BAB 4 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4. 1 Penyajian Data Hasil Penelitian Selama dalam proses penelitian, berbagai data berhasil dikumpulkan dan disusun sedemikian rupa untuk membantu proses tujuan dari penelitian ini, dan berikut data-data yang berhasil dikumpulkan oleh penulis selama dalam penelitian. 4. 1. 1 Data Narasumber Narasumber memiliki peranan penting dalam membentuk isi dan kesimpulan atas sebuah penlitian, karena itu memilih narasumber yang memiliki kredibilitas dann sesuai dengan objek penelitian, akan turut membantu proses penelitian mencapai tujuan utamanya. Berikut profilprofil narasumber yang terlibat dalam penelitian ini: • Christopher Halim (22 tahun), seorang mahasiswa aktif dan berprestasi di universitas Bina Nusantara yang mengambil jurusan Marketing Komunikasi, penjurusan Broadcasting. Pernah menjadi juri di sebuah English Competition. • Robin, mahasiswa aktif jurusan Marketing Komunikasi penjurusan Broadcasting di universitas Bina Nusantara. 50 51 • Helmi Shemi, mahasiswa aktif semester empat, jurusan Marketing Komunikasi yang turut aktif sebagai seorang produser program Halo Kampus di Binus TV. Kini sudah menjadi karyawan tetap di Binus TV. • Calvin (20 tahun), mahasiswa Bina Nusantara, jurusan Teknologi Informatika semester dua. Seorang maniak game pc, terutama game online. • Danny Wahono (19 tahun), mahasiswa aktif di universitas Bina Nusantara. Memilih jurusan Management sebagai pilihan pendidikannya dan sedang berada pada jenjang semester dua. Turut aktif di kegiatan UKM ternama di Universitas Bina Nusantara, yaitu Nippon Club. • Diatri Lukita Prasetyaningsih (18 tahun), seorang mahasiswi aktif Jurusan Management semester dua yang menyukai hal-hal yang bersinggungan dengan Jepang. 4. 1. 2 Data Proses Wawancara Selama dalam proses penelitian, berbagai tahapan dilalui demi mencapai hasil maksimal dari tujuan penelitian. Mulai dari kriteria narasumber yang hendak dipilih, bentuk pertanyaan, dan pemilihan tempat yang kondusif dalam melakukan wawancara. Sepeti pada penjelasan bab-bab sebelumnya, penelitian ini menggunakan teknik waancara sebagai salah satu metode pengumpulan datanya. 52 Pertanyaan yang dibentuk dalam penelitian ini tentunya memusatkan informasi kepada objek penelitian. Bentuk pertanyaan akan mengarah dari hal yang bersifat umum ke khusus secara bertahap. Setiap pertanyaan akan tetap bersinggungan dengan objek penelitian, yaitu film “Persona 4 Animation”. Secara umum, Soehartono (2006:67), wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada responden oleh peneliti/ pewawancara dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengna alat perekam. (Hikmat, 2011:80) Dalam menentukan keberhasilan penlitian, pewawancara harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan informan bersama perangkat yang melatarbelakangi. Soeharto (1993:155) memaparkan, sikap pewawancara dalam bertanya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Sikap yang netral; stuju atau tidak setuju jawaban yang diberikan responden harus diterima. Pewawancara jangan memperlihatkan ketidaksetujuan, baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan atau gerak-gerik, sehingga mengganggu hubungan (rapport). 2. Adil; semua responden harus dianggap sama. Jangan memihak kepada sebagian responden, sehingga responden merasa aman dalam memberikan informasinya. 53 3. Ramah; peneliti harus menunjukan keramahan yang wajar serta tidak dibuat-buat. (Hikmat, 2011:81) Lalu ketika wawancara telah berjalan, ada baiknya pewawancara memegang catatan kecil sebagai panduan wawancara. Panduan tersebut memiliki fungsi yang cukup untuk menunjang keberhasilan wawancara, yang diantaranya: 1. Memberikan bimbingan untuk tetap pada arah dan tujuan tema penelitian. 2. Menghindari kemungkinan lupa terhadap beberapa hal yang sebetulnya sangat dipentingkan dalam mendukung keberhasilan sebuah penelitian 3. Memungkinkan wawancara dapat menggali informasi/ data yang mendalam. Dan untuk memastikan tidak hanya hasil wawancara yang berjalan baik, namun meliputi hubungan komunikasi dengan narasumber, maka ada strategi-strategi tertentu yang digunakan peneliti dalam penerapan wawancara dalam penelitian, dan strategi tersebut diantaranya: 1. Usahakan wawancara menjadi “hubungan pribadi”. Yang dimaksud “hubungan pribadi”, usahakan informan dan penawaran tidak ditemani oleh siapapun, sehingga terjadilah komuniasi face to face. Model komunikasi seperti itu sangat memungkinkan pewawancara mendapatkan informasi yang lebih banyak dan lebih dalam karena 54 informan akan memiliki keberanian yang cukup untuk memberikan jawaban. 2. Respon pertama memiliki skala kebenaran yang cukup tinggi dari pada jawaban berikut. Oleh karena itu, jika informan memberikan beberapa jawaban yang berbeda, maka jawaban pertamalah yang lebih layak untuk dijadikan sumber data. 3. Berikanlah kesempatan yang cukup kepada informan untuk dapat memberikan jawaban. Jawaban tidak tahu, jangan segera dijadikan kesimpulan karena sangat memungkinkan sebenarnya informasi sedang berpikir atau mengingat-ingat. 4. Kendati pertanyaan yang disodorkan tertutup (tidak memberikan ruang kepada informan untuk memberikan jawaban tambahan/ penjelasan), tetapi setiap penjelasan harus dijadikan data penelitian. 5. Catatlah semua jawaban yang dilontarkan informan beserta karakteristik cara menjawab (emosi: marah, sedih, gembira, dan sebagainya). 6. Pewawancara harus mengerti seluruh jawaban yang dilontarkan informan. Jika tiak, lebih baik ditanyakan kembali. 7. Jaga keseimbangan komunikasi dan hindari terjadinya “pemutusan komunikasi”. Kendati harus sambil menulis, pewawancara pun harus tetap memiliki kesenambungan dengan memberikan pertanyaan yang sambung-menyambung. 55 8. Sebelum mengakhiri wawancara, periksalah panduan wawancara untuk menghindari pertanyaan yang belum dilontarkan kepada informan. (Hikmat, 2011:82) Berdasarkan pada semua prinsip itu pun maka peneliti berhasil menghimpun para narasumber dan melakukan wawancara dibeberapa tempat. Pada narasumber pertama hingga ke tiga, yaitu Christopher Halim, Robin, dan Helmi Shemi, peneliti memilih lokasi ruang studio di Binus TV, karena kondisi ruangan tersebut sangat mendukung suasana kondusif terhadap wawancara yang dilakukan. Sedangkan pada narasumber ke empat, yaitu Calvin, peneliti memilih melakukan wawancara di rumah sang narasumber. Sedangkan untuk dua narasumber terakhir, peneliti melakukan wawancara yang bertempat di kampus Binus Anggrek, tidak jauh dari Café Red Lite. Lalu dalam wawancara yang dilakukan selama penelitian, peneliti membentuk beberapa pertanyaan yang mendasar kepada para narasumber dalam sembilan pertanyaan umum, yaitu: 1. Sejak kapan mulai menyukai anime? 