Analisis tentang Transisi Pemekaran Daerah

advertisement
Analisis Terhadap Hasil Pemeriksaan BPK
Mengenai Pemenuhan Kewajiban Pembiayaan
Pada Masa Transisi Pemekaran Daerah
Oleh:
Tim Analisa BPK – Biro Analisa APBN & Iman Sugema
1. PENDAHULUAN
Jumlah pemerintahan daerah di Indonesia meningkat pesat sejak dimungkinkannya
pemekaran daerah berdasarkan Undang-Undang No.22 tahun 1999 mengenai Pemerintah
Daerah. Sejak tahun 2001 hingga tahun 2007 saja, pemerintahan provinsi meningkat dari 27
provinsi menjadi 33 provinsi. Bahkan untuk tingkat kabupaten dan kota, peningkatan jumlah
pemerintah daerah jauh lebih pesat lagi. Jika di tahun 2001 pemerintah kabupaten-kota masih
berjumlah 292, di tahun 2009 bertambah menjadi 498 kabupaten-kota.
Sayangnya peningkatan yang sedemikian pesatnya akibat pemekaran daerah ini seakan
mensamarkan mekanisme-mekanisme lain dalam mengoptimalkan pembangunan dalam
kerangka otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Salah satunya adalah pengabungan daerah,
yang justru di negara-negara yang lebih dulu mengalami era pemekaran daerah. Saat ini telah
banyak dilaksanakan penggaubungan daerah baik di negara berkembang maupun negara
maju. Oleh karena itu, secara teoritis maupun empiris telah dibuktikan bahwa penggabungan
daerah akan mendorong pembangunan yang lebih efektif dan efisien (Brodjonegoro, 2006;
Ferrazi, 2007; Crawford, 2004). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk dapat
menahan laju pengusulan pemekaran daerah mulai dari moratorium pemekaran daerah
hingga pengetatan persyaratan pemekaran daerah. Namun tampaknya, insentif fiskal dan
politik lebih menarik daripada berbagai sisi positif dari penggabungan daerah.
Terlepas dari tidak berkembangnya opsi-opsi lain untuk melaksanakan pembangunan
daerah secara lebih optimal, perkembangan pembangunan dan hasil-hasilnya di daerah
pemekaran mulai menjadi pertanyaan publik. Hal ini mengingat tidak saja bahwa pemekaran
kemudian membawa beberapa konsekuensi fiskal (baik nasional maupun daerah), politik
namun juga konsekuensi sosial dan keamanan; beberapa studi menunjukkan bahwa
pembangunan di daerah pemekaran dalam banyak aspek berjalan kurang optimal. Berbagai
1
permasalahan juga muncul mulai dari masalah menurunkan aktifitas ekonomi, konflik sosial
bahkan munculnya berbagai permasalahn di bidang hokum dan keamanan.
Terkait dengan hal di atas, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) dan UU Nomor 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK RI telah
melakukan pemeriksaan kinerja atas Daerah Pemekaran. Pemeriksaan kinerja daerah
pemekaran oleh BPK ini dilaksanakan dengan tujuan menilai pemenuhan kewajiban
pemerintah daerah hasil pemekaran selama masa transisi pemerintahan dan menilai
efektivitas pencapaian tujuan pemekaran daerah, dengan penekanan pada peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dan percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian
daerah serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Sasaran
pemeriksaan diarahkan pada kepatuhan Daerah Induk (DI) dan Daerah Otonom Baru (DOB)
pada masa transisi sesuai UU pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) dan PP No. 6 Tahun
2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, dan kinerja DOB dari (i)
aspek kesejahteraan masyarakat; (ii) aspek pelayanan umum; (iii) aspek daya saing daerah;
dan (iv) aspek keuangan daerah.
Khusus terkait dengan pemenuhan kewajiban pada masa transisi, terdapat 11 aspek
pemeriksaan yang salah satunya adalah aspek kewajiban bantuan pembiayaan (budget
sharing) antara daerah provinsi dan daerah induk dengan DOB. Tulisan ini bertujuan untuk
mengkaji lebih jauh lagi bagaimana hasil pemeriksaan BPK terkait pemekaran daerah tersebut
di atas utamanya terkait dengan aspek kewajiban bantuan pembiayaan. Diharapkan dari
analisis ini dapat dirumuskan berbagai kebijakan yang diperlukan untuk lebih mengotimalkan
pembangunan daerah khususnya daerah pemekaran dan daerah lain yang terkait.
