LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS WILAYAH

advertisement
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN TA 2006
ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN RAWAN GIZI KRONIS SERTA
ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA
Oleh :
Mewa Ariani
Handewi P. Saliem
Gatot Sroe Hardono
Tri Bastuti Purwantini
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN
2006
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN
1. Di Indonesia, peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu program
utama nasional sejak satu dasawarsa terakhir. Hal ini juga terkait dengan komitmen
Indonesia sebagai salah satu penanda-tangan kesepakatan dalam MDGs yang
menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara diharapkan dapat menurunkan
kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Pada tahun 2004
muncul kembali kasus gizi buruk di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa
Tenggara Barat, kemudian diikuti oleh provinsi lainnya. Faktor penyebab kerawanan
pangan di suatu wilayah dan rumah tangga mempunyai sifat multidimensional,
ditentukan oleh berbagai faktor dan melibatkan berbagai sektor. Mengacu pada
karakteristik yang beragam tersebut maka pemecahan masalah kerawanan pangan
wilayah dan rumahtangga harus bersifat holistik.
2. Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan World Food Programme (WFP) (2005)
melakukan pemetaan wilayah rawan pangan dan gizi kronis sampai tingkat
Kabupaten dengan menggunakan 10 indikator. Hasil pemetaan terdapat 100
Kabupaten dari 265 Kabupaten di Indonesia yang tergolong rawan pangan dan gizi
kronis. Tujuan penyusunan peta tersebut sebagai salah satu alat bagi pemerintah
daerah dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk menangani
kerawanan pangan dan gizi kronis. Karena pemetaan hanya sampai tingkat
kabupaten, maka secara operasional hasil pemetaan tersebut perlu ditinjaklanjuti
dengan pemetaan dalam skala yang lebih detail.
3. Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua kegiatan yaitu Kegiatan I bertujuan untuk :
1) Mengelompokkan 100 Kabupaten rawan pangan dan gizi kronis di Indonesia
menurut 10 indikator yang telah ditetapkan oleh DKP dan WFP, serta 2)
Mengidentifikasi dan mengelompokkan 100 Kabupaten menurut tipe wilayah dan
derajat kerawanan pangan. Tujuan kegiatan II adalah : 1) Memetakan wilayah
rawan pangan dan gizi kronis sampai tingkat kecamatan di wilayah (Kabupaten)
penelitian; 2) Mengidentifikasi karakteristik dan faktor-faktor penyebab rawan
pangan dan gizi kronis tingkat wilayah dan rumahtangga serta 3). Merumuskan
alternatif strategi kebijakan penanggulangannya dalam upaya menurunkan jumlah
rumah tangga miskin dan kelaparan.
METODA PENELITIAN
4. Penelitian ini merupakan kajian lebih lanjut dari kegiatan yang telah dilakukan oleh
DKP dan WFP (2005). Penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Timur, Papua dan
Kalimantan Barat. Jawa Timur dipilih karena jumlah kabupaten yang rawan pangan
dan jumlah penduduk cukup besar serta akses distribusi pangan (infrastruktur
jalan) relatif baik. Papua mewakili provinsi yang semua kabupaten termasuk rawan
pangan dan akses distribusí pangan kurang baik, sedangkan Provinsi Kalimantan
Barat dengan pertimbangan semua kabupaten termasuk rawan pangan dan gizi
kronis. Selanjutnya, di masing-masing provinsi dipilih dua kabupaten rawan pangan
dan gizi kronis dengan kriteria penanganan termasuk kategori prioritas tinggi.
