TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Teori Keluarga Pengertian Keluarga Keluarga menurut UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10 adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anak-anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (BKKBN 1992). Menurut Saxton (1990) keluarga merupakan suatu hubungan antar dua orang atau lebih yang dipersatukan melalui kelahiran, adopsi, atau perkawinan, dan hidup bersama-sama dalam suatu rumah tangga. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Gunarsa&Gunarsa (2004) bahwa keluarga yaitu sekelompok orang yang diikiat oleh perkawinan atau pertalian darah, biasanya meliputi ayah, ibu, dan anak. Menurut Mattessich dan Hill (Zeitlin 1995) keluarga merupakan suatu kelompok yang berhubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal (yaitu interdepensi intim, memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan melakukan tugas-tugas keluarga). Keluarga merupakan suatu manajerial unit yang mampu mengelola sumberdaya keluarga yang dimiliki untuk mencapai tujuan keluarga (Gross, Crandal, dan Knoll 1973). Menurut Duvall dan Miller (1985) keluarga adalah sekelompok orang dengan ikatan perkawinan, ikatan darah, adopsi, dan kelahiran yang bertujuan untuk menciptakan serta mempertahankan kebudayaannya. Tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi anggota keluarganya, serta untuk melestarikan keturunan dan budaya suatu bangsa (Landis 1989). Fungsi keluarga utama yang telah diuraikan didalam resolusi majelis Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) adalah keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera (Megawangi 2009). Definisi-definisi tersebut menunjukkan 8 bahwa selain adanya ikatan yang terjalin antara anggota keluarga, keluarga juga mempunyai tujuan dan fungsinya. Berdasarkan peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 dalam BKKBN (1996) terdapat delapan fungsi utama keluarga dalam proses untuk mengembangkan potensinya agar dapat terwujud keluarga sejahtera yaitu fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi pembinaan lingkungan. Pendekatan Teori Struktural- Fungsional Pendekatan struktural-fungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam suatu institusi keluarga. Keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat, dan akhirnya keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi 1999). Penganut pandangan teori struktural fungsional melihat sistem sosial sebagai suatu sistem yang seimbang, harmonis, dan berkelanjutan. Konsep struktur sosial meliputi bagianbagian dari sistem dengan cara kerja pada setiap bagian yang terorganisir (Puspitawati 2012) Pendekatan teori struktural fungsional dapat digunakan untuk menganalisis peran anggota keluarga agar dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat (Newman dan Grauerholz 2002). Salah satu aspek penting dari perspektif struktural fungsional adalah bahwa pada setiap keluarga yang sehat terdapat pembagian peran atau fungsi keluarga yang jelas, fungsi tersebut terpolakan dalam struktur hirarkis yang harmonis, dan adanya komitmen terhadap pelaksanaan peran atau fungsi tersebut. Peran adalah sejumlah kegiatan yang diharapkan bisa dilakukan oleh setiap anggota keluarga sebagai subsistem keluarga dengan baik, untuk mencapai tujuan sistem. Menurut Levy dalam Megawangi (1999) harmoni dalam pembagian dan penyelenggaraan fungsi dan peran, alokasi solidaritas, komitmen terhadap hak, kewajiban dan nilainilai bersama ini merupakan kondisi utama bagi berfungsinya suatu keluarga. 9 Menurut Puspitawati (2012) aspek struktural menciptakan keseimbangan sebuah sistem yang tertib (social order), ketertiban keluarga akan tercipta jika ada struktur atau strata dalam keluarga, yaitu masing-masing mengetahui peran dan posisinya dan patuh pada nilai yang melandasi struktur tersebut. Levy dalam Megawangi (1999) mengatakan bahwa tanpa adanya pebagian peran dan tugas yang jelas pada masing-masing anggota dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang nantinya akan berpengaruh terhadap sistem yang lebih besar lagi. Jika hal ini terjadi, maka akan ada satu posisi yang tidak dapat dipenuhi, sehingga akan dapat menimbulkan konflik bagi keluarga, dan akhirnya keberadaan institusi keluarga tidak akan berkesinambungan. Persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai suatu sistem dapat berfungsi antara lain: 1. Adanya diferensiasi peran, dari serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap anggota dalam keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing- masing aktor. 