2. Alasan menyukai anime? 3. Mengetahui film persona 4 dari mana? 4. Alasan menonton film tersebut? 5. Tanggapan terhadap film tersebut? 6. Adegan yang paling anda sukai dalam film tersebut? 56 7. Karakter favorit dalam film tersebut? 8. Nilai dan pesan yang anda tangkap pada episode tersebut? 9. Pernahkah anda mengalami hal serupa dalam keseharian anda? 4. 2 Pengolahan Data Penelitian Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti dapat dari beberapa nara sumber tersebut, peneliti menggunakan tahap peneltian dalam menganalisis data yang terkumpul. Pada tahap pertama, peneliti meneliti latar belakang para naasumber yang secara garis besar telah mengenal film anime sejak dulu. tidak hanya itu, peneliti juga menelah seberapa dalam para narasumber mengenal film “Persona 4 Animation” dari pengetahuan mereka. Dengan memanfaatkan metode observasi dalam melakukan penghimpunan tanggapan, yaitu dimana metode observasi merupakan suatu bentuk kegiatan penelitian yang mengamati dan mencermati serta melakukan pencatatan data atau informasi yang sesuai dengan konteks penelitian, dimana diharapkan dari kegiatan tersebut peneliti akan dapat menjelaskan secara luas dan rinci tetang masalah yang dihadapi. Tidak hanya itu, melalui observasi peneliti turut mampu untuk menjelaskan secara luas dan rinci tentang masalah-masalah yang dihadapi dalam penelitian. Data hasil pengamatan pun kemudian akan diproses sebagai data deskriptif yang merupakan hasil penelitian yang tidak mencari atau menjelaskan hubungan, melainkan sebuah proses belajar untuk mendapatkan hasil dengan menaruh perhatian penting pada beberapa variable. Tujuan utama dari bentuk data ini sendiri adalah menggambarkan 57 sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Maka dari itu, dengan mempertimbangkan segala kemungkinan dan hasil yang berkaitan dengan objek penelitian, maka pertanyaan wawancara dapat di pusatkan pada beberapa poin pertanyaan, yaitu: - Alasan menonton film “Persona 4 Animation” dalam episode “We Are Friends, Aren’t We?” - Tanggapan terhadap film “Persona 4 Animation” dalam episode “We Are Friends, Aren’t We?” - Adegan yang berkesan di film “Persona 4 Animation” dalam episode “We Are Friends, Aren’t We?” - Karakter Favorit di film “Persoan 4 Animation” dalam episode “We Are Friends, Aren’t We?” - Nilai dan pesan yang terdapat dalam film “Persona 4 Animation” dalam episode “We Are Friends, Aren’t We?” - Pengalaman yang hampir serupa dalam film “Persona 4 Animation” dalam episode “We Are Friends, Aren’t We?” 4. 3 Pembahasan Hasil Penelitian Melalui sebuah film, banyak hal yang bisa kita pahami. Hal itu pun dikarenakan dalam sebuah film, banyak nilai dan pesan sosial yang bisa kita pahami, baik melalui segi cerita yang disajikan sebuah film, hingga pada bagaimana karakteristik para 58 karakter yang terdapat dalam film. Pendalaman makna film sebagai media komunikasi massa tidak lepas dari bagaimana film mampu mempengaruhi lebih dari satu individu yang memiliki keberagaman latar belakang, dan hal itu sendiri tidak lepas dari bagaimana peranan media yang menerapkan peranan sebuah komunikasi sebagai proses, yaitu dimana menurut Berelson dan Steiner (1964), komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain, melalui penggunaan simbol-simbol, seperti kata-kat, gambar-gambar, angka-angka, dan lain-lain. Tidak hanya itu, definisi dari kamunikasi sebagai tujuan/kesengajaan itu sendiri turut menjelaskan komunikasi pada dasarnya merupakan penyampaian pesan yang disengaja dari sumber terhadap penerima dengan tujuan mempengaruhi tingkah laku pihak penerima.(Senjaya, dkk. 2008: 1.22-1.23). Melalui hal ini kita bisa melihat bagaimana khalayak yang menonton film ini akan menerima pesan yang tersimpan dalam film, dan dari hal itu pun akan berlanjut pada bagaimana tingkat kelanjutan khalayak terhadap pesan tersebut, yang disampaikan secara verbal mau pun non-verbal. Dengan menelah analisa tersebut, memahami peranan komunikasi pada tingkat yang lebih luas, yaitu komunikasi massa, ang merupakan proses pengiriman pesan oleh media kepada khalayak luas. Menurut Sasa Djuarsa Senjaya, dan kawan-kawan dalam buku Teori Komunikasi, komunkasi massa adalah komunikasi melalui media massa yang ditunjukan kepada sejumah khalayak yang besar. Proses komunikasi massa melibatkan aspek-aspek komunikasi intrapribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, dan komunikasi organisasi. Teori-teori komunikasi massa umumnya mefokuskan perhatiannya pada hal-hal yang menyangkut struktur media, hubungan media dan masyarakat, hubungan antar media dan khalayak, aspek-aspek budaya dari komunikasi 59 massa, serta dampak atas hasil komunikasi massa terhadap individu. (Senjaya, dkk. 2007: 1.28) Jadi secara garis besar, peneliti mencoba untuk menggali bagaimana peranan media penelitian yang berupa film, dalam menyebarkan nilai dan pesannya terhadap para penontonnya yang tergolong para penggemar anime di universitas Binua Nusantara. Karena dengan melihat seberapa besar pesan yang mampu ditangkap oleh para penonton, akan membantu terbentukanya proses mendasar dari tercapainya tujuan mendasar penelitian ini. Dari hal tersebut khalayak yang menerima pesan komunkasi melalui film “Persona 4 Animation” pun akan memberi penekanan berupa pandangan mereka pada sebuah objek media yang dianggap menarik dan mampu memenuhi kebutuhan mereka sebagai makhluk sosial, sehingga terjalin sebuah hubungan antar kahalayak dengan media dalam hal penyampaian pesan yang berupa tanggapan. Berdasarkan hasil pengolahan data sebelumnya, maka hasil data yang berhasil peneliti dapat melalui penelitian ini adalah: 4.3.1 Alasan menonton film “Persona 4 Animation” dalam episode “We Are Friends, Aren’t We?” Setiap individu yang hidup di masa sekarang akan selalu mencari pemenuhan kebutuhannya akan segala hal, baik yang berupa fisik mau pun non-fisik. Hal itu pun 60 tidak lepas dari bagaimana kita manusia sebagai manusia sosial akan selalu memenuhi kebutuhan diri kita secara jasmani, mau pun rohani. Crishtoper “Karena saya memang menyukai game-nya, jadi walaupun jalan cerita yang ada di film sama dengan di game, ada rasa penasaran untuk tahu perbedaannya jika diangkat menjadi sebuah film yang hanya perlu di tonton saja.” Calvin “Pernah main gamenya. Terus storylinenya bagus, gambarnya keren-keren, karena itu saya mencoba untuk menonton versi animenya.” Diatri “Penasaran sama filmnya. Biasanya kalo dari game dijadiin anime itu pasti ada beberapa yang berbeda, dan ternyata memang benar.” Berdasarkan pada ke empat narasumber tersebut, peneliti menangkap satu kesimpulan dasar bahwa alasan setiap individu memilih media, terutama media film tertentu adalah rasa dari penasaran mereka terhadap film tersebut. Alasan dari terbentukanya rasa penasaran itu sendiri beragam, ada yang berdasarkan pengalaman dari media lainnya yang memiliki keterkaitan dengan media film “Persoan 4 Animation”. 