Khusus untuk Provinsi Papua hanya diambil satu kabupaten dikarenakan kondisi
transportasi dan jalan yang relatif sulit. Adapun kabupaten contoh adalah
Jayawijaya (Papua), Bondowoso dan Sampang (Jawa Timur), Sambas dan Landak
(Kalimantan Barat).
viii
5. Dari kabupaten terpilih dibuat pemetaan wilayah tingkat kecamatan dengan
menggunakan 10 indikator dan indikator lain sesuai dengan ketersediaan data,
sehingga diketahui kecamatan yang paling rawan pangan. Selain itu, pemilihan
kecamatan juga didasarkan pada adjustment dari instansi terkait terutama dari
Dinas Pertanian dan Kantor Badan Ketahanan Pangan setempat. Penentuan desa
contoh berdasarkan proporsi rumahtangga yang mendapat program Bantuan
Langsung Tunai (BLT) dan agroekosistem, sedangkan rumahtangga rawan pangan
dan gizi kronis adalah rumahtangga pra sejahtera/sejahtera 1 atau rumahtangga
yang mendapat BLT.
6. Pengumpulan data dan informasi untuk responden instansi dilakukan melalui
wawancara dengan menggunakan list variabel dan kata-kata kunci (key word),
sedangkan untuk tokoh masyarakat secara berkelompok dengan menggunakan
kuesioner semi terstruktur. Pengumpulan data untuk rumah tangga melalui
wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur. Jumlah
rumahtangga yang diwawancara sebanyak 20 rumahtangga per kabupaten, kecuali
di Kabupaten Jayawijaya hanya 15 rumahtangga.
7. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 1) Deskriptif kualitatif dalam
bentuk tabel-tabel, 2) Skoring, 3) Pengelompokkan menurut kuintil, 4) Peta dengan
map-info dan 5) Analisis regresi linier berganda. Penggunaan masing-masing jenis
alat analisis tersebut disesuaikan dengan tujuan analisis.
HASIL PENELITIAN
Pengelompokkan 100 Kabupaten Rawan Pangan dan Gizi Kronis
8. Peta Kerawanan Pangan Indonesia (PKPI) dengan unit analisis terkecil kabupaten
menghasilkan 100 kabupaten tergolong rawan pangan dan gizi kronis yang perlu
mendapat prioritas penanganan. Terdapat 10 Indikator yang digunakan untuk
penentuan tersebut dengan indeks komposit yang dianggap merepresentasikan
indikator ketersediaan pangan, akses terhadap pangan serta kesehatan dan gizi
yaitu: (1) Rasio konsumsi normatif per kapita, (2) Proporsi penduduk dibawah garis
kemiskinan, (3) Proporsi rumahtangga tanpa akses listrik, (4) Desa tanpa akses ke
jalan, (5) Proporsi perempuan buta huruf, (6) Angka harapan hidup, (7) Berat
badan balita di bawah standard, (8) Angka kematian bayi, (9) Rumahtangga tanpa
akses ke air bersih, dan (10) Proporsi rumahtangga dengan jarak > 5 km dari
Puskesmas.
9. Pengelompokan kabupaten rawan pangandan gizi kronis dalam kuintil berdasarkan
10 indikator tidak menunjukkan pola sebaran nilai yang unik (khas). Artinya,
penggunaan 10 indikator tidak dapat menunjukkan status rawan pangan yang
mutlak (absolut) untuk setiap kabupaten. Sebagai contoh pada indikator konsumsi
normatif, nilai maksimum yang terdapat pada kuintil I jauh lebih tinggi dibandingkan
nilai maksimum kuintil V. Berdasarkan indeks komposit, Kabupaten Jayawijaya
menempati ranking pertama dengan derajat kerawanan paling parah di Indonesia.
