Rawat Jalan Dini Pasien Infark Elevasi Segmen ST Pasca Intervensi

advertisement
Perangko Berlangganan No.11/PRKB/JKP/DIVRE IV/2013
ISSN : 0853-8344
Harga eceran Rp.9.000,-
199/Thn. XIX/Oktober 2013
e-mail: [email protected] / [email protected];
kardiovk;
@kardio_vaskuler;
tpkindonesia.blogspot.com
Rawat Jalan Dini Pasien Infark
Elevasi Segmen ST Pasca Intervensi
Koroner Perkutan Primer
INTERVENSI koroner perkutan primer (IKPP)
secara signifikan mengurangi mortalitas
dan morbiditas pasien infark miokard elevasi
segmen ST (IMEST) dibandingkan dengan
pemberian trombolisis dan lebih disarankan untuk tindakan reperfusi.
Panduan klinis menyebutkan bahwa
lama rawat di rumah sakit pasien yang
dirawat dengan IKPP oleh sebab IMEST
berkurang oleh karena penurunan komplikasi post infark yang dini (seperti aritmia, gagal jantung, iskemia rekuren dan
kematian) serta memperbaiki stratifikasi
risiko pasien IMEST, tidak terdapat rekomendasi mengenai durasi rawat inap yang
tepat post tindakan IKPP.
Beberapa studi menunjukkan aman
untuk memulangkan pasien IMEST dalam
waktu tiga atau empat hari setelah dilakukannya IKPP. Walau demikian, studi
yang menilai keamanan dan kelayakan
rawat inap yang singkat setelah IKPP
sangatlah sedikit dan kurangnya nilai
kekuatan penelitiannya.
Dilakukanlah studi oleh Noman et al.
untuk menilai keamanan rawat jalan yang
singkat pada pasien IMEST yang telah
dilakukan IKPP dengan menganalisis
mortalitas dini dan jangka panjang setelah
pasien dirawat jalan.
Analisis restrospektif dari 2448 pasien
IMEST yang dilakukan IKPP yang selamat
sampai pasien dirawat jalan. Mortalitas oleh
sebab apapun setelah dirawat jalan dilapor-
kan pada hari 1, 7 dan 30 serta follow up
jangka panjang. Total 1542 pasien (63%) dirawat jalan dalam dua hari (kelompok
rawat jalan dini) dan 906 pasien (37%) setelah dua hari (kelompok rawat jalan lanjut).
Kedua kelompok, tidak terdapat kematian pada hari 1 setelah dirawat jalan.
Mortalitas kelompok rawat jalan dini dan
lanjut muncul pada hari ke 7 dengan 0 dan 4
pasien (0.04%) dan diantara hari ke 7 dan 30
terdapat 11 (0.7%) dan 11 pasien (1.2%).
Selama rerata follow up 584 hari, 178 pasien
(7.3%) meninggal; 67 pasien pada kelompok rawat jalan dini (4.3%) dan 111 pasien
pada kelompok rawat jalan lanjut (12.3%).
Seperti yang diprediksikan, kelompok
rawat jalan dini dan lanjut berbeda dalam
banyak hal yang dapat diprediksikan dalam
beberapa harapa hidup. Sebagai contoh,
kelompok rawat jalan dini lebih banyak
terdapat pada usia muda dan sedikit komorbid serta sedikit penyakit kompleks dan
IKPP dilakukan lebih sering pada radial.
Panduan klinis mengenai manajemen
IMEST menyebutkan bahwa lama rawat
yang singkat (kira-kira 72 jam) sangat beralasan pada pasien dengan risiko rendah
walau bukti klinis sangatlah terbatas.
Studi ini menyimpulkan bahwa rawat
jalan dini (dalam 2 hari) adalah aman dan
laik pada pasien-pasien dengan risiko
rendah. Rawat jalan dini juga mungkin
membantu mengurangi biaya perawatan
kesehatan di setiap instansi kesehatan. (Eur
H Journal: Acute Cardiovasc Care; 2013:
2(3):262-9)
SL Purwo
Insidensi dan Faktor-faktor Risiko Terjadinya Kematian Jantung Mendadak
pada Anak-anak dengan Kardiomiopati Dilatasi
KARDIOMIOPATI dilatasi (KMD) merupakan kelainan jantung familial yang jarang
terjadi pada anak-anak.1,2 Insidensi tahunannya diperkirakan sebesar 0,57 kasus dalam
100.000.3 Walaupun jarang, morbiditas dan
mortalitas pada anak penderita kelainan ini
masih tinggi dan prognosisnya secara keseluruhan adalah buruk, dimana 40 persennya menjalani transplantasi jantung atau
meninggal dalam 5 tahun setelah terdiagnosis. 1,3 Pada suatu studi di India oleh
Kothari SS, dkk ditemukan bahwa perjalanan klinis kelainan ini pada anak-anak
cukup beragam.4 Angka mortalitas tertinggi kelainan ini ada pada kurun waktu
setahun setelah anak terdiagnosis. Jumlah
penderita yang bertahan hidup setahun
setelah presentasi pertama adalah 79%
sedangkan mereka yang bertahan hidup
sampai lima tahun hanya sebesar 65%.
Kematian dini pada dasarnya disebabkan
oleh gagal jantung berat.1
Kematian lanjut karena kelainan ini
biasanya berupa kematian karena henti
jantung mendadak (SCD). Gagalnya ventrikel untuk berfungsi normal menyebabkan munculnya aritmia yang bertanggung
jawab untuk hal tersebut. 1 Di Amerika
Serikat, KMD turut berkontribusi terhadap
angka kematian karena henti jantung
mendadak pada pasien berusia kurang
dari 25 tahun. Menurut perkiraan The Centers for Disease Control and Prevention angka
kematian tersebut adalah sebesar 2000
orang setiap tahun 2
Meskipun telah disepakati akan tingginya risiko kematian pada kelainan ini,
belum ada kesepakatan mengenai apa saja
prediktor-prediktor terjadinya luaran yang
buruk khususnya SCD.1 Hasil studi di India
oleh Kothari SS, dkk menyebutkan bahwa
di antara variabel-variabel prognostik,
hanya variabel usia kurang dari satu tahun,
rasio kardiothorakik yang tinggi, dan rasio
dimensi diastolik ventrikel kiri/ketebalan
dinding posterior yang dihubungkan
dengan luaran yang buruk pada analisis
univariat.4
Sedangkan untuk faktor risiko terjadinya SCD, hanya sedikit informasi yang
tersedia tentang hal tersebut. Hal ini karena, berdasarkan laporan-laporan dari satu
senter studi, insidensi kematian jantung
mendadak pada KMD pediatrik adalah
rendah. Konsekuensinya,
belum ada kriteria yang
konsisten untuk pemasangan ICD sebagai prevensi
primer SCD pada anak-anak
dengan KMD.3
Untuk mengetahui insidensi dan faktor-faktor
risiko kematian jantung
mendadak pada anak-anak
yang menderita kardiomiopati dilatasi dilakukanlah
studi oleh Elfriede Pahl, dkk.
Elfriede Pahl adalah seorang
profesor di bidang kardiologi pediatrik dari Northwestern University Feinberg
School of Medicine. Beliau
tertarik pula pada aspek
klinis dari transplantasi
jantung pediatrik.3,5
Studi ini adalah studi
kohort yang meneliti data
1803 anak dengan kelainan
KMD di PCMR (Pediatric
Cardiomyopathy Registry)
pada rentang waktu 19902009 (yaitu sampai dengan
Februari 2009). Semua pasien memenuhi minimal
satu dari tiga kriteria yang
ditentukan. Kriteria-kriteria
tersebut adalah: 1) kriteria
ekokardiografik yang ketat
(dilatasi ventrikel kiri dan
fungsi sistolik ventrikel kiri
yang menurun); 2) temuan
patologik dari otopsi atau
biopsi endomiokardial; dan 3) bukti klinis
lain yang ditemukan oleh kardiologis.
Anak-anak dengan abnormalitas miokard
karena kausa sekunder yang spesifik
(kelainan endokrin, riwayat kemoterapi,
riwayat kardiotoksisitas terkait obat, aritmia kronis, penyakit parenkim atau vaskular paru, dan penyakit imunologis) telah
dieksklusi dari studi ini.3
Definisi SCD (sebagai luaran primer)
yang dipakai pada studi ini adalah kematian yang muncul < 1 jam setelah onset
kejadian kardiak simtomatik. Data kronologi kematian diambil dari rekam medis.