2. HASIL PEMERIKSAAN BPK
Dalam pemeriksaan BPK mengenai kinerja daerah pemekaran, terdapat 2 hal utama
yang menjadi fokus pemeriksaan, pertama terkait dengan masa transisi daerah otonom baru
hasil pemekaran dan kedua terkait dengan efektifitas pencapaian tujuan pemekaran daerah.
Untuk hal yang pertama, terdapat 11 aspek yang menjadi subjek pemeriksaan, yaitu:
a. Penyusunan perangkat daerah;
b. Pengisian personil;
c. Pengisian keanggotaan DPRD;
2
d. Pembiayaan;
e. Pengalihan aset dan dokumen;
f. Pelaksanaan penetapan batas wilayah;
g. Penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan;
h. Pemindahan ibukota bagi daerah yang ibukotanya dipindahkan;
i.
Pemenuhan undang-undang pembentukan;
j. Pemenuhan urusan wajib;
k. Pemenuhan urusan pilihan.
Pemeriksaan BPK atas Pemekaran Daerah ini dilaksanakan atas 8 daerah otonom baru,
5 daerah induk dan 3 daerah non pemekaran yang menjadi rujukan analisis kinerja
pembangunan daerah. 8 daerah otonom baru yang menjadi sampel adalah sebagai berikut.
Tabel 1
8 Daerah Otonom baru yang menjadi Sampel pemeriksaan BPK-RI 2009
No. Nama Daerah
Dasar Pembentukan DOB
Tanggal Pengesahan
1.
Kabupaten Natuna
UU No. 53 Tahun 1999
4 Oktober 1999
2.
Kabupaten Karimun
UU No. 53 Tahun 1999
4 Oktober 1999
3.
Kota Tanjungpinang
UU No. 5 Tahun 2001
21 Juni 2001
4.
Kota Cimahi
UU No. 9 Tahun 2001
21 Juni 2001
5.
Kota Tasikmalaya
UU No. 10 Tahun 2001
21 Juni 2001
6.
Kota Banjar
UU No. 27 Tahun 2002
11 Desember 2002
7.
Kabupaten Kepahiang
UU No. 39 Tahun 2003
18 Desember 2003
8.
Kabupaten Lebong
UU No. 39 Tahun 2003
18 Desember 2003
Sumber: BPK-RI, 2009.
Beberapa hasil pemeriksaan BPK terkait dengan masa transisi pemerintahan baru dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Pembiayaan DOB tidak diatur secara jelas dalam UU Pembentukan DOB dan tidak
didokumentasikan dengan memadai. Hasil pemeriksaan pada DOB yang diuji petik
menunjukkan bahwa tidak ditemukan dokumen sumber yang memadai mengenai
komitmen pembiayaan dari pemerintah provinsi dan daerah induk. UU Pembentukan
DOB tidak secara tegas menyebutkan kapan (batas waktu) dan jumlah komitmen
3
bantuan kepada DOB. Pada Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang tidak
ditemukan adanya bukti bantuan keuangan dari provinsi. Sedangkan pada Kabupaten
Karimun tidak ditemukan adanya bukti bantuan keuangan dari daerah induk. Sementara
di Kabupaten Natuna diperoleh informasi adanya bantuan keuangan, namun demikian
tidak terdapat bukti yang valid mengenai jumlah dan sumber bantuan keuangan
tersebut apakah dari provinsi atau dari daerah induk.
2. Pengalihan fisik aset tidak didukung dengan berita acara pelimpahan dan
dokumentasi yang memadai. Hasil pemeriksaan pada DOB yang diuji petik
menunjukkan bahwa pengalihan fisik aset yang dimiliki oleh DI tidak berjalan lancar
karena belum adanya kesepakatan jumlah dan nilai aset yang diserahkan,
ketidaklengkapan berita acara pelimpahan aset, serta dokumen pendukungnya dari
daerah induk. Akibatnya pada beberapa DOB, yaitu Kabupaten Karimun, Kota
Tanjungpinang, Kota Tasikmalaya, dan Kabupaten Kepahiang timbul sengketa aset
dengan daerah induknya. Khusus untuk pemekaran dimana ibukota DI berada pada
wilayah geografis DOB terjadi permasalahan dalam pengalihan ibukota DI termasuk
permasalahan pengalihan aset. Hal ini terjadi pada DI Kabupaten Bintan yang
ibukotanya berada di DOB Kota Tanjungpinang dan DI Kabupaten Tasikmalaya yang
ibukotanya berada di DOB Kota Tasikmalaya.