61 Seperti yang dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, film “Persona 4 Animation” merupakan film animasi yang diadaptasi dari game console Play Station 2. Jadi tidaklah salah bilamana ada kecenderungan dari beberapa narasumber mencoba mencari perbandingan antara game yang pernah mereka kenal dan kini menjadi sebuah film yang hanya perlu mereka lihat. Berdasarkan pemahaman menurut Ricard West dan Lynn H. Turner dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, teori kegunaan dan gratifikasi merupakan teori yang menjelaskan bahwa orang aktif memilih dan menggunakan media tertentu untuk memuaskan kebutuhan tertentu. Menekankan posisi pengaruh yang terbatas, teori ini melihat media mempunyai pengaruh terbatas karena pengguna mampu memilih dan mengendalikan. Orang memiliki kesadaran diri, dan mereka mampu memahami dan menyatakan alasan mereka menggunakan media. Mereka meilhat media sebagai salah satu cara memuaskan kebutuhan yang mereka miliki. Teori kegunaan dan gratifikasi sendiri mencoba berfokus pada poin yang menekankan pendapat apa yang orang lakukan dengan media. Berdasarkan pemahaman teori kegunaan dan gratifikasi tersebut, kita dapat menarik satu kesimpulan bahwa para narasumber memang telah menerapkan pemahaman teori ini sebagai salah satu latar tindakan mereka untuk menonton film “Persona 4 Animation”, hal itu tidak lepas dari bagaimana mereka tidak dihadapkan pada pilihan, melainkan mereka memiih media film ini berdasarkan keinginan atau motivasi mereka akan pemenuhan kebutuhan terhadap mereka. 62 Alan Rubin (1981) mengemukakan bahwa motivasi yang mendorong khalayak menggunakan media, dapat dikelompokan menjadi beberapa kategori, yaitu: untuk melewatkan waktu, untuk menemani, kesenangan, pelarian, kenikmatan, interaksi sosial, relaksasi, informan, dan untuk mempelajari muatan tertentu. Menelah pemahaman dari motivasi pada penjelasan diatas, peneliti teringat pada bagaiaman pemahaman motivasi tersebut memiliki keterkaitan dengan pemahaman dari Khalayak aktif yang dijabarkan oleh Mark Levy dan Sven Windahl dalam buku Teori Komunkasi: Analisis dan Aplikasi karya Ricard West dan Lynn H. Turner. Sebagaimana dipahami secara umum oleh penelitian gratifikasi, istilah “aktivitas khalayak” merujuk pada orientasi sukarela dan selektif oleh khalayak terhadap proses komunikasi. Singkatnya, hal ini menyatakan bahwa penggunaan media dimotivasi oleh kebutuhan dan tujuan yang didefinisikan oleh khalayak itu sendiri, dan bahwa partisipasi aktif dalam proses komunikasi mungkin difasilitasi, dibatasi, atau memengaruhi kepuasan dan pengaruh yang dihubungkan dengan eksposur. Pemikiran terbaru juga menyatakan bahwa aktivitas khalayak paling baik dikonseptualisasikan sebagai sebuah variable konstruk, dengan khalayak mempertunjukan berbagai jenis dan tingkat aktivitas. (hal.110) Menilai pemahaman akan bagaimana motivasi mendorong terbentuknya khalayak aktif, yang dalam penelitian ini adalah penggemar anime di Universitas Bina Nusantara, para narasumber telah menerapkannya pada beberapa kategori, seperti: kesenangan, kenikmatan, informan, dan untuk mempelajari muatan tertentu yang terdapat dalam film. Hal itu bisa peneliti lihat dari bagaimana para informan cukup mengenal perkembangan dari film tersebut, dan mencoba melakukan perbandingan antara film tersebut terhadap bentuk media sebelumnya dari film ini. 63 Dari sekian alasan atau motivasi para narasumber menonton film “Persona 4 Animation” memang berdasarkan rasa penasaran, namun hal itu tidak lepas adanya beberapa narasumber yang mencoba mendalami alasan mereka dalam memilih media film “Persona 4 Animation” secara mendalam. Robin “Awalnya karena rasa penasaran, tapi lama-kelamaan ingin tahu alur ceritanya bagaimana. Banyak nilai-nilai yang bisa saya tangkap dari anime ini, karena film ini memiliki makna yang mendalam. Saya juga ingin mencoba untuk mencari tahu bagaimana pola pikir para karakter dalam film saat menghadapi masalah yang dihadapkan pada mereka.”. Danny “Dari ceritanya kita bisa tahu, bahwa setiap orang punya perasaan-perasaan yang ditutup-tutupi, dan dari film Persona 4 itu kita bisa mengerti perasaan dan jalan pikir orang.” Dari kedua narasumber tersebut, kita bisa melihat bahwa mereka menerapkan pemahaman teori kegunaan dan gratifikasi, namun mereka mencoba menggali lebih dalam terhadap alasan mereka menilai film “Persona 4 Animation”, dan yang membedakan dari jawaban dua narasumber ini adalah, mereka tidak membandingkan sejarah perkembangan dari film yang diadaptasi berdasarkan game ini. 64 Dalam teori kegunaan dan gratifikasi, kita mengenal lima asumsi dasar atas teori tersebut, diantaranya yaitu asumsi kahalayak aktif dan penggunaan medianya berorientasi pada tujuan, dimana anggota khalayak individu dapat membawa tingkat aktivitas yang berbeda untuk penggunaan media mereka, anggota khalayak juga berusaha untuk menyelesaikan tujuannya melalui media. Dalam mengidentifikasi klasifikasi kebutuhan dan kepuasan khalayak, McQuail menerangkan klasifikasi tersebut mencakup pengalihan (diversion), yang bisa diidentifikasi sebagai keluar dari rutinitas atau masalah sehari-hari; hubungan personal (personal relationship), yang terjadi ketika orang menggunakan media sebagai temannya; identitas personal (persona identitiy), atau cara untuk menekan nilai-nilai individu; dan pengawasan (surveillance), atau informasi mengenai bagaimana media akan membantu individu mencapai sesuatu. Dengan menghubungkan pemahaman asumsi tersebut dengan kenyataan data dua narasumber, peneliti menyimpulakan bahwa alasan dari mereka menggunakan media ini memiliki keterkaitan dalam klasifikasi kebutuhan dan kepuasan McQuail, yaitu pada poin identitas personal. Berdasarkan pemahamannya sendiri, identitas personal meruapakan kondisi dimana seorang individu menggunakan media untuk menekankan nilai-nilai individu. Nilai-nilai yang coba ditekankan oleh para narasumber adalah bagaimana alur cerita yang mendalam dan pengangkatan nilai-nilai hubungan sosial antar individu. 