Akan tetapi berdasarkan indikator tunggal, “bobot” terbesar yang menyebabkan
Kabupaten Jayawijaya berada pada posisi tersebut adalah indikator penduduk
miskin, wanita buta huruf, akses penduduk terhadap listrik, akses jalan yang
memadai dan akses penduduk terhadap air bersih. Di sisi lain, indikator berat
badan balita di bawah standar, Kabupaten Jayawijaya berada pada kuintil V atau
kelompok 20 persen kabupaten terbaik. Posisi Kabupaten Jayawijaya yang
termasuk kategori relatif baik tersebut perlu dipertanyakan. Di duga data yang ada
tidak akurat, karena masih banyak data dari lokasi lain yang tidak masuk (tercatat)
akibat sulitnya sarana transportasi dan keterbatasan sarana telekomunikasi.
ix
10. Sementara, indikator terberat yang mengakibatkan Kabupaten Sampang termasuk
kabupaten rawan pangan dan gizi kronis adalah perempuan buta huruf, angka
harapan hidup dan kematian bayi, sedangkan Kabupaten Bondowoso : perempuan
buta huruf, angka harapan hidup dan kematian bayi. Di Kabupaten Sambas adalah
angka harapan hidup, kematian bayi dan akses penduduk terhadap air bersih,
sedangkan di Kabupaten Landak : akses penduduk terhadap listrik, kematian bayi
dan akses penduduk terhadap air bersih.
11. Terdapat 10 indikator tipe wilayah yang dapat dikumpulkan untuk menambah
informasi karakteristik 100 kabupaten rawan pangan dan gizi kronis. Indikator
tersebut berkaitan dengan aspek pertanian dan ketersediaan pangan dalam arti
luas serta aspek pendapatan. Data tipe wilayah yang dapat dihimpun sebagai
berikut : 1) Produksi padi, palawija dan perkebunan; 2) Populasi ruminansia dan
unggas; 3) Proporsi rumahtangga petani gurem; 4) Proporsi angkatan kerja; 5)
Proporsi anak umur 7-15 tahun yang tidak sekolah; 6) Pangsa pengeluaran
pangan rumahtangga dan 7) Pendapatan Kabupaten (PDRB). Dengan adanya
data ini menepis anggapan bahwa indikator yang digunakan untuk pembuatan peta
sangat terbatas sesuai ketersediaan data tanpa memperhatikan apakah pemilihan
indikator tersebut sesuai dan memiliki pengaruh langsung terhadap kerawananan
pangan dan gizi kronis.
12. Indikator yang digunakan untuk memetakan rawan pangan dan rawan gizi kronis
yang dilakukan oleh DKP dan WFP masih mengandung kelemahan yang perlu
disempurnakan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah : 1) Penggunaan
istilah rawan pangan padahal indikator yang digunakan lebih luas kearah konsep
kemiskinan; 2) Ketersediaan pangan hanya menghitung produksi padi, jagung,
ubikayu dan ubijalar; belum memasukkan sagu atau talas/keladi yang banyak
dikonsumsi oleh rumahtangga Kawasan Timur Indonesia. Selain itu, perhitungan
rasio normatif seharusnya penjumlahan serealia tidak dalam kuantitas kilogram
tetapi dalam bentuk zat gizi (energi) dan dibagi dengan energi dari beras; 3)
Indikator yang digunakan seharusnya mencerminkan potensi wilayah secara
komprehensif; 4) Perlu fleksibilitas pengukuran indikator disesuaikan dengan
potensi wilayahnya dan 5) Peningkatan keakuratan data dan perhitungannya.
