PEMAKAIAN TEPUNG DAUN LAMTOROGUNG

advertisement
i
PEMAKAIAN TEPUNG DAUN LAMTOROGUNG
Leucaena leucocephala SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN
IKAN NILA Oreochromis niloticus
ANITA BIDARYATI
SKRIPSI
TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
PEMAKAIAN TEPUNG DAUN LAMTOROGUNG Leucaena leucocephala
SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN IKAN NILA Oreochromis niloticus
adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2010
ANITA BIDARYATI
C.14050497
iii
RINGKASAN
ANITA BIDARYATI. Pemakaian Tepung Daun Lamtorogung Leucaena
leucocephala sebagai Bahan Baku Pakan Ikan Nila Oreochromis niloticus.
Dibimbing oleh NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.
Tepung daun lamtorogung Leucaena leucocephala (TDL) merupakan
sumberdaya hayati lokal yang potensial untuk digunakan sebagai salah satu
sumber protein nabati dalam pakan ikan antara lain karena kandungan proteinnya
yang tinggi yaitu 25-30% (NAS 1994). Pemanfaatan tepung daun lamtorogung
sebagai bahan baku pakan dibatasi dengan kandungan yang tinggi dari komponen
serat kasar, defisiensi asam amino esensial (Agr, Thr, Ile, His, Met) dan
kandungan antinutrisi mimosin. Penggunaan enzim dari isi rumen diharapkan
dapat meningkatkan nilai guna TDL sebagai sumber protein nabati alternatif
pakan ikan nila.
Enam jenis pakan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pakan A: 0%
TDL, pakan B: 10% TDL, pakan C: 15% TDL, pakan D: 20% TDL, pakan E:
25% TDL dan pakan F: 30% TDL. Delapan ekor ikan dengan bobot rata-rata
9,38±0,41 gram dipelihara di dalam akuarium berukuran 35x40x50 cm dengan
ketinggian air rata-rata 30 cm. Ikan dipelihara selama 40 hari dalam sistem
resirkulasi dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali/hari secara at satiation.
Analisa kualitas air dilakukan di awal dan akhir pemeliharaan meliputi pH,
alkalinitas, kesadahan, TAN dan DO. Sampling dilakukan di awal dan akhir masa
pemeliharaan. Analisa proksimat terhadap bahan dan pakan perlakuan meliputi
kadar air, abu, serat kasar, lemak dan protein, sedangkan untuk ikan awal dan
akhir meliputi kadar air, abu, lemak dan protein. Parameter uji yang diamati, yaitu
laju pertumbuhan harian (LPH), efisiensi pemberian pakan (EP), jumlah konsumsi
pakan (JKP), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL). Rancangan percobaan
yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan
dan tiga kali ulangan untuk setiap perlakuan. Data yang diperoleh kemudian
ditabulasi dan dianalisis menggunakan program MS. Office Excel 2007 dan SPSS
15.0 dengan menggunakan uji lanjut Duncan.
Pertumbuhan dan konsumsi pakan ikan uji mengalami penurunan pada
penggunaan TDL yang makin meningkat. Pertumbuhan pada perlakuan pakan A
sampai C nilainya berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan pakan F.
Sementara itu, EP tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. Hal yang sama
terjadi pada RP dan RL, yaitu perlakuan memperlihatkan pengaruh yang tidak
berbeda nyata terhadap RP dan RL dari seluruh perlakuan. RP tertinggi adalah
pakan perlakuan F. Sebaliknya, RL pada perlakuan ini adalah yang terendah
dibandingkan dengan lima perlakuan lainnya.
Tepung daun lamtorogung (TDL) yang telah dihidrolisis dengan cairan
rumen domba sebanyak 1000 ml/kg, dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein
nabati alternatif pada pakan ikan nila. Berdasarkan hasil penelitian ini, pakan
dengan dosis TDL hingga 15% dapat mendukung pertumbuhan ikan nila dengan
baik. Sementara itu, penggunaan TDL di atas 20% dapat mengganggu
pertumbuhan dan menurunkan nafsu makan ikan.
iv
PEMAKAIAN TEPUNG DAUN LAMTOROGUNG
Leucaena leucocephala SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN
IKAN NILA Oreochromis niloticus
ANITA BIDARYATI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
v
Judul Skripsi
: Pemakaian Tepung Daun Lamtorogung Leucaena
leucocephala sebagai Bahan Baku Pakan Ikan Nila
Oreochromis niloticus
Nama Mahasiswa
: Anita Bidaryati
Nomor Pokok
: C14050497
Menyetujui,
Pembimbing
Dr. Nur Bambang P. U, M. Si
NIP. 196508141993031005
Mengetahui
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Indra Jaya, M. Sc
NIP. 196104101986011002
Tanggal Lulus :
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala karunia-Nya
sehingga skripsi dari penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2009 adalah Pakan
Ikan Berbasis Nabati, dengan judul “Pemakaian Tepung Daun Lamtorogung
Leucaena leucocephala sebagai Bahan Baku Pakan Ikan Nila Oreochromis
niloticus”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Nur Bambang Priyo Utomo selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas
bimbingan, arahan, maupun masukan dalam pelaksanaan penelitian dan
penyusunan skripsi.
2. Dr. Tatag Budiardi selaku Pembimbing Akademik dan Penguji Tamu 1
serta Dr. Kukuh Nirmala selaku Penguji Tamu 2 yang telah banyak
memotivasi serta mendidik selama menjadi mahasiswa.
3. Keluarga penulis yaitu Bapak, Ibu, Mas Amin, Mbak Indah serta
keponakan baru Azzam yang selalu memberikan dukungan dan sokongan.
4. Bu Indira, Pak Wasjan, Mas Yosi dan
Mbak Retno yang banyak
membantu selama penelitian.
5. Sahabat-sahabat Nutrisi Ikan 2009 atas kerjasama yang terjalin indah
sepanjang proses penelitian ini yaitu Mbak Ririn, Widy, Wastu, Johan,
Angga, Bayu, Fatwa dan Dodi
6. Sahabat-sahabat terbaik sepanjang masa BDP 42, Wisma Do’I dan sahabat
di IPB yang tidak tersebut di dalamnya yang telah menemani dan selalu
berbagi.
Bogor, Maret 2010
Anita Bidaryati
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pacitan pada 22 Januari 1986 dari Ayah Bitarto dan
Ibu Ismiyati. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dengan kakak
bernama Amin Mujianto.
Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SDN 1 Bandar-Pacitan dan
lulus pada tahun 1999, SLTPN 1 Pacitan pada tahun 2002 dan SMUN 1 Pacitan
pada tahun 2005. Penulis kemudian diterima di IPB melalui USMI (Undangan
Seleksi Masuk IPB) dan melalui program Mayor-Minor pada tahun 2006 penulis
diterima di Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya dengan Minor
Teknologi Penanganan dan Transportasi Biota Perairan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi pengurus Himpunan
Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) periode 2006/2007 dan 2007/2008. Selain
itu penulis juga pernah menjadi asisten pada mata kuliah Dasar-dasar Akuakultur
(2008-2009), Nutrisi Ikan (2009), Teknologi Produksi Plankton, Benthos dan
Alga (2008-2009) serta Teknologi Pembuatan Pakan Ikan (2009). Untuk
menambah pengetahuan dalam perikanan budidaya, penulis mengikuti kegiatan
magang di Tambak Pinang Gading- Lampung (2007), Loka Riset SukamandiSubang dan praktek lapang pembenihan abalone di Balai Budidaya Laut LombokNTB (2008).
Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pemakaian Tepung Daun
Lamtorogung Leucaena leucocephala sebagai Bahan Baku Pakan Ikan Nila
Oreochromis niloticus”.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ .. viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... .... ix
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ .... ...... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................. .... ...... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila ........................................................... .... ...... 3
2.2 Tepung Daun Lamtorogung Leucaena leucocephala ..................... .... ...... 6
2.3 Cairan Rumen sebagai Sumber Enzim ............................................ .... ...... 8
2.4 Enzim Pencernaan dan Perannya dalam Proses Perncernaan ......... .... ...... 9
2.5 Kualitas Air ..................................................................................... .... .... 13
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat .......................................................................... .... .... 14
3.2 Pakan Uji ......................................................................................... .... .... 14
3.3 Pemeliharaan Ikan ........................................................................... .... .... 15
3.4 Analisis Kimia Pakan dan Ikan Perlakuan ...................................... .... .... 16
3.5 Pengumpulan dan Pengolahan Data ................................................ .... .... 17
3.5.1 Laju Pertumbuhan Spesifik .................................................... .... .... 17
3.5.2 Efisiensi Pakan ....................................................................... .... .... 17
3.5.3 Retensi Protein dan Lemak .................................................... .... .... 17
3.5.4 Jumlah Konsumsi Pakan ........................................................ .... .... 18
3.6 Analisis Statistik ............................................................................. .... .... 18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ................................................................................................ .... .... 19
4.2 Pembahasan ..................................................................................... .... .... 20
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... .... .... 24
5.2 Saran ................................................................................................ .... .... 24
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. .... .... 25
LAMPIRAN ................................................................................................ .... .... 30
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kebutuhan protein ikan nila dengan bobot tubuh yang berbeda ......................... 4
2. Perbandingan komposisi asam amino dan makro-mikro mineral antara tepung
ikan, tepung bungkil kedelai dan tepung daun lamtoro ...................................... 7
3. Komposisi enzim cairan rumen domba ............................................................... 9
4. Formulasi pakan uji untuk ikan nila (%) ........................................................... 15
5. Komposisi proksimat pakan perlakuan (% bobot kering) ................................. 15
6. Data hasil parameter kinerja pertumbuhan ikan uji .......................................... 19
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Komposisi bahan dalam premix (vitamin dan mineral mix)............................. 31
2. Hasil proksimat bahan baku (% bobot kering) .................................................. 32
3. Prosedur analisa proksimat (Takeuchi 1988) ................................................... 33
4. Nilai laju pertumbuhan spesifik (LPS), efisiensi pakan (EP), konsumsi pakan
(JKP), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL) ........................................ 36
5. Skema akuarium pemeliharaan ikan ................................................................. 40
6. Data hasil pengukuran kualitas air selama masa pemeliharaan ........................ 41
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber protein utama dalam bahan baku pakan buatan untuk ikan adalah
tepung ikan. Namun demikian, untuk memperoleh tepung ikan berkualitas baik
Indonesia masih harus mengimpor sehingga harga tepung ikan relatif mahal.
Penggantian tepung ikan dengan berbagai bahan alternatif berprotein tinggi sudah
dilakukan, termasuk dengan sumber protein nabati. Sumber protein nabati yang
umum digunakan adalah tepung bungkil kedelai (SBM/soy bean meal) (Suprayudi
et al. 1999; Pebriyadi 2004; Elangovan dan Shim 2000). SBM mampu mengganti
sebagian tepung ikan, namun ketersediannya masih bergantung dari impor.
Volume impor SBM pada periode Januari-September 2008 mencapai 28.405.448
milyar ton dan harga mencapai Rp. 7.500-8.000,00 per kg (Departemen Kelautan
dan Perikanan 2008).
Salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan bahan baku impor
adalah dengan penggunaan bahan pakan lokal yang berkualitas. Tepung daun
lamtorogung (TDL) merupakan sumberdaya hayati lokal yang potensial untuk
digunakan sebagai salah satu sumber protein nabati dalam pakan ikan disebabkan
kandungan proteinnya yang tinggi yaitu 25-30% (NAS 1994). Pemanfaatan TDL
sebagai bahan baku pakan dibatasi dengan kandungan yang tinggi dari komponen
neutral detergent fiber (NDF) 39,5% dan acid detergent fiber (ADF) 35,10%
(Garcia et al. 1996), defisiensi asam amino esensial (Agr, Thr, Ile, His, Met) dan
kandungan mimosin (Lim dan Dominy 1991). Defisiensi asam amino esensial
dapat diatasi dengan menambahkan asam amino esensial yang menjadi pembatas
(Santiago dan Lovell 1988), dan untuk mengatasi mimosin telah dilaporkan
beberapa metode untuk mereduksi mimosin seperti perendaman dan pemanasan
(Wee dan Wang 1987). Keterbatasan ikan dalam memanfaatkan serat berkaitan
dengan ketersediaan enzim selulotik yang terbatas dalam saluran pencernaan ikan,
bahkan pada level tertentu dapat menghambat pertumbuhan ikan (Haming 1989).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ikan tidak memiliki enzim
selulose dan kemungkinan adanya populasi mikroba selulotik di saluran
percernaan ikan juga masih menjadi kontroversi di kalangan peneliti (Saha dan
2
Ray 1998). Salah satu usaha untuk mengatasi kecernaan serat yang rendah adalah
dengan menggunakan enzim eksogen untuk menghidrolisis serat, misalnya cairan
rumen domba yang merupakan salah satu sumber bahan alternatif yang murah dan
dapat dimanfaatkan dengan mudah sebagai sumber enzim hidrolase (Moharrey
dan Das 2002).
Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah salah satu ikan yang banyak
dibudidayakan dan berkembang pesat di Indonesia. Disebutkan bahwa terjadi
kenaikan hasil budidaya nila yaitu sebesar 7.116 ton pada tahun 2004 menjadi
220.900 ton pada tahun 2008 (DKP 2009). Sedangkan di tingkat dunia, Indonesia
berada pada peringkat keempat negara produsen nila terbesar di dunia setelah
Cina, Mesir dan Filipina. Ikan nila adalah ikan omnivor yang cenderung herbivora
sehingga lebih mudah beradaptasi dengan jenis pakan yang dicampur dengan
sumber bahan nabati seperti tepung bungkil kedelai, tepung jagung, tepung biji
kapuk, tepung enceng gondok, tepung alfalfa, serta tepung dari berbagai jenis
tanaman legumes seperti daun lamtoro (El-Sayed dan Fattah 1999). Dengan
penggunaan enzim dari isi rumen, diharapkan hidrolisis serat kasar pada bahan
nabati berserat tinggi dapat memacu kinerja pertumbuhan dari ikan nila.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis optimal
pemakaian tepung daun lamtorogung (TDL) sebagai sumber protein nabati
alternatif pakan ikan nila dengan memanfaatkan cairan rumen domba 1000 ml/kg
TDL sebagai sumber enzim hidrolisis (predigestion).
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila
Kebutuhan nutrisi ikan pada budidaya intensif akan terpenuhi dengan
pemberian pakan buatan. Komponen pakan yang berkontribusi terhadap
penyediaan materi dan energi tumbuh adalah protein, karbohidrat dan lemak.
Protein adalah nutrien yang sangat dibutuhkan untuk perbaikan jaringan tubuh
yang rusak, pemeliharaan protein tubuh, penambahan protein tubuh untuk
pertumbuhan, materi untuk pembentukan enzim dan beberapa jenis hormon serta
sebagai sumber energi (National Research Council 1993).
Kebutuhan protein ikan berbeda-beda menurut spesiesnya, pada umumnya
ikan membutuhkan protein sekitar 30-40% dalam pakannya (Jobling 1994). Ikan
air tawar dapat tumbuh baik dengan pemberian pakan yang mengandung kadar
protein 25-35% dengan rasio energi berbanding protein sekitar 8 kkal/gram
protein. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni spesies ikan, ukuran ikan,
umur ikan, temperatur air, kandungan energi pakan, kecernaan terhadap nutrien
dan kualitas atau komposisi dari nutrien (NRC 1983). Kebutuhan protein ikan nila
dengan bobot tubuh yang berbeda disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan protein ikan nila dengan bobot tubuh yang berbeda
Spesies
O. mossambicus
O. niloticus
O. aureus
Tilapia zillii
O.niloticus x O. Aureus
Bobot tubuh ikan
(g)
Fry
0,5-1,0
1,0-2,5
1,8
6,0-30,0
0,838
1,5-7,5
3,2-3,7
24
40
0,16
0,3-0,5
1,65
1,7
0,6-1,1
21
Keperluan protein
(%)
50
40
29-38
40
30-35
40
36
30
27,5-35
30
40
36
35
35-40
32
28
Pustaka
Jauncey dan Rose (1982)
Jauncey dan Rose (1982)
Cruz dan Laudencia (1977)
Jauncey (1982)
Jauncey dan Rose (1982)
Siddiqui et al. (1988)
Kubaryk (1980)
Wang et al. (1985)
Wee dan Tuan (1988)
Siddiqui et al. (1988)
Santiago dan Laron (1991)
Davis dan Stickney (1978)
Mazid et al. (1979)
Teshima et al. (1978)
Shiau dan Peng (1993)
Twibell dan Brown (1998)
Penyediaan sumber protein pakan baik tepung ikan dan tepung bungkil
kedelai masih tergantung pada impor. Oleh karenanya, penggunaan bahan pakan
lokal yang berkualitas, harga layak, persediannya terjamin dan tidak bersaing
4
dengan kebutuhan manusia perlu dicoba. Tumbuhan leguminosa, sereal dan
produksinya telah dicoba digunakan sebagai substitusi dari tepung bungkil kedelai
di dalam pakan ikan nila (Meulen et al. 1979). Hal ini sangat memungkinkan
digunakan untuk budidaya ikan nila karena merupakan ikan omnivora yang
cenderung herbivora sehingga lebih mudah beradaptasi dengan jenis pakan yang
dicampur dengan sumber bahan nabati seperti tepung bungkil kedelai, tepung
jagung, tepung biji kapuk, tepung eceng gondok, tepung alfalfa, serta tepung daun
dari berbagai jenis tanaman legumes seperti daun lamtorogung (El-Sayed dan
Fatah 1999). Pada ikan air tawar yang bersifat herbivora dan cenderung omnivora
seperti ikan nila (Popma 1982; Wilson dan Poe 1985) dapat mencerna lebih dari
70% dari energi kotor bahan non-strach, sedangkan pada ikan yang bersifat
karnivora seperti ikan trout hanya mencerna kurang dari 50%-nya.
