BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan

advertisement
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Hutan Rakyat
Hutan rakyat dalam pengertian menurut Undang-Undang No. 5/1967 dan
penggantinya, Undang-Undang No. 41/1999 tentang kehutanan, adalah hutan
yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk
membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang
tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara
mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuanketentuan atau aturan-aturan adat masyarakat lokal.
Pengertian hutan rakyat seperti itu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi.
Pertama, hutan-hutan yang tumbuh di atas tanah adat dan dikelola oleh keluargakeluarga petani sebagai anggota suatu kelompok masyarakat adat diklaim oleh
pemerintah sebagai hutan negara dan tidak termasuk hutan rakyat. Kedua, hutanhutan yang tumbuh di atas tanah milik dan diusahakan oleh orang-orang kota yang
menyewa atau membeli tanah masyarakat lokal masih dapat dikategorikan sebagai
hutan rakyat. Dengan demikian, pengertian di atas mempertentangkan “hutan
rakyat” dan “hutan negara” dilihat berdasarkan status pemilikan tanahnya atau
sifat dari obyek (tanah dan hutan), bukan berdasarkan pelakunya atau subyek yang
mengelola hutan. Seharusnya, definisi hutan rakyat menggunakan penekanan pada
hutan yang dikelola oleh rakyat, menunjuk pada pelakunya (Suharjito, 2000).
Gilmour dan Fisher (1998) dalam Hinrich (2008) menegaskan bahwa hutan
rakyat memiliki sekurang-kurangnya tiga keunggulan yang diakui secara luas,
ialah:
a. Pengakuan bahwa penduduk setempat mampu memainkan peran penting/kunci
dalam pengelolaan hutan
b. Pengakuan bahwa mereka memiliki hak yang sah untuk diikutsertakan
c. Pengakuan bahwa beberapa taraf partisipasi merupakan ciri-ciri khas dari hutan
rakyat
Diantara beragam istilah yang digunakan di Indonesia, PHBM (Pengelolaan
Hutan Berbasis Masyarakat) dan hutan rakyat memiliki beberapa keunggulan
yang mirip. Karenanya, beberapa pihak menggunakan PHBM secara bergantian
dengan hutan rakyat. Namun kendati demikian, hutan rakyat memiliki cakupan
yang lebih luas daripada PHBM, karena hutan rakyat dapat diterapkan pada
berbagai macam kawasan hutan, sementara PHBM mempersyaratkan perlunya
kontrol atas sumber daya alam oleh masyarakat setempat (Hinrich, et.al, 2008).
Menurut Michon (1983) dalam Hardjanto (2003), ada tiga tipe hutan rakyat
yaitu :
a. Pekarangan, mempunyai sistem pengaturan tanaman yang terang dan baik serta
biasanya berada di sekitar rumah. Luas minimum sekitar 0,1 Ha, dipagari mulai
dari jenis sayur-sayuran hingga pohon yang berukuran sedang dimana
tingginya mencapai 20 meter.
b. Talun, mempunyai ukuran yang lebih luas, penanaman pohon sedikit rapat,
tinggi pohon-pohonnya mencapai 35 meter dan terdapat beberapa pohon yang
tumbuh secara liar dari jenis herba atau liana.
c. Kebun campuran, jenis tumbuhan cenderung lebih homogen dengan satu jenis
tanaman pokok dan berbagai macam jenis tanaman herba.
Selanjutnya dinyatakan bahwa hutan masyarakat dalam bentuk kebun
campuran merupakan produsen kayu yang amat besar di daerah seperti Jawa yang
padat penduduk, dan dalam hal ini hampir tidak ada lembaga pemerintah yang
membantu masyarakat mengurus “hutan”nya.
Hasil penelitian Widayati, (2005) menyebutkan bahwa hutan rakyat bagi
masyarakat yang berada di desa-desa di lokasi penelitian merupakan salah satu
dari beberapa unsur penopang kelangsungan hidup mereka selain dari pertanian,
hasil ternak, dan sumber-sumber lain. Bagi sistem perekonomian yang lebih luas,
keberadaannya menjadi penyangga terakhir jaminan pasokan bahan baku untuk
industri perkayuan baik di lingkup administrasi Kabupaten Boyolali maupun yang
bersifat lintas batas administrasi kabupaten maupun propinsi (cross border
teritory).