Pemetaan Kecamatan Rawan Pangan dan Gizi Kronis
13. Indikator yang digunakan untuk pemetaan rawan pangan dan gizi kronis tingkat
kecamatan disesuaikan dengan ketersediaan data dan potensi wilayahnya
sehingga akan berbeda untuk masing-masing wilayah. Dengan penggunaan
indikator tersebut mampu mendeteksi kecamatan rawan pangan dan gizi secara
baik. Adapun indikatornya adalah: 1) Kabupaten Jayawijaya: Produksi tanaman
pangan, hortikultura dan kopi, populasi ternak dan akses jalan; 2) Kabupaten
Bondowoso : Ketersediaan pangan, luas kerusakan padi, berat badan balita di
bawah standar, perempuan buta huruf, akses air bersih dan listrik, penduduk
miskin; 3) Kabupaten Sampang : Ketersediaan pangan, luas tanam padi terhadap
sasaran, luas kerusakan padi, produktivitas padi rata-rata, populasi ternak, kurang
energi protein, penduduk miskin, berat badan balita di bawah standar, akses listrik,
air bersih dan jalan; 4) Kabupaten Sambas: Produksi tanaman pangan dan karet,
luas tanam padi terhadap sasaran, luas kerusakan padi, populasi ternak, kurang
energi protein, penduduk miskin, dan akses air bersih; dan 5) Kabupaten Landak :
Ketersediaan pangan, produksi karet, luas tanam padi terhadap sasaran, populasi
ternak, kurang energi protein, penduduk miskin dan angka kematian bayi.
14. Berdasarkan indikator tersebut di atas, kecamatan dengan kategori rawan berat
adalah Kecamatan Wamena, Gamelia, Tiom, Kenyam, Mapenduma dan Apalapsili
di Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Papua. Sementara itu untuk Kabupaten
x
Bondowoso adalah Kecamatan Tamanan dan Sempol; Kabupaten Sampang :
Kecamatan Torjun dan Jrengik. Di Propinsi Kalimantan Barat, di Kabupaten
Sambas adalah Kecamatan Sambas, Sebawi, Sajad, Jawai Selatan, Teluk
Keramat, Sejangkung, sedangkan di Kabupaten Landak adalah Kecamatan Air
Besar dan Kuala Behe.
Karakteristik dan Penyebab Rawan Pangan dan Gizi Kronis serta Alternatif
Strategi Penanggulangannya
15. Karakteristik wilayah rawan pangan di Kabupaten Jayawijaya berupa daerah
pegunungan, lereng dan berbukit. Secara geologis, wilayah ini termasuk wilayah
rawan gempa khususnya di bagian Timur. Selain itu juga termasuk rawan banjir di
sepanjang DAS Baliem dan Wamena terutama pada musim hujan. Kondisi cuaca
di wilayah ini juga tidak menentu, sehingga sering terjadi kegagalan panen pada
musim kering panjang atau musim hujan karena banjir dan akibat terjadinya hujan
es (frost). Sementera itu, karakteristik rumahtangga rawan pangan dan gizi kronis
di wilayah tersebut dicirikan oleh sebagian besar kepala keluarga berpendidikan
rendah (tidak tamat SD) dan sekitar 88,1 persen rumahtangga termasuk miskin
sekali dan miskin. Sarana dan prasarana juga sangat terbatas, pola pertanian
umumnya masih dilakukan secara tradisional dan pola pertanian subsisten masih
tinggi. Pola ketersediaan dan konsumsi makanan tergantung dari apa yang
ditanam dan apa yang ada di hutan, sehingga keragaman konsumsinya juga
terbatas. Tugas wanita di bidang pertanian sangat berat, sehingga anak-anak
kurang mendapat perhatian dalam asupan gizi dan pola asuh.
16. Penyebab kerawanan pangan dan rawan gizi kronis di Kabupaten Jayawijaya
sangat komplek mencakup berbagai aspek sosial, budaya, ekonomi dan perhatian
pemerintah. Secara terinci penyebabnya adalah: a) Topografi wilayah yang
bergunung/berbukit-bukit, b) Musim yang tidak menentu (kering/ hujan/frost), c)
Keterisolasian wilayah dan sarana transportasi terbatas, d) Pola pertanian yang
masih tradisional dan ketersediaan pangan tergantung pada alam, e) Pemasaran
hasil pertanian terbatas di ibukota kabupaten saja, f) Proses pemekaran wilayah di
era otonomi daerah, g) Penyimpangan dana APBN dan otonomi khusus tahun
2004 dan 2005, h) Pola paternalistik dan ikatan klien yang kuat, i) Pendidikan dan
pengetahuan masih rendah, j) Konsumsi pangan tergantung pada komoditas yang
ditanam dan dihutan, k) Pengelolaan lahan komunal dan tergantung pada kepala
klien/adat dan l) Peran jender yang tidak seimbang.
