Program iSTEMI Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu

advertisement
Perangko Berlangganan No.11/PRKB/JKP/PENJUALAN IV/2014
ISSN : 0853-8344
Harga eceran Rp.9.000,-
206/Thn.XX/Juli-Agustus 2014
e-mail: [email protected] / [email protected];
kardiovk;
@kardio_vaskuler;
tpkindonesia.blogspot.com
Program iSTEMI Jakarta Barat
dan Kepulauan Seribu
Berdasarkan kutipan laporan WHO 2011,
mortalitas penyakit kardiovaskular terutama Infark Miokard Akut masih merupakan salah satu
penyebab kematian utama di Indonesia. Pasien yang
mengalami serangan Infark Miokard Akut (AMI)
dengan gambaran EKG elevasi segmen ST mempunyai mortalitas yang tinggi pada fase–fase awal
dan prognosisnya hanya dapat diperbaiki dengan
reperfusi yang cepat dan tepat. Chain of survival
dari STEMI melibatkan strategi yang terintegrasi
dimulai dari edukasi pasien dan kontak dini dengan
tenaga kesehatan atau jejaring, koordinasi protokol
ke fasilitas yang dapat melakukan reperfusi, baik
dengan fibrinolisis maupun intervensi koroner
perkutan primer, layanan emergensi yang efisien
untuk mempersingkat waktu “door to reperfusion”
dan implementasi strategi reperfusi dari tim yang
terlatih.
Pada tahun 2008, dimulai registri Jakarta Acute
Coronary Syndrome (JAC) dan hasil data tersebut di
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita memperlihatkan 59% STEMI dan sebagian besar yang datang
terlambat berasal dari rujukan rumah sakit lain. Pada
tahun 2011, dibentuk sistem rujukan yang diberi
nama Jakarta Cardiovascular Care Unit Network System, termasuk call center “Heart Line”. Dibandingkan
dengan sebelum dibentuk jejaring, hanya jumlah
rujukan pasien STEMI antar-rumah sakit meningkat secara bermakna, namun jumlah pasien STEMI
yang datang terlambat (late presenter) tidak berbeda
jauh (53,1% vs 51,2%). Sehingga sebagian besar
pasien STEMI yang tiba di rumah sakit Harapan Kita
tidak mendapat terapi reperfusi, dengan dampaknya
mortalitas di rumah sakit pada pasien STEMI yang
tidak di reperfusi dua kali lipat lebih tinggi.
Data diatas menimbulkan hipotesa angka re­
perfusi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
kemampuan reperfusi fasilitas kesehatan perujuk.
Dalam upaya untuk membuktikan konsep ini
maka Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu dipilih
sebagai pilot program. Adapun Program ini diberi
nama iSTEMI (Indonesia STEMI) dan merupakan
kerjasama antara Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita, Pokja PERKI terkait, Departemen Kardiologi
FKUI, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Suku
Dinas Kesehatan Kota Administratif Jakarta Barat,
Protokol Jejaring Rujukan iSTEMI Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu
Suku Dinas Kesehatan Kabupaten Administratif Kepulauan
Seribu, RSUD Cengkareng dan Medtronic Indonesia. Program
ini dikembangkan dengan menitik beratkan pada suatu pro­
tokol operasional praktis, pelatihan, dan penyediaan sarana
untuk digunakan oleh dokter dan perawat untuk melakukan
terapi reperfusi sesuai dengan pedoman untuk mempersingkat
keterlambatan reperfusi dalam penanganan pasien STEMI.
Jejaring iSTEMI dirancang dalam skala regional/wilayah
Jakarta Barat dengan menggunakan model hub (rumah sakit
penerima rujukan) dan spokes (pusat layanan kesehatan
pe­ngirim rujukan). Sistem ini akan mengatur aktivitas dari
semua jaringan pelayanan kesehatan di Jakarta Barat Kepu­
lauan seribu termasuk RS swasta, sehingga akan menyediakan
pelayanan kardiovaskular yang lebih baik untuk masyarakat.
Hasil data yang secara berkala bertujuan untuk memberikan
solusi secara berkala, membangun rencana kerja dan memperbaiki sistem pelayanan tidak hanya untuk di Jakarta
Barat, namun untuk Jakarta atau bahkan wilayah seluruh
Indonesia.
Dafsah A. Juzar
Ketua Program iSTEMI Jakarta Barat
& Kepulauan Seribu
2
206/Thn.XX/Juli-Agustus 2014
S
Tabloid Profesi
KARDIOVASKULER
STT no. 2143/SK/Ditjen PPG/STT/1995
tanggal 30 Oktober 1995
ISSN : 0853-8344
SUSUNAN REDAKSI
Ketua Pengarah:
DR. Dr. Anwar Santoso, SpJP(K), FIHA
Pemimpin Redaksi:
Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP
Redaksi Konsulen:
Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K)
Prof.DR. Haris Hasan, SpPD, SpJP(K)
Dr. Budi Bhakti Yasa, SpJP(K)
Dr. Fauzi Yahya, SpJP(K)
Dr. Antonia A. Lukito, SpJP(K)
Tim Redaksi:
Bidang Cardiology Prevention & Rehabilitation
Dr. Basuni Radi, SpJP(K)
Dr. Dyana Sarvasti, SpJP
Bidang Pediatric Cardiology
Dr. Indriwanto, SpJP(K)
Dr. Radityo Prakoso, SpJP
Bidang Cardiovascular Emergency
Dr. Noel Oepangat, SpJP(K)
Dr. Isman Firdaus, SpJP
Bidang Clinical Cardiology
Dr. Sari Mumpuni, SpJP(K)
Dr. Rarsari Soerarso, SpJP
Bidang Interventional Cardiology
Dr. Doni Firman, SpJP(K)
Dr. Isfanudin, SpJP(K)
Bidang Echocardiography
Dr. Erwan Martanto, SpPD, SpJP(K)
Dr. BRM. Ario Soeryo K., SpJP
Bidang Cardiovascular Intensive Care
Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP(K)
Dr. Siska Suridanda, SpJP
Bidang Cardiovascular Imaging
Dr. Manoefris Kasim, SpJP(K)
Dr. Saskia D. Handari, SpJP
Bidang Cardiac Surgery & Post-op Care
Dr. Bono Aji, SpBTKV
Dr. Pribadi Boesroh, SpBTKV
Dr. Rita Zahara, SpJP
Bidang Vascular Medicine
Dr. Iwan Dakota, SpJP(K)
Dr. Suko Ardiarto, PhD, SpJP
Tim Editor:
Dr. Sidhi Laksono Purwowiyoto
Fotografer:
Dr. M. Barri Fahmi Harmani
Sekretaris/Keuangan:
Endah Muharini
Bagian Iklan:
Bimo Sukandar
Bagian Perwajahan:
Asep Suhendar
Alamat Redaksi dan Tata Usaha:
Wisma Harapan Kita Bidakara, Lt.2,
RS Jantung Harapan Kita,
Jln. S Parman Kav. 87, Jakarta 11420,
Telp: 02170211013 atau Telp/Fax.: 5602475
atau 5684085-93 pes. 5011
e-mail : [email protected] atau [email protected]
Penerbit:
H&B
Heart & Beyond PERKI
Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP
Pemimpin Redaksi
alam
Tabloid Profesi Kardiovaskuler, baru saja
mengalami pergantian struktur kepengurusan. Ketua Pengarah Tabloid saat ini adalah
Presiden PP PERKI yaitu DR. dr. Anwar Santoso,
SpJP(K), FIHA. Sementara pemimpin redaksi
tetap sama.
Pada edisi bulan Juli-Agustus 2014 ini, kami
menyajikan update berita tentang kepengurusan
PP PERKI yang terbaru, dan tentang pemilihan
ketua PERKI Jaya Periode 2014-2016.
Kami ucapkan selamat atas mulai bertugasnya
Presiden PP PERKI, dan selamat atas terpilihnya
DR. dr. Ismoyo Sunu, SpJP(K), FIHA sebagai
President Elect.
