LAPORAN HASIL PENELITIAN PELAKSANAAN GUGATAN CITIZEN LAWSUIT MODEL PENYELESAIAN SENGKETA SECARA KELOMPOK DALAM PERBUATAN MELAWAN HUKUM Oleh: HENIYATUN, SH. MHum NURUL MAGHFIROH, SH. LLM BAMBANG TJATUR ISWANTO, SH. MH PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG 2011 PELAKSANAAN GUGATAN CITIZEN LAWSUIT MODEL PENYELESAIAN SENGKETA SECARA KELOMPOK DALAM PERBUATAN MELAWAN HUKUM Bab I. Pendahuluan Manusia dalam mengadakan hubungan dengan manusia lainnya sering terjadi hubungan yang kurang harmonis, tak terkecuali hubungan antara warga masyarakat dengan pemerintah atau sebaliknya. Hubungan semacam ini kemudian menimbulkan sengketa hukum, karena ada yang tidak memenuhi kewajiban atau melanggar hak orang lain, bahkan perbuatan yang dilakukan tersebut terkadang melawan hukum. Apabila sudah terjadi hal yang demikian maka orang yang merasa haknya dilanggar atau orang yang dirugikan akibat kepentingannya dilanggar atau tidak diindahkan, akan menuntut ganti kerugian dengan mengajukan gugatan ke pengadilan, dengan harapan bahwa orang yang dirasa merugikannya akan memenuhi prestasi. Terjadinya sengketa hukum tersebut terkadatang bermula dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang seharusnya mempertimbangkan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak (publik) dan bukan hanya kepentingan orang per orang saja. Akan tetapi kenyataannya, banyak terjadi suatu kebijakan bahkan merugikan kepentingan umum, sehingga seringkali kepentingan umum diabaikan, akibatnya kepentingan umum tidak lagi menjadi prioritas utama. Hal inilah yang menjadi penyebab pelanggaran hukum sering terjadi, yang dilakukan oleh penguasa. Terjadinya pelanggaran hukum inilah yang menimbulkan daya dorong bagi masyarakat untuk ikut berperan serta dalam upaya menyelesaikan sengketa guna menegakkan hukum. Sejalan dengan hal tersebut supremasi hukum yang konsisten serta pemberian perlindungan hukum terhadap masyarakat mutlak diperlukan dan diwujudkan dalam berbagai bidang. Perwujudan perlindungan hukum itu sendiri haruslah memberikan jaminan pemenuhan terhadap hak-hak masyarakat yang diatur oleh hukum. Hal ini penting dilakukan mengingat penegakan hukum (law enforcement) sering tidak sesuai dengan harapan itu sendiri dimana di dalam perkembangannya banyak peristiwa pelanggaran hukum seperti tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) yang membawa dampak yang sangat merugikan, bahkan bukan hanya seorang saja akan tetapi dapat juga menimpa sekelompok orang dalam jumlah besar atau masyarakat luas masih sering terjadi. (Sundari, 2002: 1) Ada berbagai macam cara untuk penyelesaian sengketa, yaitu bisa melalui jalur litigasi maupun non litigasi (di luar pengadilan). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini biasanya ditempuh dengan cara ADR (Alternative Dispute Resolution), yaitu meliputi upaya: negosiasi, mediasi, arbitrase maupun konsiliasi. Upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan biasanya lebih diminati oleh masyarakat (khususnya oleh kalangan pengusaha atau pebisnis) karena lebih bersifat sosial, bernuansa damai serta dapat mengakomodasi kepentingan mereka, namun bukan hal yang jarang terjadi bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan sering menemui jalan buntu, hal ini disebabkan konflik kepentingan masing-masing pihak sehingga tidak dapat ditempuh dengan jalan damai. Untuk mengatasi hal tersebut, upaya lain yang dapat digunakan untuk penyelesaian sengketa yaitu melalui jalur litigasi, yaitu melalui badan peradilan, sebab pengadilan merupakan suatu badan yang memegang peranan penting dalam penyelesaian sengketa. Mengingat fungsi pengadilan itu sendiri adalah menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Bentuk pengajuan gugatan tersebut ada yang dilakukan secara individu, ada yang dilakukan secara perwakilan/ kelompok. Gugatan yang dilakukan secara perwakilan/ kelompok ini dikenal dalam berbagai bentuk yaitu Class action, Action popularis, Citizen lawsuit, Groepacties serta NGO’S Standing. Pengaturan pengajuan gugatan perdata ini prosedur dan ketentuannya telah diatur dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) untuk Jawa dan Madura dan Rbg (Rechtsreglement Buitengewesten) untuk luar Jawa dan Madura. Khusus untuk gugatan yang dilakukan secara kelompok / perwakilan, selain mengacu pada HIR juga ada peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut, yakni: PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok. Saat ini Gugatan perwakilan/ kelompok banyak dilakukan oleh para pencari keadilan, salah satu yang sering digunakan adalah model gugatan Citizen lawsuit. Gugatan ini merupakan bentuk gugatan yang mengatasnamakan kepentingan umum. Konsep gugatan seperti ini memang belum banyak dikenal, namun keberadaannya sangat penting dalam menunjang pembaharuan hukum dalam menghadapi kasus-kasus yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Secara normatif, Gugatan citizen lawsuit merupakan gugatan yang menggunakan prosedur pengajuan gugatan kelompok, yang merupakan hasil adopsi dari sistem hukum Common law, namun demikian meskipun Gugatan citizen lawsuit ini merupakan hasil adopsi sistem hukum common law, akan tetapi sekarang sudah banyak yang menggunakan gugatan seperti itu, meskipun sistem hukum acara perdata di Indonesia belum mengatur akan hal tersebut. Hal ini karena berdasarkan Undang – undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 yang mengatur acara gugatan perwakilan/ kelompok, hakim tidak boleh menolak memeriksa dan memutus setiap perkara yang diajukan, dengan dalih belum ada peraturan yang mengaturnya. Oleh karena itu sejak keluarnya PERMA Nomor 1 Tahun 2002, maka upaya penyelesaian sengketa menggunakan gugatan perwakilan kelompok menjadi pilihan. Hal ini terbukti dari adanya pengadilan yang menangani gugatan citizen lawsuit dan memberikan putusannya, yaitu misalnya pada tahun 2007, tepatnya 27 Mei 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutus perkara gugatan citizen lawsuit, yaitu bahwa Pemerintah cq Departemen Pendidikan Nasional dinilai telah lalai dalam memberi pemenuhan dan perlindungan HAM (khususnya hak atas pendidikan dan hak anak) terhadap warga negara yang menjadi korban ujian nasional. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga minta agar Pemerintah meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap sebelum melaksanakan ujian nasional. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan kasasi di Mahkamah Agung. (M.Dja’is, 2010: 14). Selain itu gugatan citizen lawsuit yang lain yaitu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 251/ Pdt/ G/ 1998/ PN Jkt Pst, fakta permasalahan hukum yang dialami oleh penggugat dan orang-orang yang diwakilinya adalah sama-sama warga DKI yang menderita demam berdarah. Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.73/Pdt.G/2006/PN.YK. tanggal 3 Mei 2007, gugatan ini berawal dari kejadian bencana alam gempa bumi yang menimpa Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat, baik kerugian materiil maupun kerugian immateriil sebagai akibat dari kelambanan serta ketidak responsifan negara/ pemerintah. Pemerintah dinilai tidak mampu memberikan perlindungan serta menjamin terpenuhinya hak – hak warga negara. Selain dapat mengefisiensikan dan mengefektifkan upaya penyelesaian sengketa yang merugikan masyarakat banyak, upaya gugatan perwakilan kelompok tentunya akan menguntungkan pengadilan maupun para pihak, yaitu karena menghemat waktu, biaya, dan tenaga. Akan tetapi kenyataannya baik masyarakat, hakim maupun pengacara/ penasehat hukum banyak yang belum memahami ataupun mengetahui cara pengajuan gugatan perwakilan kelompok khususnya mereka yang mengatasnamakan kepentingan umum guna membela kepentingan umum / masyarakat yang dirugikan. Lahirnya PERMA Nomor 1 Tahun 2002 merupakan langkah untuk mengantisipasi apabila ada pihak yang mengajukan gugatan perwakilan kelompok, sehingga dapat mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan dan transparan. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis akan mengadakan penelitian dengan judul: “PELAKSANAAN GUGATAN CITIZEN LAWSUIT MODEL PENYELESAIAN SENGKETA SECARA KELOMPOK DALAM PERBUATAN MELAWAN HUKUM” Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dalam penelitian ini penulis mengajukan rumusan masalah hanya pada: a. Bagaimana prosedur pengajuan gugatan citizen lawsuit di pengadilan ? b. Apa kendala dan hambatan yang dihadapi dalam pengajuan gugatan citizen lawsuit? c. Upaya hukum apa yang ditempuh untuk mengatasi hambatan tersebut? Bab II. Tinjauan Pustaka Gugatan Perdata Pengertian Gugatan Apabila suatu perkara tidak dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah perkara tersebut diajukan kepada pengadilan yang berwenang, yaitu dengan mengajukan gugatan. Adapun pengertian gugatan Sudikno, menyebutnya sebagai “surat gugatan” dengan istilah “tuntutan hak” sebagai tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”. (Sudikno, 2002: 48). Darwan Prinst (dalam Lilik, 2005: 38) menyebutkan “gugatan” adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang, mengenai suatu tuntutan terhadap lainnya, dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut. Bertitik tolak dari penjelasan di atas, maka yang dimaksud dengan gugatan perdata adalah gugatan yang mengadung sengketa hukum antara dua pihak atau lebih dalam bidang perdata yang pemeriksaan dan penyelesaiannya diserahkan dan diajukan ke pengadilan. Berdasar pengertian tersebut, maka upaya mengajukan gugatan merupakan pilihan penyelesaian sengketa yang ideal, hal ini untuk menghindari dan mencegah terjadinya eigenrichting. Oleh karena itu dalam penyelesaian suatu sengketa atau perkara melalui pengadilan dapat memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang bersengketa. Suatu gugatan menurut pandangan doktrina dapat disimpulkan bahwa dalam praktik seseorang atau badan hukum yang “merasa” dan “dirasa” bahwa haknya dilanggar orang lain lazim disebut dengan “penggugat” atau “eiser/ plaintiff”. Adapun orang/ badan hukum yang “diarasa” telah melanggar hyak orang lain disebut dengan “tergugat” atau “gedaagde/ dependant” (Lilik, 2005: 38). Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa para pihak yang berperkara terdiri dari penggugat dan tergugat. Penggugat adalah pihak yang mengajukan gugatan atau pihak yang memohon penyelesaian sengketa (Plaintif – Planctus the party who institute a legal action or claim), yaitu: pihak yang merasa haknya dilanggar. Adapun tergugat adalah pihak yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian (Defendant the party against whom a civil is brougt). Para pihak dalam gugatan perdata , baik penggugat maupun tergugat bisa berupa badan hukum maupun individu atau perseorangan. Setiap perkara perdata yang berada dalam pemeriksaaan pengadilan, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang saling berhadapan, yaitu pihak penggugat adalah orang yang mengajukan gugatan atau memohon penyelesaian sengketa (Plaintif = Planctus the party who institute a legal action or claim), yaitu pihak yang merasa haknya dilanggar, dan pihak tergugat yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian (Defendant the party against whom a civil is brougt), yaitu pihak yang dirasa oleh penggugat sebagai yang merugikan haknya (Yahya Harahap, 2006: 47) Para pihak dalam perkara perdata yang terdiri dari penggugat maupun tergugat ini bisa individu/perorangan maupun badan hukum. Badan hukum ini dapat bersifat publik (negara, propinsi, kabupaten, instansi-instansi pemerintah) dan dapat bersifat privat (PT, koperasi, perkapalan, perasuransian, yayasan). Subyek hukum yang berupa individu/perorangan tanggung jawab perdatanya secara pribadi, sedangkan subyek hukum yang berupa badan hukum, tanggung jawabnya adalah badan hukum itu sendiri, yang dalam hal ini diwakili oleh pengurus yang berwenang sesuai yang ada di dalam AD/ART perusahaan atau organisasi itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1661 KUH Perdata, yaitu bahwa “Para anggota atau perkumpulan tidaklah bertanggung jawab secara pribadi untuk perikatan perkumpulan” Gugatan yang ditujukan kepada badan hukum publik dialamatkan kepada pimpinannya. Gugatan terhadap negara, ditujukan kepada pemerintah yang dianggap bertempat tinggal di departemen. Akan tetapi jika pemerintah yang digugat, maka gugatan ditujukan kepada pimpinan departemen yang bersangkutan. Ciri-ciri gugatan perdata adalah: a). Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa hukum (disputes, differences). b). Sengketa tersebut melibatkan beberapa pihak, paling kurang dua pihak. c). Gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain berkedudukan sebagai tergugat. 2. Syarat dan unsur-unsur surat gugatan. Hukum acara perdata menentukan bahwa seseorang dapat mengajukan gugatan di muka pengadilan dengan terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan formal. Berdasarkan Pasal 118 HIR ditentukan bahwa gugatan yang diajukan harus disertai surat permintaan, yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Surat permintaan tersebut dalam praktek disebut dengan surat gugat atau surat gugatan (introductief rekest). Gugatan yang diajukan dapat dilakukan secara tertulis (Pasal 118 HIR), maupun secara lisan (Pasal 120 HIR). Gugatan yang diajukan secara lisan ini diperbolehkan, apabila pihak yang mengajukan gugatan buta huruf. Setelah gugatan diajukan, maka para pihak juga harus memperhatikan hal-hal yang harus dimuat dalam suatu surat gugatan agar gugatan tersebut dapat diterima sehingga mencegah pengajuan gugatan yang tidak sempurna (obscuur libel). Gugatan harus mengandung tiga unsur, yaitu: (Sudikno, 2002: 50) a. Identitas para pihak (identity of the parties); yang dimaksud identitas ialah ciri-ciri daripada penggugat dan tergugat, yaitu meliputi nama, alamat atau tempat tinggal, umur, status kawin atau tidak, pekerjaan dan agama. b. Fundamentum petendi/ posita atau dasar tuntutan, yang memuat uraian tentang kejadiaan atau peristiwa (factual grounds) serta bagian yang menguraikan tentang hukum, yaitu adanya hak dan hubungan hukum pihak-pihak yang berperkara (tergugat / penggugat) yang menjadi dasar yuridis dari pada tuntutan. c. Petitum atau tuntutan (onderwerp van den eis met een duidelijke en bepalde conclusie), berisi uraian mengenai tuntutan yang diajukan penggugat, yang meliputi dua macam tuntutan, yaitu tuntutan primair (primari claim) merupakan tuntutan pokok dan tuntutan sekunder (subsidiary claim) merupakan tuntutan pengganti apabila tuntutan pokok ditolak oleh hakim. Hukum acara perdata menentukan bahwa suatu gugatan perdata itu memiliki ciri khas yang harus dipenuhi, yaitu: (Yahya Harahap, 2006: 47-48) a. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa hukum (disputes, differences) b. Sengketa tersebut melibatkan beberapa pihak, paling kurang dua pihak. c. Gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain berkedudukan sebagai tergugat. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah ketika akan mengajukan gugatan, maka harus memperhatikan tempat di mana gugatan tersebut harus diajukan, hal ini diatur dalam pasal 118 HIR, yaitu : a. Gugatan perdata di tingkat pertama diajukan di Pengadilan Negeri dalam daerah hukum tempat tinggal tergugat (dikenal dengan Azas Actor Sequitur Forum Rei), jika tempat tinggalnya tidak diketahui maka di tempat diam tergugat. b. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugatan diajukan pada tempat tinggal salah seorang dari tergugat yang menjadi pilihan para penggugat. c. Apabila tergugat lebih dari seorang, namun tergugat satu sama lain dalam perhubungan sebagai perutangan pertama (debitur utama) dan yang lain adalah sebagai penanggung (penjamin), maka gugatan dimasukkan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat orang yang berhutang utama. d. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugatan akan diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat. e. Gugatan terhadap benda tidak bergerak, dapat diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri dimana barang tetap itu berada. f. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut. Pemilihan domisili ini hanya merupakan suatu hak istimewa yang diberikan kepada penggugat. Keberadaan peradilan perdata bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara anggota masyarakat. Ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian (breach of contract), perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige daad), sengketa hak milik (property right), perceraian, pailit, penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan pihak tertentu.(Yahya Harahap, 2006: 179) 3. Putusan pengadilan Setelah pemeriksaan perkara selesai, maka untuk mengakhiri suatu perkara hakim akan memberikan suatu putusan. Hukum acara perdata mengenal bermacam-macam jenis putusan, baik yang dimuat dalam HIR maupun yang tidak dimuat dalam HIR. Putusan pengadilan atau vonis merupakan pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Pasal 185 HIR, putusan dibedakan menjadi dua macam yaitu: Putusan akhir (eind vonis), yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim pada akhir pemeriksaan pokok perkara Putusan Sela (Tussen vonnis), yaitu putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Kemudian secara ringkas disebutkan bahwa putusan akhir menurut sifatnya dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (Taufik, 2004: 130) 1). Putusan Declaratoir, yaitu keputusan yang hanya menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata, artinya bahwa keadaan hukum yang dituntut oleh penggugat atau pemohon ada atau tidak ada, tanpa mengakui adanya hak atas suatu prestasi. Amar putusan declaratoir tidak memerlukan upaya memaksa dan tidak berisi penghukuman, karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan dari pihak lawan yang dikalahkan untuk melaksanakannya, sehingga hanya mempunyai kekuatan mengikat saja, misalnya tentang status anak yang syah, tentang hak milik atas suatu benda . 2). Putusan Constitutief, yaitu keputusan yang meniadakan sesuatu keadaan hukum atau yang menimbulkan sesuatu keadaan hukum baru, artinya tidak menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu. Amar putusan Constitutif tidak memerlukan upaya paksa dan tidak berisi penghukuman, karena perubahan keadaan atau hubungan hukum terjadi sekaligus pada saat putusan dibacakan oleh hakim, misalnya putusan yang dikeluarkan untuk memutuskan perkawinan, pernyataan jatuh pailit. 3). Putusan Condemnatoir, yaitu keputusan yang menetapkan bagaimana hubungannya sesuatu keadaan hukum (duduknya hubungan hukum), disertai dengan penetapan hukuman terhadap salah satu pihak. Amar putusan berisi penghukuman bahwa salah satu pihak harus melakukan prestasi, misalnya untuk membayar sejumlah uang, menyerahkan suatu benda. Ketiga jenis putusan tersebut, hanya putusan Condemnatoir yang perlu dilakukan eksekusi, apabila pihak yang kalah dalam perkara tersebut tidak mau melaksanakan isi putusan hakim secara sukarela maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk dilakukan eksekusi. Adapun putusan Deklaratoir dan putusan Constitutief tidak perlu dilakukan eksekusi, karena pada saat hakim membacakan putusan maka keadaan hukum sudah berubah. Putusan sela yang dikenal dalam hukum acara perdata dibagi menjadi empat macam, yaitu: (Lilik Mulyadi, 2009: 157-158) 1). Putusan preparator (preparatoir vonnis), yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim guna mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara. Sifat dasar dari putusan preparator adalah tidak mempengaruhi pokok perkara, misalnya putusan yang menetapkan bahwa gugat balik (gugatan dalam rekonvensi) tidak diputus bersama-sama dengan gugatan dalam konvensi, atau putusan yang menolak/ menerima penundaan sidang disebabkan alasan yang tidak dapat diterima, dan sebagainya. 2). Putusan interlokutor (Interlocutoir vonnis), yaitu putusan sela yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar berisikan perintah pembuktian dan dapat mempengaruhi pokok perkara, contohnya putusan berisi perintah untuk mendengar keterangan ahli, putusan tentang beban pembuktian kepada salah satu pihak agar membuktikan sesuatu, putusan dengan amar memerintahkan dilakukan pemeriksaan stempat (descente), dan sebagainya. 3). Putusan provisionil (putusan takdim/ provisionil vinnis), yaitu putusan (karena adanya hubungan dengan pokok perkara) menetapkan suatu tindakan sementara bagi kepentingan salah satu pihak berperkara. Putusan provisionil yaitu putusan yang dijatuhkan sehubungan dengan tuntutan dalam pokok perkara/tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan, misalnya pada perkara perceraian, sebelum perkara pokoknya diputuskan, si isteri minta agar diperkenankan meninggalkan tempat tinggal bersama selama proses berlangsung (Heniyatun, 2008: 76). Darwan Prinst (dalam Lilik, 2009: 42) menyebutnya gugatan provisionil sebagai suatu gugatan untuk memperoleh tindakan sementara selama proses perkara masih berlangsung. Adapun Sudikno Mertokusumo (2002: 223) menyebutnya sebagai putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutkan agar sementara diadakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. 4). Putusan insidentil (incidentieel vonnis), yaitu penjatuhan putusan hakim berhung adanya “insiden”, yaitu menurut sistim RV diartikan sebagai timbulnya kejadian yang menunda jalannya perkara. Contohnya, ketika pemeriksaan sedang berlangsung, salah satu pihak berperkara mohon agar saksinya didengar atau diperkenankan seseorang/ pihak ketiga masuk dalam perkara (vrijwaring, voeging dan tussenkomst), dan sebagainya. Putusan pengadilan dalam hukum acara perdata mempunyai tiga kekuatan, yaitu: (Heniyatun, 2008: 76) 1). Kekuatan mengikat, maksudnya adalah putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan perkata, yaitu dengan menetapkan hak dan apa yang merupakan hukumnya. Apabila para pihak yang berperkara tidak dapat menyelesaikan perkara mereka sendiri secara damai dan kemudian menyerahkan penyelesaian perkara yersebut kepada pengadilan, maka berarti bahwa para pihak tersebut akan tunduk dan patuh kepada putusan yang dijatuhkan pengadilan. Oleh karena itu putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tersebut harus dihormati oleh pihak-pihak yang berperkara denga tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan putusan. Jadi putusan pengadilan tersebut mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang berperkara. 2). Kekuatan pembuktian; yaitu bahwa putusan pengadilan selalu dituangkan dalam bentuk tertulis. Putusan pengadilan yang tertuang dalam bentuk tertulis ini merupakan akte otentik, yang dapat digunakan sebagai alat bukti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaannya. Adanya putusan pengadilan maka ada kepastian hak dan kepastian hukum tentang suatu persoalan dalam suatu perkara yang telah diputuskan tersebut. Oleh karena itu apabila ada gugatan baru mengenai hal (objek) yang sama, pihak-pihaknya sama, dan alasan yang sama pula, maka berdasarkan azas ne bis in idem, maka gugatan tersebut harus dinyatakan ditolah. 3). Kekuatan eksekutorial; putusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, maksudnya adalah mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa terhadap pihak yang tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Putusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial karena peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat irah-irah dalam kepala putusan pengadilan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa”, tersebut yang memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan pengadilan. B. Gugatan Citizen Lawsuit 1. Pengertian gugatan perwakilan kelompok Sebelum membahas mengenai gugatan Citizen Lawsuit, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai gugatan perwakilan/ kelompok. Pasal 1 huruf (a) PERMA Nomor 1 Tahun 2002 menyebutkan mengenai pengertian gugatan perwakilan kelompok yaitu suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Menurut Sudikno Mertokusumo (2008:1) gugatan perwakilan atau kelompok adalah suatu gugatan yang diajukan secara perwakilan atau oleh sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama dalam suatu perkara yang dilakukan oleh salah seorang anggota atau lebih dari kelompok tersebut tanpa menyebut anggota kelompok satu demi satu . Gugatan perwakilan atau kelompok memiliki berbagai macam bentuk, antara lain Class Action, Actio popularis, Citizen Lawsuit, Group Acties serta Legal standing. Masing-masing bentuk gugatan tersebut memiliki pengertian yang berbeda-beda. Di bawah ini, penulis akan memberikan gambaran mengenai gugatan perwakilan kelompok tersebut . Pertama, gugatan yang dikenal dengan istilah Class action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. (Info Hukum, 2005, www.pnpm-perdesaan.or.id/.../) Menurut Mas Achmad Santosa (2011: 1), menyebutkan Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang banyak, yang tidak banyak misalnya satu atau dua orang) sebagai perwakilan kelas (class representatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class member. (http://inclaw-hukum.com/index.php/hukum-perdata/hukum-acara-perdata/139-gugatan-c lass-action) Pengertian Class Action dalam Black’s law dictionary, yaitu sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili ke kelompok besar orang tersebut tanpa perlu menyebut satu peristiwa atau satu anggota yang diwakili. Untuk mengajukan gugatan Class Action, baik pihak wakil kelompok maupun anggota kelompok harus mengalami kerugian secara nyata (concrete injured parties). Tuntutan atau petitumnya dalam gugatan Class Action pada umumnya berupa ganti rugi secara materiil. Perwakilan kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya untuk dan atas nama mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok yang mereka wakili, tanpa memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok. Kemudian dalam pengajuan gugatan tersebut, tidak perlu disebutkan secara individual satu per satu identitas anggota kelompok yang diwakili, yang penting, asal kelompok yang diwakili dapat didefinisikan identifikasi anggota kelompok secara spesifik. Selain itu antara seluruh anggota kelompok dengan wakil kelompok terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan: kesamaan kepentingan (common interest); kesamaan penderitaan (common grievance); apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh anggota.(Yahya Harahap, 2006: 139) Gugatan semacam ini adalah hasil adopsi dari sistem hukum Anglo saxon, namun telah diatur dalam beberapa perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, misalnya UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kedua, gugatan yang dikenal dengan istilah Actio Popularis. Istilah Actio Popularis pada dasarnya sama dengan Citizen Lawsuit. Menurut Sundari, gugatan Actio popularis/Citizen Lawsuit ialah gugatan yang dapat diajukan oleh setiap warga negara, tanpa pandang bulu, dengan pengaturan oleh negara. (Sundari, 2002: 15) Menurut Kotenhagen-Edzes, dalam Actio popularis setiap orang dapat menggugat atas nama kepentingan umum dengan menggunakan Pasal 1401 Niew BW (Pasal 1365 KUH Perdata). Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Actio popularis adalah suatu gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang terhadap suatu perbuatan melawan hukum, dengan mengatasnamakan kepentingan umum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur adanya prosedur tersebut. Menurut Sjahdeini (dalam Sudikno Mertokusumo, 2008: 2) yang dimaksud dengan Actio Popularis/Citizen Lawsuit adalah prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan kepentingan umum secara perwakilan. Gugatan dapat ditempuh dengan acuan bahwa setiap warga negara tanpa kecuali mempunyai hak membela kepentingan umum, artinya setiap warga negara atas nama kepentingan umum dapat menggugat negara atau pemerintah atau siapa saja yang melakukan perbuatan melawan hukum, yang nyata-nyata merugikan kepentingan umum dan kesejahteraan luas. Hak mengajukan gugatan bagi warga negara atas nama kepentingan umum adalah tanpa syarat, sehingga orang yang mengambil inisiatif mengajukan gugatan tidak harus orang yang mengalami sendiri kerugian secara langsung dan tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakilinya. Actio Popularis memiliki kesamaan dengan Class action, yaitu sama-sama merupakan gugatan yang melibatkan kepentingan sejumlah besar orang secara perwakilan oleh seorang atau lebih, namun yang membedakan dengan Class action adalah dalam Actio popularis yang berhak mengajukan gugatan adalah setiap orang atas dasar bahwa ia adalah anggota masyarakat tanpa mensyaratkan bahwa ia adalah orang yang menderita kerugian secara langsung, sedangkan Class action tidak setiap orang dapat mengajukan gugatan, melainkan hanya satu atau beberapa orang yang merupakan anggota kelompok yang mengalami kerugian secara langsung. Kepentingan yang dituntut dalam Actio popularis adalah kepentingan umum yang dianggap kepentingan setiap anggota masyarakat juga, sedangkan dalam Class action kepentingan yang dituntut adalah kepentingan yang sama dalam suatu permasalahan yang menimpa kelompok tersebut. (Emerson Yuntho, 2005) Ketiga, gugatan yang dikenal dengan istilah Group Acties, yaitu gugatan yang dipakai sebagai suatu hak yang diberikan oleh suatu badan hukum untuk mengajukan gugatan mewakili orang banyak. Prinsip gugatan Group acties yaitu badan hukum dapat mewakili kepentingan orang banyak apabila dalam anggaran dasarnya mencantumkan kepentingan yang serupa dengan yang diperjuangkannya di pengadilan, yaitu memperjuangkan kepentingan orang banyak yang diwakilinya namun tidak boleh menuntut ganti rugi berupa uang. (Emerson Yuntho, 2005) Keempat, gugatan yang dikenal dengan istilah Legal standing, yaitu suatu tata cara pengajuan gugatan secara perdata yang dilakukan oleh satu atau lebih lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat atas suatu tindakan atau perbuatan atau keputusan orang perorangan atau lembaga atau pemerintah yang telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Beberapa perundang-undangan memberikan istilah Legal standing secara berbeda-beda. Legal standing dalam UU Lingkungan Hidup diistilahkan sebagai Hak Gugat Organisasi Lingkungan. UU Perlindungan Konsumen dikenal sebagai gugatan atas pelanggaran pelaku usaha yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, yaitu tertuang dalam Pasal 46 ayat (1) huruf (c), yang menyatakan “Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya organisasi tersebut untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Gugatan Legal standing tidak mengenal tuntutan ganti kerugian uang. Ganti rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas pada ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh organisasi tersebut. 