Hasil penelitian lain mengenai karakteristik hutan rakyat dikemukakan oleh
Maryudi (2005), yaitu hutan rakyat mempunyai beberapa karakteristik unik yang
membedakannya dari model pengelolaan hutan lainnya di Indonesia, bahkan jika
dibandingkan dengan model family-based forest serupa yang ada di negara lain.
Kepemilikan lahan pada umumnya sangat kecil, namun relatif bebas dari tenurial
conflicts. Hal ini bisa menjadi salah satu keunggulan hutan rakyat dalam upaya
untuk meraih sertifikat lestari, karena hampir sebagian besar lembaga sertifikasi
hutan menempatkan property rights sebagai salah satu kriteria utama dalam
verifikasi pengelolaan hutan lestari. Model pengelolaan hutan ini sangat
bergantung kepada preferensi pengelolanya. Karena antara petani satu dengan
lainnya mungkin mempunyai “policy” yang bervariasi seperti mengenai
penentuan spesies, komposisi penanaman dan waktu pemanenannya, model
pengelolaan hutan rakyat tentunya sangat beragam pula.
2.1.2 Potensi Usaha Kayu Rakyat
Kayu dari hasil hutan rakyat, disebut juga kayu rakyat, memiliki potensi
tinggi terhadap pendapatan petani. Hal ini dikarenakan pasokan kayu baik untuk
ekspor maupun dalam negeri selagi hutan sebagai pemasok kayu, peranannya
terus berkurang, sehingga pasaran terhadap kayu rakyat akan selalu ada. Usaha
kayu rakyat memiliki kekenyalan (resilience) terhadap badai moneter yang
menerpa Indonesia pada era orde baru (Darusman, 2001). Usaha kayu rakyat juga
merupakan usaha yang kecil, namun tidak pernah mati, karena masyarakat
pemilik hutan rakyat cenderung menanam kayu pada lahan miliknya sebagai
tabungan investasi jangka panjang yang sewaktu-waktu dapat diuangkan.
Sayangnya, pemasaran oleh petani dengan cara seperti ini dapat merugikan petani.
Petani cenderung menjual kayu berupa tegakan, atau masih berupa batang kayu,
hanya sedikit sekali yang mulai melakukan pengolahan kayu tersebut dengan
adanya industri kecil.
Mengacu pada Scott (1976), Hardjanto (2003) berpendapat bahwa usaha
kayu rakyat di Jawa tidak lain dilakukan oleh keluarga petani kecil, biasanya
subsisten, yang merupakan ciri umum petani Indonesia. Golongan petani tersebut
memiliki kebiasaan mendahulukan selamat, artinya apa yang diusahakan prioritas
pertama adalah untuk mencukupi kebutuhan konsumsi sendiri.
Penduduk pedesaan pada umumnya memiliki lahan yang relatif sempit;
dengan lahan terbatas tersebut prioritas bercocok tanam adalah menanam tanaman
pangan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, kemudian tanaman buahbuahan dan yang terakhir adalah tanaman yang menghasilkan kayu. Keseluruhan
usaha tersebut, baik sebagai produsen maupun konsumen lazim disebut dengan
usaha kecil (Hardjanto, 2003).
Pengusahaan kayu rakyat diperkirakan memiliki prospek yang terus
membaik untuk skala bisnis maupun kebutuhan sendiri, seiring terus
meningkatnya kebutuhan kayu untuk berbagai industri. Misalnya bahan bangunan,
bahan furnitur, alat-alat rumah tangga, produk seni, dan industri terkait lainnya.
Budidaya hutan rakyat di Jawa dengan hasil utama kayu berkembang karena
adanya pasar untuk peralatan rumahtangga, untuk peti kemas, pulp, dan lain-lain.