Tinggi rendahnya kandungan protein optimum dalam pakan dipengaruhi
oleh kandungan energi non protein yaitu yang berasal dari karbohidrat dan lemak.
Menurut Stickney (1979) dalam Pelawi (2003), energi yang terkandung dalam
pakan yang berasal dari non-protein dapat mempengaruhi jumlah protein yang
digunakan untuk pertumbuhan. Jika pakan kekurangan energi yang berasal dari
non-protein maka sebagian besar protein yang seharusnya digunakan untuk
pertumbuhan, akan dimanfaatkan sebagai sumber energi. Sebaliknya jika energi
dalam pakan terlalu besar maka keadaan ini akan membatasi jumlah pakan yang
dimakan oleh ikan yang selanjutnya akan membatasi jumlah protein yang
dimakan sehingga pertumbuhan menjadi rendah.
Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting meskipun kandungan
karbohidrat dalam pakan berada dalam jumlah yang relatif rendah. Karbohidrat
dalam pakan dapat berupa serat kasar serta bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)
(NRC 1993). BETN mengandung banyak gula dan pati yang bersifat mudah
dicerna sedangkan serat kasar kaya akan lignin dan selulosa yang sukar untuk
dicerna. Pieper dan Pfeffer (1980) menyatakan bahwa energi dari karbohidrat
sama efektifnya dengan energi dari lemak. Sedangkan Lovell (1989)
mengemukakan bahwa pemberian tingkat energi optimum dalam pakan sangat
penting karena kelebihan dan kekurangan energi dapat menurunkan pertumbuhan
ikan.
5
Pemanfaatan karbohidrat oleh ikan berbeda-beda bergantung pada
kompleksitas karbohidrat. Ikan-ikan karnivora tidak mampu memanfaatkan
karbohidrat kompleks seperti glukosa, sukrosa dan laktosa sebagai energi utama
dalam pakannya pada level yang tinggi. Sedangkan ikan-ikan omnivora dan
herbivora dapat mencerna karbohidrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
(Yamada 1983). Ikan-ikan karnivora dapat memanfaatkan karbohidrat optimum
pada tingkat 10-20% dalam pakannya sedangkan ikan-ikan omnivora mampu
memanfaatkan karbohidrat optimum sebesar 30-40% dalam pakan (Furuichi
1988).
Lemak pakan merupakan sumber asam lemak esensial (essential fatty acid
/EFA) yang dibutuhkan ikan untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan metabolisme
tubuh (NRC 1993). Lemak dalam bentuk triacyl-glycerol dapat dihidrolisis oleh
enzim pencernaan menjadi asam lemak bebas dan 2-monoglycerides. Senyawa
tersebut kemudian diserap dan juga digunakan untuk sintesis berbagai komponen
sel atau diubah menjadi energi. Lemak sebagai salah satu makronutrien bagi ikan
karena selain sebagai sumber energi nonprotein dan asam lemak essensial, juga
berfungsi memelihara bentuk dan fungsi fosfolipid, membantu dalam absorbsi
vitamin yang larut dalam lemak dan mempertahankan daya apung tubuh (NRC
1993).
Ikan air tawar secara aktif memiliki kemampuan untuk mengkonversi C18
PUFA menjadi C20 dan C22 HUFA, di mana sebagian besar komponen utama
PUFA banyak terdapat pada daun tanaman darat maupun air. Sementara itu, ikanikan air laut lebih banyak membutuhkan asam lemak esensial dalam bentuk n-3
HUFA yang secara alami banyak terdapat pada alga dan fitoplankton laut. Pada
umumnya, lemak 10-20% dari berat kering pakan cukup untuk mendukung
protein sehingga dapat termanfaatkan secara efektif tanpa menyimpan kelebihan
lemak di jaringan tubuh ikan (Sargent et al. 2002).
Komponen lain yang dibutuhkan dalam pakan ikan yaitu vitamin dan
mineral. Jumlah yang dibutuhkan dari vitamin dan mineral dalam pembuatan
pakan sangatlah kecil namun kehadirannya dalam pakan sangat penting karena
dibutuhkan tubuh ikan untuk tumbuh dan menjalani beberapa fungsi tubuh. NRC
(1993) menjelaskan bahwa mineral merupakan senyawa yang digunakan untuk
6
proses respirasi, osmoregulasi dan pembentukan kerangka tulang. Sedangkan
vitamin merupakan senyawa organik kompleks yang diperlukan untuk tumbuh
secara normal, reproduksi, kesehatan dan metabolisme secara umum.
2.2 Tepung Daun Lamtorogung Leucaena leucocephala
Lamtoro adalah tumbuhan leguminosa tropis, berasal dari Amerika
Tengah. Disebarkan oleh orang-orang Mayan dan Zapotec ke seluruh Amerika
Tengah. Klasifikasi Leucaena leucocephala menurut Brewbaker dan Hylin (1965)
adalah, salah satu spesies dari genus Leucaena yang termasuk sub Famili
Mimosoideae, Famili Leguminoseae, sub Ordo Rosicae, Ordo Rosales, sub Klas
Dycotyledoea, Klas Angiospermopsidae, sub Divisio Spermatophyta, Divisio
Traceophyta dan sub Kingdom Embryobionta.
Lamtoro (Leucaena) terdiri atas 53 spesies yang digolongkan ke dalam 10
spesies yang telah dikenal. Walaupun seluruh spesies tersebut mungkin sangat
berguna bagi daerah tropis, tetapi hanya Leucaena leucocephala yang telah
dimanfaatkan secara luas (NAS 1994). Tanaman lamtoro tumbuh baik di daerah
dengan curah hujan tahunan antara 1000-3000 mm3. Sementara Garcia et al.
(1996) menyarankan agar tanaman lamtoro ditanam di daerah yang curah
hujannya lebih dari 750 mm3 per tahun dan ketinggian lebih dari 1500 m dpl.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa tanah yang sesuai dengan tanaman ini adalah
tanah yang netral atau tanah basa. NAS (1994) menyebutkan bahwa pada
umumnya tanaman lamtoro dapat menghasilkan bahan kering dari unsur-unsur
yang dapat dimakan (daun dan ranting-ranting kecil) sebesar 6-8 ton per hektar
per tahun atau sekitar 20-80 ton bahan segar per hektar per tahun.
TDL merupakan sumber daya hayati lokal yang potensial untuk digunakan
sebagai salah satu sumber protein nabati dalam pakan ikan karena mengandung
protein sekitar 25-30% (NAS 1994); 24% (Scott et al. 1982), yang merupakan
nilai tertinggi dibandingkan sumber protein nabati lainnya. Komposisi asam
amino daun lamtoro hampir seimbang dengan tepung ikan kecuali kandungan
lysin dan methionin yang lebih rendah. Apabila dibandingkan dengan bungkil
kedelai kandungan asam amino daun lamtoro cukup seimbang, hanya berbeda
pada kandungan asam glutamat.
