Perangko Berlangganan No.11/PRKB/JKP/PENJUALAN IV/2014 ISSN : 0853-8344 Harga eceran Rp.9.000,- 205/Thn.XX/Mei -Juni 2014 e-mail: [email protected] / [email protected]; PENYAKIT kardiovaskular masih merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Mortalitas dan morbiditas yang tinggi berdasarkan fakta yang ada, mengharuskan bahwa tatalaksana penyakit kardiovaskular tidak hanya berfokus pada setelah terjadinya penyakit, tetapi juga harus mencegah kecacatan di masa yang akan datang. Karena itu, PERKI Jaya pada tanggal 17 Mei sampai 18 Mei 2014 di Ritz Carlton Hotel, Mega Kuningan Jakarta, menyelenggarakan annual scientific meeting-nya yang ke-3 “The Jakarta Cardiovascular Summit”, dengan tema “Optimizing Cardiovascular Treatment”. Acara yang diketuai oleh dr. Yahya Berkahanto Juwana, SpJP, PhD, FIHA ini menitikberatkan tentang pengenalan yang lebih mendalam mengenai patofisiologi dari penyakit kardiovaskular, perkembangan dalam bidang pengobatan serta penemuan peralatan kesehatan dan teknik prosedur terbaru dalam penanganan penyakit kardiovaskular terkini. Acara ini berlangsung selama 3 hari, dimulai dengan empat workshop yang diselenggarakan secara paralel di empat ruangan pada tanggal 16 Mei 2014 dan disusul dengan symposium di Hotel Ritz Carlton pada keesokan harinya. Workshop berlangsung mulai dari pukul 08:00 sampai 12:00 dengan mengangkat topik-topik yang menarik dan sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Workshop “Acute Heart Failure”, “Acute Coronary Syndrome” dan “Arrythmia” diadakan di Wisma Bidakara Harapan Kita sedangkan workshop “Peripheral kardiovk; @kardio_vaskuler; tpkindonesia.blogspot.com Vascular Ultrasound” di Gedung Wisma 76, Slipi. Workshop berlangsung lancar dan interaktif, setiap ruangan dipadati oleh peserta yang antusias mencapai 20 – 30 orang. Hari kedua dan ketiga dilanjutkan dengan symposium yang diselenggarakan di Ballroom 2 Hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta mulai pukul 07:30 sampai pukul 16:00. Symposium diawali dengan plenary session dengan topik “Redefining the Optimal Treatment Strategies in Acute Cardiac Care”. Pembicara pertama Dr.dr.M. Munawar,SpJP(K) membahas tentang terapi antiplatelet berdasarkan stratifikasi risiko pada SKA dan selama prosedur PCI. Sedangkan pembicara kedua, dr.Sunarya Soerianata, SpJP(K) memaparkan tentang perluasan jejaring STEMI di Indonesia (iSTEMI) yang diawali dengan pilot project jejaring STEMI secara regional di Jakarta Barat. Proyek ini akan dilaksanakan pada pertengahan tahun 2014 dengan menerapkan protokol penanganan pasien STEMI yang sistematis dengan melibatkan seluruh fasilitas kesehatan di Jakarta Barat. Topik-topik lainnya yang dibahas pada The Jakarta Cardiovascular Summit (JCS) 2014 ini antara lain mengenai pengobatan hipertensi terkini, tatalaksana NSTEMI, gagal jantung, pertimbangan revaskularisasi dengan PCI dan CABG, keuntungan dari bioresorbable vascular scaffold, tatalaksana dislipidemia, penyakit jantung katup dan prosedur tatalaksana terkini, diagnosis non-invasif lainnya untuk penyakit kardiovaskular, tatalaksana optimal Stable Ischemic Heart (Bersambung ke hal.4) Panduan Praktik Klinis: Skrining Diabetes untuk Penyakit Jantung Koroner Dari Canadian Diabetes Association Clinical Practice Guidelines Expert Committee. Draft awalnya disiapkan oleh Paul Poirier, Robert Dufour, André Carpentier, dan Éric Larose. Apabila kita bandingkan dengan orang sehat, pasien dengan tipe 1 dan 2 diabetes (terutama wanita) berada pada risiko lebih tinggi pada usia dini untuk terkena penyakit jantung koroner. Sayangnya, sebagian besar tidak memiliki gejala sebelum terjadi infark miokard (MI) yang fatal maupun nonfatal. Oleh karena itu, dianjurkan untuk melakukan skrining pada pasien berisiko tinggi terhadap kejadian vaskular, terutama pasien penyakit jantung koroner (CAD) berat. Pada individu yang berisiko tinggi CAD (berdasarkan usia, jenis kelamin, deskripsi nyeri dada, riwayat MI sebelumnya, elektrokardiogram ketika istirahat normal dan adanya beberapa faktor risiko lain), stress testing bermanfaat untuk penilaian prognosis. Kapasitas latihan sering terganggu pada orang dengan diabetes karena tingginya prevalensi obesitas, gaya hidup santai, neuropati perifer (baik sensorik maupun mo-torik) dan adanya penyakit pembuluh darah. Bagi mereka yang tidak mampu untuk melakukan tes latihan, mungkin diperlukan suatu uji fungsi pencitraan seperti stres tes pencitraan nuklir atau farmakologik. Sebagian besar teknik pencitraan telah terbukti bermanfaat dalam studi prospektif untuk mengidentifikasi pasien risiko tinggi. Namun, sejauh ini, tidak ada studi head-to -head untuk menunjukkan yang terbaik sekaligus hemat biaya. REKOMENDASI 1. Satu EKG istrahat harus dilakukan pada individu dengan salah satu berikut yang berikut [Grade D, konsensus]: Usia> 40 tahun; lamanya diabetes> 15 tahun dan usia> 30 tahun; kerusakan organ target (mikrovaskular, makrovaskular); memiliki faktor risiko jantung PJK. 2. Ulangan EKG istirahat sebaiknya dilakukan setiap 2 tahun pada pasien dengan diabetes [Grade D, Konsensus] . 3. Orang dengan diabetes harus menjalani pemeriksaan untuk CAD dengan EKG stress testing sebagai tes awal [Grade D, Konsensus] apabila didapati hal-hal berikut ini: [a]. Gejala jantung yang khas atau atipikal (seperti sesak nafas yang tak dapat dijelaskan sebab-sebabnya, rasa ketidaknyamanan di dada) [Grade C, Level 3 (4)]. [b]. Tanda-tanda atau gejala-gejala yang berhubungan dengan penyakit-penyakitnya: Penyakit Arteri Perifer (indeks ankle-brachial abnormal) [Grade D ,Level 4 (9)]; Bruit karotis [Grade D , Konsensus]; Serangan iskemik transien (TIA) [Grade D, Konsensus]; Stroke [Grade D, Konsensus]; [c]. Terdapat kelainan pada EKG istirahat (misaln- ya terdapat gelombang Q) [Grade D, Konsensus] 4. Stress echocardiografi farmakologik [dengan dobutamin] atau pencitraan nuklir harus dilaksanakan pada individu dengan diabetes dengan kelainan EKG istirahat yang menghalangi penilaian EKG stres test (blok pada bundel cabang kiri atau kelainan gelombang ST-T ) [Grade D, Konsensus]. Selain itu, individu yang membutuhkan pengujian stres dan tidak mampu berolahraga harus menjalani uji stress echocardiografi farmakologik [dengan dobutamin] atau pencitraan nuklir [Grade C, Level 3(22)]. 