BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG CITES DAN PENGATURAN PERDAGANGAN SATWA LANGKA 1.1 Sejarah Hukum Lingkungan Internasional dan CITES Segala sesuatu didunia ini erat hubungannya satu dengan lain. Antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan hewan antara manusia dengan tumbuh-tumbuhan dan bahkan antara manusia dengan benda-benda mati sekalipun. Manusia sebagai bagian dari ekosistem dan juga sebagai pengelola sitem. Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan.1 Sehingga kesadaran akan tugas dan kewajiban untuk mengatur adanya keselarasan dan keseimbangan antara keseluruhan komponen ekosistem baik ekosistem alamiah maupun ekosistem buatan. Gerakan perlindungan ekosistem adalah salah satu gerakan yang membebaskan manusia dari ancaman berupa bahaya-bahaya oleh buatannya sendiri. Salah satu alat yang kuat dan ampuh dalam melindungi lingkungan hidup adalah hukum yang mengatur perlindungan lingkungan hidup.2 1 Kusnadi Hardjasoemantri, 1995, Hukum Perlindungan Lingkungan, University Press, Yogyakarta, h. 1. 2 Ibid, h. 6. 1 Gadjamada 2.1.1 Sejarah Hukum Lingkugan Internasional Hukum lingkungan Internasional (Huklin) merupakan bidang baru (new development) dalam Sistem Hukum Internasional (Johnston). Bidang baru ini dianggap dari Hukla Baru dengan nama Hukum Lingkungan Laut Internasional.3 Selain itu Hukum Lingkungan Internasional adalah keseluruhan kaedah, asas-asas, lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan kaedah tersebut dalam kenyataan. Hukum atau keseluruhan kaedah dan asas yang dimaksud adalah keseluruhan kaedah dan asas yang terkandung didalam perjanjianperjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional, yang berobjek lingkungan hidup, yang oleh masyarakat internasional, yaitu masyarakat negaranegara, termasuk subjek-subjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan internasional.4 Hakikat dan karakter lingkungan hidup membutuhkan sistem hukum yang mampu menyerap sifat khas lingkungan hidup ke dalam fungsi dari setiap komponen sistem ekosistem, mengembangkan daya individual setiap komponen sistem tanpa mengabaikan karakter kolektifnya, sebagai bagian dari suatu keseluruhan sistem, menjaga stabilitas proses sistem sebagai keseluruhan, dan meningkatkan kualitas ekosistem dari derajat yang paling rendah ke derajat yang lebih tinggi, dalam rangka pemeliharaan suatu proses sistem yang berkelanjutan. 3 Daud Silalahi, SH, 2001, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, PT Alumni, Bandung, h. 138. 4 Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Lingkungan Internasional Persepektif Bisnis Internasional, PT Refika Aditama, h. 1. 2 Pada prinsipnya bahwa tindakan pengaturan hukum lingkungan internasional sesuai untuk hal-hal berikut:5 a. Persoalan-persoalan pencemaran dan kontaminasi samuderasamudera dan atmosfer, karena hal ini mungkin merupakan objek dari pemanfaatan umum, sebagian lagi karena ketidakmungkinan dalam hal-hal tertentu melokalisir pengaruh-pengaruh dari zat-zat pencemaran dan kontaminasi. b. Spesies-spesies yang dilindungi dan suaka-suaka alam, dengan alasan bahwa hal ini merupakan warisan bersama umat manusia. Perjanjian-perjanjian internasional mungkin perlu untuk mengawasi ekspor, impor, dan jual-beli spesies-spesies yang terancam punah. c. Penipisan sumber-sumber daya laut, mengingat ketergantungan manusia terhadap laut sebagai sumber protein. d. Pemantauan perubahan-perubahan dalam atmosfer bumi, iklim, dan kondisi-kondisi musim. e. Pemantauan standar-standar internasional terhadap baku mutu lingkungan. f. Pengawasan timbal balik dan pengendalian atas operasi-operasi industri tertentu di semua negara, dimana operasi-operasi tersebut dapat membahayakan lingkungan, untuk menghilangkan rangsangan-rangsangan guna memperoleh keuntungan kompetitif 5 J.G. Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional edisi 2, Sinar Grafika, Jakarta, h. 538. 3 dengan mengabaikan akibat-akibat dari proses-proses yang membahayakan lingkungan. Prosedur-prosedur untuk tindakan internasional dalam kasus ini telah diberikan oleh konvensikonvensi buruh internasional, yang mana salah satu tujuannya untuk menjamin bahwa kompetisi ekonomi antar negara-negara tidak menghalangi realisasi standar-standar yang layak bagi kondisi-kondisi kerja. Dalam perkembangannya hukum lingkungan internasional, ditinjau dari segi hubungan timbal balik antara hukum dan perkembangan kesadaran lingkungan internasional (international environmental awareness), dapat diklasifikasikan atas tiga tahap: a. Tahap Pertama Hukum lingkungan internasional berkembang jauh sebelum kesadaran lingkungan internasional lahir, yaitu sejak munculnya berbagai kasus lingkungan yang melibatkan negara-negara sebagai pihak perkara, seperti dalam Kasus Trail Smailer (1938) dan Kasus Lake Lonux (1975), sementara kesadaran lingkungan internasional baru berkembang pada tahun 1960-an, sejak Rachel Carson menuliskan bukunya yang sangat menyita perhatian dunia, The Silent of Spring (1962).6 b. Tahap Kedua Tahap ini terjadi bersamaan dengan bangkitnya kesadaran lingkungan internasional. Rachel Carson pada tahun 1962 telah menulis The Silent of 6 Otto Soearwoto, 1991, Analisis Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 2. 4 Spring, sebuah buku yang menggambarkan buruknya akibat kerusakan lingkungan terhadap kehidupan dan berandil besar bagi kebangkitan kesadaran lingkungan hidup internasional dalam kaitan dengan perlindungan lingkungan.7 Kesadaran internasional yang kian meluas mendorong PBB menyelenggarakan konferensi tentang lingkungan hidup (United Nations Conference on Human Environment), 5 sampai 16 juni 1972, di Stockholm, Swedia dihadiri 113 negara, 21 organ resmi PBB, 16 organisasi antara pemerintah (NGOs) dan 258 organisasi non pemerintah NGOs termasuk LSM.8 Konferensi tersebut menghasilkan: 1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup (United Nation Deklaration on Human Environment), terdiri dari Mukadimah (Preamble) dan 26 asas (Stockholm Declaration); dan 2. Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (Action Plan), terdiri dari 109 rekomendasi. c. Tahap Ketiga Perkembangan hukum lingkungan internasional pada tahap ketiga diwarnai dengan munculnya berbagai ketentuan internasional yang berorientasi kepada perlindungan lingkungan global seperti Konvensi Wina 1985, Protokol Montreal 1987, Konvensi Perubahan Iklam 1992, Konvensi Keragaman Hayati 1992, Konvensi Perlindungan Hutan Tropis 7 8 Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit, h. 19. Daud Silalahi, 1992, Hukum Lingkungan, PT Alumni, Bandung, h. 18. 5 1992, dan berbagai ketentuan lain yang bersifat bilateral maupun multilateral, regional maupun sub-regional. Menurut Declaration of The United Nations Conference on the Human Enviroment ada 26 prinsip tentang perbuatan internasional dan nasional di bidang lingkungan. Di antara prinsip-prinsip itu terdapat tiga prinsip hukum internasional lingkungan, yakni:9 1. Negara mempunyai hak kedaulatan untuk mengeksploitasi sumbersumber sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungannya. 2. Negara bertanggungjawab untuk menjamin bahwa kegiatankegiatan dalam wilayah yuridiksi atau pengawasan tidak menyebabkan kerugian bagi lingkungan negara lain atau lingkungan wilayah di luar batas yuridiksi nasionalnya. 3. Negara berkewajiban untuk bekerja sama mengembangkan lebih lanjut hukum internasional yang mengatur pertanggungjawaban dan kompensasi bagi korban polusi dan kerugian lingkungan lain yang disebabkan oleh kegiatan sejenis pada wilayah di luar yuridiksi nasionalnya. Sehingga dapat diartikan bahwa Deklarasi Stockholm 1972 merupakan pilar perkembangan Hukum Lingkungan Internasional Modern, artinya semenjak saat itu hukum lingkungan berubah sifatnya dari use-oriented menjadi environtement-oriented. Hukum Lingkungan yang bersifat useoriented maksudnya produk hukum yang selalu mermberikan hak kepada 9 Sugeng Istanto, 1991, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogjayakarta, h.46 6 masyarakat internasional untuk mengekploitasi lingkungan dan sumber daya alam tanpa membebani kewajiban untuk menjaga, melindungi, dan melestarikannya.10 Produk hukum yang bersifat environtement-oriented adalah produk hukum yang tidak saja memberi hak kepada manusia untuk memakai tetapi juga membebani manusia dengan suatu kewajiban untuk menjaga, melindungi dan melestarikannya, misalnya Konvensi Hukum Laut 1982, konvensi ini tidak saja memberikan hak untuk mengekploitasi dan mengekplorasi sumber daya kelautan, tetapi juga memberikan kewajiban kepada negara-negara agar menjaga lingkungan laut dari perusakan dan pencemaran dalam hal tersebut, kewajiban menjaga lingkungan ini diatur khusus pada Part XII Konvensi Laut 1982. Jelas bahwa semua hasil dari Konferensi Stockholm bermanfaat dan berfungsi untuk mengidentifikasi bidang-bidang dimana kaidah-kaidah hukum lingkungan internasional, yang dapat diterima masyarakat internasional, dapat diterapkan dan juga bidang-bidang dimana pembentukan kaidah-kaidah hukum lingkungan harus berhadapan dengan rintangan-rintangan yang tidak dapat diatasi. Sampai taraf tersebut, Konferensi Stockholm memberikan landasan-landasan untuk pembangunan hukum lingkungan internasional. 10 Sukanda Husin, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 20. 7 1.1.2 Sejarah CITES CITES adalah sebuah rezim perjanjian internasional yang mengatur perdagangan spesies tertentu dari flora dan fauna liar, yakni spesies yang termasuk kategori terancam punah, begitu pula bagian-bagian dari spesiesnya. Konvensi ini didasari adanya kenyataan banyak terjadi perburuan terhadap spesies yang terancam punah, yang kemudian ditindaklanjuti dengan maraknya perdagangan ilegal yang sifatnya mengeksploitasi flora maupun fauna. CITES merupakan sebuah jawaban atas dua buah usaha yang dilakukan secara internasional untuk memprotes manejemen kehidupan margasatwa diantara kekuasaan negara-negara kolonial, yaitu Konvensi London11 tahun 1900 yang dirancang untuk memastikan konvensi dari seluruh spesies dan hewan liar di Afrika yang kegunaannya ditujukan untuk manusia, yang kedua adalah konvensi London Tahun 1933 berkenaan dengan preservasi flora dan fauna di masingmasing negaranya. Kedua perjanjian ini mengandung elemen penting dari sebuah sistem yang mengatur masalah eksploitasi kehidupan satwa liar yang dilakukan tanpa memikirkan kelanjutannya, yakni dilakukan dengan cara-cara pembatasan perburuan atas spesies terancam yang terdapat di dalam anneks, pembatasan atas perdagangan gading-gading gajah yang dilakukan secara ilegal dan pemberian ijin ekspor untuk produk-produk satwa liar tertentu. Pengecualian diberikan untuk koleksi yang bersifat ilmiah, dan atas spesimen yang diperlukan sebelum 11 Konvensi London tahun 1900 tidak pernah berlaku karena konvensi ini dianggap tidak mencukupi batasan minimal negara yang mengidentifikasi oleh negara yang menandatanganinya. Sehingga konvensi ini tidak bertahan lama hanya sampai Perang Dunia I. 8 perjanjian tersebut berlaku dan mengikat. Dalam Konvensi London tahun 1933, setiap impor atas spesies otoritas dalam teritori darimana spesies itu berasal. Pembatasan impor dalam konvensi tersebut yang tadinya hanya diberlakukan di Afrika namun kemudian diperluas oleh Inggris terhadap daerah koloniah lainnya, yakni India sedangkan Belanda memberlakukannya kepada Indonesia. Namun sayangnya perjanjian ini gagal membentuk sebuah institusi pembuat dan pengambil keputusan dan sekretariat. Ketentuan mengenai kontrol ekspor dan impor atas spesies terancam kemudian dicontoh dalam dua konvensi regional yaitu The Washington Convention on Nature Protection and Wild Life Preservation in the Western Hemisphere, dan The 1968 Algiers African Convention on the Conservation of Nature and Natural Resources.12 Satu lagi konvensi internasional yang menjadi dasar bagi pembentukan CITES adalah konvensi internasional yang mengatur masalah perburuan dan penangkapan paus, yang terbentuk pada tahun 1946. Selama tahun 1950-an, pemerhati masalah konservasi yang dipimpin oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) mulai khawatir bahwa terjadi peningkatan perdagangan internasional satwa dan bagian dari tubuhnya akan mengancam populasi dan berkelangsungan spesies tertentu, dengan mengeluarkan rancanganrancangan resolusi yang menyatakan untuk adanya pembatasan impor dari spesies-spesies tertentu. Spesies-spesies utama yang menjadi perhatian adalah macan tutul yang kulitnya diperdagangkan, primata yang dijadikan bahan eksperimen medis, dan buaya yang kulitnya diperdagangkan. 