7
TDL juga merupakan sumber vitamin A dan kandungan -karoten yang
relatif tinggi serta kandungan xantofil yang merupakan pigmentasi pada kulit dan
kuning telur. Perbandingan komposisi asam amino dan makro-mikro mineral
antara tepung ikan, tepung bungkil kedelai dan tepung daun lamtoro dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan komposisi asam amino dan makro-mikro mineral antara
tepung ikan, tepung bungkil kedelai dan tepung daun lamtoro
Jenis asam amino esensial
(g/16g N)
Arginin
Histidin
Isoleusin
Leusin
Lysin
Methionin
Fenylalanin
Treonin
Triptopan
Valin
Makro & mikro mineral
Kalsium (%)
Fosfor (%)
Sodium (%)
Potassium (%)
Magnesium (%)
Klorin (%)
Mangan (mg/kg)
Besi (mg/kg)
Tembaga (mg/kg)
Cupper (mg/kg)
Selenium (mg/kg)
Iodin (mg/kg)
Bahan anti nutrisi (ANF)
Tepung ikan
4,6
2,0
3,0
5,5
6,2
1,6
3,2
3,1
2,3
3,2
4,00
2,60
0,87
0,70
0,25
2,00
246
111
11,0
-
Tepung bungkil
kedelai
6,94
2,64
5,01
7,54
6,28
1,38
5,03
4,92
1,18
4,72
Tepung daun
lamtoro
1,02-5,25
0,40-1,44
1,24-6,65
1,60-6,65
1,28-6,07
0,23-1,19
1,07-3,92
0,87-5,07
0,24-0,38
1,01-6,29
0,28
0,68
0,08
1,92
0,27
0,04
32,2
186,5
53,5
19,9
0,04
0,05
Asam fitat
0,37-2,52
0,07-1,47
0,00-0,04
0,80-1,99
0,42-0,56
7,00-10,6
181,0-407,0
21,0-29,9
42,1-60,0
Mimosin
Sumber : Hertrampf dan Pascual (2000)
Pemanfaatan TDL di dalam pakan dibatasi oleh adanya ANF mimosin
yang
merupakan
asam
amino
heterosiklik
( -amino- (N-(3-hidroxy-4-
piridon)(asam propionat). Berbagai usaha yang dilakukan untuk menurunkan daya
racun mimosin dalam daun lamtoro adalah dengan pemanasan, penambahan
garam sulfat, penambahan senyawa analog mimosin, pencucian, mendapatkan
varietas baru yang rendah kandungan mimosinnya. Disamping itu pemanfaatan
bahan baku pakan ikan nila dari daun tumbuhan khususnya daun lamtorogung
dibatasi dengan kandungan yang tinggi dari komponen neutral detergent fiber
(NDF) 39,5% dan acid detergent fiber (ADF) 35,10% (Garcia et al. 1996). Serat
kasar merupakan komponen karbohidrat yang kaya akan lignin dan selulosa yang
bersifat sukar dicerna. Selulosa merupakan kerangka sel tanaman yang terdiri dari
8
rantai
-D-Glukosa dengan derajat polimerasi sebesar lebih kurang 14.000
(Baskoro 1996). Degradasi polisakarida yang terdapat pada dinding sel tanaman
yang merupakan bagian terbesar komponen serat kasar bervariasi bergantung
kepada jaringan tanaman, jenis tanaman dan umur tanaman (Amin 1997). Pada
manusia fungsi utama selulosa adalah untuk menyediakan bahan bulky (tidak
dapat dicerna) yang dapat meningkatkan efisiensi kerja saluran yang fungsinya
dapat disamakan dengan fungsi serat dalam pakan ternak (Djojosoebagio dan
Pilliang 1996). Salah satu usaha untuk mengatasi kecernaan serat yang rendah
adalah penggunaan enzim eksogen untuk menghidrolisis serat.
2.3 Cairan Rumen sebagai Sumber Enzim
Perut hewan ruminansia terdiri atas rumen, retikulum, omasum dan
abomasum. Rumen diakui sebagai sumber enzim pendegradasi polisakarida.
Polisakarida dihidrolisis di rumen disebabkan pengaruh sinergis dan interaksi dari
komplek mikro-organisme, terutama selulase dan xilanase (Trinci et al. 1994).
Mikroorganisme terdapat pada cairan rumen (liquid phase) dan yang menempel
pada digesta rumen. Enzim yang aktif mendegradasi struktural polisakarida
hijauan kebanyakan aktif pada mikroorganisme yang menempel pada partikel
pakan. Di dalam retikulo rumen terdapat mikrobia rumen yang terdiri atas
protozoa dan bekteri yang berfungsi melaksanakan fermentasi untuk mensintesis
asam amino, vitamin B-komplek dan vitamin K sebagai sumber zat makanan bagi
hewan induk semang (Hungate 1966).
Mikroba-mikroba rumen mensekresikan enzim-enzim pencernaan ke
dalam cairan rumen untuk membantu mendegradasi partikel makanan. Enzimenzim tersebut antara lain adalah enzim yang mendegradasi substrat selulosa yaitu
selulase, hemiselulosa/xylosa adalah hemiselulase/xylanase, pati adalah amilase,
pektin adalah pektinase, lipid/lemak adalah lipase, protein adalah protease dan
lain-lain (Kamra 2005).
Aktivitas enzim dalam cairan rumen juga tergantung dari komposisi atau
perlakuan makanan (Moharrey and Das 2001). Lee et al. (2002) memetakan
enzim-enzim dalam cairan rumen domba. Enzim-enzim yang terdapat dalam
cairan rumen domba antara lain adalah enzim-enzim selulolitik terdiri atas beta-D-
9
endoglukanase, beta-D-exoglukanase, beta-D-glukosidase dan beta-D-fucosida
fucohydrolase, enzim-enzim xylanolitik terdiri atas beta-D-xylanase, beta-Dxylosidase, acethyl esterase dan alfa-L-arabinofuranosidase, enzim-enzim
pektinolitik terdiri atas polygalakturonase, pectate lyase dan pectin lyase, dan
enzim-enzim lain yang terdiri atas beta-amilase, endo-arabilase, beta-D-gluanase
(laminarinase), beta-D-glucanase (Lichenase), beta-D-glucanase (Pechimanase)
dan protease. Beberapa enzim dalam cairan rumen dan aktivitas enzimnya
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi enzim cairan rumen domba
Enzim
Total Enzim (IU)
Selulase
- CMCase
Hemiselulase
- Xylanase
- Amilase
- Protease
Lee et al. (2002)1
Enzim hanya dalam Enzim dalam semua isi
cairan rumen domba
rumen domba
Agarwal et al (2003)2
362,7
12,80 (IU/ml
enzim/menit)
1183,7
20,39 (IU/ml
enzim/menit)
3,60
0,63 umol
glukosa/jam/ml
528,6
29,03 (IU/ml
enzim/menit)
439,0
16,53 (IU/ml
enzim/menit
84,80
2,52 (IU/ml
enzim/menit)
1751
26,53 (IU/ml
enzim/menit)
637,9
14,80 (IU/ml
enzim/menit)
125,6
3,83 (IU/ml
enzim/menit)
0,29
0,05 umol
xylosa/menit/ml
0,33
0,09 (umol
glukosa/menit/ml)
452,7
154,3 Ug
hidrolisis
protein/jam/ml)
Aktivitas Spesifik (IU/mg protein)
Selulase
- CMCase
206,7
9,03
protein/menit)
Hemiselulase
- Xylanase
300,2
11,34
protein/menit)
- Amilase
250,90
14,82
protein/menit)
- Protease
48,30
1,85
protein/menit)
(IU/mg
720,2
19,43 (IU/mg
protein/menit)
(IU/mg
1068,6
53,48 (IU/mg
protein/menit)
390,2
25,68 (IU/mg
protein/menit)
76,7
4,70 (IU/mg
protein/menit)
(IU/mg
(IU/mg
2.4 Enzim Pencernaan dan Perannya dalam Proses Pencernaan
Pemanfaatan materi dan energi pakan untuk pertumbuhan terlebih dahulu
melalui suatu proses pencernaan dan metabolisme. Dalam proses pencernaan,
makanan yang tadinya merupakan senyawa kompleks akan dipecah menjadi
senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah diserap melalui dinding usus dan
disebarkan ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah. Protein dihidrolisis
menjadi asam amino bebas dan peptida-peptida pendek, karbohidrat dipecah
10
menjadi gula-gula sederhana dan lemak menjadi asam-asam lemak dan gliserol.
Proses-proses di atas dilakukan oleh enzim-enzim pencernaan (Tillman et al.
1991).
Menurut Hepher (1990) kecernaan pakan dipengaruhi oleh keberadaan
enzim dalam saluran pencernaan ikan; tingkat aktivitas enzim-enzim pencernaan
dan lama kontak pakan yang dimakan dengan enzim pencernaan. Dengan
demikian peranan enzim pencernaan dalam proses pencernaan sangat dominan,
yaitu berperan dalam menghidrolisis senyawa kompleks menjadi senyawa
sederhana yang siap untuk diserap.
Enzim adalah katalisator biologis dalam reaksi kimia yang sangat
dibutuhkan dalam kehidupan. Enzim adalah protein, yang disintesis di dalam sel
dan dikeluarkan dari sel yang membentuknya melalui proses eksositosis. Enzim
yang disekresikan ke luar sel digunakan untuk pencernaan di luar sel (di dalam
rongga pencernaan) atau ”extra cellular digestion”, sedangkan enzim yang
dipertahankan di dalam sel digunakan untuk pencernaan di dalam sel itu sendiri
atau disebut ”intra cellular digestion” (Affandi et al. 1992).
Enzim pencernaan yang disekresikan dalam rongga pencernaan berasal
dari sel-sel mukosa lambung, pilorik kaeka, pankreas dan mukosa usus. Oleh
karena itu perkembangan sistem pencernaan erat kaitannya dengan perkembangan
aktivitas enzim di dalam rongga saluran pencernaan (Watford dan Lam 1993).