17. Kebijakan strategis untuk menanggulangi hal tersebut adalah: 1) Jangka pendek :
a) Bantuan pangan berupa beras perlu ditinjau kembali karena tidak sesuai dengan
pola konsumsi pangan setempat; b) Pembukaan lahan untuk pengembangan areal
tanaman ubijalar dan c). Pembentukan dan pengembangan kelembagaan/program
terkait pangan, gizi dan kesehatan; 2) Jangka Menengah : a) Komitmen yang kuat
dari pemerintah dan legislatif tingkat pusat dan daerah serta masyarakat, b)
Peningkatan jumlah sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, c) Peningkatan
jumlah tenaga pertanian dan kesehatan, d) Peningkatan kualitas sumberdaya
manusia, e) Diversifikasi sumber pendapatan rumahtangga yang melibatkan lakilaki, f) Peningkatan pengetahuan pangan, gizi dan kesehatan melaui KIE; dan g)
Kegiatan penyadaran jender; 3) Jangka panjang : a) Membuka keterisolasian
wilayah (antar desa/ kecamatan kabupaten) dan b) Pengelolaan sumberdaya alam
yang lebih baik
18. Karakteristik wilayah dan rumahtangga rawan pangan dan gizi kronis di Kabupaten
Bondowoso dan Sampang dicirikan dominasi lahan tegalan/ladang sebagai basis
pertanian. Kondisi sarana dan prasarana kurang memadai sehingga mobilitas
penduduk dan pergerakan roda perekonomian menjadi relatif lambat. Selain luasan
xi
yang sempit, masalah dalam pemilikan lahan adalah lahan kering dengan
produktivitas rendah. Lapangan kerja diluar pertanian di kedua kabupaten sangat
terbatas. Angka kemiskinan di Kabupaten Bondowoso mencapai 39.8 persen,
sedangkan di Sampang sebesar 42.4 persen. Rataan pendapatan rumahtangga
rawan pangan di Bondowoso sekitar Rp 552 ribu/kapita/tahun, dan di Sampang
sekitar Rp 474 ribu/kapita/tahun.
19. Pemilikan aset rumahtangga rawan pangan dan gizi kronis di kedua kabupaten
juga kurang memadai hanya lahan dan ternak dengan jumlah terbatas. Makanan
pokok berupa campuran beras dan jagung dengan frekuensi konsumsi 2 kali sehari
dan keragamannya juga rendah. Kebanyakan rumahtangga tidak memiliki
simpanan (cadangan) bahan pangan. Di Kabupaten Bondowoso, kekurangan
pangan parah terjadi pada bulan Januari sampai Februari menjelang musim panen
padi, sedangkan di Kabupaten Sampang pada bulan Agustus.
