Analisis Terhadap Hasil Pemeriksaan BPK Mengenai Pemenuhan Kewajiban Pembiayaan Pada Masa Transisi Pemekaran Daerah Oleh: Tim Analisa BPK – Biro Analisa APBN & Iman Sugema 1. PENDAHULUAN Jumlah pemerintahan daerah di Indonesia meningkat pesat sejak dimungkinkannya pemekaran daerah berdasarkan Undang-Undang No.22 tahun 1999 mengenai Pemerintah Daerah. Sejak tahun 2001 hingga tahun 2007 saja, pemerintahan provinsi meningkat dari 27 provinsi menjadi 33 provinsi. Bahkan untuk tingkat kabupaten dan kota, peningkatan jumlah pemerintah daerah jauh lebih pesat lagi. Jika di tahun 2001 pemerintah kabupaten-kota masih berjumlah 292, di tahun 2009 bertambah menjadi 498 kabupaten-kota. Sayangnya peningkatan yang sedemikian pesatnya akibat pemekaran daerah ini seakan mensamarkan mekanisme-mekanisme lain dalam mengoptimalkan pembangunan dalam kerangka otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Salah satunya adalah pengabungan daerah, yang justru di negara-negara yang lebih dulu mengalami era pemekaran daerah. Saat ini telah banyak dilaksanakan penggaubungan daerah baik di negara berkembang maupun negara maju. Oleh karena itu, secara teoritis maupun empiris telah dibuktikan bahwa penggabungan daerah akan mendorong pembangunan yang lebih efektif dan efisien (Brodjonegoro, 2006; Ferrazi, 2007; Crawford, 2004). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk dapat menahan laju pengusulan pemekaran daerah mulai dari moratorium pemekaran daerah hingga pengetatan persyaratan pemekaran daerah. Namun tampaknya, insentif fiskal dan politik lebih menarik daripada berbagai sisi positif dari penggabungan daerah. Terlepas dari tidak berkembangnya opsi-opsi lain untuk melaksanakan pembangunan daerah secara lebih optimal, perkembangan pembangunan dan hasil-hasilnya di daerah pemekaran mulai menjadi pertanyaan publik. Hal ini mengingat tidak saja bahwa pemekaran kemudian membawa beberapa konsekuensi fiskal (baik nasional maupun daerah), politik namun juga konsekuensi sosial dan keamanan; beberapa studi menunjukkan bahwa pembangunan di daerah pemekaran dalam banyak aspek berjalan kurang optimal. Berbagai 1 permasalahan juga muncul mulai dari masalah menurunkan aktifitas ekonomi, konflik sosial bahkan munculnya berbagai permasalahn di bidang hokum dan keamanan. Terkait dengan hal di atas, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK RI telah melakukan pemeriksaan kinerja atas Daerah Pemekaran. Pemeriksaan kinerja daerah pemekaran oleh BPK ini dilaksanakan dengan tujuan menilai pemenuhan kewajiban pemerintah daerah hasil pemekaran selama masa transisi pemerintahan dan menilai efektivitas pencapaian tujuan pemekaran daerah, dengan penekanan pada peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Sasaran pemeriksaan diarahkan pada kepatuhan Daerah Induk (DI) dan Daerah Otonom Baru (DOB) pada masa transisi sesuai UU pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) dan PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, dan kinerja DOB dari (i) aspek kesejahteraan masyarakat; (ii) aspek pelayanan umum; (iii) aspek daya saing daerah; dan (iv) aspek keuangan daerah. Khusus terkait dengan pemenuhan kewajiban pada masa transisi, terdapat 11 aspek pemeriksaan yang salah satunya adalah aspek kewajiban bantuan pembiayaan (budget sharing) antara daerah provinsi dan daerah induk dengan DOB. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji lebih jauh lagi bagaimana hasil pemeriksaan BPK terkait pemekaran daerah tersebut di atas utamanya terkait dengan aspek kewajiban bantuan pembiayaan. Diharapkan dari analisis ini dapat dirumuskan berbagai kebijakan yang diperlukan untuk lebih mengotimalkan pembangunan daerah khususnya daerah pemekaran dan daerah lain yang terkait. 