, 2012) menyebutkan bahwa
gugatan warga negara atau Citizen Lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga negara
dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau pembiaran dari
negara atau otoritas negara.
Michael D.Axline (dalam Pratiwi, 2012) menegaskan bahwa Citizen Lawsuit
memberikan kekuatan kepada warga negara untuk menggugat negara dan lembaga
negara yang melakukan pelanggaran undang-undang atau yang gagal dalam memenuhi
kewajiban dan mengimplementasikan undang-undang.
Berdasarkan istilah dan beberapa pengertian tentang Citizen Lawsuit tersebut,
maka dapat dipahami bahwa gugatan Citizen Lawsuit adalah gugatan warga negara yang
ditujukan kepada pemerintah atau negara akibat pelanggaran-pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh negara yang dianggap merugikan kepentingan publik. Tujuan dari
gugatan Citizen Lawsuit adalah menghukum negara untuk mengeluarkan kebijakan
publik yang tidak merugikan warga negara. Kebijakan publik diartikan sebagai
keputusan-keputusan yang mengikat publik yang dikeluarkan oleh pemegang otoritas
publik.
Secara sederhana Citizen Lawsuit adalah mekanisme gugatan warga negara
terhadap penyelenggara negara berkenaan kepentingan umum, bukan untuk kepentingan
pribadi atau orang per orang. Unsur kepentingan umum ini membuatnya menjadi tidak
sama dengan gugatan Tata Usaha Negara walaupun kedua mekanisme ini sama-sama
menggugat penyelenggara negara. Inti Citizen Lawsuit adalah menggugat tanggung
jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara.
Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Atas kelalaiannya tersebut negara dihukum untuk memperbaikinya dengan cara
mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (regeling) agar pelanggaran hak
warga negara tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari. (Afridal Darmi)
Mengingat bahwa perundang-undangan di Indonesia belum ada ketentuan yang
mengatur mengenai acara memeriksa, mengadili dan memutus gugatan dalam bentuk
Citizen lawsuit, padahal berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor
4 Tahun 2004, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa tidak ada hukumnya atau hukumnya tidak
jelas, melainkan wajib memeriksa serta mengadilinya, maka tata cara serta segala
ketentuan yang berkaitan dengan gugatan citizen lawsuit masih mengikuti Hukum acara
perdata yang berlaku pada saat ini yaitu dengan berpedoman pada HIR, yang mengatur
perihal mengadili perkara perdata oleh Pengadilan Negeri. Untuk menghindari
kevacuman atau kekosongan hukum maka Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok sebagai pedoman
dalam mengefisiensikan serta mengefektifkan untuk berperkara di pengadilan sehingga
tercipta peradilan yang sederhana, cepat, transparan dan dengan biaya yang ringan.
3. Para Pihak yang terlibat dalam Gugatan Citizen Lawsuit.
Berdasarkan pengertian gugatana Citizen Lawsuit tersebut di atas, maka dapat
dijabarkan karakteristik gugatan Citizen Lawsuit. Karakteristik pertama, penggugat
adalah warga negara yang bertindak mengatasnamakan seluruh atau sebagian Warga
Negara Indonesia. Penggugat dalam hal ini cukup membuktikan bahwa dirinya adalah
Warga Negara Indonesia. Penggugat tidak harus merupakan individu atau kelompok
warga negara yang dirugikan secara langsung oleh negara. Oleh karena itu penggugat
tidak harus membuktikan kerugian materiil yang telah dideritanya sebagai dasar gugatan,
berbeda dengan gugatan perdata biasa. Berbeda dengan gugatan yang menggunakan
mekanisme gugatan perwakilan kelas (class action), penggugat dalam Citizen Lawsuit
secara
keseluruhan
adalah
mewakili
Warga
Negara
Indonesia,
tidak
perlu
dipisah-pisahkan menurut kelompok kesamaan fakta dan kerugian sebagaimana dalam
class action. Penggugat memberikan notifikasi (pemberitahuan) berupa somasi kepada
penyelenggara negara, yang berisi kelalaian negara dalam pemenuhan hak-hak warganya.
Pemberitahuan dilakukan oleh penggugat kepada tergugat sebelum gugatan di daftar
dengan cara mengirimkan somasi kepada penyelenggara negara. Isi somasi tersebut
adalah bahwa akan diajukan suatu gugatan Citizen Lawsuit terhadap penyelenggara
negara atas kelalaian negara dalam pemenuhan hak-hak warga negaranya dan
memberikan kesempatan bagi negara untuk melakukan pemenuhan atas tuntutan tersebut.
Somasi ini diajukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum gugatan didaftarkan, namun
karena belum ada satupun peraturan formal yang mengatur mengenai hal tersebut, maka
ketentuan ini tidak berlaku mengikat.
Kedua, tergugat adalah penyelenggara negara, yaitu dari Presiden Republik
Indonesia, menteri dan terus sampai kepada pejabat negara di bidang yang dianggap telah
melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya. Ketiga, perbuatan
melawan hukum yang digugat adalah kelalaian penyelenggara negara dalam pemenuhan
hak-hak warga negara. Gugatan harus jelas menguraikan bentuk kelalaian negara
sehingga hak warga negara menjadi tidak terpenuhi. Hak warga negara yang gagal
dipenuhi oleh negara juga harus dijelaskan.
Keempat,
surat
gugatan, mekanisme ini ditandai oleh beberapa
karakteristik khas, yaitu tuntutan (petitum) harus berisi permohonan agar negara
mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (regeling) agar perbuatan melawan
hukum berupa kelalaian negara dalam pemenuhan hak warganya tersebut di masa yang
akan datang tidak terulang lagi. Petitum tidak boleh berisi permohonan ganti rugi atau
permohonan untuk membayar sejumlah uang. Hal ini karena yang digugat bukan
kerugian materiil, maka penggugat tidak berhak minta ganti rugi secara langsung. Juga
tidak diperbolehkan berisi permohonan agar hakim memerintahkan pemutusan atau
pelaksanaan hubungan hukum perdata antar warga negara. Selain itu petitum juga tidak
boleh berisi permohonan pembatalan atas suatu Keputusan Penyelenggara Negara
(Keputusan Tata Usaha Negara) yang bersifat konkrit individual dan final, karena hal
tersebut merupakan kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara. Terakhir, petitum
juga tidak boleh memohon pembatalan atas suatu undang-undang, karena itu merupakan
kewenangan Mahkamah Konstitusi, dan tidak boleh minta pembatalan atas peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, karena itu merupakan kewenangan
Mahkamah Agung. (Afridal Darmi, 2011)
4. Syarat Pengajuan Gugatan Citizen Lawsuit
Gugatan Citizen Lawsuit merupakan bentuk gugatan secara perwakilan kelompok
berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok,
yang keberadaanya telah mendapat tempat di dalam sistem hukum di Indonesia.
Mekanisme gugatan Citizen Lawsuit di Indonesia yang pertama diawali dari gugatan
Munir (alm) dan kawan-kawan tentang Penelantaran Negara terhadap TKI Migran yang
dideportasi di Nunukan. Majelis Hakim Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Munir (alm)
dan kawan-kawan tersebut, yaitu memerintahkan pemerintah Republik Indonesia
menerbitkan
pengaturan
tentang
perlindungan
tenaga
kerja.
Hasilnya
adalah
diundangkannya Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentqang Penempatan dan
perlindunngan Tenaga Kerja Indonesia.
Mekanisme
pengajuan
gugatan
Citizen
Lawsuit
diperlukan
adanya
persyaratan-persyaratan tertentu yang berbeda dengan gugatan perdata pada umumnya.
Syarat tersebut nampaknya hampir memiliki kesamaan seperti model gugatan perwakilan
secara Class Action.
Syarat gugatan Citizen Lawsuit tersebut antara lain :
a. Ada sejumlah besar penggugat (numerosity)
Pada gugatan Citizen lawsuit, biasanya dilakukan oleh orang-orang yang merasa
dirugikan karena perbuatan melawan hukum, namun dalam hal ini penggugat tidak
harus merupakan kelompok warga negara yang dirugikan secara langsung oleh
Negara. Penggugat tidak harus membuktikan kerugian materiil apa yang dideritanya
sebagai dasar gugatan. Bentuk kelompoknya tidak perlu dipisah-pisah menurut
kelompok kesamaan fakta dan kerugian karena penggugat secara keseluruhan adalah
mewakili warga negara Indonesia. (Arko Kanadianto, 2008: 2)
b.
Adanya kesamaan kepentingan (commonality)
Kepentingan yang diperjuangkan adalah kepentingan umum.
Commonality, artinya adanya kesamaan soal hukum (question of law) dan fakta
(question of fact) antara pihak yang diwakilkan (class members) dan pihak yang
mewakilinya (class representative). (Shidarta, 2006: 67)
c.
Kesamaan tuntutan (typicaly)
Typicaly, yaitu adanya kesamaan jenis tuntutan hukum dan dasar pembelaan yang
digunakan antara class members dan class representative (Shidarta, 2006: 67).
Gugatan Citizen lawsuit, pada umumnya tuntutan berupa tindakan tertentu,
pelaksanaan kewajiban hukum.
d. Adequacy of representative
Kelayakan class reprentative dalam mewakili kepentingan class members. Ukuraqn
kelayakan ini diserahkan kepada penilaian hakim. (Shidarta, 2006: 67)
Mekanisme gugatan citizen lawsuit tidak perlu mensyaratkan hubungan hukum
antara penggugat dengan pihak yang kepentingannya diwakili.
C. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad)
1. Pengertian perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan
undang-undang. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh pihak yang
menimbulkan suatu hubungan hukum yang berupa hak dan kewajiban. Apabila salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya maka lazim disebut wanprestasi. Apabila dalam suatu
hubungan hukum seseorang telah merugikan pihak lain tanpa adanya perjanjian yang dibuat
oleh kedua belah pihak maka disebut perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan
“Setiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Rumusan Pasal 1365 KUHPerdata tersebut kurang begitu jelas, sehingga
menimbulkan penafsiran dikalangan para sarjana hukum yaitu :

Penafsiran perbuatan melawan hukum secara sempit.
Sebelum tahun 1919 Hoge Raad, menafsirkan “perbuatan melawan hukum” secara
sempit yaitu:
1). Suatu perbutan yang melanggar hak subyektif orang lain
2). Tindakan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku perbuatan dan
dalam hal ini harus mengindahkan hak dan kewajiban hukum legal.
Jadi perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan undang-undang,
artinya perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum. Kewajiban hukum di
sini adalah kewajiban yang ditentukan oleh undang-undang.

Penafsiran perbuatan melawan hukum secara luas.
Menurut Arrest H.R. tanggal 13 Januari 1919 yang terkenal dengan
“Arres
Lindenbaum Cohen“ menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum diartikan “berbuat atau
tidak berbuat yang melanggar hak subyektif orang lain atau bertentangan dengan kesusilaan
atau sikap hati-hati sebagaimana yang ada dalam lalu lintas pergaulan masyarakat terhadap
diri sendiri atau barang orang lain.” Berdasarkan rumusan yang diberikan oleh Arrest HR
tersebut, maka perbuatan melawan hukum adalah:
1). Melanggar hak orang lain
Melanggar hak orang lain adalah melanggar hak subyektif seseorang. Hak
subyektif adalah suatu hak khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang
untuk digunakan bagi kepentingannya.
Hak-hak subyektif yang diakui oleh yurisprudensi adalah:
a). Hak-hak perorangan seperti kehormatan , kebebasan.
b). Hak-hak atas harta kekayaan seperti hak-hak kebendaan.
2). Bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat (kewajiban hukum si
pembuat). Kewajiban hukum adalah kewajiban yang didasarkan pada hukum.
Baik tertulis (undang-undang) maupun tak tertulis (kebiasaan)
3). Bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Kesusilaan adalah suatu norma moral dalam kehidupan sehari-hari atau sebagai
suatu pedoman hukum dalam bertingkah laku positif. Adapun bertentangan
dengan ketertiban umum dalam arti mengganggu ketertiban lingkungan.
4). Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat
terhadap diri sendiri atau barang orang lain.
Perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan adalah:
a). Perbuatan yang mengakibatkan orang lain mengalami suatu
kerugian
b). Perbuatan yang membahayakan nyawa atau harta benda orang lain
c). Perbuatan yang tidak sesuai dengan norma-norma kesusilaan
d). Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka dapat dipahami sebenarnya
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata bukan merupakan pengertian perbuatan melawan
hukum, ketentuan tersebut mengandung arti bahwa setiap perbuatan yang melawan
hukum yang menimbulkan kerugian bagi orang lain membebankan kewajiban ganti rugi
bagi pelaku perbuatan melawan hukum karena salahnya mengganti kerugian. Oleh
karena itu bahwa ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata tersebut hanya sebagai pedoman
bahwa apabila seseorang akan mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan
hukum supaya berhasil, maka harus memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu:
1. Harus adanya perbuatan melawan hukum.
2. Adanya kesalahan.
3. Adanya kerugian.
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Ad.1. Adanya perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain
atau bertentangan dengan kewajiban si pembuat itu sendiri artinya bahwa suatu perbuatan
tersebut melanggar undang-undang.
Ad 2. Adanya Kesalahan.
Apabila seseorang harus bertanggung jawab berdasarkan perbuatan melanggar hukum
Pasal 1365 KUH Perdata maka orang tersebut harus membuat kesalahan. Kesalahan adalah
perbuatan yang sengaja atau tidak sengaja, yang mana perbuatannya tersebut dapat
dibuktikan oleh pihak lain yang menuntut ganti rugi si pelaku tersebut, maksudnya adalah
kesalahan si pelaku yang harus dibuktikan bahwa dalam situasi tertentu seseorang yang
berpikir secara normal dapat memikirkan kemungkinan timbulnya akibat-akibat dari
perbuatannya tersebut.
Ad 3. Adanya kerugian.
Adanya kerugian (scade) bagi korban merupakan syarat agar gugatan berdasarkan
perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) dapat dipergunakan. Kerugian yang
timbul dari suatu perbuatan melawan hukum dapat dibedakan atas:

Kerugian yang bersifat materiil, yaitu kerugian terhadap harta kekayaan, yang meliputi
kerugian yang diderita dan keuntungan yang tidak diterima.

Kerugian bersifat immateriil, yaitu kerugian yang sifatnya tidak bisa diraba, misalnya
kehilangan kebebasan atau rasa takut.
Ad 4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Mengenai hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga
pelaku dapat dipertanggungjawabkan, maka harus mencari tahu siapa yang menjadi sebab
dari kerugian itu atau siapa yang menimbulkan akibat kerugian tersebut.
Untuk mengetahui hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan,
maka ada dua teori :

Teori Conditio Sine Quanon/Ekuivalensi
Bahwa suatu sebab dapat dianggap sebagai suatu peristiwa. Kemudian
syarat-syarat yang ada adalah perlu untuk timbulnya akibat. Apabila ada salah
satu syarat saja tidak akan terjadi akibat. Oleh karena itu tiap-tiap syarat dapat
dianggap sebagai sebab. Teori ini dalam perkembangannya tidak dapat dipakai
(sebagai teori jauh), karena hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian tidak
dapat dipertanggung jawabkan. Teori ini dikemukakan oleh Von Buri.

Teori Adequat / Sebab Akibat.
Bahwa akibat dari perbuatan yang melawan hukum harus dapat diduga lebih
dahulu (Von Kris).
Bahwa suatu peristiwa dianggap sebagai akibat dari suatu peristiwa lain. Apabila
peristiwa yang pertama secara langsung diakibatkan oleh peristiwa kedua, maka
menurut pengalaman masyarakat dapat diduga akan terjadi. Contoh : si penjual
dapat menduga bahwa pembeli akan menderita rugi kalau barang yang dibelinya
tidak datang. (Subekti, 2004: 48)
Kalimat “karena kesalahannya menimbulkan
kerugian”, dalam Pasal 1365
KUHPerdata artinya bahwa hubungan kausal itu harus timbul sebagai akibat perbuatan
tersebut. Akibat yang dimaksud adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia
normal dapat diharapkan sehingga menimbulkan kerugian.
Sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, maka dalam undang-undang
menyebutkan tiga macam perbuatan melanggar hukum dan sanksinya yaitu :

Tiap perbuatan melanggar hukum terhadap tubuh dan jiwa seorang manusia, sanksinya
adalah mengganti kerugian sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 1365-1369 KUH
Perdata (gantirugi untuk semua perbuatan melawan hukum,ganti rugi untuk semua
perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, ganti rugi untuk pemilik binatang danganti
rugi untuk gedung yang ambruk)

Perbuatan melanggar hukum terhadap tubuh dan jiwa seorang manusia, sanksinya adalah
ganti rugi (bila sampai menimbulkan matinya seseorang), beaya penyembuhan dan
pengganti kerugian dalam keadaan cacat dan luka. Yaitu sesuai yang diatur dalam Pasal
1370-1371 KUH Perdata.

Perbuatan melanggar hukum terhadap kehormatan seseorang atau penghinaan terhadap
nama baik seseorang misalnya memfitnah atau mencemarkan nama baik seseorang,
sanksinya adalah Pasal 311 KUHP (Pidana).
Akibat hukum yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum yaitu berupa gugatan
pengganti kerugian. Bentuk ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk
ganti rugi yang menimbulkan kesalahan pada pihak yang dirugikan.
pengganti kerugian karena perbuatan melawan hukum yaitu :

Dapat berupa uang (sebagai uang pemaksa)

Pemulihan dalam keadaan semula (dengan uang pemaksa)
Adapun gugatan

Larangan untuk mengulangi perbuatan itu lagi (dengan uang pemaksa)

Dapat meminta putusan hakim bahwa perbuatannya adalah perbuatan melawan hukum.
Rumusan yang ada di dalam Pasal 1365 KUH Perdata itu bukan merupakan
pengertian dari perbuatan melawan hukum, artinya bahwa pengertian otentik tentang
perbuatan melawan hukum itu tidak diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, rumusan
/pengertian perbuatan melawan hukum itu diberikan oleh doktrin.
Menurut Moegni Djojodirdjo, bahwa ketentuan yang tercantum di dalam Pasal
1365 KUH Perdata tidaklah memberikan perumusan mengenai pengertian perbuatan
melawan hukum, melainkan hanya mengatur bilakah seseorang yang mengalami kerugian
karena perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, akan
dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian pada Pengadilan Negeri dengan sukses (Moegni
Djojodirdjo, 1979: 17)
Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum
adalah perbuatan yang mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari
masyarakat dan kegoncangan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum
dalam suatu masyarakat dilanggar (langsung), melainkan juga, apabila peraturan-peraturan
kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar (langsung). (Wiryono
Prodjodikoro, 2000: 7).
Menurut Keeton dalam bukunya berjudul “Tort and Accident Law”, juga
mengemukakan bahwa suatu perbuatan melawan hukum sebagai suatu kumpulan dari
prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya,
untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan
untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat. Lebih
lanjut Keeton juga memberikan beberapa definisi lain terhadap perbuatan melawan hukum,
antara lain: (dalam Munir Fuadi, 2005:3-4)
a.
Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban
kontraktual atau kewajiban quasi kontractual yang menerbitkan hak untuk meminta
ganti rugi.
b. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian
bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, dimana perbuatan atau
tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga
merupakan suatu kecelakaan.
c. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana
ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi
kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi.
d. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat
dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi
terhadap kewajiban trust, ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya.
e. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih
tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang
diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual.
f. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan
hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu
ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.
g. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak, seperti juga kimia bukan suatu
fisika atau matematika.
Pengertian perbuatan melawan hukum yang diberikan oleh para sarjana tersebut,
dapat disimpulkan bahwa perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang
melawan/bertentangan dengan sifat melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang
karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain sekaligus mewajibkan bagi
pelaku perbuatan melawan hukum untuk mengganti kerugian yang telah timbul sebagai
akibat dari perbuatannya tersebut. Hal ini sesuai rumusan kalimat sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi :“ ......... tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut ”.
2. Kesalahan dalam Perbuatan Melawan Hukum.
Sebagaimana telah diketahui bahwa di dalam Pasal
1365 KUH Perdata
mensyaratkan adanya unsur kesalahan (Schuld) terhadap suatu perbuatan melawan
hukum. Syarat adanya kesalahan dalam Pasal 1365 KUH Perdata memberikan penekanan
hanya pada si pelaku perbuatan melawan hukum bertanggung gugat atas kerugian yang
ditimbulkannya, bilamana perbuatan dari kerugian tersebut dapat dipersalahkan padanya.
Syarat kesalahan ini dapat diukur secara obyektif dan subyektif (Heniyatun, 2007: 61).
Secara Obyektif harus dibuktikan apakah si pelaku dapat dimintakan pertanggung
jawaban atau dapat dipersalahkan mengenai suatu perbuatan tertentu serta dapat
mencegah timbulnya akibat-akibat dari perbuatannya. Secara subyektif, harus meneliti
apakah si pelaku dengan keadaan jiwanya yang sedemikian rupa dapat menyadari
maksud dan arti perbuatannya. Pengertian kesalahan dalam Pasal 1365 KUH Perdata
mengandung dua unsur, yaitu :
a. Mencakup unsur kesengajaan (Intention)
Menurut Moegni Djojodirdjo, unsur kesengajaan merupakan bentuk dari
kesalahan dalam arti sempit. Lebih lanjut, beliau mengatakan yang dimaksud dengan
kesengajaan adalah bilamana orang melakukan suatu perbuatan atau pada waktu
melalaikan kewajibannya sudah mengetahui akibat yang akan timbul yang menurut
perkiraannya pasti akan merugikan orang, dan sekalipun ia sudah mengetahuinya
(Moegni,1979: 66).
Menurut Munir Fuadi, adanya unsur kesengajaan baru dianggap ada
manakala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tersebut, telah menimbulkan
konsekuensi tertentu terhadap fisik dan/atau mental atau properti dari korban,
meskipun belum merupakan kesengajaan untuk melukai (fisik atau mental) dari
korban tersebut. Unsur kesengajaan tersebut harus memenuhi elemen-elemen antara
lain: (Munir Fuadi, 2005: 47)
1). Adanya kesadaraan (state of mind) untuk melakukan.
2). Adanya konsekuensi dari perbuatan. Jadi bukan hanya adanya perbuatan saja.
3). Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan konsekuensi,
melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut “pasti”
dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.
b. Mencakup unsur kelalaian/kealpaan (culpa)
Bentuk kesalahan dalam arti luas disebut dengan kelalaian (culpa).
Perbuatan melawan hukum dengan unsur kelalaian berbeda dengan perbuatan
melawan hukum dengan unsur kesengajaan. Perbedaan tersebut terletak pada niat
dalam hati dari pihak pelaku. Jika mengandung unsur kesengajaan, berarti ada niat
dalam hati dari pihak pelaku untuk menimbulkan kerugian tertentu bagi korban,
namun jika mengandung unsur kelalaian, maka tidak ada niat dalam hati si pelaku
untuk menimbulkan kerugian, bahkan mungkin ada keinginan untuk mencegah
terjadinya kerugian tersebut. Ilmu hukum mengajarkan bahwa agar suatu perbuatan
dapat dianggap sebagai kelalaian, apabila memenuhi unsur-unsur pokok antara lain
(Munir Fuadi, 2005: 73)
1). Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang semestinya dilakukan.
2). Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care).
3). Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut.
4). Adanya kerugian bagi orang lain.
5). Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan
dengan kerugian yang timbul.
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa di dalam hukum perdata kedua unsur pembuat kesalahan, baik itu kesengajaan
maupun kelalaian/kealpaan mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu si pelaku
tetap bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian atas kerugian yang diderita
oleh orang lain, yang disebabkan oleh suatu perbuatan melawan hukum yang
dilakukan karena kesalahan pelaku. Maka dalam hukum perdata tidak perlu
dibedakan antara kelalaian/ kealpaan dan kesengajaan karena pertanggungan
gugatnya sama.
Ilmu hukum perdata menjelaskan bahwa untuk membentuk suatu perbuatan
melawan hukum, bukan hanya berasal dari unsur kesalahan saja, namun ada pula
perbuatan melawan hukum yang dilakukan tanpa adanya unsur kesalahan. Perbuatan
melawan hukum yang dilakukan tanpa adanya unsur kesalahan menuntut tanggung
jawab tanpa kesalahan atau lazim disebut dengan istilah tanggung jawab mutlak
(Strict liability/Absolute liability). Tanggung jawab mutlak mengandung pengertian
suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan
hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu
mempunyai unsur kesalahan ataupun tidak, dalam hal ini pelaku dapat dimintakan
tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya dia tidak
melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian,
kekuranghati-hatian atau ketidakpatutan (Munir adi, 2005: 173).
Akibat dari perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian bagi si korban.
Pasal 1365 KUH Perdata tidak menentukan ganti kerugian (schade) yang harus dibayar
karena perbuatan melawan hukum, yang ada ketentuan ganti kerugian untuk wanprestasi,
yaitu Pasal 1243 KUH Perdata. Untuk menentukan ganti kerugian karena perbuatan
melawan hukum dapat diterapkan secara analogis ketentuan-ketentuan ganti kerugian
karena wanprestasi.
Secara garis besar, kerugian yang disebabkan oleh suatu perbuatan melawan
hukum dapat berupa kerugian materiil maupun kerugian immateriil. Pada umumnya
pelaku perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang nyata-nyata diderita
dan keuntungan yang seharusnya diperoleh oleh korban (kerugian materiil), maupun
kerugian yang berupa rasa ketakutan, terkejut, sakit, dan kehilangan kesenangan hidup
(kerugian immateriil) sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Pasal 1246 KUH
Perdata, yang berbunyi :
“ Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berhutang boleh dituntut akan
penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung
yang
sedianya
harus
dapat
dinikmatinya,
dengan
tidak
mengurangi
pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut di bawah ini “
Ada juga konsep ganti kerugian yang dikemukakan oleh Munir Fuadi (2005:
134), beliau berpendapat bahwa ganti rugi yang disebabkan oleh perbuatan melawan
hukum dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu:
a. Ganti rugi nominal
Jika ada perbuatan melawan hukum yang sifatnya serius, seperti perbuatan yang
mengandung unsur kesengajaan, tetapi tidak menimbulkan kerugian yang nyata bagi
korban, maka kepada korban dapat diberikan sejumlah uang tertentu sesuai dengan
rasa keadilan tanpa menghitung berapa sebenarnya kerugian tersebut.
b.
Ganti rugi kompensasi atau ganti rugi aktual
Ganti rugi kompensasi (Compensatory damages) merupakan pembayaran kepada
korban atas dan sebesar kerugian yang benar-benar telah dialami oleh pihak korban
dari suatu perbuatan melawan hukum. Sebagai contoh dari ganti rugi kompensasi
adalah ganti rugi atas segala biaya yang dikeluarkan oleh korban, kehilangan
keuntungan / gaji, sakit dan penderitaan, termasuk penderitaan mental seperti stres,
malu, jatuh nama baik.
c. Ganti rugi penghukuman
Ganti rugi penghukuman merupakan suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang
melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya. Besarnya jumlah ganti rugi tersebut
dimaksudkan sebagai hukuman bagi pelaku perbuatan melawan hukum.
Pada umumnya bentuk ganti kerugian atas kerugian yang dialami korban selalu
dinilai dengan uang, akan tetapi berdasarkan putusan Hoge Raad tanngal 24 Mei 1918,
ganti kerugian tidak harus berwujud uang. Atas dasar putusan tersebut, maka bentuk
ganti kerugian selain uang dapat berupa pengembalian keadaan seperti semula,
pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan pelaku sebagai perbuatan melawan hukum,
larangan untuk melakukan suatu perbuatan maupun pengumuman dari suatu keputusan
atau dari sesuatu yang telah diperbaiki.
3. Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan oleh Negara.
Pelaku perbuatan melawan hukum dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak hanya
oleh individu/ perorangan semata, namun dapat juga dilakukan oleh badan hukum privat
dan badan hukum publik. Badan hukum privat/ perdata dibentuk berdasarkan hukum
perdata dan disahkan oleh pemerintah. Badan hukum privat ini misalnya PT, koperasi,
perkapalan, perasuransian, yayasan. Adapun badan hukum publik dibentuk dengan
undang-undang oleh pemerintah. Badan hukum publik ini merupakan badan-badan
kenegaraan, misalnya Negara Republik Indonesia/ pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Badan hukum publik dibentuk untuk menyelenggarakan pemerintahan negara. Negara
berkedudukan sebagai badan hukum publik, mempunyai tugas dan kewajiban dalam
lapangan hukum publik maupun lapangan hukum privat. Negara mempunyai kedudukan
yang istimewa di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena tugas dari negara adalah
sebagai pelindung dan penjaga kepentingan umum serta memajukan kesejahteran setiap
warga negara.
Suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum publik yaitu
ketika menjalankan tugas pemerintahan dan kekuasaannya tidak
berdasarkan
undang-undang sehingga merugikan orang lain, oleh karena itu maka dapat digugat
berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Tindakan yang dilakukan negara ini dapat berupa
baik dalam bentuk mengeluarkan keputusan maupun melakukan tindakan-tindakan riil
melalui aparatur pemerintahannya.
Oleh karena itu, terlepas dari masalah kebijaksanaan (bleid), tidak tertutup
kemungkinan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara/pemerintah tersebut
dapat melampaui batas atau bertentangan dengan kewenangan yang ada padanya atau
tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga dapat didalilkan bahwa ada unsur
kelalaian dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa badan hukum
publik (Negara/pemerintah) dapat digugat apabila terbukti melakukan perbuatan
melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) dan mengakibatkan kerugian bagi warga
negaranya. Gugatan yang dapat diajukan apabila negara melakukan suatu perbuatan
melawan hukum, selain gugatan biasa yaitu gugatan ganti kerugian, juga dapat berbentuk
gugatan dengan model Citizen lawsuit.
Bab III. Metode Penelitian
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis
normatif, yaitu suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum atau berpedoman pada
segi yuridis yaitu berusaha menelaah kaedah-kaedah hukum / peraturan-peraturan hukum
yang berlaku.
Tujuannya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap suatu masalah hukum agar
dikaji dan diteliti dengan menggunakan dasar-dasar teori yang didapat dari berbagai
kepustakaan berupa dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan
,serta buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Hal ini yang berkaitan dengan
pelaksanaan dalam praktek gugatan Citizen lawsuit terhadap perbuatan melawan hukum.
B. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian
lapangan yang nantinya diharapkan dapat mendukung penelitian kepustakaan, sehingga dapat
melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.
Sumber data dan informasi yang penulis gunakan antara lain :