Selain update terbaru tentang organisasi, kami
sajikan sebagai headline, suatu penelitian yang
luar biasa oleh Dr. Dafsah A. Juzar yang berjudul
Program iSTEMI Jakarta Barat dan Kepulauan
Seribu. iSTEMI adalah sebuah studi tentang penatalaksanaan STEMI di Indonesia. Mengapa kami
sebut luar biasa, karena penelitian seperti ini akan
meningkatkan awareness dokter-dokter di ujung
Pelantikan Pengurus Pusat PERKI & Kolegium Ilmu Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah Masa Bakti 2014-2016
Sabtu, 5 Jui 2014, Grand Hyatt, Jakarta
Tabloid Profesi KARDIOVASKULER diterbitkan
oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Tabloid unik ini memang
bereda dengan media kedokteran lainnya. Tata
letaknya sedikit konservatif
tapi enak dipandang. Bukan media
yang berkesan ilmiah, tetapi media ilmiah yang
sangat terjaga akurasinya, ditulis
dengan bahasa tutur yang enak dibaca.
Tabloid KARDIOVASKULER memang merupakan
sarana untuk menyampaikan
setiap informasi kedokteran mutakhir
--khususnya terkait bidang kardiovaskuler-- bagi
seluruh dokter Indonesia.
Di era globalisasi, dikenal pemeo "so many
journals, but so little time". Untuk itulah Tabloid
KARDIOVASKULER hadir, membawa berita
ilmiah kardiovaskuler terkini.
Diedarkan terbatas khusus untuk dokter Indonesia.
Infak ongkos cetak/kirim Rp150.000/tahun,
transfer melalui Bank Mandiri acc:
Tabloid Profesi Kardiovaskuler,
RK no. 116-0095028024, Sandi Kliring: 008-1304
KK. Harapan Kita, Cab. S. Parman, Jakarta.
SUSUNAN PENGURUS PUSAT
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KARDIOVASKULAR INDONESIA
MASA BAKTI 2014 - 2016
Dewan Penasihat PERKI
:
Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K), FIHA
Prof. DR. Dr. Rochmad Romdoni, SpPD, SpJP(K), FIHA
Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K), FIHA
Prof. Dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP(K), FIHA
Ketua PP PERKI
: DR. dr. Anwar Santoso, SpJP(K), FIHA
President Elect/Wakil Ketua I: DR. dr. Ismoyo Sunu, SpJP(K), FIHA
Wakil Ketua II
: Dr. Herry Ch. Bastari, SpJP, FIHA
Sekretaris Jenderal
: Dr. A. Fauzi Yahya, SpJPK), FIHA
Wakil Sekjen I
: DR. dr. Antonia Anna Lukito, SpJP, FIHA
Wakil Sekjen II
: Dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, SpJP(K), FIHA
Bendahara Umum
: Dr. Oktavia Lilyasari, SpJP(K), FIHA
Wakil Bendahara I
: Dr. Mei Lestari, SpJP, FIHA
Wakil Bendahara II
: Dr. Agus Subagjo, SpJP(K), FIHA
Sekretaris Executive
: Dr. Isman Firdaus, SpJP(K), FIHA
DR. Dr. Anwar Santoso
(Ketua PP PERKI 2012-2014)
Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
Ketua
: Dr. Sunarya Soerianata, SpJP(K), FIHA
Wakil Ketua I
: Prof. Dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP(K), FIHA
Wakil Ketua II
: Dr. M. Aminuddin, SpJP(K), FIHA
Sekretaris
: Dr. Poppy S. Roebiono, SpJP(K), FIHA
Badan Etik dan Pembelaan Anggota
Ketua
: Dr. Pri Utomo, SpJP(K), FIHA
Sekretaris
: Prof. Dr. Zainal Mustafa, SpJP, FIHA
Anggota
: Dr. Andang H. Joesoef, SpJP(K), FIHA
Prof. Dr. T. Bahri Anwar, SpJP(K), FIHA
Dr. Hadi Hartono, SpJP(K), FIHA
DEPARTEMEN
Pengembangan Organisasi & Advokasi Kebijakan
Ketua
: Dr. Suhendiwijaya, SpJP, FIHA
Anggota
: Dr. Isman Firdaus, SpJP(K), FIHA
Dr. Ade Median Ambari, SpJP, FIHA
Dr. Lucia Kris Dinarti, SpJP(K), FIHA
DR. Dr. Idar Mappangara, SpPD, SpJP, FIHA
Penelitian & Pengembangan IPTEK Kardiovaskular
Ketua
: Dr. Sunu Budi Rahardjo, PhD, SpJP, FIHA
Anggota
: Dr. M. Syaifurochman, PhD, SpJP, FIHA
Dr. Budi Baktijasa, SpJP(K), FIHA
Dr. Ario Soeryo Kuncoro, SpJP(K), FIHA
Dr. Bambang Widyantoro, PhD, SpJP, FIHA
Pengembangan Pendidikan & Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)
Ketua
: Dr. A. Sari S. Mumpuni, SpJP, FIHA
Anggota
: Dr. Erwinanto, SpJP(K), FIHA
Dr. Dafsah Arifa Juzar, SpJP(K), FIHA
Dr. Radityo Prakoso, SpJP, FIHA
Dr. Ahmad Lefi, SpJP(K), FIHA
Pengembangan Kemitraan & Kesejahteraan Anggota
Ketua
: Dr. Daniel PL. Tobing, SpJP(K), FIHA
Anggota
: Dr. Parmono, SpJP, FIHA
Dr. Jetty RH. Sedyawan, SpJP(K), FIHA
Dr. Bagus Ari Pradnyana, SpJP, FIHA
Dr. Leonora J. Tiluata, SpJP, FIHA
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia)
Manajemen:
Yayasan PERKI
Pencetak:
PT. Oscar Karya Mandiri, Jakarta
tombak pelayanan, kemudian mereka diberikan
protokol sehingga memiliki peran serta dalam
penatalaksanaan kasus STEMI yang datang ke
tempat praktek mereka. Dengan demikian diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas
dan morbiditas akibat STEMI di Jakarta Barat
dan Kepulauan Seribu. Apabila penelitian ini
dilaksanakan di seluruh Indonesia, maka besar
harapan mortalitas dan morbiditas akibat STEMI di seluruh Indonesia pun dapat ditekan.
Tidak ketinggalan Kardiologi Kuantum
yang selalu hadir untuk mengingatkan kita akan
dimensi non medis sebagai manusia yang tetap
dikaitkan dengan kardiologi, kali ini berjudul:
Sindroma “PilPres” dan Revolusi Mental.
Artikel ilmiah yang kami sajikan ada tiga,
pertama tentang kopeptin, kedua tentang penatalaksanaan pasien hipertensi dengan LVH,
dan ketiga tentang hiperkolesterolemia.
Terimakasih atas kesetiaan dan dukungan
pembaca serta kontributor tabloid profesi kardiovaskuler.
Selamat membaca.*
Dr. Sunarya Soerianata
(Ketua KOLEGIUM PERKI 2012-2014)
Penerbit & Informatika
DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K), FIHA (Jurnal Kardiologi Indonesia)
Dr. Suko Adiarto, SpJP, FIHA (Jurnal Kardiologi Indonesia)
Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP, FIHA (Tabloid Kardiovaskuler)
Dr. Ramang Napu, SpJP, FIHA (Tabloid Kardiovaskuler)
Dr. Sunanto Ng, SpJP, FIHA (Website)
3
206/Thn.XX/Juli-Agustus 2014
SUSUNAN PENGURUS KOLEGIUM
ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
MASA BAKTI 2014 - 2016
RAPAT KOLEGIUM ILMU PENYAKIT
JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
PENGURUS HARIAN
Ketua
: Dr. A. Sunarya Soerianata, SpJP, FIHA
WakilKetua I : Prof. DR. Dr.Harmani Kalim, MPH, SpJP, FIHA
WakilKetua II : Dr. Muhammad Aminuddin, SpJP, FIHA
Sekretaris
: Dr. Poppy S Roebiono, SpJP, FIHA
Sabtu 23 Agustus 2014 bertempat di
Jasmine 4 Room Hotel Menara Peninsula
Jakarta, diadakan acara Rapat Kolegium
Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah. Acara dihadiri oleh jajaran Pengurus Kolegium dari seluruh Indonesia,
berlangsung dari pukul 08.00 sampai pukul
23.00.