Pasar itulah yang menentukan pilihan jenis tanaman. Kayu sengon lebih banyak
digunakan untuk peti kemas; pulp; perabot rumahtangga (meja, kursi, dipan,
almari); bahan bangunan (usuk, reng). Kayu jati lebih utama digunakan untuk
perabot rumahtangga dan bahan bangunan rumah yang tergolong mewah
(Suharjito, 2000).
Kayu rakyat merupakan salah satu komoditas yang memberikan pendapatan
bagi masyarakat dan mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam upaya
pemenuhan bahan baku industri kayu dan rumah tangga. Untuk mencegah
kerusakan hutan negara yang kian memprihatinkan akibat perambahan,
penjarahan, penebangan liar dan sebagai pengaman dan pengendalian peredaran
kayu rakyat di lintas Kabupaten, maka dipandang perlu untuk membuat petunjuk
pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat.
Potensi hutan alam sebagai penghasil kayu bagi pembangunan nasional
semakin hari semakin menurun, di sisi lain permintaan kayu terutama sebagai
bahan baku industri pengolahan kayu semakin bertambah. Salah satu alternatif
untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui pengembangan hutan rakyat.
Disamping mempunyai fungsi pendukung lingkungan, konservasi tanah dan
perlindungan tata air, hutan rakyat atau lahan-lahan lain diluar kawasan hutan juga
mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam upaya pemenuhan kebutuhan
bahan baku kayu yang dihasilkan dari luar kawasan hutan milik negara (Syahadat,
2001).
Syahadat (2001) berpendapat bahwa untuk lebih mengoptimalkan dalam
pemanfaatan kayu rakyat oleh masyarakat dan untuk mempermudah dalam
pemberian ijin pemanfaatan hutan rakyat, maka dalam pemanfaatan kayu rakyat
dari hutan rakyat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu : a) Pemanfaatan
kayu rakyat untuk memenuhi kebutuhan kayu sendiri atau digunakan sendiri, dan
b) Pemanfaatan kayu rakyat untuk dikomersilkan atau diperjualbelikan. Untuk
hutan rakyat di pulau Jawa, pemanfaatan kayu rakyat dapat meliputi keduanya.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan Hardjanto (2001) bahwa usaha hutan
rakyat oleh masyarakat di pedesaan Jawa, juga termasuk dalam kategori usaha
pertanian skala kecil dengan hasil baik untuk keperluan sendiri maupun untuk
dijual dan dapat menjadi komoditi ekspor.
Program sertifikasi hutan rakyat yang telah banyak dilakukan di berbagai
daerah di Indonesia dapat membantu menaikkan harga dan kualitas kayu rakyat,
karena terdapat kecenderungan pasar yang lebih tinggi terhadap kayu bersertifikat.
Sertifikasi hutan dianggap sebagai sebuah mekanisme yang bisa mewujudkan
keadilan dalam usaha hutan rakyat,
karena program ini mungkin bisa
memberikan insentif yang lebih baik kepada pengusaha hutan yang bisa
mengelola hutan secara lestari. Namun masih banyak kendala/tantangan yang bisa
menghambat proses sertifikasi hutan rakyat.
Hinrich (2008) menyebutkan bahwa kendala tersebut secara garis besar bisa
dikelompokkan menjadi dua, yaitu internal constraints, yang merupakan kendala
dari dalam diri petani hutan dan pengelolaan hutan rakyat itu sendiri, dan external
constraints, yang merupakan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan hutan
rakyat dan petani hutan, namun mempunyai peran yang sangat besar dalam
menentukan minat petani hutan untuk mengadopsi sertifikasi hutan.