Laporan-laporan otopsi dan ringkasan(Bersambung ke hal.4)
2
199/Thn. XIX/Oktober 2013
S
Tabloid Profesi
KARDIOVASKULER
STT no. 2143/SK/Ditjen PPG/STT/1995
tanggal 30 Oktober 1995
ISSN : 0853-8344
SUSUNAN REDAKSI
Ketua Pengarah:
Prof.DR.Dr. Budhi Setianto, SpJP(K), FIHA
Pemimpin Redaksi:
Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP
Redaksi Konsulen:
Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K)
Prof.DR. Haris Hasan, SpPD, SpJP(K)
Dr. Budi Bhakti Yasa, SpJP(K)
Dr. Fauzi Yahya, SpJP(K)
Dr. Antonia A. Lukito, SpJP(K)
Tim Redaksi:
Bidang Cardiology Prevention & Rehabilitation
Dr. Basuni Radi, SpJP(K)
Dr. Dyana Sarvasti, SpJP
Bidang Pediatric Cardiology
Dr. Indriwanto, SpJP(K)
Dr. Radityo Prakoso, SpJP
Bidang Cardiovascular Emergency
Dr. Noel Oepangat, SpJP(K)
Dr. Isman Firdaus, SpJP
Bidang Clinical Cardiology
Dr. Sari Mumpuni, SpJP(K)
Dr. Rarsari Soerarso, SpJP
Bidang Interventional Cardiology
Dr. Doni Firman, SpJP(K)
Dr. Isfanudin, SpJP(K)
Bidang Echocardiography
Dr. Erwan Martanto, SpPD, SpJP(K)
Dr. BRM. Ario Soeryo K., SpJP
Bidang Cardiovascular Intensive Care
Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP(K)
Dr. Siska Suridanda, SpJP
Bidang Cardiovascular Imaging
Dr. Manoefris Kasim, SpJP(K)
Dr. Saskia D. Handari, SpJP
Bidang Cardiac Surgery & Post-op Care
Dr. Bono Aji, SpBTKV
Dr. Pribadi Boesroh, SpBTKV
Dr. Rita Zahara, SpJP
Bidang Vascular Medicine
Dr. Iwan Dakota, SpJP(K)
Dr. Suko Ardiarto, PhD, SpJP
Tim Editor:
Dr. Sidhi Laksono Purwowiyoto
Fotografer:
Dr. M. Barri Fahmi Harmani
Sekretaris/Keuangan:
Endah Muharini
Bagian Iklan:
Bimo Sukandar
Bagian Perwajahan:
Asep Suhendar
Alamat Redaksi dan Tata Usaha:
Wisma Harapan Kita Bidakara, Lt.2,
RS Jantung Harapan Kita,
Jln. S Parman Kav. 87, Jakarta 11420,
Telp: 02170211013 atau Telp/Fax.: 5602475
atau 5684085-93 pes. 5011
e-mail : [email protected] atau
[email protected]
Penerbit:
H&B
Heart & Beyond PERKI
Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP
Pemimpin Redaksi
alam untuk seluruh pembaca setia Tabloid
Profesi Kardiovaskuler. Pada edisi bulan
Oktober 2013 ini seluruh jajaran Tim Redaksi Tabloid Profesi Kardiovaskuler mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Adha 1434 H. bagi
yang merayakannya. Kami juga mengucapkan
Selamat kepada DR. dr. Amiliana M.S, SpJP(K)
FIHA atas terpilihnya menjadi Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI.
Artikel pilihan pada tabloid edisi ini kami
buka dengan Rawat Jalan Dini Pasien Infark Elevasi Segmen ST Pasca Intervensi Koroner Per
kutan Primer sebagai Headline. Artikel tersebut
kami jadikan headline karena mengandung informasi yang bermanfaat bagi pelayanan pasien.
Artikel berikutnya tentang Insidens dan Faktor Risiko Kematian Jantung Mendadak Pasien
Anak dengan Kardiomiopati Dilatasi. Halaman
kedua kami sajikan galeri foto pelepasan PPDS
baru yaitu anggota baru PERKI.
Seperti biasa Prof Budhi dengan Kardiologi
Kuantumnya mengingatkan kita untuk selalu
Pelepasan Dokter Spesialis Kardiovaskular, 24 September 2013, RSJPD Harapan Kita Jakarta
Transcendence to The Depth of The Heart
and Beyond, adalah benang merah yang
menghubungkan antara profesi penulis
sebagai guru besar, dokter ahli jantung dan
pembuluh darah dengan buku yang
ditulisnya tentang Candra Jiwa Indonesia.
Candra Jiwa Indonesia (CJI) adalah
warisan ilmiah kepada dunia tentang jiwa
manusia serta peta perjalanannya menuju
candra ideal sebagai batas akhir dari
perkembangan kesadaran manusia. Konsep
tersebut telah dibandingkan secara ilmiah
(disertasi Dr. Soemantri Hardjoprakoso:
Indonesisch Mensbeeld als Basis ener Psycotherapie) dengan Candra Jiwa Freud, Adler,
dan Jung di Rijkuniversiteit di Leiden (1956),
Nederland; memang kandungan asli dari
bumi Indonesia, dari bangsa Indonesia, dan
dipertahankan oleh orang Indonesia pula.
Dua orang putra Indonesia R. Soenarto
Mertowardojo dan Dr. Soemantri
Hardjoprakoso telah membuktikan
hipotesis Jung tentang intuisi. Sejak itu
Candra Jiwa Indonesia (Soenarto) berdiri
sejajar bahkan lebih lengkap dari candra
jiwa sebelumnya dari Sigmund Freud, Alfred
Adler, dan Carl Gustav Jung.
Penulisnya berharap, buku ini dapat
membantu memperluas pengetahuan kita
tentang candra manusia dan candra dunia,
karena dapat ’merangkum’ dari yang telah
ada sebelumnya. Walaupun sedikit-banyak
menyentuh masalah keyakinan dan
kepercayaan justru memberikan dasar
pendidikan budi pekerti, pembinaan mental
spiritual dan mempertajam empati secara
luas kepada siapa saja terutama para
mahasiswa.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia)
Manajemen:
Yayasan PERKI
Pencetak:
PT. Oscar Karya Mandiri, Jakarta
Tabloid Profesi KARDIOVASKULER diterbitkan
oleh Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Tabloid unik
ini memang bereda dengan media kedokteran
lainnya. Tata letaknya sedikit konservatif
tapi enak dipandang. Bukan media
yang berkesan ilmiah, tetapi media ilmiah
yang sangat terjaga akurasinya, ditulis
dengan bahasa tutur yang enak dibaca.
Tabloid KARDIOVASKULER memang
merupakan sarana untuk menyampaikan
setiap informasi kedokteran mutakhir
--khususnya terkait bidang kardiovaskuler-bagi seluruh dokter Indonesia.
Di era globalisasi, dikenal pemeo "so many
journals, but so little time". Untuk itulah
Tabloid KARDIOVASKULER hadir, membawa
berita ilmiah kardiovaskuler terkini.
Diedarkan terbatas khusus untuk dokter Indonesia.
Infak ongkos cetak/kirim Rp150.000/tahun,
transfer melalui Bank Mandiri acc:
Tabloid Profesi Kardiovaskuler,
RK no. 116-0095028024, Sandi Kliring: 008-1304
KK. Harapan Kita, Cab. S. Parman, Jakarta.
sadar, kali ini terkait dengan Hari Raya Qurban. Di bawahnya adalah artikel dari sponsor
kami.
Artikel berikutnya tentang nefropati terkait
warfarin yang sering luput dari perhatian. Bagi
yang mengikuti Sejarah Kardiologi, pada edisi
ini telah memasuki bagian ke empat.
Lalu ada artikel liputan Kuliah tamu di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
FKUI yang dibawakan oleh dr. Delvac Oceandy, PhD sebagai pembicara. Topiknya adalah
tentang peran Plasma Membrane Ca2+-ATPase
sebagai target terapi di masa depan. Berikutnya
artikel menarik untuk disimak menyangkut
keamanan menurunkan laju nadi pada pasien
STEMI pasca Primary PCI dengan menggunakan
ivabradin.