3. Pengaturan batas wilayah belum diatur secara tegas dan formal dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri. Semua DOB yang diuji belum didukung pengaturan batas-batas
wilayah yang jelas karena Menteri Dalam Negeri belum mengeluarkan peraturan
tentang batas wilayah DOB. Hal ini berakibat antara lain timbulnya sengketa perbatasan
pada DOB Kabupaten Kepahiang dengan daerah induknya yaitu Kabupaten Rejang
Lebong.
4. Belum semua DOB dilengkapi sarana dan prasarana memadai. Sebagian besar DOB
yang diuji petik masih menggunakan fasilitas sementara berupa sewa rumah penduduk,
sewa rumah toko, dan pinjam dari instansi lain, serta sarana baru yang dibangun dengan
jumlah sangat terbatas dibandingkan kebutuhan.
5. Penyusunan perangkat daerah. Hasil pemeriksaan pada DOB yang diuji petik
menunjukkan bahwa pengangkatan pejabat kepala daerah maupun kepala daerah
definitif telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Begitu pula dengan penyusunan
4
perangkat daerah dhi. satuan kerja perangkat daerah (SKPD) telah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, kecuali untuk Kabupaten Lebong.
6. Pengisian personil belum sesuai kualifikasi. Kebutuhan pegawai pada DOB Kabupaten
Lebong dan Kabupaten Kepahiang belum terpenuhi. Disamping itu, kebutuhan pejabat
eselon pada DOB Kota Tanjungpinang, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna,
Kabupaten Lebong, dan Kabupaten Kepahiang juga belum terpenuhi dengan jumlah dan
kualifikasi yang memadai.
Rekomendasi Hasil Pemeriksaan
Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK tersebut di atas, BPK-RI merekomendasikan:
1. Menteri Dalam Negeri agar segera melaksanakan Evaluasi Penyelenggaraaan
Pemerintah Daerah (EPPD) yang meliputi EKPPD, EKPOD dan EDOB sebagaimana diatur
dalam PP Nomor 6 Tahun 2008;
2. Menteri Dalam Negeri agar memanfaatkan hasil EPPD sebagai bahan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah, bahan pertimbangan
dalam menetapkan kebijakan otonomi daerah dan bahan pembinaan serta fasilitasi
khusus kepada daerah yang baru dibentuk;
3. Menteri Dalam Negeri agar melakukan pembinaan kepada daerah otonom baru dalam
memenuhi aspek-aspek dalam masa transisi juga membantu daerah hasil pemekaran
mengatasi permasalahan di masa transisi yang masih belum dapat diatasi;
4. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah agar lebih cermat dalam melakukan evaluasi atas
kelayakan kemampuan calon daerah otonom baru sebagai dasar memberikan
rekomendasi kepada presiden;
5. Menteri dalam negeri berkoordinasi dengan kepala daerah induk dan kepada daerah
otonom baru agar segera mengupayakan penyelesaian seluruh aspek dalam masa
transisi dan menetapkan kebijakan pengalokasian belanja yang lebih besar bagi
peningkatan pelayanan publik serta mendorong kemandirian keuangan.
3. ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH
Masa transisi tidak saja merupakan masa yang krusial bagi daerah hasil pemekaran
(daerah otonom baru) namun juga daerah. Bagi daerah induk masa transisi merupakan masa
untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap sejumlah aspek penting baik dalam
5
pemerintahan maupun lebih luas lagi pembangunan daerah. Penyesuaian-penyesuaian
dimaksud diantaranya terkait dengan :
a. Rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Terlebih
lagi jika pemekaran dilaksanakan di tengah periode-periode pembangunan daerah
tersebut.
b. Rencana Anggaran dan Belanja Daerah (RAPBD) baik dari sisi alokasi anggaran maupun
dari sisi subtansi pembiayaan pembangunan
c. Restrukturisasi dan manajemen sumber daya manusia baik yang berkaitan langsung
dengan personil dan struktur pemerintahan daerah maupun yang terkait dengan
personil dan struktur pelaksana pelayanan kepada masyarakat di lapangan.