65 4.3.2 Tanggapan terhadap film “Persona 4 Animation” dalam episode “We Are Friends, Aren’t We?” Menilai sebuah media merupakan peran dasar yang telah berkembang pada keseharian media pada masa kini. Berbagai media mulai dari media cetak, televisi, radio, dan beberapa media lainnya tidak pernah lepas dari pandangan para khalayak dalam melakukan penilain terhadap media. Dari sekian jenis media tersebut, media film merupakan media yang amat menarik untuk dibahas. Robin “Menurut saya film ini sangat menarik, mulai dari segi gambar, alur cerita, dan efek-efek yang menarik. Tidak seperti film sejenisnya yang lebih banyak menampilkan kekerasan tanpa makna, saya merasa film ini mampu menampilakan hal yang seimbang dalam dialog dan adegan yang serius dengan yang mengandung unsure komedi. Jadi film menurut saya film ini sudah lengkap.” Shemi “Jalan Ceritanya bagus, tapi jika dibandingkan dengan game, sangat jauh sekali, dan hubungan antar tokohnya pun jauh berbeda dengan gamenya.” 66 Danny “Gelap, tapi ceritanya bagus. Bisa dimasukan kedalam kehidupan sehari-hari kita.” Berdasarkan data ketiga narasumber diatas, peneliti menarik kesimpulan sementara bahwa secara garis besar para khalayak berhasil terpenuhi kebutuhannya terhadap media film “Persona 4 Animation”. Hal itu bisa dilihat dari tanggapan tiga narasumber yang terpuaskan hasratnya terhadap film tersebut. Munculnya tanggapan dasar tersebut tidak lepas dari beberapa alasan para narasumber yang mencoba untuk mendalami nilai dari film dan mencoba membandingkannya dengan media lain atau pengalamannya. Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, Ricard West dan Lynn H. Turner menerangkan bahwa teori kahalayk aktif adalah teori yang didasarkan pada asumsi bahwa konsumen media adalah aktif, yang dengan kata lain mereka memiliki kehendak bebas dalam menilai dan menggunakan media yang ada. Pada data analisis diatas kita dapat menyimpulkan bahwa para narasumber mampu memberi penilaian mereka atas film tersebut. Penilaian atas objek film itu sendiri bisa berupa tangapan, baik yang bersifat positif atau pun negatif. Karena seperti pada penekakan sebelumnya, khalayak memiliki kebebasan dalam memberi penilaiannya terhadp media, dan hal tersebut cenderung berawal dengan sebuah persepsi. Dalam buku Teori Komunikasi, Sasa Djuarsa Senjaya, dkk. Menjelaskan bagaimana definisi dari sebuah persepsi itu sendiri dengan mengutip pandangan Cohen, Fisher 67 (1987: 118) yang menerangkan bahwa persepsi merupakan interprestasi terhadap berbagai sensasi sebagai representasi dari objek-objek eksternal, jadi persepsi adalah pengetahuan tentang apa yang dapat ditangkap oleh indra kita. Definisi ini sendiri melibatkan sejumlah karakteristik yang mendasari upaya kita untuk memahami proses antarpribadi. Dari pemahaman tersebut, sepintas kita akan memahami bahwa para narasumber telah menerapkan bentuk dasar dari teori persepsi diri atau Self Perception Theory. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana para narasumber mampu menginterprestasikan sensasi mereka pada film “Persoan 4 Animation”sebagai representasi dari objek-objek eksternal. Konsep dari syarat berlangsungnya sebuah persepsi sendiri dapat kita pahami melalui tiga tahap, yaitu: • Suatu tindakan persepsi mensyaratkan kehadiran objek eksternal untuk dapat ditangkap oleh indra kita. Dalam hal persepsi terhadap pribadi, kehadirannya sebagai objek eksternal mungkin kurang nyata, tetapi keberadaannya jelas dapat kita rasakan. • Adanya informasi untuk diinterprestasikan. Informasi yang dimaksud disini adalah segala sesuatu yang diperoleh melalui sensasi atau indra yang kita miliki. • Berhubungan dengan sifat representative dari pengindraan. Maksudnya, kita tidak dapat mengartikan makna suatu objek secara langsung karena kita sebenarnya hanya mengartikan makna dari informasi yang kita anggap mewakili objek tersebut. 68 Menilai ketiga tahap tersebut, peneliti menarik kesimpulan bahwa penerapan dari sebuah persepsi memang telah berjalan terhadap kenyataan data yang didapat dalam penelitian. Hal tersebut dapat dilihat oleh peneliti dalam tingkatan proses yang berjalan atau terjalin atara khalayak penggemar anime di Universita Bina Nusantara dengan media film “Persona 4 Animation”, sehingga pada akhirnya para narasumber mampu membentuk sebuah persepsi dasar atas film yang mereka saksiakan. Mencoba menelah lebih dalam hasil data dari penelitian ini, peneliti pun menangkap beberapa bentuk tanggapan atau persepsi narasumber yang memiliki kedalaman tertentu, dikararenakan beberapa narasumber berikut itu mencoba untuk menghubungkannya dengan kedalam dari informasi objek penelitian. Crishtoper “Tanggapan saya terhadap film ini cukup puas, walaupun terkesan terburu-buru dimana anime ini di haruskan masuk dalam 26 episode. Padahal bila melihat total play time dari gamenya sendiri, mustahil untuk masuk dalam 26 episode saja. Tetap sejauh ini puas, hanya saja masih merasa banyak hal yang bisa diceritakan dalam film ini. Jadi walaupun terkesan dipaksakan, secara umum bagus.” Diantri “Kurang, soalnya ending film hanya sampai good ending. Belum sampai true ending, dan itu ditunggu sekali.” 69 Calvin “Sebenarnya sih filmnya bagus,hanya saja saya kecewa karena artwork-nya tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Komposisi warnanya pun kurang cocok, dan gambar yang ditampilkan tidak sebagus yang diharapkan.” Menilai tanggapan dari ketiga narasumber diatas, peneliti mendapat pemahaman bahwa sebenarnya tanggapan atau persepsi yag coba disampaikan oleh tiga narasumber di atas sama dengan tiga narasumber sebelumnya, hanya saja dalam tanggapan yang meeka berikan, mereka lebih memberi penekanan pada sisi lain film, sehingga ada kecenderungan memberi saran dan bersifat evaluasi . Dalam bukunya yang berjudul Teori Komunikasi, Sasa Djuarsa Senjaya, dkk., menjelaskan sebuah persepsi merupakan hal yang terjadi dalam benak individu yang mempersepsikan suatu objek, dan bukan didalam objek, dan selalu merupakan pengetahuan tentang penampakan. Maka apa yang jelas bagi orang lain mungkin terasa membingungkan bagi kita. Dalam konteks inilah kita perlu memahami tataran intra pribadi dari komunikasi antarpribadi dengan melihat lebih jauh sifat-sifat persepsi sebagai berikut: • Persepsi adalah pengalaman, dimana untuk mengartikan makna dari seseorang, objek, atau peristiwa, kita harus memiliki dasar/basis untuk melakukan interprestasi. Dasar ini biasanya kita temukan pada pengalaman masa lalu kita dengan orang, objek, atau peristiwa tersebut, atau dengan hal-hal yang menyerupai. Tanpa landasan pengalaman sebagai pembanding, tidak mungkin untuk 70 mempersepsikan suatu makan, sebab ini akan membawa kita kepada suatu kebingungan. • Persepsi adalah selektif, dimana ketika kita mepersepsiakan sesuatu, kita cenderung memperhatikan hanya bagian-bagian tertentu dari suautu objek atau orang. Dengan kata lain, kita melakukan seleksi hanya pada karakteristik tertentu dari objek persepsi kita dan mengabaikan orang lain. Dalam hal ini biasanya kita mempersepsikan apa yang kita “inginkan” atas dasar sikap, nilai, dan keyakinan yang ada dalam diri