5. Individu dengan diabetes yang menunjukkan iskemia pada latihan kapasitas rendah (< 5 setara metabolik [METs]) pada stress testing harus dirujuk ke spesialis jantung [Grade D, Konsensus] . (P. Poirier et al./ Can J Diabetes 37 (2013) S105-S109) Budhi S. Purwowiyoto 2 205/Thn.XX/Mei-Juni 2014 S Tabloid Profesi KARDIOVASKULER STT no. 2143/SK/Ditjen PPG/STT/1995 tanggal 30 Oktober 1995 ISSN : 0853-8344 SUSUNAN REDAKSI Ketua Pengarah: Prof.DR.Dr. Budhi Setianto, SpJP(K), FIHA Pemimpin Redaksi: Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP Redaksi Konsulen: Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K) Prof.DR. Haris Hasan, SpPD, SpJP(K) Dr. Budi Bhakti Yasa, SpJP(K) Dr. Fauzi Yahya, SpJP(K) Dr. Antonia A. Lukito, SpJP(K) Tim Redaksi: Bidang Cardiology Prevention & Rehabilitation Dr. Basuni Radi, SpJP(K) Dr. Dyana Sarvasti, SpJP Bidang Pediatric Cardiology Dr. Indriwanto, SpJP(K) Dr. Radityo Prakoso, SpJP Bidang Cardiovascular Emergency Dr. Noel Oepangat, SpJP(K) Dr. Isman Firdaus, SpJP Bidang Clinical Cardiology Dr. Sari Mumpuni, SpJP(K) Dr. Rarsari Soerarso, SpJP Bidang Interventional Cardiology Dr. Doni Firman, SpJP(K) Dr. Isfanudin, SpJP(K) Bidang Echocardiography Dr. Erwan Martanto, SpPD, SpJP(K) Dr. BRM. Ario Soeryo K., SpJP Bidang Cardiovascular Intensive Care Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP(K) Dr. Siska Suridanda, SpJP Bidang Cardiovascular Imaging Dr. Manoefris Kasim, SpJP(K) Dr. Saskia D. Handari, SpJP Bidang Cardiac Surgery & Post-op Care Dr. Bono Aji, SpBTKV Dr. Pribadi Boesroh, SpBTKV Dr. Rita Zahara, SpJP Bidang Vascular Medicine Dr. Iwan Dakota, SpJP(K) Dr. Suko Ardiarto, PhD, SpJP Tim Editor: Dr. Sidhi Laksono Purwowiyoto Fotografer: Dr. M. Barri Fahmi Harmani Sekretaris/Keuangan: Endah Muharini Bagian Iklan: Bimo Sukandar Bagian Perwajahan: Asep Suhendar Alamat Redaksi dan Tata Usaha: Wisma Harapan Kita Bidakara, Lt.2, RS Jantung Harapan Kita, Jln. S Parman Kav. 87, Jakarta 11420, Telp: 02170211013 atau Telp/Fax.: 5602475 atau 5684085-93 pes. 5011 e-mail : [email protected] atau [email protected] Penerbit: H&B Heart & Beyond PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia) Manajemen: Yayasan PERKI Pencetak: PT. Oscar Karya Mandiri, Jakarta Tabloid Profesi KARDIOVASKULER diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Tabloid unik ini memang bereda dengan media kedokteran lainnya. Tata letaknya sedikit konservatif tapi enak dipandang. Bukan media yang berkesan ilmiah, tetapi media ilmiah yang sangat terjaga akurasinya, ditulis dengan bahasa tutur yang enak dibaca. Tabloid KARDIOVASKULER memang merupakan sarana untuk menyampaikan setiap informasi kedokteran mutakhir --khususnya terkait bidang kardiovaskuler-bagi seluruh dokter Indonesia. Di era globalisasi, dikenal pemeo "so many journals, but so little time". Untuk itulah Tabloid KARDIOVASKULER hadir, membawa berita ilmiah kardiovaskuler terkini. Diedarkan terbatas khusus untuk dokter Indonesia. Infak ongkos cetak/kirim Rp150.000/tahun, transfer melalui Bank Mandiri acc: Tabloid Profesi Kardiovaskuler, RK no. 116-0095028024, Sandi Kliring: 008-1304 KK. Harapan Kita, Cab. S. Parman, Jakarta. Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP Pemimpin Redaksi alam Pembaca. Pembaca setia tabloid Profesi Kardiovaskuler, edisi kali ini adalah edisi bulan Mei dan Juni 2014, dengan mengedepankan sorotan kegiatan acara ilmiah Perki Jaya, the Jakarta Cardiovascular Summit 2014 yang berlangsung pada 17-18 Mei 2014 yang lalu di Hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta sebagai Headline. Acara ilmiah ini bertema “Optimizing Cardiovascular Treatment” Panduan praktis klinis diabetes untuk penyakit jantung koroner. Sebagian fotofoto kegiatannya kami lampirkan dalam halaman 2 ini pada kolom Galeri Foto. Kardiologi kuantum yang biasa dibawakan oleh Prof Budhi, kali ini membahas tentang Teori Ketidakpastian Heisenberg. Selanjutnya artikel bagian terakhir dari Qalbu dalam perspektif cardioneuroscience oleh dr. Manoefris Kasim, SpJP(K). Artikel ilmiah menarik lainnya yaitu: Amiodarone, Sang Obat Dewa? bagian akhir dari artikel Profil Rhabdomioma, Tumor Jantung Janin yang Jarang, dan bagian akhir pula dari sejarah departemen kardiologi, yang jangan sampai dilewatkan. Sponsored article dapat disimak di halaman penutup, tentang pengendalian kadar LDL sebagai Primary maupun Secondary prevention. Segenap jajaran redaksi Tabloid Profesi Kardiovaskuler mengucapkan selamat atas terpilihnya Dr. dr. Ismoyo Sunu, SpJP(K), FIHA, FAsCC, FICA sebagai President Elect PP PERKI dan dr. Sunarya Soerianata, SpJP(K), FIHA, FESC, FACC, FAsCC, FSCAI, FAPSIC sebagai Ketua Kolegium PP PERKI periode 2014-2016 pada acara KOPERKI (Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia) ke-15 di Hotel Ambarukmo, Yogyakarta pada tanggal 30-31 Mei 2014. Akhirnya, kami segenap Karyawan dan Staf Tabloid Profesi Kardiovaskuler dan Jajaran Pengurus Pusat PERKI mengucapkan selamat menyambut dan menunaikan ibadah Puasa Ramadhan 1435 H bagi yang melaksanakannya. Selamat membaca.* Jakarta Cardiovascular Summit 2014; Ritz Carlton Hotel - Mega Kuningan Jakarta; 17 - 18 Mei 2014. 3 205/Thn.XX/Mei-Juni 2014 Kardiologi Kuantum (28) Teori Ketidakpastian Heisenberg “...physician must be content to end not in certainties, but rather ini statistical probabilities. The modern cardiologist thus has a right to feel certain, within statistical constraints, but never cocksure. Absolut certainty remains for theologians-and like-minded physicians.” ~ David H. Spodick, 1975 Salam Kardio. Memang berbeda antara ilmuwan dan agamawan, ilmuwan mulai meneliti, bekerja berdasarkan ketidak pastian, sementara agamawan tentu saja berdasarkan kepastian akan kebenaran sabda Tuhan yang termuat di dalam kitab suci-Nya. Oleh karena itu para dokter sebagai anggauta ilmuwan “merasa” kebenarannya terikat dengan probabilitas di dalam ilmu statistik. Namun demikian, kardiologi kuantum sependapat dengan anggapan bahwa kebenaran adalah yang kita yakini saat ini, sampai terbukti berubah di saat yang lain. Kebenaran yang terakhir inilah yang kita pegang untuk beraktivitas selanjutnya. Para dokter selalu mengikuti dengan seksama panduan-panduan internasional dari kelompok pakar yang selalu memberikan arahannya berdasarkan penelitianpenelitian skala besar dengan metodologi dan induksi statistik yang tepat. Oleh ka- rena itu hasil penelitian yang tidak berdasarkan evidence-base yang telah dilakukan dengan metodologi yang benar “tidak dianggap bermutu”, adakalanya disebut sebagai penelitian sampah, terasa sadis sekali istilahnya. Di dalam kehidupan kita sehari-hari yang penuh gerak dinamika kadangkala mendengar bahkan melihat sendiri fenomena tabrakan, entah karena motor yang berjalan dengan kencang sehingga pengemudinya lupa mengerem laju kendaraannya. Di pihak lain orang yang menyeberang tidak memperhatikan adanya kendaraan yang berjalan kencang. Mengantuknya sang sopir sering membawa malapetaka taksi atau bus yang menabrak pembatas jalan, pohon, tabrakan antar kendaraan, diantaranya bahkan masuk jurang. Sampai hari ini Pak Polisi mengukur kejadian-kejadian tersebut dengan akurat berdasarkan posisi, kecepatan linier, rem yang diinjak, geseran kendaraan terhadap jalan raya mengikuti hukum Newton. Nah, bagaimana