2. Alokasi solidaritas, distribusi relasi antar anggota keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta dan kepuasan menggambarkan hubungan antaranggota. Misalnya keterikatan emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Hubungan antara bapak dan anak laki-laki mungkin lebih utama daripada hubungan suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi antaranggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan. 3. Alokasi ekonomi, yaitu distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas ini juga ada terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga. 4. Alokasi politik, distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggung jawab atas tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi maka diperlukan distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu. 10 5. Alokasi integrasi dan ekspresi, distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap anggota. Pendekatan Konsep Gender dalam Kehidupan Keluarga Konsep Gender Kata “gender” dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status, dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, gender adalah hasil kesepakatan antarmanusia yang tidak bersifat kodrati. Oleh karena itu, gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu berikutnya (Puspitawati 2012). Hubungan antara laki-laki dan perempuan seringkali sangat penting untuk menentukan hubungan keduanya. Demikian pula, jenis-jenis hubungan yang bisa berlangsung antara perempuan dan laki-laki akan menjadi pendefinisian perilaku gender yang semestinya oleh masyarakat. Pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dalam masyarakat tertentu ditetapkan oleh kelas, gender, dan suku (Mosse 2002). Puspitawati (2012) menyatakan bahwa gender menyangkut aturan sosial yang berkaitan dengan jenis kelamin manusia laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis dalam hal alat reproduksi antara laki-laki dan perempuan memang membawa konsekuensi fungsi reproduksi yang berbeda (perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui; sedangkan laki-laki membuahi dengan spermatozoa). Jenis kelamin biologis inilah merupakan ciptaan Tuhan, bersifat kodrat, tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan dan berlaku sepanjang zaman. Konsep gender yang digunakan oleh Kantor Menteri Negara Urusan Perempuan (1996) adalah perbedaan-perbedaan sifat perempuan dan pria yang tidak mengacu pada perbedaan biologis, tetapi pada nilai-nilai sosial budaya yang menentukan peranan perempuan dan pria dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang masyarakat. Kebudayaan yang dimotori oleh budaya patriarkhi menafsirkan perbedaan biologis menjadi indikator kepantasan dalam berperilaku yang akhirnya berujung 11 pada pembatasan hak, akses, partisipasi, kontrol, dan menikmati manfaat dari sumberdaya dan informasi. Akhirnya, tuntutan peran, tugas, kedudukan dan kewajiban yang pantas dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dan yang tidak pantas dilakukan oleh laki-laki atau perempuan sangat bervariasi dari masyarakat satu ke masyarakat lainnya (Puspitawati 2012). Menurut Puspitawati (2012) Pembagian peran gender bertujuan untuk mendistribusikan tugas dalam rangka menjaga efisiensi dan keseimbangan sistem keluarga dan masyarakat. Umumnya masyarakat membagi peran berdasarkan tradisi para leluhur yang sudah dibakukan dalam internalisasi dan sosialisasi norma masyarakat. Kesetaraan gender yaitu kondisi perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan. Sedangkan keadilan gender yaitu suatu kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki melalui proses budaya dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-hambatan berperan bagi perempuan dan laki-laki (Puspitawati 2012), Menurut Puspitawati (2009) wujud kesetaraan dan keadilan gender antara lain : 1. Akses, yaitu kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya pembangunan, contoh: memberikan kesempatan yang sama baik kepada laki-laki ataupun perempuan dalam memperoleh informasi pendidikan dan kesempatan untuk meningkatkan karir. 2. Partisipasi, yaitu perempuan dan laki-laki memiliki partisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan, contoh: memberikan peluang yang sama baik kepada laki-laki ataupun perempuan untuk ikutn serta dalam menentukan pilihan pendidikan di dalam rumahtangga. 