Halaman terakhir kami sajikan artikel tentang warfarin lagi, kali dibandingkan dengan
dabigatran.
Demikian sajian artikel kami edisi bulan
Oktober ini, selamat membaca.***
Penulis
Segenap jajaran Pengurus Pusat Perki
dan Tabloid Profesi Kardiovaskuler
mengucapkan selamat
kepada Dokter SpJP baru lulusan Juli 2013:
dr. Erwin Mulia, SpJP
dr. Ignatius Yansen Ng, SpJP
dr. Rendi Asmara, SpJP
dr. Bimo Bintoro, SpJP
dr. Haryadi, SpJP
dr. Kabul Priyantoro, SpJP
dr. Celly Anantaria, SpJP
dr. Hendra Ginting, SpJP
dr. I Made Putra Swi Antara, SpJP
dr. Edrian, SpJP
dr. Ika Komar, SpJP
dr. Wishnu Aditya Widodo, SpJP
: Budhi Setianto
Purwowiyoto
Penyunting : Puji Santosa
Penerbit
: H&B / Heart and
Beyond PERKI
Size
: 143 x 205 mm
Tebal
: xvii (dwi halaman) +
102 (dwi halaman)
Kertas
: Book paper BW
Cover
: Art Carton 310 gr F/C
Harga
: Rp. 75.000,(belum termasuk ongkos kirim)
UNTUK TAHAPAWAL PENJUALAN
HANYADENGAN PIHAK KANTOR KAMI.
dapatkan HARGA KHUSUS bila Anda
datang membeli langsung di alamat:
Redaksi dan Tata Usaha
Tabloid Profesi KARDIOVASKULER
3
199/Thn. XIX/Oktober 2013
Kardiologi Kuantum (22)
Tri Hita Karana, Pemali, dan Asketisme Kurban
“The ideas of the moral order and of God belong to the ineradicable substrate of the human
soul.” ~C.G. Jung, Dreams~
SALAM KARDIO. Baru-baru ini Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono membuka
konferensi internasional Tri Hita Karana
Pembangunan Berkelanjutan yang berfokus
pada pariwisata, sebagai bagian aktivitas
KTT APEC 2013, di Nusa Dua, Bali, Minggu
siang. Selanjutnya ANTARA News memberitakan bahwa “Tri Hita Karana adalah
filosofi masyarakat Bali di mana manusia
harus menjaga tiga elemen keharmonisan,
yaitu manusia dengan lingkungan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia
dengan Tuhan, jika ketiganya tercapai
maka kemakmuran akan terwujud,” kata
Yudhoyono.
Pariwisata dalam konteks pembangunan
ekonomi berkelanjutan dan merata —salah
satu tiga pilar yang diusung Indonesia—
menarik perhatian para anggota ekonomi
KTT APEC 2013. Isu ini cukup sentral karena bisa mendorong berbagai sektor lain
bergerak bersama. Disayangkan, ketiga
elemen Tri Hita Karana itu, belum bisa diseimbangkan saat ini. Beberapa aktivitas
perekonomian masih berbenturan dengan
keberlangsungan kelestarian lingkungan
hidup. Oleh sebab itu, Presiden RI menyerukan setidaknya ada empat aksi bersama
yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan elemen tersebut, terutama di bidang
ekonomi dan lingkungan.
Pertama, negara-negara harus siap beradaptasi dan berkembang menghadapi
perubahan yang ada, terutama dalam hal
lingkungan hidup. Kedua, negara-negara
harus jujur dalam mengenali kekuatan dan
kekurangan dalam menghadapi isu ling-
kungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Ketiga, negara-negara harus
mempercepat integrasi antara kebutuhan
lingkungan yang lestari terhadap strategi
pembangunan. Keempat, pemerintah dan
para pemangku kepentingan lain harus
menjalin kerjasama. “Kurangi persaingan
geopolitikal yang ada, keempat aksi bersama itu dapat diterapkan dalam sektor
pariwisata sehingga generasi mendatang
masih dapat menikmati keindahan alam
yang sekarang ada,” kata Presiden.
Pemali, adalah larangan-larangan yang
seyogyanya diikuti oleh manusia untuk dicegah karena akan menyebabkan rusaknya
lingkungan, ketidak harmonisan hubungan
sesama manusia dan akhirnya manusia akan
semakin jauh dari Tuhannya. Ajakan hidup
sehat sebenarnya sudah mengandung larangan untuk tidak memanfaatkan hasil
bumi yang merusak tubuh seperti tembakau
untuk merokok, ganja dan kokain untuk
mabuk-mabukan termasuk alkohol yang
seyogyanya bermanfaat untuk sektor kesehatan malah digunakan untuk merusak
tubuh. Ketika minuman yang memabukkan
itu dipakai oleh pengendara mobil menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas
yang kerap kali merenggut banyak nyawa.
Kenyataannya masih saja harus dibuat
aturan-aturannya agar diikuti dan disertai
dengan ancaman-ancaman bila melanggarnya.
Setiap negara tentu saja memiliki undang-undang yang mengatur tentang
hubungan manusia dengan lingkungannya
untuk menjaga kelestarian kehidupan bersama. Peraturan-peraturan daerah banyak
diterbitkan untuk mengatur ulah manusia
tentang bagaimana harus membuang
sampah serta masalah kebersihan lainnya.
Dilarang merokok di tempat-tempat umum,
di pompa-pompa bensin bahkan tentang
bahaya merokok sudah dicantumkan di
bungkus rokoknya itu sendiri. Kenyataannya manusia masih banyak yang melanggarnya dengan semua konsekwensinya.
Melanggar undang-undang negara dan
segala peraturannya adalah persoalan yang
luas, mulai yang sederhana sampai yang
serius seperti keinginan untuk melepaskan
diri dari suatu negara. Sebaiknya setiap
warga negara mematuhi undang-undang
dan peraturannya agar tercapai harmoni
diantara warga negara dengan pemerintahannya yang memang mendapat amanah
untuk melindungi warga negaranya dengan
peraturan yang adil, seadil-adilnya.
Pemali yang paling mudah dilanggar
didalam kehidupan bermasyarakat adalah
cekcok yang berkelanjutan. Jaman sekarang
percekcokan dari hal-hal yang sepele sering
menjadi tawuran. Masih di bulan Oktober
2013 ketika tulisan ini dibuat tawuran
antara pelajar sekolah bukan lagi dengan
senjata tajam dan tumpul diantara mereka,
sudah ada yang menyiramkan air keras ke
bus yang sedang berjalan dan berakhir
dengan korban anggota masyarakat umum.
Tentu saja pelakunya ditangkap aparat
keamanan untuk diminta pertanggung
jawabannya di depan hukum. Percekcokan
tersebut akan lebih indah bila itu dilakukan di dalam forum-forum diskusi yang
terpimpin dan dikelola dengan baik. Percekcokan yang lebih keras diselesaikan dan
disalurkan dalam olah raga bela diri, tinju,
dan olahraga yang dinamis lainnya seperti
badminton, tenis dan sebagainya.
Jenis pemali unik yang tidak kalah
pentingnya di lingkungan kita yang akhirakhir ini menjadi marak adalah pelampias-
an hawa nafsu luamah (sahwat, seks) terhadap lawan jenis. Sebenarnya pelampiasan hawa nafsu ini menjadi “lumrah” ketika
dilaksanakan dalam koridor pernikahan.
Pernikahan yang indah bukan karena diselenggarakan dengan penuh kemewahan
tetapi justru karena kesederhanaannya.
Cinta yang dibangun antara laki-laki dan
perempuan, direstui oleh kedua orangtua
dari kedua fihak yang terlibat dan disahkan
oleh peraturan agama dan atau negara.
Pengesahan oleh peraturan negara menjadi
sangat penting untuk melindungi anak-anak
yang dilahirkan ada yang mengasuhnya
secara hukum sehingga masih terlindungi
oleh hukum ahli waris sekiranya orang
tuanya meninggal dunia.