2. HASIL PEMERIKSAAN BPK Dalam pemeriksaan BPK mengenai kinerja daerah pemekaran, terdapat 2 hal utama yang menjadi fokus pemeriksaan, pertama terkait dengan masa transisi daerah otonom baru hasil pemekaran dan kedua terkait dengan efektifitas pencapaian tujuan pemekaran daerah. Untuk hal yang pertama, terdapat 11 aspek yang menjadi subjek pemeriksaan, yaitu: a. Penyusunan perangkat daerah; b. Pengisian personil; c. Pengisian keanggotaan DPRD; 2 d. Pembiayaan; e. Pengalihan aset dan dokumen; f. Pelaksanaan penetapan batas wilayah; g. Penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan; h. Pemindahan ibukota bagi daerah yang ibukotanya dipindahkan; i. Pemenuhan undang-undang pembentukan; j. Pemenuhan urusan wajib; k. Pemenuhan urusan pilihan. Pemeriksaan BPK atas Pemekaran Daerah ini dilaksanakan atas 8 daerah otonom baru, 5 daerah induk dan 3 daerah non pemekaran yang menjadi rujukan analisis kinerja pembangunan daerah. 8 daerah otonom baru yang menjadi sampel adalah sebagai berikut. Tabel 1 8 Daerah Otonom baru yang menjadi Sampel pemeriksaan BPK-RI 2009 No. Nama Daerah Dasar Pembentukan DOB Tanggal Pengesahan 1. Kabupaten Natuna UU No. 53 Tahun 1999 4 Oktober 1999 2. Kabupaten Karimun UU No. 53 Tahun 1999 4 Oktober 1999 3. Kota Tanjungpinang UU No. 5 Tahun 2001 21 Juni 2001 4. Kota Cimahi UU No. 9 Tahun 2001 21 Juni 2001 5. Kota Tasikmalaya UU No. 10 Tahun 2001 21 Juni 2001 6. Kota Banjar UU No. 27 Tahun 2002 11 Desember 2002 7. Kabupaten Kepahiang UU No. 39 Tahun 2003 18 Desember 2003 8. Kabupaten Lebong UU No. 39 Tahun 2003 18 Desember 2003 Sumber: BPK-RI, 2009. Beberapa hasil pemeriksaan BPK terkait dengan masa transisi pemerintahan baru dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Pembiayaan DOB tidak diatur secara jelas dalam UU Pembentukan DOB dan tidak didokumentasikan dengan memadai. Hasil pemeriksaan pada DOB yang diuji petik menunjukkan bahwa tidak ditemukan dokumen sumber yang memadai mengenai komitmen pembiayaan dari pemerintah provinsi dan daerah induk. UU Pembentukan DOB tidak secara tegas menyebutkan kapan (batas waktu) dan jumlah komitmen 3 bantuan kepada DOB. Pada Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang tidak ditemukan adanya bukti bantuan keuangan dari provinsi. Sedangkan pada Kabupaten Karimun tidak ditemukan adanya bukti bantuan keuangan dari daerah induk. Sementara di Kabupaten Natuna diperoleh informasi adanya bantuan keuangan, namun demikian tidak terdapat bukti yang valid mengenai jumlah dan sumber bantuan keuangan tersebut apakah dari provinsi atau dari daerah induk. 2. Pengalihan fisik aset tidak didukung dengan berita acara pelimpahan dan dokumentasi yang memadai. Hasil pemeriksaan pada DOB yang diuji petik menunjukkan bahwa pengalihan fisik aset yang dimiliki oleh DI tidak berjalan lancar karena belum adanya kesepakatan jumlah dan nilai aset yang diserahkan, ketidaklengkapan berita acara pelimpahan aset, serta dokumen pendukungnya dari daerah induk. Akibatnya pada beberapa DOB, yaitu Kabupaten Karimun, Kota Tanjungpinang, Kota Tasikmalaya, dan Kabupaten Kepahiang timbul sengketa aset dengan daerah induknya. Khusus untuk pemekaran dimana ibukota DI berada pada wilayah geografis DOB terjadi permasalahan dalam pengalihan ibukota DI termasuk permasalahan pengalihan aset. Hal ini terjadi pada DI Kabupaten Bintan yang ibukotanya berada di DOB Kota Tanjungpinang dan DI Kabupaten Tasikmalaya yang ibukotanya berada di DOB Kota Tasikmalaya. 