Data primer
Adalah data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian di lapangan yang
dilakukan melalui wawancara dengan responden, diantaranya adalah Hakim dan
Pengacara/ Advokat di kota Magelang, Kabupaten Magelang dan Temanggung.
2.
Data Sekunder
Data sekunder adalah data-data yang memberikan penjelasan terhadap data
primer. Data sekunder ini terdiri dari :
a. Bahan hukum primair, meliputi peraturan perundang-undangan, antara lain :
1).
HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)
2).
Kitab Undang-undang hukum perdata
3).
Undang-undang
Nomor
4
Tahun
2004
tentang
pokok-
2002
tentang
Acara
Gugatan
pokok kekuasaan kehakiman
4).
PERMA
Nomor
1
Tahun
Perwakilan Kelompok.
b)
Bahan hukum sekunder, meliputi: Buku-buku, hasil penelitian, internet dan
lain sebagainya.
c)
Bahan hukum tersier yang terdiri dari kamus hukum, kamus bahasa
Indonesia dan lain sebagainya.
C. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi
penelitian
yang
digunakan
ialah
diskriptif-analitis,
yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan
teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut
permasalahan tersebut. (Ronny, 1999, 97-98).
Kemudian akan dilakukan analisa
terhadap masalah tersebut.
Spesifikasi
diskriptif
analisis
dilakukan
dengan
menempuh
langkah-langkah
mengumpulkan klasifikasi dan analisis dari pengelolaan data, membuat kesimpulan dan
laporan, dengan tujuan utama untuk membuat penggambaran tentang suatu keadaan
secara obyektif dalam suatu dipenelitian situasi.
D. Populasi dan sampling
Populasi adalah keseluruhan dari obyek pengamatan atau obyek penelitian. Populasi
dalam penelitian ini adalah gugatan perwakilan kelompok, adapun sampel yang diambil
adalah Gugatan Citizen Lawsuit.
Teknik sampling atau penetapan sampel yang digunakan adalah metode sampel
bertujuan atau purposive sampling yaitu sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan
atau penelitian subyektif dari peneliti, sehingga dalam hal ini peneliti menentukan sendiri
responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi. ( Ronny, 1999, 59).
E. Alat penelitian
Alat yang digunakan untuk memperoleh data adalah sebagai berikut:
1) Wawancara (Teknik Interview)
Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung
responden dan atau narasumber.
Metode yang digunakan adalah metode wawancara terarah yaitu: directive
interview, dengan menggunakan pedoman wawancara, yaitu berupa daftar
pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga diharapkan dapat memperoleh data yang
akurat karena topik bahasan telah ditentukan sebelumnya sehingga tidak akan
melebar/meluas.
2) Pustaka atau dokumen (Library research)
Penelitian pustaka merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang
dilakukan peneliti dengan cara mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti, berupa undang-undang, hasil penelitian, hasil karya dari
kalangan hukum, internet dan lain sebagainya, untuk dipergunakan dalam
memecahkan masalah penelitian.
F. Teknik penelitian
Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Pustaka
Dilakukan dengan mempelajari literatur dan arsip-arsip yang mendukung
penelitian, serta didukung dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang
ada.
2) Wawancara / Interview
Dilakukan dengan metode wawancara terarah, dengan menggunakan
pedoman wawancara, yaitu berupa daftar pertanyaan yang bersifat terbuka
sehingga diharapkan responden dengan bebas dapat mengutarakan hal yang
berkaitan topik yang dibahas, dan diharapkan topik tidak melebar ataupun meluas.
G. Analisis Data
Setelah semua data terkumpul, baik data primer maupun data sekunder maka
selanjutnya diolah dan dianalisa dengan metode kualitatif berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, kemudian dilakukan analisa dan selajutnya dilakukan
pelaporkan.
Teknik analisis data yang digunakan adalah secara kualitatif, yaitu data yang
diperoleh kemudian disusun secara sistematis, dengan menganalisa data menggunakan
asas-asas hukum, pendapat para ahli, dan landasan teori untuk selanjutnya dianalisa dan
disimpulkan untuk mencapai kebenaran dan kejelasan masalah yang diteliti dan dibahas.
Bab IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Prosedur Pengajuan Gugatan Citizen Lawsuit di Pengadilan.
Gugatan perwakilan kelompok, khususnya yang dikenal dengan istilah Citizen
lawsuit sudah mulai banyak dikenal dalam dunia peradilan di Indonesia, hal ini terbukti
banyaknya gugatan yang diajukan oleh masyarakat terhadap penguasa karena akhir-akhir ini
sering kali kepentingan umum tidak menjadi prioritas utama. Kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah terkadang kurang mendapat respon masyarakat akibat penetapan yang tertutup
tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, guna memperjuangkan hak setiap
warga negara atas nama kepentingan umum, maka setiap warga negara tanpa kecuali dapat
menggugat negara atau pemerintah yang melakukan perbuatan melawan hukum yang secara
nyata merugikan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat luas dengan mengajukan
gugatan berbentuk Citizen lawsuit.
Bentuk gugatan Citizen lawsuit ini merupakan angin segar yang mendorong
kemajuan bagi sistem peradilan di Indonesia. Kehadiran gugatan semacam ini memang baru
dikenal di Indonesia, mengingat gugatan Citizen lawsuit merupakan hasil adopsi dari
negara-negara yang menganut sistem hukum Common law. Oleh karena itu, tentunya hal
tersebut merupakan suatu pemikiran bersama bahwa bagaimana gugatan Citizen lawsuit
tersebut bisa mendapatkan tempat dalam sistem hukum di negara Indonesia ?
Untuk memperjelas
permasalahan yang penulis angkat, maka penulis telah
mengadakan wawancara/interview dengan beberapa responden untuk mendapatkan data-data,
informasi maupun keterangan yang diperlukan. Adapun Responden yang penulis jadikan
nara sumber adalah tiga orang hakim, yaitu H. Yulman, SH.,MH (Hakim PN Magelang),
Syaeful Arif, SH.,MH (Hakim PN Mungkid), Yuli Hendro Santoso, SH.,MH (Hakim PN
Temanggung); dan tiga orang advokat, yaitu M. Zazin, SH.,MH (Advokat Magelang), Agus
Budiyanto, SH (Advokat Kabupaten Magelang) dan Bambang Yos, SH.,MH (Advokat
Magelang).
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai prosedur pengajuan gugatan citizen
lawsuit di pengadilan, maka terlebih dahulu penulis akan menguraikan pengertian gugatan
Citizen lawsuit menurut pandangan/pendapat yang disampaikan oleh para responden, pada
dasarnya para responden memberikan pengertian yang sama. Gugatan yang berbentuk
Citizen lawsuit terdapat kekhususan. Kekhususan tersebut terutama terletak pada para pihak
yang berperkara, yaitu warga negara sebagai penggugat dan pemerintah/ penguasa sebagai
pihak yang digugat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa gugatan Citizen lawsuit
adalah gugatan yang diajukan oleh warga negara kepada pemerintah yang terbukti
melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang tercermin dalam setiap kebijakan yang
dapat menimbulkan suatu kerugian bagi warga negaranya. Oleh karena itu, apabila ada warga
negara yang merasa haknya dilanggar atau terabaikan, maka warga negara dapat melakukan
gugatan terhadap negara/pemerintah, karena pemerintah dianggap telah lalai untuk berbuat
sesuatu yang menjadi kewajiban hukumnya. Adanya kelalaian tersebut dapat didalilkan
sebagai suatu perbuatan melawan hukum.
Sebagai contoh, kasus yang telah diputus oleh hakim Mahkamah Agung dengan
Nomor Perkara 2947 K/Pdt/1988 tanggal 28 November 1990 dalam kasus lubang Riool.
Pada kasus tersebut terungkap fakta bahwa pemerintah Kota Madia Medan dianggap telah
melakukan perbuatan melawan hukum. Menurut Mahkamah Agung, penguasa dalam hal ini
walikota Medan beserta aparatnya lalai berbuat sesuatu yang menjadi kewajiban hukumnya
yaitu tidak menutup atau memberi tanda peringatan yang sengaja dibuatnya untuk
mengalirkan genangan air hujan ke riool. Akibat dari kelalaian penguasa tersebut
mengakibatkan kerugian bagi warga masyarakat, yaitu air yang meluap dapat menggenangi
jalan. Hal ini tentunya akan sangat berbahaya bagi pengendara kendaraan yang tidak
mengetahui adanya lubang sehingga mengakibatkan kecelakaan. Pada kasus tersebut
penguasa menjadi pihak yang bertanggung jawab, karena hal tersebut telah menjadi tanggung
jawabnya, dengan demikian walikota telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum oleh
penguasa atau dengan kata lain telah terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
penguasa. Gugatan Citizen lawsuit merupakan gugatan perwakilan yang dilakukan oleh
masyarakat atau organisasi masyarakat dan biasanya gugatan yang berbentuk Citizen lawsuit
selalu ditujukan kepada penguasa/pemerintah, artinya siapa yang menjadi lawan adalah
pemerintah dengan kebijakan-kebijakannya yang dikeluarkan oleh pemerintah itu sendiri.
Bambang Yos advokat di kota Magelang, berpendapat bahwa gugatan warga negara
terhadap negara disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu warga masyarakat tersebut
merupakan korban dari kebijaksanaan negara melalui pejabat pemerintahan setempat ataupun
bahwa warga negara yang mengetahui adanya kebijakan melalui pemerintah setempat yang
merugikan warga negara atau merugikan kepentingan umum.
Berdasarkan pengertian yang telah diberikan oleh para responden tersebut, maka
penulis berpendapat bahwa setiap warga negara pada dasarnya dapat mengajukan gugatan
untuk dan atas nama kepentingan umum guna melindungi warga negara dari kemungkinan
terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah/ penguasa. Pilihan gugatan yang tepat apabila negara melakukan tindakan yang
merugikan warga negaranya menurut penulis adalah gugatan berbentuk Citizen lawsuit.
Gugatan Citizen lawsuit dirasa lebih sesuai dibandingkan dengan bentuk-bentuk gugatan
perwakilan kelompok yang lain karena pada dasarnya gugatan berbentuk Citizen lawsuit
tersebut hanya dapat diajukan oleh setiap warga negara kepada negara/pemerintah yang
melakukan perbuatan melawan hukum guna memperjuangkan kepentingan umum yang telah
dirugikan oleh negara, sedangkan bentuk gugatan perwakilan kelompok yang lain seperti
Class Action, Group Acties maupun Legal Standing, pihak penggugat dapat berasal dari
anggota masyarakat maupun organisasi tertentu yang memperjuangkan kepentingan yang
sama dalam kelompok tertentu saja, sehingga dapat dikatakan bahwa gugatan Citizen lawsuit
lebih sesuai dibandingkan bentuk-bentuk gugatan perwakilan kelompok yang lain apabila