2. Pengertian dan Dasar Hukum Gugatan Citizen lawsuit Tugas dan kewenangan badan peradilan di bidang perdata sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 tahun 1999 dan sekarang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004, adalah menerima, memeriksa dan mengadili, serta menyelesaikan sengketa diantara para pihak yang berperkara. Asas penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan serta transparan; berdasarkan hal tersebut maka badan peradilan berusaha menciptakan suatu cara atau prosedur guna memudahkan untuk beracara di muka pengadilan dengan menggunakan gugatan perwakilan kelompok. Salah satu gugatan perwakilan secara kelompok disebut gugatan Citizen Lawsuit. Bentuk gugatan ini sangat bermanfaat untuk mengefisiensikan dan mengefektifkan penyelesaian perkara, mengingat dalam gugatan Citizen Lawsuit ini berkaitan dengan bentuk gugatan yang mengatasnamakan kepentingan umum. Istilah Citizen Lawsuit dalam sistem hukum Common law pada prinsipnya sama dengan gugatan Actio Popularis yang dikenal dalam sistem Eropa Continental, namun sejak 1 Juli 2005 gugatan Actio Popularis telah dihapus di Negara Belanda. Istilah Citizen Lawsuit dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “gugatan warga negara”, adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan jenis tuntutan hak yang diajukan oleh warga negara. Narayama (dalam Pratiwi, 2012) menyebutkan bahwa gugatan warga negara atau Citizen Lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau pembiaran dari negara atau otoritas negara. Michael D.Axline (dalam Pratiwi, 2012) menegaskan bahwa Citizen Lawsuit memberikan kekuatan kepada warga negara untuk menggugat negara dan lembaga negara yang melakukan pelanggaran undang-undang atau yang gagal dalam memenuhi kewajiban dan mengimplementasikan undang-undang. Berdasarkan istilah dan beberapa pengertian tentang Citizen Lawsuit tersebut, maka dapat dipahami bahwa gugatan Citizen Lawsuit adalah gugatan warga negara yang ditujukan kepada pemerintah atau negara akibat pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh negara yang dianggap merugikan kepentingan publik. Tujuan dari gugatan Citizen Lawsuit adalah menghukum negara untuk mengeluarkan kebijakan publik yang tidak merugikan warga negara. Kebijakan publik diartikan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat publik yang dikeluarkan oleh pemegang otoritas publik. Secara sederhana Citizen Lawsuit adalah mekanisme gugatan warga negara terhadap penyelenggara negara berkenaan kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi atau orang per orang. Unsur kepentingan umum ini membuatnya menjadi tidak sama dengan gugatan Tata Usaha Negara walaupun kedua mekanisme ini sama-sama menggugat penyelenggara negara. Inti Citizen Lawsuit adalah menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Atas kelalaiannya tersebut negara dihukum untuk memperbaikinya dengan cara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (regeling) agar pelanggaran hak warga negara tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari. (Afridal Darmi) Mengingat bahwa perundang-undangan di Indonesia belum ada ketentuan yang mengatur mengenai acara memeriksa, mengadili dan memutus gugatan dalam bentuk Citizen lawsuit, padahal berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa tidak ada hukumnya atau hukumnya tidak jelas, melainkan wajib memeriksa serta mengadilinya, maka tata cara serta segala ketentuan yang berkaitan dengan gugatan citizen lawsuit masih mengikuti Hukum acara perdata yang berlaku pada saat ini yaitu dengan berpedoman pada HIR, yang mengatur perihal mengadili perkara perdata oleh Pengadilan Negeri. Untuk menghindari kevacuman atau kekosongan hukum maka Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok sebagai pedoman dalam mengefisiensikan serta mengefektifkan untuk berperkara di pengadilan sehingga tercipta peradilan yang sederhana, cepat, transparan dan dengan biaya yang ringan. 3. Para Pihak yang terlibat dalam Gugatan Citizen Lawsuit. Berdasarkan pengertian gugatana Citizen Lawsuit tersebut di atas, maka dapat dijabarkan karakteristik gugatan Citizen Lawsuit. Karakteristik pertama, penggugat adalah warga negara yang bertindak mengatasnamakan seluruh atau sebagian Warga Negara Indonesia. Penggugat dalam hal ini cukup membuktikan bahwa dirinya adalah Warga Negara Indonesia. Penggugat tidak harus merupakan individu atau kelompok warga negara yang dirugikan secara langsung oleh negara. Oleh karena itu penggugat tidak harus membuktikan kerugian materiil yang telah dideritanya sebagai dasar gugatan, berbeda dengan gugatan perdata biasa. Berbeda dengan gugatan yang menggunakan mekanisme gugatan perwakilan kelas (class action), penggugat dalam Citizen Lawsuit secara keseluruhan adalah mewakili Warga Negara Indonesia, tidak perlu dipisah-pisahkan menurut kelompok kesamaan fakta dan kerugian sebagaimana dalam class action. Penggugat memberikan notifikasi (pemberitahuan) berupa somasi kepada penyelenggara negara, yang berisi kelalaian negara dalam pemenuhan hak-hak warganya. Pemberitahuan dilakukan oleh penggugat kepada tergugat sebelum gugatan di daftar dengan cara mengirimkan somasi kepada penyelenggara negara. Isi somasi tersebut adalah bahwa akan diajukan suatu gugatan Citizen Lawsuit terhadap penyelenggara negara atas kelalaian negara dalam pemenuhan hak-hak warga negaranya dan memberikan kesempatan bagi negara untuk melakukan pemenuhan atas tuntutan tersebut. Somasi ini diajukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum gugatan didaftarkan, namun karena belum ada satupun peraturan formal yang mengatur mengenai hal tersebut, maka ketentuan ini tidak berlaku mengikat. Kedua, tergugat adalah penyelenggara negara, yaitu dari Presiden Republik Indonesia, menteri dan terus sampai kepada pejabat negara di bidang yang dianggap telah melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya. Ketiga, perbuatan melawan hukum yang digugat adalah kelalaian penyelenggara negara dalam pemenuhan hak-hak warga negara. Gugatan harus jelas menguraikan bentuk kelalaian negara sehingga hak warga negara menjadi tidak terpenuhi. Hak warga negara yang gagal dipenuhi oleh negara juga harus dijelaskan. Keempat, surat gugatan, mekanisme ini ditandai oleh beberapa karakteristik khas, yaitu tuntutan (petitum) harus berisi permohonan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (regeling) agar perbuatan melawan hukum berupa kelalaian negara dalam pemenuhan hak warganya tersebut di masa yang akan datang tidak terulang lagi. Petitum tidak boleh berisi permohonan ganti rugi atau permohonan untuk membayar sejumlah uang. Hal ini karena yang digugat bukan kerugian materiil, maka penggugat tidak berhak minta ganti rugi secara langsung. Juga tidak diperbolehkan berisi permohonan agar hakim memerintahkan pemutusan atau pelaksanaan hubungan hukum perdata antar warga negara. Selain itu petitum juga tidak boleh berisi permohonan pembatalan atas suatu Keputusan Penyelenggara Negara (Keputusan Tata Usaha Negara) yang bersifat konkrit individual dan final, karena hal tersebut merupakan kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara. Terakhir, petitum juga tidak boleh memohon pembatalan atas suatu undang-undang, karena itu merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, dan tidak boleh minta pembatalan atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, karena itu merupakan kewenangan Mahkamah Agung. (Afridal Darmi, 2011) 4. Syarat Pengajuan Gugatan Citizen Lawsuit Gugatan Citizen Lawsuit merupakan bentuk gugatan secara perwakilan kelompok berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, yang keberadaanya telah mendapat tempat di dalam sistem hukum di Indonesia. Mekanisme gugatan Citizen Lawsuit di Indonesia yang pertama diawali dari gugatan Munir (alm) dan kawan-kawan tentang Penelantaran Negara terhadap TKI Migran yang dideportasi di Nunukan. Majelis Hakim Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Munir (alm) dan kawan-kawan tersebut, yaitu memerintahkan pemerintah Republik Indonesia menerbitkan pengaturan tentang perlindungan tenaga kerja. Hasilnya adalah diundangkannya Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentqang Penempatan dan perlindunngan Tenaga Kerja Indonesia. Mekanisme pengajuan gugatan Citizen Lawsuit diperlukan adanya persyaratan-persyaratan tertentu yang berbeda dengan gugatan perdata pada umumnya. Syarat tersebut nampaknya hampir memiliki kesamaan seperti model gugatan perwakilan secara Class Action. Syarat gugatan Citizen Lawsuit tersebut antara lain : a. Ada sejumlah besar penggugat (numerosity) Pada gugatan Citizen lawsuit, biasanya dilakukan oleh orang-orang yang merasa dirugikan karena perbuatan melawan hukum, namun dalam hal ini penggugat tidak harus merupakan kelompok warga negara yang dirugikan secara langsung oleh Negara. Penggugat tidak harus membuktikan kerugian materiil apa yang dideritanya sebagai dasar gugatan. Bentuk kelompoknya tidak perlu dipisah-pisah menurut kelompok kesamaan fakta dan kerugian karena penggugat secara keseluruhan adalah mewakili warga negara Indonesia. (Arko Kanadianto, 2008: 2) b. Adanya kesamaan kepentingan (commonality) Kepentingan yang diperjuangkan adalah kepentingan umum. Commonality, artinya adanya kesamaan soal hukum (question of law) dan fakta (question of fact) antara pihak yang diwakilkan (class members) dan pihak yang mewakilinya (class representative). (Shidarta, 2006: 67) c. Kesamaan tuntutan (typicaly) Typicaly, yaitu adanya kesamaan jenis tuntutan hukum dan dasar pembelaan yang digunakan antara class members dan class representative (Shidarta, 2006: 67). Gugatan Citizen lawsuit, pada umumnya tuntutan berupa tindakan tertentu, pelaksanaan kewajiban hukum. d. Adequacy of representative Kelayakan class reprentative dalam mewakili kepentingan class members. Ukuraqn kelayakan ini diserahkan kepada penilaian hakim. (Shidarta, 2006: 67) Mekanisme gugatan citizen lawsuit tidak perlu mensyaratkan hubungan hukum antara penggugat dengan pihak yang kepentingannya diwakili. C. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) 1. Pengertian perbuatan melawan hukum. Berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh pihak yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang berupa hak dan kewajiban. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya maka lazim disebut wanprestasi. Apabila dalam suatu hubungan hukum seseorang telah merugikan pihak lain tanpa adanya perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak maka disebut perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan “Setiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Rumusan Pasal 1365 KUHPerdata tersebut kurang begitu jelas, sehingga menimbulkan penafsiran dikalangan para sarjana hukum yaitu : Penafsiran perbuatan melawan hukum secara sempit. Sebelum tahun 1919 Hoge Raad, menafsirkan “perbuatan melawan hukum” secara sempit yaitu: 1). Suatu perbutan yang melanggar hak subyektif orang lain 2). Tindakan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku perbuatan dan dalam hal ini harus mengindahkan hak dan kewajiban hukum legal. Jadi perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan undang-undang, artinya perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum. Kewajiban hukum di sini adalah kewajiban yang ditentukan oleh undang-undang. Penafsiran perbuatan melawan hukum secara luas. Menurut Arrest H.R. tanggal 13 Januari 1919 yang terkenal dengan “Arres Lindenbaum Cohen“ menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum diartikan “berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak subyektif orang lain atau bertentangan dengan kesusilaan atau sikap hati-hati sebagaimana yang ada dalam lalu lintas pergaulan masyarakat terhadap diri sendiri atau barang orang lain.” Berdasarkan rumusan yang diberikan oleh Arrest HR tersebut, maka perbuatan melawan hukum adalah: 1). Melanggar hak orang lain Melanggar hak orang lain adalah melanggar hak subyektif seseorang. Hak subyektif adalah suatu hak khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang untuk digunakan bagi kepentingannya. Hak-hak subyektif yang diakui oleh yurisprudensi adalah: a). Hak-hak perorangan seperti kehormatan , kebebasan. b). Hak-hak atas harta kekayaan seperti hak-hak kebendaan. 2). Bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat (kewajiban hukum si pembuat). Kewajiban hukum adalah kewajiban yang didasarkan pada hukum. Baik tertulis (undang-undang) maupun tak tertulis (kebiasaan) 3). Bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Kesusilaan adalah suatu norma moral dalam kehidupan sehari-hari atau sebagai suatu pedoman hukum dalam bertingkah laku positif. Adapun bertentangan dengan ketertiban umum dalam arti mengganggu ketertiban lingkungan. 4). Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri sendiri atau barang orang lain. Perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan adalah: a). Perbuatan yang mengakibatkan orang lain mengalami suatu kerugian b). Perbuatan yang membahayakan nyawa atau harta benda orang lain c). Perbuatan yang tidak sesuai dengan norma-norma kesusilaan d). Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka dapat dipahami sebenarnya ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata bukan merupakan pengertian perbuatan melawan hukum, ketentuan tersebut mengandung arti bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi orang lain membebankan kewajiban ganti rugi bagi pelaku perbuatan melawan hukum karena salahnya mengganti kerugian. Oleh karena itu bahwa ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata tersebut hanya sebagai pedoman bahwa apabila seseorang akan mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum supaya berhasil, maka harus memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu: 1. Harus adanya perbuatan melawan hukum. 2. Adanya kesalahan. 3. Adanya kerugian. 4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Ad.1. Adanya perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain atau bertentangan dengan kewajiban si pembuat itu sendiri artinya bahwa suatu perbuatan tersebut melanggar undang-undang. Ad 2. Adanya Kesalahan. Apabila seseorang harus bertanggung jawab berdasarkan perbuatan melanggar hukum Pasal 1365 KUH Perdata maka orang tersebut harus membuat kesalahan. Kesalahan adalah perbuatan yang sengaja atau tidak sengaja, yang mana perbuatannya tersebut dapat dibuktikan oleh pihak lain yang menuntut ganti rugi si pelaku tersebut, maksudnya adalah kesalahan si pelaku yang harus dibuktikan bahwa dalam situasi tertentu seseorang yang berpikir secara normal dapat memikirkan kemungkinan timbulnya akibat-akibat dari perbuatannya tersebut. Ad 3. Adanya kerugian. Adanya kerugian (scade) bagi korban merupakan syarat agar gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) dapat dipergunakan. Kerugian yang timbul dari suatu perbuatan melawan hukum dapat dibedakan atas: Kerugian yang bersifat materiil, yaitu kerugian terhadap harta kekayaan, yang meliputi kerugian yang diderita dan keuntungan yang tidak diterima. Kerugian bersifat immateriil, yaitu kerugian yang sifatnya tidak bisa diraba, misalnya kehilangan kebebasan atau rasa takut. Ad 4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Mengenai hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga pelaku dapat dipertanggungjawabkan, maka harus mencari tahu siapa yang menjadi sebab dari kerugian itu atau siapa yang menimbulkan akibat kerugian tersebut. Untuk mengetahui hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan, maka ada dua teori : Teori Conditio Sine Quanon/Ekuivalensi Bahwa suatu sebab dapat dianggap sebagai suatu peristiwa. Kemudian syarat-syarat yang ada adalah perlu untuk timbulnya akibat. Apabila ada salah satu syarat saja tidak akan terjadi akibat. Oleh karena itu tiap-tiap syarat dapat dianggap sebagai sebab. Teori ini dalam perkembangannya tidak dapat dipakai (sebagai teori jauh), karena hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian tidak dapat dipertanggung jawabkan. Teori ini dikemukakan oleh Von Buri. Teori Adequat / Sebab Akibat. Bahwa akibat dari perbuatan yang melawan hukum harus dapat diduga lebih dahulu (Von Kris). Bahwa suatu peristiwa dianggap sebagai akibat dari suatu peristiwa lain. Apabila peristiwa yang pertama secara langsung diakibatkan oleh peristiwa kedua, maka menurut pengalaman masyarakat dapat diduga akan terjadi. Contoh : si penjual dapat menduga bahwa pembeli akan menderita rugi kalau barang yang dibelinya tidak datang. (Subekti, 2004: 48) Kalimat “karena kesalahannya menimbulkan kerugian”, dalam