kita, dan mengabaikan karakteristik yang tidak relevan atau berlawanan dengan nilai dan keyakinan tersebut. • Persepsi adalah penyimpulan, dimana ketika kita menilai proses psikologis dari persepsi mencakup penarikan kesimpulan melalui suatu proses induksi secara logis. Interprestasi yang dihasilkan melalui persepsi pada dasarnya adalah penyimpulan atas informasi yang tidak lengkap. Dengan kata lain, mempersepsikan makna adalah melompat kepada suatu kesimpulan yang tidak sepenuhnya didasarkan atas data yang dapat ditangkap oleh indra kita. Sifat ini saling mengisi dengan sifat kedua. Pada sifat kedua, persepsi adalah selektif karena keterbatasan kapasitas otak maka kita hanya dapat mempersepsikan sebagian karakteristik dari objek. Melalui penyimpulan ini kita berusaha untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai objek yang kita persepsikan atas dasar sebagian karakteristik dari objek tertentu. • Persepsi tidak akurat, dimana setiap persepsi yang kita lakukan, akan mengandung kesalahan dalam kadar tertentu, hal ini disebabkan oleh pengaruh pengalaman masa lalu, selektivitas, dan penyimpulan. Biasanya ketidakakuratan ini terjadi karena penyimpulan yang terlalu mudah, atau menyamaratakan. Adakalanya persepsi tidak akurat karena orang menganggap sama sesuatu yang sebenarnya hanya mirip. Dan semakin jauh jarak antara orang mempersepsi dnegan 71 objeknya maka semakin tidak akurat persepsinya, meskipun demikian kita biasanya mengabaikan ketidak akuratan tersebut dalam kegiatan persepsi kita sehari-hari, dan ketidakakuratan persepsi tidak selalu menjadi/menimbulkan masalah dalam komunikasi antarpribadi. • Persepsi adalah evaluative, dimana persepsi tidak akan pernah objektif karena kita melakukan interpretasi berdasarkan pengalaman dan merefleksikan sikap, nilai, dan keyakinan pribadi yang digunakan untuk memberi makna pada objek persepsi. Karena persepsi merupakan proses kognitif psikologis yang ada di dalam diri kita, maka cenderung bersifat subyektif. Fisher (1987: 125) bahkan mengemukakan bahwa persepsi bukan hanya merupakan proses intrapribadi, tetapi juga sesuatu yang sangat pribadi, dan tidak terhindarkannya keterlibatan pribadi dalam tindakan persepsi menyebabkan persepsi sangat subyektif. (Senjaya, dkk., 2007: 2.132.16) Melihat dan menelah pemahaman dalam dari sifat-sifat sebuah persepsi, peneliti mendapati bahwa secara keseluruahan narasumber mampu membentuk sebuah persepsi berdasarkan objek media film yang mereka gunakan. Dan hal tersebut pun memancing berbagai bentuk persepsi dari narasumber sebagai objek penelitian, dimana ada beberapa narasumber yang menilai sesuatu berdasarkan pengalaman, namun ada pula yang menilainya berdasarkan pemahaman pribadi. Dari keseluruahan hal tersebut, peneliti menyimpulakan bahwa pada dasaranya khalayak dalam memberi sebuah tanggapan, tentunya akan selalu bersifat subyektif, karena hal yang muncul dalam pemikiran kita ketika kita hendak menilai sesuatu berdasarkan bagaimana suatu objek mempengruhi pemikiran kita disebut sebagai persepsi. Namun mengesampingkan sifat sebuah persepsi yang bersifat subyektif, hasil 72 data dari sebuah tanggapan atau persepsi merupakan jenis data yang tetap menarik untuk dibahas, karena peneliti menilai bisa mengesampingkan sifat data yang subyektif tersebut 4.3.3 Adegan yang berkesan di film “Persona 4 Animation” dalam episode “We Are Friends, Aren’t We?” Dalam sebuh film yang memiliki alur cerita yang menarik, tentunya akan memiliki alur pemahaman yang mendalam bagi para penontonnya. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam film itu sendiri tentunya akan meninggalkan kesan-kesan tersendiri dari bagi para penontonnya. Crishtoper “Yang paling menarik dari episode ini adalah bagaimana gelapnya episode ini dibandingkan episode-episode lainnya. Di episode ini turut digambarkan bagaimana Chie akan berhadapan dengan shadow-nya, dan hal itu merupakan penggambaran yang cukup gelap dibandingkan dengan episode-episode sebelumnya yang mudah dimengerti. Di episode itu digambarkan bagaimana Chie sempat dikelilingi oleh banyak wajah-wajah kosong dirinya, dan hal itu pun terbilang menakutkan bagi seorang anak SMA. Tapi mungkin yang paling berkesan adalah bagaimana akhirnya Chie mampu berdamai dengan dirinya sendiri.” 73 74 Shemi “Adegan disaat Chie mengakui Shadow-nya adalah bagian dari dirinya. Hal itu pun mengungkapkan bahwa manusia itu memiliki jiwa lain yang harus mereka akui, karena itu merupakan bagin dari diri mereka sendiri.” Danny “Di episode tiga itu ketika Chie dikerubungi oleh Chie-Chie lainnya yang menyebutkan kejelekan-kejelekan dia dan kejelekan karakter Yukiko.” 75 Dari sekian tanggapan para narasumber mengenai film “Persoan 4 Animation”, peneliti menangkap satu garis besar yang ada pada tanggapan-tanggapan tersebut, yaitu dimana banyak dari para narasumber menaruh perhatian mereka pada adegan dalam film disaat kemunculan sosok gelap dari karakter Satonaka Chie atau sering disebut sebagai Shadow Chei dan saat dimana Chie mampu menerima kekurangan yang ada dalam dirinya dan berani menghadapi Shadow-nya. Mencoba untuk memahami poin pertama yang menjadi kecenderungan para narasumber lihat, pemahaman Shadow dalam film ini sendiri secara jelas ditampilkan sebagai sosok lain dari diri kita yang meliputi segala sisi negatif kita yang terbenam dalam diri, dan kemudian sosok tersebut mampu mengambil wujud nyata dan mampu menyerang kita. 76 Berdasarkan penjelasan Jess Feist dan Gregory J. Feist dalam bukunya yang berjudul Theories of Personality, menelah pemahaman tersebut berdasarkan pandangan teori Analitis Carl Jung mengenai struktur jiwa, Shadow merupakan archetype yang terdapat dalam Collective Unconscious, yaitu merupakan wilayah kekuatan jiwa yang paling luas dan dalam, serat turut mengatur akar dari empat fungsi psikologis, yaitu sensasi, intuisi, pemikiran, dan perasaan. Selain itu Collective Unconscious juga merupakan tempat ingatan masa lampau leluhur seseorang yang tidak hanya meliputi sejarah ras manusia sebagai spesies tersendiri, tetapi juga leluhur para manusiawi atau nenek moyang binatangnya. Pemahaman mengenai Shadow itu sendiri dapat kita pahami sebagai archetype kegelapan dan penekanan, yang mewakili hal lain dari diri kita yang hendak kita tidak ingin ketahui tetapi mencoba bersembunyi dari diri kita dan orang lain. Shadow sendiri dapat kita pahami sebagai aspek-aspek yang lebih lemah dominasinya hanya menjadi baying-bayang diri. Jung mengistilahkannya dengan autonomous complex atau archetype yang lain, yang muncul ke permukaan di dalam mimpi. Kadang-kadang, naluri dan desakan diwujudkan dalam bentuk bayang-bayang, bersama perasaan perasaan negatif dan destruktif. Ia