ketika mengukur kejadian-kejadian di angkasa dengan bendabenda di langit dengan massa yang kecil yang terganggu dengan sistem gaya tarik matahari dan benda-benda besar lainnya sehingga mengganggu hasil pengukuran perjalanan benda-benda di langit seperti orbitnya Uranus, tidak mengikuti hukum alamnya Newton. Nah, meliriklah ilmuwan dengan hukumnya Einstein yang ternyata mampu membuktikan kebenarannya dalam kerangka teori relativitas. Tidak hanya mendapat hadiah Noble melainkan ditetapkan oleh majalah Time menjadi manusia (jenius) abad XX. Werner Karl Heisenberg, adalah ilmuwan istimewa, ia membangun teori yang bertentangan dengan teori Einstein bahkan ketika teori Einstein sedang berada di puncaknya (1927). Teorinya adalah teori tentang ketidak pastian. Kita juga menjadi bingung karena semakin akurat kita menentukan suatu posisi benda (kuantum), makin tidak akurat momentumnya baik energi maupun waktunya. Begitu juga sebaliknya, oleh karena itu benda tidak dapat ditentukan letaknya secara cermat, tidak menentu tempatnya sehingga posisinya bisa di mana saja! Pantaslah kemudian perhitunganperhitungannya dikenal sebagai mekanika matriks. Dunia tersebut oleh pengelola hadiah noble The Royal Swedish Academy of Sciences 2012 dikatakan sebagai dunia kuantum, dalam publikasinya kepada masyarakat umum ketika memberikan hadiah nobel di akhir tahun 2012, memberikan judul pada artikelnya sebagai “particle control in a quantum world”. Tentu saja teori tersebut diterapkan pada benda-benda yang berskala subatom (kuantum) ketika manusia masih belum mampu “menangkap” benda-benda kuantum seperti elektronnya Berillium dan fotonnya atom Riedberg yang sebesar “kue donat”, atom yang terbesar karena besarnya seribu kali atom biasa. Mungkin atom lainnya dapat kita anggap secara awam sebesar kacang (peanut) maka atom Riedberg kirakira seribu kali gedenya alias sebesar donat (donut). Upaya penangkapannya juga unik dengan cara mendinginkannya mendekati angka absolut, menjepitnya dengan medan listrik dan mengukurnya dengan denyutan sinar laser (Haroche, Paris) atau atomnya dijalankan melalui kotak bercermin superkonduktor khusus berdiameter 2,7 mm dan diukur perjalanan foton yang mengikutinya ternyata sepanjang keliling bumi 40.000 km (Wineland). Dalam posisi inilah ion dalam posisi superposisi sehingga pada saat bila pada pasien juga disertai kondisi hipokalemia, hipomagnesemia, bradikardi, maupun penggunaan obat-obatan lain yang dapat memperpanjang interval QT. Namun, jika digunakan sendirian, risiko Torsade de Pointes pada amiodarone relatif kecil (<0,5%), jauh lebih kecil daripada obat antiaritmia kelas III yang lainnya. Efek samping tersebut muncul terutama pada penggunaan amiodarone jangka panjang dengan dosis yang tinggi. Karena itu, dalam kasus aritmia tertentu yang memerlukan penggunaan jangka lama, seperti pada kasus atrial fibrilasi, kita perlu menggunakan dosis efektif yang serendah mungkin, untuk mencegah timbulnya efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa pemeriksaan penunjang juga dapat dilakukan untuk skrining terhadap efek samping yang dapat ditimbulkan oleh amiodarone. Fungsi tiroid dan fungsi hati sebaiknya diperiksa pada awal pemberian obat dan dalam selang waktu enam bulan, dan pemeriksaan elektrokardiografi maupun foto rontgen dada dapat dilakukan setahun sekali ketika pasien kontrol. Pemeriksaan fisik juga penting untuk mendeteksi adanya kelainan pada kulit, mata, maupun sistem saraf, yang dapat muncul pada penggunaan amiodarone jangka panjang. Amiodarone juga berinteraksi dengan banyak obat, yang dapat meningkatkan risiko efek samping. Penggunaan bersamaan dengan anti-aritmia kelas I, eritromisin, atau obat antidepresan trisiklik, ketoconazole, dan beberapa anti-histamin dapat meningkatkan interval QT secara signifikan dan berisiko terjadi Torsade de Pointes. Interaksi amiodarone dan warfarin dapat meningkatkan risiko perdarahan. Penggunaan amiodarone dan digoksin bersama-sama dapat meningkatkan risiko toksisitas digitalis. Penggunaan bersama penghambat β maupun penghambat kanal kalsium sering dijumpai, namun berisiko bradikardi hebat. Sebagai kesimpulan, amiodarone merupakan obat yang sangat baik dan efektif untuk berbagai macam jenis aritmia, terutama pada henti jantung akibat aritmia ventrikel yang membandel. Berbagai efek samping dan risiko akibat pemakaian amiodarone mengakibatkan obat ini harus disimpan sebagai lini terakhir pada aritmia tertentu. Penggunaan pada indikasi yang tepat, dengan dosis yang tepat merupakan kunci kesuksesan terapi amiodarone. Kita sebagai dokter harus tetap bijaksana dalam menentukan terapi, dengan memperhatikan risk-benefit yang ada. (European Heart Journal, 2014; 35: 349-352) Cardiovascular Community (Bersambung ke hal.5) Amiodarone, Sang Obat Dewa? Pasien dengan sindrom koroner akut (SKA) masih menjadi tantangan dalam meningkatkan keluaran meskipun ada kemajuan besar dalam beberapa tahun terakhir. Selama tahun 2013 kemajuan telah dibuat sehubungan dengan pemahaman yang lebih baik mengenai mekanisme dan diagnosa SKA. Studi terbaru memberikan pengetahuan mendasar tentang manajemen yang optimal, khususnya yang berkaitan dengan pemilihan obat antitrombotik. AMIODARONE bukan obat yang asing lagi. Obat ini dikenal sebagai salah satu obat anti aritmia yang penggunaannya paling luas, dan lazim kita jumpai di berbagai rumah sakit pemerintah maupun swasta. Tidak hanya dokter spesialis jantung dan pembuluh darah saja yang sering menggunakan obat ini, bahkan dokter umum pun harus tahu, karena ini merupakan salah satu obat penting dalam algoritme henti jantung, yang tercantum dalam Advanced Cardiac Life Support (ACLS). Walaupun obat ini sering kita temukan dan penggunaannya sangat luas, tidak banyak dokter maupun tenaga medis lain yang mengetahui seluk beluk obat “mujarab” ini. Karena sifatnya yang unik, obat ini dapat digunakan untuk bermacam-macam tipe aritmia, tapi juga memiliki banyak kekurangan, yang sebenarnya membatasi penggunaannya. Amiodarone, berdasarkan klasifikasi Vaughn Williams, termasuk ke dalam obat anti-aritmia kelas III, yang memiliki properti utama penghambat kanal potasium. Efek utama dari obat ini adalah memperlama durasi aksi potensial di otot jantung, sehingga mencegah terjadinya beberapa jenis aritmia seperti yang diakibatkan oleh mekanisme re-entry. Selain itu, obat ini ternyata juga memiliki properti obat antiaritmia kelas satu, yaitu menghambat kanal sodium, yang efeknya akan memperlama periode refrakter jantung. Ditambah lagi kemampuan obat ini sebagai antagonis untuk reseptor α dan β, serta penghambat kanal kalsium, sehingga menurunkan denyut jantung dan menghambat konduksi impuls yang melalui AV node. Segala properti yang dimiliki amiodarone inilah yang membuat obat ini sangat efektif untuk berbagai