Enzim-enzim tersebut berperan sebagai katalisator dalam hidrolisis protein, lemak
dan karbohidrat menjadi bahan-bahan yang sederhana. Sel-sel mukosa lambung
menghasilkan enzim protease dengan suatu aktivitas proteolitik optimal pada pH
rendah. Pilorik kaeka yang merupakan perpanjangan usus terutama mensekresikan
enzim yang sama seperti yang dihasilkan pada bagian usus yaitu enzim
pencernaan protein, lemak dan karbohidrat yang aktif pada pH netral dan sedikit
basa. Cairan pankreatik kaya akan tripsin, yaitu suatu protease yang aktivitasnya
optimal sedikit di bawah pH basa. Di samping itu cairan ini juga mengandung
amilase, maltase dan lipase. Ikan yang tidak memiliki lambung dan pilorik kaeka,
aktivitas proteolitik terutama berasal dari cairan pankreatik.
Kecernaan (digestibility) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu (1) jenis pakan
yang dimakan dan kadar kepekaan pakan terhadap pengaruh enzim pencernaan,
11
(2) aktivitas enzim-enzim pencernaan, (3) lama waktu pakan yang dimakan
terkena aksi enzim pencernaan. Masing-masing faktor di atas dipengaruhi oleh
berbagai faktor sekunder yang berkaitan dengan ikan itu sendiri (spesies, umur,
ukuran) dan kondisi fisiologis, yang berkaitan dengan lingkungan (temperatur),
dan yang berkaitan dengan pakannya (komposisi pakan, ukuran partikel dan
jumlah pakan yang dimakan). Kecernaan berbeda antar spesies ikan, hal ini terjadi
akibat perbedaan sistem dan enzim-enzim pencernaan.
Kemampuan ikan dalam mencerna makanan sangat bergantung pada
kelengkapan
organ
pencernaan
dan
ketersediaan
enzim
pencernaan.
Perkembangan saluran pencernaan tersebut berlangsung secara bertahap dan
setelah
mencapai
ukuran/umur
tertentu
saluran
pencernaan
mencapai
kesempurnaannya. Perkembangan struktur alat pencernaan ini diikuti oleh
perkembangan enzim pencernaan dan perubahan kebiasaan makan (food habit).
Kandungan nutrien pakan nampaknya berpengaruh pada aktivitas enzim
pencernaan. Kuzmina (1996) mengungkapkan bahwa tersedianya substrat
merupakan faktor yang nyata dalam pengaturan aktivitas enzim pada ikan dan
mamalia. Kandungan protein pakan yang tinggi dikaitkan dengan kandungan
selulosa yang rendah umumnya meningkatkan aktivitas protease pada ikan
rainbow trout (Hepher 1990). Peningkatan proporsi pati kentang dalam pakan dari
10 menjadi 90% yang diikuti penurunan proporsi tepung ikan akan meningkatkan
aktvitas enzim maltase dan amilase pada ikan mas, dan adaptasi enzim
karbohidrase ini terhadap komposisi pakan sudah terlihat kurang dari satu minggu
(Kawai dan Iceda 1972). Peningkatan protein pakan dan penurunan kadar selulose
pakan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim amilase pada ikan rainbow trout
(Kawai dan Iceda 1972).
Stickney dan Shumway (1974) menyatakan bahwa enzim selulosa
diproduksi oleh mikroflora usus, yang dihubungkan dengan aktivitas selulosa
dalam usus dengan jumlah selulase/bakteri selulitik. Das dan Tripathi (1991)
mendapatkan kemunduran drastis dalam aktivitas selulase ketika ikan grass carp
diberi pakan dari makanan yang mengadung tetrasiklin. Pemanfaatan daun
lamtorogung sangat dibatasi oleh kecernaan ikan yang terbatas terhadap jenis
12
dedaunan ini. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan enzim selulotik yang terbatas
dalam saluran pencernaan ikan.
Enzim
protease
menguraikan
rantai-rantai
peptida
dari
protein.
Berdasarkan letak ikatan peptida pada tengah atau akhir molekul, peptidase
diklasifikasikan menjadi endopeptidase dan eksopeptidase. Endopeptidase
menghidrolisis protein dan peptida-peptida rantai panjang menjadi peptida-peptida
pendek. Endopeptidase penting antara lain pepsin yang dihasilkan dari zimogen
pepsinogen, tripsin dari tripsinogen dan kimotripsin dari kimotripsinogen.
Eksopeptidase
menghidrolisis
peptida
menjadi
asam-asam
amino.
Karboksipeptidase, aminopeptidase dan dipeptidase termasuk dalam kelompok
eksopeptidase. Alfa amilase adalah enzim yang bertanggung jawab menghidrolisis
pati menjadi glukosa. Enzim ini memutuskan ikatan 1,4- -glukosidik dan
mengubah pati menjadi glukosa dan maltosa. Sedangkan lipase adalah enzim
penting dalam pencernaan lemak. Lipase memecah lemak menjadi gliserol dan
asam lemak (Steffens 1989; Hepher 1990).
Enzim berperan dalam mengubah laju reaksi, sehingga kecepatan reaksi
yang diperlihatkan dapat dijadikan ukuran keaktifan enzim. Satu unit enzim
adalah jumlah enzim yang mengkatalisis transformasi 1 mikromol substrat dalam
waktu 1 menit pada suhu 25 C dan pada keadaan pH optimal (Well 1979 dalam
Affandi et al. 1992). Aktivitas enzim bergantung pada konsentrasi enzim dan
substrat, suhu, pH dan inhibitor. Huisman (1976) menyatakan bahwa enzim
pencernaan yang dihasilkan oleh lambung ikan aktif pada pH 2 sampai 4.
2.5 Kualitas Air
Ikan hidup pada suatu lingkungan yang selalu berubah baik harian,
musiman, bahkan tahunan. Ikan bersifat poikilothermal yang berarti suhu
tubuhnya harus sesuai dengan kondisi lingkungan yang selalu berubah tersebut.
Perubahan kondisi lingkungan ini tentunya akan mempengaruhi kehidupan
organisme. Perubahan lingkungan terutama terjadi pada kualitas air. Kualitas air
yang kurang baik mengakibatkan pertumbuhan ikan menjadi lambat.
Pada umumnya, Tilapia tidak tumbuh dengan baik pada suhu di bawah
16°C dan tidak dapat bertahan hidup setelah beberapa hari di bawah suhu 10°C
13
(Chervinski 1982 dalam Stickney 1993). Pertumbuhan ikan sangat dipengaruhi
suhu lingkungan perairan. Metabolisme pada tubuh ikan akan semakin meningkat
dengan meningkatnya suhu lingkungan. Sebagian besar spesies ikan yang hidup di
perairan hangat (warmwater), pertumbuhan ikan berkisar pada suhu 17-18°C dan
optimal pada suhu 28-30°C (Kinne 1960 dalam Hepher 1990).
Beberapa spesies Tilapia telah banyak diakui dapat bertahan hidup dalam
kondisi oksigen terlarut yang rendah. Tingkat oksigen terlarut yang paling rendah
untuk dapat bertahan hidup adalah 0,1 mg/l pada Tilapia mossambica dan Tilapia
nilotica (Maruyama 1958; Magid dan Babiker 1975 dalam Stickney 1993).
Wardoyo (1991) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang baik bagi
pertumbuhan ikan umumnya lebih dari 5 mg/l.
Selain suhu dan kandungan oksigen terlarut, pH atau derajat keasaman
perairan juga mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan.
Bagi sebagian besar spesies ikan, pH yang rendah atau tinggi di luar kisaran 6,59,0 dapat menurunkan pertumbuhan rata-rata dan pada kondisi ekstrim dapat
mengganggu kesehatan ikan (Swingle 1961; Alabaster dan Llyod 1980 dalam
Hepher 1990). Ammonia yang tidak terionisasi (NH3) memiliki pengaruh
meracuni bagi ikan (Hepher 1990). Meade dalam Boyd (1990) menyimpulkan
bahwa konsentrasi maksimum ammonia yang aman untuk ikan belum diketahui,
tetapi kadar ammonia di atas 0,012 mg/l masih diperbolehkan dan pada umumnya
dapat diterima oleh organisme budidaya.
14
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan bulan
Oktober 2009. Analisis proksimat bahan baku dan pakan uji, pembuatan pakan
serta pemeliharaan ikan dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, sedangkan
pengujian kualitas air dilakukan di Laboratorium Lingkungan, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
3.2 Pakan Uji
Pakan yang digunakan selama penelitian berbentuk pelet dengan perlakuan
campuran bahan nabati tepung daun lamtorogung (TDL) pada level yang berbeda.
Pakan uji yang digunakan adalah:
a. Pakan kontrol tanpa TDL (A);
b. Pakan dengan TDL 10% (B);
c. Pakan dengan TDL 15% (C);
d. Pakan dengan TDL 20% (D);
e. Pakan dengan TDL 25% (E);
f. Pakan dengan TDL 30% (F).