Acara yang merupakan Rapat Kerja
Kolegium Masa Bakti 2014-2016 ini dibuka
dengan sambutan dari Ketua Kolegium
baru, yaitu Dr. Sunarya Soerianata, SpJP
FIHA. Turut hadir dalam acara itu, DR.
Dr. Anwar Santoso SpJP FIHA (Ketua PP
PERKI), Prof. Dr Harmani Kalim, SpJP
FIHA, Dr. Manoefris Kasim, SpJP FIHA.*
Anggota:
1. Prof. Dr.Harmani Kalim, MPH, SpJP, FIHA
2. Dr. Hadi Purnomo, SpJP, FIHA
3. Dr. RWM Kaligis, SpJP, FIHA
4. Dr. Irmalita, SpJP, FIHA
5. DR. Dr. Amiliana M. Soesanto, SpJP, FIHA
6. Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP, FIHA
7. Dr. Manoefris Kasim, SpJP, FIHA
8. DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP, FIHA
9. DR. Dr. Muhammad Munawar, SpJP, FIHA
10. Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP, FIHA
PENGURUS NASIONAL
Ketua
: Dr. A. Sunarya Soerianata, SpJP, FIHA
WakilKetua I : Prof. Dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP, FIHA
WakilKetua II : Dr. Muhammad Aminuddin, SpJP, FIHA
Sekretaris
: Dr. Poppy S. Roebiono, SpJP, FIHA
Anggota
: - Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
di FK Negeri
- Ketua Program Studi Dept. Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
di FK Negeri
- Para Guru Besar Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
di FK Negeri
Anggota :
1. DR. Dr. Anwar Santoso, SpJP, FIHA (Ketua PP PERKI)
2. Dr. Otte J. Rachman, SpJP, FIHA
3. Prof. Dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP, FIHA
4. Dr. Hadi Purnomo, SpJP, FIHA
5. Dr. RWM Kaligis, SpJP, FIHA
6. Dr. Irmalita, SpJP, FIHA
7. DR. Dr. Amiliana M Soesanto, SpJP, FIHA
8. Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP, FIHA
9. Dr. Manoefris Kasim, SpJP, FIHA
10. DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP, FIHA
11. DR. Dr. Muhammad Munawar, SpJP, FIHA
12. Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP, FIHA
Komisi Akreditasi
Koordinator: Prof. Dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP, FIHA
Anggota :
1. Dr. Hadi Purnomo, SpJP, FIHA
2. Prof. Dr. M. Yogiarto, SpJP, FIHA
3. Dr. Toni M Aprami, SpPD, SpJP, FIHA
4. Dr. Trisulo Wasyanto, SpJP, FIHA
5. Prof. Dr. I Wayan Wita, SpJP, FIHA
6. Dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, SpJP, FIHA
Komisi Evaluasi dan Ujian Nasional
Koordinator: Dr. RWM Kaligis, SpJP, FIHA
Anggota :
1. Dr. Irmalita, SpJP, FIHA
2. Dr. Hariadi Hariawan, SpJP, FIHA
3. Dr. Yan Herry, SpJP, FIHA
4. Dr. Agus Subagjo, SpJP, FIHA
5. Dr. Augustine Purnomowati, SpJP, FIHA
6. Dr. Dafsah Arifa Juzar, SpJP, FIHA
Komisi Kurikulum
Koordinator: DR. Dr.Amiliana M Soesanto, SpJP, FIHA
Anggota :
1. Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP, FIHA
2. DR. Dr. Budi Yuli Setianto, SpJP, FIHA
3. Prof. Dr. Abdullah Afif Siregar, SpA(K), SpJP, FIHA
4. Dr. Muhammad Aminuddin, SpJP, FIHA
5. Dr. Agnes Lucia Panda, SpJP, FIHA
6. Dr. Renan Sukmawan, PhD, SpJP, FIHA
Komisi Subspesialis dan Pengembangan Pendidikan dan
Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)
Koordinator: Dr.Manoefris Kasim, SpJP, FIHA
Anggota :
1. DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP, FIHA
2. Prof. Dr. Ganesja M Harimurti, SpJP, FIHA
3. Prof. DR. Dr. Budi S Pikir, SpJP, FIHA
4. Prof. DR. Dr. Budhi Setianto, SpJP, FIHA
5. Dr. Isfanuddin Nyak Kaoy, SpJP, FIHA
6. Dr. Sunu Budirahardjo, PhD, SpJP, FIHA
Komisi Advokasi dan Kerja Sama antar Profesi
Koordinator: DR. Dr. Muhammad Munawar, SpJP, FIHA
Anggota :
1. Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP, FIHA
2. Dr. Otte J Rachman, SpJP, FIHA
3. Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpJP, FIHA
4. Dr. Eko Antono, SpPD, SpJP, FIHA
5. Prof. Dr. Peter Kabo, PhD, SpJP, FIHA
6. Dr. Doni Firman, SpJP, FIHA
HALAL BI HALAL DAN PEMILIHAN
KETUA PENGURUS PERKI JAYA 2014-2016
Dr. Indriwanto S. Atmosudigdo
(Ketua PERKI Jaya 2012-2014)
Dr. Ismi Purnawan
(Ketua PERKI Jaya 2014-2016)
Sabtu 23 Agustus 2014, bertempat di Onfive Lt.5
Hotel Grand Hyatt Jakarta, PERKI Jaya (wilayah
Jakarta) menyelenggarakan acara Halal Bihalal dan
Pemilihan Ketua Pengurusnya yang baru untuk
masa jabatan 2014-2016. Acara dihadiri oleh jajaran
pengurus dan anggota.
Acara dikemas dalam 2 sesion, Sessi Ilmiah
yang disupport oleh PT Astra Zeneca, dan Sessi
Rapat Aggota Perki Jaya serta pemilihan Ketua
Pengurus. Pada saat yang bersamaan di Garden
Swimming Pool, panitia menggelar Family Gathering.
Sessi Rapat Anggota & Pemilihan Ketua dipimpin oleh Dr. Heru Chandratmoko SpJP. Dan
terpilih menjadi Ketua Pengurus PERKI Jaya untuk
periode 2014-2016 adalah Dr. Ismi Purnawan SpJp
FIHA.
Acara diakhiri dengan Halal Bihalal, ramah
tamah dan makan siang.*
4
206/Thn.XX/Juli-Agustus 2014
Kardiologi Kuantum (29)
Sindroma “PilPres” dan Revolusi Mental
“The masses have never thirsted after truth.
They turn aside from evidence that is not to their
taste, preferring to deify error, if error seduce
them. Whoever can supply them with illusions is
easily their master; whoever attempts to destroy
their illusions is always their victim.”
~Gustave Le Bon — The Crowd: A Study of the
Popular Mind, p. 110, Viking Press, 1960~
Salam kardio. Demam pemilihan
pre­­siden baru-baru ini adalah bagaikan
suatu sindroma (kumpulan gejala penyakit) dengan manifestasi klinik berupa rasa
panas-dingin, suara serak, mata melotot,
dan kelelahan (tampak dari dinamika gambar di TV-TV yang menyala di rumah sakit)
telah melanda seluruh lapisan masyarakat.
“Penyakit” tersebut juga telah memasuki
dunia kesehatan dengan masyarakat rumah
sakit, sebagai kasus studi. Masyarakat rumah
sakit terdiri dari pasien, petugas kesehatan
(dokter, perawat, dan penunjang kesehatan
lainnya), keluarga pasien, handaitaulannya,
termasuk tamu-tamu rumah sakit: perwa­
kilan perusahaan obat, alat kesehatan, bahkan mahasiswa kedokteran S1, S2, dan S3.