macam aritmia, seperti pada kasus henti jantung karena fibrilasi ventrikel, untuk penanganan takikardi ventrikel yang tidak stabil, efektif untuk memperlambat denyut jantung pada atrial fibrilasi, dan masih banyak kegunaan lainnya. Selain itu, amiodarone merupakan obat anti-aritmia yang aman untuk penderita aritmia yang disertai gagal jantung ataupun disfungsi ventrikel kiri. Secara farmakokinetik, amiodarone mengalami berbagai proses dalam tubuh hingga akhirnya obat ini dapat menimbulkan efek anti aritmiknya. Absorbsi gastrointestinal obat ini tergolong lambat, dengan hanya 30-50% saja dari total dosis yang dikonsumsi. Setelah itu amiodaron, yang bersifat lipofilik, akan didistribusikan ke berbagai jaringan, terutama ke jaringan lemak, dan sebagian juga akan tertimbun di hati maupun jaringan paru. Sebagian besar obat ini juga terikat dalam protein plasma, sehingga yang beredar bebas dalam darah dan memberi efek hanya sebagian kecil saja dari seluruh dosis yang diberikan. Karena itu, amiodarone memerlukan onset yang lama dan dosis yang tinggi untuk mencapai kadar terapeutik yang diinginkan. Waktu paruh obat ini juga sangat lama, dapat mencapai enam bulan. Obat ini tidak diekskresikan melalui ginjal, melainkan melalui kulit, keringat, dan traktus bilier. Pemberian obat ini secara intravena dapat mempercepat kinerja obat ini, namun harus hati-hati pula karena pemberian yang terlalu cepat dapat mengakibatkan terjadinya hipotensi. Sebagai seorang tenaga kesehatan yang baik, selain mengetahui efektivitas suatu obat, kita juga perlu memahami risiko yang dapat muncul dalam pemberian sebuah terapi. Seperti halnya dengan obat-obat lain, amiodarone ini juga memiliki efek samping dan interaksi obat, dan beberapa diantaranya cukup berbahaya, sehingga kita perlu berpikir dua kali untuk memberikan obat ini pada pasien kita. Amiodarone dapat menimbulkan efek samping kardiak dan non-kardiak. Diantara efek samping kardiak yang sering timbul adalah sinus bradikardi, dan pemanjangan interval QT. Seperti halnya obat anti-aritmia kelas I dan kelas III lainnya, pemanjangan interval QT pada amiodarone dapat mengakibatkan meningkatnya risiko terjadinya Torsade de Pointes, yang dapat mengancam jiwa. Risiko ini semakin meningkat 4 205/Thn.XX/Mei-Juni 2014 Qalbu dalam Perspektif Cardio Neuro Science : Spiritualitas berbasis Tauhid Mengaktifkan Otak Kanan (Bagian ke-4, habis) Penelitian Armour dari Montreal Canada pada tahun 1991, sungguh mengejutkan dengan ditemukannya sel-sel saraf (NEURON) didalam jantung.(7,8) Keberadaan ini juga didukung oleh peneliti dari Lithuania, Neringa Pauziene dkk tahun 2000, dengan jelas terlihat keberadaan sel-sel saraf di dalam jantung melalui mata mikroskop elektron.(9) Lebih jauh Armour mengatakan dengan ditemukannya tidak kurang dari 40.000 sel neuron tersebut dan adanya sel saraf sensorik aferen yang memberikan informasi ke otak melalui aferen saraf simpatis menuju saraf sumsum tulang belakang, dan yang melalui aferen saraf parasimpatis nervus vagus menuju batang otak, yang semuanya diteruskan ke otak. Armour juga mengatakan bahwa ini adalah suatu otak tersendiri yang independen terhadap otak (dalam kepala), dia bisa melakukan fungsi merasakan dan rasa, bisa belajar learning, mengingat (recall memory), berfikir, cognition, dst.., dia menyebutnya LITTLE BRAIN IN THE HEART. Sel-sel saraf (neuron) didalam otot jantung ini memproduksi neuropeptide, suatu hormon namanya calmodulin yang mampu menyimpan proses learning dan memory, yang kemudian beredar melalui aliran darah dan informasinya ditangkap oleh otak (cranial brain). Calmodulin ini banyak ditemui di hyppocampus, cortex pre frontal.(10,11) Itulah mengapa ketika jantung dari donor yang atheist akan memindahkan sifat atheist tersebut kepada resipien, seperti contoh diatas, Graham yang akhirnya dia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri dengan menembakkan pistol kedalam mulutnya (committed suicide, atheist). Bukankah Allah mengatakan, Qalbu itu (jantung) menyimpan qode keimanan (Al Maidah (5): 52). Sains ilmu pengetahuan adalah hanya tools untuk membuktikan kebenaran Ilahiah, jangan dibalik, bisa-bisa pada gilirannya kita menjadi kufur. Janganlah terburu-buru menyalahkan Al Qur'an ketika sains bertentangan dengan Al Qur'an, itu karena ilmu kita belum sampai untuk memahaminya, atau salah dalam menterjemahkan atau menafsirkan kata/ayat tersebut seperti QALBu yang sudah dibahas, sama sekali tidak ada pertentangannya dengan sains. Itulah mengapa para saintis barat menemukan kebenaran Al Qur'an dan kemudian menyatakan keislamannya dengan mengucap dua kalimah shahadat. Seyogianya ilmuwan intelektual muslim menjadikan Al Qur'an untuk membangun hipotesis, dengan demikian direction dari penelitian menjadi terarah konvergen tidak divergen atau bizare ketika hanya mengandalkan akal semata seperti penelitian-penelitian di barat (al Maghribi). Seperti contohnya penelitian Neuro Science dalam bidang meditasi/kontemplasi yang akan dibahas berikut ini. Karena pendekatannya empirik deduktif, ketika hasil-hasil yang didapat sulit bagi mereka melihat benang merahnya dan akhirnya salah dalam mengambil kesimpulannya. Neuro Science adalah bidang ilmu yang mempelajari ilmu tentang otak manusia, dalam berbagai aktifitas kehidupan manusia, hubungan horisontal maupun vertikal sebagai refleksi mahluk ciptaan Tuhan. Andrew Newberg dari Pennsylvania, USA pada tahun 2001, meneliti 8 monk Tibetan Budhist dalam meditasi yang intens (Oneness to Universe) menunjukkan peningkatan aktifitas otak dengan meningkatnya aliran darah ke Cortex Pre Frontal Dorso Lateral Kanan, yang direkam dengan SPECT Brain HMPAO perfusion scan.(12) Kemudian Newberg meneliti kembali pada 3 Franciscan Nuns pada tahun 2003, prayer yang ditujukan pada one GOD phrase yang ada dibible, (bukan ROSARY prayer yang notabene TRINITY base). Hasilnya konsisten terlihat peningkatan aliran darah ke Cortex Pre Frontal Dorsolateral Kanan juga.(13) Nina Azari dari Dusseldorf Germany pada tahun 2001, meneliti 6 guru agama yang religius dari Evangelical Fundamentalist Community, dan 6 mahasiswa sebagai kontrol dari University of Dusseldorf. Grup religius berdoa dengan membaca Mazmur 23 ayat -1 (Psalm 23 verse-1), artinya Lord is my shep erd, Tuhan adalah gembalaku berulang- ulang, kemudian disuntikkan 15 Oxygen untuk melihat rCBF dibawah kamera PET (Positron Emission Tomography). Sedangkan grup kontrol menyanyikan lagu anakanak yang gembira. Grup kontrol terlihat peningkatan aktifitas otak Cortex Pre Frontal Dorso Lateral Kiri. Dan grup religius terlihat peningkatan aktifitas otak Cortex Pre Frontal Dorso Lateral Kanan. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian Azari ini adalah bahwa pengalaman religius ini merupakan fenomena Cognitive.