Pasal 1365 KUHPerdata artinya bahwa hubungan kausal itu harus timbul sebagai akibat perbuatan tersebut. Akibat yang dimaksud adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia normal dapat diharapkan sehingga menimbulkan kerugian. Sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, maka dalam undang-undang menyebutkan tiga macam perbuatan melanggar hukum dan sanksinya yaitu : Tiap perbuatan melanggar hukum terhadap tubuh dan jiwa seorang manusia, sanksinya adalah mengganti kerugian sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 1365-1369 KUH Perdata (gantirugi untuk semua perbuatan melawan hukum,ganti rugi untuk semua perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, ganti rugi untuk pemilik binatang danganti rugi untuk gedung yang ambruk) Perbuatan melanggar hukum terhadap tubuh dan jiwa seorang manusia, sanksinya adalah ganti rugi (bila sampai menimbulkan matinya seseorang), beaya penyembuhan dan pengganti kerugian dalam keadaan cacat dan luka. Yaitu sesuai yang diatur dalam Pasal 1370-1371 KUH Perdata. Perbuatan melanggar hukum terhadap kehormatan seseorang atau penghinaan terhadap nama baik seseorang misalnya memfitnah atau mencemarkan nama baik seseorang, sanksinya adalah Pasal 311 KUHP (Pidana). Akibat hukum yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum yaitu berupa gugatan pengganti kerugian. Bentuk ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang menimbulkan kesalahan pada pihak yang dirugikan. pengganti kerugian karena perbuatan melawan hukum yaitu : Dapat berupa uang (sebagai uang pemaksa) Pemulihan dalam keadaan semula (dengan uang pemaksa) Adapun gugatan Larangan untuk mengulangi perbuatan itu lagi (dengan uang pemaksa) Dapat meminta putusan hakim bahwa perbuatannya adalah perbuatan melawan hukum. Rumusan yang ada di dalam Pasal 1365 KUH Perdata itu bukan merupakan pengertian dari perbuatan melawan hukum, artinya bahwa pengertian otentik tentang perbuatan melawan hukum itu tidak diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, rumusan /pengertian perbuatan melawan hukum itu diberikan oleh doktrin. Menurut Moegni Djojodirdjo, bahwa ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 1365 KUH Perdata tidaklah memberikan perumusan mengenai pengertian perbuatan melawan hukum, melainkan hanya mengatur bilakah seseorang yang mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, akan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian pada Pengadilan Negeri dengan sukses (Moegni Djojodirdjo, 1979: 17) Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat dan kegoncangan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar (langsung), melainkan juga, apabila peraturan-peraturan kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar (langsung). (Wiryono Prodjodikoro, 2000: 7). Menurut Keeton dalam bukunya berjudul “Tort and Accident Law”, juga mengemukakan bahwa suatu perbuatan melawan hukum sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat. Lebih lanjut Keeton juga memberikan beberapa definisi lain terhadap perbuatan melawan hukum, antara lain: (dalam Munir Fuadi, 2005:3-4) a. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi kontractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi. b. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, dimana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga merupakan suatu kecelakaan. c. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi. d. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi terhadap kewajiban trust, ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya. e. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual. f. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan. g. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak, seperti juga kimia bukan suatu fisika atau matematika. Pengertian perbuatan melawan hukum yang diberikan oleh para sarjana tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan/bertentangan dengan sifat melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain sekaligus mewajibkan bagi pelaku perbuatan melawan hukum untuk mengganti kerugian yang telah timbul sebagai akibat dari perbuatannya tersebut. Hal ini sesuai rumusan kalimat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi :“ ......... tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut ”. 2. Kesalahan dalam Perbuatan Melawan Hukum. Sebagaimana telah diketahui bahwa di dalam Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur kesalahan (Schuld) terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Syarat adanya kesalahan dalam Pasal 1365 KUH Perdata memberikan penekanan hanya pada si pelaku perbuatan melawan hukum bertanggung gugat atas kerugian yang ditimbulkannya, bilamana perbuatan dari kerugian tersebut dapat dipersalahkan padanya. Syarat kesalahan ini dapat diukur secara obyektif dan subyektif (Heniyatun, 2007: 61). Secara Obyektif harus dibuktikan apakah si pelaku dapat dimintakan pertanggung jawaban atau dapat dipersalahkan mengenai suatu perbuatan tertentu serta dapat mencegah timbulnya akibat-akibat dari perbuatannya. Secara subyektif, harus meneliti apakah si pelaku dengan keadaan jiwanya yang sedemikian rupa dapat menyadari maksud dan arti perbuatannya. Pengertian kesalahan dalam Pasal 1365 KUH Perdata mengandung dua unsur, yaitu : a. Mencakup unsur kesengajaan (Intention) Menurut Moegni Djojodirdjo, unsur kesengajaan merupakan bentuk dari kesalahan dalam arti sempit. Lebih lanjut, beliau mengatakan yang dimaksud dengan kesengajaan adalah bilamana orang melakukan suatu perbuatan atau pada waktu melalaikan kewajibannya sudah mengetahui akibat yang akan timbul yang menurut perkiraannya pasti akan merugikan orang, dan sekalipun ia sudah mengetahuinya (Moegni,1979: 66). Menurut Munir Fuadi, adanya unsur kesengajaan baru dianggap ada manakala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tersebut, telah menimbulkan konsekuensi tertentu terhadap fisik dan/atau mental atau properti dari korban, meskipun belum merupakan kesengajaan untuk melukai (fisik atau mental) dari korban tersebut. Unsur kesengajaan tersebut harus memenuhi elemen-elemen antara lain: (Munir Fuadi, 2005: 47) 1). Adanya kesadaraan (state of mind) untuk melakukan. 2). Adanya konsekuensi dari perbuatan. Jadi bukan hanya adanya perbuatan saja. 3). Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut “pasti” dapat menimbulkan konsekuensi tersebut. b. Mencakup unsur kelalaian/kealpaan (culpa) Bentuk kesalahan dalam arti luas disebut dengan kelalaian (culpa). Perbuatan melawan hukum dengan unsur kelalaian berbeda dengan perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan. Perbedaan tersebut terletak pada niat dalam hati dari pihak pelaku. Jika mengandung unsur kesengajaan, berarti ada niat dalam hati dari pihak pelaku untuk menimbulkan kerugian tertentu bagi korban, namun jika mengandung unsur kelalaian, maka tidak ada niat dalam hati si pelaku untuk menimbulkan kerugian, bahkan mungkin ada keinginan untuk mencegah terjadinya kerugian tersebut. Ilmu hukum mengajarkan bahwa agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai kelalaian, apabila memenuhi unsur-unsur pokok antara lain (Munir Fuadi, 2005: 73) 1). Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang semestinya dilakukan. 2). Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care). 3). Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut. 4). Adanya kerugian bagi orang lain. 5). Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul. Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam hukum perdata kedua unsur pembuat kesalahan, baik itu kesengajaan maupun kelalaian/kealpaan mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu si pelaku tetap bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian atas kerugian yang diderita oleh orang lain, yang disebabkan oleh suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kesalahan pelaku. Maka dalam hukum perdata tidak perlu dibedakan antara kelalaian/ kealpaan dan kesengajaan karena pertanggungan gugatnya sama. Ilmu hukum perdata menjelaskan bahwa untuk membentuk suatu perbuatan melawan hukum, bukan hanya berasal dari unsur kesalahan saja, namun ada pula perbuatan melawan hukum yang dilakukan tanpa adanya unsur kesalahan. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan tanpa adanya unsur kesalahan menuntut tanggung jawab tanpa kesalahan atau lazim disebut dengan istilah tanggung jawab mutlak (Strict liability/Absolute liability). Tanggung jawab mutlak mengandung pengertian suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan ataupun tidak, dalam hal ini pelaku dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya dia tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, kekuranghati-hatian atau ketidakpatutan (Munir adi, 2005: 173). Akibat dari perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian bagi si korban. Pasal 1365 KUH Perdata tidak menentukan ganti kerugian (schade) yang harus dibayar karena perbuatan melawan hukum, yang ada ketentuan ganti kerugian untuk wanprestasi, yaitu Pasal 1243 KUH Perdata. Untuk menentukan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat diterapkan secara analogis ketentuan-ketentuan ganti kerugian karena wanprestasi. Secara garis besar, kerugian yang disebabkan oleh suatu perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian materiil maupun kerugian immateriil. Pada umumnya pelaku perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharusnya diperoleh oleh korban (kerugian materiil), maupun kerugian yang berupa rasa ketakutan, terkejut, sakit, dan kehilangan kesenangan hidup (kerugian immateriil) sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Pasal 1246 KUH Perdata, yang berbunyi : “ Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berhutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tidak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut di bawah ini “ Ada juga konsep ganti kerugian yang dikemukakan oleh Munir Fuadi (2005: 134), beliau berpendapat bahwa ganti rugi yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu: a. Ganti rugi nominal Jika ada perbuatan melawan hukum yang sifatnya serius, seperti perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan, tetapi tidak menimbulkan kerugian yang nyata bagi korban, maka kepada korban dapat diberikan sejumlah uang tertentu sesuai dengan rasa keadilan tanpa menghitung berapa sebenarnya kerugian tersebut. b. Ganti rugi kompensasi atau ganti rugi aktual Ganti rugi kompensasi (Compensatory damages) merupakan pembayaran kepada korban atas dan sebesar kerugian yang benar-benar telah dialami oleh pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum. Sebagai contoh dari ganti rugi kompensasi adalah ganti rugi atas segala biaya yang dikeluarkan oleh korban, kehilangan keuntungan / gaji, sakit dan penderitaan, termasuk penderitaan mental seperti stres, malu, jatuh nama baik. c. Ganti rugi penghukuman Ganti rugi penghukuman merupakan suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya. Besarnya jumlah ganti rugi tersebut dimaksudkan sebagai hukuman bagi pelaku perbuatan melawan hukum. Pada umumnya bentuk ganti kerugian atas kerugian yang dialami korban selalu dinilai dengan uang, akan tetapi berdasarkan putusan Hoge Raad tanngal 24 Mei 1918, ganti kerugian tidak harus berwujud uang. Atas dasar putusan tersebut, maka bentuk ganti kerugian selain uang dapat berupa pengembalian keadaan seperti semula, pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan pelaku sebagai perbuatan melawan hukum, larangan untuk melakukan suatu perbuatan maupun pengumuman dari suatu keputusan atau dari sesuatu yang telah diperbaiki. 3. Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan oleh Negara. Pelaku perbuatan melawan hukum dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak hanya oleh individu/ perorangan semata, namun dapat juga dilakukan oleh badan hukum privat dan badan hukum publik. Badan hukum privat/ perdata dibentuk berdasarkan hukum perdata dan disahkan oleh pemerintah. Badan hukum privat ini misalnya PT, koperasi, perkapalan, perasuransian, yayasan. Adapun badan hukum publik dibentuk dengan undang-undang oleh pemerintah. Badan hukum publik ini merupakan badan-badan kenegaraan, misalnya Negara Republik Indonesia/ pemerintah atau Pemerintah Daerah. Badan hukum publik dibentuk untuk menyelenggarakan pemerintahan negara. Negara berkedudukan sebagai badan hukum publik, mempunyai tugas dan kewajiban dalam lapangan hukum publik maupun lapangan hukum privat. Negara mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena tugas dari negara adalah sebagai pelindung dan penjaga kepentingan umum serta memajukan kesejahteran setiap warga negara. Suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum publik yaitu ketika menjalankan tugas pemerintahan dan kekuasaannya tidak berdasarkan undang-undang sehingga merugikan orang lain, oleh karena itu maka dapat digugat berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Tindakan yang dilakukan negara ini dapat berupa baik dalam bentuk mengeluarkan keputusan maupun melakukan tindakan-tindakan riil melalui aparatur pemerintahannya. Oleh karena itu, terlepas dari masalah kebijaksanaan (bleid), tidak tertutup kemungkinan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara/pemerintah tersebut dapat melampaui batas atau bertentangan dengan kewenangan yang ada padanya atau tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga dapat didalilkan bahwa ada unsur kelalaian dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa badan hukum publik (Negara/pemerintah) dapat digugat apabila terbukti melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) dan mengakibatkan kerugian bagi warga negaranya. Gugatan yang dapat diajukan apabila negara melakukan suatu perbuatan melawan hukum, selain gugatan biasa yaitu gugatan ganti kerugian, juga dapat berbentuk gugatan dengan model Citizen lawsuit. Bab III. Metode Penelitian A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum atau berpedoman pada segi yuridis yaitu berusaha menelaah kaedah-kaedah hukum / peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Tujuannya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap suatu masalah hukum agar dikaji dan diteliti dengan menggunakan dasar-dasar teori yang didapat dari berbagai kepustakaan berupa dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan ,serta buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Hal ini yang berkaitan dengan pelaksanaan dalam praktek gugatan Citizen lawsuit terhadap perbuatan melawan hukum. B. Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian lapangan yang nantinya diharapkan dapat mendukung penelitian kepustakaan, sehingga dapat melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. Sumber data dan informasi yang penulis gunakan antara lain : Data primer Adalah data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian di lapangan yang dilakukan melalui wawancara dengan responden, diantaranya adalah Hakim dan Pengacara/ Advokat di kota Magelang, Kabupaten Magelang dan Temanggung. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data-data yang memberikan penjelasan terhadap data primer. Data sekunder ini terdiri dari : a. Bahan hukum primair, meliputi peraturan perundang-undangan, antara lain : 1). HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) 2). Kitab Undang-undang hukum perdata 3). Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang pokok- 2002 tentang Acara Gugatan pokok kekuasaan kehakiman 4). PERMA Nomor 1 Tahun Perwakilan Kelompok. b) Bahan hukum sekunder, meliputi: Buku-buku, hasil penelitian, internet dan lain sebagainya. c) Bahan hukum tersier yang terdiri dari kamus hukum, kamus bahasa Indonesia dan lain sebagainya. C. Spesifikasi penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan ialah diskriptif-analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan tersebut. (Ronny, 1999, 97-98). Kemudian akan dilakukan analisa terhadap masalah tersebut. Spesifikasi diskriptif analisis dilakukan dengan menempuh langkah-langkah mengumpulkan klasifikasi dan analisis dari pengelolaan data, membuat kesimpulan dan laporan, dengan tujuan utama untuk membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara obyektif dalam suatu dipenelitian situasi. D. Populasi dan sampling Populasi adalah keseluruhan dari obyek pengamatan atau obyek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah gugatan perwakilan kelompok, adapun sampel yang diambil adalah Gugatan Citizen Lawsuit. Teknik sampling atau penetapan sampel yang digunakan adalah metode sampel bertujuan atau purposive sampling yaitu sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan atau penelitian subyektif dari peneliti, sehingga dalam hal ini peneliti menentukan sendiri responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi. ( Ronny, 1999, 59). E. Alat penelitian Alat yang digunakan untuk memperoleh data adalah sebagai berikut: 1) Wawancara (Teknik Interview) Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung responden dan atau narasumber. Metode yang digunakan adalah metode wawancara terarah yaitu: directive interview, dengan menggunakan pedoman wawancara, yaitu berupa daftar pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga diharapkan dapat memperoleh data yang akurat karena topik bahasan telah ditentukan sebelumnya sehingga tidak akan melebar/meluas. 2) Pustaka atau dokumen (Library research) Penelitian pustaka merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dengan cara mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, berupa undang-undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, internet dan lain sebagainya, untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah penelitian. F. Teknik penelitian Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Pustaka Dilakukan dengan mempelajari literatur dan arsip-arsip yang mendukung penelitian, serta didukung dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada. 2) Wawancara / Interview Dilakukan dengan metode wawancara terarah, dengan menggunakan pedoman wawancara, yaitu berupa daftar pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga diharapkan responden dengan bebas dapat mengutarakan hal yang berkaitan topik yang dibahas, dan diharapkan topik tidak melebar ataupun meluas. G. Analisis Data Setelah semua data terkumpul, baik data primer maupun data sekunder maka selanjutnya diolah dan dianalisa dengan metode kualitatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian dilakukan analisa dan selajutnya dilakukan pelaporkan. Teknik analisis data yang digunakan adalah secara kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis, dengan menganalisa data menggunakan asas-asas hukum, pendapat para ahli, dan landasan teori untuk selanjutnya dianalisa dan disimpulkan untuk mencapai kebenaran dan kejelasan masalah yang diteliti dan dibahas. Bab IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Prosedur Pengajuan Gugatan Citizen Lawsuit di Pengadilan. Gugatan perwakilan kelompok, khususnya yang dikenal dengan istilah Citizen lawsuit sudah mulai banyak dikenal dalam dunia peradilan di Indonesia, hal ini terbukti banyaknya gugatan yang diajukan oleh masyarakat terhadap penguasa karena akhir-akhir ini sering kali kepentingan umum tidak menjadi prioritas utama. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkadang kurang mendapat respon masyarakat akibat penetapan yang tertutup tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, guna memperjuangkan hak setiap warga negara atas nama kepentingan umum, maka setiap warga negara tanpa kecuali dapat menggugat negara atau pemerintah yang melakukan perbuatan melawan hukum yang secara nyata merugikan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat luas dengan mengajukan gugatan berbentuk Citizen lawsuit. Bentuk gugatan Citizen lawsuit ini merupakan angin segar yang mendorong kemajuan bagi sistem peradilan di Indonesia. Kehadiran gugatan semacam ini memang baru dikenal di Indonesia, mengingat gugatan Citizen lawsuit merupakan hasil adopsi dari negara-negara yang menganut sistem hukum Common law. Oleh karena itu, tentunya hal tersebut merupakan suatu pemikiran bersama bahwa bagaimana gugatan Citizen lawsuit tersebut bisa mendapatkan tempat dalam sistem hukum di negara Indonesia ? Untuk memperjelas permasalahan yang penulis angkat, maka penulis telah mengadakan wawancara/interview dengan beberapa responden untuk mendapatkan data-data, informasi maupun keterangan yang diperlukan. Adapun Responden yang penulis jadikan nara sumber adalah tiga orang hakim, yaitu H. Yulman, SH.,MH (Hakim PN Magelang), Syaeful Arif, SH.,MH (Hakim PN Mungkid), Yuli Hendro Santoso, SH.,MH (Hakim PN Temanggung); dan tiga orang advokat, yaitu M. Zazin, SH.,MH (Advokat Magelang), Agus Budiyanto, SH (Advokat Kabupaten Magelang) dan Bambang Yos, SH.,MH (Advokat Magelang). Sebelum membahas lebih lanjut mengenai prosedur pengajuan gugatan citizen lawsuit di pengadilan, maka terlebih dahulu penulis akan menguraikan pengertian gugatan Citizen lawsuit menurut pandangan/pendapat yang disampaikan oleh para responden, pada dasarnya para responden memberikan pengertian yang sama. Gugatan yang berbentuk Citizen lawsuit terdapat kekhususan. Kekhususan tersebut terutama terletak pada para pihak yang berperkara, yaitu warga negara sebagai penggugat dan pemerintah/ penguasa sebagai pihak yang digugat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa gugatan Citizen lawsuit adalah gugatan yang diajukan oleh warga negara kepada pemerintah yang terbukti melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang tercermin dalam setiap kebijakan yang dapat menimbulkan suatu kerugian bagi warga negaranya. Oleh karena itu, apabila ada warga negara yang merasa haknya dilanggar atau terabaikan, maka warga negara dapat melakukan gugatan terhadap negara/pemerintah, karena pemerintah dianggap telah lalai untuk berbuat sesuatu yang menjadi kewajiban hukumnya. Adanya kelalaian tersebut dapat didalilkan sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Sebagai contoh, kasus yang telah diputus oleh hakim Mahkamah Agung dengan Nomor Perkara 2947 K/Pdt/1988 tanggal 28 November 1990 dalam kasus lubang Riool. Pada kasus tersebut terungkap fakta bahwa pemerintah Kota Madia Medan dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menurut Mahkamah Agung, penguasa dalam hal ini walikota Medan beserta aparatnya lalai berbuat sesuatu yang menjadi kewajiban hukumnya yaitu tidak menutup atau memberi tanda peringatan yang sengaja dibuatnya untuk mengalirkan genangan air hujan ke riool. Akibat dari kelalaian penguasa tersebut mengakibatkan kerugian bagi warga masyarakat, yaitu air yang meluap dapat menggenangi jalan. Hal ini tentunya akan sangat berbahaya bagi pengendara kendaraan yang tidak mengetahui adanya lubang sehingga mengakibatkan kecelakaan. Pada kasus tersebut penguasa menjadi pihak yang bertanggung jawab, karena hal tersebut telah menjadi tanggung jawabnya, dengan demikian walikota telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum oleh penguasa atau dengan kata lain telah terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa. Gugatan Citizen lawsuit merupakan gugatan perwakilan yang dilakukan oleh masyarakat atau organisasi masyarakat dan biasanya gugatan yang berbentuk Citizen lawsuit selalu ditujukan kepada penguasa/pemerintah, artinya siapa yang menjadi lawan adalah pemerintah dengan kebijakan-kebijakannya yang dikeluarkan oleh pemerintah itu sendiri. Bambang Yos advokat di kota Magelang, berpendapat bahwa gugatan warga negara terhadap negara disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu warga masyarakat tersebut merupakan korban dari kebijaksanaan negara melalui pejabat pemerintahan setempat ataupun bahwa warga negara yang mengetahui adanya kebijakan melalui pemerintah setempat yang merugikan warga negara atau merugikan kepentingan umum. Berdasarkan pengertian yang telah diberikan oleh para responden tersebut, maka penulis berpendapat bahwa setiap warga negara pada dasarnya dapat mengajukan gugatan untuk dan atas nama kepentingan umum guna melindungi warga negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah/ penguasa. Pilihan gugatan yang tepat apabila negara melakukan tindakan yang merugikan warga negaranya menurut penulis adalah gugatan berbentuk Citizen lawsuit. Gugatan Citizen lawsuit dirasa lebih sesuai dibandingkan dengan bentuk-bentuk gugatan perwakilan kelompok yang lain karena pada dasarnya gugatan berbentuk Citizen lawsuit tersebut hanya dapat diajukan oleh setiap warga negara kepada negara/pemerintah yang melakukan perbuatan melawan hukum guna memperjuangkan kepentingan umum yang telah dirugikan oleh negara, sedangkan bentuk gugatan perwakilan kelompok yang lain seperti Class Action, Group Acties maupun Legal Standing, pihak penggugat dapat berasal dari anggota masyarakat maupun organisasi tertentu yang memperjuangkan kepentingan yang sama dalam kelompok tertentu saja, sehingga dapat dikatakan bahwa gugatan Citizen lawsuit lebih sesuai dibandingkan bentuk-bentuk gugatan perwakilan kelompok yang lain apabila penggugat hendak menggugat negara/pemerintah. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana perkembangan gugatan Citizen lawsuit dalam sistem hukum di negara Indonesia, adakah perbedaan dalam penerapannya di Indonesia dengan negara asalnya? Gugatan Citizen lawsuit berawal dari negara Inggris pada abad ke 17, namun prosedur gugatan tersebut baru dirumuskan dalam Undang-undang di negara Amerika yaitu dengan lahirnya “ US Federal Rule Of Civil Prosedure” pada tahun 1938 dan telah diundangkan pada tahun 1966. Prosedur tersebut diikuti oleh negara-negara Common law terutama pada kasus-kasus yang berkaitan dengan lingkungan dan selanjutnya berkembang luas di berbagai negara di daratan Eropa Kontinental yang menganut sistem hukum Civil law, termasuk negara Indonesia. Negara Indonesia telah mengakomodir prosedur tersebut dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Gugatan Citizen lawsuit dapat diterima dan mendapat tempat dalam sistem hukum di Indonesia, hal tersebut lebih disebabkan oleh desakan arus globalisasi dan demokrasi di berbagai penjuru dunia, terutama yang berkaitan dengan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup, maka pada saat ini tidak ada lagi negara yang menganut secara murni sistem Common law atau Civil law, melainkan keduanya sudah saling bersinergi dan tidak perlu dibeda-bedakan demi tuntutan dan kebutuhan dalam praktek guna penegakan hukum dan rasa keadilan yang universal, sepanjang tidak bertentangan dengan kepatutan, hukum serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Alasan ini dijadikan pertimbangan bagi hakim untuk menerima kasus-kasus yang berkaitan dengan gugatan perwakilan/kelompok, salah satunya yaitu gugatan yang berbentuk Citizen lawsuit. Pada saat sekarang ini banyak perkara yang diajukan dengan gugatan Citizen lawsuit di beberapa Pengadilan di Indonesia, namun dari sekian banyak perkara tersebut, sebagian besar tidak diterima oleh Pengadilan. Hal tersebut disebabkan hakim sendiri belum ada kesesuaian pendapat mengenai bentuk gugatan Citizen lawsuit. Hakim yang sudah cukup moderat sudah dapat menerima kehadiran gugatan Citizen lawsuit, namun beberapa hakim masih ada yang tidak dapat menerima bentuk gugatan Citizen lawsuit, karena hingga saat ini memang belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tata cara serta segala ketentuan yang berkaitan dengan gugatan Citizen lawsuit. Hal ini dikemukakan oleh Yulman (Hakim PN Magelang), beliau pernah menangani gugatan Citizen lawsuit ketika menjadi hakim di PN Makasar. Terbukanya prinsip Citizen lawsuit tersebut harus tertuang dalam peraturan perundang-undangan tentang masalah yang bersangkutan. Di Indonesia sampai saat ini baru mengatur dasar-dasar gugatan perwakilan kelompok dalam tiga peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Adapun dasar hukum Pengadilan Negeri berwenang memeriksa gugatan Citizen lawsuit adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu adanya kewajiban hakim untuk menggali dan menemukan hukumnya, dan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 yang mengatur acara gugatan perwakilan kelompok. Fenomena yang berkembang dalam masyarakat, bahwa apabila terjadi kerugian yang dialami oleh sekelompok orang/masyarakat maka kelompok tersebut dapat mengajukan gugatan melalui perwakilan kelompok di pengadilan, meskipun perkara yang diajukan tersebut tidak berkaitan dengan masalah lingkungan, perlindungan konsumen maupun kehutanan, seperti misalnya kecelakaan pesawat, kecelakaan kereta api, kecelakaan kapal, yang sebenarnya tidak dapat diajukan dengan gugatan perwakilan kelompok, karena undang-undang belum mengatur dengan masalah yang bersangkutan, lagi pula hal tersebut bertentangan dengan konsep yang diterapkan di negara Common law yang menerapkan gugatan perwakilan kelompok hanya pada kasus lingkungan hidup. Negara Indonesia dapat menerima model gugatan Citizen lawsuit, karena perkembangan hukum di Indonesia semakin pesat, sehingga gugatan Citizen lawsuit ini merupakan suatu cara baru/terobosan bagi anggota masyarakat untuk mengajukan gugatan karena melihat adanya kebijakan yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, penerapan gugatan Citizen lawsuit sebenarnya tidak harus pada kasus-kasus lingkungan saja, melainkan dapat diperuntukkan untuk kasus-kasus di luar kasus lingkungan. Hal tersebut dikarenakan fakta riil ketika pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum melalui kebijakan-kebijakan yang berakibat kerugian bagi warga negaranya maka gugatan Citizen lawsuit bisa dilakukan. Bambang Yos, menambahkan gugatan perwakilan kelompok yang salah satunya berbentuk Citizen lawsuit sebaiknya dapat diterapkan untuk kasus di luar kasus lingkungan hidup, sepanjang mengakibatkan kerugian bagi warga negara karena kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Berasarkan beberapa pendapat dari para responden tersebut, penulis berpendapat sudah saatnya hakim harus dapat menemukan hukum dan menggali hukum yang berlaku dalam masyarakat (rechtvinding), sebab hakim tidak boleh menolak gugatan yang diajukan padanya dengan alasan peraturan/hukumnya tidak ada atau tidak jelas (recht weigering). Hal ini karena semakin banyak kasus-kasus yang merugikan warga negara yang disebabkan tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, meskipun di luar masalah pengeloaan lingkungan hidup. Model gugatan Citizen lawsuit pada kenyataannya mulai dapat diterima di dalam sistem peradilan Indonesia. Salah satu gugatan dengan menggunakan mekanisme Citizen lawsuit yang merupakan perkara pertama di Indonesia adalah gugatan yang diajukan atas nama Munir dan kawan-kawan tentang penelantaran negara terhadap TKI Migran yang dideportasi di Nunukan. Majelis hakim PN Jakarta Pusat dengan ketua majelis Andi Samsan Nganro mengabulkan gugatan Munir dan kawan-kawan. Majelis hakim memerintahkan pemerintah Republik Indonesia untuk menerbitkan pengaturan tentang perlindungan tenaga kerja. Hasil/ akibat dari putusan tersebut adalah keluarnya Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Berdasarkan hal tersebut dunia hukum Indonesia pantas berterima kasaih kepada almarhum Munir.