Di salah satu rumah sakit di Jakarta,
mungkin juga di semua rumah sakit, ma­
syarakatnya waktu itu benar-benar telah
terbelah menjadi dua, yang memilih No. 1
Prabowo-Hatta (Prabowo Subianto – Hatta
Radjasa) dan yang memilih No. 2 Jokowi-JK
(Joko Widodo – Jusuf Kalla). Di sela-sela
pekerjaan sehari-hari semakin mendekati
hari pemilihan suara semakin “keras” diko-
tominya, sehingga secara kasat mata terlihat
jelas siapa yang mendukung No. 1 dan No. 2.
Terlihatlah dari jumlah jeriji yang diacungacungkan baik keatas, ke depan, ke pelipis,
dan yang malu-malu hanya cukup membalas
acungan jari tersebut, tanpa berinisiatif. Bila
acungannya berbeda, “Ganti dong pilihannya”, teriak mereka, ada pihak-pihak yang
bersemangat memberikan argumennya
dengan perdebatan-perdebatan yang acapkali memanas disertai pembagian pin dan
kaos berlogo pilpres. Bahkan publik rumah
sakit meneruskan posisinya dan teriakankampanye dengan menulis keyakinannya
di dunia maya facebook, blogger, dan twitter
atau media sosial terbatas lainnya seperti
BBM, WhatsApp, dan Telegram. Ada juga
kampanye bening misalnya agar memilih
pilihan Nomor Tiga yaitu...Cak Lontong
dengan salam lempernya atau Pak Legowo
yang tidak terdaftar di KPU.
Sudah lebih dari 35 tahun penulis menjadi dokter, baik sebagai dokter sipil maupun
militer, belum pernah merasakan suasana
penyakit “Demam Pilpres” semacam ini di
dalam rumah sakit, di mana petugas kesehatannya terbelah dua keyakinan pilihan politiknya. Demam semacam ini yang sifatnya
sementara barangkali boleh disebut neurosis,
bersifat sementara kalau sampai terbelah
kepribadiannya dinamakan psikosis. Pernah
dalam satu sms yang masuk situasi di luar
sana cukup mengerikan. Petugas rumah sakit
memiliki dua ketakutan; pertama, korban
kerusuhan akan masuk ke rumah sakit dan
kedua petugasnya sendiri was-was di jalan
kalau pulang ke rumah. Para dokter biasanya
membantu menenangkan berdasarkan pengalaman hidup yaitu seringnya kita meras­a
ketakutan akan terjadi sesuatu dan seringkali
juga tidak terjadi apa-apa termasuk beritaberita yang sumber beritanya tidak jelas se­
perti kampanye hitam. Benar juga kata bapak
psikologi-massa Gustave Le Bon, publik atau
kerumunan massa adalah kelompok naif
yang mudah terprovokasi.
“Dokter, anda memilih calon presiden
nomor berapa sih? Kasih dong pencerahannya sedikit, anda kan termasuk orang yang
dituakan di rumah sakit ini!” tanya para
pe­rawat. Alih-alih menjawab pertanyaan,
malah mengajukan kriteria seorang calon
presiden pilihan kita. “Pilihlah Presiden
yang 'lebih' percaya (iman) kepada Tuhan
YME dan 'lebih' jujur kepada masyarakat”.
Meng­apa memilih yang lebih beriman ka­
rena se­tiap sepak terjangnya akan diberkati,
diri­dhoi, dan mendapat barokah dari Tuhan
YME, di sinilah ada aspek Ketuhanannya.
Lebih jujur karena kalau presidennya jujur,
pasti berani, tegas mengambil keputusan
dengan adil, dan kalau adil rakyat akan memberikan kesetiaan kepadanya, disinilah aspek
kemasyarakatannya. “Terus kita memilih
nomor berapa?” “Ya terserah anda, bebas
memilih dan gunakanlah hak pilih sebaikbaiknya!” Mungkin karena dokter-tua masih
dianggap panutan di dalam masyarakat
Kopeptin sebagai Biomarker Infark Miokard Akut:
Detektor Dini Berikutnya?
Deteksi dini, intervensi dini, dan mana­
jemen faktor risiko dengan strategi pen­
cegahan sekunder adalah kunci untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas
sindrom koroner akut (SKA). Deteksi dini
kasus infark miokard akut (IMA) khususnya
IMA dengan elevasi segmen ST (IMAEST),
sangat penting untuk mempercepat pemberian terapi reperfusi farmakologis yang
invasif dan agresif.1,2
Menurut definisi internasional ketiga
IMA, abnormalitas elektrokardiografik serta
perubahan kadar troponin jantung meru­
pakan elemen-elemen kunci diagnosis IMA.
Troponin jantung adalah protein struktural
yang merupakan standar emas diagnosis
IMA. Terdeteksinya biomarker-biomarker
tersebut dalam plasma menunjukkan adanya
nekrosis miokard.1,3
Untuk saat ini, pemeriksaan troponin
jantung tidak bisa membedakan apakah
nekrosis miokard terjadi karena etiologi
iskemik atau noniskemik. Pemeriksaan
troponin jantung juga tidak mampu men­
deteksi nekrosis miokard pada jam pertama
setelah gejala muncul. Ada rentang waktu
antara onset gejala dan kemunculan troponin
jantung dalam darah. Troponin jantung
meningkat dalam waktu 6—9 jam setelah
onset dan sensitivitasnya 39—43% bila pasien
dibawa ke IGD tiga jam setelah onset.1,4,5
Kelemahan-kelemahan tersebut dapat
mempersulit penentuan penyebab kenaikan
kadar troponin jantung plasma. Dengan
demikian, penggunaan biomarker lain
yang tidak tergantung pada nekrosis sel,
seperti kopeptin, dapat lebih informatif
terkait adanya iskemia miokard, ruptur plak,
atau sinyal-sinyal IMA fase dini yang lain
sehingga dapat membantu mendiagnosis
IMA secara cepat.1,6
Studi kohort prospektif dilakukan oleh
Reichlin dkk pada 487 pasien yang dibawa
ke IGD dengan gejala-gejala sugestif IMA
dan onset ≤12 jam sebelum admisi. Tujuan
studi ini adalah untuk memeriksa nilai
kenaikan kopeptin guna menyingkirkan
diagnosis IMA secara cepat. Troponin T
jantung (cardiac troponin-T [cTnT]), creatin
kinase myocardial band (CKMB), mioglobin,
dan kopeptin diukur secara serial yaitu
saat datang, setelah 3, 6, dan 9 jam kemudian.7
Hasil studi menunjukkan bahwa kadar
kopeptin secara signifikan lebih tinggi pada
pasien-pasien IMA dibandingkan pada
pasien-pasien berdiagnosis lain (nilai median
20,8 pmol/L vs 6,0 pmol/L, P<0,001). Sensit
ivitas diagnostik kombinasi kopeptin dan
cTnT ternyata lebih tinggi secara signifikan
daripada sensitivitas diagnostik kopeptin
saja dan cTnT saja. Penyingkiran dini IMA
secara tepat saat di IGD dicapai dengan
mengombinasikan hasil uji kopeptin, yaitu
<14.0 pmol/L, dan hasil uji cTnT, yaitu ≤0.01
μg/L. Kombinasi ini memiliki sensitivitas
98,8%, spesifisitas 77,1%, nilai prediktif
negatif (negative predictive value [NPV]) 99,7%,
dan nilai prediktif positif (positive predictive
value [PPV]) 46,2%.7
Dari studi ini, disimpulkan bahwa pemeriksaan kadar kopeptin sebagai biomarker
tambahan untuk cTnT memungkinkan penyingkiran IMA saat presentasi awal secara
cepat dan andal. Hal ini dapat mempercepat
pengambilan keputusan klinis bagi pasienpasien non-IMA tanpa perlu pengambilan
darah serial untuk mengukur cTnT secara
berulang dan tanpa perlu waktu pemantauan
yang lama.7
Studi-studi dengan hasil serupa adalah
studi oleh Keller dkk dan Folli dkk. Keller
melakukan studi prospektif pada 1386 pasien
yang datang ke IGD dengan nyeri dada akut.