(14) Herrington tahun 2005 membuktikan bahwa kata-kata yang indah menyenangkan akan mengaktifkan Cortex Pre Frontal Dorso Lateral Kiri saja.(15) Sedangkan Cortex Pre Frontal Dorso Lateral Kanan bila didisrupsi dengan stimulus magnet akan menjadi tidak berfungsi, dan keputusan yang diambil pada saat itu akan distorsi melanggar nilai-nilai moral, artinya Cortex Pre Frontal Dorso Lateral Kanan tersebut tempat aktifitas COGNITIVE barbasis moral.(16) Pada pasien dengan gagal jantung atau kerusakan miokard seperti yang dilaporkan oleh Ingrid Kinderman tahun 2012, pada kardiomiopati atau yang spesifik seperti chagas disease, kerusakan miokard tersebut menyebabkan gangguan kognitif.(17) Manoefris Kasim tahun 2013 meneliti 14 subjek sehat, right handed, terdiri dari 8 Muslim, 3 Catholic, 2 Protestan, dan 1 subjek Budhist. Perekaman dilakukan dengan tehnik fMRI (functional MRI dengan BOLD sequence) dan data diproses dengan software perfusion. Terdiri dari 4 sesi, yaitu baseline, meditasi, hearing lagu rohani setiap sesi lamanya 4 menit. Untuk Muslim terdiri dari Dzikir, Shalat, dan Hearing resitasi Al Quran. Sedangkan untuk Katolik atau Protestan berdoa dengan basis ‘ROSARY/TRINITAS (Bapak, Putra dan Roh kudus)‘, membaca Mazmur 23 ayat-1, ke- (Optimalisasi.................... hal.1) Pada hari ketiga, selain symposium untuk dokter, terdapat pula sesi khusus dokter spesialis jantung dan juga sesi khusus perawat sebagai forum untuk saling bertukar pengalaman di lapangan. Sesi khusus dokter spesialis mengundang tim BPJS untuk mensosialisasikan apa yang harus diketahui oleh para ahli jantung tentang penerapan InaCBGs dalam praktek dan prosedur kardiovaskular sehari-hari. Selain itu, sesi ini juga mengangkat topik mengenai tatalaksana tromboemboli terkini, seperti penggunaan antikoagulan setelah penggantian katup, pencegahan atrial fibrilasi, serta pencegahan dan tatalaksana Deep Vein Thrombosis. Perbincangan mengenai “sindroma kardio metabolik” menurut pedoman terkini juga menjadi topik yang hangat, dalam hal ini dibahas tentang hipertensi, dislipidemia serta status hiperglikemik pada sindrom koroner akut. Sesi symposium khusus perawat mengangkat tiga topik besar, antara lain peran perawat dalam tatalaksana sindrom koroner akut, gagal jantung akut dan aritmia. Dalam forum ini dibahas lebih mendalam bagaimana cara penanganan pasien dengan terapi fibrinolitik dan cara perawatan pasien pre serta post prosedur IKP, tatalaksana terkini dalam gagal jantung akut, ventilasi dan terapi cairan pada gagal jantung akut, serta berbagai macam aritmia seperti aritmia maligna, bradiaritmia dan takiaritmia. Disease (SIHD), tatalaksana optimal Diabetic-Cardio dan Renal-Cardio serta tidak ketinggalan tatalaksana optimal dalam bidang vaskular. Selain symposium untuk dokter, JCS 2014 juga menyelenggarakan seminar untuk umum dengan topik “Avoiding Heart Attack” di Ballroom 3 & 5 Hotel Ritz Carlton. Seminar yang berlangsung paralel dengan symposium untuk dokter ini mengundang perhatian publik dengan informasi mengenai pengenalan dini tentang penyakit jantung koroner serta edukasi mengenai gaya hidup dan tatalaksana pada hipertensi. Manoefris Kasim mudian hearing gospel song. Dan untuk Buddhist memusatkan atensi kepada satu titik ONENESS ke universe alam semesta, kemudian hearing Budhist song. Hasilnya menunjukkan peningkatan aktifitas otak Cortex Pre Frontal Dorso Lateral Kanan pada muslim ketika Dzikir, Shalat dan Hearing resitasi Al quran. Dan tidak terlihat aktifitas sama sekali di Cortex Pre Frontal Dorso Lateral Kanan dan Kiri pada Catholic atau Protestan ketika berdoa Rosary/Trinity base, tapi bila berdoa Mazmur 23 ayat -1 terlihat peningkatan aktifitas di Cortex Pre Frontal Dorso Lateral Kanan, dan ketika hearing gospel song terlihat peningkatan aktifitas otak Cortex Pre Frontal Dorso Lateral Kiri. Nah ini untuk yang Buddhist terlihat peningkatan aktifitas otak Cortex Pre Frontal Dorso Lateral Kanan ketika meditasi to ONENESS of God, dan ketika hearing Buddhist Song.(18) Kesimpulan Bahwa QALBu (JANTUNG) sangat sentral dalam keimanan dan ketaqwaan bagi seorang muslim. Jadi QALBu bukan otak ataupun hati/liver atau sesuatu yang abstrak. Qalbu adalah organ jantung dan jantung adalah Qalbu. Meditasi, sembahyang atau kontemplasi bila ditujukan pada ‘ONE GOD” (monotheism), maka aktifitas otak kanannya aktif, aliran darah akan banyak pergi ke otak kanan tersebut. Sehingga fungsi kognitif otak menjadi baik dan sehat. Sains membuktikan ‘Keimanan Tauhid’, (Al-Baqarah (2): 177). (Referensi lihat pada www.tpkindonesia.blogspot.com) Acara ini berlangsung sukses dan meriah, dengan dihadiri lebih dari 400 peserta dari berbagai kalangan baik dokter, perawat maupun masyarakat umum. Berbagai dukungan dari para sejawat kardiologi, mitra sponsor dan panitia membuat acara ini berhasil menyajikan materi yang bermanfaat bagi para klinisi dalam mengoptimalkan tatalaksananya bagi penderita penyakit kardiovaskular. Pada kali ini, JCS bekerja sama dengan www. meetmed.net, sebuah situs internet yang didirikan oleh dr. Roy P. Sibarani, SpPD-KEMD yang menyajikan rekaman video dan materi presentasi dari acara symposium kedokteran di Indonesia, termasuk the Jakarta Cardiovascular Summit 2014. Stephanie Salim SEJARAH DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FK UNIVERSITAS INDONESIA, JAKARTA (6, habis) TERLIHAT juga upaya Dekan FKUI Prof. R. Gandasoebrata dan Direktur RSCM Prof. Dr. Rukmono dalam Instruksi bersamanya no: 01/Tahun 1978, tanggal 13 Oktober 1978 yang mencoba untuk mengintegrasikan semua pelayanan kesehatan kardiologi oleh Bagian Kardiologi FKUI/ RSCM dan Sub-Bagian Kardiologi Penyakit dalam. Rupanya hikmah dari perseteruan/ ketidaknyamanan untuk mengembangkan Kardiologi di FKUI/RSCM terpikir oleh individu-individu yang ingin mengembangkan Kardiologi yang tidak hanya di lingkungan kecil RSCM saja tetapi di Indonesia seperti halnya upaya dr. Sukaman sebagai leader di Bagian Kardiologi FKUI/RSCM untuk membangun sarana dan prasarana Pusat Jantung Nasional (Cardiac Center). Mungkin ini suatu jalan dari Tuhan, pembentukan Rumah Sakit Jantung di respon oleh Ibu Negara Tien Suharto. Mulailah pembangunan fisik dengan peletakan batu pertama pembangunan Gedung Rumah Sakit Jantung (Cardiac Center) Harapan Kita. Pendidikan untuk SDM, baik medik maupun paramedic mulai diadakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Penerimaan pegawai dimulai melalui Depkes RI. Untuk kelancaran Pendidikan dan Latihan Calon Tenaga medis dikeluarkannya Surat Keputusan Menkes nomor 1455/Yan.Kes/PPL/1984 tanggal 17 Desenber 1984 dimana Sdr. Herman staf adm Bagian Kardiologi FKUI/ RSCM pada sebagai anggota Staf Sekretariat (Wakil dari RSCM). Pembangunan fisik telah selesai, namun untuk memulai operasionalnya perlu semua komponen kardiologi mendukung, sedangkan pada saat transisi masih ada 2 tempat di RSCM dan RS.Jantung (Cardiac Center). Pendidikan PPDS masih terpusat di RSCM karena saat itu Prof.Asikin Hanafiah masih mempertimbangkan kelancaran pendidikan. Tentunya untuk berjalannya Rumah Sakit Jantung ini, pihak Yayasan Harapan Kita (Ibu Tien Suharto) dan yang berkepentingan dalam pembangunan Rumah Sakit Jantung menginginkan semua aktivitas kardiologi di RSCM dipindahkan ke RSJHK sehingga untuk memulai operasionalnya berjalan lancar, berarti memerlukan bantuan Institusional dari FKUI. Dengan Surat Keputusan Dekan Fakuiltas Kedokteran Universitas Indonesia nomor 2908/II.A/FK/1985 tanggal 1 Agustus 1985 resmilah pemindahan lokasi dan kegiatan Bagian kardiologi Fakultas Kedokteran universitas Indonesia dari Rumah Sakit Dr. Cipto mangunkusumo ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.