12 Peter H. Sand, “Whither CITES? The Evolution of a Treaty Regime in the Border Land of Trade and Environment” URL: http://www.etil.org/journal/vo118/No1/art2-03.html. Diakses pada tanggal 12 November 2015 12.00 wita. 9 Tahun 1960-an muncul dorongan internasional untuk lebih memperhatikan masalah perdagangan satwa ini dengan mengeluarkan seruan yang mengatakan bahwa perdagangan internasional satwa adalah perdagangan ilegal. IUCN yang pertama mengatakan perlu diadakan resolusi untuk pembentukan suatu konvensi internasional untuk meregulasi kegiatan ekspor, transit, dan impor dari spesiesspesies dan bagian tubuhnya yang langka dan terancam akan kepunahan dalam sidang majelisnya pada tahun 1963 di Nairobi, Kenya. Komite Legislasi dan Administrasi IUCN yang terdiri dari 125 negara mulai melakukan persiapan pertama untuk merancang konvensi pada tahun 1964 bersama dengan PBB dan GATT. Keberhasilan IUCN ditunjukan dengan adanya Animal Restriction of Importation Act di Inggris. Undang-undang ini mempunyai tiga objektif utama, yaitu:13 1. Untuk membantu memelihara binatang dari bahaya kepunahan dengan mengendalikan impor; 2. Untuk memberi contoh kepada negara lain; dan 3. Untuk mendukung undang-undang yang melindungi negara asal dengan pemindahan pasar untuk penangkapan ilegal/penyelundupan binatang. Ditahun sama juga Majelis Umum PBB meminta untuk membentuk International Convention on Regulation of Export, Transit, and Import of Rase or Threatened Wildlife Species or Their Skins and Thophies. Sehingga dirancang, dipersiapkan dan disirkulasikan setelah tahun 1967 oleh IUCN Enviromental Law 13 Ibid 10 Center di Bonn, Jerman Barat. Revisi rancangan tersebut dilakukan pada tahun 1961 dan 1971 berdasarkan pendapat-pendapat yang diberikan oleh 31 pemerintah negara-negara berorganisasi non pemerintah (NGO) dimana peran para NGO dalam pembentukan CITES lebih besar dibanding negara. Rancangan selanjutnya adalah untuk membicarakan masalah dalam perbedaan pendekatan nasional yang diambil oleh setiap negara untuk mengurangi perdagangan dan eksploitasi satwa liar, juga perbedaan pandangan mengenai konsep “endangered spesies”. Sehingga akhirnya disirkulasikan lagi rancangan baru ke negara-negara pada Agustus 1969 dan Maret 1971. Akan tetapi banyak negara yang tidak puas dengan rancangan Maret 1971 termasuk yang sudah banyak terlibat dalam proses pembuatan rancangan. Mereka percaya bahwa rancangan rakyat sangat lemah untuk menghasilkan tujuan konvensi spesies, adanya pemikiran bahwa rancangan ini lebih mencerminkan pandangan dari negara-negara pengimpor satwa dari Eropa, khususnya Eropa Barat. Konferensi Stockholm 1972 merupakan titik balik dari perkembangan pembentukan CITES. Konferensi Stockholm juga menghasilkan terbentuknya United Nations Environment Programme (UNEP) yang kemudian mendorong pembentukan CITES. Berdasarkan tekanan dari konferensi tersebut dengan didasari premis bahwa perdagangan satwa harus dikontrol atau dilarang berdasarkan daftar spesies terancam yang bersifat global, IUCN meresponnya dalam General Assembly membentuk CITES. 14 14 Conway W.Henderson, 2010, Understanding International Law, Ho Printing Singapore Pte Ltd, h. 342 11 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa langka spesies terancam punah adalah perjanjian internasional antar negara yang disusun berdasarkan resolusi disidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963. CITES dibentuk pada tanggal 3 Maret 1973, pada pertemuan para wakil 80 negara di Washington, D.C dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1975, yang berkantor di Jenewa, Swiss dengan menyediakan dokumendokumen asli dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol.15 Konvensi ini bertujuan untuk melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Jika diuraikan, maka didapati ada 4 hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES, yaitu:16 a. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar bagi manusia; b. Meningktnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia; c. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan tumbuhan dan satwa liar sangat tinggi; d. Makin mendesaknya kebutuhan suatu kerjasama internasional untuk melindungi jenis-jenis tersebut dari over ekspoitasi melalui kontrol perdagangan internasional. 15 Anonim, “CITES” URL: http://www.CITES.org/eng/disc/structure2.shtml. Diakses pada tanggal 14 November 2015 22.36 wita. 16 Konservasi Sumber Daya Alam Bali, “Cites Konvensi Internasional Perdagangan TSL” URL: http://www.ksda-bali.go.id/?p=314. diakses pada tanggal 14 November 2015 23.00 wita. 12 Jika dilihat dari 80 negara yang menghadiri konvensi di Washington, 21 negara pada saat itu langsung menandatangani Konvensi CITES. Negara-negara tersebut adalah Argentina, Belgia, Kosta Rika, Cyprus, Denmark, Perancis, Guatemala, Jerman Barat, Iran, Italia, Luxemburg, Mauritius, Panama, Filipina, Vietnam, Afrika Selatan, Thailand, Inggris, Amerika Serikat dan Venezuela.17 Negara-negara yang menandatangani konvensi CITES disebut sebagai Parties dengan meratifikasi, menerima, dan menerapkan Konvensi CITES. Pada akhir tahun 2003, semua negara penandatangan menjadi Parties. Negara-negara yang tidak menandatangani Konvensi tersebut dapat menjadi Parties dengan acceding konvensi. Pada tanggal 21 Januari 2009, 175 negara telah bergabung menjadi anggota Kovensi dimana Bosnia dan Herzegovina sebagai negara terakhir yang bergabung. Sebanyak 18 negara anggota PBB tidak menjadi anggota CITES, yaitu Andorra, Angola, Bahrain, East Timor, Haiti, Irak, Kiribati, Lebanon, Maldives, Pulau Marshall, Micronesia, Nauru, Korea Utara, Sudan Selatan, Tajikistan, Tonga, Turkmenistan, dan Tuvalu. Konvensi CITES tidak berlaku di Pulau Faroe. 2.2 Perjanjian Internasional Terkait CITES Perjanjian internasional dalam bahasa Indonesia disebut juga persetujuan, traktat, ataupun konvensi, adalah: kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud 17 Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, 2003, Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia, Japan International Cooperation Agency, Jakarta, h. 9. 