Perangko Berlangganan No.11/PRKB/JKP/PENJUALAN IV/2014 ISSN : 0853-8344 Harga eceran Rp.9.000,- 206/Thn.XX/Juli-Agustus 2014 e-mail: [email protected] / [email protected]; kardiovk; @kardio_vaskuler; tpkindonesia.blogspot.com Program iSTEMI Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu Berdasarkan kutipan laporan WHO 2011, mortalitas penyakit kardiovaskular terutama Infark Miokard Akut masih merupakan salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Pasien yang mengalami serangan Infark Miokard Akut (AMI) dengan gambaran EKG elevasi segmen ST mempunyai mortalitas yang tinggi pada fase–fase awal dan prognosisnya hanya dapat diperbaiki dengan reperfusi yang cepat dan tepat. Chain of survival dari STEMI melibatkan strategi yang terintegrasi dimulai dari edukasi pasien dan kontak dini dengan tenaga kesehatan atau jejaring, koordinasi protokol ke fasilitas yang dapat melakukan reperfusi, baik dengan fibrinolisis maupun intervensi koroner perkutan primer, layanan emergensi yang efisien untuk mempersingkat waktu “door to reperfusion” dan implementasi strategi reperfusi dari tim yang terlatih. Pada tahun 2008, dimulai registri Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) dan hasil data tersebut di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita memperlihatkan 59% STEMI dan sebagian besar yang datang terlambat berasal dari rujukan rumah sakit lain. Pada tahun 2011, dibentuk sistem rujukan yang diberi nama Jakarta Cardiovascular Care Unit Network System, termasuk call center “Heart Line”. Dibandingkan dengan sebelum dibentuk jejaring, hanya jumlah rujukan pasien STEMI antar-rumah sakit meningkat secara bermakna, namun jumlah pasien STEMI yang datang terlambat (late presenter) tidak berbeda jauh (53,1% vs 51,2%). Sehingga sebagian besar pasien STEMI yang tiba di rumah sakit Harapan Kita tidak mendapat terapi reperfusi, dengan dampaknya mortalitas di rumah sakit pada pasien STEMI yang tidak di reperfusi dua kali lipat lebih tinggi. Data diatas menimbulkan hipotesa angka re­ perfusi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kemampuan reperfusi fasilitas kesehatan perujuk. Dalam upaya untuk membuktikan konsep ini maka Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu dipilih sebagai pilot program. Adapun Program ini diberi nama iSTEMI (Indonesia STEMI) dan merupakan kerjasama antara Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Pokja PERKI terkait, Departemen Kardiologi FKUI, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Suku Dinas Kesehatan Kota Administratif Jakarta Barat, Protokol Jejaring Rujukan iSTEMI Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu Suku Dinas Kesehatan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, RSUD Cengkareng dan Medtronic Indonesia. Program ini dikembangkan dengan menitik beratkan pada suatu pro­ tokol operasional praktis, pelatihan, dan penyediaan sarana untuk digunakan oleh dokter dan perawat untuk melakukan terapi reperfusi sesuai dengan pedoman untuk mempersingkat keterlambatan reperfusi dalam penanganan pasien STEMI. Jejaring iSTEMI dirancang dalam skala regional/wilayah Jakarta Barat dengan menggunakan model hub (rumah sakit penerima rujukan) dan spokes (pusat layanan kesehatan pe­ngirim rujukan). Sistem ini akan mengatur aktivitas dari semua jaringan pelayanan kesehatan di Jakarta Barat Kepu­ lauan seribu termasuk RS swasta, sehingga akan menyediakan pelayanan kardiovaskular yang lebih baik untuk masyarakat. Hasil data yang secara berkala bertujuan untuk memberikan solusi secara berkala, membangun rencana kerja dan memperbaiki sistem pelayanan tidak hanya untuk di Jakarta Barat, namun untuk Jakarta atau bahkan wilayah seluruh Indonesia. Dafsah A. Juzar Ketua Program iSTEMI Jakarta Barat & Kepulauan Seribu 2 206/Thn.XX/Juli-Agustus 2014 S Tabloid Profesi KARDIOVASKULER STT no. 2143/SK/Ditjen PPG/STT/1995 tanggal 30 Oktober 1995 ISSN : 0853-8344 SUSUNAN REDAKSI Ketua Pengarah: DR. Dr. Anwar Santoso, SpJP(K), FIHA Pemimpin Redaksi: Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP Redaksi Konsulen: Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K) Prof.DR. Haris Hasan, SpPD, SpJP(K) Dr. Budi Bhakti Yasa, SpJP(K) Dr. Fauzi Yahya, SpJP(K) Dr. Antonia A. Lukito, SpJP(K) Tim Redaksi: Bidang Cardiology Prevention & Rehabilitation Dr. Basuni Radi, SpJP(K) Dr. Dyana Sarvasti, SpJP Bidang Pediatric Cardiology Dr. Indriwanto, SpJP(K) Dr. Radityo Prakoso, SpJP Bidang Cardiovascular Emergency Dr. Noel Oepangat, SpJP(K) Dr. Isman Firdaus, SpJP Bidang Clinical Cardiology Dr. Sari Mumpuni, SpJP(K) Dr. Rarsari Soerarso, SpJP Bidang Interventional Cardiology Dr. Doni Firman, SpJP(K) Dr. Isfanudin, SpJP(K) Bidang Echocardiography Dr. Erwan Martanto, SpPD, SpJP(K) Dr. BRM. Ario Soeryo K., SpJP Bidang Cardiovascular Intensive Care Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP(K) Dr. Siska Suridanda, SpJP Bidang Cardiovascular Imaging Dr. Manoefris Kasim, SpJP(K) Dr. Saskia D. Handari, SpJP Bidang Cardiac Surgery & Post-op Care Dr. Bono Aji, SpBTKV Dr. Pribadi Boesroh, SpBTKV Dr. Rita Zahara, SpJP Bidang Vascular Medicine Dr. Iwan Dakota, SpJP(K) Dr. Suko Ardiarto, PhD, SpJP Tim Editor: Dr. Sidhi Laksono Purwowiyoto Fotografer: Dr. M. Barri Fahmi Harmani Sekretaris/Keuangan: Endah Muharini Bagian Iklan: Bimo Sukandar Bagian Perwajahan: Asep Suhendar Alamat Redaksi dan Tata Usaha: Wisma Harapan Kita Bidakara, Lt.2, RS Jantung Harapan Kita, Jln. S Parman Kav. 87, Jakarta 11420, Telp: 02170211013 atau Telp/Fax.: 5602475 atau 5684085-93 pes. 5011 e-mail : [email protected] atau [email protected] Penerbit: H&B Heart & Beyond PERKI Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP Pemimpin Redaksi alam Tabloid Profesi Kardiovaskuler, baru saja mengalami pergantian struktur kepengurusan. Ketua Pengarah Tabloid saat ini adalah Presiden PP PERKI yaitu DR. dr. Anwar Santoso, SpJP(K), FIHA. Sementara pemimpin redaksi tetap sama. Pada edisi bulan Juli-Agustus 2014 ini, kami menyajikan update berita tentang kepengurusan PP PERKI yang terbaru, dan tentang pemilihan ketua PERKI Jaya Periode 2014-2016. Kami ucapkan selamat atas mulai bertugasnya Presiden PP PERKI, dan selamat atas terpilihnya DR. dr. Ismoyo Sunu, SpJP(K), FIHA sebagai President Elect. Selain update terbaru tentang