dapat berupa satu sosok yang mengancam, yang menyamar sebagai seseorang yang tidak disukai oleh orang-orang yang bermimpi. Satu cara untuk mengenali bayang-bayang figur di dalam sebuah mimpi adalah dengan mengamati reaksi dan perasaan kita yang paling negatif terhadap seseorang atau suasana tertentu, karena hal yang paling tidak kita sukailah yang membentuk inti dari bayangan tersebut. Menilai pengertian tersebut peniliti menyimpulakan bahwa apa yang ditampilkan dalam film mengenai pemahaman Shadow itu sendiri kurang lebih hampir sama dengan pemahaman yang ada dalam pengertian teori yang diterangkan Carl Jung. Dan berdasarkan pemahaman kedua hal tersebut, kita bisa menyimpulakan bahwa para 77 narasumber mampu memahami secara mendasar akan hal yang disebut shadow dalam film “Persona 4 Animation”. Kembali pada jalur utama dari pembahasan ini mengenai bagaimana narasumber memilih adegan ini sebagai hal yang berkesan dalam film, kita bisa memandanganya berdasarkan pemahaman awal bahwa banyak dari individu yang menonton sebuah film , memiliki penghayatan pada kedalaman tertentu, sehingga mereka akan menaruh penilaian pada beberapa adegan yang muncul dalam film. Hal itu sendiri tidak lepas dari bagaimana para narasumber yang menonton film ini mampu menempatkan diri mereka dalam kondisi yang sama dalam film, sehingga mampu memutuskan hal yang menurut mereka menarik dalam sebuah film. Onong Uchjana Effendy menekankan bahwa dalam ilmu jiwa sosial terdapat gejala yang disebut identifikasi psikologis, dimana dalam menghayati sebuah film kerap kali penonton menyamakan seluruh pribadinya dengan salah satu karakter dalam film. Tidak hanya memahami atau merasakan, melainkan layaknya baik sang karakter film dengan penonton ada dalam satu kondisi yang sama. Penonton yang menyukai suatu film akan cenderung terbawa dalam alur cerita film tersebut, sehingga ia merasa seakan-akan dirinya turut ada dalam film yang bersangkutan dan menjadi pemain itu sendiri. (Effendy, 2003: 207-208) Memandang hal tersebut, peneliti pun mampu menarik keterkaitan dalam bagaimana para narasumber memiliki sebuah penghayatan seperti yang dijelaskan dalam teori identitas oleh Onong Uchjana Effendy, terhadap adegan dalam film yang mereka lihat dan nilai sebagai adegan yang menarik serta bermakna. Namun ada satu narasumber yang memberi tanggapan berbeda mengenai adegan dalam film ini. 78 Calvin “Adegan ketika Yu Narukami mendapatkan persona ke duanya. Jadi ketika kartunya jatuh dari atas, tampilan gambarnya bagus, soundeffect-nya bagus, dan musiknya juga menarik.” Narasumber ini memiliki kecenderungan menilai segi grafis dan efek suara yang terdapat dalam film, sehingga ada kecenderungan bahwa ia tidak sepenuhnya mendalami alur cerita dari film. Namun terlepas dari bagaiman isi ia menanggapi hal ini, tanggapan yang dimiliki narasumber ini memiliki keunikan tersediri bagi penelitian ini. Dalam bukunya yang berjudul Teori Komunikasi, Sasa Dhuarsa Senjaya, dkk., menjelaskan bahwa ketika mendalami sebuah persepsi kita menyimpulkan bahwa meskipun sebuah persepsi didasari hanya pada pengamatan langsung, hal ini bukanlah sesuatu yang “sebenarnya” dalam artian kita dapat menangkap atau menguasai objek tersebut. Kita melihat, membaui, mendengar, mencicipi, dan meraba, tetapi apa yang harus kita interprestasikan adalah penampakan, bau, rasa, dan bentuk yang mewakili sesuatu, dan kita tidak akan pernah dapat “merasakan” objek itu sendiri. Konsekuensinya adalah bahwa pengetahuan yang kita peroleh melalui persepsi bukanlah 79 tentang apakah suatu objek, melainkan apa yang tampak sebagai objek tersebut. Adakalanya penampakan dapat menyesatkan seperti yang kita alami dalam ilusi optis, special effects dalam film, dan sebagainya. (Senjaya, dkk., 2007: 2.14) Dengan menelah pemahaman tersebut, sebenarnya khalayak selaku pengguna media akan selalu membentuk sebuah tanggapan yang merupakan hasil dari penilaian kita atas sebuah media. Terkadang khalayak akan memberi beberapa tanggapan yang berbeda dengan lainnya, namun secara garis besar setiap individu khalayak diperdaya oleh bagaimana tampilan tertentu oleh suatu media yang memiliki pesan tertentu dalam penerapannya. 4.3.4 Karakter Favorit di film “Persoan 4 Animation” dalam episode “We Are Friends, Aren’t We?” Sebuah film menjadi menarik untuk ditonton oleh khalayak tidak lepas dari bagaimana pengemasan dari film tersebut. Mulai dari alur cerita film, efek audio-visual yang digunakan dalam film, dan hal-hal lainnya. Namun satu hal penting yang cenderung mendorong sesorang untuk menonton sebuah film, tidak lepas dari bagaimana peranan dari karakter yang terdapat dalam film tersebut. Crishtoper 80 “Tergantung dari episodenya. Karena bila membahas episode tiga, maka karakter favoritnya adalah Chie. Hal itu tidak lepas karena pada episode itu peranan Chie sangat ditekankan. Mulai dari pergumulan emosional dia dalam menghadapi dirinya sendiri. Dan hal itu menjadi hal yang sangat penting bagi penontonnya yang bisa menarik nilai dari anime itu dan tidak hanya sekedar menonton saja.” Robin “Karakter favorit saya sangat jelas karakter utamanya, Yu Narukami. Karena menurut saya karakter ini bisa bersikap dalam kondisi apapun, dan dia bisa beradaptasi dengan baik dalam situasi apapun.” 81 Calvin “Karakter favorit saya Yu Narukami, karena pembawaan dia lucu, namun saat dia melucu, wajahnya datar.” Diantri “Pemeran utamanya, karena semisalnya dari game-nya, bisa sesuai dengan hayalan kita masing-masing. Seperti khayalan para perempuan yang ingin prianya seperti apa.” 82 Shemi “Di episode tiga itu Jiraiya. Persona dari Hanamura.” Danny “Karakter favorit saya di episode itu Yosuke Hanamura. Karena sifatnya hampir sama dengan saya, dan dia juga pembawaannya lucu.” 83 Berbagai tanggapan muncul terhadap tanggapan para narasumber dalam menentukan karakter yang menjadi favorit atau kegemaran. Dari sekian narasumber yang telah menonton film ini, beberapa karakter dalam film “Persoan 4 Animation” terpilih sebagai sosok yang menjadi pilihan, baik alasan terpilihnya karakter tersebut memang berdasarkan pemahaman dari alur cerita, pembawaan kepribadian sang karakter, hingga perbandingannya dengan diri sendiri. Media cenderung menampilkan sosok figure secara eksplisit dengan disertai kondisi dramatis yang melibatkan respon-respon menarik dan memberikan bahan identitas peranan untuk memperkaya konsep diri. Isi yang bersifat fiktif eksplisit menampilkan orang dalam peranan-peranan yang secara tipikal dirancang untuk dikagumi dan seringkali diwarnai glamour dengan fantasi yang memudahkan khalayak untuk mengambil peran pendorong ego melalui identifikasi dengan tokoh-tokoh. Ketika orangorang yang disajikan media