13 untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.18 Beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut suatu perjanjian internasional antara lain: traktat yang merupakan pengambil alihan dari istilah tractaat dalam bahasa Belanda atau istilah treaty dalam bahasa Inggris, Konvensi yang berasal dari kata convention dalam bahasa Inggris, deklarasi yang berasal dari kata declaration, statuta yang berasal dari kata statute, pakta yang berasal dari kata pact, protokol yang berasal dari kata protocol, piagam yang merupakan terjemahan dari kata charter, persetujuan yang merupakan terjemahan dari kata agreement, dan istilah perjanjian yang merupakan istilah generik untuk menyebut segala macam dan bentuk perjanjian.19 Proses perumusan perjanjian internasional dilakukan dengan penunjukkan masing-masing pihak yang diberikan tugas dan kewenangan untuk melakukan perundingan. Setelah melakukan proses perundingan antara wakil-wakil para pihak, maka tahap kedua yaitu penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian dimana hal ini menunjukan bahwa para pihak yang melakukan perundingan telah berhasil mencapai kesepakatan atas naskah perjanjian. Dalam Konvensi Wina 1969 dijelaskan bahwa: “The adoption of the text of a treaty at an international conference takes place by the vote of two thirds of the States present and voting, unless by the same majority they shall decide to apply a different rule”20. Sesuai 18 I Wayan Parthiana, Op.cit, h. 12. Ibid, h. 26-27 20 Article 9 point 2 Konvensi Wina 1969 19 14 dengan hal tersebut ketentuan pengadopsian naskah perjanjian CITES21 dilakukan melalui konferensi internasional dengan persetujuan dari dua per tiga negaranegara yang hadir dan memberikan suaranya, berbagai usulan amandemen yang dari semua peserta disampaikan ke sekretariat sekurang-kurangnya 90 hari sebelum rapat, amandemen memiliki kekuatan bagi anggota ketika telah disetujui selama 60 hari setelah dua per tiga peserta setuju mengamandemen instrumen ini. Tahap lanjutan dari penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian adalah pengontentikan atau pengesahan yang akan meningkatkan status dari naskah perjanjian sehingga naskah tersebut menjadi final dan definitif. “The text of a treaty is established as authentic and definitive: a) by such procedure as may be provided for in the text or agreed upon by the States participating in its drawing up; or”22 dalam Convention on International Trade in Engdangered of Wild Fauna and Flora (CITES), instrumen perjanjian internasional tersebut terdapat didalam Article XX Ratification, acception, approval dan Article XXI Accesion. Bahwa negara peserta diberikan kebebasan memlilih cara apa yang akan dilakukan untuk mengesahkan CITES ini. Article XXI dijelaskan konvensi memberikan jangka waktu yang tidak terbatas untuk negara yang melakukan pengesahan dengan cara aksesi. Setelah secara resmi diterima, naskah yang otentik perjanjian tersebut belum mengikat para pihak, maka untuk terikat pada perjanjian suatu negara perlu menyatakan persetujuannya untuk terikat ataupun menolak secara tegas untuk 21 Article XVII Convention on International Trade in Endangered of Spesies Wild Fauna and Flora (CITES) 22 Article 10 point (a) Konvensi Wina 1969 15 tidak terikat. Karena persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada suatu perjanjian adalah manifestasi dari kedaulatan negara. Sebagai negara berdaulat, dia tidak bisa dipaksa oleh kekuatan apapun untuk menerima sesuatu yang tidak dikehendakinya, seperti menyatakan terikat pada suatu perjanjian internasional. Dijelaskan dalam Konvensi Wina 1969 bahwa:23 “The consent of a state to be bound by a treaty is expressed by the signature of its representative when: a) the treaty provides that signature shall have that effect; b) it is otherwise established that the negotiating States were agreed that signature shoukd have that effect; or c) the intention of the States to give that effect to the signature appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiation.” Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai parties dalam merumuskan CITES yang merupakan perjanjian internasional dilakukan dengan cara signature (penandatanganan), untuk mengikat anggotanya. Hal ini diatur didalam Article XIX CITES bahwa: “The present Convention shall be open for signature at Washington until 30th April 1973 and thereafter at Berne until 31st December 1974”24. Oleh Indonesia CITES ditandatangani di Washington pada bulan Maret 1973.25 Setelah penandatanganan, persetujuan untuk terikat pada perjanjian dinyatakan salah satunya dengan aksesi, dalam Konvensi Wina 1969 dijelaskan bahwa:26 “The consent of a State to be bound by treaty is expressed by accesion when: 23 Article 12 point 1Konvensi Wina 1969 Article XIX Convention on International Trade in Endangered of Spesies Wild Fauna and Flora (CITES) 25 Lampiran 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1978 26 Article 15 Konvensi Wina 1969 24 16 a) the treaty provides that such consent may be expressed by that State by means of accession; b) it is otherwise established that the negotiating States were agreed that such consent may be expressed by that State by means of accession; or c) all the parties have subsequently agreed that such consent may be expressed by that State by means of accession.” Aksesi atau pengesahan perjanjian internasional dalam hukum nasional diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 memberikan acuan bahwa Pengesahan Perjanjian Internasional dengan undang-undang bila tentang:27 1) Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara; 2) Perubahan wilayah/penetapan batas wilayah negara RI; 3) Kedaulatan/hak berdaulat negara; 4) HAM & lingkungan hidup; 5) Pembentukan kaidah hukum baru; 6) Pinjaman/ hibah luar negeri. Terhadap Pasal 10 ini Undang-Undang No.24 Tahun 2000 yang berkaitan dengan Keppres No.43 Tahun 1978 tentang Aksesi CITES menjelaskan bahwa Pengesahan Perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini, diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda 27 Sefriani, 2011, Suatu Pengantar Hukum Internasional, Rajawali Press, Jakarta, h.37. 