penggugat hendak menggugat negara/pemerintah.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana perkembangan
gugatan Citizen lawsuit dalam sistem hukum di negara Indonesia, adakah perbedaan dalam
penerapannya di Indonesia dengan negara asalnya?
Gugatan Citizen lawsuit berawal dari negara Inggris pada abad ke 17, namun
prosedur gugatan tersebut baru dirumuskan dalam Undang-undang di negara Amerika yaitu
dengan lahirnya “ US Federal Rule Of Civil Prosedure” pada tahun 1938 dan telah
diundangkan pada tahun 1966. Prosedur tersebut diikuti oleh negara-negara Common law
terutama pada kasus-kasus yang berkaitan dengan lingkungan dan selanjutnya berkembang
luas di berbagai negara di daratan Eropa Kontinental yang menganut sistem hukum Civil law,
termasuk negara Indonesia. Negara Indonesia telah mengakomodir prosedur tersebut dalam
beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang pengelolaan lingkungan hidup, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan konsumen dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.
Gugatan Citizen lawsuit dapat diterima dan mendapat tempat dalam sistem hukum di
Indonesia, hal tersebut lebih disebabkan oleh desakan arus globalisasi dan demokrasi di
berbagai penjuru dunia, terutama yang berkaitan dengan penegakan hukum di bidang
lingkungan hidup, maka pada saat ini tidak ada lagi negara yang menganut secara murni
sistem Common law atau Civil law, melainkan keduanya sudah saling bersinergi dan tidak
perlu dibeda-bedakan demi tuntutan dan kebutuhan dalam praktek guna penegakan hukum
dan rasa keadilan yang universal, sepanjang tidak bertentangan dengan kepatutan, hukum
serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Alasan ini dijadikan pertimbangan bagi
hakim untuk menerima kasus-kasus yang berkaitan dengan gugatan perwakilan/kelompok,
salah satunya yaitu gugatan yang berbentuk Citizen lawsuit.
Pada saat sekarang ini banyak perkara yang diajukan dengan gugatan Citizen lawsuit
di beberapa Pengadilan di Indonesia, namun dari sekian banyak perkara tersebut, sebagian
besar tidak diterima oleh Pengadilan. Hal tersebut disebabkan hakim sendiri belum ada
kesesuaian pendapat mengenai bentuk gugatan Citizen lawsuit. Hakim yang sudah cukup
moderat sudah dapat menerima kehadiran gugatan Citizen lawsuit, namun beberapa hakim
masih ada yang tidak dapat menerima bentuk gugatan Citizen lawsuit, karena hingga saat ini
memang belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tata cara
serta segala ketentuan yang berkaitan dengan gugatan Citizen lawsuit. Hal ini dikemukakan
oleh Yulman (Hakim PN Magelang), beliau pernah menangani gugatan Citizen lawsuit
ketika menjadi hakim di PN Makasar.
Terbukanya prinsip Citizen lawsuit tersebut harus tertuang dalam peraturan
perundang-undangan tentang masalah yang bersangkutan. Di Indonesia sampai saat ini baru
mengatur
dasar-dasar
gugatan
perwakilan
kelompok
dalam
tiga
peraturan
perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen
dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Adapun dasar hukum
Pengadilan Negeri berwenang memeriksa gugatan Citizen lawsuit adalah Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu adanya kewajiban
hakim untuk menggali dan menemukan hukumnya, dan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 yang
mengatur acara gugatan perwakilan kelompok.
Fenomena yang berkembang dalam masyarakat, bahwa apabila terjadi kerugian yang
dialami oleh sekelompok orang/masyarakat maka kelompok tersebut dapat mengajukan
gugatan melalui perwakilan kelompok di pengadilan, meskipun perkara yang diajukan
tersebut tidak berkaitan dengan masalah lingkungan, perlindungan konsumen maupun
kehutanan, seperti misalnya kecelakaan pesawat, kecelakaan kereta api, kecelakaan kapal,
yang sebenarnya tidak dapat diajukan dengan gugatan perwakilan kelompok, karena
undang-undang belum mengatur dengan masalah yang bersangkutan, lagi pula hal tersebut
bertentangan dengan konsep yang diterapkan di negara Common law yang menerapkan
gugatan perwakilan kelompok hanya pada kasus lingkungan hidup.
Negara Indonesia dapat menerima model gugatan Citizen lawsuit, karena
perkembangan hukum di Indonesia semakin pesat, sehingga gugatan Citizen lawsuit ini
merupakan suatu cara baru/terobosan bagi anggota masyarakat untuk mengajukan gugatan
karena melihat adanya kebijakan yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, penerapan
gugatan Citizen lawsuit sebenarnya tidak harus pada kasus-kasus lingkungan saja, melainkan
dapat diperuntukkan untuk kasus-kasus di luar kasus lingkungan. Hal tersebut dikarenakan
fakta
riil
ketika
pemerintah
melakukan
perbuatan
melawan
hukum
melalui
kebijakan-kebijakan yang berakibat kerugian bagi warga negaranya maka gugatan Citizen
lawsuit bisa dilakukan. Bambang Yos, menambahkan gugatan perwakilan kelompok yang
salah satunya berbentuk Citizen lawsuit sebaiknya dapat diterapkan untuk kasus di luar kasus
lingkungan hidup, sepanjang mengakibatkan kerugian bagi warga negara karena kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Berasarkan beberapa pendapat dari para responden tersebut, penulis berpendapat
sudah saatnya hakim harus dapat menemukan hukum dan menggali hukum yang berlaku
dalam masyarakat (rechtvinding), sebab hakim tidak boleh menolak gugatan yang diajukan
padanya dengan alasan peraturan/hukumnya tidak ada atau tidak jelas (recht weigering). Hal
ini karena semakin banyak kasus-kasus yang merugikan warga negara yang disebabkan
tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, meskipun di luar masalah
pengeloaan lingkungan hidup.
Model gugatan Citizen lawsuit pada kenyataannya mulai dapat diterima di dalam
sistem peradilan Indonesia. Salah satu gugatan dengan menggunakan mekanisme Citizen
lawsuit yang merupakan perkara pertama di Indonesia adalah gugatan yang diajukan atas
nama Munir dan kawan-kawan tentang penelantaran negara terhadap TKI Migran yang
dideportasi di Nunukan. Majelis hakim PN
Jakarta Pusat dengan ketua majelis Andi
Samsan Nganro mengabulkan gugatan Munir dan kawan-kawan. Majelis hakim
memerintahkan pemerintah Republik Indonesia untuk menerbitkan pengaturan tentang
perlindungan tenaga kerja. Hasil/ akibat dari putusan tersebut adalah keluarnya
Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia. Berdasarkan hal tersebut dunia hukum Indonesia pantas berterima kasaih kepada
almarhum Munir.(Afridal Darmi, 2011)
Setelah gugatan yang pertama tersebut berhasil, maka mulai banyak yang
mengajukan gugatan dengan model Citizen lawsuit. Salah satu contohnya di Pengadilan
Negeri Yogyakarta yang menerima gugatan dengan model Citizen lawsuit. Gugatan tersebut
telah diputus oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta degan Nomor Putusan 73/Pdt.G/2006/PN.
YK. Putusan tersebut merupakan putusan sela, karena yang menjadi pedoman bagi
Pengadilan Negeri Yogyakarta adalah kewenangan mengadili, yaitu kompetensi relatif,
karena tempat tinggal/domisili para tergugat/pemerintah yang digugat berada/di luar wilayah
hukum Pengadilan Negeri Yogyakarta, sehingga seharusnya gugatan tersebut diajukan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai tempat tinggal/domisili para tergugat/pemerintah.
Alasan penolakan hakim dalam putusan sela tersebut bukan dikarenakan hakim menolak
bentuk gugatan Citizen lawsuit, melainkan karena Pengadilan Negeri Yogyakarta tidak
berwenang untuk mengadili secara relatif. Namun demikian sebagai gambaran mengenai
kasus tersebut, penulis akan menguraikan secara singkat: Kasus yang telah diputus oleh
hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan Nomor perkara 73/Pdt.G/2006/PN.YK pada
tanggal 3 Mei 2007 tersebut berawal karena terjadinya bencana alam gempa bumi yang
menimpa wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya yang mengakibatkan
kerugian bagi masyarakat luas, sehingga mereka berinisiatif untuk mengajukan gugatan yang
melibatkan sejumlah besar orang yang ikut duduk sebagai pihak penggugat. Penggugat
dalam kasus ini berjumlah 46 orang. Para penggugat yang mengajukan gugatan adalah
manusia pribadi dan bukan badan hukum ataupun yayasan. Selanjutnya guna mengurus dan
menyelesaikan perkaranya, para penggugat menunjuk sejumlah advokad yang tergabung
dalam Koalisi Pekerja Hukum Yogyakarta (KPHY) berdasarkan surat kuasa yang telah
dibuat pada tanggal 9 Oktober 2006, yang terdiri dari 27 orang advokad.
Adapun para tergugatnya yang berdomisili di Jakarta Pusat, terdiri dari :
1. Negara Republik Indonesia cq Kepala Negara, Presiden Republik Indonesia
2. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Wakil Presiden Republik
Indonesia : Ketua BAKORNAS PBP
3. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP
cq Wakil Ketua BAKORNAS PBP : Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Republik Indonesia
4. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP
Republik Indonesia cq Wakil Ketua BAKORNAS PBP : Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia
5. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP
cq anggota BAKORNAS PBP : Menteri Keuangan Republik Indonesia
6. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP
cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik
Indonesia
7. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP
cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri Perhubungan Republik Indonesia
8. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP
cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri pekerjaan Umum Republik Indonesia
9. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP
cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri Kesehatan Republik Indonesia
10. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP
cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri Sosial Republik Indonesia
11. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP
cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia
12. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP
cq Anggota BAKORNAS PBP : Panglima Tentara Nasional Indonesia
13. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP
cq Anggota BAKORNAS PBP : Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
14. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP
cq Anggota BAKORNAS PBP : Ketua Palang Merah Indonesia
15. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS
PBP cq Sekretaris BAKORNAS PBP : Kepala Pelaksana BAKORNAS PBP
16. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq: Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian Republik Indonesia
17. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq: Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan pembangunan
Nasional Republik Indonesia
18. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq: Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia
19. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq: Ketua BAKORNAS PBP
cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri perhubungan Republik Indonesia cq Kepala
Badan Meteriologi dan Geofisika Republik Indonesia
Berdasarkan surat kuasa khusus, penggugat mendalilkan bahwa mereka mengajukan
gugatan untuk kepentingan mereka sendiri sekaligus mengatasnamakan kepentingan warga
negara Indonesia yang menjadi korban serta yang berpotensi menjadi korban termasuk di
dalamnya adalah warga Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkena dampak dari bencana
alam gempa bumi. Para penggugat tersebut tidak memperoleh kuasa dari para pihak yang
kepentingannya diwakili.
Fakta dan permasalahan hukum yang dialami oleh para penggugat dan pihak yang
diwakilinya adalah bahwa mereka sama-sama mengalami kerugian baik secara materiil
maupun immateriil sebagai akibat dari kelambanan serta ketidak responsifan/ketidak siapan
negara atau aparat pemerintah dalam menghadapi bencana alam gempa bumi di Indonesia,
khususnya yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya. Pemerintah/tergugat tidak mampu
untuk memberikan perlindungan serta menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara baik
sebelum, ketika terjadi sampai dengan paska terjadinya bencana gempa bumi.
Ketidaktanggapan tergugat dalam merespons bencana gempa bumi tersebut, terbukti
dari segala kebijakan yang dikeluarkan guna penanganan dan penanggulangan gempa selama
ini selalu bersifat top down dan tidak berperspektif pada korban, dimana korban lebih
cenderung diposisikan sebagai objek dan bukan subyek, sehingga mudah dimanfaatkan oleh
pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab. Akibat dari kebijakan tergugat yang
tidak
komprehensif,
tidak
konsisten
dan
berubah-ubah
tersebut
menimbulkan
ketidakteraturan dan ketidakjelasan dalam penanggulangan bencana alam seperti gempa
bumi sehingga menimbulkan dampak yang merugikan seperti timbulnya permasalahan yang
berkaitan dengan penganggaran dan penggunaan dana untuk penanggulangan bencana dan
rehabilitasi paska terjadinya gempa bumi. Masalah lain yang muncul adalah masalah
distribusi bantuan dan jatah hidup bahkan sampai dengan munculnya konflik antar warga
korban gempa dan konflik antara aparat daerah dengan warga. Hal yang lebih
memprihatinkan adalah tergugat tidak mengambil pelajaran dan tidak mengidentifikasi
permasalahan yang muncul dari kejadian-kejadian bencana gempa sebelumnya seperti gempa
Aceh dan Sumatera Utara sehingga persoalan yang muncul akibat gempa bumi kembali
terulang di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dapat
diketahui bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga
menyebabkan kerugian bagi para penggugat serta masyarakat/korban gempa bumi,
khususnya di wilayah Yogyakarta.
Adapun
tuntutan yang diajukan oleh para penggugat, adalah sebagai berikut:
pertama yaitu memohon kepada majelis hakim agar menerima dan mengabulkan gugatan
penggugat seluruhnya; kedua adalah agar menyatakan negara Republik Indonesia (tergugat)
melakukan perbuatan melawan hukum; ketiga agar menyatakan tergugat bersalah telah
melanggar ketentuan Undang-undang dan telah lalai dalam memberikan perlindungan dan
pemenuhan hak kepada warga negara yang berpotensi menderita kerugian maupun yang
telah menjadi korban bencana alam; keempat agar menyatakan tergugat bersalah telah
mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil pada warga negaranya yang menjadi korban
bencana alam; kelima adalah mohon agar hakim menghukum tergugat untuk memenuhi
hak-hak warga negara yang menjadi korban bencana alam; keenam adalah mohon agar
menghukum tergugat untuk meminta maaf melalui media cetak dan elektronik; ketujuh agar
menghukum tergugat untuk melakukan perubahan kebijakan penanganan bencana alam di
Indonesia dengan segera membahas rancangan Undang-undang tentang bencana alam di
Indonesia atau sekurang-kurangnya mengeluarkan Perpu tentang bencana alam di Indonesia
dan mulai memberlakukannya paling lambat 90 hari sejak dijatuhkannya putusan Pengadilan
tingkat pertama, sedangkan tuntutan yang terakhir/ kedelapan adalah membebankan biaya
perkara menurut hukum.
Para penggugat dalam menyusun surat gugatannya tidak menyebutkan identitas para
pihak yang diwakilinya satu per satu, melainkan hanya menyebutkan identitas para
penggugat yang maju ke muka Pengadilan serta kelompok yang diwakili kepentingannya,
yaitu warga masyarakat yang menjadi korban bencana gempa di Indonesia pada umumnya
dan wilayah Yogyakarta pada khususnya. Para pihak yang diwakili kepentingannya juga
tidak membuat pernyataan untuk mengajukan keberatan atau persetujuan terhadap kapasitas
penggugat yang mewakili kepentingan mereka serta terhadap diajukannya gugatan tersebut.
Hakim dalam putusan selanya mempertimbangkan bahwa kedudukan para
tergugat tidak beralamat atau bertempat tinggal di wilayah hukum Pengadilan Yogyakarta,
maka dengan berpedoman pada pasal 118 HIR, Pengadilan Negeri Yogyakarta tidak
berwenang secara relatif untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut, sehingga dalam
amar putusan yang dibacakan oleh hakim menyatakan bahwa gugatan para penggugat
dinyatakan tidak dapat diterima serta membebankan biaya perkara kepada penggugat sebesar
Rp. 2.279.000,00.
Setelah mencermati kasus yang terjadi di Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan
Nomor Perkara 73/Pdt.G/2006/PN.YK, maka para responden memberikan tanggapan sebagai
berikut, yaitu : bahwa sesungguhnya secara teoritis yang dapat duduk sebagai penggugat
dalam gugatan Citizen lawsuit adalah setiap warga negara yang tentunya memenuhi
persyaratan sebagai penggugat sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata, akan tetapi
dalam perkara yang terjadi di Yogyakarta tersebut, yang dapat duduk sebagai penggugat
tidak hanya memenuhi persyaratan seperti diatur dalam hukum acara perdata saja, melainkan
penggugat tersebut harus benar-benar merasakan kerugian langsung akibat kelalaian
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Warga negara yang tidak berkepentingan atau
tidak merasakan kerugian secara langsung tidak bisa ikut menggugat. Sebagai penggugat
yang paling tepat adalah masyarakat Yogyakarta, karena masyarakat Yogyakarta lah yang
merasakan dampak kerugian dari peristiwa gempa bumi serta kelalaian kebijakan pemerintah
yang dinilai kurang komprehensif, riil, dan implementatif mulai dari hal yang bersifat
preventive hingga rehabilitative. Pemerintah tidak tanggap dan tidak secara cepat dalam
penanggulangan bencana alam gempa bumi di Yogyakarta. Fakta yang terjadi di lapangan,
pemerintah melakukan penanggulangan bencana dengan pola top down serta tidak aspiratif
terhadap kebutuhan korban, seperti permasalahan penyaluran dana bantuan yang tidak
jelas/rancu kepada siapa-siapa saja yang berhak menerima bantuan tersebut, yang seharusnya
disesuaikan dengan besar kecilnya kerugian yang dialami korban berupa kerugian materiil
(rusaknya sarana dan prasarana) serta kerugiaan immateriil (rasa ketakutan paska gempa).
Pendapat lain diungkapkan oleh Advokat, menyebutkan bahwa di dalam gugatan
Citizen lawsuit, pihak penggugat tidak harus pihak yang merasa dirugikan secara langsung,
akan tetapi pada prakteknya paling tepat jika warga negara tersebut merasakan kerugian
(materiil/immateriil) secara langsung. Seharusnya dalam perkara tersebut pemerintah
Yogyakarta diikutsertakan sebagai tergugat, karena dianggap mengetahui situasi serta
kondisi di daerahnya. Bambang Yos menilai gugatan yang diajukan tersebut kabur karena
penggugat tidak mencantumkan identitas lengkap dan jelas wakil kelompok dan anggota
kelompoknya, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu per satu.
Perihal prosedur pengajuan Citizen lawsuit, responden hakim maupun responden
advokat menyatakan bahwa pengajuan gugatan tetap harus mengikuti peraturan yang diatur
pada hukum acara perdata yang berlaku dan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara
Gugatan Perwakilan Kelompok. Pada dasarnya setiap orang boleh berperkara di muka
pengadilan, yaitu mereka yang dinyatakan mempunyai kemampuan untuk bertindak
(handelingsbekwaamheid), tetapi ada pengecualian, yaitu mereka yang dinyatakan tidak
cakap untuk bertindak (onbekwaam). Pihak yang tidak mampu bertindak ini adalah mereka
yang belum dewasa dan berada di bawah pengampuan karena tidak sehat akal pikirannya,
maka harus diwakilkan oleh orang tua/walinya.
Seseorang dapat mengajukan gugatan di muka pengadilan harus terlebih dahulu
memenuhi persyaratan formal, yang dapat dilakukan secara tertulis melalui pengajuan surat
gugatan (Pasal 118 HIR) dan dapat dilakukan secara lisan, bagi mereka yang buta huruf
(Pasal 120 HIR).
Para pihak baik penggugat maupun tergugat dalam setiap persidangan di Pengadilan
dalam menyelesaikan perkaranya dapat dibantu oleh seorang kuasa hukum/ pengacara
/lawyer (Pasal 123 HIR). Bambang Yos mengatakan bahwa seorang kuasa tersebut harus
merupakan wakil yang sah.
Apabila para pihak tersebut menunjuk seorang kuasa
hukum/pengacara/lawyer maka harus disertai dengan surat kuasa yang isinya menyebut
Nomor Perkara, Pengadilan mana dan di mana, perihal apa dan untuk apa surat kuasa
tersebut diberikan. Gugatan Citizen lawsuit yang diajukan di Pengadilan Negeri Yogyakarta,
telah menunjuk Jaksa Agung sebagai kuasa hukum negara karena yang menjadi tergugat
adalah para pejabat penyelenggara negara yang meliputi Presiden, Wakil presiden sampai
jajaran menteri dan pejabat tinggi negara lainnya.
Gugatan Citizen lawsuit agar dapat diterima, gugatan harus memenuhi persyaratan
formal surat gugat seperti yang diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku di
Pengadilan Negeri pada umumnya, yaitu harus mencantumkan identitas para pihak,
dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan
(Fundamentum petendi), dan tuntutan (petitum). Selain itu juga harus memperhatikan
persyaratan yang diatur dalam Pasal 3 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, yaitu:

Identitas lengkap wakil kelompok, meliputi nama, alamat atau tempat tinggal, umur,
status kawin atau tidak, pekerjaan dan agama

Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebut nama anggota
kelompok satu per satu. Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari kesulitan mengelola
pengadministrasian anggota kelompok yang bersangkutan.

Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitannya dengan
kewajiban melakukan pemberitahuan. Ketentuan ini diperlukan sebab yang tampil secara
nyata dalam proses perkara hanya wakil kelompok, sedangkan identitas anggota
kelompok tersebut tersembunyi atau in absentee di balik identitas wakil kelompok dan
tidak hadir di forum persidangan. Oleh karena itu, apabila suatu saat diperlukan
pemberitahuan kepada anggota kelompok, perlu diterangkan keberadaan mereka dalam
surat gugatan sehingga langkah tindakan pemberitahuan itu dapat terlaksana dengan
efektif.

Dasar gugatan (Fundamentum petendi/Posita), seluruh kelompok baik wakil kelompok
maupun anggota kelompok, baik yang teridentifikasi maupun yang tidak teridentifikasi
dikemukakan secara jelas/rinci. Posita ini juga harus memuat rincian tentang
kejadian/peristiwa (factual grounds); selain itu juga memuat bagian yang menguraikan
tentang hukumnya, yaitu adanya hak dan hubungan hukum pihak-pihak yang berperkara
(penggugat/tergugat) yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan. Jika peristiwa-peristiwa
yang dijadikan sebagai dasar tuntutan tersebut tidak membenarkan tuntutan, maka bisa
dikatakan gugatan tersebut tidak berdasarkan hukum, sehingga gugatan akan dinyatakan
tidak diterima (Niet ontvankelijk verklaard), sedang apabila peristiwa-peristiwa yang
membenarkan tuntutan tersebut tidak diajukan, maka dapat dikatakan bahwa gugatan
tersebut tidak beralasan sehingga gugatan akan ditolak.

Gugatan perwakilan kelompok dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian kelompok
atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda.

Tuntutan (petitum). Perihal tuntutan yang diajukan dalam gugatan Citizen lawsuit, para
responden yaitu hakim dan pengacara menyimpulkan bahwa secara teoritis gugatan
Citizen lawsuit tidak menuntut ganti rugi secara materiil dan financial, melainkan berisi
permohonan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur kepentingan
umum (regeling) agar perbuatan melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan
hak-hak warga negara yang dilakukan oleh negara tersebut tidak akan terulang lagi
dimasa yang akan datang. Akan tetapi dalam praktek sering terjadi tuntutan yang
diajukan oleh penggugat adalah berupa uang ganti rugi. Hal tersebut bisa terjadi karena
hingga saat ini belum ada satupun peraturan formal yang mengatur mengenai hal
tersebut.
Apabila tuntutan yang diajukan oleh penggugat berupa uang ganti rugi (monetary
damages), maka diterapkan suatu mekanisme preliminary certification test kepada anggota
kelas agar melakukan option in atau option out. Option in adalah prosedur yang dilakukan
anggota kelas dengan memberikan penegasan bahwa mereka benar-benar anggota kelas,
sedangkan option out adalah kesempatan anggota kelas untuk menyatakan dirinya keluar dari
gugatan, sehingga tidak terikat dengan putusan hakim.
Mekanisme preliminary certification test tersebut harus dilakukan guna penentuan
siapa-siapa yang berhak mendapatkan uang ganti rugi, sedangkan gugatan yang tuntutannya
hanya berupa permintaan deklaratif atau injunction seperti perkara yang terjadi di
Yogyakarta, mekanisme tersebut tidak diperlukan.
Petitum dalam gugatan Citizen lawsuit seharusnya tidak mengajukan tuntutan ganti
rugi secara materiil yang berupa sejumlah, melainkan berisi permohonan agar negara
mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur untuk kepentingan umum (regeling) agar
perbuatan melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak-hak warga negara yang
dilakukan oleh negara tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang.
Selain beberapa persyaratan tersebut di atas masih ada persyarat lain yang harus
dipenuhi dalam gugatan Citizen lawsuit, yaitu:

Ada sejumlah besar penggugat (numerosity).

Adanya kesamaan kepentingan (commonality).

Kesamaan tuntutan (typicaly), pada umumnya tuntutan berupa tindakan tertentu,
pelaksanaan kewajiban hukum.

Mekanisme gugatan Citizen lawsuit tidak perlu mensyaratkan hubungan hukum
antara penggugat dengan pihak yang kepentingannya diwakili.

Petitum atau tuntutan yang dimohonkan bukan berisi tuntutan ganti rugi secara
materiil, melainkan berisi permohonan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan
yang mengatur untuk kepentingan umum (regeling), agar perbuatan melawan
hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak-hak warga negara yang dilakukan
oleh negara tersebut tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang.
Adapun proses persidangan dalam gugatan Citizen lawsuit, tahapan sidangnya sama
seperti perkara perdata biasa, akan tetapi ada sedikit perbedaan yaitu bahwa penggugat harus
melakukan notifikasi atau somasi tersebih dahulu kepada pihak tergugat.
Selanjutnya wakil kelompok dalam mewakili anggota kelompok/ masyarakat harus
menyertakan surat kuasa dari anggota kelompok/masyarakat yang merasa dirugikan tersebut.
Alasannya karena tidak diperbolehkan mengatasnamakan suatu kelompok masyarakat
tertentu tanpa adanya bukti tertulis dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Hal tersebut
diperlukan guna membuktikan hubungan hukum antara penggugat dengan pihak yang
kepentingannya diwakili.
Para responden khususnya para hakim menyatakan hal yang sama yaitu, bahwa
penggugat harus memenuhi persyaratan yang berlaku dalam hukum acara perdata, yaitu
ketika seorang kuasa mewakili kliennya maka harus dapat menunjukan surat kuasa yang
menunjuk seseorang untuk mewakili sekelompok orang di muka pengadilan. Surat kuasa
tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu sebagai bukti adanya hubungan
hukum antara penggugat dengan pihak yang diwakili serta surat kuasa tersebut dapat
dijadikan dasar pertimbangan bagi hakim untuk memberikan putusan yang berkaitan dengan
kemungkinan adanya tuntutan ganti rugi secara materiil, sebab jika penggugat tidak dapat
memenuhi syarat formal yakni menunjukkan surat kuasa dari pihak-pihak yang diwakili
maka putusan hakim hanya akan mengabulkan gugatan ganti kerugian materiil yang diderita
oleh para penggugat yang maju ke pengadilan saja. Putusan tidak dapat diberlakukan
terhadap para pihak yang kepentingannya diwakili oleh para penggugat.
Adapun responden advokat mempunyai pendapat yang berbeda dengan responden
dari para hakim, yaitu bahwa seorang kuasa dalam mewakili anggota kelompoknya tidak
harus dengan surat kuasa dari masyarakat yang merasa dirugikan kepada wakil kelompok
yang maju di muka pengadilan. Alasannya, bahwa penggugat yang menjadi wakil kelompok
tersebut adalah orang yang juga mengalami kerugian atas dampak gempa bumi serta
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, sama halnya seperti anggota
kelompok/masyarakat Yogyakarta yang lain, sehingga penggugat yang menjadi wakil
kelompok di pengadilan tersebut dapat mengatasnamakan masyarakat di pengadilan. Hal ini
sesuai yang disyaratkan dalam Pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002.
Berdasarkan perbedaan pendapat antara responden hakim dan advokat/ pengacara
tersebut, dalam hal ini team peneliti jika mendasarkan pada Pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun
2002, yaitu yang menyatakan: “Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok,
wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota
kelompok”, sependapat dengan para advokat/pengacara, karena
bahwa
gugatan
Citizen lawsuit yang terjadi akhir-akhir ini sifatnya sangat kasuistik, artinya tergantung
luasnya wilayah yang terkena pengaruh kebijakan pemerintah tersebut, artinya jika kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut membawa dampak yang merugikan masyarakat di
wilayah tertentu/lingkupnya regional/lokal, seperti kasus yang terjadi di Yogyakarta dengan
Nomor Perkara 73/Pdt.G/2006/PN.YK, maka hakim masih bisa untuk mengharuskan
disertakannya surat kuasa khusus tersebut, akan tetapi jika kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah tersebut membawa kerugian bagi seluruh masyarakat di Indonesia, sebagai
contoh kasus kebijakan pemerintah atas kenaikan harga bahan bakar minyak yang
dampaknya dapat dirasakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maka persyaratan surat
kuasa khusus dari anggota kelompok kepada wakil kelompok akan sangat sulit dilaksanakan
dan seharusnya tidak dipersyaratkan adanya surat kuasa tersebut.
Hakim yang tetap mengharuskan adanya surat kuasa khusus dari anggota kelompok
kepada wakil kelompok yang maju ke muka persidangan maka akan membuat asas peradilan
yang murah, cepat dan sederhana seperti yang tertuang dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok kekuasaan kehakiman akan sulit terwujud.
Setelah persyaratan gugatan terpenuhi, maka hakim akan memeriksa dan
mempertimbangkan apakah telah sesuai dengan kriteria gugatan Citizen lawsuit, apabila
hakim memutuskan bahwa tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah
maka pemeriksaan gugatan selanjutnya akan dihentikan melalui suatu putusan hakim (Pasal
5 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok), akan tetapi
jika hakim menyatakan sah, maka pihak penggugat diminta untuk membayar panjer (vorskot)
biaya perkara, sebab apabila penggugat belum membayar panjer biaya perkara, maka
panitera tidak akan memasukkan perkara tersebut ke dalam daftar perkara, kecuali jika
penggugat tidak mampu untuk membayar biaya perkara dan mengajukan untuk dapat
beracara secara cuma-cuma atau prodeo (Pasal 237 HIR).
Setelah membayar panjer perkara, maka gugatan akan diajukan dan didaftar dalam
daftar perkara oleh panitera dan selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk majelis
hakim untuk memeriksa perkara tersebut. Hakim kemudian akan menentukan hari dan jam
dilaksanakannya sidang dan memerintahkan memanggil kedua belah pihak agar hadir pada
waktu yang telah ditentukan disertai saksi-saksi dan bukti surat yang akan dipergunakan
(Pasal 121 ayat 1 HIR).
Hakim juga akan memerintahkan kepada penggugat untuk mengajukan usulan model
pemberitahuan kepada anggota kelompok sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 7
PERMA Nomor 1 Tahun 2002, yaitu :

Pemberitahuan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik

Pemberitahuan melalui pengumuman baik yang ditempel di papan pengumuman maupun
selebaran di kantor-kantor pemerintah seperti kantor kelurahan, kantor kecamatan/desa
dan di kantor Pengadilan.

Pemberitahuan yang disampaikan secara langsung kepada tiap individu anggota
kelompok, sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan hakim dan
sedapat mungkin praktis, efisien, dan efektif.
Pemanggilan yang dilakukan kepada penggugat dan tergugat dilakukan melalui juru
sita (Pasal 388). Pada waktu memanggil tergugat, selain diberi surat panggilan, juga diberi
salinan surat gugatan, maksudnya supaya tergugat dapat mempelajari gugatannya terlebih
dahulu, sehingga dapat mempersiapkan jawaban baik secara tertulis maupun lisan (Pasal 121
HIR).
Apabila yang dipanggil tersebut bertempat tinggal di luar daerah hukum Pengadilan
Negeri yang memeriksa perkara, sebagai contoh perkara yang diajukan di Yogyakarta
tersebut, jika tergugatnya adalah Presiden, Menteri dan pejabat tinggi negara lainnya yang
semuanya berkedudukan di Jakarta Pusat, oleh karena itu, maka pemanggilan dilakukan
melalui Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat,
yaitu Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Proses pemeriksaan gugatan Citizen lawsuit sama seperti dalam perkara perdata
pada
umumnya.
Pada
tahap
pemeriksaan
perkara
kemungkinan
dapat
terjadi
perubahan-perubahan dalam surat gugatan, misalnya ada anggota kelompok yang ingin
keluar dari keanggotaan kelompok. Jika penggugat/tergugat menggunakan kuasa
hukum/lawyer/advokat, maka advokat tersebut harus dapat menunjukkan surat kuasa yang
isinya penunjukan atas dirinya yang mengurus segala kepentingan kliennya. Salain itu,
Penggugat/kuasa hukumnya harus mampu menunjukkan surat kuasa khusus yang diberikan
anggota kelompok kepada wakil kelompok, apabila diperintahkan oleh hakim sabagai
pertimbangan bahwa mereka benar-benar mewakili kepentingan hukum anggota kelompok.
Setelah persyaratan administrasi terpenuhi, selanjutnya pemeriksaan substansi/ pokok
perkara, yaitu diawali dengan pembacaan surat gugatan. Kemudian dilanjutkan dengan:

Jawaban pertama tergugat. Jawaban ini bisa dibacakan langsung oleh terggugat maupun
oleh pengacaranya. Jawaban tergugat dapat berupa eksepsi, konpensi atau rekonpensi.