organisasi, kami sajikan sebagai headline, suatu penelitian yang luar biasa oleh Dr. Dafsah A. Juzar yang berjudul Program iSTEMI Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu. iSTEMI adalah sebuah studi tentang penatalaksanaan STEMI di Indonesia. Mengapa kami sebut luar biasa, karena penelitian seperti ini akan meningkatkan awareness dokter-dokter di ujung Pelantikan Pengurus Pusat PERKI & Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Masa Bakti 2014-2016 Sabtu, 5 Jui 2014, Grand Hyatt, Jakarta Tabloid Profesi KARDIOVASKULER diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Tabloid unik ini memang bereda dengan media kedokteran lainnya. Tata letaknya sedikit konservatif tapi enak dipandang. Bukan media yang berkesan ilmiah, tetapi media ilmiah yang sangat terjaga akurasinya, ditulis dengan bahasa tutur yang enak dibaca. Tabloid KARDIOVASKULER memang merupakan sarana untuk menyampaikan setiap informasi kedokteran mutakhir --khususnya terkait bidang kardiovaskuler-- bagi seluruh dokter Indonesia. Di era globalisasi, dikenal pemeo "so many journals, but so little time". Untuk itulah Tabloid KARDIOVASKULER hadir, membawa berita ilmiah kardiovaskuler terkini. Diedarkan terbatas khusus untuk dokter Indonesia. Infak ongkos cetak/kirim Rp150.000/tahun, transfer melalui Bank Mandiri acc: Tabloid Profesi Kardiovaskuler, RK no. 116-0095028024, Sandi Kliring: 008-1304 KK. Harapan Kita, Cab. S. Parman, Jakarta. SUSUNAN PENGURUS PUSAT PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KARDIOVASKULAR INDONESIA MASA BAKTI 2014 - 2016 Dewan Penasihat PERKI : Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K), FIHA Prof. DR. Dr. Rochmad Romdoni, SpPD, SpJP(K), FIHA Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K), FIHA Prof. Dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP(K), FIHA Ketua PP PERKI : DR. dr. Anwar Santoso, SpJP(K), FIHA President Elect/Wakil Ketua I: DR. dr. Ismoyo Sunu, SpJP(K), FIHA Wakil Ketua II : Dr. Herry Ch. Bastari, SpJP, FIHA Sekretaris Jenderal : Dr. A. Fauzi Yahya, SpJPK), FIHA Wakil Sekjen I : DR. dr. Antonia Anna Lukito, SpJP, FIHA Wakil Sekjen II : Dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, SpJP(K), FIHA Bendahara Umum : Dr. Oktavia Lilyasari, SpJP(K), FIHA Wakil Bendahara I : Dr. Mei Lestari, SpJP, FIHA Wakil Bendahara II : Dr. Agus Subagjo, SpJP(K), FIHA Sekretaris Executive : Dr. Isman Firdaus, SpJP(K), FIHA DR. Dr. Anwar Santoso (Ketua PP PERKI 2012-2014) Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Ketua : Dr. Sunarya Soerianata, SpJP(K), FIHA Wakil Ketua I : Prof. Dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP(K), FIHA Wakil Ketua II : Dr. M. Aminuddin, SpJP(K), FIHA Sekretaris : Dr. Poppy S. Roebiono, SpJP(K), FIHA Badan Etik dan Pembelaan Anggota Ketua : Dr. Pri Utomo, SpJP(K), FIHA Sekretaris : Prof. Dr. Zainal Mustafa, SpJP, FIHA Anggota : Dr. Andang H. Joesoef, SpJP(K), FIHA Prof. Dr. T. Bahri Anwar, SpJP(K), FIHA Dr. Hadi Hartono, SpJP(K), FIHA DEPARTEMEN Pengembangan Organisasi & Advokasi Kebijakan Ketua : Dr. Suhendiwijaya, SpJP, FIHA Anggota : Dr. Isman Firdaus, SpJP(K), FIHA Dr. Ade Median Ambari, SpJP, FIHA Dr. Lucia Kris Dinarti, SpJP(K), FIHA DR. Dr. Idar Mappangara, SpPD, SpJP, FIHA Penelitian & Pengembangan IPTEK Kardiovaskular Ketua : Dr. Sunu Budi Rahardjo, PhD, SpJP, FIHA Anggota : Dr. M. Syaifurochman, PhD, SpJP, FIHA Dr. Budi Baktijasa, SpJP(K), FIHA Dr. Ario Soeryo Kuncoro, SpJP(K), FIHA Dr. Bambang Widyantoro, PhD, SpJP, FIHA Pengembangan Pendidikan & Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) Ketua : Dr. A. Sari S. Mumpuni, SpJP, FIHA Anggota : Dr. Erwinanto, SpJP(K), FIHA Dr. Dafsah Arifa Juzar, SpJP(K), FIHA Dr. Radityo Prakoso, SpJP, FIHA Dr. Ahmad Lefi, SpJP(K), FIHA Pengembangan Kemitraan & Kesejahteraan Anggota Ketua : Dr. Daniel PL. Tobing, SpJP(K), FIHA Anggota : Dr. Parmono, SpJP, FIHA Dr. Jetty RH. Sedyawan, SpJP(K), FIHA Dr. Bagus Ari Pradnyana, SpJP, FIHA Dr. Leonora J. Tiluata, SpJP, FIHA (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia) Manajemen: Yayasan PERKI Pencetak: PT. Oscar Karya Mandiri, Jakarta tombak pelayanan, kemudian mereka diberikan protokol sehingga memiliki peran serta dalam penatalaksanaan kasus STEMI yang datang ke tempat praktek mereka. Dengan demikian diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas akibat STEMI di Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu. Apabila penelitian ini dilaksanakan di seluruh Indonesia, maka besar harapan mortalitas dan morbiditas akibat STEMI di seluruh Indonesia pun dapat ditekan. Tidak ketinggalan Kardiologi Kuantum yang selalu hadir untuk mengingatkan kita akan dimensi non medis sebagai manusia yang tetap dikaitkan dengan kardiologi, kali ini berjudul: Sindroma “PilPres” dan Revolusi Mental. Artikel ilmiah yang kami sajikan ada tiga, pertama tentang kopeptin, kedua tentang penatalaksanaan pasien hipertensi dengan LVH, dan ketiga tentang hiperkolesterolemia. Terimakasih atas kesetiaan dan dukungan pembaca serta kontributor tabloid profesi kardiovaskuler. Selamat membaca.* Dr. Sunarya Soerianata (Ketua KOLEGIUM PERKI 2012-2014) Penerbit & Informatika DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K), FIHA (Jurnal Kardiologi Indonesia) Dr. Suko Adiarto, SpJP, FIHA (Jurnal Kardiologi Indonesia) Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP, FIHA (Tabloid Kardiovaskuler) Dr. Ramang Napu, SpJP, FIHA (Tabloid Kardiovaskuler) Dr. Sunanto Ng, SpJP, FIHA (Website) 3 206/Thn.XX/Juli-Agustus 2014 SUSUNAN PENGURUS KOLEGIUM ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH MASA BAKTI 2014 - 2016 RAPAT KOLEGIUM ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH PENGURUS HARIAN Ketua : Dr. A. Sunarya Soerianata, SpJP, FIHA WakilKetua I : Prof. DR. Dr.Harmani Kalim, MPH, SpJP, FIHA WakilKetua II : Dr. Muhammad Aminuddin, SpJP, FIHA Sekretaris : Dr. Poppy S Roebiono, SpJP, FIHA Sabtu 23 Agustus 2014 bertempat di Jasmine 4 Room Hotel Menara Peninsula Jakarta, diadakan acara Rapat Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Acara dihadiri oleh jajaran Pengurus Kolegium dari seluruh Indonesia, berlangsung dari pukul 08.00 sampai pukul 23.00. Acara yang merupakan Rapat Kerja Kolegium Masa Bakti 2014-2016 ini dibuka dengan sambutan dari Ketua Kolegium baru, yaitu Dr. Sunarya Soerianata, SpJP FIHA. Turut hadir dalam acara itu, DR. Dr. Anwar Santoso SpJP FIHA (Ketua PP PERKI), Prof. Dr Harmani Kalim, SpJP FIHA, Dr. Manoefris Kasim, SpJP FIHA.