3. Pengaturan batas wilayah belum diatur secara tegas dan formal dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Semua DOB yang diuji belum didukung pengaturan batas-batas wilayah yang jelas karena Menteri Dalam Negeri belum mengeluarkan peraturan tentang batas wilayah DOB. Hal ini berakibat antara lain timbulnya sengketa perbatasan pada DOB Kabupaten Kepahiang dengan daerah induknya yaitu Kabupaten Rejang Lebong. 4. Belum semua DOB dilengkapi sarana dan prasarana memadai. Sebagian besar DOB yang diuji petik masih menggunakan fasilitas sementara berupa sewa rumah penduduk, sewa rumah toko, dan pinjam dari instansi lain, serta sarana baru yang dibangun dengan jumlah sangat terbatas dibandingkan kebutuhan. 5. Penyusunan perangkat daerah. Hasil pemeriksaan pada DOB yang diuji petik menunjukkan bahwa pengangkatan pejabat kepala daerah maupun kepala daerah definitif telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Begitu pula dengan penyusunan 4 perangkat daerah dhi. satuan kerja perangkat daerah (SKPD) telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kecuali untuk Kabupaten Lebong. 6. Pengisian personil belum sesuai kualifikasi. Kebutuhan pegawai pada DOB Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang belum terpenuhi. Disamping itu, kebutuhan pejabat eselon pada DOB Kota Tanjungpinang, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lebong, dan Kabupaten Kepahiang juga belum terpenuhi dengan jumlah dan kualifikasi yang memadai. Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK tersebut di atas, BPK-RI merekomendasikan: 1. Menteri Dalam Negeri agar segera melaksanakan Evaluasi Penyelenggaraaan Pemerintah Daerah (EPPD) yang meliputi EKPPD, EKPOD dan EDOB sebagaimana diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2008; 2. Menteri Dalam Negeri agar memanfaatkan hasil EPPD sebagai bahan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah, bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan otonomi daerah dan bahan pembinaan serta fasilitasi khusus kepada daerah yang baru dibentuk; 3. Menteri Dalam Negeri agar melakukan pembinaan kepada daerah otonom baru dalam memenuhi aspek-aspek dalam masa transisi juga membantu daerah hasil pemekaran mengatasi permasalahan di masa transisi yang masih belum dapat diatasi; 4. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah agar lebih cermat dalam melakukan evaluasi atas kelayakan kemampuan calon daerah otonom baru sebagai dasar memberikan rekomendasi kepada presiden; 5. Menteri dalam negeri berkoordinasi dengan kepala daerah induk dan kepada daerah otonom baru agar segera mengupayakan penyelesaian seluruh aspek dalam masa transisi dan menetapkan kebijakan pengalokasian belanja yang lebih besar bagi peningkatan pelayanan publik serta mendorong kemandirian keuangan. 3. ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH Masa transisi tidak saja merupakan masa yang krusial bagi daerah hasil pemekaran (daerah otonom baru) namun juga daerah. Bagi daerah induk masa transisi merupakan masa untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap sejumlah aspek penting baik dalam 5 pemerintahan maupun lebih luas lagi pembangunan daerah. Penyesuaian-penyesuaian dimaksud diantaranya terkait dengan : a. Rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Terlebih lagi jika pemekaran dilaksanakan di tengah periode-periode pembangunan daerah tersebut. b. Rencana Anggaran dan Belanja Daerah (RAPBD) baik dari sisi alokasi anggaran maupun dari sisi subtansi pembiayaan pembangunan c. Restrukturisasi dan manajemen sumber daya manusia baik yang berkaitan langsung dengan personil dan struktur pemerintahan daerah maupun yang terkait dengan personil dan struktur pelaksana pelayanan kepada masyarakat di lapangan. Hal yang serupa juga krusial bagi pemerintahan daerah