Tidak hanya artis yang kurang berhatihati dalam hal sahwat bahkan orang berpendidikan tinggi, berkedudukan tinggi
sampai mereka yang tergolong pendeta dan
ulama. Ada kalanya ketidakhati-hatiannya
itu berakhir diujung kematian akibat penyakit HIV Aids, lebih sulitnya lagi HIV
Aids jaman sekarang dapat ditularkan juga
di luar hubungan seksual. Sekiranya perserongan tersebut menghasilkan anak-anak
yang memiliki masalah hukum bukan
karena kesalahannya sendiri, semoga anakanak tersebut masih mendapatkan kasih
sayang yang memadai dan pendidikan yang
mencukupi dari yang terlibat. Masyarakat
akan ikut menderita sekiranya banyak
anak-anaknya yang dilahirkan dengan
proses yang menyimpang tersebut. Ambil
contoh di kampung-kampung ibukota yang
dihuni oleh turis-turis hitam dari benua
Afrika dan kebetulan terdapat banyak anakanak kecil yang kulitnya hitam legam padahal kedua orang tua mereka berkulit sawo
(Bersambung ke hal.4)
Application submitted to the European Medicines Agency (EMA) for use of Pradaxa® in treatment of deep vein
thrombosis (DVT) and pulmonary embolism (PE) and prevention of recurrent DVT and PE
• Data show Pradaxa® is as effective as the
standard of care while offering safety advantages in the treatment of acute and the prevention of recurrent DVT and PE1,2,3
• Pradaxa® is already approved for the prevention of stroke and systemic embolism in
patients with non-valvular atrial fibrillation
and for the primary prevention of venous
thromboembolic events in patients undergoing elective total hip replacement or total knee
replacement surgery4
• In-market experience with Pradaxa® already
spans over 1.6 million patient-years in all currently licensed indications in over 100 countries worldwide5
thrombosis (DVT) and pulmonary embolism
(PE) and the prevention of recurrent DVT and
PE.*
Ingelheim, Germany, June 24, 2013 – Boehringer Ingelheim today announced the submission
of an application to the European Medicines
Agency (EMA) for use of Pradaxa® (dabigatran
etexilate) for the treatment of acute deep vein
“Given the risk of potentially fatal consequences and recurrences of a deep vein thrombosis or pulmonary embolism, there is a need
for safe and effective therapies to improve outcomes for patients,” said Professor Klaus Dugi,
Professor Klaus Dugi,
Corporate Senior Vice
President Medicine,
Boehringer Ingelheim
Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim. “Our studies have demonstrated that Pradaxa® offers an effective treatment with significant safety benefits compared
to warfarin both for acute treatment as well as
in the long-term prevention of recurrent events.
We are convinced that this treatment option can
provide benefits to patients with acute DVT or
PE, or those at risk of recurrent DVT and PE.”
The EMA submission is based on the results
of four global Phase III studies investigating the
efficacy and safety of Pradaxa® in the treatment
of acute DVT and PE and in secondary prevention of recurrent DVT and PE.1,2,3 In these studies, Pradaxa® was proven to be as effective as
warfarin, with lower rates of clinically relevant
bleeding (which includes major bleeding) and
total bleeding for patients with DVT or PE.1,2,3
When compared to placebo, Pradaxa® prevented nine out of ten episodes of recurrent DVT
and PE.1 The results of the RE-COVER®, RE-
MEDYTM and RE-SONATE® studies have been
published in the New England Journal of Medicine.1,2 All studies are part of the extensive REVOLUTION® clinical trial programme investigating Pradaxa® in multiple indications.
Pradaxa® is already widely approved for the
prevention of stroke and systemic embolism in
patients with non-valvular atrial fibrillation and
for the primary prevention of venous thromboembolic events in patients undergoing elective total hip replacement and total knee replacement surgery. 4 In-market experience with
Pradaxa® already spans over 1.6 million patientyears in all currently licensed indications in over
100 countries worldwide.5
Pradaxa® is currently not approved for the
acute treatment or prevention of recurrent DVT
and PE.
(References available at
www.tpkindonesia.blogspot.com)
SPONSORED ARTICLE
4
199/Thn. XIX/Oktober 2013
Nefropati Terkait Warfarin
PENINGKATAN kreatinin serum > 0.3mg/
dl pada pasien dengan pemberian warfarin
serta nilai INR > 3 disebut dengan nefropati
terkait warfarin (WRN).
Studi pertama mengenai WRN adalah
studi biopsi ginjal pada pasien koagulopati
warfarin yang berkembang menjadi AKI
tanpa penyebab yang jelas. Temuan biopsi
ginjal mengindikasikan AKI disebabkan
oleh perdarahan glomerulus yang luas
menyebabkan obstruksi akibat terbentuknya silinder sel darah merah.
Studi lainnya yang menggunakan 103
pasien CKD yang diobati dengan warfarin
dengan INR > 3, ditemukan 37% pasien
mengalami peningkatan kreatinin serum
> 0.3mg/dl yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Pasien-pasien tersebut mengalami perburukan CKD.
Studi kohort lainnya juga memperlihatkan 4006 pasien dengan INR > 3, 20.5% akan
berkembang menjadi WRN (peningkatan
kreatinin serum > 0.3mg/dl dengan INR > 3
tanpa adanya bukti perdarahan).
WRN dihubungkan dengan penurunan angka harapan hidup, sesuai dengan
beberapa laporan sebelumnya tentang
peningkatan nilai mortalitas pada pasien
hemodialisis kronis yang diberikan
warfarin. Nilai mortalitas dihubungkan
dengan komorbid lainnya seperti diabetes, hipertensi dan penyakit kardiovaskuler.
Beberapa mekanisme terjadinya WRN
diantaranya pengobatan dengan obat yang
cenderung meningkatkan tekanan hidrostatik glomerular dihubungkan dengan
peningkatan risiko WRN. Sebagai tambahan, terapi tambahan aspirin juga dihubungkan dengan peningkatan risiko WRN.
Kedua temuan tersebut konsisten menyatakan bahwa terjadi perdarahan glomerulus
yang menyebabkan obstruksi tubulus yang
mungkin menjadikan mekanisme dominan
terjadinya AKI terkait WRN.
Warfarin digunakan secara luas sebagai
anti koagulan untuk mengobati komplikasi thrombosis. Sekarang ini, lebih dari 30
juta penggunaan resep untuk warfarin
setiap tahunnya di Amerika Serikat.
Banyak studi memperlihatkan bukti
yang nyata bahwa koagulopati warfarin
dihubungkan dengan peningkatan substansial risiko AKI dan mortalitas akut,
terutama pasien CKD. Mekanisme yang
pasti mengenai pathogenesis terjadinya
WRN ini belumlah jelas, dibutuhkan studi
lebih lanjut.
(Kidney International 2011; 80: 181-9)
SL Purwo
(Insidensi.................... hal.1)
portional hazards regression. Lalu digunakan
metode classification and regression tree
(CART) guna menggolongkan sampel menjadi risiko rendah dan tinggi untuk mengalami kejadian SCD.3
Studi ini menemukan bahwa sebagian
besar kausa dari KMD yang ditemukan saat
presentasi awal adalah idiopatik (1286
sampel). Usia rata-rata saat terdiagnosis
adalah 5.3 ± 6.1 tahun. Z-score LV EDD
rata-rata adalah 4.3 ± 2.7 mm. LV fractional
shortening rata-rata adalah 16 ± 9% dan LVEF
rata-rata adalah 28 ± 14%.3
Dari total 280 kematian, kematian karena SCD adalah sebanyak 35, karena nonSCD sebanyak 189, dan karena sebab yang
tidak diketahui sebanyak 56. Persentase
kematian karena SCD adalah 16% dari jumlah total kematian yang diketahui penyebabnya dan 1,9% dari jumlah total yang
hidup dan mati dengan diketahui penyebabnya. Mayoritas SCD (26 sampel, 74%) terjadi <2 tahun setelah presentasi awal.