Dalam pembuatan TDL, daun lamtorogung direndam dalam air tawar
selama 24 jam kemudian diangin-anginkan dan selanjutnya dioven dengan suhu
600C. Setelah kering, daun lalu digiling menjadi tepung (TDL). Sebelum
dicampur dengan bahan pakan lainnya, TDL diinkubasi dengan enzim dari cairan
rumen domba sebanyak 1000 ml/kg selama 24 jam. Isolasi dan produksi enzim
dari rumen domba yang diambil diusahakan selalu dalam kondisi dingin.
Selanjutnya cairan rumen disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 20
menit pada suhu 4 C, kemudian cairan (supernatan) yang terbentuk dapat diambil
sebagai sumber enzim.
Semua bahan baku pakan terlebih dahulu dianalisis proksimat. Hasil
analisa proksimat bahan kemudian digunakan untuk penyusunan formulasi pakan
uji (Tabel 4) untuk selanjutnya dicetak menjadi pelet. Pakan yang telah dibuat
15
dalam bentuk pelet lalu dianalisis proksimat kembali untuk mengetahui
pemenuhan target protein, energi protein rasio, maupun jumlah energi pakan yang
ada (Tabel 5).
Tabel 4. Formulasi pakan uji untuk ikan nila (%)
Jenis bahan baku
Tepung Ikan
T.lamtoro gung
T. Bungkil Kedelai
DDGS
Tepung Pollard
Tepung Sagu
Minyak Jagung
Minyak Ikan
Vitamin Mix
Mineral Mix
Kromium-ragi
vit c
choline chloride
lysin+metionin (1:1)
Total (%)
C/P (kkal/kg)*
% Protein
DE (kkal/kg pakan)**
A
15,00
0,00
23,00
24,00
28,03
2,00
1,00
2,00
0,20
0,20
3,00
1,00
0,50
0,07
100,00
9,25
28,50
2635,00
B
15,00
10,00
22,60
20,00
22,43
2,00
1,00
2,00
0,20
0,20
3,00
1,00
0,50
0,07
100,00
9,06
28,90
2617,21
Perlakuan
C
D
15,00
15,00
15,00
20,00
20,60
19,60
19,00
17,00
20,43
18,43
2,00
2,00
1,00
1,00
2,00
2,00
0,20
0,20
0,20
0,20
3,00
3,00
1,00
1,00
0,50
0,50
0,07
0,07
100,00
100,00
9,09
9,06
28,68
28,63
2606,15
2595,01
E
15,00
25,00
16,60
15,00
18,43
2,00
1,00
2,00
0,20
0,20
3,00
1,00
0,50
0,07
100,00
9,22
27,96
2578,22
F
15,00
30,00
13,60
15,00
16,43
2,00
1,00
2,00
0,20
0,20
3,00
1,00
0,50
0,07
100,00
9,31
27,58
2567,25
Keterangan :
* C = energi ; P = protein
**1 g protein = 3,5 kkal DE, 1 g karbohidrat = 2,5 kkal DE, 1 g lemak = 8,1 DE (NRC 1977)
Tabel 5. Komposisi proksimat pakan perlakuan (% bobot kering)
Komposisi proksimat
Pakan perlakuan
A (0%)
B (10%)
C (15%)
D (20%)
E (25%)
F (30%)
Protein
31,12
30,35
32,90
32,90
32,29
30,56
Lemak
8,79
8,21
9,38
9,26
9,35
9,55
Abu
9,73
9,82
9,71
9,05
10,13
8,91
Serat Kasar
6,03
5,97
5,56
4,78
5,81
5,83
36,08
38,46
33,39
35,27
33,09
36,17
DE
2703,09
2688,78
2745,92
2783,56
2714,58
2747,31
C/P
8,69
8,86
8,35
8,46
8,41
8,99
BETN
Keterangan:
BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
3.3 Pemeliharaan Ikan
Ikan yang dipelihara adalah ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan
bobot awal rata-rata 9,38±0,41 gram dan padat tebar 8 ekor/akuarium. Sebelum
pemeliharaan dimulai, dilakukan terlebih dahulu persiapan wadah. Persiapan
16
wadah meliputi persiapan tata letak, sterilisasi wadah dan alat-alat menggunakan
kaporit, pemasangan sistem aerasi dan resirkulasi, serta pengisian air. Penelitian
yang dilakukan adalah 6 perlakuan dengan 3 kali ulangan sehingga akuarium yang
dibutuhkan sebanyak 18 buah. Ukuran akuarium yang digunakan yaitu 35x40x50
cm dengan ketinggian air rata-rata 30 cm.
Persiapan ikan meliputi pengadaptasian ikan terhadap kondisi lingkungan
dan pakan uji. Ikan yang baru datang diaklimatisasi terlebih dahulu dengan
kondisi laboratorium selama 14 hari. Pakan yang diberikan mula-mula adalah
pakan komersil. Sebelum perlakuan, ikan dipuasakan terlebih dahulu selama 24
jam dengan tujuan menghilangkan sisa pakan dalam saluran pencernaan selama
masa aklimatisasi.
Ikan dipelihara selama 40 hari dan diberi pakan secara at satiation dengan
frekuensi 3 kali sehari. Untuk mengetahui efisiensi pakan yang diberikan, maka
pakan harus diketahui bobotnya. Selain itu, dilakukan penimbangan bobot ikan
awal dan akhir serta yang mati. Untuk menjaga kualitas air, dilakukan penyiponan
dan penggantian air serta menggunakan pemanas air elektrik (heater) agar suhu
stabil. Faktor kualitas air yang diperhatikan adalah suhu yang diamati setiap pagi
hari sebelum pemberian pakan serta pengukuran pH, alkalinitas, kesadahan, TAN
dan DO di awal dan akhir pemeliharaan. Sampling bobot ikan hanya dilakukan di
awal dan akhir pemeliharaan untuk menghindari ikan stres.
3.4 Analisis Kimia Pakan dan Ikan Perlakuan
Analisis proksimat dilakukan terhadap bahan dan pakan perlakuan yang
meliputi kadar protein kasar, lemak kasar, serat kasar, abu, air dan Bahan Ekstrak
Tanpa Nitrogen (BETN). Sedangkan untuk ikan awal dan akhir pemeliharaan,
analisis proksimat yang dilakukan yaitu kadar protein kasar, lemak kasar dan air.
Analisis proksimat untuk protein kasar dilakukan dengan metode Kjeldahl, lemak
kasar pada bahan dan pakan perlakuan dengan metode Soxhlet, lemak pada tubuh
ikan dengan metode Folch, abu dengan pemanasan sampel dalam tanur bersuhu
600 °C, serat kasar menggunakan metode pelarutan sampel dengan asam dan basa
kuat serta pemanasan dan kadar air dengan metode pemanasan dalam oven
17
bersuhu 105-110 °C (Takeuchi 1988 dalam Watanabe 1988). Metode analisis
proksimat dijelaskan pada Lampiran 3.
3.5 Pengumpulan dan Pengolahan Data
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1) pertumbuhan, 2)
efisiensi pakan, 3) retensi protein, 4) retensi lemak dan 5) konsumsi pakan.
3.5.1 Laju Pertumbuhan Spesifik
Pertumbuahan diukur dengan menimbang ikan uji pada awal dan akhir
perlakuan. Laju pertumbuhan spesifik dihitung dengan rumus Huisman (1976).
LPS
Wt
1
Wo
t
Keterangan : LPH
100
= laju pertumbuhan spesifik
Wt
= bobot akhir ikan uji
Wo
= bobot awal ikan uji
t
= masa pemeliharaan
3.5.2 Efisiensi Pakan
Efisiensi pakan didefinisikan sebagai peningkatan berat basah daging per
unit berat pakan kering. Efisiensi pakan dianalisis berdasarkan rumus Takeuchi
(1988) dalam Watanabe (1988), yaitu:
EP
(Wt D) W0
100
F
Keterangan:
EP = efisiensi pakan (%)
Wt = bobot ikan pada waktu t (gram)
Wo= bobot ikan pada awal penelitian (gram)
D = bobot ikan yang mati selama penelitian (gram)
F = jumlah pakan yang dikonsumsi (gram)
3.5.3 Retensi Protein dan Lemak
Retensi protein dan lemak dapat diketahui dengan melakukan analisis
proksimat terhadap pakan serta tubuh ikan sebelum dan sesudah percobaan.
18
Retensi protein dihitung dengan rumus Takeuchi (1988) dalam Watanabe
(1988).
Rp
F I
100
P
Keterangan:
Rp = retensi protein (%)
F = jumlah protein dalam tubuh ikan pada akhir penelitian
I = jumlah protein dalam tubuh ikan pada awal pemeliharaan
P = jumlah protein yang dikonsumsi ikan
Retensi lemak dihitung dengan rumus Takeuchi (1988) dalam Watanabe
(1988).