17 dan kerja sama perlindungan penanaman modal serta pengesahan yang bersifat teknis.28 Adapun pengaturan perlindungan satwa langka di tingkat internasional yang berkaitan dengan CITES, salah satunya pengaturan hukum lunak di tingkat internasional ialah semua produk hukum internasional yang tidak mempunyai kekuatan mengikat (binding power) tapi digunakan sebagai dasar pembentukan hukum masa yang akan datang.29 Yang menjadi hukum lunak tersebut antara lain: a. Deklarasi Stockholm 1972 Deklarasi ini merupakan sejarah yang penting dalam perkembangan hukum lingkungan, sehingga perkembangan lingkungan telah memperoleh dorongan yang kuat, baik bertaraf nasional, regional, maupun internasional. Dengan dikeluarkannya konferensi tentang penanganan lingkungan hidup, ini berhasil melahirkan sebuah konsep atau pola pembangunan yang disebut dengan pola pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dengan wawasan lingkungan yaitu suatu konsep yang mengatur pola pembangunan dengan memperhatikan lingkungan supaya kelestarian lingkungan tersebut dapat terus terjaga sehingga dapat dinikmati oleh generasi yang selanjutnya. Dalam suatu resolusi khusus, konferensi menetapkan tanggal 5 Juni sebagai “Hari Lingkungan Hidup Sedunia” 28 Ibid, h. 38 Sukanda Husin, 2006, Pengaturan Perlindungan Kenekaragaman Hayati dalam Lingkungan Internasional edisi XV, Jurnal Hukum Universitas Andalas, Sumatera Utara, h. 38. 29 18 b. Deklarasi Rio 1992 Deklarasi ini diadakan dalam rangka memperingati Deklarasi Stockholm 1972 yang ke-20, dengan nama konferensi United Nation Conference on Environment and Development (UNCED). Deklarasi Rio ini merupakan penegasan kembali terhadap deklarasi Stockholm mengenai pentingnya perlindungan terhadap lingkungan secara global. Meskipun prinsip-prinsip yang termuat dalam Deklarasi Rio ini tidak mengatur secara tegas mengenai perlindungan terhadap tumbuhan dan satwa langka, namun terdapat prinsip-prinsip yang menyinggung mengenai teori pembangunan berkelanjutan (sustainable development).30 Meskipun Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio tidak menyinggung secara langsung mengenai perlindungan terhadap tumbuhan dan satwa langka, namun berdasarkan dua deklarasi inilah lahir konvensi-konvensi internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional mengenai perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang didalamnya termasuk jenis tumbuhan dan satwa. Sedangkan bentuk pengaturan terhadap satwa langka yang berbentuk hukum keras yaitu suatu produk hukum yang proses pembuatannya melalui 3 tahap yakni negosiasi, penandatangan, dan ratifikas/aksesi, diantaranya: a. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) merupakan perjanjian dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional serta 30 Koesndi Hardjasoemantri, 2012, Hukum Tata Lingkungan, GadjaMada University Press, Yogyakarta, h. 6 19 tindakan eksploitasi yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.31 Hal ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi permasalahan ini. Meskipun CITES mengikat para pihak, CITES menyediakan kerangka kerja yang harus dihormati oleh para pihak. Para pihak harus mengadopsi peraturan domestiknya sendiri untuk memastikan bahwa CITES diimplementasikan di tingkat nasional. Sampai dengan tanggal 21 Januari 2009 CITES telah memiliki 176 party.32 Indonesia telah mengaksesi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), melalui Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978. Ini merupakan transformasi hukum internasional ke hukum nasional. Dengan diaksesinya CITES maka konvensi tersebut mengikat bagi Indonesia, serta berkewajiban untuk melindungi spesies langka dari perdagangan internasional. Selain itu setiap pihak dalam konvensi harus menunjuk satu atau lebih otoritas pengelola yang bertanggung jawab dalam mengelola sistem perizinan dan menunjuk satu atau lebih otoritas ilimiah yang menilai dampak perdagangan terhadap kelestarian spesies tersebut.33 b. Convention on Biological Diversity 1992 Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati ini ditandatangai oleh 159 negara dan Uni Eropa dan mulai berlaku pada tanggal 29 Desember 1993 31 Roby Yolis Pata’dungan, 2013, “Implementasi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Dalam Upaya Konservasi Penyu di Indonesia”, Ejournal Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur h. 921. 32 “CITES” Loc.cit. 33 Ibid 20 dan Indonesia telah meratifikasi Konvensi Kenekaragaman Hayati (KKH) melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1994, yang merupakan hasil dari konferensi Rio 1992 sebagai keberhasilan masyarakat internasional dalam mengupayakan perlindungan keanekaragaman hayati34. Konvensi ini adalah konvensi pertama yang mengatur seluruh aspek keanekaragaman hayati termasuk habitat dan ekosistem dari tumbuhan dan satwa langka tersebut. Tujuan dari CBD ini tercantum dalam Pasal 1 menyatakan: “Tujuan Konvensi ini, seperti yang tertuang dalam ketetapanketetapannya, ialah konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumber daya genetic secara adil dan merata, termasuk melalui akses yang memadai terhadap sumber daya genetik dan dengan alih teknologi yang tepat guna, dan dengan memperhatikan semua hak atas sumber-sumber daya dan teknologi itum maupun dengan pendanaan yang memadai.”35 c. Protocol Cartagena Protocol Cartagena adalah kesepakatan antara para pihak mengatur tata cara gerakan lintas batas negara yang secara sengaja (termasuk penanganan dan pemanfaatan) suatu organisme hidup yang dihasilkan oleh bioteknologi modern dari suatu negara ke negara lain oleh seseorang atau badan hukum. Indonesia telah meratifikasi protokol ini melalui UndangUndang No. 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Cartagena tentang Keanekaragaman Hayati atas Konservasi tentang Keanekaragaman 34 35 Sukanda Husin, Jurnal Loc.cit Pasal 1 Convention on Biological Divesity 1992 terjemahan bahasa Indonesia 21 Hayati pada tanggal 16 Agustus 2004, dan jumlah negara yang telah menandatangani dan meratifikasi ini sebanyak 134 negara. 