Replik oleh penggugat, yaitu jawaban penggugat untuk menanggapi jawaban pertama
tergugat.

Duplik oleh tergugat, yaitu jawaban tergugat untuk menanggapi replik.

Putusan sela. Putusan sela ini terjadi apabila ada eksepsi dari tergugat. Putusan sela dapat
diberikan di akhir bersamaan dengan putusan akhir/setelah pemeriksaan pokok perkara
jika gugatan dinyatakan Obscur libel (gugatan kabur) atau eror in persona (gugatan salah
alamat).

Bukti tertulis penggugat. Hal ini jika penggugat dalam gugatannya mendalilkan bahwa
pemerintah telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum karena telah melakukan
tindakan yang bertentangan dengan Undang-undang atau kecermatan yang patut, maka
penggugat harus dapat membuktikan peraturan perundang-undangan mana yang telah
dilanggar oleh tergugat sehingga dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Selain itu penggugat juga harus bisa membuktikan secara tertulis kerugian yang dialami
masyarakat akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga
dapat diketahui hubungan sebab akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
negara/pemerintah/tergugat dengan kerugian yang dialami masyarakat/penggugat. Bukti
tertulis lainnya bisa diperoleh dari data masyarakat langsung atau dari media massa yang
beritanya dianggap valid dan terpercaya kebenarannya.

Bukti
tertulis
tergugat.
Tergugat
harus
dapat
membuktikan
secara
tertulis
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah apakah telah sesuai dengan peraturan
yang berlaku.

Saksi penggugat. Saksi harus seseorang yang melihat, mengalami atau mendengar sendiri
tentang suatu peristiwa. Pada perkara yang terjadi di Yogyakarta tersebut, misalnya saksi
yang dihadirkan haruslah warga/masyarakat Yogyakarta yang mengetahui, mengalami
atau melihat tindakan-tindakan dari pemerintah yang telah melakukan perbuatan
melawan hukum.

Saksi tergugat. Saksi yang dihadirkan oleh tergugat harus bisa memberikan keterangan
bahwa apa yang dilakukan oleh tergugat (negara) telah benar dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kesimpulan yang berisi ringkasan urutan jalannya persidangan dari awal sampai akhir
yang dibuat oleh kedua belah pihak (penggugat/tergugat).

Putusan. Bagian terakhir dari jalannya persidangan adalah pembacaan putusan hakim.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam suatu putusan, yaitu apabila tuntutan
berupa uang ganti rugi dikabulkan dalam putusan, hakim wajib memutuskan jumlah ganti
rugi secara rinci, menentuan siapa yang berhak menerima, mekanisme pendistribusian
ganti rugi dan langkah-langkah yang ditempuh dalam proses penetapan pendistribusian.
Pada tahap pendistribusian ini perlu diperhatikan antara lain :

Transparansi administrasi penyelesaian.

Keberadaan mekanisme pengawasan pelaksanaan.

Kredibilitas para pengelola dana.
Akan tetapi, jika tuntutan tidak meminta uang ganti rugi/ganti rugi materiil maka
ketentuan seperti diatas tidak berlaku, karena bahwa dalam tuntutan perbuatan melawan
hukum, penggugat selain memohon ganti rugi, dapat mengajukan permohonan lain,
seperti memohon pengembalian ke dalam keadaan semula dengan mengeluarkan
kebijakan yang lebih baik, meminta agar tergugat meminta maaf serta meminta tergugat
tidak mengulangi perbuatan melawan hukumnya lagi.(Bambang Yos/advokat)
B. Hambatan dalam pengajuan gugatan Citizen lawsuit
Ada asas dalam perkara perdata bahwa pengadilan membantu para pencari keadilan
dan harus berusaha mengatasi segala hambatan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan. Akan tetapi, untuk terlaksananya hal tersebut kadang
terdapat beberapa kendala yang mengganggu atau memperlambat terselesainya suatu
perkara. Menurut responden hakim yang pernah menangani perkara gugatan Citizen lawsuit,
yaitu Yulman hakim Pengadilan Negeri Kota Magelang, ketika menjadi hakim di Pengadilan
Negeri Makasar, kendala tersebut antara lain jika harus menghadirkan penggugat yang
banyak prinsipalnya. Semakin banyak jumlah penggugat, maka akan semakin sulit mengelola
gugatan tersebut. Kemudian jika harus menghadirkan pejabat yang didudukan sebagai
tergugat biasanya agak sulit. Pengadilan menghadapi kendala pada masalah administrasi
serta lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memeriksa perkara yang diajukan secara
gugatan Citizen lawsuit. Pengadilan dalam memeriksa perkara perdata pada umumnya
membutuhkan waktu maksimal 6 bulan, akan tetapi dengan semakin banyaknya penggugat,
berarti waktu yang dibutuhkan semakin lama. Lamanya waktu tersebut terkadang sering
disebabkan oleh para pihak yang tidak hadir dalam sidang, sehingga sidang sering ditunda.
Akibatnya asas peradilan yang murah, cepat dan efisien tidak dapat tercapai. Selain itu,
apabila penggugat belum melakukan notifikasi, maka hakim akan kesulitan untuk
menggugurkan gugatan; maka jalan yang ditempuh dengan mengajukan gugatan itu sudah
dianggap sebagai notifikasi atau ketika para pihak sudah pernah dilakukan perdamaian tetapi
tidak tercapai, maka itu juga dapat dianggap sebagai notifikasi.
Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa Model gugatan Citizen lawsuit
sebetulnya bukan hal yang baru di dalam sistem peradilan di Indonesia. Akan tetapi, dari
sekian banyak perkara gugatan Citizen lawsuit yang diajukan di Pengadilan sebagian besar
tidak diterima (Niet onvtvankelijk verklaard) oleh Pengadilan. Pertimbangan hakim pada
kasus-kasus yang melibatkan kepentingan umum seringkali menolak gugatan dengan model
tersebut
dengan
alasan
belum
ada
ketentuan
secara
positif
dalam
peraturan
perundang-undangan. Salah satu contoh di dalam pertimbangan hukum majelis hakim pada
kasus “demam berdarah” yang telah In Kracht van Gewijsde dalam putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor 251/Pdt/G/1998/PN.Jkt.Pst. Fakta dan permasalahan hukum
yang dialami oleh penggugat dan oranng-orang yang diwakilinya adalah mereka sama-sama
warga DKI Jakarta yang menderita demam berdarah pada saat berjangkitnya penyakit
tersebut di wilayah DKI Jakarta tahun 1988 dan harus dirawat di rumah sakit, bahkan banyak
diantaranya yang meninggal dunia. Hakim dalam putusannya mempertimbangkan bahwa
penggugat tidak dapat begitu saja mengatasnamakan kepentingan orang lain tanpa adanya
surat kuasa dari orang yang diwakilinya. Hakim yang telah moderat mungkin tidak
mengharuskan adanya surat kuasa tersebut. Hal ini bisa ditempuh dengan cara dibuat secara
kolektif kepada kuasa hukumnya, hanya saja harus dilampiri foto copy kartu tanda penduduk
supaya lebih jelas posisi penggugatnya apakah betul-betul sebagai pihak yang
berkepentingan. Perbedaan penafsiran inilah yang sering menjadikan kendala bagi hakim
dalam menyelesaikan suatu perkara yang berkaitan dengan gugatan Citizen lawsuit dan
menyebabkan keengganan bagi para pencari keadilan untuk mengajukan tuntutan hak yang
melibatkan sejumlah besar orang.
Kendala yang lain yaitu ketika harus melakukan pemeriksaan di tempat kejadian,
karena perbuatan itu harus dibuktikan dengan pemeriksaan di tempat kejadian, akan tetapi
tempat kejadian tersebut sulit dijangkau dan tempatnya jauh. Hal lain yang menjadi
hambatan adalah ketika tergugatnya tidak hadir, tetapi sidang tetap harus berjalan, maka
putusan yang dijatuhkan adalah verstek.
C. Upaya yang ditempuh untuk mengatasi hambatan dalam pengajuan gugatan
Citizen lawsuit
Upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mengatasi kendala dalam pengajuan
gugatan Citizen lawsuit, yang ditempuh oleh pihak pengadilan/hakim, adalah hakim harus
mampu menemukan hukum (rechtsvinding) dalam menghadapi kasus yang diajukan
padanya. Hakim dituntut untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang
berkembang di masyarakat dan selalu menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan
amanat yang dijalankan sebagai negara hukum dengan tetap menerima, memeriksa, dan
memutus setiap perkara dengan berpegang pada landasan yuridis yang telah ada seperti
HIR/Rbg yang mengatur mengenai hukum acara perdata serta PERMA Nomor 1 Tahun
2002, mengingat belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus
mengenai gugatan berbentuk Citizen lawsuit. Selanjutnya hakim juga harus bertindak lebih
bijaksana serta hakim dituntut untuk lebih cermat di dalam menafsirkan kejujuran dan
kesungguhan dari wakil kelompok, agar tidak merugikan para pencari keadilan. Di samping
itu hakim dalam mengambil sikap harus dengan cara yang elegan, misalnya dalam hal tiadak
adanya notifikasi dari penggugat terhadap tergugat, maka hakim tidak serta merta
menggugurkan gugatan penggugat; meskipun demikian hakim tidak boleh menyimpang dari
hukum acaranya. Jika hambatan itu sifatnya hanya teknis saja, maka jalan keluarnya adalah
dilakukan musyawarah oleh majelis hakim.
Upaya lain yang ditempuh para pihak, khususnya penggugat harus lebih pro aktif,
artinya keefektifan penyelesaian perkara perdata di pengadilan harus datang dari penggugat
sendiri. Penggugat harus bisa bermusyawarah demi tercapainya tujuan kepentingan bersama
sehingga dapat dihasilkan tuntutan yang diperjuangkan. Lain halnya pendapat Bambang Yos,
bahwa penggugat harus menentukan pilihan bentuk gugatan sebagaimana spesifikasi kasus
yang dihadapi penggugat dan masyarakat harus meningkatkan pengetahuan tentang gugatan
Citizen lawsuit dengan sosialisasi ketentuan hukum yang ada sehingga timbul dilakukan
dengan mengkampanyekan melalui media massa sehingga dapat mendorong semangat hakim
untuk menemukan hukum dengan menggali, kesadaran dan keberanian pada diri masyarakat.
Usaha sosialisasi tersebut bisa mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang
berkembang di masyarakat.
BAB V. Penutup
A. Kesimpulan
Sebagai
bab
terakhir
dari
suatu
penelitian
adalah
penutup
yang
berisi
kesimpulan-kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang akan penulis berikan adalah sebagai
berikut :

Pada dasarnya yang dimaksud dengan gugatan Citizen lawsuit adalah sebuah gugatan
yang diajukan oleh setiap warga negara kepada pemerintah/negara yang melakukan suatu
perbuatan melawan hukum yang secara nyata telah merugikan kepentingan umum dan
masyarakat luas. Pihak penggugat tidak harus pihak yang mengalami kerugian langsung,
akan tetapi dalam prakteknya lebih tepat jika warga negara tersebut ikut merasakan
kerugian baik materiil maupun immateriil. Tuntutan (petitum) yang dimohonkan oleh
pihak penggugat ada yang memohon ganti kerugian secara materiil, meskipun secara
teoritis sebenarnya tidak diperbolehkan, karena tuntutan tersebut semestinya memohon
agar negara mengeluarkan suatu kebijakan untuk mengatur kepentingan umum (regeling)
agar perbuatan melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak-hak warga
negara yang dilakukan oleh pemerintah/negara tidak terulang di masa yang akan datang.
Penggugat yang ingin mengajukan gugatannya dalam bentuk Citizen lawsuit, maka harus
memenuhi persyaratan formal dan mengikuti prosedur yang telah diatur dalam peraturan
hukum acara perdata yang berlaku, yaitu tunduk pada ketentuan HIR (Het Herzeine
Indonesisch Reglement) dan Rbg (Rechtglement Buitengewesten) serta aturan
perundang-undangan yang di keluarkan oleh Mahkamah Agung, yaitu PERMA Nomor 1
Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Mengenai kendala-kendala yang dihadapi dalam pengajuan gugatan, dapat timbul dari
para pihak serta pihak Pengadilan sendiri. Pihak Pengadilan, kendala yang ditemui lebih
bersifat administratif serta perbedaan penafsiran bagi hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara yang diajukan dengan gugatan Citizen lawsuit. Bagi pihak yang
berperkara, kendala yang timbul dikarenakan belum ada aturan hukum positif yang
mengatur secara khusus mengenai gugatan Citizen lawsuit serta kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang gugatan Citizen lawsuit sehingga menyebabkan keengganan bagi
pencari keadilan untuk menggugat menggunakan mekanisme gugatan Citizen lawsuit.