20. Penyebab rawan pangan dan gizi kronis di atas terutama faktor kemiskinan karena
kepemilikan lahan yang sempit, sementara lapangan kerja non pertanian belum
berkembang. Penyebab lain adalah: keterbatasan sumberdaya air dan meluasnya
areal lahan kritis, keterbatasan pasar output pertanian dan hasil industri
rumahtangga, akses rumahtangga terhadap sumber permodalan untuk usaha
terbatas, pengetahuan dan ketrampilan tenaga kerja rendah, kondisi infrastruktur
dan sarana transportasi tidak memadai
21. Alternatif kebijakan penanggulangan rawan pangan dan gizi kronis adalah dengan
meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan dan mendorong tumbuhnya aktifitas
perekonomian di tingkat wilayah dan rumahtangga. Secara terinci kebijakan
tersebut untuk Jangka pendek: a) Pemberian bantuan pangan kepada
rumahtangga rawan pangan beresiko tinggi, 2) Pengembangan paket bantuan
sarana produksi pertanian, ternak dan pembiayaan, 3) Pengembangan usaha
industri yang dapat memanfaatkan potensi sumberdaya lokal khususnya hasil-hasil
pertanian, 4) Pemberdayaan kelembagaan pangan dan gizi yang sudah ada di
lingkungan masyarakat. Jangka Menengah: a) Peningkatan kapasitas lahan
pertanian melalui upaya perluasan areal dan atau peningkatan intensitas tanam, b)
Mendorong berkembangnya diversifikasi pertanian dan diversifikasi sumber usaha,
c) Pembatasan luas absentee land, d) Peningkatan ketersediaan dan kualitas
sarana dan prasarana untuk meningkatkan aksesibilitas wilayah dan e)
Mengembangkan kesadaran sosial masyarakat dalam kegiatan penanggulangan
masalah pangan dan gizi. Untuk Jangka Panjang : a) Konservasi dan rehabilitasi
daerah tangkapan air dan resapan air, b) Pengendalian laju pertambahan
penduduk.
22. Karakteristik wilayah rawan pangan dan gizi kronis di Kabupaten Sambas dan
Landak dicirikan dengan : 1) Kawasan budidaya yang sebagian besar berupa lahan
gambut, dan dataran rendah dengan curah hujan yang sedikit; 2) Kualitas
sumberdaya manusia (pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan) masih rendah; 3)
Proporsi penduduk miskin masih tinggi; 4) Sebagian besar penduduk bergantung
pada sektor pertanian; 5) Sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan,
trsanportasi dan akses terhadap permodalan terbatas.
23. Karakteristik seperti diatas juga menjadi akar penyebab utama terjadinya rawan
pangan dan gizi kronis. Selain itu penyebab rawan pangan dan gizi kronis di
Kabupaten Sambas dan Landak yang dominan adalah rendahnya daya beli
masyarakat akibat keterbatasan lapangan pekerjaan non pertanian. Rendahnya
pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan penduduk sehingga muncul kasus
kurang energi protein dan gizi buruk. Sarana dan prasarana seperti transportasi,
permodalan dan kesehatan juga terbatas. Di Kabupaten Landak, rendahnya
xii
pendapatan rumahtangga tidak lepas dari perkembangan ekonomi wilayah yang
juga relatif rendah.
24. Alternatif strategi kebijakan yang dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut
adalah peningkatan daya beli masyarakat melalui diversifikasi usaha, penciptaan
lapangan kerja di sektor pertanian dan non pertanian yang berbasis di pedesaan.
Di Sambas pengembangan industri hilir untuk komoditas jeruk dapat berperan
sebagai penyerap tenaga kerja dan sebagai upaya peningkatan nilai tambah dan
pendapatan petani. Selain itu kebijakan yang ditempuh adalah untuk Jangka
Pendek: a) Program pengembangan kawasan agribisnis terpadu (KUAT), b)
Peningkatan pemberdayaan kelembagaan/program terkait pangan, gizi dan
kesehatan dan c) Peningkatan pengetahuan pengasuhan anak balita pada kaum
wanita.
25. Sementara altenatif kebijakan untuk Jangka Menengah : a) Komitmen pemerintah
pusat dan daerah dalam peningkatan perekonomian daerah, b) Peningkatan
kualitas sumberdaya manusia, c) Peningkatan ketrampilan kaum perempuan dan
d) Pengembangan industri pengolahan di pedesaan dengan bahan baku lokal.
Jangka panjang : a) Peningkatan sarana dan prasarana terutama transportasi
(jalan, perahu, angkutan umum) dan kesehatan, dan b) Perluasan kesempatan
kerja melalui pengembangan industri pengolahan di pedesaan dengan bahan baku
lokal.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
26. Pengelompokan kabupaten rawan pangan dan gizi kronis dalam kuintil
berdasarkan 10 indikator tidak menunjukkan pola sebaran nilai yang unik (khas).