2.1.3 Kelembagaan Hutan Rakyat
Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan terjemahan dari socialinstitution yang menurut Soekanto (1981) menunjuk pada suatu bentuk dan
sekaligus juga mengandung pengertian-pengertian yang abstrak perihal adanya
norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri dari pada
lembaga tersebut. Tetapi ada juga yang mempergunakan istilah pranata-sosial,
dimana definisi tersebut menekankan pada sistim tata kelakuan atau norma-norma
sebagaimana dinyatakan oleh Koentjaraningrat, bahwa “pranata sosial adalah
suatu sistim tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas
untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan
masyarakat.”Lembaga menunjuk pada bentuk struktur, sedangkan pranata sosial
menunjuk pada norma2 atau aturan main. Istilah lain yang digunakan sebagai
padanan dari social institution adalah kelembagaan sosial.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebuah lembaga merupakan
aturan atau norma-norma yang berlaku dan menjadi ciri daripada lembaga
tersebut. Kemudian apabila lembaga tersebut diwujudkan dalam hubungan antara
manusia, melalui sebuah bentuk yang memiliki struktur dapat dinamakan
organisasi. Sehingga pengertian disini menggambarkan bahwa lembaga dan
organisasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Hardjanto (2003) membagi kelembagaan usaha kayu rakyat menjadi tiga
bagian, yaitu: 1). Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat; 2). Kelembagaan
Sosial; 3). Kelembagaan Ekonomi. Kelembagaan pengurusan hutan rakyat
merupakan sebuah sistem pengelolaan hutan rakyat mulai dari pembibitan hingga
panen. Sistem tersebut meliputi luas lahan yang digunakan, penggunaan sarana
produksi tani (saprotan),
hingga produktivitas lahan. Kelembagaan sosial
meliputi hubungan kerja antar aktor, tenurial pohon, serta jaringan sosial yang
terbentuk dari proses hubungan kerja tersebut. Kelembagaan ekonomi meliputi
perolehan modal dan pemasaran kayu rakyat.
Hakim, (2009) menggambarkan bahwa produksi sengon rakyat di
Wonosobo mengalami peningkatan terutama hingga tahun 2007 diiringi dengan
peningkatan harga pada berbagai tingkat pelaku usaha sengon. Peningkatan
permintaan kayu sengon diduga disebabkan oleh semakin berkurangnya pasokan
kayu dari luar jawa, menurunnya produksi kayu dari kawasan hutan negara
(Perum Perhutani) dan semakin meningkatnya pangsa pasar dan jumlah unit
industri yang membutuhkan bahan baku kayu sengon untuk berbagai jenis produk
seperti kayu bangunan, moulding, papan lamina dan kayu lapis. Hal tersebut
menyebabkan kenaikan harga kayu sengon di setiap titik rantai tata niaga kayu
sengon, dimana pelaku pemasaran kayu sengon terdiri atas petani, penebas, depo,
supplier dan industri.
Sebagai upaya untuk meningkatkan hasil yang optimum dalam pengelolaan
hutan rakyat perlu adanya suatu persatuan antar petani (Haeruman, et.al 1990,
dalam Hardjanto, 2003). Suatu organisasi pengelolaan hutan rakyat dapat
dibentuk agar pola kerja pengelolaan lebih baik dan teratur. Etzioni (1982)
mendefinisikan organisasi sebagai unit sosial yang sengaja dibentuk dan dibentuk
kembali dengan penuh pertimbanan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Organisasi pada umumnya ditandai oleh ciri-ciri (1) adanya pembagian
dalam pekerjaan, kekuasaan dan tanggung jawab komunikasi yang sengaja
direncanakan untuk dapat meningkatkan usaha mewujudkan tujuan tertentu; (2)
ada satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi mengawasi pengendalian
usaha-usaha organisasi serta mengarahkan organisasi mencapai tujuannya; (3)
penggantian tenaga.
Sebuah lembaga merupakan aturan atau norma-norma yang berlaku dan
menjadi ciri daripada lembaga tersebut. Kemudian apabila lembaga tersebut
diwujudkan dalam hubungan antara manusia, melalui sebuah bentuk yang
memiliki struktur dapat dinamakan organisasi. Sehingga pengertian disini
menggambarkan bahwa lembaga dan organisasi merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Alternatif lembaga sebagai wadah bagi petani bisa berupa
koperasi atau lembaga kelompok tani jenis lainnya. Prinsip organisasi koperasi
adalah menghimpun manusia penduduk pedesaan yang mempunyai kesamaan
kepentingan agar mereka dapat lebih meningkatkan kesejahteraannya (Mubyarto,
1988).