3. Kontrol, yaitu perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan yang sama pada sumberdaya pembangunan, contoh: memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam penguasaan terhadap sumberdaya baik materi maupun non materi dan mempunyai kontrol yang mandiri dalam menentukan apakah laki-laki dan perempuan mau meningkatkan jabatan struktural menuju jenjang yang lebih tinggi. 12 4. Manfaat, yaitu pembangunan harus mempunyai manfaat yang sama bagi perempuan dan laki-laki, contoh: Program Pendidikan dan Latihan (Diklat) harus memberikan manfaat yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Persepsi Peran Gender Pandangan laki-laki lebih cocok untuk melakukan peran produktif dan perempuan lebih cocok untuk mengerjakan peran reproduktif secara tradisional ditanamkan dalam benak individu tentang kekhasan perilaku seorang perempuan (feminin) dan kekhasan perilaku laki-laki (maskulin) yang oleh Hurlock (1980) disebut sebagai peran gender, dan akhirnya akan membentuk suatu pendapat yang dapat menjadi suatu norma di dalam masyarakat. Pada dasarnya pembagian peran gender dalam keluarga petani antara aktivitas domestik rumah tangga dan aktivitas pertanian, istri petani paling dominan dalam melakukan aktivitas domestik dan suami dalam aktivitas pertanian (Whatmore 1991). Pada budaya patriarkhi, terdapat pembagian peran gender yang bervariasi antara laki-laki dan perempuan. Umumnya masyarakat membagi peran berdasarkan sosialiasi norma masyarakat, dengan kata lain, norma membatasi apa yang pantas dilakukan oleh laki-laki dan yang tidak pantas dilakukan oleh lakilaki, sebaliknya juga dengan perempuan. Ada sebagian masyarakat yang sangat kaku membatasi peran yang pantas dilakukan baik oleh laki-laki dan perempuan, misalnya tabu bagi seorang laki-laki masuk ke dapur atau menggendong anaknya di depan umum dan tabu bagi seorang perempuan untuk sering keluar rumah untuk bekerja. Namun demikian, ada juga masyarakat yang fleksibel dalam memperbolehkan laki-laki dan perempuan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya perempuan diperbolehkan bekerja sebagai kuli bangunan sampai naik ke atap rumah atau memanjat pohon kelapa, sedangkan laki-laki sebagian besar menyabung ayam untuk berjudi (Puspitawati 2012). Scanzoni dan Supriyantini (2002) dalam Rachmawati (2010) membedakan pandangan peran gender melalui dua bagian yaitu peran gender tradisional dan peran gender modern. 13 1. Peran gender tradisional Pandangan ini membagi tugas secara tegas berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki yang mempunyai pandangan peran gender yang tradisional, tidak ingin perempuan menyamakan kepentingan dan minat diri sendiri dengan kepentingan keluarga secara keseluruhan. 2. Peran gender modern Tidak ada lagi pembagian tugas yang berdasarkan jenis kelamin secara kaku, kedua jenis kelamin diperlakukan sejajar atau setingkat. Laki-laki mengakui minat dan kepentingan perempuan sama pentingnya dengan minat laki-laki, menghargai kepentingan pasangannya dalam setiap masalah rumahtannga dan memutuskan masalah yang dihadapi secara bersama-sama. Perempuan yang berpandangan modern, berusaha memusatkan perhatiannya untuk mencapai minatnya sendiri yang tidak lebih rendah dari minat suami. Peran Perempuan (Istri) dalam Keluarga Gender dalam rumahtangga adalah perbedaan status dan peran antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dalam menjalankan fungsi-fungsi rumahtangga. Gender dalam rumahtangga dapat mencakup pembagian kerja bagi anggota keluarga, adanya pembagian kerja tersebut akan menentukan peran dan tanggungjawab masing-masing anggota keluarga. Adanya peran anggota keluarga pun dapat menentukan seberapa besar partisipasi anggota keluarga dapat berkontribusi tehadap ekonomi keluarga. Telah diakui adanya peran ganda (multy roles) dari perempuan, baik sebagai istri, ibu dan sebagai pekerja, serta anggota masyarakat. Jadi perempuan dapat memainkan peranannya baik di sektor publik, domestik dan kemasyarakatan. Perempuan dikenal sebagai individu yang dapat mengerjakan berbagai kegiatan pada waktu yang sama (overlapping activities) sehari-hari. Halhal yang biasa dilakukan peempuan di desa adalah aktivitas-aktivitas seperti menggendong anak sambil menyapu halaman rumah di pagi hari atau sambil menunggu menjemur padi dan menjemur pakaian, atau aktivitas-aktivitas seperti mengasuh anak sambil menunggu di rumah, sambil memasak air dan menunggu menjemur pakaian. Peran perempuan di sektor publik dalam