Studi multisenter ini mengikutsertakan
secara konsekutif pasien-pasien terduga
SKA antara Januari 2007 sampai dengan
Juli 2008. Keller dkk menemukan bahwa
nilai median kadar cTnT plasma meningkat
secara proporsional setelah onset gejala;
berbeda dengan nilai median kadar kopeptin
plasma yang menurun setelah onset gejala.
Kombinasi kopeptin dan cTnT menunjukkan
superioritas di mana pada pasien-pasien
yang masuk IGD dalam <3 jam setelah onset
nyeri dada (OND) kombinasi kopeptin dan
cTnT memiliki kekuatan diagnostik tertinggi
dengan area under curve (AUC) sebesar 0,9
bila dibandingkan kombinasi pemeriksaan
mioglobin dan cTnT. Simpulan studi ini
adalah bahwa kombinasi pemeriksaan
kopeptin dan cTnT lebih baik dibandingkan
pemeriksaan biomarker tunggal atau kombinasi lainnya untuk identifikasi IMA pada
jam-jam awal setelah OND.6
Folli dkk mengadakan studi prospektif
observasional yang meneliti 471 pasien
yang dibawa ke IGD dengan nyeri dada
akut dan OND <8 jam. Studi enam bulan ini
memakai teknik biomarker ganda yaitu cTnT
dan kopeptin. Tujuannya untuk memeriksa
apakah kombinasi pemeriksaan kopeptin
dan cTnT dapat dengan tepat menyingkirkan
diagnosis SKA dan nyeri dada nonkardiak
lainnya.8
Analisis data menunjukkan bahwa
AUC kopeptin dan cTnT lebih lebar pada
IMAEST (0,86 dan 0,72) dan IMANEST (0,73
dan 0,76). Bila kedua biomarker tersebut
dikombinasikan, AUC meningkat menjadi
0,89, pada IMAEST, dan 0,86, pada IMANEST. Kombinasi pemeriksaan kopeptin dan
cTnT memiliki NPV 86,6 (pada pasien-pasien
IMAEST dan IMANEST), 85,0 (pada populasi
keseluruhan), dan 97,9 (pada pasien-pasien
dengan penyakit mengancam nyawa selain
SKA). Selain hasil yang serupa dengan studi
Reichlin dkk dan Keller dkk, studi ini me­
nyimpulkan bahwa kopeptin penting dalam
penyingkiran dini pasien-pasien IMA dan
merupakan sinyal adanya penyakit-penyakit
yang mengancam nyawa.8
Studi multisenter prospektif dilakukan
oleh Ray dkk pada 451 pasien dengan
riwayat penyakit jantung koroner (PJK)
yang dibawa ke IGD dengan OND ≤6 jam,
temuan elektrokardiografik negatif, dan
kadar troponin I jantung (cTnI) yang negatif.
Dari studi ini, disimpulkan bahwa, untuk
pasien-pasien dengan OND ≤6 jam dan
diduga mengalami IMANEST, gabungan
pemeriksaan kopeptin dan cTnI memiliki
NPV 98% sehingga memungkinkan penying­
kiran IMA secara cepat.9
Studi multisenter prospektif oleh Chenevier-Gobeaux dkk menunjukkan hasil
serupa dengan studi Ray dkk. Studi selama
18 bulan pada 317 pasien berusia >18 tahun
yang dibawa ke IGD dengan OND <6 jam
ini menyelidiki superioritas sensitivitas
rumah sakit, mereka masih mendesak terus
pilihan mana yang seyogyanya diberikan,
dan kita sendiri memilih siapa. “Dokter,
anda pasti memilih No. 1, karena selalu pakai
baju lengan pendek putih dan pakai epolet
di pundak seperti pramuka, paskibraka dan
tentara”, saya tersenyum dan menganggukangguk saja karena saya tahu mereka pasti
pemilih untuk Capres-Cawapres No. 1. “Akh
nggak, dokter pasti memilih No. 2 karena
mengajukan hanya dua kriteria calon presiden/wakilnya apalagi anda adalah orang
kota-kembar-nama (Ngayogyakarto dan
Surokarto) Hadiningrat”, saya tersenyum
dan mengangguk-angguk karena “mengerti
persoalan” ­bahwa yang menebak ini pasti
para pemilih Capres-Cawapres No. 2.
Di dunia kedokteran ada pelajaran empati untuk tidak mengganggu religi dan
keyakinan pasien yang sedang sakit. Justru
harus melakukan reedukasi sesuai dengan
religinya, keyakinan agamanya. Semangat
Ketuhanannya sedapat mungkin dibangkitkan kembali. Kesadaran dan ketaatan
beragamanya diakomodasi, sekali waktu
kita akan mendengar “keajaiban” dalam
upaya penyembuhan model holistikekliktik tersebut. Dokter harus mengembalikan
pengetahuan pasien bahwa dokter hanyalah
perantara saja, dan bahwa DIA-lah yang
telah menyembuhkannya. Alfred Adler,
neurolog-psikiater menganjurkan agar
dokter bersifat seperti kakak yang lebih ber(Bersambung ke hal.5)
gabungan pemeriksaan cTnI dan kopeptin
terhadap sensitivitas pemeriksaan cTnI
konvensional dalam mendiagnosis dini
IMA. Simpulan studi ini juga menunjukkan
bahwa penggunaan kopeptin bersama cTnI
memungkinkan penyingkiran diagnosis IMA
yang cepat dan andal.10
Suatu studi yang dilakukan oleh Potocki
dkk memperkuat hasil studi-studi di atas.
Potocki dkk menganalisis 433 pasien dengan
PJK dalam suatu studi multisenter prospektif. Dari studi ini, disimpulkan bahwa,
pada pasien-pasien dengan PJK yang telah
ada sebelumnya, kopeptin secara signifikan
meningkatkan akurasi diagnostik bila digunakan bersama cTnT. Kopeptin memberikan
informasi prognostik independen terutama
bila kadar cTnT hanya meningkat ringan.11
Telah diketahui bahwa kadar AVP plasma
secara signifikan meningkat pasca-IMA baik
pada manusia maupun hewan. Penyebabpenyebabnya belum bisa dijelaskan. Banyak
hipotesis diajukan untuk menjelaskan mekanisme peningkatan kadar AVP dan kopeptin
ini. Salah satunya adalah hipotesis stres yang
menyatakan bahwa peningkatan tersebut
adalah bagian dari respons cepat terhadap
kondisi stres yang mengancam kehidupan
pada IMA. Dalam respons ini, AVP bekerja
secara sinergis dengan ACTH dan kortisol
sebagai moderator stres akut. Selain hipotesis stres, ada hipotesis hemodinamik yang
muncul dari studi-studi pada pasien-pasien
IMAEST. Hipotesis ini menyatakan bahwa
perubahan-perubahan akut dalam dinamika
jantung, underfilling jantung, dan stimulasi
baroreseptor jantung (sebagai respons terhadap hipotensi sistemik atau kerusakan
jaringan akibat iskemia) adalah stimulan
kuat pelepasan AVP dan kopeptin.1
Hasil-hasil studi dan hipotesis-hipotesis
di atas telah mengantarkan kita pada sim­
pulan penting bahwa terdapat potensi
me­nguntungkan kopeptin di masa depan.
Potensi sebagai suatu detektor baru dari
IMA; biomarker diagnostik berikutnya se­
telah biomarker-biomarker yang sekarang
ini kita kenal. (Referensi dapat dilihat di www.
tpkindonesia.blogspot.com)
dr. Andy Kristyagita
5
206/Thn.XX/Juli-Agustus 2014
Implikasi dan Penatalaksanaan Hipertrofi Ventrikel Kiri
pada Pasien Hipertensi
Hipertrofi ventrikel kiri atau yang lebih dikenal dengan left ventricular hypertrophy
(LVH), adalah temuan yang paling umum pada pasien hipertensi dan dapat didiagnosis baik
dengan EKG maupun ekokardiografi.1 Ekokardiografi menjadi pilihan utama akhir-akhir ini,
mengingat sensitivitas EKG yang rendah dalam mendiagnosis LVH (lebih kurang 7-35%
pada mild LVH dan hanya 10-50% pada moderate-severe LVH).2 Namun demikian, dengan
kondisi di Indonesia terutama di daerah perifer, EKG (dengan pilihan kriteria penegakan
diagnosis LVH yang tepat) juga dapat bermanfaat dalam mendeteksi LVH.3
Defisini
LVH adalah suatu fase dimana terjadi
peningkatan massa ventrikel kiri, yang di­
ikuti oleh bertambahnya ketebalan dinding
ventrikel dengan atau tanpa bertambahnya
ruang jantung. Penambahan massa ventrikel
ini dihasilkan oleh bertambahnya beban
after-load LV secara terus menerus oleh
adanya stenosis aorta atau hipertensi.