* Anggota: 1. Prof. Dr.Harmani Kalim, MPH, SpJP, FIHA 2. Dr. Hadi Purnomo, SpJP, FIHA 3. Dr. RWM Kaligis, SpJP, FIHA 4. Dr. Irmalita, SpJP, FIHA 5. DR. Dr. Amiliana M. Soesanto, SpJP, FIHA 6. Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP, FIHA 7. Dr. Manoefris Kasim, SpJP, FIHA 8. DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP, FIHA 9. DR. Dr. Muhammad Munawar, SpJP, FIHA 10. Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP, FIHA PENGURUS NASIONAL Ketua : Dr. A. Sunarya Soerianata, SpJP, FIHA WakilKetua I : Prof. Dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP, FIHA WakilKetua II : Dr. Muhammad Aminuddin, SpJP, FIHA Sekretaris : Dr. Poppy S. Roebiono, SpJP, FIHA Anggota : - Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di FK Negeri - Ketua Program Studi Dept. Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di FK Negeri - Para Guru Besar Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di FK Negeri Anggota : 1. DR. Dr. Anwar Santoso, SpJP, FIHA (Ketua PP PERKI) 2. Dr. Otte J. Rachman, SpJP, FIHA 3. Prof. Dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP, FIHA 4. Dr. Hadi Purnomo, SpJP, FIHA 5. Dr. RWM Kaligis, SpJP, FIHA 6. Dr. Irmalita, SpJP, FIHA 7. DR. Dr. Amiliana M Soesanto, SpJP, FIHA 8. Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP, FIHA 9. Dr. Manoefris Kasim, SpJP, FIHA 10. DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP, FIHA 11. DR. Dr. Muhammad Munawar, SpJP, FIHA 12. Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP, FIHA Komisi Akreditasi Koordinator: Prof. Dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP, FIHA Anggota : 1. Dr. Hadi Purnomo, SpJP, FIHA 2. Prof. Dr. M. Yogiarto, SpJP, FIHA 3. Dr. Toni M Aprami, SpPD, SpJP, FIHA 4. Dr. Trisulo Wasyanto, SpJP, FIHA 5. Prof. Dr. I Wayan Wita, SpJP, FIHA 6. Dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, SpJP, FIHA Komisi Evaluasi dan Ujian Nasional Koordinator: Dr. RWM Kaligis, SpJP, FIHA Anggota : 1. Dr. Irmalita, SpJP, FIHA 2. Dr. Hariadi Hariawan, SpJP, FIHA 3. Dr. Yan Herry, SpJP, FIHA 4. Dr. Agus Subagjo, SpJP, FIHA 5. Dr. Augustine Purnomowati, SpJP, FIHA 6. Dr. Dafsah Arifa Juzar, SpJP, FIHA Komisi Kurikulum Koordinator: DR. Dr.Amiliana M Soesanto, SpJP, FIHA Anggota : 1. Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP, FIHA 2. DR. Dr. Budi Yuli Setianto, SpJP, FIHA 3. Prof. Dr. Abdullah Afif Siregar, SpA(K), SpJP, FIHA 4. Dr. Muhammad Aminuddin, SpJP, FIHA 5. Dr. Agnes Lucia Panda, SpJP, FIHA 6. Dr. Renan Sukmawan, PhD, SpJP, FIHA Komisi Subspesialis dan Pengembangan Pendidikan dan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) Koordinator: Dr.Manoefris Kasim, SpJP, FIHA Anggota : 1. DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP, FIHA 2. Prof. Dr. Ganesja M Harimurti, SpJP, FIHA 3. Prof. DR. Dr. Budi S Pikir, SpJP, FIHA 4. Prof. DR. Dr. Budhi Setianto, SpJP, FIHA 5. Dr. Isfanuddin Nyak Kaoy, SpJP, FIHA 6. Dr. Sunu Budirahardjo, PhD, SpJP, FIHA Komisi Advokasi dan Kerja Sama antar Profesi Koordinator: DR. Dr. Muhammad Munawar, SpJP, FIHA Anggota : 1. Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP, FIHA 2. Dr. Otte J Rachman, SpJP, FIHA 3. Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpJP, FIHA 4. Dr. Eko Antono, SpPD, SpJP, FIHA 5. Prof. Dr. Peter Kabo, PhD, SpJP, FIHA 6. Dr. Doni Firman, SpJP, FIHA HALAL BI HALAL DAN PEMILIHAN KETUA PENGURUS PERKI JAYA 2014-2016 Dr. Indriwanto S. Atmosudigdo (Ketua PERKI Jaya 2012-2014) Dr. Ismi Purnawan (Ketua PERKI Jaya 2014-2016) Sabtu 23 Agustus 2014, bertempat di Onfive Lt.5 Hotel Grand Hyatt Jakarta, PERKI Jaya (wilayah Jakarta) menyelenggarakan acara Halal Bihalal dan Pemilihan Ketua Pengurusnya yang baru untuk masa jabatan 2014-2016. Acara dihadiri oleh jajaran pengurus dan anggota. Acara dikemas dalam 2 sesion, Sessi Ilmiah yang disupport oleh PT Astra Zeneca, dan Sessi Rapat Aggota Perki Jaya serta pemilihan Ketua Pengurus. Pada saat yang bersamaan di Garden Swimming Pool, panitia menggelar Family Gathering. Sessi Rapat Anggota & Pemilihan Ketua dipimpin oleh Dr. Heru Chandratmoko SpJP. Dan terpilih menjadi Ketua Pengurus PERKI Jaya untuk periode 2014-2016 adalah Dr. Ismi Purnawan SpJp FIHA. Acara diakhiri dengan Halal Bihalal, ramah tamah dan makan siang.* 4 206/Thn.XX/Juli-Agustus 2014 Kardiologi Kuantum (29) Sindroma “PilPres” dan Revolusi Mental “The masses have never thirsted after truth. They turn aside from evidence that is not to their taste, preferring to deify error, if error seduce them. Whoever can supply them with illusions is easily their master; whoever attempts to destroy their illusions is always their victim.” ~Gustave Le Bon — The Crowd: A Study of the Popular Mind, p. 110, Viking Press, 1960~ Salam kardio. Demam pemilihan pre­­siden baru-baru ini adalah bagaikan suatu sindroma (kumpulan gejala penyakit) dengan manifestasi klinik berupa rasa panas-dingin, suara serak, mata melotot, dan kelelahan (tampak dari dinamika gambar di TV-TV yang menyala di rumah sakit) telah melanda seluruh lapisan masyarakat. “Penyakit” tersebut juga telah memasuki dunia kesehatan dengan masyarakat rumah sakit, sebagai kasus studi. Masyarakat rumah sakit terdiri dari pasien, petugas kesehatan (dokter, perawat, dan penunjang kesehatan lainnya), keluarga pasien, handaitaulannya, termasuk tamu-tamu rumah sakit: perwa­ kilan perusahaan obat, alat kesehatan, bahkan mahasiswa kedokteran S1, S2, dan S3. Di salah satu rumah sakit di Jakarta, mungkin juga di semua rumah sakit, ma­ syarakatnya waktu itu benar-benar telah terbelah menjadi dua, yang memilih No. 1 Prabowo-Hatta (Prabowo Subianto – Hatta Radjasa) dan yang memilih No. 2 Jokowi-JK (Joko Widodo – Jusuf Kalla). Di sela-sela pekerjaan sehari-hari semakin mendekati hari pemilihan suara semakin “keras” diko- tominya, sehingga secara kasat mata terlihat jelas siapa yang mendukung No. 1 dan No. 2. Terlihatlah dari jumlah jeriji yang diacungacungkan baik keatas, ke depan, ke pelipis, dan yang malu-malu hanya cukup membalas acungan jari tersebut, tanpa berinisiatif. Bila acungannya