Hardjanto (2003) menggunakan definisi Brodjosaputro (1989) bahwa
Koperasi Unit Desa adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial,
terdiri dari kumpulan orang-orang dalam kesamaan dan kebersamaan kepentingan
ekonomi serta bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Definisi
tersebut menggambarkan bahwa koperasi Unit Desa dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan pokok anggotanya, dimana anggota koperasi tersebut adalah
masyarakat.
Dalam pengembangan usaha kayu rakyat, diperlukan adanya kelembagaan
yang baik dengan kerjasama yang kuat antar petani. Hal ini bertujuan untuk
menopang posisi tawar petani dalam menghadapi pasar. Selain itu dengan adanya
kerjasama dan kelembagaan yang baik dalam usaha kayu rakyat ini, petani dapat
melakukan pengembangan usaha diantaranya membuka industri kecil untuk
pengolahan hasil kayu, dan pemasaran hasil tersebut tanpa perlu melalui
tengkulak atau secara langsung kepada konsumen.
Koperasi-koperasi tani digolongkan sebagai organisasi-organisasi yang
beranggotakan warga masyarakat di tingkat terbawah. Mereka adalah para
pengusaha sosial yang menyiapkan perbaikan kesejahteraan para anggota mereka.
Koperasi-koperasi dikontrol oleh orang-orang yang memperoleh layanan darinya,
dimana anggota-anggotanya merupakan pembuat keputusan penting. Walaupun
koperasi memiliki ragam jenis dan jumlah anggota, tujuan pokoknya adalah
membantu anggota-anggotanya memasuki pasar dan menjadi pemasok, untuk
mencapai tingkat kecukupan ekonomi yang layak, dan memiliki daya cengkeram
pasar dengan penawaran bersama, pemrosesan dan pembelian barang dan jasa.
Walaupun sebagian besar usaha-usaha bisnis masyarakat yang legal di
Indonesia berbentuk koperasi, perkembangan bentuk organisasinya acapkali
dikritik karena lemahnya praktek-praktek pengurusan dan kejelasan tugas yang
memungkinkan terjadinya kolusi dan korupsi. Dengan begitu, perlu ditelaah lebih
jauh, bagaimana pengembangan kelembagaan hutan rakyat yang sudah ada di
pulau Jawa untuk menjadi sebuah kelembagaan yang sesuai bagi usaha kayu
rakyat.
Semua hutan rakyat butuh pengembangan organisasi kemasyarakatan
khusus agar memenuhi persyaratan kesukarelaan, disertifikasi oleh pihak ketiga.
Sertifikasi diajukan sebagai pedoman standar, dan konsekuensinya, lembagalembaga baru perlu disusun agar sesuai dengan kebutuhan persyaratan sertifikasi.
LSM-LSM yang memfasilitasi menerjemahkan organisasi-organisasi yang
dipersyaratkan itu dengan mempromosikan kelompok-kelompok tani di desa dan
dusun, dan pada tahap berikutnya, membentuk asosiasi yang memayunginya di
tingkat kecamatan dan kabupaten.
Kelembagaan hutan rakyat yang sudah ada di beberapa tempat di pulau
Jawa, baik yang menggunakan sistem adat maupun koperasi atau kelompok tani,
memerlukan sebuah pengembangan kelembagaan untuk mengoptimalisasi sistem
usaha kayu rakyat. Kelembagaan yang sudah ada dapat diarahkan untuk menjadi
sebuah kelembagaan hutan rakyat yang sesuai sebagai produsen kayu rakyat untuk
komoditi ekspor, dengan juga tetap memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya
hutan tersebut. Pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk
memperbaiki
kemampuan
lembaga
dalam
mengefektifkan
penggunaan
sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Berbagai istilah akan muncul,
namun demikian semuanya memiliki tujuan peningkatan efektifitas penggunaan
sumberdaya suatu negara sehingga pembangunan yang dijalankan akan dapat
berhasil.