Gb 1. Jantung normal dan LVH
Diagnosis LVH
Elektrokardiografi (EKG)
Diagnosis LVH dengan EKG sangat
bermanfaat jika disertai dengan kelainan
EKG lainnya seperti abnormalitas atrium
dan abnormalitas segmen ST-T, deviasi
aksis kiri, atau wide QRS. Akan tetapi,
seperti telah disebutkan dibagian pendahuluan, EKG memiliki kekurangan berupa
sensitivitasnya yang rendah dan adanya
false negative atau false positive. Data dari
LIFE study menunjukkan bahwa LVH lebih
bisa dideteksi dengan kriteria cornell-voltage
saat digunakan pada pasien yang lebih tua,
lebih gemuk, wanita, ras kulit putih, tidak
ada riwayat merokok, memiliki riwayat
diabetes dan angina. Sedangkan kriteria
sokolow-lyon lebih bermanfaat unutuk mendeteksi LVH pada pasien yang lebih muda,
kurus, lebih cendrung laki-laki, ras kulit
hitam, memiliki riwayat merokok, angina,
dan stroke.4 Kriteria Sokolow-Lyon yaitu R
di V5 + S di V6 > 3.5mV yang diikuti dengan
flat T wave (<10% dari R wave) atau depresi
segmen ST dan biphasic T wave.5 Kriteria
cornell-voltage yaitu S di V3 + R di aVL >
2.8mV (laki-laki) dan >2.0mV (perempuan).
Meskipun relatif kurang sensitif, EKG tetap
memiliki nilai prognostik yang signifikan.
Dari pemeriksaan ekokardiografi, pasien
hipertensi yang dideteksi LVH dengan EKG,
memiliki LV mass yang lebih besar dan sig­
(Kardiologi.................... hal.4)
pengalaman kesehatan terhadap pasiennya.
Menurut Prof. Soemantri Hardjoprakoso,
dalam Candra Jiwa Indonesia, kalau seorang
dokter hendak memberikan penyuluhan
kesehatan, dokter itu sendiri seyogyanya
sudah melaksanakannya. Pasien memiliki
insting yang masih sehat walaupun badannya sakit. Pasien akan mudah tahu kalau
dokternya belum menjalankan nasehatnya
sendiri, disini aspek kejujuran di pihak dokter mulai muncul.
“Wah, dokter plin-plan juga neh, CapresCawapres No. 1 oke; No. 2 oke juga, haiyaa!”
“Ha ha ha.” “Anda benar juga, saya sedang
membayangkan anda semua ini kan sedang
sakit neurosis yang self limiting disease artinya nanti akan sembuh dengan sendirinya
setelah PilPres selesai, tanggal 9 Juli 2014.
Dalam hal ini saya harus memelihara empati dan melakukan reedukasi sesuai dengan
keyakinan anda atas pilihan yang akan anda
jatuhkan, kan dalam persepsi saya anda ada-
nifikan bila dibandingkan dengan pasien
yang sebelumnya tidak memenuhi kriteria
LVH pada pemeriksaan EKG. EKG juga
dapat membantu melihat adanya perubahan
voltase dan irama jantung yang kesemuanya
juga berhubungan erat dengan resiko CVD
(cardiovascular disease).
Ekokardiografi
Diagnosis LVH dengan ekokardiografi
selain dapat menilai massa ventrikel kiri,
juga dapat melihat bentuk geometri dari
LVH. Hal ini dinilai penting karena pada
pasien tanpa peningkatan massa ventrikel
kiri, namun mengalami peningkatan pada
relative wall thickess (RWT) atau thicknessto-cavity diameter ratio (atau yang disebut
concentric remodeling) memiliki resiko
kejadian CVD yang sama dengan pasien
yang mangalami peningkatan massa dan
RWT (concentric hypertrophy), terlepas dari
hubungannya dengan level tekanan darah.6
Meskipun lebih efektif dari EKG, ekokardiografi tetap memiliki beberapa kekurangan
antara lain harga pemeriksaan yang mahal
dan tidak tersedia di semua klinik terutama
yang berada di perifer, serta penggunaannya
yang memerlukan kemampuan khusus dari
operator yang melakukan pemeriksaan.
LVH pada Hipertensi
Pada pasien-pasien yang mengalami
peningkatan tekanan darah (TD) saat me­
nga­l ami mental stress (khususnya saat
bekerja) atau saat beraktivitas, memiliki kecendrungan lebih besar untuk mendapatkan
LVH. Terlebih lagi pada pasien-pasien yang
memiliki TD malam hari > TD siang hari.
Pengukuran TD secara ambulatorik (ABPMAmbulatory Blood Pressure Monitoring)
dapat menjelaskan beberapa informasi
tambahan berkaitan dengan faktor resiko
LVH seperti:
- Beban tekanan darah harian (TD >135/85
mmHg saat siang dan >120/80 mmHg saat
malam hari).
-Nocturnal hypertension (suatu kondisi
dimana tidak terjadi penurunan tekanan
darah pada malam hari)
Beberapa penelitian yang berhasil kami
lakukan sebelumnya membuktikan bahwa
pada pasien yang mengalami peningkatan
TD malam hari (high nocturnal
hypertension), sangat beresiko
untuk mendapatkan LVH dan kejadian CVD,8,9 meskipun tekanan
darahnya normal saat diperiksa di
klinik.10 Data kami juga menunjukkan bahwa penurunan TD di malam
hari yang dikontrol dengan ABPM
dan HBPM (Home Blood pressure
monitoring) akan diikuti dengan
penurunan derajat LVH, sehingga
penurunan TD malam hari (nocturnal hypertension) menjadi fokus
utama dalam penatalaksanaan
Gb 2. Geometri ventrikel kiri
hipertrofi ventrikel kiri. 11 Itulah
sebabnya pengukuran TD di luar
Sumber: J Am Coll Cardiol 1992;19:1550–1558
klinik (ABPM dan HBPM) menjadi
Berdasarkan guideline American society
instrument yang penting dan memiliki nilai
of echocardiography dan European assoyang lebih bermakna
ciation of echocardiography, kriteria LVH
jika dibandingkan de­
menggunakan metode simpson’s rule adalah
ngan pengukuran TD di
sebagai berikut:7
klinik/office BP.
• Mild abnormal: estimasi massa LV
LVH tidak hanya
dari 201-227gr (103-116 g/m2) untuk
timbul sebagai akibat
laki-laki dan 151-171gr (89-100 g/m2)
dari peningkatan beban
untuk perempuan.
after-load oleh hiper• Moderate abnormal: estimasi massa
tensi, tapi juga dapat
LV dari 228-254gr (117-130 g/m2) unberkembang sebelum
tuk laki-laki dan 172-182gr (101-112 g/
seseorang menderita
m2) untuk perempuan.
hipertensi. Konsep ini
• Severe abnormal: estimasi massa
didasari oleh adanya
LV > 255gr (>131 g/m2) untuk lakibe­b erapa faktor lain
laki dan >193gr (>113 g/m2) untuk
yang bisa memicu timGb 3. ABPM
perempuan.
bulnya hipertrofi venlah “pasien-sakit“, bukan “klien-sehat“. Jadi
mana saja oke asal itu pilihan pribadi anda,
secara bioetika adalah hak otonomi pasien.
Kata kuncinya reedukasi bukan edukasi
keyakinan sesuai pilihan saya, itulah disiplin
ilmu kesehatan mental.”