Hal yang serupa juga krusial bagi pemerintahan daerah otonom baru (DOB) namun
dalam konteks yang berbeda dan lebih kompleks. Hal ini tidak lain karena pemerintahan DOB
berada dalam proses dan tahapan membangun sistem pemerintahan baru dan melaksanakan
pembangunan daerah baru. Dengan demikian masa transisi merupakan masa yang krusial
(bagi DOB) untuk menyusun dan menbangun seluruh komponen pemerintahan dan
pembangunan daerah sebagai suatu daerah otonom baru, baik dari sisi kelembagaan,
keuangan daerah, infrastruktur pemerintahan dan pembangunan serta sumber daya manusia.
Namun dalam prakteknya masa transisi bagi pemekaran daerah pasca otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal belum berjalan dengan baik. Hal ini terbukti diantaranya dengan
temuan BPK-RI atas beberapa hal terkait dengan masa transisi pemekaran daerah. Beberapa
hal krusial dalam temuan-temuan ini sangat penting untuk dikaji lebih dalam untuk melihat
seberapa jauh sebenarnya permasalahan masa transisi pemekaran yang membawa implikasi
tidak optimalkan pelaksanaan pembangunan di daerah kemudian.
Pembiayaan Daerah Otonom Baru: ”Not a One Rule Fit All”
Temuan BPK-RI mengisyaratkan bahwa Pembiayaan DOB tidak diatur secara jelas
dalam UU Pembentukan DOB dan tidak didokumentasikan dengan memadai. Kemudian
dijelaskan pula diantaranya bahwa pembentukan DOB tidak secara tegas menyebutkan kapan
(batas waktu) dan jumlah komitmen bantuan kepada DOB. Secara konseptual, tidak dapat
dipungkiri bahwa daerah otonom baru memerlukan bahtuan pembiayaan, baik bagi
pembangunan komponen-komponen pemerintahan mulai dari pembangunan infrastruktur
6
fisik dan non fisik maupun sumber daya manusia. Namun terkait dengan temuan BPK-RI
tersebut di atas, beberapa hal menjadi sangat penting untuk dicermati. Pertama, bahwa
pembentukan DOB tidak secara tegas menyebutkan kapan (batas waktu) dan jumlah
komitmen bantuan kepada DOB. Permasalahannya adalah bahwa dari pembentukan 205
daerah otonom baru hingga bulan april 2009 baik tingkat provinsi, kabupaten maupun kota;
masing-masing ditetapkan berdasarkan landasan hukum yang berbeda.
Tabel 2
Jumlah Daerah Otonom Baru di Indonesia
Periode Tahun 1999 s.d. 2009
Daerah Otonom Baru
(Hasil Pemekaran)
Periode / Tahun
Jumlah
Provinsi
Kota
Kabupaten
1999 - 2000
5
9
34
48
2001 – 2004
2
18
80
100
2005 - 2006
0
0
0
0
2007
0
4
21
25
2008
0
3
27
30
2009
0
0
2
2
Jumlah
7
34
164
205
Sumber: BPK-RI, 2009.
Paling tidak terdapat 2 dasar yang berbeda yang digunakan sebagai landasan hukum
penetapan undang-undang pemekaran daerah. Pertama adalah berdasarkan undang-undang
No.22 dan 25 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang ini menjadi dasar bagi pemekaran
daerah yang dilaksanakan sebelum tahun 2000 dimana pada tahun ini ditetapkan pula
prasyarat teknis mengenai pembentukan daerah berdasarkan Peraturan pemerintah No.129
tahun 2000. Dengan kata lain bahwa daerah yang dibentuk pada selang waktu 1999 hingga
2000 tidak dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan teknis yang menjamin bahwa daerah
baru siap untuk menjalankan pemerintahan. Selebihnya adalah pemekaran daerah yang
dilaksanakan setelah tahun 2000 yang ditetapkan berdasarkan 7 kriteria, 19 aspek dan 43
indikator mulai dari kemampuan ekonomi daerah hingga sosial, politik dan keamanan.
7
Mekanisme
ini
dijalankan
sebagai
suatu
mekanisme
prasyarat
”minimum”
yang
memungkinkan dimekarkannya suatu daerah atau tidak. Relevansinya terhadap temuan BPKRI di atas, bahwa hal mengenai pembiayaan diatur dengan paling tidak 2 pengaturan yang
berbeda.