2.3 Pengertian Perdagangan Satwa Langka Bidang perdagangan telah mengalami kemajuan perkembangan yang semakin pesat dari waktu ke waktu. Perkembangannya itu sendiri tentu tidak lepas dari pengaruh teknologi dan ilmu pengetahuan. Seiring dengan perkembangan itulah dunia perdagangan pun mengalami perluasan dalam penerapannya. Perluasaan bidang perdagangan yang dirasakan cukup berarti bagi berbagai kalangan dunia yaitu semakin meluasnya kesempatan atau peluang, serta jaringan negara-negara di dunia untuk menjalin suatu hubungan dalam hal perdagangan. Negara-negara di dunia dapat dengan lebih mudah meraih kesempatan yang seluas-luasnya didalam arus perdagangan, baik dibidang barang maupun jasa dan juga dapat lebih mudah menembus batas-batas antar negara. “Pada zaman yang modern ini perdagangan adalah pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen untuk membelikan dan menjualkan barangbarang yang memudahkan dan memajukan pembelian dan penjualan itu.”36 Perdagangan saat ini tidak hanya berkutat dalam lokal, regional, namun telah mengglobal melewati lintas batas negara. Perubahan tersebutlah yang merupakan timbulnya perdagangan melibatkan partisipasi atau keikutsertaan 36 C.S.T. Kansil, dan Christine S.T. Kansil, 2013, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia Edisi 2, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13 22 negara-negara di dunia untuk saling berkompetisi serta terlibat didalam kegiatan perdagangan internasional.37 Hal inilah yang menjadi pemicu suatu negara berinteraksi dengan negara lain yaitu karena adanya keinginan atau harsat untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara melengkapi kekurangannya itu melalui kerjasama dengan lain di bidang perdagangan. Adanya interdependensi kebutuhan itulah yang menyebabkan timbulnya perdagangan internasional.38 Perdagangan satwa langka menyebabkan menurunnya tingkat keanekaragaman hayati di dunia. Perdagangan satwa langka tanpa izin ini juga memegang posisi yang signifikan terhadap keberadaan sebuah spesies. Dan pada dasarnya segala kegiatan yang dilakukan oleh manusia membawa pengaruh terhadap lingkungan tidak selalu dapat diprediksi.39 Satwa merupakan sebagian sumber daya alam yang tidak ternilai harganya, sehingga kelestariannya perlu dijaga agar tidak punah baik karena faktor alam, maupun perbuatan manusia seperti perburuan, dan kepemilihan satwa yang tidak sah. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatakan “Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup didarat, dan atau udara, dan atau air.” 37 Tumpal Rumpea, 2000, Kamus Lengkap Perdagangan Internasional Cetakan Pertama, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 211. 38 Ibid. 39 Muhamad Iqbal, 2014, “Tinjauan Yuridis Terhadap Kepemilikan dan Penjualan Satwa Langka Tanpa Izin di Indonesia”, Jurnal Fakuktas Hukum Universitas Mulawarman Kalimantan Timur, h. 8. 23 Satwa langka dapat diklarifikasikan menjadi 3 kategori yaitu sebagai berikut:40 a. Nyaris punah Tingkat kritis atau habitatnya telah menjadi sempit sehingga jumlahnya dalam keadaan kritis b. Mengarah kepunahan Yakni populasinya merosot akibat eksploitasi yang berlebihan dan kerusakan habitatnya c. Jarang Populasinya berkurang akibat faktor alam ataupun manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa menurut TRAFFIC perdagangan terhadap satwa liar didefinisikan sebagai: “The sale and exchange of animal and plant resources. This includes ornamental animal products such as corals for aquria, reptile skins for the leather industry, tortoishell, as well as ornamental plants such orchids and cacti. It also, includestimber products, medicinal and aromatic products such as taxol, agarwood, adn musk, fisheries products, and live animals for the pet trade including parrots, raptors, primates, and a wide variety of reptiles and ornamental fish”41 Melalui perdagangan, baik perdagangan komersial maupun non-komersial, lingkungan hidup dapat tetap terselamatkan dan menghasilkan keuntungan secara finansial. Namun pembatasan-pembatasan melalui peraturan yang ada haruslah sesuai dan dijalankan dengan prinsip good governance yang baik dengan diawasi oleh pihak luar. Kontribusi perdagangan spesies langka di beberapa negara tidak 40 Laden Marpaung, 1995, Tindak Pidana Terhadap Hasil Hutan dan Satwa, Erlangga Press, Surabaya, h. 49. 41 Broad, S.,Mulliken T. And Roe D, 2003 The Nature and Extent of Legal and Ilegal Trade in Wildlife (Flora dan Fauna International Resource Africa and TRAFFIC International), London 24 dapat dikatakan sedikit, misalnya dapat menyediakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan lokal. Faktanya disisi lain terdapat indikasi terhadap penurunan populasi berbagai spesies langka akibat perdagangan internasional. Selanjutnya menurut resolusi sidang umum PBB No. 2102/XX/Tanggal 20 Desember 1965, yang dimaksudkan dengan istilah hukum dagang internasional adalah: “The bidy of rules governing commercial relationship of a private law nature involving different countries”. (keseluruhan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan-hubungan dagang bersifat hukum perdata dan mencakup berbagai negara).42 Dalam hukum perdagangan internasional yang merupakan bidang hukum yang berkembang cepat. Dimana hubungan-hubungan dagang yang bersifat lintas batas negara dapat mencakup banyak jenis, dari bentuk yang sederhana yaitu barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan, dan sejenis) hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks (khususnya teknologi informasi). Bahkan saat ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui atau mengenal rekan dagangnya yang berada dibelahan bumi lain. Hal ini terlihat dengan lahirnya transaksi-transaksi yang disebut dengan e-commerce. Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Fakta yang sekarang ini terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera, dan kuat. Karena besar 42 Sudargo Gautama, 1997, Hukum Dagang Internasional Edisi Kedua Cetakan Pertama, Penerbit Alumni, Bandung, h 24. 