Dengan berbagai karakteristik hutan dan juga kelembagaannya, perlu
adanya sebuah pengembangan kelembagaan tersebut. Kelembagaan hutan rakyat
yang ideal untuk produksi kayu rakyat adalah sebuah lembaga yang dengan
sengaja diarahkan untuk mengoptimalisasi potensi usaha kayu rakyat tersebut,
dapat berupa koperasi atau gabungan dari kelompok-kelompok tani, yang setiap
individunya telah dilakukan pengembangan kapasitas agar dapat menjaga
kelestarian usaha demi tercapainya kesejahteraan setiap anggota tersebut.
Kemudian lembaga yang telah dibentuk tersebut dapat melakukan sertifikasi
hutan rakyat oleh pihak ketiga untuk meningkatkan daya jual kayu rakyat hasil
produksi dari hutan mereka. Dengan demikian, kelembagaan hutan rakyat yang
sesuai untuk produksi kayu rakyat merupakan penggabungan dari sistem
kelembagaan yang modern dengan kebudayaan masyarakat yang sudah ada.
2.1.4 Sistem Penghidupan Petani
Beragamnya mata pencaharian petani secara langsung akan berpengaruh
kepada jumlah pendapatan petani. Attar (2000) menyatakan bahwa besarnya
pendapatan dari satu sumber oleh petani mempengaruhi rata-rata pendapatan dari
sumber-sumber lainnya. Pendapatan petani dari hasil penjualan kayu gelondongan
atau pohon berdiri sangat bervariasi tergantung kebutuhan masing-masing petani.
jika kebutuhan uang banyak dan mendesak maka petani akan menjual kayu dalam
jumlah yang banyak dan sebaliknya kalau kebutuhannya kecil dan tidak terlalu
mendesak maka petani akan menjual dalam jumlah yang sedikit. Apabila
kebutuhan sehari-hari sudah terpenuhi maka petani tidak akan menjual kayu
tanaman pokok. Penghitungan besarnya pendapatan dari hasil hutan rakyat dengan
cara mengkalikan banyaknya pohon yang dipanen dan dijual dengan harga setiap
batangnya. Begitu juga pendapatan dari kayu bakar dihitung dengan mengkalikan
jumlah kayu bakar yang dijual dalam satuan tertentu seperti kubik atau pikul
dengan harga setiap satuan tersebut. Selanjutnya, Attar (2000) menyebutkan
bahwa hasil dari hutan rakyat memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap
pendapatan rumahtangga petani. besarnya kontribusi tersebut berbeda-beda
berdasarkan pemilikan lahan hutan rakyat.
Sistem nafkah yang dibangun sangat dipengaruhi oleh etika moral petani
baik dari level individu, keluarga, hingga komunitas. Etika moral akan mendorong
petani untuk berpijak pada basis sosial-kolektif ataukah individual-materialism
dalam membentuk strategi nafkahnya (Widiyanto et.al , 2010). Etika sosialkolektif akan membentuk sistem nafkah yang berorientasi kepada terbentuknya
jaminan sosial komunitas. Sementara etika individual-materialism akan bermuara
pada tindakan ekonomi yang berbasis rasional-instrumental (orientasi pada tujuan
memaksimalkan keuntungan).
Suharjito (2002), menjelaskan bahwa pengaturan alokasi tenaga kerja
keluarga/rumahtangga
dimaksudkan
untuk
dapat
akses
pada
beragam
matapencaharian. Akses pada beragam matapencaharian dicapai dengan cara
membangun hubungan sosial (social relations) dan jaringan sosial (social
networks). Beragam matapencaharian dilakukan dengan cara seorang anggota
keluarga melakukan lebih dari satu pekerjaan maupun setiap anggota keluarga
melakukan pekerjaan yang berbeda-beda.