otonom baru (DOB) namun dalam konteks yang berbeda dan lebih kompleks. Hal ini tidak lain karena pemerintahan DOB berada dalam proses dan tahapan membangun sistem pemerintahan baru dan melaksanakan pembangunan daerah baru. Dengan demikian masa transisi merupakan masa yang krusial (bagi DOB) untuk menyusun dan menbangun seluruh komponen pemerintahan dan pembangunan daerah sebagai suatu daerah otonom baru, baik dari sisi kelembagaan, keuangan daerah, infrastruktur pemerintahan dan pembangunan serta sumber daya manusia. Namun dalam prakteknya masa transisi bagi pemekaran daerah pasca otonomi daerah dan desentralisasi fiskal belum berjalan dengan baik. Hal ini terbukti diantaranya dengan temuan BPK-RI atas beberapa hal terkait dengan masa transisi pemekaran daerah. Beberapa hal krusial dalam temuan-temuan ini sangat penting untuk dikaji lebih dalam untuk melihat seberapa jauh sebenarnya permasalahan masa transisi pemekaran yang membawa implikasi tidak optimalkan pelaksanaan pembangunan di daerah kemudian. Pembiayaan Daerah Otonom Baru: ”Not a One Rule Fit All” Temuan BPK-RI mengisyaratkan bahwa Pembiayaan DOB tidak diatur secara jelas dalam UU Pembentukan DOB dan tidak didokumentasikan dengan memadai. Kemudian dijelaskan pula diantaranya bahwa pembentukan DOB tidak secara tegas menyebutkan kapan (batas waktu) dan jumlah komitmen bantuan kepada DOB. Secara konseptual, tidak dapat dipungkiri bahwa daerah otonom baru memerlukan bahtuan pembiayaan, baik bagi pembangunan komponen-komponen pemerintahan mulai dari pembangunan infrastruktur 6 fisik dan non fisik maupun sumber daya manusia. Namun terkait dengan temuan BPK-RI tersebut di atas, beberapa hal menjadi sangat penting untuk dicermati. Pertama, bahwa pembentukan DOB tidak secara tegas menyebutkan kapan (batas waktu) dan jumlah komitmen bantuan kepada DOB. Permasalahannya adalah bahwa dari pembentukan 205 daerah otonom baru hingga bulan april 2009 baik tingkat provinsi, kabupaten maupun kota; masing-masing ditetapkan berdasarkan landasan hukum yang berbeda. Tabel 2 Jumlah Daerah Otonom Baru di Indonesia Periode Tahun 1999 s.d. 2009 Daerah Otonom Baru (Hasil Pemekaran) Periode / Tahun Jumlah Provinsi Kota Kabupaten 1999 - 2000 5 9 34 48 2001 – 2004 2 18 80 100 2005 - 2006 0 0 0 0 2007 0 4 21 25 2008 0 3 27 30 2009 0 0 2 2 Jumlah 7 34 164 205 Sumber: BPK-RI, 2009. Paling tidak terdapat 2 dasar yang berbeda yang digunakan sebagai landasan hukum penetapan undang-undang pemekaran daerah. Pertama adalah berdasarkan undang-undang No.22 dan 25 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang ini menjadi dasar bagi pemekaran daerah yang dilaksanakan sebelum tahun 2000 dimana pada tahun ini ditetapkan pula prasyarat teknis mengenai pembentukan daerah berdasarkan Peraturan pemerintah No.129 tahun 2000. Dengan kata lain bahwa daerah yang dibentuk pada selang waktu 1999 hingga 2000 tidak dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan teknis yang menjamin bahwa daerah baru siap untuk menjalankan pemerintahan. Selebihnya adalah pemekaran daerah yang dilaksanakan setelah tahun 2000 yang ditetapkan berdasarkan 7 kriteria, 19 aspek dan 43 indikator mulai dari kemampuan ekonomi daerah hingga sosial, politik dan keamanan. 