Rl
Lt Lo
100
L
Keterangan:
Rl = retensi lemak (%)
Lt = jumlah lemak dalam tubuh ikan pada akhir penelitian
Lo = jumlah lemak dalam tubuh ikan pada awal pemeliharaan
L = jumlah lemak yang dikonsumsi ikan
3.5.4 Jumlah Konsumsi Pakan
Jumlah konsumsi pakan ditentukan dengan menimbang pakan yang
diberikan pada ikan uji setiap hari selama percobaan dilakukan. Pada akhi
percobaan, pakan yang telah diberikan dijumlahkan dan dikurangi sisa pakan yang
telah dikeringkan menjadi data konsumsi pakan.
3.6 Analisis Statistik
Rancangan yang digunakan pada penelitian adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan tiga kali ulangan untuk setiap
perlakuan. Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis menggunakan
program MS. Office Excel 2007 dan SPSS 15.0 dengan menggunakan uji lanjut
Duncan.
19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Data rata-rata parameter uji hasil penelitian, yaitu laju pertumbuhan
spesifik (LPS), efisiensi pemberian pakan (EP), jumlah konsumsi pakan (JKP),
retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL) disajikan pada Tabel 6. Data tiap
ulangan dan analisis statistiknya disajikan pada Lampiran 4.
Tabel 6. Data hasil parameter kinerja pertumbuhan ikan uji
Perlakuan
LPS (%)
EP (%)
a
51,76 ± 6,25
JKP (g)
a
RP (%)
103,71 ± 27,19a
2,66 ± 0,34
B (10%)
2,60 ± 0,18a
59,28 ± 7,31a
197,43 ± 13,33ab
51,99 ± 15,34a
93,94 ± 20,38a
C (15%)
2,20 ± 0,09a
45,90 ± 9,12a
180,42 ± 43,62ab
42,83 ± 4,63a
86,78 ± 6,25a
D (20%)
2,11 ± 0,29
ab
a
ab
E (25%)
2,09 ± 0,21ab
45,87 ± 3,73a
191,80 ± 33,69
180,93 ± 15,00ab
43,25 ± 17,33
RL (%)
a
A (0%)
42,18 ± 5,48
223,20 ± 55,21
a
a
81,20 ± 31,22a
47,55 ± 22,97a
91,99 ± 31,12a
25,17 ± 19,35
F (30%)
1,47 ± 0,18b 48,07 ± 22,81a 152,98 ± 21,93b 56,17 ± 29,07a 55,84 ± 25,54a
Keterangan: huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata (P>0,05).
Berdasarkan
Tabel 6, terlihat bahwa pertumbuhan (LPS) ikan uji
mengalami penurunan pada penggunaan TDL yang makin meningkat. Perlakuan
pakan dengan TDL 0% (A) sampai 15% (C) memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap pertumbuhan jika dibandingkan dengan perlakuan pakan yang
menggunakan TDL 30% (F). Sementara itu, efisiensi pakan (EP) pakan uji
menunjukkan pengaruh yang sama pada semua perlakuan.
Pakan uji yang mengandung TDL 0%, 10%, 15%, 20% maupun 25%
memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah konsumsi pakan
(JKP). Akan tetapi, perlakuan pakan A menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap perlakuan F. JKP tertinggi adalah pada perlakuan A sebanyak
223,20 ± 55,21gram dan terendah pada perlakuan F 152,98 ± 21,93 gram.
Nilai retensi menggambarkan jumlah protein atau lemak yang disimpan
dalam tubuh ikan uji. Berdasarkan Tabel 6, nilai retensi protein (RP) tertinggi
adalah pakan perlakuan F. Sebaliknya, retensi lemak (RL) pada perlakuan ini
adalah yang terendah dibandingkan dengan lima perlakuan lainnya. Uji statistik
terhadap nilai RP dan RL dari seluruh perlakuan memperlihatkan pengaruh yang
tidak berbeda nyata.
20
4.2 Pembahasan
Penelitian ini menggunakan pakan berbasis tepung daun lamtorogung
(TDL) sebagai alternatif sumber protein nabati pada pakan ikan. TDL sebelumnya
dihidrolisis dengan ekstrak enzim kasar cairan rumen domba (predigestion) untuk
meningkatkan daya gunanya. Kinerja pertumbuhan ikan uji, yakni ikan nila, yang
diamati adalah laju pertumbuhan spesifik (LPS), efisiensi pemberian pakan (EP),
jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL).
Pertumbuhan ikan uji yang digambarkan dengan nilai LPS, berdasarkan
Tabel 6 menunjukkan hasil yang terus menurun pada peningkatan level TDL. Laju
pertumbuhan spesifik sendiri merupakan proses perubahan bobot individu pada
periode waktu tertentu. Laju pertumbuhan juga menjelaskan kemampuan ikan
dalam memanfaatkan nutrien pakan yang disimpan dalam tubuhnya kemudian
mengkonversinya menjadi energi.
Pertumbuhan berkaitan dengan jumlah konsumsi pakan dan efisiensi
pemanfaatan pakan yang diberikan. Pakan yang dikonsumsi (JKP) merupakan
sumber nutrien untuk pertumbuhan, yaitu sebagai sumber energi dan materi
pembangun tubuh. Sedangkan pemanfaatan pakan yang diberikan (EP)
didefinisikan sebagai peningkatan berat basah daging per unit berat pakan kering.
Semakin besar nilai efisiensi pakan, menunjukkan pemanfaatan pakan dalam
tubuh ikan semakin efisien dan kualitas pakan tersebut makin baik.
Semakin kecilnya persentase pertumbuhan diikuti dengan menurunnya
jumlah konsumsi pakan. Hal ini menunjukkan kecenderungan menurunnya nafsu
makan ikan pada peningkatan dosis TDL di dalam komposisi pakan. Jumlah
konsumsi pakan berdasarkan Tabel 6 nilainya cenderung menurun sejalan dengan
meningkatnya penggunaan TDL. Konsumsi pakan tertinggi adalah pakan
perlakuan A dengan TDL 0%. Perlakuan ini juga menghasilkan pertumbuhan
tertinggi dibandingkan dengan lima perlakuan lainnya. Konsumsi pakan tertinggi
kedua adalah perlakuan B dengan TDL 10% dan diikuti dengan nilai LPH yang
tidak berbeda nyata dengan pakan perlakuan A. Pertumbuhan sampai level TDL
15%, menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, demikian pula halnya dengan
nilai EP dan JKP-nya.
21
Ikan sangat sensitif terhadap rasa dan bau tertentu di dalam makanannya
(palatabilitas) dan hal ini akan mempengaruhi konsumsinya terhadap pakan.
Sebagaimana disebutkan oleh Jackson et al. (1982) dalam Robert (2002) bahwa
penelitian terhadap Leucaena yang mengandung mimosin di dalam komposisi
pakannya memberikan hasil pertumbuhan dan nafsu makan ikan yang rendah.
Diduga, hal ini disebabkan karena di dalam bahan TDL yang digunakan masih
mengandung zat antinutrisi yaitu mimosin dan konsentrasinya semakin banyak
pada peningkatan penggunaan TDL. Banyaknya kandungan mimosin pada TDL
bergantung pada jenis dan umur tanaman serta pengolahannya hingga menjadi
tepung (Hertrampf dan Pascual 2000). Selain itu, beberapa nutrien esensial yang
dibutuhkan oleh ikan tidak sepenuhnya dimiliki oleh TDL. Akibatnya,
metabolisme akan ikut terganggu sehingga akan berpengaruh pula terhadap
kontrol nafsu makan, pengangkutan nutrien di dalam tubuh, penyerapan nutrien
dari darah ke jaringan serta pertumbuhan.
Pertumbuhan ikan sangat bergantung pada pasokan energi dalam pakan
dan pembelanjaan energi. Pertumbuhan akan terjadi apabila ada kelebihan energi
dari pakan yang dikonsumsi setelah kebutuhan energi minimumnya (untuk hidup
pokok) sudah terpenuhi, seperti bernafas, berenang, proses metabolisme dan
perawatan (maintenance). Sementara itu, pemanfaatan materi dan energi pakan
untuk pertumbuhan terlebih dahulu melalui proses pencernaan dan metabolisme.
Dalam proses pencernaan, makanan yang tadinya merupakan senyawa kompleks
akan dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah diserap
melalui dinding usus dan disebarkan ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran
darah.