Implikasinya adalah pemasyarakatan penggunaan Peta Kerawanan Pangan
Indonesia perlu disertai penjelasan memadai mengenai status rawan pangan yang
dimaksud dalam peta. Hal ini penting untuk menghindari kesan menghakimi
daerah-daerah dan agar program yang ditetapkan lebih terfokus berdasarkan skala
prioritas.
27. Selain itu, untuk ke depan, masih perlu penyempurnaan terutama dalam pemilihan
jenis indikator dikaitkan dengan konsep rawan pangan yang telah disepakati
bersama yang tertuang dalam Undang-undang Pangan. Juga penyempurnaan dalam
hal perhitungan ketersediaan pangan normatif, fleksibilitas pengukuran dari masingmasing indikator disesuaikan dengan karakteristik kabupaten dan peningkatan
keakuratan pencacahan dan perhitungan data. Apabila masih mempertahankan
seluruh indikator yang telah ditetapkan, maka akan lebih “fair” apabila dalam
penggunaan indikator diberi rating (bobot) sehingga bias dalam penetapan prioritas
dan target program penanggulangan rawan pangan dan gizi kronis dapat dihindari
atau diminimumkan.
28. Fenomena rawan pangan dan gizi kronis sesungguhnya tidak hanya mencakup
aspek ekonomi saja, tetapi juga terkait dengan masalah sosial dan faktor
lingkungan. Oleh sebab itu perencanaan upaya penanggulangan rawan pangan
harus mencakup perencanaan pemecahan masalah yang terkait dengan ketiga
aspek tersebut secara terpadu. Fenomena rawan pangan dan gizi juga bersifat
laten sehingga orientasi kebijakan penanggulanggan masalah tidak hanya bersifat
jangka pendek tetapi juga harus dilengkapi dengan penanggulangan jangka
panjang sebagai respon antisipatif.
29. Peningkatan perekonomian daerah harus memperhitungkan aspek penguatan
sumber-sumber kehidupan dalam jangka panjang yang menjamin terbentuknya
ketahanan pangan wilayah dan rumahtangga secara berkelanjutan. Kebijakan dan
xiii
program yang ditetapkan mampu membangkitkan masyarakat sebagai penggerak
berbagai aset dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi
berbagai masalah dan ancaman tanpa menghilangkan jati diri terutama di
Kabupaten Jayawijaya.
30. Peningkatan keragaman konsumsi pangan adalah salah satu langkah strategis
dalam rangka peningkatan ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Hasil
analisis regresi skor konsumsi pangan rumahtangga mengindikasikan bahwa faktor
aksesibilitas pangan (fisik dan ekonomi) adalah determinan penting yang perlu
mendapat perhatian dalam penyusunan kebijakan penanggulangan rawan pangan
dan gizi kronis. Kebijakan untuk meningkatkan aksesibilitas pangan tidak hanya
terkait dengan upaya peningkatan produksi pangan dan pendapatan rumahtangga
saja tetapi juga upaya lain yang mendukung perbaikan distribusi pangan seperti
perbaikan sarana jalan dan transportasi dan pengaturan sistem pemasaran pangan
yang lebih efisien dan berkeadilan.
31. Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah pemecahan masalah ketahanan
pangan dan kemiskinan tidak dapat hanya ditangani oleh sektor pertanian,
walaupun jumlah penduduk miskin dan rawan pangan umumnya berada di
pedesaan. Upaya pemantapan ketahanan pangan atau mengatasi kerawanan
pangan dan penanggulangan kemiskinan memerlukan kerjasama, koordinasi dan
sinergitas dari berbagai dinas/instansi terkait, lembaga swadaya masyarakat,
swasta dan partisipasi aktif masyarakat setempat.
xiv
Download