Kita sudah mendengar gelegar Revolusi
Mental Jokowi yang kini sudah menjadi pre­
siden terpilih KPU, hendaknya dimulai dari
dalam diri kita sendiri dan digemakan secara
integral keluar melalui jalur struktur sosial
berjenjang yaitu bangunan struktur ekonomi,
politik, dan hukum yang diberi jembatan
oleh kebudayaan dalam arti luas. Walaupun
sebagian masyarakat telah mendengar istilah
tersebut cukup lama dari para kelompok
pemikir humaniora dan pidato Bung Karno
pada tanggal 17 Agustus 1956 dan 1962,
terasa masih relevan disampaikan lagi secara
bersambung oleh presiden berikutnya bagi
rakyat Indonesia, apalagi ketika rakyatnya
tertimpa “paradoks pelik”. Terlihat oleh
rakyat dalam kiprah KPK, suatu lembaga
hukum ad hoc “melibas” oknum-oknum
puncak lembaga hukum, pembuat dan pelaksana undang-undang sampai departemen
agama. Apakah ada yang salah dalam berkebudayaan masyarakat Indonesia terutama
dalam berketuhanan dan bermasyarakat?
Tampaknya sesuatu yang disebut revolusi
mental memang harus dimulai dari dalam
diri kita, melebar di dalam keluarga, dan di
tempat kerja kita masing-masing.
Melihat struktur mental manusia dengan
kacamata Sigmun Freud, Alfred Adler, dan
Carl Gustav Jung yang telah dibandingkan
dengan cara menyejajarkan posisi egonya
manusia dengan Candra Jiwa Indonesia
seperti yang telah dilakukan oleh Prof. Soemantri Hardjoprakoso dalam disertasinya
di Rijkuniversiteit Leiden di Negeri Belanda
1956. Judul disertasinya adalah Indonesisch
Mensbeeld als Basis Ener Psycho-Therapie
yang artinya Candra Jiwa Indonesia sebagai dasar psikoterapi, terapi mental. Dalam
skala kontinuum waktu, perjalanan kehidupan mental seorang manusia adalah suatu
peristiwa evolusi. Percepatan dari suatu
trikel kiri seperti misalnya peningkatan
kadar angiotensin II,12 norepinephrine dan
epinephrine,13 faktor hemostatik (plasma
fibrinogen),14 sensitivitas terhadap garam
(salt sensitivity),15 dan OSAS (Obstructive
Sleep Apnea Syndrome).16 Namun demikian,
hipertensi tetap memegang peran paling
penting terhadap timbulnya LVH.
(BERSAMBUNG)
Profil Rhabdomioma,
Tumor Jantung Janin
yang Jarang
(Bagian ke-4, habis)
Manajemen pembedahan jantung ter­
buka dilaksanakan bila terjadi kegagalan
setelah terapi medikamentosa, deteriorasi
hemodinamik yang berat, atau aritmia yang
sulit dikendalikan (kambuh-kambuhan).
Prosedur bedah ini berupa pengam­bilan
bagian intrakavitas dari tumor tanpa eksisi
komplet dari seluruh lesi. Walaupun dikenal
jinak dan dalam perjalanan alamiahnya sebagian besar akan mengalami regresi, tumor
bisa tidak sejinak ini. Kasus yang ada pada
pasien RSAB Harapan Kita di atas justru
menunjukkan adanya pembesaran ukuran
tumor. Dalam hal ini, perlu kerjasama antara
kardiolog dan ahli bedah jantung pediatrik
bila kelak pasien memerlukan operasi. Terdapat laporan kasus anekdotal yang mene­
mukan bahwa regresi bisa dicapai dengan
pemberian everolimus (suatu penghambat
mTOR [mammalian target of Rapamycin]).23
Bagi pasien yang mengalami komplikasi
gagal jantung, pembatasan aktivitas diperlukan dalam penanganannya.
Prognosis tumor ini cukup bagus, dimana kisaran angka kesintasannya adalah
81—92%,1 karena perjalanan alamiahnya
(seperti yang tersebut sebelumnya) yang
mengarah pada resolusi gejala. Manifestasi
klinis tumor ini tidak terlepas dari pengaruh
ukuran dan lokasinya. Tumor dengan dimensi >20 mm berprognosis buruk karena
lebih berpeluang untuk menyumbat jalur
aliran ventrikel, mengubah kerja katup, dan
menyebabkan regurgitasi sehingga terjadi
gangguan hemodinamika atau aritmia sampai akhirnya meningkatkan risiko kematian.
Prognosis jangka panjang juga ditentukan
oleh ada tidaknya manifestasi neurologis
yang terkait TS. 24,25 Hanya sedikit kasus
dimana tumor ini bertransformasi menjadi
tumor ganas (rhabdomiosarkoma).
(Referensi dapat dilihat pada
www.tpkindonesia.blogspot.com)
Andy Kristyagita
evolusi dalam skala pribadi yang diintegrasikan de­ngan struktur sosial-ekonomi,
politik dan hukum yang dijembatani dengan
kebudayaan dalam arti seluas-luasnya dapat dimaknai sebagai suatu bentuk revolusi
mental.
Berbekal dari uraian diatas, sebagai
warga negara kita wajib berbakti kepada
Tuhan YME dan Utusan-Nya yang abadi,
diteruskan kepada Pimpinan Negara dan
Undang-undangnya sampai tanah tumpah
darahnya. Dengan dua kata kunci untuk
lebih memperbaiki iman kepada Tuhan
YME dan ke-jujur-an kita kepada masyarakat
sebagai modal awal revolusi mental di dalam diri kita sendiri dalam menyongsong
gerakan masyarakat (revolusi mental) untuk
Indonesia Raya. Sesuai dengan yang telah
disarankan oleh Wage Rudolf Supratman:
...bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
untuk Indonesia Raya. Salam kuantum. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan
rakhmat dan barokahnya kepada bangsa
Indonesia, amin. Budhi S. Purwowiyoto
6
206/Thn.XX/Juli-Agustus 2014
Bukti-bukti dan Standar Perawatan Terbaru pada Hiperkolesterolemia
(Laporan dari “Meet the Experts” PERKI Jaya, 8 Juli 2014, Hotel Mulia Senayan)
Seberapa rendah kita dapat menurunkan kadar
LDL-C? Target LDL-C tergantung pada risiko­nya,
bagi pasien yang berisiko tertinggi maka target
LDL-C akan semakin rendah. Cholesterol Trialist Collaboration Meta-Analysis of Dyslipidemia
Trials (CTT Collaborators. Lancet. 2005; 366:126778) menyatakan terdapat hubungan linear antara
penurunan kadar LDL-C dengan kejadian vaskular
mayor.
Pada acara yang bertepatan dengan buka
puasa bersama pengurus dan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia Cabang Jakarta (PERKI JAYA), PT.
AstraZeneca Indonesia bekerjasama dengan
PERKI JAYA menyelenggarakan kegiatan
Meet the Experts dengan tema Recent Evidences
and Advances for Standard of Care in Hypercholesterolemia yang menghadirkan DR. Dr.
Anwar Santoso, Sp.JP(K) dan Prof. Kausik
Ray, BSc (hons), MBChB, MD, MPhil (Cantab) sebagai narasumber sedangkan diskusi
di­pimpin oleh Prof. DR. Dr. Harmani Kalim,
MPH, Sp.JP(K).