* (Kolegium PP Perki) 5 205/Thn.XX/Mei-Juni 2014 Profil Rhabdomioma, Tumor Jantung Janin yang Jarang (Bagian ke-3) Sel-sel rhabdomioma (kiri) tampak jernih dibandingkan sel miokardium normal. Kelainan genetik dapat berhubungan dengan kelainan ini. Yang paling sering adalah TS.17 Sedangkan yang lain misalnya adalah: sindrom Down, sindrom nevus sel basal. Bentuk familial dari TS berupa kelainan dominan autosomal yang dicirikan adanya hamartoma-hamartoma yang menyebar luas dan dapat melibatkan otak, jantung, kulit, dan organ-organ lain. Analisis genetik yang dilakukan pada penderita tumor ini menunjukkan adanya dua gen yang terlibat yaitu:18 (1) TSC-1 pada kromosom 9q34 (gen ini mengode protein hamartin) dan (2) TSC-2 pada kromosom 16p13 (gen ini mengode protein tuberin). (Kardiologi.................... hal.3) yang sama dapat dipelajari energi terbesar dan terkecilnya. Konsep superposisi telah diwacanakan oleh Erwin Schrodinger dalam fisika teorinya tentang “Kucing Schrodinger”. Sekiranya tidak ada teori tentang fisika kuantum, pasti tidak akan melahirkan reaktor nuklir, pembangkit listrik tenaga atom dan bom atom pemusnah masal. Tidak perlu membayangkan bom kuantum, yang perlu adalah menyadari bahwa betapa dahsyatnya Tuhan yang imateri yang sering disebut-sebut di dalam artikel Kardiologi Kuantum yang selalu merujuk pada Candra Jiwa Indonesia. ini adalah prosedur konservatif. Bayi yang baru dilahirkan perlu dievaluasi ekokardiografi dan elektrokardiografi (EKG) secara sering. Ekokardiografi berguna untuk mengevaluasi ruang jantung, katup, dan gradien tekanan di sekitar obstruksi. Bila hasil ekokardiografi tidak konklusif, pemeriksaan MRI jantung dapat digunakan. Pemeriksaan ini memungkinkan untuk merekonstruksi struktur anatomis tiga dimensi secara sempurna dan tidak dibatasi oleh ukuran tubuh dan acoustic window serta memiliki resGambaran sel-sel laba-laba yang khas. olusi spasial dan temporal yang tinggi. Bila prosedur non-invasif gagal unKeduanya adalah gen supresor tumor yang tuk membantu menegakkan diagnosis, membantu dalam regulasi pertumbuhan diperlukan biopsi endomiokardium.19 serta diferensiasi dari miosit yang sedang berkembang. Manajemen komplikasi yang muncul pada neonatus meliputi tatalaksana gagal Rhabdomioma jantung cenderung membesar sampai minggu ke-32 kehamilan jantung dan aritmia. Dua komplikasi inilah dan mengalami regresi setelahnya. Hilangyang paling sering muncul. Biasanya, senya kemampuan sel untuk membelah, yang iring regresi tumor, aritmia pun akan mepada akhirnya menimbulkan apoptosis, ngalami resolusi. Spektrum aritmia yang muncul bisa bervariasi mulai dari takikardia berperan penting dalam menyebabkan regresi tersebut. Ubiquitin diperkirakan mensupraventrikular, takikardia ventrikular, jadi mediator proses regresi ini karena zat dan kontraksi prematur ventrikel yang isoini menstimulasi degradasi miofilamen. lated. Sebagian besar kasus akan mengalami peTakikardia supraventrikular diterapi dengan digoksin atau propanolol. 20 Bila ristiwa regresi ini, baik parsial maupun komplet (terlepas dari ukuran awal tumor). neonatus atau bayi mengalami takikardia Penatalaksanaan utama pada kelainan yang memanjang, takikardi ventrikel harus disingkirkan terlebih dahulu sebelum pasien diberikan digoksin atau verapamil. Inilah yang dianjurkan dalam Guideline ACC/AHA/ESC tahun 2006 tentang manajemen pasien dengan aritmia ventrikel serta pencegahan kematian jantung mendadak. Pasien semacam ini, yang disertai simtom, wajib dievaluasi kondisi hemodinamikanya serta dipantau hasil EKG-nya. Keharusan ini termuat dalam guideline yang sama, dengan kelas rekomendasi I dan level bukti C.21 Untuk takikardi ventrikel, sayangnya, tidak ada satupun antiaritmia yang benarbenar ideal. Pasien pediatrik yang mengalami gangguan irama ini, dalam satu literatur, disarankan untuk diberikan penyekat beta secara intravena atau per oral.22 Takikardia ventrikel yang asimtomatik dan tidak memanjang bukan merupakan indikasi ablasi pada usia muda bila ternyata fungsi ventrikel masih normal. Bahkan, intervensi ablasi menempati kelas rekomendasi III bila diaplikasikan pada aritmia ventrikel dengan kondisi klinis semacam itu. “Keharaman” juga ada pada terapi medikamentosa jika diberikan pada pasien yang kelainan iramanya hanya berupa kontraksi prematur ventrikel yang isolated (level of evidence C).21 Manajemen pembedahan jantung terbuka dilaksanakan bila terjadi kegagalan setelah terapi medikamentosa, deteriorasi hemodinamik yang....... (BERSAMBUNG) Sesungguhnya, perasaan (feeling) manusia juga berada di antara dua kutub positif dan negatif, berbeda dengan akal manusia yang memiliki perspektif yang tak terhingga. Penulis ingin mengatakan disini bahwa perasaan manusia berada pada status kuantum “superposisi”. Percaya (kepada yang transendental) adalah posisi kuantum yang tertinggi yang seyogyanya dimiliki para ilmuwan dan para dokter. Perasaan senang, menerima, menarik berada pada kutub positif dan perasaan sedih, menolak dan tidak suka berada pada posisi negatif. Prof. Soemantri menjelaskan bahwa perasaan yang “superposisi” tersebut terbentuk akibat interreaksinya, saling berpengaruhnya angan-angan (akal) manusia paling lengkap potensinya dengan statusnya sadar maka perasaan manusia menjadi berstatus sadar. Dalam evolusinya kesadaran manusia hidup di tengah-tengah masyarakat dunia yang selalu berkembang dan selalu berubah ini ada dua pilihan bagi jiwanya memilih sikap jiwa positif atau negatif. Pemilihan superposisi seyogyanya di dalam kerangka pemikiran akal saja yang pada situasi tertentu misalnya berada pada posisi diam, hening sejenak, tidur atau sedang mendekatkan diri kepada-Nya. Suasana hidup sehari-hari adalah situasi bagaikan Sang Kusir (akal, angan-angan) sedang mengendalikan 4 ekor kuda; dua ekor kuda di depan dan dua di belakangnya: putih dan kuning di depan dan hitam serta merah di belakangnya. Tali-pengendali (perasaan) yang menghubungkan antara kusir (akal) dan nafsu tersebut agar terkendali dalam suasana jiwa yang positif. Karena jiwa yang sehat akan menghasilkan fisik yang sehat. Di dalam badan yang sehat belum tentu menghasilkan jiwa yang sehat. Kembali kepada teori ketidak pastian tersebut seolah-olah para ilmuwan pemenang hadiah Noble telah terbelah menjadi dua kutub yaitu Niels Bohr, Werner Heisenberg, Wolfgang Pauli, dkk terbukti salah pada satu kutub dan Albert Einstein, Erwin Schroedinger, Louis Victor Broglie, David Bohm, dkk terbukti benar, pada kutub yang lain. Masih ada pertanyaan dari fisikawan terkemuka di Indonesia Liek Wilardjo tentang penelitan yang sifatnya kualitatif, tidak “pasang jarak”— disinterested atau detached—tetapi justru ajur-ajer, meluluhkan diri dengan komunitas yang diteliti? [atau malah meneliti dirinya sendiri] Apakah penelitiannya dianggap menjadi subjektif dan bias karena terlibat secara emosionil? Bagaimana sekiranya semua sentra vitalitasnya berhenti bekerja, angan-angan, perasaan dan nafsunya diam tidak bekerja bahkan sadar, percaya, taat pada pencerahan dari pusat vitalitas yang lebih luhur di dalam dirinya sendiri yang oleh Einstein dianggap sebagai intuisi? Memang kita telah melahirkan masyarakat yang mengagungkan pembantu yang terpercaya (akal) tetapi melupakan anugerah yang agung dari Dia yang Maha Agung, yang disebut intuisi. Itulah kira-kira pesan yang hendak disampaikan oleh Albert Einstein. Salam kuantum. Budhi S. Purwowiyoto Transcendence to The Depth of The Heart and Beyond, adalah benang merah yang menghubungkan antara profesi penulis sebagai guru besar, dokter ahli jantung dan pembuluh darah dengan buku yang ditulisnya tentang Candra Jiwa Indonesia. Penulis berusaha melakukan introspeksi ke dalam diri-sendiri, menuju kalbu yang terdalam. Dalam bahasa Indonesia pemahaman makna kata ’jantung’ terasa unik. Ketika berubah orientasi ke dalam dada, bersifat transendental, imanen dan esoteris, maka kata jantung dipahami sebagai hati, atau kalbu, misalnya hatiku berdebar, padahal jantungnya yang berdetak. Atau sembah kalbu, yang mengatur nafas seraya mengucap nama-Nya akan mengatur detak jantung secara teratur tenang. Padahal sebagai bahasa Arab (qalb) dan bahasa Inggris (heart) walaupun esoteris dan maknanya berubah, suku katanya tetap. Kalau Serat Centini, warisan budaya Jawa bercerita tentang kisah perjalanan di darat, termasuk kulinernya pada jaman dahulu. Maka Candra Jiwa Indonesia adalah warisan ilmiah Jawa kepada dunia tentang jiwa manusia serta peta perjalanannya menuju candra ideal sebagai batas akhir dari perkembangan kesadaran manusia. Sekiranya bintang, nur, cahaya yang bersinar di dada Garuda- Pancasila-NKRI, dari sila KeTuhan-an YME, maka Candra Jiwa Indonesia pas untuk memberi sumbangan makna ilmiah kepadanya. Karena konsep yang sudah teruji secara ilmiah di Universitas terkemuka di Eropa tersebut, memang kandungan asli dari bumi Indonesia, dari bangsa Indonesia, dan dipertahankan oleh orang Indonesia pula. Penulis berharap, buku ini membantu memperluas pengetahuan kita tentang jati diri manusia dalam pandangan ilmiah di perguruan tinggi. Walaupun sedikit-banyak menyentuh masalah keyakinan dan kepercayaan justru memberikan dasar pendidikan budi luhur, pembinaan mentalspiritual dan mempertajam empati secara luas kepada siapa saja terutama para mahasiswa. UNTUK TAHAP AWAL PENJUALAN HANYA DI REDAKSI TABLOID PROFESI KARDIOVASKULER dengan nafsu-nafsunya. Suasanya dua sentra vitalitas akal dan nafsu inilah yang membentuk perasaan manusia. Meminjam Teori kuantum sebagai penjelasannya di sini adalah nafsu-nafsu yang status kesadarannya asadar (sesuai pendapat Freud tentang “Das Id”) tersebut juga memiliki dua polaritas yaitu egosentripetal (egoistik yang dapat berubah menjadi egonetral) dan egosentrifugal (sosial dan suprasosial). Kedua nafsu tersebut didukung oleh dua nafsu lainnya yang tidak bermomentum, tidak berpolaritas namun memiliki energi yang saling mendekatkan yaitu sufiah (desire, lust) dan energi yang eksplosif yaitu amarah (passion). Karena nafsu yang statusnya tidak sadar itu berinteraksi dengan akal yang 6 205/Thn.XX/Mei-Juni 2014 Pengendalian Kadar LDL sebagai Primary Prevention maupun Secondary Prevention (Laporan dari Lipid Workshop Collaboration 31 Mei 2014, RS Bogor Medical Center Bogor) Terdapat hubungan linear antara kadar kolesterol total dengan kematian akibat penyakit jantung koroner, oleh karena itu diperlukan penurunan kolesterol yang agresif supaya angka dari kejadian kardiovaskular bisa lebih ditekan. DALAM kuliah yang disampaikan oleh Dr. Daniel Tanubudi, SpJP, FIHA kolesterol menjadi bagian penting dalam penanganan penyakit kardiovaskular berdasarkan dari berbagai epidemiology study maupun clinical study. Salah satu epidemiology study yang membuktikan korelasi antara kolesterol dengan PJK yaitu Seven Countries study. Studi ini dilakukan pada tahun 1958 di Yugoslavia, kemudian meluas ke empat wilayah lain yaitu Eropa Utara, Eropa Selatan, Amerika, dan Asia (Jepang). Ada sekitar 12.000 pasien yang diamati selama 5-40 tahun yang menunjukkan bahwa masyarakat di Eropa Selatan (Portugal, Spanyol, Italia) yang pada umumnya makanannya berupa sayur-sayuran, biji-bijian mempunyai angka kematian karena PJK yang rendah dibandingkan masyarakat Eropa Utara (Denmark,Norwegia, Finlandia). Semakin tinggi angka kolesterol total seseorang maka semakin tinggi juga angka kematian karena PJK. Selanjutnya pada studi klinis seperti WOSCOPS, 4S, AFCAPS, TNT, CARE, LIPID, merupakan suatu Landmark Trial yang dijadikan dasar dalam membuat guideline baik untuk primary prevention maupun secondary prevention. Kesimpulan dari studi-studi tersebut bahwa semakin tinggi kadar LDL semakin tinggi kejadian kardiovaskular. Studi ASCOT pada tahun 2.000, menunjukkan pasien yang belum pernah terkena serangan jantung atau stroke dengan lebih dari 3 faktor resiko diberi statin atau placebo dan diamati selama 5 tahun. Ternyata pada kelompok yang diberi statin, kadar LDL dan kejadian kardiovaskular lebih rendah dibandingkan placebo. Studi AFCAPS yang dilakukan di Texas Amerika pada tahun 1998 dengan 5.600 pasien yang diberikan lovastatin vs. placebo dan diamati selama 5 tahun menunjukkan kelompok lovastatin lebih memberikan benefit yang bermakna. Studi 4S adalah studi untuk secondary prevention, studi ini menarik karena melibatkan 4.444 pasien yang sudah mengalami miocard infarck dan diberikan simvastatin. Dengan penurunan LDL sampai 35 % lebih, angka kejadian re-infark menjadi berkurang. Studi yang lebih baru yaitu studi TNT tahun 2005, meneliti 10.000 pasien PJK dengan kadar LDL yang rendah kurang dari 130 mg/dL. Studi ini bertujuan untuk melihat berapa kadar LDL yang harus dicapai agar pasien tersebut terhindar dari serangan