memainkan peranan “rakyat biasa”, maka penyajian media tetap menegaskan dan meninggikan makna peran-peran tersebut, yang sebenarnya secara meluas diperankan oleh kebanyakan anggota khalayak. (Rakhmat, 2008: 215216). Para narasumber secara jelas menerangkan bagaimana penerapan pemahaman ini, dimana dari tiap-tiap narasumber yang memberi tanggapan mereka berdasarkan 84 bagaimana eksplisit sosok dan kondisi masing-masing karakter, sehingga mereka nilai layak untuk digemari. Pemahaman dari peranan ego menjadi titik utama dari bagaimana khalayak mampu membuat pernyataan ini, namun perlu kita ketahui bahwa ego memiliki pemahaman tersendiri. Dalam buku Theories of Personality karay Jess Feist dan Gregory J. Feist, Carl Jung menerangkan pemahaman Ego, yaitu jiwa sadar yang terdiri dari persepsi, ingatan, pikiran, dan perasaan-perasaan sadar. Ego bekerja pada tingkat conscious. Dari ego lahir perasaan identitas dan keberlangsungan seseorang. Ego merupakan gugusan tingkah laku yang pada umumnya dimiliki dan ditampilkan secara sadar oleh orang-orang dalam suatu masyarakat. Jadi secara garis besar, ego merupakan bagian dari manusia yang membuat ia sadar akan siapa dirinya. Jadi dengan bagaimana para narasumber melihat kepada siapa dirinya dalam pemahaman ego itu sendiri, kemudian terbentukalah sebuah tanggapan yang muncul untuk menarik kesimpulan bahwa mereka membentuk sebuah tanggapan atau persepsi atas keputusan mereka ketika memilih karakter yang menurut mereka menarik dan layak mereka kagumi. Dengan ini peneliti menarik kesimpulan bahwa selayaknya seorang individu meberi tanggapan atau persepsi mereka mengenai tokoh dalam film yang mereka kagumi, tidak peduli dengan latar alasan yang mendasari hal tersebut, peranan ego yang sangat mendasar menjadi titik awal dari bagaimana persepsi yang mereka berikan kepada peneliti. 85 4.3.5 Nilai dan pesan yang terdapat dalam film “Persona 4 Animation” dalam episode “We Are Friends, Aren’t We?” Segala hal yang ditampilkan dalam sebuah film tentunya akan memiliki makna tertentu yang menyebabkan film itu ditampilkan. Hal yang dimaksud itu sendiri tidak lepas dari bagimana media film akan selalu memiliki nilai dan pesan tersendiri yang mampu ditangkap atau simpulkan oleh para penontonnya. Crishtoper “Setiap orang memiliki sisi gelap yang bahkan orang itu sendiri tidak tahu, dan hal itu sifatnya sangat nyata, karena itu semua orang harus sadar akan hal itu. Kita memiliki sisi gelap yang pada akhirnya harus kita hadapi, karena hal itu turut menjadi bagian dari diri kita. Melihat dari judul episode tiga ini yang berjudul “We Are Friends, Aren’t We?”, kita bisa tahu bahwa persahabatan adalah hal yang sangat ditekankan dalam episode ini, dimana Chie sempat mempertanyakan ketulusannya dalam berteman dengan Yukiko, apakah karena ia menikmati perasaan orang yang lebih baik dari Yukiko saat itu. Berdasarkan hal itu sebenarnya kita bisa mengambil nilai bahwa tidak peduli kita sebenarnya berteman dengan alasan apa, dengan motivasi apa, selama kita bisa menjadi teman yang baik, itu sebenarnya sudah cukup.” 86 Robin “Menurut saya film ini menekankan pada bagaimana kita menghadapi diri sendiri, terutama keburukan diri sendiri. Jadi pada dasarnya setiap orang pasti memiliki sisi buruk dan sisi baik. Jadi melalui film ini kita didorong untuk melakukan hal yang serupa dalam film itu, yaitu menerima kekurangan diri kita apa adanya.” Shemi “Pesan moral dalam film ini kita harus bisa mengakui semua diri kita, apa yang ada dalam pemikiran kita, dan segala bentuk pemikiran kita terhadap orang lain.” Calvin ”Untuk nilai dan pesan, yang namanya kita berteman dengan orang, rasa tidak suka pasti ada, namun jika sudah namnya sahabat dan sudah berteman sejak lama, buruk maupun baiknya terima saja.” Danny “Setiap orang punya perasaan yang berbeda terhadap diri kita, jadi kita harus bisa mengatur bagaimana kita berbicara dan berperilaku kepada orang lain. 87 Harus saling mengerti, misalnya ketika teman ada masalah, jangan kita terlalu iktu campur dengan masalahnya, tetapi ada baiknya kita membantu.” Berdasarkan pernyataan yang diberikan oleh para narasumber diatas, peneliti memahami beberapa hal yang sering ditekankan dalam jawaban para narasumber, yaitu mengenai bahwa setiap orang pastinya memiliki sisi buruk yang selalu disembunyikan dalam berprilaku di masyarakat, penekanan pada diri untuk mampu menerima kekurangan diri sendiri merupakan solusi dalam menghadapi sisi buruk tersebut, dan dengan memahami hal itu kita pun akan mampu menilai sebuah persahabatan adalah hal dimana dengan cukup menjadi teman yang baik bagi teman kita, sudah cukup mewakili sebagai kita adalah sahabat yang baik. Berdasarkan pemahaman dari teori anlitis Cark Jung, kita mengenal bagaimana peranan Collective Unconscious membentuk empat Archetype, dan dua diantaranya yang menarik dibahas adalah Persona dan Shadow. Jika pada pemahaman sebelumnya mengenai Shadow adalah pemahaman mengenai sisi gelap dari diri kita yang bersifat negatif dan destruktif dan selalu kita tekan keberadaanya, baik secara sadar atau tidak kita tahu sisi gelap tersebut ada dalam diri kita. Maka pemahaman mengenai Persona itu sendiri dapat kita pahami melalui pengertian: Persona, merupakan topeng yang dipakai setiap manusia sebagai respon terhadap tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat serta terhadap tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat terhadap kebutuhan archetypal sendiri. Persona adalah wajah yang ditampilkan oleh individu. Persona merupakan kepribadian yang sadar, yang dapat diidentikkan dengan ego. Dalam mimpi, ia muncul dalam bentuk sesosok figur yang melambangkan aku dalam suasana tertentu. Kadang-kadang, dapat berupa seorang tua yang keras, wanita bijak, orang gagah, badut, atau anak kecil. Inilah perilaku dari dari 88 pikiran penghasil mimpi kita. Kadang kala, dalam mimpi, hal ini akan diimbangi dengan sebuah karakter yang memainkan peran yang berlawanan. Contohnya, seseorang yang dalam keadaan sadar sebagai sosok yang bermoral, ketika di dalam mimpi bisa jadi berupa seorang bajingan atau sebaliknya. Dari beberapa jawaban narasumber menekankan bagaimana kita menghadapi sisi gelap diri kita dan hal itu sebenarnya menyinggung bagaimana sisi buruk kita yang selalu ditekan keberadaannya karena kita ingin menampilkan sosok Persona/ topeng tertentu di kehidupan sehari-hari kita. Sepintas kita bisa menyimpulakan bahwa tindakan tersebut merupakan salah satu bentuk bagaimana penolakan diri kita yang kemudian membentuk sisi lain dari diri kita yang kita sebut Shadow. Hanya dengan menerima kekurangan dari diri kita, maka kita akan menjadi pribadi yang lebih baik, seperti yang dinyatakan oleh Antonius Atosokhi Gea beserta koleganya dalam buku Character Building I: Relasi dengan diri sendiri, yaitu bahwa dengan menerima diri kita bisa mendapatkan beberapa hal, diantaranya: 1. Jika kita menerima diri kita apa adanya, kita merasa senang terhadap diri sendiri, kita merasa lebih sehat, lebih semangat dan sepertinya tidak banyak masalah. 