Adapun kematian karena non-SCD, sebagian besarnya adalah karena gagal jantung
kongestif.3
Terdapat dua macam penerapan metode
CART pada studi ini. Pertama, CART diterapkan dengan menggunakan parameterparameter yang diukur saat KMD terdiagnosis. Kedua, ia diterapkan dengan parameter-parameter saat follow up terakhir.3
Parameter-parameter pada penerapan pertama meliputi: z-score LV PWT saat akhir
diastol, usia saat terdiagnosis, ketebalan
septum saat akhir diastol, serta terapi antiaritmia. Sedangkan pada penerapan kedua
meliputi: z-score LV ESD, usia saat terdiagnosis, serta rasio LV PWT -LV EDD. Penerapan pertama ternyata memiliki sensitifitas hanya 57% sedangkan yang kedua
mencapai 86%.3
Penerapan pertama menggunakan cut off
point -1,73 untuk parameter z-score LV PWT
saat akhir diastol; 13,1 tahun untuk parameter usia saat terdiagnosis; -0,83 untuk
parameter ketebalan septum saat akhir diastol, serta diberikan atau tidaknya terapi
antiaritmia dalam 30 hari sejak presentasi
awal. Risiko tertinggi terjadinya SCD ada
pada sampel dengan z-score LV PWT saat
akhir diastol <-1,73; usia saat terdiagnosis
<13,1; z-score ketebalan septum saat akhir
diastol <-0,83, serta terapi antiaritmia dalam
30 hari sejak presentasi awal.3
Sedangkan penerapan kedua menggunakan cut off point 2,6 untuk parameter
z-score LV ESD; 14,3 tahun untuk parameter
usia saat terdiagnosis; serta 0,14 untuk
parameter rasio LV PWT-LV EDD. Risiko
tertinggi terjadinya SCD ada pada sampel
dengan z-score LV ESD e”2,6; usia saat
terdiagnosis <14,3 tahun; dan rasio LV PWTLV EDD <0,14. Pada kedua penerapan
CART tersebut terdapat kesamaan dan
dapat disimpulkan bahwa risiko SCD makin
tinggi seiring makin berdilatasinya LV,
makin tipisnya dinding posterior LV, serta
makin mudanya sampel saat terdiagnosis.3
Akhirnya, dari studi ini dapat disimpulkan bahwa insidensi SCD dalam lima tahun
pada penderita KMD pediatrik adalah lebih
rendah dibandingkan pada penderita dewasa (<3%) dan faktor-faktor risiko terja-
dinya SCD (dengan sensitivitas 86%) pada
pasien-pasien tersebut adalah: dilatasi LV,
umur saat terdiagnosis yang kurang dari
13-14 tahun, penipisan dinding posterior LV,
serta terapi antiaritmia dalam 1 bulan setelah terdiagnosis. Pasien KMD pediatrik yang
memenuhi kriteria-kriteria risiko tinggi
tersebut dalam jangka waktu lama seharusnya dipertimbangkan untuk dipasang ICD
(Implantable Cardioverter-Defibrillator). Data
hasil studi tersebut memperkuat paradigma sebelumnya bahwa mungkin tidak semua pasien KMD memerlukan pemasangan
ICD.3 (Referensi ada pada Redaksi)
Andi K
ringkasan catatan kematian telah diteliti
untuk memastikan kesesuaiannya dengan
klasifikasi SCD yang telah ditentukan.
Semua data kematian yang ditemukan
lalu dikategorikan menjadi tiga, yaitu: SCD,
kematian jantung non-SCD, serta kematian
dengan sebab tidak diketahui. Sebanyak 56
pasien dengan sebab kematian tidak diketahui tidak diikutkan dalam analisis faktor
risiko. Selain angka kematian, luaran lain
yang dicatat adalah angka kesintasan baik
dengan transplantasi jantung maupun
tanpa even terapi apapun (no event).3
Model stratifikasi risiko yang digunakan
dalam studi ini adalah dengan memanfaatkan pengukuran secara ekokardiografik
saat presentasi awal dan saat evaluasi
tahunan. Parameter yang diukur adalah left
ventri-cular (LV) end-diastolic dimension (EDD),
LV end-systolic dimension, LV fractional shortening, ketebalan septum dan LV posterior
wall thickness (PWT) saat akhir diastol,
massa LV berdasarkan M-mode, dan keberadaan regurgitasi trikuspid atau mitral. Zscore ekokardiografik dari masing-masing
parameter tersebut, kecuali LV EDD dan LV
ESD yang menggunakan usia sebagai
pembanding, dikalkulasi dengan membandingkannya terhadap area permukaan
tubuh masing-masing sampel.3
Angka insidensi kumulatif luaranluaran tersebut diperkirakan dengan menggunakan metodologi competing risks. Faktorfaktor risiko univariat untuk terjadinya SCD
diidentifikasi menggunakan model Cox pro-
(Kardiologi.................... hal.3)
matang, apakah kita masih dapat tersenyum?
Dalam konteks hubungan manusia
dengan Tuhan akan terlihat harmonis
apabila tercapai kesepakatan secara sukarela diantara manusia untuk saling menghormati keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Sangat menyedihkan ketika
melihat dalam surat kabar cetak maupun
elektronik dalam satu agama saja ketika
beribadah dipisahkan oleh sekat padahal
sukunya sama dan menyebut nama Tuhannya dalam istilah yang sama pula. Sudah
terlalu banyak konflik SARA yang secara
kebetulan kita ketahui.
Asketisme kurban. Masih di bulan yang
sama, ASEP SALAHUDIN, Esais dan Dekan
Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya di akhir tulisannya merenungkan spirit berkurban pada Idul Adha
tahun ini diharapkan bisa menyelesaikan
persoalan bangsa, agar kehidupan kembali
menemukan adabnya. Bukankah semangat
berkorban yang diteladankan manusia
pergerakan yang membuat Republik ini
bisa keluar dari jerat kolonialisasi? Berkorban bukan hanya benda, raga, bahkan
nyawa.
Termasuk berkorban dengan menjatuhkan pilihan hidup asketik. Hatta yang tidak
terbeli sepatu Bally, Natsir yang jasnya
robek, Bung Karno yang masih punya utang
80 gulden kepada Karim Oei, Agus Salim
yang hidup dari satu kontrakan ke kontrakan lain sampai akhir hayatnya, Syahrir
yang apa adanya, Tan Malaka yang jarang
berganti pakaian, dan lain sebagainya. Kepada mereka, penghormatan tulus segenap
rakyat dipersembahkan. Kepada keluhuran
budi, sikap jujur, akal sehat, gaya hidup yang
halal, dan satunya kata dengan perbuatan.
Mereka dengan gemilang telah sukses menyembelih “hasrat kebinatangan” ketika
diberi amanah menjadi penyelenggara
negara. Walaupun mereka tidak berkalikali naik haji, tidak terlampaui fasih melapalkan teks kitab suci.
Demikianlah hubungan antara manusia
dengan lingkungan, antar sesamanya dan
kebaktiannya kepada Tuhan YME seperti
yang terasa dalam Tri Hita Karana masih
memerlukan penjelasan. Menjadi lebih jelas
ketika disandingkan dengan konsep Pemali yang berlawanan itu dan diakhiri dengan
semangat menyembelih “hasrat kebinatangan” manusia ketika berhubungan dengan
sesamanya. Salam Kuantum.
Budhi S. Purwowiyoto
5
199/Thn. XIX/Oktober 2013
Sejarah Kardiologi (Bagian Keempat)
Garis besar konsensus tersebut, adalah :



Bagian Kardiologi RSCM sesuai dengan
SK Dirjen Pembinaan Kesehatan no. 862/
P.Kes/D/72, dibentuk untuk lebih menertibkan prosedur kerja untuk meningkatkan efisiensi penggunaan fasilitasfasilitas yang ada demi kepentingan
penderita jantung.
Fasilitas yang merupakan sarana Bagian
Kardiologi terdiri dari fasilitas ex Lembaga Kardiologi Nasional digedung bekas Eyckman bagian depan, Pav V, dua
kamar di Pav Tjendrawasih, Unit Kateterisasi dan ICCU.
Personal Inti bagian Kardiologi RSCM
terdiri dari :
dr. Lie kioeng Foei - Chief de Clinique
dr. Sukaman - Chief de Policlinique
dr. I.S.F. Ranti - Kepala Penelitian, Percobaan dan Laboratorium Kardiopulmonal.
dr. Tagor G.M.Siregar - Koordinator urusan non medik
dr. Lethfi Oesman - Kepala Pendidikan
Post Graduate
dr. Asikin Hanafiah - Berfungsi sebagai
penanggungjawab penderita golongan anak dan membantu Chief de
Clinique dan Policlinique untuk golongan ini
dr. I. Santoso dan dr. Surarso
- Bersama-sama mengepalai Bedah Jantung

Prosedur kerja :
Poliklinik: Poliklinik para penderita
penyakit jantung, hanya dilakukan dipoliklinik Bagian Kardiologi.