berulang selama 5-10 tahun kedepan dan keamanan mengkonsumsi statin. Hasil dari studi ini didapatlkan target LDL kurang dari 70 mg/dL yang menunjukkan pasien post MI lebih aman dengan kadar LDL kurang dari 70 mg/dL. Pasien dengan subklinis yang berbeda, yaitu pasien usia lanjut, pasien diabetes, pasien stroke dan sebagainya dilakukan penelitian yang berbeda untuk mengetahui efek dengan penurunan LDL dengan statin. Studi dengan populasi khusus seperti Prove it-TIMI yaitu pasien dengan sindrom koroner akut (SKA) melibatkan sekitar 4.000 pasien yang mengalami serangan jantung diberikan statin. Hasil studi ini menunjukkan bahwa kelompok pasien yang kadar LDL turun sampai hampir 50%, serangan jantung berulang bisa diturunkan sampai 16%. Pada pasien dengan pasien diabetes, studi CARDS menunjukkan penurunan relative risk sebesar 40%. Berdasarkan hasil tersebut, guideline menganjurkan pasien diabetes harus lebih menekan kadar LDL. Pada studi PROSPER yang meneliti pasien-pasien dengan usia 70-82 tahun yang diberikan statin ternyata kejadian kardiovaskular lebih rendah dibandingkan kelompok placebo. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok pasien pasca stroke pada studi SPARCLE. Dari bukti-bukti klinis diatas, telah terbukti bahwa LDL perlu diturunkan untuk menurunkan risiko kejadian kardiovaskular sehingga statin masih dianjurkan untuk pasien dislipidemia sebagai primary prevention maupun secondary prevention. Pada kesempatan yang sama, Dr. Hendro Dharmawan SpJP, FIHA membahas mengenai guideline ESC 2011. Dimulai dengan membahas mengenai faktor-faktor risiko yang termasuk Major Risk Factors, Coronary Heart Disease (CHD), atau CHD risk equivalent. Major risk factors terdiri dari jenis kelamin, usia (laki-laki diatas 55 tahun dan wanita diatas 65 tahun), tekanan darah, kolesterol total, HDL kurang dari 40 mg/dL, dan merokok. Faktor risiko tersebut yang akan digunakan untuk menghitung risiko PJK terhadap pasien dislipidemia selama 10 tahun kedepan. Pasien dianggap CHD jika pada pasien tersebut pernah dilakukan tindakan invasif ataupun non-invasif, stable angina, unstable angina, myocardial infarction, clinically significant myocardial ischemia, coronary artery procedures (angioplasty or CABG). Pasien juga dianggap sebagai CHD risk equivalent apabila pasien tersebut memiliki salah satu dari non coronary forms of atherosclerotic disease (PAD, abdominal aortic aneurysm, TIA/Stroke), DM type 2, DM type 1 with target organ damage, dan chronis kidney disease (CKD). Jika pasien tidak memiliki CHD ataupun CHD equivalent maka pasien tersebut dihitung faktor risikonya dengan menggunakan CHD risk assessment SCORE. Terdapat dua chart yaitu High CVD dan Low CVD, Indonesia termasuk dalam High CVD. Maka akan diketahui berapa skor pasien tersebut akan terkena PJK untuk 10 tahun kedepan. Hasil dari penghitungan tersebut tersebut kemudian dimasukkan ke dalam risk assessment berdasarkan guideline ESC 2011 yang terbagi menjadi 4 kelompok yaitu: 1. Very High Risk - Diketahui telah mempunyai CVD - DM tipe 2 atau tipe 1 dengan kerusakan target organ - CKD dengan eGFR < 60 ml/min/1.37m² - Risiko SCORE diatas 10% 2. High Risk - Mempunyai familial dislipidemia dan hipertensi berat - Risiko SCORE > 5% dan < 10% 3. Moderate Risk - Risiko SCORE > 1% dan < 5% 4. Low Risk - Risiko SCORE < 1% Apabila pasien memiliki CVD, diabetes, atau CKD maka pasien tersebut tidak perlu dihitung SCORE lagi karena sudah otomatis masuk ke dalam kelompok very high risk. Sedangkan apabila pasien tidak memiliki CHD, CHD risk equivalent, dan SCORE dibawah 5% maka pasien tersebut d icek menggunakan assessment diagnostic criteria for the clinical diagnosis of heterozygous familial hypercholesterolemia. Apabila berdasarkan assessment tersebut ternyata skor diatas 8 maka pasien tersebut termasuk ke dalam familial hypercholesterolemia dimana pasien tersebut secara otomatis masuk ke dalam kelompok High Risk walaupun CHD risk dibawah 5%. Pada guideline ESC 2011 ini, apabila target absolute seperti pada tabel. tidak berhasil dicapai maka pasien dengan risiko menengah atau tinggi, kadar LDL minimal harus diturunkan sebesar 30-40% dari nilai awal, sedangkan pada pasien dengan risiko sangat tinggi kadar LDL target minimal 50 % dari nilai awal. Penatalaksanaan dislipidemia, yang pertama tetap dengan life style intervention atau perubahan gaya hidup. Intervensi gaya hidup harus dilakukan pada semua pasien tanpa memandang tingkat resiko PJK nya kecuali mereka dengan resiko kardiovaskular rendah dengan kadar LDL dibawah 100 mg/dl (mereka hanya perlu diyakinkan untuk mempertahankan gaya hidup). Meskipun telah ditetapkan bahwa seseorang perlu diterapi obat, intervensi gaya hidup tetap harus dilaku- kan bersamaan dengan terapi obat. Pada prinsipnya intervensi gaya hidup terdiri dari diet, olah raga, mengurangi alkohol, dan berhenti merokok. Kalau hal tersebut dilakukan maka akan menurunkan LDL, TG dan meningkatkan HDL. Diet dan olah raga hanya dapat menurunkan LDL maksimal 15-20% (terutama bagi mereka dengan tingkat risiko PJK rendah). Untuk aktifitas fisik dapat disarankan aktifitas dengan intensitas menengah selama minimal 30 menit sehari dan dilakukan minimal 3 kali seminggu atau sebaiknya setiap hari. Untuk pasien dengan berat badan berlebih, diskusikan penurunan berat badan sebesar 10%. Terapi obat segera dengan statin hanya di anjurkan bagi mereka yang mempunyai risiko kardiovaskular tinggi atau sangat tinggi. Pada individu dengan risiko kardiovaskular tinggi, terapi obat di anjurkan jika kadar LDL-C mereka > 100 mg/dl dan bagi mereka dengan risiko kardiovaskular sangat tinggi terapi obat di anjurkan jika kadar LDL > 70 mg/dl. Dengan mengetahui kemampuan menurunkan LDL dari berbagai golongan statin, maka kita dapat memilih golongan statin mana yang tepat untuk menurunkan kadar LDL pasien kita. Caranya adalah dengan menghubungkan persentase penurunan LDL yang ingin dicapai dengan persentase penurunan kadar LDL yang dapat dicapai oleh golongan statin tertentu (makin besar dosis statin, maka penurunan kadar LDL juga semakin besar). Sebagian orang dengan tingkat risiko kardiovaskular tinggi atau sangat tinggi tidak dapat mencapai target absolute LDL-C jika kadar LDL awal diatas 60% target absolute tersebut. Dalam keadaan ini dapat dipilih dua cara penyelesaian. Pertama, gunakan statin poten dosis tinggi misalkan rosuvastatin 40mg atau atorvastatin 80mg. Kedua, bisa dikombinasikan statin dengan ezetimibe. Kesimpulan yang dapat diambil adalah intervensi gaya hidup masih merupakan modalitas yang penting di dalam penatalaksanaan klinis. Peningkatan kadar kolesterol LDL adalah target utama yang harus diterapi dengan berdasar pada tingkat risiko, target LDL-C absolute harus dicoba dicapai sebelum mempertimbangkan target relative.*