Untuk mengatasi kendala yang terjadi di dalam gugatan Citizen lawsuit, tetap harus
diupayakan oleh semua pihak, baik oleh Pengadilan maupun para pihak yang berperkara
demi tercapainya kepastian hukum. Upaya tersebut meliputi usaha dari hakim untuk bisa
menggali dan menemukan hukum (rechvinding) guna menghindari kekosongan hukum
atau hukum yang tidak jelas akibat dari belum adanya suatu aturan positif yang mengatur
secara khusus mengenai gugatan Citizen lawsuit. Usaha lain yang ditempuh hakim adalah
berusaha untuk lebih cermat dan bijaksana dalam menafsirkan kejujuran dari wakil
kelompok. Selain hakim, para pihak yang berperkara khususnya penggugat berupaya
untuk lebih aktif supaya penyelesaian perkara di Pengadilan dapat tercapai.
B. SARAN
Saran yang dapat penulis berikan bagi para pihak guna meningkatkan/memperlancar
proses pengajuan gugatan Citizen lawsuit adalah sebagai berikut :

Kepada pihak Pemerintah melalui badan Peradilannya agar dapat mengakomodir gugatan
Citizen lawsuit demi terwujudnya tuntutan perkembangan masyarakat modern, dengan
mulai menyusun peraturan-peraturan tentang gugatan Citizen lawsuit, guna memberikan
aturan hukum yang pasti mengenai prosedur, tata cara dan ketentuan formal yang harus
dipenuhi oleh penggugat, apabila timbul suatu permasalahan yang berkaitan dengan surat
kuasa dari anggota kelompok kepada wakil kelompok yang akan mewakili mengajukan
gugatan ataupun di persidangan.

Kepada para hakim, alangkah baiknya jika dapat lebih aktif memimpin sidang dan
mengupayakan penyelesaian perkara-perkara yang diajukan dengan gugatan Citizen
lawsuit serta hakim diharapkan untuk mempunyai pikiran yang luas dan tidak
menggunakan penafsiran yang sempit sehingga dapat mengatasi hambatan di dalam
memeriksa perkara yang berkaitan dengan gugatan berbentuk Citizen lawsuit.

Kepada pihak penggugat agar gugatannya tidak ditolak sewaktu mengajukan gugatan
Citizen lawsuit, maka pihak penggugat harus meneliti secara cermat dan seksama
persyaratan-persyaratan formal yang harus dipenuhi sebelum gugatan tersebut diajukan,

misalnya adanya syarat notifikasi.
Kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya lawyer/pengacara seyogyanya dapat
lebih meningkatkan pengetahuan mengenai gugatan Citizen lawsuit, baik melalui media
elektronik maupun media cetak, berupa buku-buku, surat kabar maupun majalah, sebab
masih banyak masyarakat yang belum mengerti tentang gugatan Citizen lawsuit.
Khususnya bagi masyarakat yang ingin mengajukan gugatan terhadap penguasa, karena
hak-haknya tidak terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung
Heniyatun, 2007, Hasil penelitian tentang Tanggung Gugat Risiko dalam Tindakan Medis
pada Rumah sakit di Magelang
------------, 2008, Buku Ajar: Hukum Acara Perdata, Fakultas Hukum, Universitas
Muhammadiyah Magelang.
Lilik Mulyadi, 2005, Hukum acara perdata menurut teori dan praktik peradila Indonesia,
Djambatan, Jakarta.
-------------, 2009, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, Teori, Praktik,
Teknik Membuat dan Permasalahannya, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Munir Fuadi, 2005, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Moegni Djojodirdjo, M.A, 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Jakarta.
Taufik Makarao, M, 2004, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta.
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT.Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta.
Subekti, 2004, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.
Sudikno Martokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Sundari, E, 2002, Pengajuan Gugatan Secara Class Action, Universitas Atma Jaya Press,
Yogyakarta.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI –PRESS, Jakarta.
Wiryono Prodjodikoro, R, 2000, Perbuatan melawan hukum dipandang dari sudut hukum
perdata, Mandar maju, Bandung.
Yahya Harahap, M, 2006, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
HIR
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
PERMA NO.1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
Unduh
Arko
Kanandianto,
Konsep
gugatan
citizen
lawsuit
http://jurnaltransportasi.blogspot.com/2008_01_01_archive.html
Emerson
di
Yuntho, Mekanisme Class Action, Class Action sebuah
http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/mekanisme_class_action.pdf
Indonesia,
pengantar.
Sudikno Mertokusumo. Actio Popularis. www.suddiknokuliah blogspot.com
http://www.pnpm-perdesaan.or.id/.../Gugatan%20Class%20Action.pdf
http://inclaw-hukum.com/index.php/hukum-perdata/hukum-acara-perdata/139-gugatan-class-acti
on
http:// www.acehinstitute.org/index.php.gugatan citizen lawsuit
ceklipratiwi.staff.umm.ac.id/category/ceklis-paper/
Personalia Penelitian:

Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap
: Heniyatun, SH. MHum
b. Jenis Kelamin
: Perempuan
c. NIS
: 865907035
d. Disiplin Ilmu
: Ilmu Hukum
e. Pangkat / Golongan
: Pembina / IVa
f. Jabatan Fungsional
: Lektor Kepala
g. Fakultas / Program Studi
: Hukum / Ilmu Hukum
h. Waktu Penelitian

: 9 jam /minggu
Anggota Peneliti
a. Nama Lengkap
: Nurul Maghfiroh, SH
b. Jenis Kelamin
: Perempuan
c. NIS
: 946908068
d. Disiplin Ilmu
: Ilmu Hukum
e. Pangkat / Golongan
: Penata Tk. I / IIId
f. Jabatan Fungsional
: Lektor
g. Fakultas / Program Studi : Hukum / Ilmu Hukum
h. Waktu Penelitian
3.
: 9 jam / minggu.
Anggota Peneliti
a. Nama Lengkap
: Bambang Tjatur Iswanto, SH. MH
b. Jenis Kelamin
: Laki-laki
c. NIS
: 866003011
d. Disiplin Ilmu
: Ilmu Hukum
e. Pangkat / Golongan
: Penata / IIIc
f. Jabatan Fungsional
: Lektor
g. Fakultas / Program Studi : Hukum / Ilmu Hukum
h. Waktu Penelitian
: 12 jam / minggu
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian
2. Bidang Penelitian
3. Ketua Peneliti
a. Nama
b. Jenis Kelamin
: Pelaksanaan Gugatan Citizen Lawsuit Model Penyelesaian
Sengketa Secara Kelompok dalam Perbuatan Melawan Hukum
: Ilmu Hukum
:
: Heniyatun, SH., MHum
: Perempuan
c. NIS
: 865907035
d. Disiplin Ilmu
: Ilmu Hukum
e. Pangkat / Golongan : Pembina / IVa
f. Jabatan
: Lektor Kepala
g. Fakultas / Program Studi: Hukum / Ilmu Hukum
h. Alamat
: Jalan Tidar Nomor 21 Magelang
i. Telephon / Faks / E-mail
: 0293-362082 / 0293-361004 / webummgl @ ummgl.ac.id.
j. Alamat Rumah
: Jalan Duku III/ 226. Kalinegoro. Magelang
4. Jumlah Tim Peneliti
: 3 (tiga) Orang
a. Nama Anggota 1
: Nurul Maghfiroh, SH
b. Nama Anggota 2
: Bambang Tjatur Iswanto, SH., MH
5. Lokasi Penelitian
: Kota Magelang dan Yogyakarta
6. Jumlah Beaya yang
: Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
Diusulkan
Magelang,
Maret 2012
Mengetahui,
Peneliti,
Dekan Fakultas Hukum
Ketua
Agna Susila, SH.MHum
NIS. 865408052
Heniyatun, SH.MHum
NIS. 865907035
Menyetujui,
Ketua LP3M
Drs. Suliswiyadi, Mag.
Lampiran 2: DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI

Ketua Peneliti
a.
Nama
: Heniyatun, SH.MHum
b.
Tempat dan tanggal lahir
: Surakarta, 13 Maret 1959
c.
Pendidikan Terakhir
: Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta
d.
Pengalaman Penelitian
: 
Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul :
Tanggung Jawab Rumah Sakit terhadap Pasien
Akibat Medical Malpractice di Rumah Sakit
Magelang.(2007)

Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul:
Penerapan Sumpah Pocong dalam Mengungkap
Kebenaran Hukum.(2008)

Sebagai anggota dalam penelitian yang berjudul:
Kajian Hukum Islam Terhadap Air Seni Sebagai
Salah Satu Alternatif Pengobatan.(2009)

Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul:
Aspek Perlindungan Hukum Bagi Konsumen pada
Perjanjian Baku dalam Hubungan Antara Kekuatan
Tawar dengan Penerimaan.(2010)

Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul:
Pembarengan Gugatan Pengganti Kerugian karena
Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum dalam
Transaksi Terapeutik. (2011)
Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya, dan jika ada kesalahan saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya.
Magelang,
Maret 2012
Heniyatun, SH.MHum
NIS. 865907035

Anggota Peneliti
a.
Nama
: Nurul Maghfiroh, SH
b.
Tempat dan tanggal lahir
: Magelang, 05 Januari 1969
c.
Pendidikan Terakhir
: S2 Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
d.
Pengalaman Penelitian
: 
Sebagai Ketuadalam penelitian yang berjudul:
Persepsi Mahasiswa Fakultas Hukum Semester II
Universitas Muhammadiyah Magelang tentang
Pelaksaan Sanksi Pidana dalam Hukum Adat.

Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul:
Kejahatan-kejahatan yang Timbul Akibat Terjadinya
Hubungan Luar Nikah (Suatu Kajian Empiris).

Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul:
Putusan Pengadilan “Ne Bis In Idem” dan
Permasalahannya dalam Praktek. (Studi Kasus di
Pengadilan Negeri Magelang)

Sebagai Anggota dalam penelitian yang berjudul :
Asimilasi sebagai Program Pembinaan dan
Pengaruhnya
Terhadap
Tingkat
Kesadaran
Narapidana.

Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul:
Aspek Hukum Putusanya Perkawinan Akibat
Fasakh.
Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya, dan jika ada kesalahan saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya.
Magelang, Maret 2012
Nurul Maghfiroh, SH
NIS. 946908068
3. Anggota Peneliti
a.
Nama
: Bambang Tjatur Iswanto, SH., MH.
b.
Tempat dan tanggal lahir
: Semarang, 7 Mei 1960
c.
Pendidikan Terakhir
: Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Universitas Diponegoro Semarang
d.
Pengalaman Penelitian
: 
Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul:
Aspek Hukum Putusnya Perkawinan Akibat Fasakh,
bulan Mei 2007

Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul:
Perlindungan hukum Franchisee terhadap Perjanjian
Franchise, bulan Juni 2006
Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya, dan jika ada kesalahan saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya.
Magelang,
Maret 2011
Bambang Tjatur Iswanto,SH.MH
NIS. 866003011
Download