7 Mekanisme ini dijalankan sebagai suatu mekanisme prasyarat ”minimum” yang memungkinkan dimekarkannya suatu daerah atau tidak. Relevansinya terhadap temuan BPKRI di atas, bahwa hal mengenai pembiayaan diatur dengan paling tidak 2 pengaturan yang berbeda. Apakah tidak diatur mengenai pembiayaan daerah otonom baru dalam undang-undang pembentukan daerah baru? Masing-masing undang-undang pembentukan daerah baru sejatinya mengatur mengenai pembiayaan daerah otonom baru, namun dengan pengaturan dan semangat yang berbeda berdasarkan landasan hukum yang digunakan seperti telah dijabarkan di atas. Untuk lebih jelasnya, ada baiknya melihat langsung beberapa undangundang pembentukan daerah yang menjadi sampel dari pemeriksaan BPK-RI di atas. Pasal 25 Undang-Undang No.53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelelawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, kabupaten Kuantan Singgigi dan Kota Batam; menyebutkan bahwa: (1) Pembiayaan yang diperlukan akibat pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam. (2) Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, terhitung sejak diresmikannya pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam, segala pembiayaan yang diperlukan pada tahun pertama sebelum dapat disusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang bersangkutan, masing-masing dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi Riau, Kabupaten Kampar, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kepulauan Riau, dan Kabupaten Indragiri Hulu berdasarkan perimbangan hasil pendapatan yang diperoleh dari Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam. 8 (3) Pemerintah Propinsi Riau wajib membantu pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi Riau selama tiga tahun berturut-turut, terhitung sejak peresmiannya. Pasal 16 Undang-Undang No 39 Tahun 2003 tentang Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang di Provinsi Bengkulu, ayat (1) sampai (4): (1) Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang memiliki kewenangan atas pemungutan pajak dan retribusi daerah sejak terbentuknya perangkat daerah Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang sesuai dengan peraturan perundangundangan. (2) Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang berhak mendapatkan alokasi dana perimbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Kabupaten Rejang Lebong wajib memberikan bantuan dana kepada Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, sekurangkurangnya sebesar dana yang dialokasikan untuk kegiatan pemerintahan di daerah pemekaran selama belum dimekarkan. (4) Pemerintah Provinsi Bengkulu mengalokasikan anggaran biaya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Bengkulu untuk menunjang kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan sampai dengan ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang. Dari kedua undang-undang tersebut di atas dapat dilihat adanya perbedaan mendasar dimana secara rinci dijabarkan dalam tabel berikut ini. Paling tidak terdapat 2 perbedaan mendasar dari sisi jenis bantuan pembiayaan (budget sharing), pertama terkait dengan pembiayaan sebelum APBD –DOB ditetapkan dan kedua bantuan pembiayaan setelah DOB resmi terbentuk, terlepas sudah ditetapkannya atau belum APBD –DOB. Jika hasil pemeriksaan BPK-RI menyebutkan tidak adanya ketegasan terkait kapan (batas waktu) dan jumlah komitmen bantuan kepada DOB, justru perbedaan mendasar antara kedua periode terletak antara keduanya. 9 Tabel 3 Perbandingan Ketentuan Undang-Undang Mengenai Bantuan Bagi Pembiayaan Daerah Otonom Baru Pemerintah 1999-2000 Daerah Provinsi Setelah 2000 Pembiayaan yang diperlukan pada tahun Mengalokasikan anggaran biaya pertama sebelum dapat disusun APBD melalui Anggaran Pendapatan dan DOB, masing-masing dibebankan pada Belanja APBD Provinsi bangan berdasarkan hasil pendapatan pembiayaan untuk yang pembangunan, dan kemasyakatan sampai membantu Provinsi perim- menunjang kegiatan pemerintahan, diperoleh. Wajib Daerah dengan ditetapkannya yang APBD DOB. diperlukan akibat pembentukan DOB selama 3 tahun berturut-turut