berbeda, “Ganti dong pilihannya”, teriak mereka, ada pihak-pihak yang bersemangat memberikan argumennya dengan perdebatan-perdebatan yang acapkali memanas disertai pembagian pin dan kaos berlogo pilpres. Bahkan publik rumah sakit meneruskan posisinya dan teriakankampanye dengan menulis keyakinannya di dunia maya facebook, blogger, dan twitter atau media sosial terbatas lainnya seperti BBM, WhatsApp, dan Telegram. Ada juga kampanye bening misalnya agar memilih pilihan Nomor Tiga yaitu...Cak Lontong dengan salam lempernya atau Pak Legowo yang tidak terdaftar di KPU. Sudah lebih dari 35 tahun penulis menjadi dokter, baik sebagai dokter sipil maupun militer, belum pernah merasakan suasana penyakit “Demam Pilpres” semacam ini di dalam rumah sakit, di mana petugas kesehatannya terbelah dua keyakinan pilihan politiknya. Demam semacam ini yang sifatnya sementara barangkali boleh disebut neurosis, bersifat sementara kalau sampai terbelah kepribadiannya dinamakan psikosis. Pernah dalam satu sms yang masuk situasi di luar sana cukup mengerikan. Petugas rumah sakit memiliki dua ketakutan; pertama, korban kerusuhan akan masuk ke rumah sakit dan kedua petugasnya sendiri was-was di jalan kalau pulang ke rumah. Para dokter biasanya membantu menenangkan berdasarkan pengalaman hidup yaitu seringnya kita meras­a ketakutan akan terjadi sesuatu dan seringkali juga tidak terjadi apa-apa termasuk beritaberita yang sumber beritanya tidak jelas se­ perti kampanye hitam. Benar juga kata bapak psikologi-massa Gustave Le Bon, publik atau kerumunan massa adalah kelompok naif yang mudah terprovokasi. “Dokter, anda memilih calon presiden nomor berapa sih? Kasih dong pencerahannya sedikit, anda kan termasuk orang yang dituakan di rumah sakit ini!” tanya para pe­rawat. Alih-alih menjawab pertanyaan, malah mengajukan kriteria seorang calon presiden pilihan kita. “Pilihlah Presiden yang 'lebih' percaya (iman) kepada Tuhan YME dan 'lebih' jujur kepada masyarakat”. Meng­apa memilih yang lebih beriman ka­ rena se­tiap sepak terjangnya akan diberkati, diri­dhoi, dan mendapat barokah dari Tuhan YME, di sinilah ada aspek Ketuhanannya. Lebih jujur karena kalau presidennya jujur, pasti berani, tegas mengambil keputusan dengan adil, dan kalau adil rakyat akan memberikan kesetiaan kepadanya, disinilah aspek kemasyarakatannya. “Terus kita memilih nomor berapa?” “Ya terserah anda, bebas memilih dan gunakanlah hak pilih sebaikbaiknya!” Mungkin karena dokter-tua masih dianggap panutan di dalam masyarakat Kopeptin sebagai Biomarker Infark Miokard Akut: Detektor Dini Berikutnya? Deteksi dini, intervensi dini, dan mana­ jemen faktor risiko dengan strategi pen­ cegahan sekunder adalah kunci untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas sindrom koroner akut (SKA). Deteksi dini kasus infark miokard akut (IMA) khususnya IMA dengan elevasi segmen ST (IMAEST), sangat penting untuk mempercepat pemberian terapi reperfusi farmakologis yang invasif dan agresif.1,2 Menurut definisi internasional ketiga IMA, abnormalitas elektrokardiografik serta perubahan kadar troponin jantung meru­ pakan elemen-elemen kunci diagnosis IMA. Troponin jantung adalah protein struktural yang merupakan standar emas diagnosis IMA. Terdeteksinya biomarker-biomarker tersebut dalam plasma menunjukkan adanya nekrosis miokard.1,3 Untuk saat ini, pemeriksaan troponin jantung tidak bisa membedakan apakah nekrosis miokard terjadi karena etiologi iskemik atau noniskemik. Pemeriksaan troponin jantung juga tidak mampu men­ deteksi nekrosis miokard pada jam pertama setelah gejala muncul. Ada rentang waktu antara onset gejala dan kemunculan troponin jantung dalam darah. Troponin jantung meningkat dalam waktu 6—9 jam setelah onset dan sensitivitasnya 39—43% bila pasien dibawa ke IGD tiga jam setelah onset.1,4,5 Kelemahan-kelemahan tersebut dapat mempersulit penentuan penyebab kenaikan kadar troponin jantung plasma. Dengan demikian, penggunaan biomarker lain yang tidak tergantung pada nekrosis sel, seperti kopeptin, dapat lebih informatif terkait adanya iskemia miokard, ruptur plak, atau sinyal-sinyal IMA fase dini yang lain sehingga dapat membantu mendiagnosis IMA secara cepat.1,6 Studi kohort prospektif dilakukan oleh Reichlin dkk pada 487 pasien yang dibawa ke IGD dengan gejala-gejala sugestif IMA dan onset ≤12 jam sebelum admisi. Tujuan studi ini adalah untuk memeriksa nilai kenaikan kopeptin guna menyingkirkan diagnosis IMA secara cepat. Troponin T jantung (cardiac troponin-T [cTnT]), creatin kinase myocardial band (CKMB), mioglobin, dan kopeptin diukur secara serial yaitu saat datang, setelah 3, 6, dan 9 jam kemudian.7 Hasil studi menunjukkan bahwa kadar kopeptin secara signifikan lebih tinggi pada pasien-pasien IMA dibandingkan pada pasien-pasien berdiagnosis lain (nilai median 20,8 pmol/L vs 6,0 pmol/L, P<0,001). Sensit ivitas diagnostik kombinasi kopeptin dan cTnT ternyata lebih tinggi secara signifikan daripada sensitivitas diagnostik kopeptin saja dan cTnT saja. Penyingkiran dini IMA secara tepat saat di IGD dicapai dengan mengombinasikan hasil uji kopeptin, yaitu <14.0 pmol/L, dan hasil uji cTnT, yaitu ≤0.01 μg/L. Kombinasi ini memiliki sensitivitas 98,8%, spesifisitas 77,1%, nilai prediktif negatif (negative predictive value [NPV]) 99,7%, dan nilai prediktif positif (positive predictive value [PPV]) 46,2%.7 Dari studi ini, disimpulkan bahwa pemeriksaan kadar kopeptin sebagai biomarker tambahan untuk cTnT memungkinkan penyingkiran IMA saat presentasi awal secara cepat dan andal. Hal ini dapat mempercepat pengambilan keputusan klinis bagi pasienpasien non-IMA tanpa perlu pengambilan darah serial untuk mengukur cTnT secara berulang dan tanpa perlu waktu pemantauan yang lama.7 Studi-studi dengan hasil serupa adalah studi oleh Keller dkk dan Folli dkk. Keller melakukan studi prospektif pada 1386 pasien yang datang ke IGD dengan nyeri dada akut. Studi multisenter ini mengikutsertakan secara konsekutif pasien-pasien terduga SKA antara Januari 2007 sampai dengan Juli 2008. Keller dkk menemukan bahwa nilai median kadar cTnT plasma meningkat secara proporsional setelah onset gejala; berbeda dengan nilai median kadar kopeptin plasma yang menurun setelah onset gejala. Kombinasi kopeptin dan cTnT menunjukkan superioritas di mana pada