DR. Dr Anwar Santoso, Sp.JP(K) menga­
wali kuliahnya dengan menyampaikan ringkasan tatalaksana hiperkolesterolemia dari
beberapa negara di Asia antara lain Hongkong,
Korea, Malaysia, Taiwan, Thailand dan Indonesia khususnya target LDL-C. Berdasarkan
buku pedoman tatalaksana dislipidemia yang
diluncurkan oleh PERKI pada tahun 2013 lalu,
target LDL-C adalah sebagai berikut:
Secara spesifik juga dibahas tatalaksana
hiperkolesterolemia terbaru yaitu ACC/AHA
2013. Pa da tatalaksana tersebut dibagi menjadi
4 kelompok yang mendapatkan manfaat dari
pemberian statin yaitu:
1.Kelompok ASCVD (atherosclerotic cardiovascular diseases)
Pasien yang termasuk dalam kelompok ini
adalah pasien ACS, MI, stable atau unstable
angina, revaskularisasi koroner atau arteri
lainnya, stroke, TIA, dan PAD
2. Pasien dengan kadar LDL-C > 190 mg/
dL
3. Pasien Diabetes, umur 40-75 tahun, de­ngan
kadar LDL-C 70-189 mg/dL
4.Diperkirakan risiko terkena ASCVD
untuk 10 tahun kedepan sebesar > 7.5%
(di­hitung berdasarkan Pooled Cohort Risk
Assessment Equations), umur 40-75 tahun,
dan kadar LDL-C 70-189 mg/dL.
Kebiasaan pola hidup sehat merupakan
dasar pencegahan ASCVD pada seseorang
yang tidak menerima terapi penurun kolesterol. Skor risiko 10-tahun harus dihitung
ulang setiap 4 sampai 6 tahun pada pasien
dengan umur 40 dan 75 tahun tanpa ASCVD
secara klinis.
Pasien berusia di atas usia 21 tahun dan
memiliki ASCVD secara klinis memiliki dua
pilihan pengobatan. Kedua pilihan ini dibagi
berdasarkan usia pasien. Untuk pasien de­ngan
usia dibawah 75 tahun, statin intensitas tinggi
yang digunakan. Untuk pasien yang ber­ada
diatas 75 tahun, statin intensitas sedang bisa
menjadi pilihan apabila pasien tersebut tidak
bisa menoleransi statin dengan intensitas
tinggi.
Pada tatalaksana ACC/AHA 2013 penge­
lompokan statin berdasarkan kemampuannya
dalam menurunkan LDL-C. Dibagi menjadi 3
kelompok yaitu high intensity statin (statin yang
mampu menurunkan LDL-C > 50%), moderate
intensity statin (statin yang mampu menurun­
kan LDL-C 30 hingga <50%), dan low intensity
statin (statin yang mampu menurunkan LDL-C
<30%). Untuk statin yang mampu menurunkan
LDL-C sampai lebih dari 50% pilihannya hanya
ada empat yaitu Atorvastatin 40 dan 80 mg
atau Rosuva­statin 20 dan 40 mg.
Beberapa implikasi utama dalam praktek
klinis dari tatalaksana ACC/AHA 2013 ada­lah
penghapusan tes rutin LDL-C karena pada
tatalaksana ini target penurunan LDL-C tidak
lagi difokuskan, menghindari penggunaan
terapi non-statin dalam menurunkan LDL-C,
pendekatan yang lebih konservatif pada
pasien yang sedang menjalani terapi statin
usia diatas 75 tahun tanpa ASCVD secara
klinis, pemeriksaan surrogate marker seperti
hs-CRP dan calcium scoring telah dihilangkan,
dan tidak ada rekomendasi penurunan lipid
untuk pasien dengan CKD. Pasien dengan
ASCVD, kadar LDL-C >190 mg/dL, diabetes,
atau risiko terkena penyakit kardiovaskular
untuk 10 tahun sebesar
>7,5% harus mene­r ima
terapi statin. Terapi statin
intensitas tinggi ataupun
sedang dianjurkan pada
tatalaksana ACC/AHA
2013 karena memiliki
keamanan yang telah terbukti dan efektif da­lam
menurunkan risiko terhadap penyakit kardiovaskular.
Pada kesempatan ini
juga dibahas me­ngenai
perbedaan an­t ara tatalaksana ACC/AHA
2013 de­n gan ESC/EAS
2011. Ke­dua tatalaksana
tersebut berbeda dalam
mende­finisikan penyakit
kardiovaskular, berbeda
dalam menyertakan pasien de­ngan CKD kedalam ke­lompok ber­isiko tinggi, berbeda dalam
penentuan ambang batas risiko kardiovaskular
untuk memulai terapi pada mereka yang tidak
memiliki pe­nyakit kardiovaskular, familial
hypercholesterolemia atau diabetes, ber­beda dalam penentuan target terapi, tata­laksana EAS/
ESC 2011 meliputi pengelolaan dislipidemia
pada umumnya, sedangkan tatalaksana ACC/
AHA 2013 membatasi pada penurunan risiko
kardiovaskular. Persamaan dari keduanya me­
nyoroti pentingnya melibatkan pasien dalam
penatalaksanaan risiko kardiovas­kular mereka
dan kedua tatalak­sana ini di­rancang untuk
membantu dokter dalam penentuan terapi
selanjutnya. DR. Dr. Anwar Santoso, SpJP(K)
menekankan bahwa statin tidak hanya menurunkan kolesterol tetapi yang lebih penting
adalah untuk menurun­kan risiko kardiovas­
kular dan kejadian pe­nyakit jantung.
Pada kuliah yang kedua, Prof. Kausik
Ray, BSc (hons), MBChB, MD, MPhil (Cantab)
me­nyampaikan bahwa seseorang dengan ke­
gemukan intra-abdominal berisiko menga­lami
penurunan sensitifitas insulin dan juga resis­
tensi insulin. Resistensi insulin menye­babkan
karakteristik dislipidemia pada orang-orang
dengan intra-abdominal obesity dan diabetes
tipe 2 menjadi sebagai berikut:
• VLDL trigliserida tinggi
• VLDL ApoB tinggi
• LDL ApoB tinggi
• Jumlah partikel LDL tinggi
• Ukuran partikel LDL menjadi kecil (small
dense)
• HDL rendah
• Jumlah partikel HDL rendah
• Ukuran partikel HDL juga kecil
Partikel-partikel yang bersifat atherogenic
bisa diukur dari Apolipoprotein B atau non
HDL-C. Parameter lipid seperti VLDL, VLDLR,
IDL termasuk dalam jenis trigliserid yang kaya
akan lipoprotein. Sedangkan parameter lipid
yang justru mempunyai sifat protektif adalah
HDL. Hal tersebut dikarenakan HDL bisa
berfungsi sebagai anti-apoptopic, endothelial
repair, protection against oxidation, modulation of endothelial function, cholesterylester
donor, cholesterol transport, antithrombotic,
dan anti-inflamatory. Pening­k atan kadar
LDL-C, non-HDL, dan ApoB berkorelasi
dengan kejadian penyakit jantung koroner
(The Emerging Risk Factors Collaboration, JAMA
2009;302;1993-2000). Tatalaksana ESC/EAS
2011 tetap merekomendasikan LDL-C menjadi prioritas utama pengobatan dislipidemia.
Sedangkan non-HDL harus dipertimbangkan
sebagai target sekunder bagi pasien dengan
dislipidemia campuran, diabetes, metabolic
syndrome, atau penyakit ginjal kronik.
Statin adalah pilihan terbaik untuk pe­
ngobatan dislipidemia. Statin yang sudah
ada dipasaran yaitu Atorvastatin. Fluvastatin,
Pitavastatin, Pravastatin, Rosuvastatin, dan
Simvastatin. Fluvastatin, Pravastatin, dan
Rosuvastatin memiliki interaksi obat yang
lebih minimal dibandingkan statin yang lain.
(Bates TR, et al. Exp Opin Pharmacother 2009;
10 (18):2973-85).
Seberapa rendah kita harus menurunkan
kadar LDL-C? Cholesterol Trialist Collaboration
Meta-Analysis of Dyslipidemia Trials menya­takan
bahwa setiap penurunan 39 mg/dl kadar LDL
menunjukkan penurunan kejadian koroner
mayor sebesar 23%. Sehingga pemberian statin
lebih awal memberikan manfaat untuk pasien
dislipidemia. Statin yang mampu menurunkan
LDL sebesar 50% memberikan manfaat lebih
dibanding statin yang mempunyai kemampuan penurunan LDL sebesar 20-30%. Di
akhir kuliahnya, Prof. Kausik Ray, BSc (hons),
MBChB, MD, MPhil (Cantab) memberikan
pesan “Treat early, treat to levels of absolute risk
and maintain treatments long term”.*
Download