25 dan jayanya negara-negara di dunia tidak terlepas dari keberhasilan dan aktivitas negara-negara tersebut di dalam perdagangan internasional.43 Secara empiris kita dapat mengatakan bahwa dalam satu fase ada peningkatan polusi, ada juga deplesi sumber daya alam untuk satu periode. Tetapi fakta empiris juga menunjukan bahwa ketika tingkat perdagangan semakin diperluas, kebutuhan barang-barang ramah lingkungan juga akan semakin tinggi. Jadi ada dorongan dari konsumen memaksa penduduk setempat untuk bersikap ramah terhadap lingkungan. 2.4 Pengaturan Perdagangan Satwa Langka Keanekaragaman kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, salah satunya memiliki beragam satwa, yang tersebar diseluruh pulau-pulau di Indonesia. Satwa yang ada di habitat wilayah Indonesia merupakan ciri khas dari pulau tersebut. Dan di Indonesia sendiri satwa-satwa tersebut kian hari kian memprihatinkan, sudah jarang ditemukan dan sangat langka dihabitatnya sendiri. Seperti Trulek Jawa, Jalak Bali, Tokhtor Sumatera, Kakatua Kecil Jambul Kuning, Merpati Hutan Perak, Perkici Buru, Celepuk Siau, Anis-Betet Sangihe, Elang Flores, Gagak Bangai. Satwa-satwa ini sudah jarang ditemukan dihabitat aslinya karena populasinya yang semakin punah. Melihat hal tersbeut maka pemerintah menerbitkan peraturan perundang-undangan. Untuk melindungi satwa langka ini dari kepunahaan. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 5 43 Huala Adolf, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 1-2 26 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dimana undang-undang ini menentukan pula kategori atau kawasan suaka alam dengan ciri khas tertentu, baik didarat maupun diperairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengamanan keanekaragaman satwa langka serta ekosistemnya. 2.4.1 Ketentuan Nasional Tentang Perdagangan Satwa Langka Peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan dengan satwa selain Undang-Undang No.5 Tahun 1990 adalah: 1. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. 2. Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfataan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. 3. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. 4. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. 5. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam. Peraturan-peraturan tersebut diatas mengatur semua jenis satwa langka yang dilindungi oleh negara, baik yang dimiliki masyarakat maupun yang tidak dapat dimiliki oleh masyarakat, dikarenakan satwa tersebut sudah hampir punah, dihabitat aslinya sudah jarang ditemui. Sehingga dengan adanya Undang-Undang 27 No.5 Tahun 1990 membatasi dan menetapkan mana yang disebut satwa langka yang boleh diperlihara dan tidak boleh dipelihara oleh manusia. Selain itu dengan mengkonservasi satwa liar pemerintah menekankan pada tindakan kerjasama dengan industri, pemerintah lain (Provinsi), organisasi atau lintas sektor swasta untuk mengendalikan bahaya dari ancaman punah dan perdagangan gelap. Pengawasan lalu lintas peredaran satwa yang menjadi objek komoditas perdagangan, sesuai dengan penetapan jatah penangkapan dan pengambilan di alam, dilakukan dengan cara menerbitkan Surat Angkut Satwa, baik didalam negeri maupun diluar negeri. Secara tegas diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No.447/Kpt-II/2003. Banyaknya satwa langka yang dipelihara, diperdagangkan yang sering ditemui di pasar hewan merupakan satwa yang tergolong yang dilindungi atau yang termasuk hampir punah. Pada hakekatnya konservasi merupakan berbagai usaha perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 1. UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyatakan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”44 Kemakmuran yang dimaksud adalah harus dapat dinikmati baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Dalam pasal 33 UUD 1945, juga ditekankan bahwa pembangunan ekonomi nasional harus selaras dengan masalah sosial dan lingkungan, 44 Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. 28 dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (4) bahwa “perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menajaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” 45 2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 2 “Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dalam ekosistemnya secara serasi dan seimbang.” Pasal 3 “Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.”46 3. Untuk kegiatan konservasi terhadap satwa yang ada di dalam hutan konservasi terdapat didalam Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Pasal 4 ayat (1) berbunyi “Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan: a. Tumbuhan dan satwa yang dilindungi; dan b. Tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.”47 45 Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 47 Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa 46 29 4. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Pasal 3 berbunyi: “Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan dalam bentuk: a. Pengkajian, penelitian, dan pengembangan; b. Penangkaran; c. Perburuan; d. Perdagangan; e. Peragaan; f. Pertukaran; g. Budidaya tanaman obat-obatan; dan h. Pemeliharaan untuk kesenangan. Pasal 18 ayat (1) berbunyi “tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwa liar yang tidak dilindungi.” Ayat (2) berbunyi “tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan perdagangan diperoleh dari: a. Hasil penangkaran; b. Pengambilan atau penangkaran dari alam.” Pasal 19 ayat (1) berbunyi “perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut Hukum Indonesia setelah mendapat rekomendasi Menteri.”48 5. Keputusan Presiden No. 43 tahun 1973 tentang Pengesahan CITES 48 Pasal 3, 18 ayat (1) dan (2), serta Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. 30 6. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005, melalui peraturan tersebut memberikan tata cara atau prosedur49 untuk dapat meminimal perdagangan yang terjadi terhadap tumbuhan dan satwa liar. 7. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.02/Menhut-II/2007, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setiap daerah diberikan tanggungjwab oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sebagai pelaksana50 untuk melakukan penyidikan dibidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Peraturan tersebutlah menjadi hukum positif di Indonesia sebagai dasar dalam penegakan perlindungan terhadap satwa-satwa yang dilindungi. 