menambah 14 pendapatan keluarga tidak dapat dipandang sebelah mata. Telah dibuktikan oleh realita bahwa ternyata perempuan dapat menjadi penyelamat keluarga dan juga penyelamat bangsa di masa krisis ekonomi dengan keuletannya dalam beraktifitas mencari tambahan uang bagi keluarganya (family generating income) (Puspitawati 2009). Hubeis (2000) menyebutkan bahwa pembagian kerja dalam perspektif gender mengacu pada cara-cara dimana semua jenis-jenis pekerjaan (reproduktif, produktif dan sosial) dibagi antara pria dan wanita serta bagaimana pekerjaan tersebut dinilai dan dihargai secara kultural dalam masyarakat tertentu. Pekerjaan reproduktif atau domestik adalah kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan tugas-tugas kerumah tanggaan seperti menyiapkan makanan, berbelanja, mengasuh dan mendidik anak. Pekerjaan produktif menyangkut segala pekerjaan yang bertujuan menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi sendiri atau diperdagangkan. Sedangkan pekerjaan sosial adalah pekerjaan atau aktifitas yang terkait dengan aspek status kekuasaan atau kewajiban kewajiban bagi seseorang yang terbentuk secara kultural pada struktur masyarakat dimana ia tinggal. Kontribusi Ekonomi Perempuan Keluarga yang hidup dalam kondisi miskin melakukan suatu strategi untuk dapat bertahan di tengah keterbatasan. Rumahtangga petani-petani di perdesaan contohnya menerapkan pola nafkah ganda sebagai bagian dari strategi ekonomi. Dalam pola itu sejumlah anggota keluarga usia kerja terlibat mencari nafkah di berbagai sumber, baik on farm maupun off farm. Dalam strategi nafkah tersebut, wanita seperti juga pria memiliki peran yang sangat penting sebagai pencari nafkah. Wanita tidak hanya terlibat dalam kegiatan reproduksi yang tidak langsung menghasilkan pendapatan, tetapi juga dalam kegiatan produksi yang langsung menghasilkan pendapatan (White, Hart, Pudjiwati Sajogyo dalam Sitorus 1991). Masalah rendahnya produktivitas perempuan dalam pengembangan ekonomi keluarga sama sekali belum disentuh secara mendetail dan berkesinambungan. Produktivitas perempuan dalam hal ini diukur berdasarkan 15 kontribusi pekerjaan publik yang dibayar, sedangkan pekerjaan perempuan di aspek domestik tidak diperhitungkan (Puspitawati 2012). Di daerah perdesaan, wanita memiliki peranan besar dalam kegiatan mencari nafkah, di samping mengatur rumahtangga. Berbagai kegiatan usahatani spesifik gender dilakukan wanita, seperti: menanam, menyiang, panen dan pasca panen, bahkan menentukan tenaga kerja, pemasaran, dan perputaran kredit. Peran wanita tersebut sangat dipengaruhi oleh: 1) tingkat pendapatan (makin miskin suatu rumahtangga, maka makin besar kontribusi tenaga atau waktu wanita yang tercurah); 2) kondisi sosial budaya (tingkat pendidikan, kesehatan, posisi dalam proses pengambilan keputusan, mobilitas yang sangat dipengaruhi nilai atau norma sosial dan keseimbangan; 3) umur dan status perkawinan (Roosganda 2007). Pada umumnya peran perempuan secara ekonomi adalah menambah penghasilan keluarga. Karena itu penghasilan tambahan dari aktifitas ekonomi perempuan dapat mengentaskan keluarga dari kemiskinan (Rahardjo 1995). Berdasarkan penelitian sebelumnya, ditunjukkan bahwa perempuan merupakan sumber daya manusia yang cukup nyata berpartisipasi, khususnya dalam memenuhi fungsi ekonomi keluarga dan rumahtangga bersama dengan laki-laki. Perempuan di Perdesaan sudah diketahui secara umum tidak hanya mengurusi rumahtangga sehari-hari saja, tetapi tenaga dan pikirannya juga terlibat dalam berbagai kegiatan usaha tani dan non usaha tani, baik yang sifatnya komersial maupun sosial (Sajogyo 1981). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kaum wanita memberikan kontribusi setengah atau lebih dari total tenaga kerja usahatani (Roosganda 2007). Kontribusi perempuan terhadap pendapatan pertanian keluarganya adalah sebesar 66,6 persen (Ukoha 2003). Kesejahteraan Keluarga Kesejahteraan merupakan harapan dan tujuan hidup setiap orang. Tingkat kesejahteraan setiap orang dapat berbeda-beda dalam arti keadaan kesejahteraan yang dialami seseorang belum tentu sama bagi orang lain. Kesejahteraan menurut Sawidak (1985) merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun demikian tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat 16 relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Kesejahteraan ekonomi dari suatu keluarga biasanya didefinisikan sebagai tingkat kepuasan atau tingkat pemenuhan kebutuhan yang telah