pasien-pasien yang masuk IGD dalam <3 jam setelah onset nyeri dada (OND) kombinasi kopeptin dan cTnT memiliki kekuatan diagnostik tertinggi dengan area under curve (AUC) sebesar 0,9 bila dibandingkan kombinasi pemeriksaan mioglobin dan cTnT. Simpulan studi ini adalah bahwa kombinasi pemeriksaan kopeptin dan cTnT lebih baik dibandingkan pemeriksaan biomarker tunggal atau kombinasi lainnya untuk identifikasi IMA pada jam-jam awal setelah OND.6 Folli dkk mengadakan studi prospektif observasional yang meneliti 471 pasien yang dibawa ke IGD dengan nyeri dada akut dan OND <8 jam. Studi enam bulan ini memakai teknik biomarker ganda yaitu cTnT dan kopeptin. Tujuannya untuk memeriksa apakah kombinasi pemeriksaan kopeptin dan cTnT dapat dengan tepat menyingkirkan diagnosis SKA dan nyeri dada nonkardiak lainnya.8 Analisis data menunjukkan bahwa AUC kopeptin dan cTnT lebih lebar pada IMAEST (0,86 dan 0,72) dan IMANEST (0,73 dan 0,76). Bila kedua biomarker tersebut dikombinasikan, AUC meningkat menjadi 0,89, pada IMAEST, dan 0,86, pada IMANEST. Kombinasi pemeriksaan kopeptin dan cTnT memiliki NPV 86,6 (pada pasien-pasien IMAEST dan IMANEST), 85,0 (pada populasi keseluruhan), dan 97,9 (pada pasien-pasien dengan penyakit mengancam nyawa selain SKA). Selain hasil yang serupa dengan studi Reichlin dkk dan Keller dkk, studi ini me­ nyimpulkan bahwa kopeptin penting dalam penyingkiran dini pasien-pasien IMA dan merupakan sinyal adanya penyakit-penyakit yang mengancam nyawa.8 Studi multisenter prospektif dilakukan oleh Ray dkk pada 451 pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK) yang dibawa ke IGD dengan OND ≤6 jam, temuan elektrokardiografik negatif, dan kadar troponin I jantung (cTnI) yang negatif. Dari studi ini, disimpulkan bahwa, untuk pasien-pasien dengan OND ≤6 jam dan diduga mengalami IMANEST, gabungan pemeriksaan kopeptin dan cTnI memiliki NPV 98% sehingga memungkinkan penying­ kiran IMA secara cepat.9 Studi multisenter prospektif oleh Chenevier-Gobeaux dkk menunjukkan hasil serupa dengan studi Ray dkk. Studi selama 18 bulan pada 317 pasien berusia >18 tahun yang dibawa ke IGD dengan OND <6 jam ini menyelidiki superioritas sensitivitas rumah sakit, mereka masih mendesak terus pilihan mana yang seyogyanya diberikan, dan kita sendiri memilih siapa. “Dokter, anda pasti memilih No. 1, karena selalu pakai baju lengan pendek putih dan pakai epolet di pundak seperti pramuka, paskibraka dan tentara”, saya tersenyum dan menganggukangguk saja karena saya tahu mereka pasti pemilih untuk Capres-Cawapres No. 1. “Akh nggak, dokter pasti memilih No. 2 karena mengajukan hanya dua kriteria calon presiden/wakilnya apalagi anda adalah orang kota-kembar-nama (Ngayogyakarto dan Surokarto) Hadiningrat”, saya tersenyum dan mengangguk-angguk karena “mengerti persoalan” ­bahwa yang menebak ini pasti para pemilih Capres-Cawapres No. 2. Di dunia kedokteran ada pelajaran empati untuk tidak mengganggu religi dan keyakinan pasien yang sedang sakit. Justru harus melakukan reedukasi sesuai dengan religinya, keyakinan agamanya. Semangat Ketuhanannya sedapat mungkin dibangkitkan kembali. Kesadaran dan ketaatan beragamanya diakomodasi, sekali waktu kita akan mendengar “keajaiban” dalam upaya penyembuhan model holistikekliktik tersebut. Dokter harus mengembalikan pengetahuan pasien bahwa dokter hanyalah perantara saja, dan bahwa DIA-lah yang telah menyembuhkannya. Alfred Adler, neurolog-psikiater menganjurkan agar dokter bersifat seperti kakak yang lebih ber(Bersambung ke hal.5) gabungan pemeriksaan cTnI dan kopeptin terhadap sensitivitas pemeriksaan cTnI konvensional dalam mendiagnosis dini IMA. Simpulan studi ini juga menunjukkan bahwa penggunaan kopeptin bersama cTnI memungkinkan penyingkiran diagnosis IMA yang cepat dan andal.10 Suatu studi yang dilakukan oleh Potocki dkk memperkuat hasil studi-studi di atas. Potocki dkk menganalisis 433 pasien dengan PJK dalam suatu studi multisenter prospektif. Dari studi ini, disimpulkan bahwa, pada pasien-pasien dengan PJK yang telah ada sebelumnya, kopeptin secara signifikan meningkatkan akurasi diagnostik bila digunakan bersama cTnT. Kopeptin memberikan informasi prognostik independen terutama bila kadar cTnT hanya meningkat ringan.11 Telah diketahui bahwa kadar AVP plasma secara signifikan meningkat pasca-IMA baik pada manusia maupun hewan. Penyebabpenyebabnya belum bisa dijelaskan. Banyak hipotesis diajukan untuk menjelaskan mekanisme peningkatan kadar AVP dan kopeptin ini. Salah satunya adalah hipotesis stres yang menyatakan bahwa peningkatan tersebut adalah bagian dari respons cepat terhadap kondisi stres yang mengancam kehidupan pada IMA. Dalam respons ini, AVP bekerja secara sinergis dengan ACTH dan kortisol sebagai moderator stres akut. Selain hipotesis stres, ada hipotesis hemodinamik yang muncul dari studi-studi pada pasien-pasien IMAEST. Hipotesis ini menyatakan bahwa perubahan-perubahan akut dalam dinamika jantung, underfilling jantung, dan stimulasi baroreseptor jantung (sebagai respons terhadap hipotensi sistemik atau kerusakan jaringan akibat iskemia) adalah stimulan kuat pelepasan AVP dan kopeptin.1 Hasil-hasil studi dan hipotesis-hipotesis di atas telah mengantarkan kita pada sim­ pulan penting bahwa terdapat potensi me­nguntungkan kopeptin di masa depan. Potensi sebagai suatu detektor baru dari IMA; biomarker diagnostik berikutnya se­ telah biomarker-biomarker yang sekarang ini kita kenal. (Referensi dapat dilihat di www. tpkindonesia.blogspot.com) dr. Andy Kristyagita 5 206/Thn.XX/Juli-Agustus 2014 Implikasi dan Penatalaksanaan Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Pasien Hipertensi Hipertrofi ventrikel kiri atau yang lebih dikenal dengan left ventricular hypertrophy (LVH), adalah temuan yang paling umum pada pasien hipertensi dan dapat didiagnosis baik dengan EKG maupun ekokardiografi.1 Ekokardiografi menjadi pilihan utama akhir-akhir ini, mengingat sensitivitas EKG yang rendah dalam mendiagnosis LVH (lebih kurang 7-35% pada mild LVH dan hanya 10-50% pada moderate-severe LVH).2 Namun demikian, dengan kondisi di Indonesia terutama di daerah perifer, EKG (dengan pilihan kriteria penegakan diagnosis LVH yang tepat) juga dapat bermanfaat dalam mendeteksi LVH.3 Defisini LVH adalah suatu fase dimana terjadi peningkatan