Apakah tidak diatur mengenai pembiayaan daerah otonom baru dalam undang-undang
pembentukan daerah baru? Masing-masing undang-undang pembentukan daerah baru
sejatinya mengatur mengenai pembiayaan daerah otonom baru, namun dengan pengaturan
dan semangat yang berbeda berdasarkan landasan hukum yang digunakan seperti telah
dijabarkan di atas. Untuk lebih jelasnya, ada baiknya melihat langsung beberapa undangundang pembentukan daerah yang menjadi sampel dari pemeriksaan BPK-RI di atas.

Pasal 25 Undang-Undang No.53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelelawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun,
Kabupaten Natuna, kabupaten Kuantan Singgigi dan Kota Batam; menyebutkan bahwa:
(1) Pembiayaan yang diperlukan akibat pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten
Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten
Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten
Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak,
Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota
Batam.
(2) Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, terhitung sejak
diresmikannya pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu,
Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna,
Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam, segala pembiayaan yang diperlukan
pada tahun pertama sebelum dapat disusun Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah
yang
bersangkutan,
masing-masing
dibebankan
pada
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi Riau, Kabupaten Kampar, Kabupaten
Bengkalis, Kabupaten Kepulauan Riau, dan Kabupaten Indragiri Hulu berdasarkan
perimbangan hasil pendapatan yang diperoleh dari Kabupaten Pelalawan, Kabupaten
Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten
Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam.
8
(3) Pemerintah Propinsi Riau wajib membantu pembiayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi Riau
selama tiga tahun berturut-turut, terhitung sejak peresmiannya.
Pasal 16 Undang-Undang No 39 Tahun 2003 tentang Kabupaten Lebong dan Kabupaten
Kepahiang di Provinsi Bengkulu, ayat (1) sampai (4):
(1) Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang memiliki kewenangan atas
pemungutan pajak dan retribusi daerah sejak terbentuknya perangkat daerah
Kabupaten
Lebong
dan
Kabupaten
Kepahiang
sesuai
dengan
peraturan
perundangundangan.
(2) Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang berhak mendapatkan alokasi dana
perimbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Kabupaten Rejang Lebong wajib memberikan bantuan dana kepada Kabupaten
Lebong dan Kabupaten Kepahiang selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, sekurangkurangnya sebesar dana yang dialokasikan untuk kegiatan pemerintahan di daerah
pemekaran selama belum dimekarkan.
(4) Pemerintah Provinsi Bengkulu mengalokasikan anggaran biaya melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Bengkulu untuk menunjang kegiatan
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan sampai dengan ditetapkannya
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lebong dan Kabupaten
Kepahiang.
Dari kedua undang-undang tersebut di atas dapat dilihat adanya perbedaan mendasar
dimana secara rinci dijabarkan dalam tabel berikut ini. Paling tidak terdapat 2 perbedaan
mendasar dari sisi jenis bantuan pembiayaan (budget sharing), pertama terkait dengan
pembiayaan sebelum APBD –DOB ditetapkan dan kedua bantuan pembiayaan setelah DOB
resmi terbentuk, terlepas sudah ditetapkannya atau belum APBD –DOB. Jika hasil pemeriksaan
BPK-RI menyebutkan tidak adanya ketegasan terkait kapan (batas waktu) dan jumlah
komitmen bantuan kepada DOB, justru perbedaan mendasar antara kedua periode terletak
antara keduanya.
9
Tabel 3
Perbandingan Ketentuan Undang-Undang Mengenai
Bantuan Bagi Pembiayaan Daerah Otonom Baru
Pemerintah
1999-2000
Daerah
Provinsi
Setelah 2000
 Pembiayaan yang diperlukan pada tahun Mengalokasikan
anggaran
biaya
pertama sebelum dapat disusun APBD melalui Anggaran Pendapatan dan
DOB, masing-masing dibebankan pada Belanja
APBD
Provinsi
bangan
berdasarkan
hasil
pendapatan
pembiayaan
untuk
yang pembangunan, dan kemasyakatan
sampai
membantu
Provinsi
perim- menunjang kegiatan pemerintahan,
diperoleh.
 Wajib
Daerah
dengan
ditetapkannya
yang APBD DOB.
diperlukan akibat pembentukan DOB
selama 3 tahun berturut-turut terhitung
sejak DOB resmi dibentuk.