terhitung sejak DOB resmi dibentuk. Daerah Pembiayaan yang diperlukan pada tahun Wajib memberikan bantuan dana Induk pertama sebelum dapat disusun APBD kepada DOB selama 3 (tiga) tahun DOB, masing-masing dibebankan pada berturut-turut, sekurang-kurangnya APBD Daerah perimbangan diperoleh. hasil Induk berdasarkan sebesar dana yang dialokasikan pendapatan yang untuk kegiatan pemerintahan di daerah pemekaran selama belum dimekarkan. Misalnya jika untuk DOB yang dimekarkan pada periode 1999-2000, pemerintah provinsi tidak saja menganggarkan pembiayaan DOB selama tahun pertama berdasarkan perimbangan hasil pendapatan tetapi juga memberikan bantuan pembiayaan selama 3 tahun berturut-turut sejak DOB resmi dibentuk. Sementara daerah induk harus berkontribusi pada pembiayaan DOB selama tahun pertama berdasarkan perimbangan hasil pendapatan seperti halnya juga provinsi. Sementara itu, untuk DOB yang dimekarkan setelah tahun 2000 (setelah adanya PP 129 tahun 2000); pemerintah provinsi berkewajiban mengalokasikan anggaran bagi pembiayaan DOB hingga APBD-DOB ditetapkan. Sementara daerah induk berkewajiban memberikan bantuan dana kepada DOB selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, sekurang- 10 kurangnya sebesar dana yang dialokasikan untuk kegiatan pemerintahan di daerah pemekaran selama belum dimekarkan. Jelas ada batasan waktu dan jumlah komitmen bantuan pembiayaan baik dari pemerintah provinsi maupun daerah induk, walaupun dengan pengaturan waktu dan besaran pembiayaan yang berbeda di kedua periode pemekaran. Dengan kata lain bahwa memang aturan mengenai bantuan pembiayaan dari provinsi dan daerah induk yang bersangkutan bukan termasuk “one rule fit all” sehingga pemeriksaan hendaknya dapat dilakukan kasus per kasus sesuai dengan pola pemekaran yang berlaku. Pengaturan Pembiayaan Berdasarkan Pola Pemekaran Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah membedakan mekanisme dan arus bantuan pembiayaan berdasarkan pola pemekaran. Selama ini, mekanisme dan arus bantuan pembiayaan hanya dibedakan menurut tingkatan pemerintah, namun cenderung berlaku sama bagi semua pola pemekaran. Padahal pola pemekaran yang berbeda membawa implikasi tidak saja pembiayaan, namun juga pembagian aset, sumber daya manusia serta sumbersumber pendapatan daerah yang berbeda pula. Paling tidak terdapat 4 pola pemekaran dengan melihat bahwa daerah induk juga merupakan daerah hasil pemekaran. Pertama adalah pola pemekaran 1 kabupaten menjadi 2 kabupaten, kabupaten induk dan kabupaten DOB. Kedua adalah pola pemekaran 1 kabupaten menjadi 1 kabupaten dan 1 kota, 1 kabupaten induk dan 1 kota DOB. Ketiga adalah pola yang pertama dimana kemudian diikuti oleh pemekaran 1 atau bahkan 2 kabupaten yang kemudian berakhir dengan terbentuknya 1 provinsi baru. Keempat adalah pola pemekaran 1 kota menjadi 1 kota (daerah induk) dan 1 kabupaten DOB (kabupaten Administratif). Dari keempat pola tersebut memiliki implikasi salah satunya pada masa transisi yang berbeda-beda. Misalnya saja antara pola pertama dan pola kedua yang menjadi sampel pemeriksaaan BPK-RI dan sekaligus menjadi 2 pola pemekaran terbanyak di Indonesia. Pola pertama banyak terjadi di luar pulau jawa sementara pemekaran daerah di pulau Jawa pada umumnya adalah pola kedua. Pada pola pertama, kabupaten DOB memang bisa dikatakan sebagai daerah baru yang memerlukan bantuan dana karena selain harus mengembangkan 11 pusat pemerintah baru juga harus mengembangkan pusat perekonomian dan sumbu-sumbu pertumbuhan yang baru. Namun untuk pola yang kedua kabupaten induk yang sebelumnya memang berpusat (baik pemerintahan maupun perekonomian) di lingkup daerah kota DOB; justru harus ”pindah” mencari pusat pemerintahan dan perekonomian baru dan lebih tepat dikatakan sebagai daerah baru. Dengan kata lain untuk pola kedua, daerah induklah yang justru merupakan daerah baru dan lebih membutuhkan bantuan pembiayaan bagi pembangunan di daerahnya bukan sebaliknya. Hal ini terjadi misalnya pada kasus pemekaran Kota Palopo di Sulawesi Selatan yang dimekarkan tahun 2003 pada awalnya adalah ibukota Kabupaten Luwun yang menjadi induknya (Bappenas, 2006). Saat pemekaran tersebut, Kabupaten Luwu sesungguhnya “kehilangan” sumber daya ekonominya (yang terkonsentrasi di Palopo), dan memindahkan ibukotanya ke Belopa. Dalam kondisi ini, sesungguhnya Kabupaten Luwu-lah yang meskipun adalah daerah induk, justru yang seharusnya mendapat dana bantuan untuk DOB guna membangun pusat pemerintahan yang baru, bukan sebaliknya seperti yang telah terjadi. 4. REKOMENDASI Dalam jangka pendek, rekomendasi yang diajukan oleh BPK sangat penting dan perlu segera untuk dilaksanakan dan terus diawasi oleh pemerintah daerah bersangkutan atau secara spesifik pengguna anggaran. Hal-hal yang terkait dengan tindak lanjut dari temuan BPK perlu terus diawasi supaya dapat diselesaikan sesuai dengan yang diharapkan, termasuk diantaranya permasalahan ketidakjelasan mekanisme dan alokasi bantuan pembiayaaan bagi daerah otonom baru. Dalam jangka panjang, terkait dengan kebijakan pemekaran daerah dan lebih jauh lagi kebijakan pembentukan pemerintah daerah hendaknya dapat diupayakan beberapa hal, diantaranya: Pengaturan mekanisme pembiayaan daerah otonom baru dalam masa transisi secara lebih rinci dan terarah sesuai dengan landasan hukum yang memayunginya. Hal ini perlu diperkuat juga oleh mekanisme pengawasan dan evaluasi terkait dengan dilaksanakannya atau tidak mekanisme penganggaran sebelum APBD-DOB ditetapkan serta bantuan pembiayaan selama masa transisi. Mekanisme ini perlu didukung oleh rumusan penghitungan alokasi anggaran hingga APBDDOB terbentuk dan rumusan perhitungan bantuan pembiayaan selama masa transisi. 12 Rumusan Undang-Undang Pemekaran Daerah hendaknya disesuaikan dengan pola pemekaran yang berlaku untuk masing-masing pemekaran daerah sehingga esensi pemberian bantuan kepada daerah yang baru terbentuk dapat berjalan secara efektif dan tidak tumpang tindih. 5. PENUTUP Masa transisi tidak saja merupakan masa yang krusial bagi daerah hasil pemekaran (daerah otonom baru) namun juga daerah. Bagi daerah induk masa transisi merupakan masa untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap sejumlah aspek penting baik dalam pemerintahan maupun lebih luas lagi pembangunan daerah. Hal yang serupa juga krusial bagi pemerintahan daerah otonom baru (DOB) namun dalam konteks yang berbeda dan lebih kompleks. Hal ini tidak lain karena pemerintahan DOB berada dalam proses dan tahapan membangun sistem pemerintahan baru dan melaksanakan pembangunan daerah baru. Dengan demikian masa transisi merupakan masa yang krusial (bagi DOB) untuk menyusun dan menbangun seluruh komponen pemerintahan dan pembangunan daerah sebagai suatu daerah otonom baru, baik dari sisi kelembagaan, keuangan daerah, infrastruktur pemerintahan dan pembangunan serta sumber daya manusia. Oleh karena itu, skema dan mekanisme pembiayaan selama masa transisi pemekaran daerah perlu dirumuskan dan dilaksanakan secara efektif baik dalam konteks penganggaran sebelum ditetapkannya APBD daerah otonom baru maupun pembiayaan selama mas transisi setelah daerah otonom baru resmi terbentuk. Selain itu mekanisme dan skema yang diterapkan harus dapat menjamin bahwa aliran pembiayaan sesuai dengan esensi dari pembiayaan bantuan dan pembiayaan masa transisi dimaksud. 13