2.4.2 Ketentuan CITES Tentang Perdagangan Satwa Langka Indonesia adalah negara kesatuan yang berdaulat dan akan selalu menjaga komitmen berbagai kesepakatan terhadap perjanjian hukum internasional, salah satunya dalam bidang perdagangan tumbuhan dan satwa liar. Konvensi pengendalian perdagangan spesies yang terancam punah yang digunakan adalah CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), dimana CITES adalah konvensi mengenai perdagangan internasional jenis satwa dan tumbuhan yang terancam punah. Dengan tujuan bahwa untuk memastikan perdagangan internasional jenis satwa dan tumbuhan liar (atau bagian 49 Pasal 76 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar 50 Pasal 3 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam. 31 dan produk olahannya yakni produk yang terbuat dari bagiannya) tidak mengancam kelestariannya.51 Mekanisme penggolongan perlindungan berdasarkan Appendiks, dimana satwa dan tumbuhan yang dianggap harus dilindungi dan diatur ke dalam tiga jenis Appendiks:52 1. Appendiks I Appendiks I yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial. Jumlahnya sekitar 800 spesies yang terancam punah apabila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk Appendiks I yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal dan hanya diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa, misal untuk penelitian, dan penangkaran. Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran atau budidaya dianggap sebagai spesimen dari Appendiks II dengan beberapan persyaratan. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan non detriment finding. Berupa bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap perdagangan spesies dalam Appendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang, dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara spesimen tersebut dengan layak. 51 Lampiran Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 tentang Aksesi CITES. Haryo Limanseto, 2015, “Jaga Alam, Lindungi Flora dan Fauna Indonesia” Majalah Warta Bea dan Cukai Nomor 01331/SK/DIRDJEN-PG/SIT/1972, 20 Juni 1970, h 6-7. 52 32 Tumbuhan dan satwa liar yang termasuk ke dalam Appendiks I CITES di Indonesia ialah: Mamalia 37 jenis, Aves 15 jenis, Reptil 9 jenis, Pisces 2 jenis, total 63 jenis satwa dan 23 tumbuhan. Jenis aves misalnya Anis Bentet Sangihe (Colluricincla sanghirensis), Celepuk Siau (Otus siaoensis), Cikalang Christmas (Fregata andrewsi), Dara Laut China (Sterna bernsteini), Gagak Banggai (Corvus unicolor), Ibis Karau (Pseudibis davisoni), Kacamata Sangihe (Zosterops nehrkorni), Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea), Kehicap Boano (Monarcha boanensis), Merpati Hutan Perak (Columba argentina), (Treron psittaceus), Perkici Buru (Charmosyna toxopei), Punai Timor Seriwang Sangihen (Eutrichomyias rowleyi), Sikatan Aceh (Cyornis ruckii), Tokhtor Sumatera (Carpococcy viridis), Maleo Sekanwor (Macrocephalon maleo), Curik Balik (Leucopsar rotschildi). Ada beberapa spesies yang masuk ke dalam Appendiks I namun jika spesies tersebut berasal dari negara tertentu akan menjadi Appendiks II, Appendix III atau bahkan Non Appendix. Misalnya buaya muara (Crocodylus porosus) masuk dalam Appendiks I kecuali populasi dari Indonesia, Australia dan Papua New Guinea termasuk dalam Appendiks II. 2. Appendiks II Appendiks II memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahannya, tetapi mungkin akan terancam apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Jumlahnya sekitar 32.500 spesies. Selain itu, Appendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang didaftar dalam Appendiks I. Otoritas pengelola dari 33 negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Spesies di Indonesia yang termasuk dalam Appendiks II yaitu Mamalia 96 jenis, Aves 239 jenis, Reptil 27 jenis, Insekta 26 jenis, Bivalvia 7 jenis, Anthozoa 152 jenis, total 546 jenis satwa dan 1002 jenis tumbuhan (dan beberapa jenis yang termasuk dalam CoP 13). Satwa jenis aves yang masuk dalam Appendiks, misalnya: Beo Nias/Tiong emas (Gracula religiosa), Angsa Batu Christmas (Papasula abbotti), Bangau Storm (Ciconia stormi), Berkik Gunung Maluku (Scolopax rochussenii), Burung Madu Sangihe (Aethopyga duyvenbodei), Celepuk Flores (Otus alfredi), Celepuk Biak (Otus beccarii), Delimukan Wetar (Gallicolumba hoedtti), Gagak Flores (Corvus florensis), Jalak Putih (Sturnus melanopterus), Kasturi Ternate (Lorius garrulus), Kehicap Biak (Monarcha brehmii), Kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), Kehicap Tanah Jampea (Monarcha everetti), Kuau Kerdil Kalimantan (Polyplectron schleiermacheri), Kowak Jepang (Gorsachius goisagi), Luntur Gunung (Apalharpactes reinwardtii), Mandar Talaud (Gymnocrex talaudensis), Nuri Talaud (Eos histrio), Opior Buru (Madanga ruficollis), Pergam Timor (Ducula cineracea), Punai Timor (Treron psittaceus), Trinil Nordmann (Tringa guttifer), Sikatan Matinan (Cyornis sanfordi), Sikatan Lompobattang (Ficedula bonthaina), Serindit Flores (Loriculus flosculus), Serindit Sangihe (Loriculus catamene). Dalam daftar kouta ekspor TSL alam Tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Dirjen PHKA, jenis satwa yang masuk dalam Appendiks II dan tidak 34 dilindungi undang-undang yang diperbolehkan untuk diekspor sebanyak 104 spesies. Beberapa jenis, walaupun tidak dilindungi namun tidak ada kouta tangkap dari alam untuk ekspor karena sedang diusulkan untuk dilindungi maupun karena populasinya sudah semakin menurun. 3. Appendiks III Appendiks III yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam Appendiks II, bahkan Appendiks I. Jumlah yang masuk ke dalam Appendiks II sekitas 300 spesies. Spesies yang dimasukkan ke dalam Appendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke dalam salah satu anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam punah dan semua anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO). Di Indonesia tidak ada spesies yang masuk ke dalam Appendiks III ini. 35