Bagian Ilmu Penyakit dalam dan bagian ilmu Kesehatan Anak melalui polikli-
nik kardiologi dapat ikut memfollow-up
para penderita penyakit jantung yang
pernah dirawat di bagian-bagian tersebut

Perawatan Penderita :
1. Para penderita yang perlu dirawat di
fasilitas Bagian Kardiologi dapat disalurkan ke fasilitas perawatan Bagian
Penyakit Dalam/Bagian ilmu Kesehatan Anak, bila fasilitas tidak mengijinkan dan tanggung jawab pengobatan
berada pada bagian-bagian tersebut.
2. Para penyakit jantung yang dirawat
melalui poliklinik bagian Penyakit
Dalam/Bagian Ilmu Kesehatan Anak
dirawat di fasilitas perawatan Divisi
Kardiologi Bagian yang bersangkutan/
dapat disalurkan ke Bagian kardiologi,
bila fasilitas tidak mencukupi. Untuk
penelitian lebih lanjut para penderita
tersebut dapat dipindahkan ke Bagian
kardiologi.
3. Para penderita di Sub Divisi kardiologi
Bagian tertentu dapat meminta konsult
ke Bagian kardiologi yang disalurkan
ke poliklinik Kardiologi.
 Pendidikan :
1. Pendidikan kedokteran mahasiswa kedokteran FKUI, asisten ahli Penyakit
Dalam, asisten ahli Ilmu Kesehatan Anak
sepenuhnya menjadi tanggung jawab
Bagian Penyakit Dalam/bagian Ilmu
Kesehatan Anak. Bila bantuan untuk pendidikan tersebut dalam bidang kardiologi diperlukan, maka Bagian Kardiologi
RSCM akan memberikan bantuan sepenuhnya.
2. Stase asisten-asisten ahli Ilmu Penyakit
Dalam/Ilmu Kesehatan Anak, dapat diterima untuk bekerja di Bagian Kardiologi selama diperlukan.
3. Pendidikan Ahli Penyakit Jantung akan
dilaksanakan di bagian Kardiologi dan
sepenuhnya menjadi tanggung jawab perkumpulan Kardiologi Indonesia.
Para dokter di Bagian Penyakit dalam
yang selama ini mengikuti pendidikan
untuk menjadi seorang ahli penyakit jantung, akan segera dinilai oleh Perkumpulan kardiologi Indonesia.
Lain-lain :
1. Sub-Divisi kardiologi di Bagian ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu kesehatan Anak
sepenuhnya dibina oleh bagian yang bersangkutan
2. Segala fasilitas bagian kardiologi sebagai
milik RSCM/FKUI dapat dipergunakan
pula oleh Bagian-bagian di RSCM/FKUI
dan bagian kardiologi sebagai koordinatornya.
3. Asisten-asisten Bagian Ilmu Penyakit
dalam/Ilmu Kesehatan Anak yang ingin
mendapat pendidikan ahli penyakit
jantung dapat diterima di Bagian kardiologi. Asisten tersebut secara fungsional
dilepaskan sepenuhnya dari bagian asalnya dan setelah selesai pendidikan akan
dikembalikan ke Bagian yang bersangkutan.

Konsensus ini diumumkan pada tanggal 14 September 1972 ditandatangani Dekan FKUI dan Direktur RSCM. Selanjutnya
dari consensus tersebut. Pada tanggal 26
September 1972, Dekan FKUI saat itu
Prof.Dr. Rukmono dan Direktur RSCM Prof.
Dr. O. Odang mengeluarkan Surat Keputusan bersama untuk masing-masing yang isinya memberhentikan kedudukannya di
Lakarnas menjadi tim inti di Bagian Kardiologi RSCM.
(BERSAMBUNG)
PMCA: Target Potensial Terapi Kardiovaskular Masa Depan
BARU-baru ini, di RS Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita, telah diselenggarakan guest lecture (kuliah tamu)
dengan materi yang cukup menarik berjudul
Fixing the Broken Heart: Targeting the Membran Calcium Channel. Kuliah tamu ini menampilkan dr. Delvac Oceandy, Ph.D sebagai pembicara. Acara ini diselenggarakan
pada hari Jumat, 20 September 2013 pagi di
Ruang Konferensi RSJPD Harapan Kita dan
cukup menarik perhatian para residen serta
staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI.
Pihak Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI bukan tanpa alasan dalam mengundang sang pembicara. Di
samping temanya yang cukup menggelitik
dan berkaitan dengan masalah dasar fisiologi kardiovaskular, sang pembicara juga
tidak kalah “menggelitik”. Pria muda asli
Indonesia ini memang punya prestasi yang
tidak bisa dianggap remeh. Beliau adalah
penerima penghargaan Highest Scoring Abstract Presented dari European Society of Cardiology (ESC) pada ajang ESC Annual Congress
di Munich pada tahun 2012, Young Investigator Award 1st Winner dari organisasi yang
sama pada tahun 2006, dan Eumorphia Young
Scientist Communication Award pada 2006.1
Pada acara ini sempat dipaparkan peran
PMCA (plasma membrane Ca2+-ATPases) dalam
bidang kardiovaskular. Paparan tersebut
sekaligus menanggapi pertanyaan sederhana tetapi berbobot dari Prof. dr. Harmani
Kalim, MPH, Sp.JP (K), FIHA tentang perbedaan PMCA1 dan PMCA4 (isoform-isoform dari PMCA) menjelang akhir acara.
Pembicara menjelaskan bahwa PMCA1 dan
PMCA4 memiliki lokasi yang berbeda pada
membran sel serta efek-efek seluler yang
berbeda pula. Topik biomolekuler yang
cukup menarik ini telah menggugah penulis untuk mengangkatnya pada artikel
pendek ini.
PMCA adalah suatu protein transporter
membran plasma semua sel eukariot dan
berfungsi untuk mengeluarkan ion kalsium
dari sitoplasma ke kompartemen ekstraseluler.2-5 Dengan perannya sebagai pompa
kalsium tersebut, PMCA menjadi salah satu
regulator utama konsentrasi ion kalsium
intraseluler. 3,6 PMCA sendiri sebenarnya
memiliki empat isoform yaitu PMCA1 sampai dengan PMCA4. Isoform-isoform tersebut diekspresikan di banyak organ, termasuk jantung, saraf, otot, dan sel astrosit
otak.7,8 Dua isoform dari PMCA yang berperan penting terhadap regulasi fisiologis
sistem kardiovaskular adalah PMCA1 dan
PMCA4, khususnya subtipe PMCA4b yang
memiliki kemampuan untuk berinteraksi
dengan enzim nitric oxyde (NO) synthase.