Wilk (1984) dalam Suharjito (2002), menyebut tipe pekerjaan yang dapat
dilakukan oleh perorangan menurut urutan tertentu sebagai linear scheduling,
sedangkan pekerjaan yang membutuhkan sejumlah pekerja untuk berkoordinasi
pada waktu yang sama disebut simultaneous scheduling. Tipe pekerjaan
simultaneous scheduling dibedakan menjadi dua, yaitu (1) semua pekerja
melakukan pekerjaan yang sama pada waktu yang sama disebut simple
simultaneity, dan (2) semua pekerja melakukan pekerjaan yang berbeda pada
waktu yang sama disebut complex simultaneity. Kebutuhan tenaga kerja untuk
pekerjaan produktif yang lebih simultan dan sistem produksi yang beranekaragam
(berbagai pekerjaan harus dilaksanakan pada waktu yang sama) cenderung
membentuk rumahtangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak.
Dalam kegiatan pertanian, mengacu pada tipe pekerjaan dari Wilk (1984),
sebagian pekerjaan tipenya linear scheduling, misalnya menebas semak belukar,
membakar, dan mengolah tanah; sebagian lain tipenya simple simultaneity,
misalnya menanam, menyiangi dan memanen. Pekerjaan yang tipenya simple
simultaneity dapat juga dilakukan satu orang (linear scheduling) apabila lahannya
tidak luas dan waktunya cukup. Ketergantungan pada musim (waktu) dalam
kegiatan pertanian menuntut penyelesaian pekerjaan tersebut dalam waktu
tertentu, sehingga membutuhkan lebih dari satu orang tenaga kerja untuk bekerja
bersama-sama (simple simultaneity).
Pada rumahtangga petani berlahan sempit (<0,25 ha), rumahtangga
merupakan sumber tenaga kerja yang utama, jarang menggunakan tenaga kerja
dari luar rumahtangga dalam usaha taninya. Pekerjaan usahatani dilakukan dengan
tipe linear scheduling. Selanjutnya, Suharjito (2002) menyebutkan bahwa
rumahtangga petani berlahan luas (>1,0 ha) umumnya menggunakan tenaga kerja
dari rumahtangga lain, disamping tenaga kerja dalam rumahtangga, dan
menerapkan tipe simple simultaneity.
Bentuk penggunaan lahan (sawah, tegalan, atau kebun-talun) juga
menentukan pilihan sumber tenaga kerja (dalam atau luar rumahtangga). Dalam
pengusahaan lahan tegalan, suatu rumahtangga cenderung hanya menggunakan
tenaga dalam rumahtangga. Hal itu berkaitan dengan perbandingan penghasilan
dan biaya pada usahatani tegalan yang relatif rendah. Hal ini juga cenderung
terjadi pada usaha kebun-talun. Apabila usahatani hanya merupakan satu-satunya
matapencaharian rumahtangga dan tenaga kerja hanya dari dalam rumahtangga,
maka secara hipotetis semakin luas lahan pertanian yang diusahakan semakin
banyak jumlah anggota rumahtangga (Netting, 1993) dalam Suharjito (2002).
2.2 Kerangka Pemikiran
Setiap keluarga petani menempuh strategi nafkah dalam mempertahankan
atau meningkatkan kehidupannya termasuk melakukan aktivitas usaha kayu
rakyat. Usaha kayu rakyat tersebut merupakan salah satu bagian dari sistem
penghidupan keluarga petani.
Kelembagaan
Usaha Kayu Rakyat
 Pengurusan hutan rakyat,
sosial, ekonomi
 Menguatkan atau
menghambat
Strategi Nafkah Petani
 Ragam sumber nafkah
(usaha kayu rakyat;
pertanian lain; non
pertanian)
 Jumlah sumber nafkah
Peran Usaha Kayu Rakyat
 Kontribusinya terhadap
pendapatan rumahtangga
 Intensitas atau ketepatan
waktu panen
Matriks 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
: Berhubungan langsung
: Berhubungan tidak langsung
Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa sistem usaha kayu rakyat terdiri dari
empat sub sistem, yaitu (1) sub sistem produksi, (2) sub sistem pengolahan, (3)
sub sistem pemasaran, dan (4) sub sistem kelembagaan. Penelitian ini akan
membahas secara khusus mengenai sub sistem kelembagaan usaha kayu rakyat.