massa ventrikel kiri, yang di­ ikuti oleh bertambahnya ketebalan dinding ventrikel dengan atau tanpa bertambahnya ruang jantung. Penambahan massa ventrikel ini dihasilkan oleh bertambahnya beban after-load LV secara terus menerus oleh adanya stenosis aorta atau hipertensi. Gb 1. Jantung normal dan LVH Diagnosis LVH Elektrokardiografi (EKG) Diagnosis LVH dengan EKG sangat bermanfaat jika disertai dengan kelainan EKG lainnya seperti abnormalitas atrium dan abnormalitas segmen ST-T, deviasi aksis kiri, atau wide QRS. Akan tetapi, seperti telah disebutkan dibagian pendahuluan, EKG memiliki kekurangan berupa sensitivitasnya yang rendah dan adanya false negative atau false positive. Data dari LIFE study menunjukkan bahwa LVH lebih bisa dideteksi dengan kriteria cornell-voltage saat digunakan pada pasien yang lebih tua, lebih gemuk, wanita, ras kulit putih, tidak ada riwayat merokok, memiliki riwayat diabetes dan angina. Sedangkan kriteria sokolow-lyon lebih bermanfaat unutuk mendeteksi LVH pada pasien yang lebih muda, kurus, lebih cendrung laki-laki, ras kulit hitam, memiliki riwayat merokok, angina, dan stroke.4 Kriteria Sokolow-Lyon yaitu R di V5 + S di V6 > 3.5mV yang diikuti dengan flat T wave (<10% dari R wave) atau depresi segmen ST dan biphasic T wave.5 Kriteria cornell-voltage yaitu S di V3 + R di aVL > 2.8mV (laki-laki) dan >2.0mV (perempuan). Meskipun relatif kurang sensitif, EKG tetap memiliki nilai prognostik yang signifikan. Dari pemeriksaan ekokardiografi, pasien hipertensi yang dideteksi LVH dengan EKG, memiliki LV mass yang lebih besar dan sig­ (Kardiologi.................... hal.4) pengalaman kesehatan terhadap pasiennya. Menurut Prof. Soemantri Hardjoprakoso, dalam Candra Jiwa Indonesia, kalau seorang dokter hendak memberikan penyuluhan kesehatan, dokter itu sendiri seyogyanya sudah melaksanakannya. Pasien memiliki insting yang masih sehat walaupun badannya sakit. Pasien akan mudah tahu kalau dokternya belum menjalankan nasehatnya sendiri, disini aspek kejujuran di pihak dokter mulai muncul. “Wah, dokter plin-plan juga neh, CapresCawapres No. 1 oke; No. 2 oke juga, haiyaa!” “Ha ha ha.” “Anda benar juga, saya sedang membayangkan anda semua ini kan sedang sakit neurosis yang self limiting disease artinya nanti akan sembuh dengan sendirinya setelah PilPres selesai, tanggal 9 Juli 2014. Dalam hal ini saya harus memelihara empati dan melakukan reedukasi sesuai dengan keyakinan anda atas pilihan yang akan anda jatuhkan, kan dalam persepsi saya anda ada- nifikan bila dibandingkan dengan pasien yang sebelumnya tidak memenuhi kriteria LVH pada pemeriksaan EKG. EKG juga dapat membantu melihat adanya perubahan voltase dan irama jantung yang kesemuanya juga berhubungan erat dengan resiko CVD (cardiovascular disease). Ekokardiografi Diagnosis LVH dengan ekokardiografi selain dapat menilai massa ventrikel kiri, juga dapat melihat bentuk geometri dari LVH. Hal ini dinilai penting karena pada pasien tanpa peningkatan massa ventrikel kiri, namun mengalami peningkatan pada relative wall thickess (RWT) atau thicknessto-cavity diameter ratio (atau yang disebut concentric remodeling) memiliki resiko kejadian CVD yang sama dengan pasien yang mangalami peningkatan massa dan RWT (concentric hypertrophy), terlepas dari hubungannya dengan level tekanan darah.6 Meskipun lebih efektif dari EKG, ekokardiografi tetap memiliki beberapa kekurangan antara lain harga pemeriksaan yang mahal dan tidak tersedia di semua klinik terutama yang berada di perifer, serta penggunaannya yang memerlukan kemampuan khusus dari operator yang melakukan pemeriksaan. LVH pada Hipertensi Pada pasien-pasien yang mengalami peningkatan tekanan darah (TD) saat me­ nga­l ami mental stress (khususnya saat bekerja) atau saat beraktivitas, memiliki kecendrungan lebih besar untuk mendapatkan LVH. Terlebih lagi pada pasien-pasien yang memiliki TD malam hari > TD siang hari. Pengukuran TD secara ambulatorik (ABPMAmbulatory Blood Pressure Monitoring) dapat menjelaskan beberapa informasi tambahan berkaitan dengan faktor resiko LVH seperti: - Beban tekanan darah harian (TD >135/85 mmHg saat siang dan >120/80 mmHg saat malam hari). -Nocturnal hypertension (suatu kondisi dimana tidak terjadi penurunan tekanan darah pada malam hari) Beberapa penelitian yang berhasil kami lakukan sebelumnya membuktikan bahwa pada pasien yang mengalami peningkatan TD malam hari (high nocturnal hypertension), sangat beresiko untuk mendapatkan LVH dan kejadian CVD,8,9 meskipun tekanan darahnya normal saat diperiksa di klinik.10 Data kami juga menunjukkan bahwa penurunan TD di malam hari yang dikontrol dengan ABPM dan HBPM (Home Blood pressure monitoring) akan diikuti dengan penurunan derajat LVH, sehingga penurunan TD malam hari (nocturnal hypertension) menjadi fokus utama dalam penatalaksanaan Gb 2. Geometri ventrikel kiri hipertrofi ventrikel kiri. 11 Itulah sebabnya pengukuran TD di luar Sumber: J Am Coll Cardiol 1992;19:1550–1558 klinik (ABPM dan HBPM) menjadi Berdasarkan guideline American society instrument yang penting dan memiliki nilai of echocardiography dan European assoyang lebih bermakna ciation of echocardiography, kriteria LVH jika dibandingkan de­ menggunakan metode simpson’s rule adalah ngan pengukuran TD di sebagai berikut:7 klinik/office BP. • Mild abnormal: estimasi massa LV LVH tidak hanya dari 201-227gr (103-116 g/m2) untuk timbul sebagai akibat laki-laki dan 151-171gr (89-100 g/m2) dari peningkatan beban untuk perempuan. after-load oleh hiper• Moderate abnormal: estimasi massa tensi, tapi juga dapat LV dari 228-254gr (117-130 g/m2) unberkembang sebelum tuk laki-laki dan 172-182gr (101-112 g/ seseorang menderita m2) untuk perempuan. hipertensi. Konsep ini • Severe abnormal: estimasi massa didasari oleh adanya LV > 255gr (>131 g/m2) untuk lakibe­b erapa faktor lain laki dan >193gr (>113 g/m2) untuk yang bisa memicu timGb 3. ABPM perempuan. bulnya hipertrofi venlah “pasien-sakit“, bukan “klien-sehat“. Jadi mana saja oke asal itu pilihan pribadi anda, secara bioetika adalah hak otonomi pasien. Kata kuncinya reedukasi bukan edukasi keyakinan sesuai pilihan saya, itulah disiplin ilmu kesehatan mental.” Kita sudah mendengar gelegar Revolusi Mental Jokowi yang kini sudah menjadi pre­ siden terpilih KPU, hendaknya