2. Dengan menerima diri, kita merasa diri berhaga, atau sekurangkurangnya sama dan sejajar dengan orang lain, karena menyadari bahwa di samping kekurangan-kekurangan, juga memiliki kelebihan-kelebihan. 3. Menerima diri berarti menerima kelebihan dan kekurangan kita, namun kekurangan itu bukan sebagai penghalang untuk maju. Menerima kekurangan bukan berarti membiarkan kekurangan itu tanpa berusaha 89 memperbaikinya. Sejauh memungkinkan untuk melakukan perbaikan, kita tetap bertanggung jawab untuk melakukannya. 4. Orang yang berhasil menerima dirinya dengan baik akan mampu melaksanakan pekerjaan sebaik orang lain, karena ada kepercayaan dalam dirinya. kepercayaan diri akan memberikan kekuatan yang tidak terduga, jauh dari perkiraan sebelumnya. Semakin orang memiliki kepercayaan diri, semakin mampu melakukan hal-hal yang diluar dugaan. 5. Dengan berhasil menerima diri sendiri berarti kita telah membangun sikap positif terhadap diri sendiri, dengannya kita mampu memaafkan (berdamai dengan) diri sendiri. Jika kita telah melakukan kesalahan yang serius, perasaan bersalah tidak akan membantu. Tapi dengan belajar lebih banyak, kita dapat melakukan hal yang lebih baik. Hasil dari belajar adalah pemahaman, dan pemahaman membawa/ mendorong perubahan sikap. Jika hanya terus merasa bersalah terhadap diri sendiri, dan tidak ada usaha untuk memperbaikinya, kita akan menderita. 6. Jika saya mampu menerima diri sendiri, saya akan mampu menerima orang lain. Bagaimana saya mengharapkan orang lain menerima diri saya kalau saya sendiri tidak menerimanya. Secara garis besar peneliti mendapat pemaham bahwa bilamana kita hanya berfokus pada apa yang hendak kita tampilkan mengenai diri kita pada orang lain, akan memicu satu hal yang bisa kita sebut penolakan diri. Hal tersebut pun akan memicu pengaruh negatif terhadap diri kita, dan hanya dengan mau menerima kekurangan dari 90 diri kita, kita akan menjadi sosok yang lebih baik terhadap diri kita dan juga orang lain. Itulah yang secara garis besar mampu peneliti dapat terhadap persepsi para khalayak mengenai pemahaman terhadap makan dalam film “Persona 4 Animation.” 4.3.6 Pengalaman yang hampir serupa dalam film “Persona 4 Animation” dalam episode “We Are Friends, Aren’t We?” Ketika khalayak menonton sebuah film, mereka yang memang memahami dan mendalami film tersebut akan memiliki kecenderungan menilai sebuah film terhadap kesamaan yang ada dalam film tersebut terhadap kehidupan mereka sehari-harinya. Crishtoper “Untuk pengalaman serupa dan sederamatis itu tidak pernah, tapi kalo pengalaman yang berhubungan dengan pertemanan mungkin ada. Namanya juga pertemanan pasti ada perselisihan, baik itu salah pengertian atau hal yang meragukan kita berteman atau tidak sebenarnya. Tapi jika ada yang secara emosional menyeret hingga lama, atau sampai tiga bulan emosional karena satu orang sepertinya tidak ada. Tetapi begitulah namanya pertemanan.” 91 Calvin “Pernah waktu itu dengan teman saya ketika berselisih dengan teman saya ketika mengerjakan tugas. Namun selesai dari hal itu, hubungan saya sudah normal kembali seperti biasa.” Robin “Cukup sering, terutama antar saudara laki-laki. Sama halnya ketika dalam pertemanan, dimana saya juga cukup sering mengalami hal itu. Salah satunya ketika saya dipaksa untuk menerima sisi buruk saya, kekurangan-kekurangan saya, dan belajar untuk mengubah kekurangan itu jika masih bisa dirubah, dan akhirnya saya pun bisa menjadi orang yang lebih baik.” Danny “Pernah dan kondisinya hampir sama. Saat itu bingung dengan perasaan sendiri. Sebenarnya kita bertemen atau tidak? Tapi akhirnya saya memilih untuk tidak lagi berteman dengan dia, karena saya merasa hanya dimanfaatin.” Berdasarkan jawaban para narasumber, dapat disimpulankan sementara bahwa beberapa narasumber memiliki pengalaman yang hampir serupa dengan peristiwa dalam 92 film, dan itu dilihat dari sisi keseharian para narasumber yang memberikan tanggapan atau jawaban mengenao hal ini. Secara tidak langsung, peneliti mencoba menggali memori-memori yang terdapat pada pengalaman pertemanan masa lalu para narasumber, akan suatu hal yang mungkin mereka lupakan dan kemudian kembali terangkat sepintas ketika menonton film “Persona 4 Animation” yang memang mengangkat nilai pertemanan dan hubungan sosial dengan sesama. Hal ini pun mengingatkan peneliti akan pemahaman Personal Unconscious pada Teori Analitis Carl Jung dalam buku Theories of Personality karya Jess Feist dan Gregory J. Feist. Personal Unconscious, merupakan wilayah yang berdekatan dengan ego. Pada dasarnya terdiri atas pengalaman-pengalaman yang pernah disadari tetapi dipilih untuk dilupakan atau diabaikan dengan cara penekanan. Penglaman-pengalaman yang kurang mendalam turut disimpan ke dalam personal unconscious. Penekanan pada kenangan pahit kedalam personal unconscious dapat dilakukan oleh diri sendiri secara makanik, namun bisa juga karena desakan dari pihak luar yang lebih kuat. Dalam Personal Unconscious kita turut mengenal kompleks, yaitu kelompok yang terorganisir dari perasaan, pikiran dan ingatan-ingatan yang ada dalam Personal Unconscious. Setiap kompleks memiliki atau mengumpulkan berbagai pengalaman yang memiliki inti yang menarik atau mengumpulkan pengalaman yang memiliki kesamaan tematik, dimana semakin kuat daya tarik inti semakin besar pula pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia. Kepribadian dengan kompleks tertentu akan didominasi oleh ide, perasaan, dan persepsi yang dikandung oleh kompleks itu 93 Dengan berpegangan pada pemahaman tersebut, peneliti menilai bahwa beberapa narasumber telah berhasil ditarik kembali kenangan-kenangan masa lampaunya berdasarkan kesamaan pengalaman yang terdapat dalam film “Persoan 4 Animation”, walaupun hal tersebut masih bersifat dan bertaraf pada persepsi saja, namun hal itu sudah cukup mewakili hasil dari penelitian ini yang menerangkan bahwa film “Persona 4 Animation” berhasil membawa para penontonnya menggali sisi pribadi mereka terhadap pengalaman hidup mereka. Namun kembali lagi kepada semua konsep dasar, bahwa pembedahan dalam penelitian ini berpegangan pada pemahaman persepsi diri atas terbentukanya sebuah tanggapan para narasumber atau khalayak yang menggunakan media film ini. Hal itu sendiri tidak lepas dari bagaimana peranan media sebagai media yang memberi pemenuhan kebutuhan para khalayak.