Interaksi ini akan menyebabkan berkurangnya produksi NO oleh enzim tersebut.3,9
Sedangkan dua isoform lainnya, PMCA2
dan PMCA3, karena bersifat lebih cepat
teraktivasi, banyak terdapat pada sel yang
eksitabel seperti sel saraf dan sel otot.7
Dalam artikel-artikel yang ditulis oleh
Delvac Oceandy, dkk dapat disimpulkan
bahwa, di sel-sel yang eksitabel (seperti sel
otot jantung dan otot skelet), PMCA dianggap mempunyai peran minor dalam homeostasis kalsium (yaitu regulasi konsentrasi global kalsium intraseluler) bila
dibandingkan dengan pompa NCX (sodiumcalcium exchanger), suatu sistem pompa pemindah ion kalsium yang lain.5,10 Namun,
ada bukti yang menunjukkan peran penting
PMCA dalam transduksi sinyal. Contoh
secara khusus, di aspek fisiologi jantung,
adalah modulasi jalur penyinyalan nNOS
(neuronal NO synthase) oleh PMCA4b.10 Selain itu, bukti mutakhir juga menunjukkan
fungsi penting PMCA dalam memerantarai kontraktilitas jantung dan tonus vaskular.5
Sebagai target penemuan obat baru,
bila dibandingkan dengan kanal influks ion
kalsium, PMCA masih tertinggal jauh. Hal
ini terutama karena kurangnya pemahaman
mendetail tentang struktur dan fungsi spesifiknya.4
Dugaan adanya peran penting PMCA
pada jaringan jantung mencakup keterlibatannya pada patofisiologi hipertensi dan
hipertrofi. Peran PMCA pada hipertensi terutama berdasarkan pada kemampuannya
untuk berinteraksi dengan nNOS, zat yang
telah terbukti berperan pada siklus eksitasi-kontraksi miosit jantung (Barouch et al.,
2002; Sears et al., 2003). Interaksi ini diperantarai oleh pengikatan domain PDZ.11 PDZ
sendiri adalah domain interaksi protein
yang sering mengenali motif-motif asam
amino rantai pendek pada ujung C proteinprotein target.12 Bukti-bukti menunjukkan
bahwa inhibisi nNOS (enzim yang tergantung ion kalsium dan kalmodulin) disebabkan karena ia disekuestrasi oleh PMCA pada
lingkungan yang rendah kalsium. Buktibukti itu meliputi: 1) inhibisi tidak muncul
jika yang diuji adalah mutan-mutan nNOS;
2) inhibisi juga tidak muncul jika yang diuji
adalah PMCA4b yang sedikit memiliki domain PDZ; dan 3) ekspresi berlebihan
PMCA4b yang mengalami mutasi pada
Asp672Glu (sehingga mengurangi aktivitas
pompa sebesar kira-kira 90%) ternyata tidak
menyebabkan inhibisi nNOS. Bagaimanapun, peran PMCA pada hipertensi ini masih
memerlukan penelitian lebih jauh.11
Selain PMCA4b, isoform lain, PMCA1,
juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian hipertensi. Ketiadaan PMCA1 pada mencit percobaan menyebabkan peningkatan
ion kalsium basal, peningkatan ion kalsium (karena stimulasi epinefrin) pada selsel otot polos vaskular, vasokonstriksi arteri, dan peningkatan tekanan darah sistolik
pada kondisi istirahat. Dapat disimpulkan
bahwa kurangnya ekspresi dan fungsi
PMCA1 pada pembuluh darah adalah faktor risiko terjadinya hipertensi.4
Adapun kontribusi biomolekuler PMCA
pada proses hipertrofi adalah terkait perannya dalam menghambat aktivasi nuclear factor of activated T-cell (NFAT). Peningkatan
level kalsium intraseluler yang lama dalam
miosit jantung akan menimbulkan hiper(Bersambung ke hal.6)
Keamanan
Penggunaan
Ivabradin IV pada
Pasien IMAEST
dengan IKPP:
Studi Awal
TAKIKARDIA merupakan masalah tersering
yang muncul pada keadaan akut dari infark
miokard akut elevasi segmen ST (IMAEST),
dimana dihubungkan dengan aktivasi
sistem saraf simpatis akibat nyeri atau sebagai fenomena kompensasi dari komplikasi gagal jantung akut.
Hal tersebut dapat meningkatkan imbalans diantara tersedianya oksigen terhadap
daerah yang berisiko (kekurangan oksigen
akibat oklusi dari arteri yang mengalami
infark) dan kebutuhan oksigen miokard,
dimana keduanya memainkan peranan
penting.
Sehingga diperlukan obat penurun denyut jantung, secara teori yang sangat menonjol dan diperlukan karena sudah terbukti
di studi-studi klinis adalah penggunaan beta
blocker, dimana obat tersebut dapat mengurangi daerah luasnya infark dan menurunkan mortalitas kardiovaskular.
Walau demikian, beberapa studi tidak
memperlihatkan hal serupa, studi COMMIT
(Clopidogrel and Metoprolol In Myocardial Infarction) tidak memperlihatkan penurunan
pada mortalitas. Lainnya, penggunaan awal
beta blocker intravena dihubungkan dengan mortalitas awal, terutama pada pasien
gagal jantung akut dengan peningkatan risiko syok kardiogenik.
Obat penurun denyut jantung mempunyai efek terhadap tekanan darah dan
fungsi ventrikel seperti ivabradin mungkin
memiliki peranan pada keadaan ini. Dilakukanlah studi VIVIFY (eValuation of the
IntraVenous If inhibitor ivabradine after STsegment elevation mYocardial infarction) dengan
tujuan primer untuk mengetahui efek
ivabradin intravena terhadap denyut jantung dan parameter hemodinamik setelah
tindakan intervensi koroner perkutan (IKP).
Sementara tujuan sekunder berupa
untuk menilai keamanan dan toleransi
ivabradin terhadap keadaan ini, serta efek
penurunan denyut jantung terhadap luasnya infark.
Studi ini merupakan studi multisenter,
dengan pasien usia 40 – 80 tahun yang dirandomisasi setelah sukses dilakukan IKPP
dalam enam jam onset IMAEST. Pasien
dalam keadaan sinus ritme dan denyut
jantung > 80 kali per menit, tekanan darah
sistolik > 90 mmHg.
Dikelompokkan dalam 2 kelompok
(rasio 2:1) yaitu kelompok ivabradin intravena (n = 82) (5mg bolus selama 30 detik,
diikuti 5mg infus selama 8 jam) atau kelompok placebo (n = 42). Keluaran prmier
berupa denyut jantung dan tekanan darah.
Pada kedua kelompok, denyut jantung mengalami penurunan dalam 8 jam, dengan
kecepatan penurunan yang nyata pada kelompok ivabradindibandingkan placebo
(22.2 ±1.3 vs 8.9±1.8 bpm, p < 0.0001).
Selama studi berlangsung tidak terdapat perbedaan tekanan darah pada kedua
kelompok. Tidak terdapat perbedaan penanda biologis jantung (CKMB, troponin T dan
I). ekokardiografi dilakukan untuk menilai
fungsi ventrikel, didapatan volum ventrikel
kiri lwbih kecil pada kelompok ivabradin
baik untuk volum akhir diastolic ventrikel
kiri (LVEDV) (87.1±28.2 vs 117.8±21.4 cc, p =
0.01) dan volum akhir sistolik ventrikel kiri
(LVESV) (42.5±19 vs 59.1±11.3cc, p = 0.03)
tanpa perbedaan pada perubahan volum
atau fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Dapat ditarik kesimpulan, ivabradin intravena mungkin mempunyai nilai potensial untuk IMEST, dengan menurunkan denyut jantung tanpa menurunkan tekanan
darah atau hemodinamik. (Eur H Jour: Acute
Cardiovasc Care 2013; 2(3): 270-9)
SL Purwo
6
199/Thn. XIX/Oktober 2013
Dabigatran vs Warfarin pada Pasien dengan Katup Mekanik
PENGGANTIAN katup jantung prostetik
direkomendasikan pada beberapa pasien
dengan penyakit jantung katup yang berat
dan dikerjakan pada beberapa ratusan
ribuan pasien di seluruh dunia setiap tahunnya.
Katup mekanik lebih tahan lama dibandingkan katup bioprostetik tetapi membutuhkan antikoagulan seumur hidupnya.
Penggunaan antagonis vitamin K memberikan proteksi yang terbaik dalam menghindari komplikasi tromboemboli pasien katup jantung mekanik, tetapi membutuhkan
restriksi pada makanan, alkohol dan obatobatan serta pemantauan koagulasi seumur
hidup.
Karena keterbatasan antagonis vitamin
K, banyak pasien yang memilih menggunakan bioprostetik dibandingkan katup
mekanik, walau risiko lebih tinggi pada
gagalnya katup premature yang membutuhkan pengulangan operasi pada penggunaan
katup bioprostetik.
Dabigatran etexilate merupakan preparat oral inhibitor thrombin secara langsung
yang efektif sebagai antikoagulan pengobatan pasien fibrilasi atrium pada studi RELY. Berdasarkan data ini dan adanya hasil
yang memuaskan pada studi binatang, dimana menunjukkan adanya keuntungan
dabigatran dalam mencegah thrombosis
katup, dilakukanlah studi RE-ALIGN.
Tujuan utama studi ini adalah untuk
melakukan validasi preparat baru untuk
pemberian dabigatran dalam mencegah
komplikasi tromboemboli pasien dengan
katup jantung mekanik.