Daerah
Pembiayaan yang diperlukan pada tahun Wajib memberikan bantuan dana
Induk
pertama sebelum dapat disusun APBD kepada DOB selama 3 (tiga) tahun
DOB, masing-masing dibebankan pada berturut-turut, sekurang-kurangnya
APBD
Daerah
perimbangan
diperoleh.
hasil
Induk
berdasarkan sebesar dana yang dialokasikan
pendapatan
yang untuk kegiatan pemerintahan di
daerah pemekaran selama belum
dimekarkan.
Misalnya jika untuk DOB yang dimekarkan pada periode 1999-2000, pemerintah
provinsi tidak saja menganggarkan pembiayaan DOB selama tahun pertama berdasarkan
perimbangan hasil pendapatan tetapi juga memberikan bantuan pembiayaan selama 3 tahun
berturut-turut sejak DOB resmi dibentuk. Sementara daerah induk harus berkontribusi pada
pembiayaan DOB selama tahun pertama berdasarkan perimbangan hasil pendapatan seperti
halnya juga provinsi. Sementara itu, untuk DOB yang dimekarkan setelah tahun 2000 (setelah
adanya PP 129 tahun 2000); pemerintah provinsi berkewajiban mengalokasikan anggaran bagi
pembiayaan DOB hingga APBD-DOB ditetapkan. Sementara daerah induk berkewajiban
memberikan bantuan dana kepada DOB selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, sekurang-
10
kurangnya sebesar dana yang dialokasikan untuk kegiatan pemerintahan di daerah pemekaran
selama belum dimekarkan.
Jelas ada batasan waktu dan jumlah komitmen bantuan pembiayaan baik dari
pemerintah provinsi maupun daerah induk, walaupun dengan pengaturan waktu dan besaran
pembiayaan yang berbeda di kedua periode pemekaran. Dengan kata lain bahwa memang
aturan mengenai bantuan pembiayaan dari provinsi dan daerah induk yang bersangkutan
bukan termasuk “one rule fit all” sehingga pemeriksaan hendaknya dapat dilakukan kasus per
kasus sesuai dengan pola pemekaran yang berlaku.
Pengaturan Pembiayaan Berdasarkan Pola Pemekaran
Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah membedakan mekanisme dan arus
bantuan pembiayaan berdasarkan pola pemekaran. Selama ini, mekanisme dan arus bantuan
pembiayaan hanya dibedakan menurut tingkatan pemerintah, namun cenderung berlaku
sama bagi semua pola pemekaran. Padahal pola pemekaran yang berbeda membawa implikasi
tidak saja pembiayaan, namun juga pembagian aset, sumber daya manusia serta sumbersumber pendapatan daerah yang berbeda pula.
Paling tidak terdapat 4 pola pemekaran dengan melihat bahwa daerah induk juga
merupakan daerah hasil pemekaran.

Pertama adalah pola pemekaran 1 kabupaten menjadi 2 kabupaten, kabupaten induk dan
kabupaten DOB.

Kedua adalah pola pemekaran 1 kabupaten menjadi 1 kabupaten dan 1 kota, 1 kabupaten
induk dan 1 kota DOB.

Ketiga adalah pola yang pertama dimana kemudian diikuti oleh pemekaran 1 atau bahkan
2 kabupaten yang kemudian berakhir dengan terbentuknya 1 provinsi baru.

Keempat adalah pola pemekaran 1 kota menjadi 1 kota (daerah induk) dan 1 kabupaten
DOB (kabupaten Administratif).
Dari keempat pola tersebut memiliki implikasi salah satunya pada masa transisi yang
berbeda-beda. Misalnya saja antara pola pertama dan pola kedua yang menjadi sampel
pemeriksaaan BPK-RI dan sekaligus menjadi 2 pola pemekaran terbanyak di Indonesia. Pola
pertama banyak terjadi di luar pulau jawa sementara pemekaran daerah di pulau Jawa pada
umumnya adalah pola kedua. Pada pola pertama, kabupaten DOB memang bisa dikatakan
sebagai daerah baru yang memerlukan bantuan dana karena selain harus mengembangkan
11
pusat pemerintah baru juga harus mengembangkan pusat perekonomian dan sumbu-sumbu
pertumbuhan yang baru. Namun untuk pola yang kedua kabupaten induk yang sebelumnya
memang berpusat (baik pemerintahan maupun perekonomian) di lingkup daerah kota DOB;
justru harus ”pindah” mencari pusat pemerintahan dan perekonomian baru dan lebih tepat
dikatakan sebagai daerah baru. Dengan kata lain untuk pola kedua, daerah induklah yang
justru merupakan daerah baru dan lebih membutuhkan bantuan pembiayaan bagi
pembangunan di daerahnya bukan sebaliknya.