Mengacu pada Hardjanto (2003), kerangka kelembagaan usaha kayu rakyat
mencakup kelembagaan pengurusan hutan rakyat, kelembagaan sosial, dan
kelembagaan ekonomi.
Kelembagaan pengurusan hutan rakyat merupakan sebuah sistem pengelolaan
hutan rakyat mulai dari pembibitan hingga panen. Kelembagaan sosial meliputi
hubungan kerja antar aktor, tenurial pohon, serta jaringan sosial yang terbentuk
dari proses hubungan kerja tersebut. Kelembagaan ekonomi meliputi perolehan
modal dan pemasaran kayu rakyat.
2.3 Operasionalisasi Perumusan Masalah
1. Apa peran usaha kayu rakyat didalam strategi nafkah petani?
1.1)
Apa saja sumber nafkah rumahtangga petani?
1.2)
Apa perbedaan sumber nafkah utama dan sampingan petani?
1.3)
Apa posisi usaha kayu rakyat didalam strategi nafkah petani?
2. Bagaimana peran kelembagaan usaha kayu rakyat dalam mendukung atau
menghambat keluarga petani untuk akses pada usaha kayu rakyat?
2.1)
Seperti apa kelembagaan usaha kayu rakyat yang terdapat di Desa
Curug?
2.2)
Bagaimana akses keluarga petani di Desa Curug terhadap usaha
kayu rakyat?
2.3)
Bagaimana posisi petani kayu rakyat di dalam kelembagaan usaha
kayu rakyat?
2.4 Hipotesis Penelitian
1. Usaha kayu rakyat merupakan bagian dari strategi nafkah ganda petani.
2.
Semakin luas lahan yang dimiliki, petani cenderung menanam lebih
banyak pohon kayu.
3.
Hubungan-hubungan sosial yang terbentuk antar aktor usaha kayu rakyat
menentukan pilihan petani dalam melakukan usaha kayu rakyat.
4.
Petani kayu rakyat memiliki bargaining position terlemah dalam sistem
pemasaran kayu rakyat.
2.5 Definisi Operasional
Dalam mengukur variabel-variabel yang akan digunakan untuk penelitian
ini, maka perumusan dari masing-masing variabel akan dijabarkan dan dibatasi
secara operasional sebagai berikut :
No
1.
2.
Variabel Data
Pengukuran
Strategi
Nafkah Petani
Kayu Rakyat
Definisi Operasional
Pilihan sumbersumber nafkah yang
dimiliki oleh petani
untuk menghidupi
keluarganya
Kelembagaan
usaha kayu
rakyat
Kelembagaan usaha
kayu rakyat dibagi
menjadi :
Kelembagaan pengurusan
hutan rakyat meliputi :
a. Kelembagaan
pengurusan hutan
rakyat
b. Kelembagaan
sosial
c. Kelembagaan
ekonomi
Strategi nafkah petani terdiri
atas pilihan :
a. usaha kayu rakyat
b. pertanian non usaha kayu
rakyat
c. non pertanian
a. Penguasaan lahan
b. Pengurusan pohon kayu
rakyat
Kelembagaan sosial meliputi :
a. Norma atau aturan yang
berlaku terhadap usaha
kayu rakyat
b. Hubungan kerja antar aktor
dalam usaha kayu rakyat
Kelembagaan ekonomi
meliputi :
a. Perolehan modal petani
kayu rakyat
b. Pemasaran kayu rakyat
3.
Kontribusi
usaha kayu
rakyat
Kontribusi usaha
kayu rakyat terhadap
total pendapatan
petani
Kontribusi usaha kayu rakyat
dihitung berdasarkan
produktivitas kayu rakyat atau
pendapatan dari hasil penjualan
kayu rakyat, terhadap total
pendapatan petani kayu rakyat
Matriks 2. Definisi Operasional
Download