dimulai dari dalam diri kita sendiri dan digemakan secara integral keluar melalui jalur struktur sosial berjenjang yaitu bangunan struktur ekonomi, politik, dan hukum yang diberi jembatan oleh kebudayaan dalam arti luas. Walaupun sebagian masyarakat telah mendengar istilah tersebut cukup lama dari para kelompok pemikir humaniora dan pidato Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1956 dan 1962, terasa masih relevan disampaikan lagi secara bersambung oleh presiden berikutnya bagi rakyat Indonesia, apalagi ketika rakyatnya tertimpa “paradoks pelik”. Terlihat oleh rakyat dalam kiprah KPK, suatu lembaga hukum ad hoc “melibas” oknum-oknum puncak lembaga hukum, pembuat dan pelaksana undang-undang sampai departemen agama. Apakah ada yang salah dalam berkebudayaan masyarakat Indonesia terutama dalam berketuhanan dan bermasyarakat? Tampaknya sesuatu yang disebut revolusi mental memang harus dimulai dari dalam diri kita, melebar di dalam keluarga, dan di tempat kerja kita masing-masing. Melihat struktur mental manusia dengan kacamata Sigmun Freud, Alfred Adler, dan Carl Gustav Jung yang telah dibandingkan dengan cara menyejajarkan posisi egonya manusia dengan Candra Jiwa Indonesia seperti yang telah dilakukan oleh Prof. Soemantri Hardjoprakoso dalam disertasinya di Rijkuniversiteit Leiden di Negeri Belanda 1956. Judul disertasinya adalah Indonesisch Mensbeeld als Basis Ener Psycho-Therapie yang artinya Candra Jiwa Indonesia sebagai dasar psikoterapi, terapi mental. Dalam skala kontinuum waktu, perjalanan kehidupan mental seorang manusia adalah suatu peristiwa evolusi. Percepatan dari suatu trikel kiri seperti misalnya peningkatan kadar angiotensin II,12 norepinephrine dan epinephrine,13 faktor hemostatik (plasma fibrinogen),14 sensitivitas terhadap garam (salt sensitivity),15 dan OSAS (Obstructive Sleep Apnea Syndrome).16 Namun demikian, hipertensi tetap memegang peran paling penting terhadap timbulnya LVH. (BERSAMBUNG) Profil Rhabdomioma, Tumor Jantung Janin yang Jarang (Bagian ke-4, habis) Manajemen pembedahan jantung ter­ buka dilaksanakan bila terjadi kegagalan setelah terapi medikamentosa, deteriorasi hemodinamik yang berat, atau aritmia yang sulit dikendalikan (kambuh-kambuhan). Prosedur bedah ini berupa pengam­bilan bagian intrakavitas dari tumor tanpa eksisi komplet dari seluruh lesi. Walaupun dikenal jinak dan dalam perjalanan alamiahnya sebagian besar akan mengalami regresi, tumor bisa tidak sejinak ini. Kasus yang ada pada pasien RSAB Harapan Kita di atas justru menunjukkan adanya pembesaran ukuran tumor. Dalam hal ini, perlu kerjasama antara kardiolog dan ahli bedah jantung pediatrik bila kelak pasien memerlukan operasi. Terdapat laporan kasus anekdotal yang mene­ mukan bahwa regresi bisa dicapai dengan pemberian everolimus (suatu penghambat mTOR [mammalian target of Rapamycin]).23 Bagi pasien yang mengalami komplikasi gagal jantung, pembatasan aktivitas diperlukan dalam penanganannya. Prognosis tumor ini cukup bagus, dimana kisaran angka kesintasannya adalah 81—92%,1 karena perjalanan alamiahnya (seperti yang tersebut sebelumnya) yang mengarah pada resolusi gejala. Manifestasi klinis tumor ini tidak terlepas dari pengaruh ukuran dan lokasinya. Tumor dengan dimensi >20 mm berprognosis buruk karena lebih berpeluang untuk menyumbat jalur aliran ventrikel, mengubah kerja katup, dan menyebabkan regurgitasi sehingga terjadi gangguan hemodinamika atau aritmia sampai akhirnya meningkatkan risiko kematian. Prognosis jangka panjang juga ditentukan oleh ada tidaknya manifestasi neurologis yang terkait TS. 24,25 Hanya sedikit kasus dimana tumor ini bertransformasi menjadi tumor ganas (rhabdomiosarkoma). (Referensi dapat dilihat pada www.tpkindonesia.blogspot.com) Andy Kristyagita evolusi dalam skala pribadi yang diintegrasikan de­ngan struktur sosial-ekonomi, politik dan hukum yang dijembatani dengan kebudayaan dalam arti seluas-luasnya dapat dimaknai sebagai suatu bentuk revolusi mental. Berbekal dari uraian diatas, sebagai warga negara kita wajib berbakti kepada Tuhan YME dan Utusan-Nya yang abadi, diteruskan kepada Pimpinan Negara dan Undang-undangnya sampai tanah tumpah darahnya. Dengan dua kata kunci untuk lebih memperbaiki iman kepada Tuhan YME dan ke-jujur-an kita kepada masyarakat sebagai modal awal revolusi mental di dalam diri kita sendiri dalam menyongsong gerakan masyarakat (revolusi mental) untuk Indonesia Raya. Sesuai dengan yang telah disarankan oleh Wage Rudolf Supratman: ...bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Salam kuantum. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan rakhmat dan barokahnya kepada bangsa Indonesia, amin. Budhi S. Purwowiyoto 6 206/Thn.XX/Juli-Agustus 2014 Bukti-bukti dan Standar Perawatan Terbaru pada Hiperkolesterolemia (Laporan dari “Meet the Experts” PERKI Jaya, 8 Juli 2014, Hotel Mulia Senayan) Seberapa rendah kita dapat menurunkan kadar LDL-C? Target LDL-C tergantung pada risiko­nya, bagi pasien yang berisiko tertinggi maka target LDL-C akan semakin rendah. Cholesterol Trialist Collaboration Meta-Analysis of Dyslipidemia Trials (CTT Collaborators. Lancet. 2005; 366:126778) menyatakan terdapat hubungan linear antara penurunan kadar LDL-C dengan kejadian vaskular mayor. Pada acara yang bertepatan dengan buka puasa bersama pengurus dan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia Cabang Jakarta (PERKI JAYA), PT. AstraZeneca Indonesia bekerjasama dengan PERKI JAYA menyelenggarakan kegiatan Meet the Experts dengan tema Recent Evidences and Advances for Standard of Care in Hypercholesterolemia yang menghadirkan DR. Dr. Anwar Santoso, Sp.JP(K) dan Prof. Kausik Ray, BSc (hons), MBChB, MD, MPhil (Cantab) sebagai narasumber sedangkan diskusi di­pimpin oleh Prof. DR. Dr. Harmani Kalim, MPH, Sp.JP(K). DR. Dr Anwar Santoso, Sp.JP(K) menga­ wali kuliahnya dengan menyampaikan ringkasan tatalaksana hiperkolesterolemia dari beberapa negara di Asia antara lain Hongkong, Korea, Malaysia, Taiwan, Thailand dan Indonesia khususnya target LDL-C. Berdasarkan buku pedoman tatalaksana dislipidemia yang diluncurkan oleh PERKI pada tahun 2013 lalu, target LDL-C adalah sebagai berikut: Secara spesifik juga dibahas tatalaksana hiperkolesterolemia terbaru yaitu ACC/AHA 2013. Pa da tatalaksana tersebut dibagi