Hal ini terjadi misalnya pada kasus pemekaran Kota Palopo di Sulawesi Selatan yang
dimekarkan tahun 2003 pada awalnya adalah ibukota Kabupaten Luwun yang menjadi
induknya (Bappenas, 2006). Saat pemekaran tersebut, Kabupaten Luwu sesungguhnya
“kehilangan” sumber daya ekonominya (yang terkonsentrasi di Palopo), dan memindahkan
ibukotanya ke Belopa. Dalam kondisi ini, sesungguhnya Kabupaten Luwu-lah yang meskipun
adalah daerah induk, justru yang seharusnya mendapat dana bantuan untuk DOB guna
membangun pusat pemerintahan yang baru, bukan sebaliknya seperti yang telah terjadi.
4. REKOMENDASI
Dalam jangka pendek, rekomendasi yang diajukan oleh BPK sangat penting dan perlu
segera untuk dilaksanakan dan terus diawasi oleh pemerintah daerah bersangkutan atau
secara spesifik pengguna anggaran. Hal-hal yang terkait dengan tindak lanjut dari temuan BPK
perlu terus diawasi supaya dapat diselesaikan sesuai dengan yang diharapkan, termasuk
diantaranya permasalahan ketidakjelasan mekanisme dan alokasi bantuan pembiayaaan bagi
daerah otonom baru.
Dalam jangka panjang, terkait dengan kebijakan pemekaran daerah dan lebih jauh lagi
kebijakan pembentukan pemerintah daerah hendaknya dapat diupayakan beberapa hal,
diantaranya:

Pengaturan mekanisme pembiayaan daerah otonom baru dalam masa transisi secara lebih
rinci dan terarah sesuai dengan landasan hukum yang memayunginya. Hal ini perlu
diperkuat juga oleh mekanisme pengawasan dan evaluasi terkait dengan dilaksanakannya
atau tidak mekanisme penganggaran sebelum APBD-DOB ditetapkan serta bantuan
pembiayaan selama masa transisi.

Mekanisme ini perlu didukung oleh rumusan penghitungan alokasi anggaran hingga APBDDOB terbentuk dan rumusan perhitungan bantuan pembiayaan selama masa transisi.
12

Rumusan Undang-Undang Pemekaran Daerah hendaknya disesuaikan dengan pola
pemekaran yang berlaku untuk masing-masing pemekaran daerah sehingga esensi
pemberian bantuan kepada daerah yang baru terbentuk dapat berjalan secara efektif dan
tidak tumpang tindih.
5. PENUTUP
Masa transisi tidak saja merupakan masa yang krusial bagi daerah hasil pemekaran
(daerah otonom baru) namun juga daerah. Bagi daerah induk masa transisi merupakan masa
untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap sejumlah aspek penting baik dalam
pemerintahan maupun lebih luas lagi pembangunan daerah. Hal yang serupa juga krusial bagi
pemerintahan daerah otonom baru (DOB) namun dalam konteks yang berbeda dan lebih
kompleks. Hal ini tidak lain karena pemerintahan DOB berada dalam proses dan tahapan
membangun sistem pemerintahan baru dan melaksanakan pembangunan daerah baru.
Dengan demikian masa transisi merupakan masa yang krusial (bagi DOB) untuk menyusun dan
menbangun seluruh komponen pemerintahan dan pembangunan daerah sebagai suatu
daerah otonom baru, baik dari sisi kelembagaan, keuangan daerah, infrastruktur
pemerintahan dan pembangunan serta sumber daya manusia.
Oleh karena itu, skema dan mekanisme pembiayaan selama masa transisi pemekaran
daerah perlu dirumuskan dan dilaksanakan secara efektif baik dalam konteks penganggaran
sebelum ditetapkannya APBD daerah otonom baru maupun pembiayaan selama mas transisi
setelah daerah otonom baru resmi terbentuk. Selain itu mekanisme dan skema yang
diterapkan harus dapat menjamin bahwa aliran pembiayaan sesuai dengan esensi dari
pembiayaan bantuan dan pembiayaan masa transisi dimaksud.
13
Download