diperoleh oleh keluarga (Park & Kim 2002). Secara umum, pengukuran tingkat kesejahteraan dapat dibedakan melalui dua pendekatan yaitu kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif. Pengukuran menggunakan pendekatan objektif didasarkan pada standar yang telah disepakati negara atau provinsi, namun pada pengukuran kesejahteraan subjektif didasarkan pada pertimbangan individual (Raharto dan Romdiati 2000). Puspitawati (2012) menjelaskan bahwa kesejahteraan keluarga objektif dapat diukur salah satunya berdasarkan pendapatan yang dibandingkan dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan diartikan sebagai tingkat pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Suatu keluarga yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan, tentunya tidak dapat memenuhi kebutuhan secara materia, sehingga digolongkan pada keluarga miskin. Diener (2009) mendefinisikan kesejahteraan subjektif sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan seseorang atau keluarga sesuai dengan evaluasi subjektif terhadap kehidupan mereka. Kesejahteraan subjektif adalah kepuasan hidup berdasarkan atas standar personal (Chen 2010). Pengukuran kesejahteraan bersifat subjektif manakala berkaitan dengan aspek psikologis yaitu diukur dari kebahagiaan dan kepuasan (Sunarti 2008). Terdapat perbedaan pandangan kesejahteraan secara subjektif berdasarkan wilayah regional maupun geografi serta nilai sosial-budaya yang ada di masyarakat (Raharto & Romdiati 2000). Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi, makan dan minum dan sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarganya. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras dan 17 seimbang antar anggota keluarga dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya (Landis 1989; BKKBN 1992). Pembangunan keluarga sejahtera pada hakekatnya adalah meningkatkan keberdayaan dan kemampuan serta peran seluruh anggota keluarga dalam membangun keluarga yang berkualitas sesuai dengan tahapan-tahapannya. Sasaran dari pembangunan keluarga sejahtera adalah keluarga secara utuh dengan sasaran difokuskan kepada ibu atau perempuan. Hal ini dipertimbangkan karena ibu atau perempuan merupakan anggota keluarga yang paling rentan dan memiliki pengaruh yang besar serta resiko yang tidak dimiliki oleh anggota keluarga lain. Ibu juga merupakan anggota keluarga yang memiliki peranan yang besar dalam mengembangkan dan melaksanakan fungsi keluarga yang selama ini belum banyak diberikan dukungan. Dengan demikian seluruh dukungan yang diberikan kepada ibu akan memberikan nilai lebih pada keluarga dibandingkan dengan bila diberikan kepada anggota keluarga yang lain (BKKBN 1998). Kualitas hidup manusia meliputi domain kehidupan manusia antara lain 1) Domain Being (domain yang berkaitan dengan keadaan badan atau makhluk) yang terdiri dari kesejahteraan fisik, kesejahteraan psikologi, sosial dan keadaan spiritual; 2) Domain belonging (domain berkaitan dengan harta milik dan barangbarang) yang meliputi harta fisik, harta sosial, dan harta masyarakat (Universitas Toronto 2003 dalam Puspitawati 2012). Kesejahteraan keluarga pada hakikatnya mempunyai dua dimensi yaitu dimensi material dan spiritual (Sunarti 2008). Untuk menciptakan kesejahteraan suatu keluarga, maka diperlukan suatu keluarga kecil yang bahagia, namun dengan ekonomi yang kuat. Keluarga dengan ekonomi yang kuat dapat terwujud apabila fungsi ekonomi dalam keluarga tersebut dapat dipersiapkan dan dibangun dengan baik (BKKBN 1998). Berdasarkan penelitian Khairunnisa (2010) kesejahteraan subjektif itu dipengaruhi oleh jumlah anak. Sedangkan berdasarkan penelitian Irzalinda (2010) bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subjektif keluarga adalah permasalahan keluarga itu sendiri, dan dinyatakan faktor determinan kesejahteraan subjektif adalah pendidikan kepala rumah tangga, umur kepala rumah tangga, persepsi kerja, dan pendapatan. Berdasarkan hasil penelitian 18 Puspitawati (2009) ditemukan adanya pengaruh positif dari besar keluarga. lama pendidikan suami, umur istri, umur balita, pengeluaranlkapitalbulan dan nilai ekonomi pekerjaan ibu rumah tangga untuk kegiatan domestik pekerjaan pemeliharaan rumah terhadap kesejahteraan keluarga subjektif. Sementara itu, faktor yang berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan keluarga subjektif adalah umursuami. Sedangkan Chen (2010) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan lansia di China adalah perbedaan gender dan frekuensi peran. Frekuensi peran yang tinggi akan meningkatkan rata-rata kesejahteraan perempuan. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian terkait peran gender, kontribusi ekonomi perempuan dan kesejahteraan keluarga telah banyak dilakukan. Penelitian Puspitawati dan Fahmi (2008) menyatakan bahwa kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan domestik khususnya dalam mengurus anak dan memelihara rumahtangga lebih banyak dilakukan oleh istri, dan kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan publik/ekonomi (mencari nafkah) lebih banyak dilakukan oleh suami, tetapi pada kegiatan mencari nafkah terlihat pula keterlibatan istri, sedangkan kegiatankegiatan yang berhubungan dengan usaha tani dilakukan secara bersama-sama antara suami istri. Penelitian Puspitawati dan Fahmi (2008) menunjukkan juga bahwa keluarga petani mempunyai pola pengeluaran yang lebih besar dari pendapatan yang diperoleh, permasalahan dalam usaha tani yang paling banyak dialami adalah rendahnya produksi pertanian. Berdasarkan penelitian terdahulu ini faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembagian peran gender dalam keluarga adalah pendapatan/kapita/bulan, frekuensi perencanaan, dan permasalahan umum keluarga, adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembagian peran gender dalam usaha tani adalah jumlah anggota keluarga, frekuensi perencanaan dan permasalahan umum keluarga. Fausia dan Prasetyaningsih (2005) menyatakan bahwa mayoritas perempuan di pedesaan kurang memiliki akses terhadap sumberdaya pertanian seperti terbatasnya akses dan hak atas lahan dan sumberdaya lainnya. Penelitian 19 Simanjuntak (2010) menjelaskan bahwa relasi gender yang semakin responsif dan tingkat stres ibu yang semakin rendah memberikan pengaruh langsung terhadap kesejahteraan keluarga subjektif, sedangkan ekonomi keluarga yang semakin baik dan strategi koping yang semakin sedikit akan memberikan pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga subjektif. Hasil penelitian terdahulu tersebut dijadikan acuan dalam penelitian ini. Adapun hasil penelitian terdahulu terlihat dalam Tabel 1. Tabel 1 Penelitian pendahulu terkait topik penelitian No. Tahun 1. 2003 Ukoha 2. 2010 Khaerunisa Nurul Firdausi 3. 2010 Vivi Irzalinda 4. 2010 Penulis Sinta Rahmi Putri Judul Contribution of Women to Farm Family income in Ikuwano Local Government Area of Abia State, Nigeria Analisis Pengaruh Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Manajemen Keuangan Keluarga terhadap Kesejahteraan Keluarga TKW Kontribusi Ekonomi, Peran Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga di Kota dan Kabupaten Bogor Relasi Gender pada Rumahtangga Petani Sayuran Dataran Rendah Hasil Kontribusi perempuan terhadap pertanian keluarganya adalah sebesar 66,6 persen Kontribusi ekonomi TKW tidak berpengaruh pada kesejahteraan keluarga Kesejahteraan subjektif dipengaruhi nyata positif oleh jumlah anak Rata-rata kontribusi nilai ekonomi pekerjaan istri terhadap pendapatan total keluarga adalah 16,4 dan 46,2 persen pada masingmasing dua daerah lokasi penelitian Faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif adalah permasalahan keluarga. Pada masyarakat petani sayuran pola pengambilan keputusan masih di dominasi oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Perempuan hanya memiliki dominasi kekuasaan dalam mengambil keputusan pada kegiatan domestik. Keterlibatan perempuan di kegiatan produktif sebagian besar terbatas pada mencabut dan mengikat sayuran pada akhir periode tanam. Mayoritas kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki 20 No. 5. Tahun 2011 Penulis Wiwik Gustina Judul Pengaruh Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Peran Gender terhadap Kesejahteraan Keluarga di Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Hasil adalah di sektor produktif yaitu mengelola lahan pertanian sayuran dengan memegang kontrol terhadap reproduksi hingga pemasaran Rata-rata kontribusi pendapatan istri terhadap pendapatan total keluarga perbulan adalah 43,3 persen. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap kontribusi ekonomi perempuan adalah umur istri dan kepemilikan aset. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap peran gender dalam pengambilan keputusan adalah kepemilikan aset dan kontribusi ekonomi perempuan. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap kesejahteraan keluarga subjektif adalah kepemilikan aset dan pendapatan total keluarga.