menjadi 4 kelompok yang mendapatkan manfaat dari pemberian statin yaitu: 1.Kelompok ASCVD (atherosclerotic cardiovascular diseases) Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah pasien ACS, MI, stable atau unstable angina, revaskularisasi koroner atau arteri lainnya, stroke, TIA, dan PAD 2. Pasien dengan kadar LDL-C > 190 mg/ dL 3. Pasien Diabetes, umur 40-75 tahun, de­ngan kadar LDL-C 70-189 mg/dL 4.Diperkirakan risiko terkena ASCVD untuk 10 tahun kedepan sebesar > 7.5% (di­hitung berdasarkan Pooled Cohort Risk Assessment Equations), umur 40-75 tahun, dan kadar LDL-C 70-189 mg/dL. Kebiasaan pola hidup sehat merupakan dasar pencegahan ASCVD pada seseorang yang tidak menerima terapi penurun kolesterol. Skor risiko 10-tahun harus dihitung ulang setiap 4 sampai 6 tahun pada pasien dengan umur 40 dan 75 tahun tanpa ASCVD secara klinis. Pasien berusia di atas usia 21 tahun dan memiliki ASCVD secara klinis memiliki dua pilihan pengobatan. Kedua pilihan ini dibagi berdasarkan usia pasien. Untuk pasien de­ngan usia dibawah 75 tahun, statin intensitas tinggi yang digunakan. Untuk pasien yang ber­ada diatas 75 tahun, statin intensitas sedang bisa menjadi pilihan apabila pasien tersebut tidak bisa menoleransi statin dengan intensitas tinggi. Pada tatalaksana ACC/AHA 2013 penge­ lompokan statin berdasarkan kemampuannya dalam menurunkan LDL-C. Dibagi menjadi 3 kelompok yaitu high intensity statin (statin yang mampu menurunkan LDL-C > 50%), moderate intensity statin (statin yang mampu menurun­ kan LDL-C 30 hingga <50%), dan low intensity statin (statin yang mampu menurunkan LDL-C <30%). Untuk statin yang mampu menurunkan LDL-C sampai lebih dari 50% pilihannya hanya ada empat yaitu Atorvastatin 40 dan 80 mg atau Rosuva­statin 20 dan 40 mg. Beberapa implikasi utama dalam praktek klinis dari tatalaksana ACC/AHA 2013 ada­lah penghapusan tes rutin LDL-C karena pada tatalaksana ini target penurunan LDL-C tidak lagi difokuskan, menghindari penggunaan terapi non-statin dalam menurunkan LDL-C, pendekatan yang lebih konservatif pada pasien yang sedang menjalani terapi statin usia diatas 75 tahun tanpa ASCVD secara klinis, pemeriksaan surrogate marker seperti hs-CRP dan calcium scoring telah dihilangkan, dan tidak ada rekomendasi penurunan lipid untuk pasien dengan CKD. Pasien dengan ASCVD, kadar LDL-C >190 mg/dL, diabetes, atau risiko terkena penyakit kardiovaskular untuk 10 tahun sebesar >7,5% harus mene­r ima terapi statin. Terapi statin intensitas tinggi ataupun sedang dianjurkan pada tatalaksana ACC/AHA 2013 karena memiliki keamanan yang telah terbukti dan efektif da­lam menurunkan risiko terhadap penyakit kardiovaskular. Pada kesempatan ini juga dibahas me­ngenai perbedaan an­t ara tatalaksana ACC/AHA 2013 de­n gan ESC/EAS 2011. Ke­dua tatalaksana tersebut berbeda dalam mende­finisikan penyakit kardiovaskular, berbeda dalam menyertakan pasien de­ngan CKD kedalam ke­lompok ber­isiko tinggi, berbeda dalam penentuan ambang batas risiko kardiovaskular untuk memulai terapi pada mereka yang tidak memiliki pe­nyakit kardiovaskular, familial hypercholesterolemia atau diabetes, ber­beda dalam penentuan target terapi, tata­laksana EAS/ ESC 2011 meliputi pengelolaan dislipidemia pada umumnya, sedangkan tatalaksana ACC/ AHA 2013 membatasi pada penurunan risiko kardiovaskular. Persamaan dari keduanya me­ nyoroti pentingnya melibatkan pasien dalam penatalaksanaan risiko kardiovas­kular mereka dan kedua tatalak­sana ini di­rancang untuk membantu dokter dalam penentuan terapi selanjutnya. DR. Dr. Anwar Santoso, SpJP(K) menekankan bahwa statin tidak hanya menurunkan kolesterol tetapi yang lebih penting adalah untuk menurun­kan risiko kardiovas­ kular dan kejadian pe­nyakit jantung. Pada kuliah yang kedua, Prof. Kausik Ray, BSc (hons), MBChB, MD, MPhil (Cantab) me­nyampaikan bahwa seseorang dengan ke­ gemukan intra-abdominal berisiko menga­lami penurunan sensitifitas insulin dan juga resis­ tensi insulin. Resistensi insulin menye­babkan karakteristik dislipidemia pada orang-orang dengan intra-abdominal obesity dan diabetes tipe 2 menjadi sebagai berikut: • VLDL trigliserida tinggi • VLDL ApoB tinggi • LDL ApoB tinggi • Jumlah partikel LDL tinggi • Ukuran partikel LDL menjadi kecil (small dense) • HDL rendah • Jumlah partikel HDL rendah • Ukuran partikel HDL juga kecil Partikel-partikel yang bersifat atherogenic bisa diukur dari Apolipoprotein B atau non HDL-C. Parameter lipid seperti VLDL, VLDLR, IDL termasuk dalam jenis trigliserid yang kaya akan lipoprotein. Sedangkan parameter lipid yang justru mempunyai sifat protektif adalah HDL. Hal tersebut dikarenakan HDL bisa berfungsi sebagai anti-apoptopic, endothelial repair, protection against oxidation, modulation of endothelial function, cholesterylester donor, cholesterol transport, antithrombotic, dan anti-inflamatory. Pening­k atan kadar LDL-C, non-HDL, dan ApoB berkorelasi dengan kejadian penyakit jantung koroner (The Emerging Risk Factors Collaboration, JAMA 2009;302;1993-2000). Tatalaksana ESC/EAS 2011 tetap merekomendasikan LDL-C menjadi prioritas utama pengobatan dislipidemia. Sedangkan non-HDL harus dipertimbangkan sebagai target sekunder bagi pasien dengan dislipidemia campuran, diabetes, metabolic syndrome, atau penyakit ginjal kronik. Statin adalah pilihan terbaik untuk pe­ ngobatan dislipidemia. Statin yang sudah ada dipasaran yaitu Atorvastatin. Fluvastatin, Pitavastatin, Pravastatin, Rosuvastatin, dan Simvastatin. Fluvastatin, Pravastatin, dan Rosuvastatin memiliki interaksi obat yang lebih minimal dibandingkan statin yang lain. (Bates TR, et al. Exp Opin Pharmacother 2009; 10 (18):2973-85). Seberapa rendah kita harus menurunkan kadar LDL-C? Cholesterol Trialist Collaboration Meta-Analysis of Dyslipidemia Trials menya­takan bahwa setiap penurunan 39 mg/dl kadar LDL menunjukkan penurunan kejadian koroner mayor sebesar 23%. Sehingga pemberian statin lebih awal memberikan manfaat untuk pasien dislipidemia. Statin yang mampu menurunkan LDL sebesar 50% memberikan manfaat lebih dibanding statin yang mempunyai kemampuan penurunan LDL sebesar 20-30%. Di akhir kuliahnya, Prof. Kausik Ray, BSc (hons), MBChB, MD, MPhil (Cantab) memberikan pesan “Treat early, treat to levels of absolute risk and maintain treatments long term”.*