(Afridal Darmi, 2011) Setelah gugatan yang pertama tersebut berhasil, maka mulai banyak yang mengajukan gugatan dengan model Citizen lawsuit. Salah satu contohnya di Pengadilan Negeri Yogyakarta yang menerima gugatan dengan model Citizen lawsuit. Gugatan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta degan Nomor Putusan 73/Pdt.G/2006/PN. YK. Putusan tersebut merupakan putusan sela, karena yang menjadi pedoman bagi Pengadilan Negeri Yogyakarta adalah kewenangan mengadili, yaitu kompetensi relatif, karena tempat tinggal/domisili para tergugat/pemerintah yang digugat berada/di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri Yogyakarta, sehingga seharusnya gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai tempat tinggal/domisili para tergugat/pemerintah. Alasan penolakan hakim dalam putusan sela tersebut bukan dikarenakan hakim menolak bentuk gugatan Citizen lawsuit, melainkan karena Pengadilan Negeri Yogyakarta tidak berwenang untuk mengadili secara relatif. Namun demikian sebagai gambaran mengenai kasus tersebut, penulis akan menguraikan secara singkat: Kasus yang telah diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan Nomor perkara 73/Pdt.G/2006/PN.YK pada tanggal 3 Mei 2007 tersebut berawal karena terjadinya bencana alam gempa bumi yang menimpa wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas, sehingga mereka berinisiatif untuk mengajukan gugatan yang melibatkan sejumlah besar orang yang ikut duduk sebagai pihak penggugat. Penggugat dalam kasus ini berjumlah 46 orang. Para penggugat yang mengajukan gugatan adalah manusia pribadi dan bukan badan hukum ataupun yayasan. Selanjutnya guna mengurus dan menyelesaikan perkaranya, para penggugat menunjuk sejumlah advokad yang tergabung dalam Koalisi Pekerja Hukum Yogyakarta (KPHY) berdasarkan surat kuasa yang telah dibuat pada tanggal 9 Oktober 2006, yang terdiri dari 27 orang advokad. Adapun para tergugatnya yang berdomisili di Jakarta Pusat, terdiri dari : 1. Negara Republik Indonesia cq Kepala Negara, Presiden Republik Indonesia 2. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Wakil Presiden Republik Indonesia : Ketua BAKORNAS PBP 3. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP cq Wakil Ketua BAKORNAS PBP : Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia 4. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP Republik Indonesia cq Wakil Ketua BAKORNAS PBP : Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia 5. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP cq anggota BAKORNAS PBP : Menteri Keuangan Republik Indonesia 6. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia 7. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri Perhubungan Republik Indonesia 8. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri pekerjaan Umum Republik Indonesia 9. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri Kesehatan Republik Indonesia 10. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri Sosial Republik Indonesia 11. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia 12. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP cq Anggota BAKORNAS PBP : Panglima Tentara Nasional Indonesia 13. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP cq Anggota BAKORNAS PBP : Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia 14. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP cq Anggota BAKORNAS PBP : Ketua Palang Merah Indonesia 15. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq Ketua BAKORNAS PBP cq Sekretaris BAKORNAS PBP : Kepala Pelaksana BAKORNAS PBP 16. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia 17. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq: Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan pembangunan Nasional Republik Indonesia 18. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 19. Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq: Ketua BAKORNAS PBP cq Anggota BAKORNAS PBP : Menteri perhubungan Republik Indonesia cq Kepala Badan Meteriologi dan Geofisika Republik Indonesia Berdasarkan surat kuasa khusus, penggugat mendalilkan bahwa mereka mengajukan gugatan untuk kepentingan mereka sendiri sekaligus mengatasnamakan kepentingan warga negara Indonesia yang menjadi korban serta yang berpotensi menjadi korban termasuk di dalamnya adalah warga Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkena dampak dari bencana alam gempa bumi. Para penggugat tersebut tidak memperoleh kuasa dari para pihak yang kepentingannya diwakili. Fakta dan permasalahan hukum yang dialami oleh para penggugat dan pihak yang diwakilinya adalah bahwa mereka sama-sama mengalami kerugian baik secara materiil maupun immateriil sebagai akibat dari kelambanan serta ketidak responsifan/ketidak siapan negara atau aparat pemerintah dalam menghadapi bencana alam gempa bumi di Indonesia, khususnya yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya. Pemerintah/tergugat tidak mampu untuk memberikan perlindungan serta menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara baik sebelum, ketika terjadi sampai dengan paska terjadinya bencana gempa bumi. Ketidaktanggapan tergugat dalam merespons bencana gempa bumi tersebut, terbukti dari segala kebijakan yang dikeluarkan guna penanganan dan penanggulangan gempa selama ini selalu bersifat top down dan tidak berperspektif pada korban, dimana korban lebih cenderung diposisikan sebagai objek dan bukan subyek, sehingga mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab. Akibat dari kebijakan tergugat yang tidak komprehensif, tidak konsisten dan berubah-ubah tersebut menimbulkan ketidakteraturan dan ketidakjelasan dalam penanggulangan bencana alam seperti gempa bumi sehingga menimbulkan dampak yang merugikan seperti timbulnya permasalahan yang berkaitan dengan penganggaran dan penggunaan dana untuk penanggulangan bencana dan rehabilitasi paska terjadinya gempa bumi. Masalah lain yang muncul adalah masalah distribusi bantuan dan jatah hidup bahkan sampai dengan munculnya konflik antar warga korban gempa dan konflik antara aparat daerah dengan warga. Hal yang lebih memprihatinkan adalah tergugat tidak mengambil pelajaran dan tidak mengidentifikasi permasalahan yang muncul dari kejadian-kejadian bencana gempa sebelumnya seperti gempa Aceh dan Sumatera Utara sehingga persoalan yang muncul akibat gempa bumi kembali terulang di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga menyebabkan kerugian bagi para penggugat serta masyarakat/korban gempa bumi, khususnya di wilayah Yogyakarta. Adapun tuntutan yang diajukan oleh para penggugat, adalah sebagai berikut: pertama yaitu memohon kepada majelis hakim agar menerima dan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya; kedua adalah agar menyatakan negara Republik Indonesia (tergugat) melakukan perbuatan melawan hukum; ketiga agar menyatakan tergugat bersalah telah melanggar ketentuan Undang-undang dan telah lalai dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak kepada warga negara yang berpotensi menderita kerugian maupun yang telah menjadi korban bencana alam; keempat agar menyatakan tergugat bersalah telah mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil pada warga negaranya yang menjadi korban bencana alam; kelima adalah mohon agar hakim menghukum tergugat untuk memenuhi hak-hak warga negara yang menjadi korban bencana alam; keenam adalah mohon agar menghukum tergugat untuk meminta maaf melalui media cetak dan elektronik; ketujuh agar menghukum tergugat untuk melakukan perubahan kebijakan penanganan bencana alam di Indonesia dengan segera membahas rancangan Undang-undang tentang bencana alam di Indonesia atau sekurang-kurangnya mengeluarkan Perpu tentang bencana alam di Indonesia dan mulai memberlakukannya paling lambat 90 hari sejak dijatuhkannya putusan Pengadilan tingkat pertama, sedangkan tuntutan yang terakhir/ kedelapan adalah membebankan biaya perkara menurut hukum. Para penggugat dalam menyusun surat gugatannya tidak menyebutkan identitas para pihak yang diwakilinya satu per satu, melainkan hanya menyebutkan identitas para penggugat yang maju ke muka Pengadilan serta kelompok yang diwakili kepentingannya, yaitu warga masyarakat yang menjadi korban bencana gempa di Indonesia pada umumnya dan wilayah Yogyakarta pada khususnya. Para pihak yang diwakili kepentingannya juga tidak membuat pernyataan untuk mengajukan keberatan atau persetujuan terhadap kapasitas penggugat yang mewakili kepentingan mereka serta terhadap diajukannya gugatan tersebut. Hakim dalam putusan selanya mempertimbangkan bahwa kedudukan para tergugat tidak beralamat atau bertempat tinggal di wilayah hukum Pengadilan Yogyakarta, maka dengan berpedoman pada pasal 118 HIR, Pengadilan Negeri Yogyakarta tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut, sehingga dalam amar putusan yang dibacakan oleh hakim menyatakan bahwa gugatan para penggugat dinyatakan tidak dapat diterima serta membebankan biaya perkara kepada penggugat sebesar Rp. 2.279.000,00. Setelah mencermati kasus yang terjadi di Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan Nomor Perkara 73/Pdt.G/2006/PN.YK, maka para responden memberikan tanggapan sebagai berikut, yaitu : bahwa sesungguhnya secara teoritis yang dapat duduk sebagai penggugat dalam gugatan Citizen lawsuit adalah setiap warga negara yang tentunya memenuhi persyaratan sebagai penggugat sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata, akan tetapi dalam perkara yang terjadi di Yogyakarta tersebut, yang dapat duduk sebagai penggugat tidak hanya memenuhi persyaratan seperti diatur dalam hukum acara perdata saja, melainkan penggugat tersebut harus benar-benar merasakan kerugian langsung akibat kelalaian kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Warga negara yang tidak berkepentingan atau tidak merasakan kerugian secara langsung tidak bisa ikut menggugat. Sebagai penggugat yang paling tepat adalah masyarakat Yogyakarta, karena masyarakat Yogyakarta lah yang merasakan dampak kerugian dari peristiwa gempa bumi serta kelalaian kebijakan pemerintah yang dinilai kurang komprehensif, riil, dan implementatif mulai dari hal yang bersifat preventive hingga rehabilitative. Pemerintah tidak tanggap dan tidak secara cepat dalam penanggulangan bencana alam gempa bumi di Yogyakarta. Fakta yang terjadi di lapangan, pemerintah melakukan penanggulangan bencana dengan pola top down serta tidak aspiratif terhadap kebutuhan korban, seperti permasalahan penyaluran dana bantuan yang tidak jelas/rancu kepada siapa-siapa saja yang berhak menerima bantuan tersebut, yang seharusnya disesuaikan dengan besar kecilnya kerugian yang dialami korban berupa kerugian materiil (rusaknya sarana dan prasarana) serta kerugiaan immateriil (rasa ketakutan paska gempa). Pendapat lain diungkapkan oleh Advokat, menyebutkan bahwa di dalam gugatan Citizen lawsuit, pihak penggugat tidak harus pihak yang merasa dirugikan secara langsung, akan tetapi pada prakteknya paling tepat jika warga negara tersebut merasakan kerugian (materiil/immateriil) secara langsung. Seharusnya dalam perkara tersebut pemerintah Yogyakarta diikutsertakan sebagai tergugat, karena dianggap mengetahui situasi serta kondisi di daerahnya. Bambang Yos menilai gugatan yang diajukan tersebut kabur karena penggugat tidak mencantumkan identitas lengkap dan jelas wakil kelompok dan anggota kelompoknya, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu per satu. Perihal prosedur pengajuan Citizen lawsuit, responden hakim maupun responden advokat menyatakan bahwa pengajuan gugatan tetap harus mengikuti peraturan yang diatur pada hukum acara perdata yang berlaku dan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Pada dasarnya setiap orang boleh berperkara di muka pengadilan, yaitu mereka yang dinyatakan mempunyai kemampuan untuk bertindak (handelingsbekwaamheid), tetapi ada pengecualian, yaitu mereka yang dinyatakan tidak cakap untuk bertindak (onbekwaam). Pihak yang tidak mampu bertindak ini adalah mereka yang belum dewasa dan berada di bawah pengampuan karena tidak sehat akal pikirannya, maka harus diwakilkan oleh orang tua/walinya. Seseorang dapat mengajukan gugatan di muka pengadilan harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan formal, yang dapat dilakukan secara tertulis melalui pengajuan surat gugatan (Pasal 118 HIR) dan dapat dilakukan secara lisan, bagi mereka yang buta huruf (Pasal 120 HIR). Para pihak baik penggugat maupun tergugat dalam setiap persidangan di Pengadilan dalam menyelesaikan perkaranya dapat dibantu oleh seorang kuasa hukum/ pengacara /lawyer (Pasal 123 HIR). Bambang Yos mengatakan bahwa seorang kuasa tersebut harus merupakan wakil yang sah. Apabila para pihak tersebut menunjuk seorang kuasa hukum/pengacara/lawyer maka harus disertai dengan surat kuasa yang isinya menyebut Nomor Perkara, Pengadilan mana dan di mana, perihal apa dan untuk apa surat kuasa tersebut diberikan. Gugatan Citizen lawsuit yang diajukan di Pengadilan Negeri Yogyakarta, telah menunjuk Jaksa Agung sebagai kuasa hukum negara karena yang menjadi tergugat adalah para pejabat penyelenggara negara yang meliputi Presiden, Wakil presiden sampai jajaran menteri dan pejabat tinggi negara lainnya. Gugatan Citizen lawsuit agar dapat diterima, gugatan harus memenuhi persyaratan formal surat gugat seperti yang diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri pada umumnya, yaitu harus mencantumkan identitas para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan (Fundamentum petendi), dan tuntutan (petitum). Selain itu juga harus memperhatikan persyaratan yang diatur dalam Pasal 3 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, yaitu: Identitas lengkap wakil kelompok, meliputi nama, alamat atau tempat tinggal, umur, status kawin atau tidak, pekerjaan dan agama Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebut nama anggota kelompok satu per satu. Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari kesulitan mengelola pengadministrasian anggota kelompok yang bersangkutan. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitannya dengan kewajiban melakukan pemberitahuan. Ketentuan ini diperlukan sebab yang tampil secara nyata dalam proses perkara hanya wakil kelompok, sedangkan identitas anggota kelompok tersebut tersembunyi atau in absentee di balik identitas wakil kelompok dan tidak hadir di forum persidangan. Oleh karena itu, apabila suatu saat diperlukan pemberitahuan kepada anggota kelompok, perlu diterangkan keberadaan mereka dalam surat gugatan sehingga langkah tindakan pemberitahuan itu dapat terlaksana dengan efektif. Dasar gugatan (Fundamentum petendi/Posita), seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, baik yang teridentifikasi maupun yang tidak teridentifikasi dikemukakan secara jelas/rinci. Posita ini juga harus memuat rincian tentang kejadian/peristiwa (factual grounds); selain itu juga memuat bagian yang menguraikan tentang hukumnya, yaitu adanya hak dan hubungan hukum pihak-pihak yang berperkara (penggugat/tergugat) yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan. Jika peristiwa-peristiwa yang dijadikan sebagai dasar tuntutan tersebut tidak membenarkan tuntutan, maka bisa dikatakan gugatan tersebut tidak berdasarkan hukum, sehingga gugatan akan dinyatakan tidak diterima (Niet ontvankelijk verklaard), sedang apabila peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan tersebut tidak diajukan, maka dapat dikatakan bahwa gugatan tersebut tidak beralasan sehingga gugatan akan ditolak. Gugatan perwakilan kelompok dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda. Tuntutan (petitum). Perihal tuntutan yang diajukan dalam gugatan Citizen lawsuit, para responden yaitu hakim dan pengacara menyimpulkan bahwa secara teoritis gugatan Citizen lawsuit tidak menuntut ganti rugi secara materiil dan financial, melainkan berisi permohonan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur kepentingan umum (regeling) agar perbuatan melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak-hak warga negara yang dilakukan oleh negara tersebut tidak akan terulang lagi dimasa yang akan datang. Akan tetapi dalam praktek sering terjadi tuntutan yang diajukan oleh penggugat adalah berupa uang ganti rugi. Hal tersebut bisa terjadi karena hingga saat ini belum ada satupun peraturan formal yang mengatur mengenai hal tersebut. Apabila tuntutan yang diajukan oleh penggugat berupa uang ganti rugi (monetary damages), maka diterapkan suatu mekanisme preliminary certification test kepada anggota kelas agar melakukan option in atau option out. Option in adalah prosedur yang dilakukan anggota kelas dengan memberikan penegasan bahwa mereka benar-benar anggota kelas, sedangkan option out adalah kesempatan anggota kelas untuk menyatakan dirinya keluar dari gugatan, sehingga tidak terikat dengan putusan hakim. Mekanisme preliminary certification test tersebut harus dilakukan guna penentuan siapa-siapa yang berhak mendapatkan uang ganti rugi, sedangkan gugatan yang tuntutannya hanya berupa permintaan deklaratif atau injunction seperti perkara yang terjadi di Yogyakarta, mekanisme tersebut tidak diperlukan. Petitum dalam gugatan Citizen lawsuit seharusnya tidak mengajukan tuntutan ganti rugi secara materiil yang berupa sejumlah, melainkan berisi permohonan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur untuk kepentingan umum (regeling) agar perbuatan melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak-hak warga negara yang dilakukan oleh negara tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. Selain beberapa persyaratan tersebut di atas masih ada persyarat lain yang harus dipenuhi dalam gugatan Citizen lawsuit, yaitu: Ada sejumlah besar penggugat (numerosity). Adanya kesamaan kepentingan (commonality). Kesamaan tuntutan (typicaly), pada umumnya tuntutan berupa tindakan tertentu, pelaksanaan kewajiban hukum. Mekanisme gugatan Citizen lawsuit tidak perlu mensyaratkan hubungan hukum antara penggugat dengan pihak yang kepentingannya diwakili. Petitum atau tuntutan yang dimohonkan bukan berisi tuntutan ganti rugi secara materiil, melainkan berisi permohonan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur untuk kepentingan umum (regeling), agar perbuatan melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak-hak warga negara yang dilakukan oleh negara tersebut tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. Adapun proses persidangan dalam gugatan Citizen lawsuit, tahapan sidangnya sama seperti perkara perdata biasa, akan tetapi ada sedikit perbedaan yaitu bahwa penggugat harus melakukan notifikasi atau somasi tersebih dahulu kepada pihak tergugat. Selanjutnya wakil kelompok dalam mewakili anggota kelompok/ masyarakat harus menyertakan surat kuasa dari anggota kelompok/masyarakat yang merasa dirugikan tersebut. Alasannya karena tidak diperbolehkan mengatasnamakan suatu kelompok masyarakat tertentu tanpa adanya bukti tertulis dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Hal tersebut diperlukan guna membuktikan hubungan hukum antara penggugat dengan pihak yang kepentingannya diwakili. Para responden khususnya para hakim menyatakan hal yang sama yaitu, bahwa penggugat harus memenuhi persyaratan yang berlaku dalam hukum acara perdata, yaitu ketika seorang kuasa mewakili kliennya maka harus dapat menunjukan surat kuasa yang menunjuk seseorang untuk mewakili sekelompok orang di muka pengadilan. Surat kuasa tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu sebagai bukti adanya hubungan hukum antara penggugat dengan pihak yang diwakili serta surat kuasa tersebut dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi hakim untuk memberikan putusan yang berkaitan dengan kemungkinan adanya tuntutan ganti rugi secara materiil, sebab jika penggugat tidak dapat memenuhi syarat formal yakni menunjukkan surat kuasa dari pihak-pihak yang diwakili maka putusan hakim hanya akan mengabulkan gugatan ganti kerugian materiil yang diderita oleh para penggugat yang maju ke pengadilan saja. Putusan tidak dapat diberlakukan terhadap para pihak yang kepentingannya diwakili oleh para penggugat. Adapun responden advokat mempunyai pendapat yang berbeda dengan responden dari para hakim, yaitu bahwa seorang kuasa dalam mewakili anggota kelompoknya tidak harus dengan surat kuasa dari masyarakat yang merasa dirugikan kepada wakil kelompok yang maju di muka pengadilan. Alasannya, bahwa penggugat yang menjadi wakil kelompok tersebut adalah orang yang juga mengalami kerugian atas dampak gempa bumi serta perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, sama halnya seperti anggota kelompok/masyarakat Yogyakarta yang lain, sehingga penggugat yang menjadi wakil kelompok di pengadilan tersebut dapat mengatasnamakan masyarakat di pengadilan. Hal ini sesuai yang disyaratkan dalam Pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Berdasarkan perbedaan pendapat antara responden hakim dan advokat/ pengacara tersebut, dalam hal ini team peneliti jika mendasarkan pada Pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, yaitu yang menyatakan: “Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok”, sependapat dengan para advokat/pengacara, karena bahwa gugatan Citizen lawsuit yang terjadi akhir-akhir ini sifatnya sangat kasuistik, artinya tergantung luasnya wilayah yang terkena pengaruh kebijakan pemerintah tersebut, artinya jika kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut membawa dampak yang merugikan masyarakat di wilayah tertentu/lingkupnya regional/lokal, seperti kasus yang terjadi di Yogyakarta dengan Nomor Perkara 73/Pdt.G/2006/PN.YK, maka hakim masih bisa untuk mengharuskan disertakannya surat kuasa khusus tersebut, akan tetapi jika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut membawa kerugian bagi seluruh masyarakat di Indonesia, sebagai contoh kasus kebijakan pemerintah atas kenaikan harga bahan bakar minyak yang dampaknya dapat dirasakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maka persyaratan surat kuasa khusus dari anggota kelompok kepada wakil kelompok akan sangat sulit dilaksanakan dan seharusnya tidak dipersyaratkan adanya surat kuasa tersebut. Hakim yang tetap mengharuskan adanya surat kuasa khusus dari anggota kelompok kepada wakil kelompok yang maju ke muka persidangan maka akan membuat asas peradilan yang murah, cepat dan sederhana seperti yang tertuang dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok kekuasaan kehakiman akan sulit terwujud. Setelah persyaratan gugatan terpenuhi, maka hakim akan memeriksa dan mempertimbangkan apakah telah sesuai dengan kriteria gugatan Citizen lawsuit, apabila hakim memutuskan bahwa tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah maka pemeriksaan gugatan selanjutnya akan dihentikan melalui suatu putusan hakim (Pasal 5 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok), akan tetapi jika hakim menyatakan sah, maka pihak penggugat diminta untuk membayar panjer (vorskot) biaya perkara, sebab apabila penggugat belum membayar panjer biaya perkara, maka panitera tidak akan memasukkan perkara tersebut ke dalam daftar perkara, kecuali jika penggugat tidak mampu untuk membayar biaya perkara dan mengajukan untuk dapat beracara secara cuma-cuma atau prodeo (Pasal 237 HIR). Setelah membayar panjer perkara, maka gugatan akan diajukan dan didaftar dalam daftar perkara oleh panitera dan selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk majelis hakim untuk memeriksa perkara tersebut. Hakim kemudian akan menentukan hari dan jam dilaksanakannya sidang dan memerintahkan memanggil kedua belah pihak agar hadir pada waktu yang telah ditentukan disertai saksi-saksi dan bukti surat yang akan dipergunakan (Pasal 121 ayat 1 HIR). Hakim juga akan memerintahkan kepada penggugat untuk mengajukan usulan model pemberitahuan kepada anggota kelompok sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 7 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, yaitu : Pemberitahuan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik Pemberitahuan melalui pengumuman baik yang ditempel di papan pengumuman maupun selebaran di kantor-kantor pemerintah seperti kantor kelurahan, kantor kecamatan/desa dan di kantor Pengadilan. Pemberitahuan yang disampaikan secara langsung kepada tiap individu anggota kelompok, sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan hakim dan sedapat mungkin praktis, efisien, dan efektif. Pemanggilan yang dilakukan kepada penggugat dan tergugat dilakukan melalui juru sita (Pasal 388). Pada waktu memanggil tergugat, selain diberi surat panggilan, juga diberi salinan surat gugatan, maksudnya supaya tergugat dapat mempelajari gugatannya terlebih dahulu, sehingga dapat mempersiapkan jawaban baik secara tertulis maupun lisan (Pasal 121 HIR). Apabila yang dipanggil tersebut bertempat tinggal di luar daerah hukum Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara, sebagai contoh perkara yang diajukan di Yogyakarta tersebut, jika tergugatnya adalah Presiden, Menteri dan pejabat tinggi negara lainnya yang semuanya berkedudukan di Jakarta Pusat, oleh karena itu, maka pemanggilan dilakukan melalui Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat, yaitu Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Proses pemeriksaan gugatan Citizen lawsuit sama seperti dalam perkara perdata pada umumnya. Pada tahap pemeriksaan perkara kemungkinan dapat terjadi perubahan-perubahan dalam surat gugatan, misalnya ada anggota kelompok yang ingin keluar dari keanggotaan kelompok. Jika penggugat/tergugat menggunakan kuasa hukum/lawyer/advokat, maka advokat tersebut harus dapat menunjukkan surat kuasa yang isinya penunjukan atas dirinya yang mengurus segala kepentingan kliennya. Salain itu, Penggugat/kuasa hukumnya harus mampu menunjukkan surat kuasa khusus yang diberikan anggota kelompok kepada wakil kelompok, apabila diperintahkan oleh hakim sabagai pertimbangan bahwa mereka benar-benar mewakili kepentingan hukum anggota kelompok. Setelah persyaratan administrasi terpenuhi, selanjutnya pemeriksaan substansi/ pokok perkara, yaitu diawali dengan pembacaan surat gugatan. Kemudian dilanjutkan dengan: Jawaban pertama tergugat. Jawaban ini bisa dibacakan langsung oleh terggugat maupun oleh pengacaranya. Jawaban tergugat dapat berupa eksepsi, konpensi atau rekonpensi. Replik oleh penggugat, yaitu jawaban penggugat untuk menanggapi jawaban pertama tergugat. Duplik oleh tergugat, yaitu jawaban tergugat untuk menanggapi replik. Putusan sela. Putusan sela ini terjadi apabila ada eksepsi dari tergugat. Putusan sela dapat diberikan di akhir bersamaan dengan putusan akhir/setelah pemeriksaan pokok perkara jika gugatan dinyatakan Obscur libel (gugatan kabur) atau eror in persona (gugatan salah alamat). Bukti tertulis penggugat. Hal ini jika penggugat dalam gugatannya mendalilkan bahwa pemerintah telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum karena telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan Undang-undang atau kecermatan yang patut, maka penggugat harus dapat membuktikan peraturan perundang-undangan mana yang telah dilanggar oleh tergugat sehingga dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Selain itu penggugat juga harus bisa membuktikan secara tertulis kerugian yang dialami masyarakat akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh negara/pemerintah/tergugat dengan kerugian yang dialami masyarakat/penggugat. Bukti tertulis lainnya bisa diperoleh dari data masyarakat langsung atau dari media massa yang beritanya dianggap valid dan terpercaya kebenarannya. Bukti tertulis tergugat. Tergugat harus dapat membuktikan secara tertulis kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah apakah telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Saksi penggugat. Saksi harus seseorang yang melihat, mengalami atau mendengar sendiri tentang suatu peristiwa. Pada perkara yang terjadi di Yogyakarta tersebut, misalnya saksi yang dihadirkan haruslah warga/masyarakat Yogyakarta yang mengetahui, mengalami atau melihat tindakan-tindakan dari pemerintah yang telah melakukan perbuatan melawan hukum. Saksi tergugat. Saksi yang dihadirkan oleh tergugat harus bisa memberikan keterangan bahwa apa yang dilakukan oleh tergugat (negara) telah benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesimpulan yang berisi ringkasan urutan jalannya persidangan dari awal sampai akhir yang dibuat oleh kedua belah pihak (penggugat/tergugat). Putusan. Bagian terakhir dari jalannya persidangan adalah pembacaan putusan hakim. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam suatu putusan, yaitu apabila tuntutan berupa uang ganti rugi dikabulkan dalam putusan, hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci, menentuan siapa yang berhak menerima, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-langkah yang ditempuh dalam proses penetapan pendistribusian. Pada tahap pendistribusian ini perlu diperhatikan antara lain : Transparansi administrasi penyelesaian. Keberadaan mekanisme pengawasan pelaksanaan. Kredibilitas para pengelola dana. Akan tetapi, jika tuntutan tidak meminta uang ganti rugi/ganti rugi materiil maka ketentuan seperti diatas tidak berlaku, karena bahwa dalam tuntutan perbuatan melawan hukum, penggugat selain memohon ganti rugi, dapat mengajukan permohonan lain, seperti memohon pengembalian ke dalam keadaan semula dengan mengeluarkan kebijakan yang lebih baik, meminta agar tergugat meminta maaf serta meminta tergugat tidak mengulangi perbuatan melawan hukumnya lagi.(Bambang Yos/advokat) B. Hambatan dalam pengajuan gugatan Citizen lawsuit Ada asas dalam perkara perdata bahwa pengadilan membantu para pencari keadilan dan harus berusaha mengatasi segala hambatan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Akan tetapi, untuk terlaksananya hal tersebut kadang terdapat beberapa kendala yang mengganggu atau memperlambat terselesainya suatu perkara. Menurut responden hakim yang pernah menangani perkara gugatan Citizen lawsuit, yaitu Yulman hakim Pengadilan Negeri Kota Magelang, ketika menjadi hakim di Pengadilan Negeri Makasar, kendala tersebut antara lain jika harus menghadirkan penggugat yang banyak prinsipalnya. Semakin banyak jumlah penggugat, maka akan semakin sulit mengelola gugatan tersebut. Kemudian jika harus menghadirkan pejabat yang didudukan sebagai tergugat biasanya agak sulit. Pengadilan menghadapi kendala pada masalah administrasi serta lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memeriksa perkara yang diajukan secara gugatan Citizen lawsuit. Pengadilan dalam memeriksa perkara perdata pada umumnya membutuhkan waktu maksimal 6 bulan, akan tetapi dengan semakin banyaknya penggugat, berarti waktu yang dibutuhkan semakin lama. Lamanya waktu tersebut terkadang sering disebabkan oleh para pihak yang tidak hadir dalam sidang, sehingga sidang sering ditunda. Akibatnya asas peradilan yang murah, cepat dan efisien tidak dapat tercapai. Selain itu, apabila penggugat belum melakukan notifikasi, maka hakim akan kesulitan untuk menggugurkan gugatan; maka jalan yang ditempuh dengan mengajukan gugatan itu sudah dianggap sebagai notifikasi atau ketika para pihak sudah pernah dilakukan perdamaian tetapi tidak tercapai, maka itu juga dapat dianggap sebagai notifikasi. Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa Model gugatan Citizen lawsuit sebetulnya bukan hal yang baru di dalam sistem peradilan di Indonesia. Akan tetapi, dari sekian banyak perkara gugatan Citizen lawsuit yang diajukan di Pengadilan sebagian besar tidak diterima (Niet onvtvankelijk verklaard) oleh Pengadilan. Pertimbangan hakim pada kasus-kasus yang melibatkan kepentingan umum seringkali menolak gugatan dengan model tersebut dengan alasan belum ada ketentuan secara positif dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu contoh di dalam pertimbangan hukum majelis hakim pada kasus “demam berdarah” yang telah In Kracht van Gewijsde dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 251/Pdt/G/1998/PN.Jkt.Pst. Fakta dan permasalahan hukum yang dialami oleh penggugat dan oranng-orang yang diwakilinya adalah mereka sama-sama warga DKI Jakarta yang menderita demam berdarah pada saat berjangkitnya penyakit tersebut di wilayah DKI Jakarta tahun 1988 dan harus dirawat di rumah sakit, bahkan banyak diantaranya yang meninggal dunia. Hakim dalam putusannya mempertimbangkan bahwa penggugat tidak dapat begitu saja mengatasnamakan kepentingan orang lain tanpa adanya surat kuasa dari orang yang diwakilinya. Hakim yang telah moderat mungkin tidak mengharuskan adanya surat kuasa tersebut. Hal ini bisa ditempuh dengan cara dibuat secara kolektif kepada kuasa hukumnya, hanya saja harus dilampiri foto copy kartu tanda penduduk supaya lebih jelas posisi penggugatnya apakah betul-betul sebagai pihak yang berkepentingan. Perbedaan penafsiran inilah yang sering menjadikan kendala bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang berkaitan dengan gugatan Citizen lawsuit dan menyebabkan keengganan bagi para pencari keadilan untuk mengajukan tuntutan hak yang melibatkan sejumlah besar orang. Kendala yang lain yaitu ketika harus melakukan pemeriksaan di tempat kejadian, karena perbuatan itu harus dibuktikan dengan pemeriksaan di tempat kejadian, akan tetapi tempat kejadian tersebut sulit dijangkau dan tempatnya jauh. Hal lain yang menjadi hambatan adalah ketika tergugatnya tidak hadir, tetapi sidang tetap harus berjalan, maka putusan yang dijatuhkan adalah verstek. C. Upaya yang ditempuh untuk mengatasi hambatan dalam pengajuan gugatan Citizen lawsuit Upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mengatasi kendala dalam pengajuan gugatan Citizen lawsuit, yang ditempuh oleh pihak pengadilan/hakim, adalah hakim harus mampu menemukan hukum (rechtsvinding) dalam menghadapi kasus yang diajukan padanya. Hakim dituntut untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang berkembang di masyarakat dan selalu menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan amanat yang dijalankan sebagai negara hukum dengan tetap menerima, memeriksa, dan memutus setiap perkara dengan berpegang pada landasan yuridis yang telah ada seperti HIR/Rbg yang mengatur mengenai hukum acara perdata serta PERMA Nomor 1 Tahun 2002, mengingat belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai gugatan berbentuk Citizen lawsuit. Selanjutnya hakim juga harus bertindak lebih bijaksana serta hakim dituntut untuk lebih cermat di dalam menafsirkan kejujuran dan kesungguhan dari wakil kelompok, agar tidak merugikan para pencari keadilan. Di samping itu hakim dalam mengambil sikap harus dengan cara yang elegan, misalnya dalam hal tiadak adanya notifikasi dari penggugat terhadap tergugat, maka hakim tidak serta merta menggugurkan gugatan penggugat; meskipun demikian hakim tidak boleh menyimpang dari hukum acaranya. Jika hambatan itu sifatnya hanya teknis saja, maka jalan keluarnya adalah dilakukan musyawarah oleh majelis hakim. Upaya lain yang ditempuh para pihak, khususnya penggugat harus lebih pro aktif, artinya keefektifan penyelesaian perkara perdata di pengadilan harus datang dari penggugat sendiri. Penggugat harus bisa bermusyawarah demi tercapainya tujuan kepentingan bersama sehingga dapat dihasilkan tuntutan yang diperjuangkan. Lain halnya pendapat Bambang Yos, bahwa penggugat harus menentukan pilihan bentuk gugatan sebagaimana spesifikasi kasus yang dihadapi penggugat dan masyarakat harus meningkatkan pengetahuan tentang gugatan Citizen lawsuit dengan sosialisasi ketentuan hukum yang ada sehingga timbul dilakukan dengan mengkampanyekan melalui media massa sehingga dapat mendorong semangat hakim untuk menemukan hukum dengan menggali, kesadaran dan keberanian pada diri masyarakat. Usaha sosialisasi tersebut bisa mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang berkembang di masyarakat. BAB V. Penutup A. Kesimpulan Sebagai bab terakhir dari suatu penelitian adalah penutup yang berisi kesimpulan-kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang akan penulis berikan adalah sebagai berikut : Pada dasarnya yang dimaksud dengan gugatan Citizen lawsuit adalah sebuah gugatan yang diajukan oleh setiap warga negara kepada pemerintah/negara yang melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang secara nyata telah merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas. Pihak penggugat tidak harus pihak yang mengalami kerugian langsung, akan tetapi dalam prakteknya lebih tepat jika warga negara tersebut ikut merasakan kerugian baik materiil maupun immateriil. Tuntutan (petitum) yang dimohonkan oleh pihak penggugat ada yang memohon ganti kerugian secara materiil, meskipun secara teoritis sebenarnya tidak diperbolehkan, karena tuntutan tersebut semestinya memohon agar negara mengeluarkan suatu kebijakan untuk mengatur kepentingan umum (regeling) agar perbuatan melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak-hak warga negara yang dilakukan oleh pemerintah/negara tidak terulang di masa yang akan datang. Penggugat yang ingin mengajukan gugatannya dalam bentuk Citizen lawsuit, maka harus memenuhi persyaratan formal dan mengikuti prosedur yang telah diatur dalam peraturan hukum acara perdata yang berlaku, yaitu tunduk pada ketentuan HIR (Het Herzeine Indonesisch Reglement) dan Rbg (Rechtglement Buitengewesten) serta aturan perundang-undangan yang di keluarkan oleh Mahkamah Agung, yaitu PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Mengenai kendala-kendala yang dihadapi dalam pengajuan gugatan, dapat timbul dari para pihak serta pihak Pengadilan sendiri. Pihak Pengadilan, kendala yang ditemui lebih bersifat administratif serta perbedaan penafsiran bagi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan gugatan Citizen lawsuit. Bagi pihak yang berperkara, kendala yang timbul dikarenakan belum ada aturan hukum positif yang mengatur secara khusus mengenai gugatan Citizen lawsuit serta kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gugatan Citizen lawsuit sehingga menyebabkan keengganan bagi pencari keadilan untuk menggugat menggunakan mekanisme gugatan Citizen lawsuit. Untuk mengatasi kendala yang terjadi di dalam gugatan Citizen lawsuit, tetap harus diupayakan oleh semua pihak, baik oleh Pengadilan maupun para pihak yang berperkara demi tercapainya kepastian hukum. Upaya tersebut meliputi usaha dari hakim untuk bisa menggali dan menemukan hukum (rechvinding) guna menghindari kekosongan hukum atau hukum yang tidak jelas akibat dari belum adanya suatu aturan positif yang mengatur secara khusus mengenai gugatan Citizen lawsuit. Usaha lain yang ditempuh hakim adalah berusaha untuk lebih cermat dan bijaksana dalam menafsirkan kejujuran dari wakil kelompok. Selain hakim, para pihak yang berperkara khususnya penggugat berupaya untuk lebih aktif supaya penyelesaian perkara di Pengadilan dapat tercapai. B. SARAN Saran yang dapat penulis berikan bagi para pihak guna meningkatkan/memperlancar proses pengajuan gugatan Citizen lawsuit adalah sebagai berikut : Kepada pihak Pemerintah melalui badan Peradilannya agar dapat mengakomodir gugatan Citizen lawsuit demi terwujudnya tuntutan perkembangan masyarakat modern, dengan mulai menyusun peraturan-peraturan tentang gugatan Citizen lawsuit, guna memberikan aturan hukum yang pasti mengenai prosedur, tata cara dan ketentuan formal yang harus dipenuhi oleh penggugat, apabila timbul suatu permasalahan yang berkaitan dengan surat kuasa dari anggota kelompok kepada wakil kelompok yang akan mewakili mengajukan gugatan ataupun di persidangan. Kepada para hakim, alangkah baiknya jika dapat lebih aktif memimpin sidang dan mengupayakan penyelesaian perkara-perkara yang diajukan dengan gugatan Citizen lawsuit serta hakim diharapkan untuk mempunyai pikiran yang luas dan tidak menggunakan penafsiran yang sempit sehingga dapat mengatasi hambatan di dalam memeriksa perkara yang berkaitan dengan gugatan berbentuk Citizen lawsuit. Kepada pihak penggugat agar gugatannya tidak ditolak sewaktu mengajukan gugatan Citizen lawsuit, maka pihak penggugat harus meneliti secara cermat dan seksama persyaratan-persyaratan formal yang harus dipenuhi sebelum gugatan tersebut diajukan, misalnya adanya syarat notifikasi. Kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya lawyer/pengacara seyogyanya dapat lebih meningkatkan pengetahuan mengenai gugatan Citizen lawsuit, baik melalui media elektronik maupun media cetak, berupa buku-buku, surat kabar maupun majalah, sebab masih banyak masyarakat yang belum mengerti tentang gugatan Citizen lawsuit. Khususnya bagi masyarakat yang ingin mengajukan gugatan terhadap penguasa, karena hak-haknya tidak terpenuhi. DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Heniyatun, 2007, Hasil penelitian tentang Tanggung Gugat Risiko dalam Tindakan Medis pada Rumah sakit di Magelang ------------, 2008, Buku Ajar: Hukum Acara Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Magelang. Lilik Mulyadi, 2005, Hukum acara perdata menurut teori dan praktik peradila Indonesia, Djambatan, Jakarta. -------------, 2009, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, Teori, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Munir Fuadi, 2005, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung. Moegni Djojodirdjo, M.A, 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Jakarta. Taufik Makarao, M, 2004, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta. Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Subekti, 2004, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta. Sudikno Martokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Sundari, E, 2002, Pengajuan Gugatan Secara Class Action, Universitas Atma Jaya Press, Yogyakarta. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI –PRESS, Jakarta. Wiryono Prodjodikoro, R, 2000, Perbuatan melawan hukum dipandang dari sudut hukum perdata, Mandar maju, Bandung. Yahya Harahap, M, 2006, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta. Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata HIR Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman PERMA NO.1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Unduh Arko Kanandianto, Konsep gugatan citizen lawsuit http://jurnaltransportasi.blogspot.com/2008_01_01_archive.html Emerson di Yuntho, Mekanisme Class Action, Class Action sebuah http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/mekanisme_class_action.pdf Indonesia, pengantar. Sudikno Mertokusumo. Actio Popularis. www.suddiknokuliah blogspot.com http://www.pnpm-perdesaan.or.id/.../Gugatan%20Class%20Action.pdf http://inclaw-hukum.com/index.php/hukum-perdata/hukum-acara-perdata/139-gugatan-class-acti on http:// www.acehinstitute.org/index.php.gugatan citizen lawsuit ceklipratiwi.staff.umm.ac.id/category/ceklis-paper/ Personalia Penelitian: Ketua Peneliti a. Nama Lengkap : Heniyatun, SH. MHum b. Jenis Kelamin : Perempuan c. NIS : 865907035 d. Disiplin Ilmu : Ilmu Hukum e. Pangkat / Golongan : Pembina / IVa f. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala g. Fakultas / Program Studi : Hukum / Ilmu Hukum h. Waktu Penelitian : 9 jam /minggu Anggota Peneliti a. Nama Lengkap : Nurul Maghfiroh, SH b. Jenis Kelamin : Perempuan c. NIS : 946908068 d. Disiplin Ilmu : Ilmu Hukum e. Pangkat / Golongan : Penata Tk. I / IIId f. Jabatan Fungsional : Lektor g. Fakultas / Program Studi : Hukum / Ilmu Hukum h. Waktu Penelitian 3. : 9 jam / minggu. Anggota Peneliti a. Nama Lengkap : Bambang Tjatur Iswanto, SH. MH b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. NIS : 866003011 d. Disiplin Ilmu : Ilmu Hukum e. Pangkat / Golongan : Penata / IIIc f. Jabatan Fungsional : Lektor g. Fakultas / Program Studi : Hukum / Ilmu Hukum h. Waktu Penelitian : 12 jam / minggu HALAMAN PENGESAHAN 1. Judul Penelitian 2. Bidang Penelitian 3. Ketua Peneliti a. Nama b. Jenis Kelamin : Pelaksanaan Gugatan Citizen Lawsuit Model Penyelesaian Sengketa Secara Kelompok dalam Perbuatan Melawan Hukum : Ilmu Hukum : : Heniyatun, SH., MHum : Perempuan c. NIS : 865907035 d. Disiplin Ilmu : Ilmu Hukum e. Pangkat / Golongan : Pembina / IVa f. Jabatan : Lektor Kepala g. Fakultas / Program Studi: Hukum / Ilmu Hukum h. Alamat : Jalan Tidar Nomor 21 Magelang i. Telephon / Faks / E-mail : 0293-362082 / 0293-361004 / webummgl @ ummgl.ac.id. j. Alamat Rumah : Jalan Duku III/ 226. Kalinegoro. Magelang 4. Jumlah Tim Peneliti : 3 (tiga) Orang a. Nama Anggota 1 : Nurul Maghfiroh, SH b. Nama Anggota 2 : Bambang Tjatur Iswanto, SH., MH 5. Lokasi Penelitian : Kota Magelang dan Yogyakarta 6. Jumlah Beaya yang : Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) Diusulkan Magelang, Maret 2012 Mengetahui, Peneliti, Dekan Fakultas Hukum Ketua Agna Susila, SH.MHum NIS. 865408052 Heniyatun, SH.MHum NIS. 865907035 Menyetujui, Ketua LP3M Drs. Suliswiyadi, Mag. Lampiran 2: DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI Ketua Peneliti a. Nama : Heniyatun, SH.MHum b. Tempat dan tanggal lahir : Surakarta, 13 Maret 1959 c. Pendidikan Terakhir : Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta d. Pengalaman Penelitian : Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul : Tanggung Jawab Rumah Sakit terhadap Pasien Akibat Medical Malpractice di Rumah Sakit Magelang.(2007) Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul: Penerapan Sumpah Pocong dalam Mengungkap Kebenaran Hukum.(2008) Sebagai anggota dalam penelitian yang berjudul: Kajian Hukum Islam Terhadap Air Seni Sebagai Salah Satu Alternatif Pengobatan.(2009) Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul: Aspek Perlindungan Hukum Bagi Konsumen pada Perjanjian Baku dalam Hubungan Antara Kekuatan Tawar dengan Penerimaan.(2010) Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul: Pembarengan Gugatan Pengganti Kerugian karena Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum dalam Transaksi Terapeutik. (2011) Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya, dan jika ada kesalahan saya akan bertanggung jawab sepenuhnya. Magelang, Maret 2012 Heniyatun, SH.MHum NIS. 865907035 Anggota Peneliti a. Nama : Nurul Maghfiroh, SH b. Tempat dan tanggal lahir : Magelang, 05 Januari 1969 c. Pendidikan Terakhir : S2 Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. d. Pengalaman Penelitian : Sebagai Ketuadalam penelitian yang berjudul: Persepsi Mahasiswa Fakultas Hukum Semester II Universitas Muhammadiyah Magelang tentang Pelaksaan Sanksi Pidana dalam Hukum Adat. Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul: Kejahatan-kejahatan yang Timbul Akibat Terjadinya Hubungan Luar Nikah (Suatu Kajian Empiris). Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul: Putusan Pengadilan “Ne Bis In Idem” dan Permasalahannya dalam Praktek. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Magelang) Sebagai Anggota dalam penelitian yang berjudul : Asimilasi sebagai Program Pembinaan dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Kesadaran Narapidana. Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul: Aspek Hukum Putusanya Perkawinan Akibat Fasakh. Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya, dan jika ada kesalahan saya akan bertanggung jawab sepenuhnya. Magelang, Maret 2012 Nurul Maghfiroh, SH NIS. 946908068 3. Anggota Peneliti a. Nama : Bambang Tjatur Iswanto, SH., MH. b. Tempat dan tanggal lahir : Semarang, 7 Mei 1960 c. Pendidikan Terakhir : Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Semarang d. Pengalaman Penelitian : Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul: Aspek Hukum Putusnya Perkawinan Akibat Fasakh, bulan Mei 2007 Sebagai Ketua dalam penelitian yang berjudul: Perlindungan hukum Franchisee terhadap Perjanjian Franchise, bulan Juni 2006 Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya, dan jika ada kesalahan saya akan bertanggung jawab sepenuhnya. Magelang, Maret 2011 Bambang Tjatur Iswanto,SH.MH NIS. 866003011