Studi validasi dosis fase dua, menggunakan dua kelompok, yang dilakukan
penggantian katup aorta atau mitral dalam
tujuh hari terakhir dan yang dilakukan peng-
gantian paling tidak tiga bulan terakhir.
Pasien dikelompokkan secara random
dengan rasio 2:1 utntuk diberikan dabigatran atau warfarin. Pemilihan dosis awal
dabigatran (150, 220 atau 300 mg dua kali
sehari) didasarkan atas fungsi ginjal.
Dosis disesuaikan untuk mendapatkan
tingkat plasma yang palin sedikit 50 ng per
milliliter. Dosis warfarin disesuaikan untuk mempertahankan rasio yang normal
secara internasional sebesar dua sampai tiga
atau 2.5 sampai 3.5 sebagai dasar risiko tromboemboli. Hasil akhir primer didasarkan
pada tingkat plasma dabigatran.
Studi ini dihentikan secara premature
setelah mendapatkan 252 pasien dikarenakan tinggi kejadian tromboemboli dan perdarahan di antara pasien yang menggunakan
dabigatran. Pada analisa pengobatan, dosis
penyesuasian atau penghentian dabigatran
dibutuhkan pada 52 dari 162 pasien (32%).
Stroke iskemik atau tidak spesifik terjadi pada 9 pasien (5%) kelompok dabigatran
dan tidak ada yang terkena pada pasien kelompok warfarin. Perdarahan mayor terjadi pada 7 pasien (4%) dan 2 pasien (2%).
Semua pasien dengan perdarahan mayor
terdapat perdarahan perikard.
Kebanyakan kejadian tromboemboli
terjadi pada kelompok dabigatran populasi
A (pasien yang memulai penggunaan obat
ini dalam waktu 7 hari setelah operasi katup), sedikit kejadian pada populasi B
(pasien dengan implantasi katup lebih dari
3 bulan sebelum randomisasi).
Kejadian perdarahan yang berlebihan di
antara pasien yang mendapatkan dabigatran terjadi pada ke dua populasi tersebut.
Kemungkinan yang mungkin adalah terjadinya peningkatan komplikasi tromboemboli dengan dabigatran termasuk ketidak-
adekuatan tingkat plasma dari obat tersebut dan mekanisme aksi yang berbeda dari
warfarin.
Nilai plasma dabigatran populasi A
lebih rendah selama beberapa minggu pertama setelah operasi dan penurunan nilai
setelah operasi katup mungkin mencetuskan formasi awal dari sumbatan darah yang
secara klinis tidak bermanifestasi sampai
nantinya akan muncul manifestasinya.
Perbedaan mekanisme aksi dari dabigatran dan warfarin mungkin juga berperan
dalam terjadinya thrombosis pada temuan
studi ini. Pasien dengan fibrilasi atrium, terbentuknya thrombin di LAA pada aliran
yang lemah, kondisi low-shear dimana pembentukan thrombin dipercaya sebagai
pemicu stasis dan disfungsi endotel.
Pasien dengan katup jantung mekanik,
aktivasi koagulasi dan pembentukan thrombin terjadi karena pelepasan faktor jaringan
dari kerusakan jaringan selama operasi
mungkin berperan sebagian dari risiko
tinggi komplikasi tromboemboli dini.
Sebagai tambahan, pembentukan trombi dapat dipicu oleh terpaparnya darah terhadap permukaan artifisial daun katup mekanik dan cincin jahitan, dimana menginduksi aktivasi jalur koagulasi.
Kebanyakan thrombin pada pasien dengan katup jantung prostetik nampaknya
akan meningkat pada cincin jahitan, dimana tidak terjadi endoteliasisasi paling
tidak selama beberapa minggu. Dipikirkan
bahwa thrombin yang terbentuk pada cin-
cin jahitan menjadi lebih sedikit trombogenik ketika jaringan endotel yang terbentuk di antaranya.
Warfarin lebih efektif dibandingkan
darbigatran dalam menyupresi aktivasi
koagulasi karena inhibisi aktivasi baik koagulasi yang terinduksi faktor jaringan (oleh
inhibisi sintesis faktor koagulasi VII) dan
koagulasi terinduksi kontak jalur oleh penghambatan sintesis faktor X dan thrombin
pada jalur umum.
Hasil dari studi ini mngindikasikan
dabigatran tidak sesuai sebagai obat alternatif warfarin untuk mencegah komplikasi
tromboemboli yang membutuhkan antikoagulan setelah implantasi katup jantung
prostetik.
Rivaroxaban telah berhasil diujicoba
untuk tindakan prevensi komplikasi tromboemboli dihubungkan dengan katup jantung mekanik pada studi pre klinik, tetapi
temuan klinis tidak menunjukkan bukti
keamanan dan kefektifan pemberian dosis
tersebut.
Sebagai kesimpulan, hasil dari studi fase
ke dua mengindikasiakn dabigatran tidak
seefektif seperti warfarin untuk mencegah
komplikasi tromboemboli pasien dengan
katup jantung mekanik dan dihubungkan
dengan peningkatan risiko perdarahan.
Penggunaan dabigatran tidak memiliki
nilai positif dan dihubungkan dengan peningkatan risiko pada pasen dengan katup
jantung mekanik.(N Engl J Med 2013.DOI:
10.1056/NEJMoa1300615)
SL Purwo
(PMCA .................... hal.5)
ran pada terjadinya komplikasi berat akibat DM tipe 2.11
Bukti-bukti yang terkumpul menunjukkan bahwa ketidaktepatan ekspresi, mutasi, dan ketiadaan PMCA terkait dengan
kondisi-kondisi patologis seperti hipertensi, rendahnya densitas tulang, infertilitas
pada laki-laki, berkurangnya pendengaran,
serta ataksia serebelar.4
Dari paparan di atas dapat diketahui
adanya dua hal penting yaitu: 1) mekanisme kerja PMCA dalam pencegahan kondisi-kondisi patologis kardiovaskular; serta
2) dampak negatif abnormalitas biomolekuler PMCA pada sistem kardiovaskular
(bahkan sistem organ lain). Kedua hal tersebut telah menjadikan PMCA suatu target
potensial terapi kardiovaskular di masa
mendatang. Kuncinya adalah dengan memodulasi isoform-isoform PMCA secara
selektif lewat penemuan suatu aktivator
atau inhibitor spesifik PMCA.4 Saat ini, setelah lebih dari 50 tahun sejak PMCA ditemukan pertama kali pada membran sel
darah merah, studi-studi lebih mendalam
pada aspek biokimiawi, seluler, serta fisiologinya terus dilakukan demi menemukan
terobosan baru dalam terapi kardiovaskular.3 Semoga kelak upaya-upaya ini membuahkan hasil yang bermanfaat bagi umat
manusia. (Referensi ada pada Redaksi)
Andy Kristyagita
trofi. Peningkatan jangka panjang dari ion
kalsium-kalmodulin intraseluler ini akan
mengaktifkan kalsineurin yang kemudian
mendefosforilasi faktor transkripsi NFAT
sehingga mengaktifkan NFAT (Molkentin
et al., 1998). Aktivitas PMCA4b yang meningkat akan menyebabkan rekrutmen kalsineurin ke membran plasma (suatu lingkungan rendah kalsium) sehingga menghambat aktivasi NFAT.11
Tidak hanya itu, ternyata PMCA juga
punya peran penting pada salah satu faktor
risiko utama penyakit kardiovaskular yaitu
diabetes melitus (DM) tipe 2. DM tipe 2
merupakan penyakit kronis dimana terjadi
peningkatan ion kalsium di berbagai tipe
sel termasuk platelet (Balasubramanyam et
al., 2001; Li et al., 2001). Peningkatan kalsium intraseluler ini akan menyebabkan agregasi dan hiperaktivitas platelet dan turut
berkontribusi pada terjadinya komplikasi
kardiovaskular kronis (Carr, 2001). Terjadi
pula penurunan signifikan protein PMCA
bersamaan dengan peningkatan level fosforilasi tirosin pada residu 76 (Rosado et al.,
2004), suatu peristiwa fosforilasi yang menghambat aktivitas pompa kalsium tersebut
(Wan et al., 2003). Hal ini menunjukkan bahwa PMCA terlibat dalam aktivasi platelet
dan jumlahnya yang menurun turut berpe-
Download