Komponen pakan yang berkontribusi terhadap penyediaan materi dan
energi tumbuh adalah protein, karbohidrat dan lemak. Pertumbuhan ikan yang
relatif lambat disebabkan karena kandungan energi pakan khususnya yang berasal
dari karbohidrat dan lemak tidak cukup untuk proses metabolisme. Akibatnya,
protein digunakan dalam proses tersebut sehingga tidak mencukupi bagi ikan
untuk proses pertumbuhan. Banyaknya protein pakan yang tersimpan dalam tubuh
ikan (RP) tertinggi pada Tabel 6 adalah pada perlakuan F. Akan tetapi, lemak
yang disimpan oleh ikan perlakuan ini (RL) justru adalah yang terendah
22
dibandingkan lima perlakuan lainnya. Dengan demikian, sebagian besar protein
yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan akan dimanfaatkan sebagai
sumber energi. Selain itu, konsumsi pakan ikan perlakuan F juga menunjukkan
jumlah terendah sehingga meskipun nilai efisiesi pakannya tergolong tinggi,
pasokan energi dari pakannya pun kurang.
Daya cerna didefinisikan sebagai bagian pakan yang diserap oleh hewan.
Dari Tabel 6 terlihat bahwa pakan perlakuan memberikan pengaruh yang tidak
berbeda nyata terhadap nilai RP dan RL. Dengan demikian, nilai retensi baik
protein maupun lemak dapat memberikan gambaran mengenai kemampuan ikan
nila dalam mencerna pakan dengan basis tepung daun lamtorogung. Ikan nila
sendiri telah diketahui sebagai ikan omnivora yang cenderung herbivora sehingga
akan lebih mudah beradaptasi dengan jenis pakan yang dicampur dengan sumber
bahan nabati. Selain itu, aktivitas enzim amilase pada ikan omnivora lebih tinggi
dan dapat memanfaatkan protein dari bahan nabati lebih baik. Ikan ini juga
memiliki usus yang lebih panjang dibandingkan ikan karnivora sehingga materi
makanan dari tanaman yang sulit dicerna lebih lama berada di dalam saluran
pencernaan dan ikan memiliki kesempatan untuk mencernanya dengan lebih baik.
Pemanfaatan bahan baku pakan ikan nila dari daun tumbuhan khususnya
daun lamtorogung dibatasi dengan kandungan yang tinggi dari komponen neutral
detergent fiber (NDF) 39,5% dan acid detergent fiber (ADF) 35,10% (Gracia et
al. 1996). Serat kasar merupakan komponen karbohidrat yang kaya akan lignin
dan selulosa yang bersifat sukar dicerna oleh ikan. Polisakarida yang terdapat
pada dinding sel tanaman merupakan bagian terbesar komponen serat kasar
tersebut. Pada hewan ruminansia, komponen serat kasar ini dicerna dengan
bantuan mikroba tertentu di dalam usus. Salah satu usaha untuk mengatasi
kecernaan serat yang rendah pada ikan adalah penggunaan enzim eksogen untuk
menghidrolisis serat.
Peranan enzim pencernaan dalam proses pencernaan sangat dominan, yaitu
berperan dalam menghidrolisis senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana
yang siap diserap. Isi rumen diakui sebagai sumber enzim pendegradasi
polisakarida. Rumen sendiri merupakan bagian dari perut hewan ruminansia
dimana didalam retikulonya terdapat mikrobia rumen yang terdiri atas protozoa
23
dan bakteri yang berfungsi melaksanakan fermentasi untuk mensintesis asam
amino, vitamin B-komplek dan vitamin K sebagai sumber zat makanan bagi
hewan induk semang (Hungate 1966). Mikroba-mikroba rumen mensekresikan
enzim-enzim pencernaan ke dalam cairan rumen untuk membantu mendegradasi
partikel makanan. Penggunaan ekstrak enzim kasar cairan rumen domba ini
diharapkan dapat meningkatkan daya guna TDL dalam komposisi pakan ikan
dengan menurunkan serat kasarnya sehingga pakan akan lebih mudah dicerna.
24
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Tepung daun lamtorogung (TDL) yang telah dihidrolisis dengan cairan
rumen domba sebanyak 1000 ml/kg dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein
nabati alternatif pada pakan ikan nila. Berdasarkan hasil penelitian ini, pakan
dengan dosis TDL hingga 15% dapat mendukung pertumbuhan ikan nila dengan
baik. Sementara itu, penggunaan TDL di atas 20% dapat mengganggu
pertumbuhan dan menurunkan nafsu makan ikan.
5.2 Saran
Sebaiknya dalam memanfaatkan TDL sebagai bahan pakan ikan nila
digunakan dosis 15%. TDL perlu diolah dengan teknik yang lebih disempurnakan
untuk menurunkan toksisitas mimosin yang ada di dalamnya sehingga
penggunaannya dapat ditingkatkan. Untuk mengetahui kemampuan ikan dalam
memanfaatkan pakan berbasis TDL, perlu dicobakan pula pada ikan dengan
ukuran, umur maupun spesies yang berbeda.
25
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R, Sjafei DS, Rahardjo MF, Sulistiono. 1992. Fisiologi ikan (pencernaan).
Bogor : Institut Pertanian Bogor, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat.
Amisah S, Oteng MA, Ofori JK. 2009. Growth performance of the African
catfish, Clarias gariepinus, fed varying inclusion levels of Leucaena
leucocephala leaf meal. Journal of Applied Sciences & Environmental
Management 13: 21-26.
Brewbaker LL, Hylin JW. 1965. Variation in mimosin contain among leucaena
spesies and related mimmosaceae. Corp Sci: 348-349.
Boyd CE. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Department of Fisheries
and Allied Aquacultures. Auburn University. Alabama.
Catacutan MR, Greorgia EP. 2004. Partial replacement of Fishmeal by defatted
soybean meal in formulated diets for the mangrove red snapper,
Lutjanus argentimaculatus. Aquaculture Research 35: 299 - 306
Cheng ZJ, Hardy RW, Blair M. 2003. Effects of supplementing methionine
hidroxy analogue in soybean meal and distiller’s dries grain-based diet
on the performance and nutrient retention of rainbow trout
Oncorhynchus mykiss (Walbaum). Aquaculture Research 34: 1303.
Cho CY, Cower CW, Watanabe T. 1983. Finfish nutrition in Asia.
Methodological approach to research and development: Ontario,
University of Guelph. pp 154.
Cruz BM, Laudencia IL. 1977. Preliminary study on the protein requirement
of Nile tilapia (Tilapia niloticus) fingerlings. Fisheries Research
Journal, Philippines 3: 34-35.
Das KM, Tripathi SD. 1991. Studies on digestive enzymes of grass carp
Ctenopharyngodon idella (Val). Aquaculture 92: 11-21.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2008. Volume impor bahan baku
pakan periode Januari-September 2008. www.dkp.go.id. [9 Agustus
2009].
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2009. Volume produksi perikanan
budidaya. www.dkp.go.id. [9 Agustus 2009].
El-Sayed M, Fattah MA. 1999. Alternative dietary protein sources for farmed
tilapia Oreochromis sp.. Aquaculture 179: 149-106.
26
Elangovan A, Shim KF. 2000. The influence of replacing fish meal partially in the
diet with soybean meal on growth and body composition of juvenile tin
foil barb Barbodesw altus. Aquaculture 189: 133-144.
Furuichi M. 1988. Dietary vity of carbohydrates. Di dalam: Watanabe T (Editor).
Fish nutrition and marine culture. Departement of Aquatic Biosciences
Tokyo University of Fishes, Tokyo. pp 1-77.
Garcia GW, Fergusson TU, Neckles FA, Archibald KAE. 1996. The nutritive
value and forage productivity of Leucaena leucocephala. Anim Feed
Sci Technol, 60: 29-41.
Hepher B. 1990. Nutrition of pond fishes. New York: Cambridge, Cambridge
University Press.
Hertrampf JW, Piedad-Pascual F. 2000. Handbook on ingredients for aquaculture
feeds. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht. Boston, London.
Huisman EA. 1976. Food conversion efficiencies at maintenance and production
levels of carp (Cyprinus carpio) and rainbow trout (Salmo gairdiveri).
Aquaculture 9: 259-273.
Hungate R. 1966. The rumen and its microbes. London and New York: Academic
Press.
Jauncey K. 1982. The effect of varying dietary protein level on growth, food
conversion, protein utilization and body composition of juvenile tilapias
(S. mossambicus). Aquaculture 27: 43-54.
Jauncey K, Rose B. 1982. A guide to tilapia feeds and feeding. Institute of
Aquaculture. Univ. of Sterling, Scotland.
Jobling M. 1994. Food intake in fish. Norwegian College of Fishery Science
(NFH). University of Tromso 9037 Tromso, Norwegia.
Kamra DN. 2005. Special section microbial diversity: rumen microbial
ecosystem. Current Science 89: 124-135.
Khoironi. 1996. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan nila merah
(Oreochromis sp.) pada suhu media 28±0,25°C dengan salinitas 0, 10
dan 20 ppt. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Kubaryk JM. 1980. Effects of diet, feeding schedule, and sex on food
consumption, growth, and retention of protein and energy by Tilapia.
[Ph.D. dissertation]. Auburn University, Auburn, Alabama.
27
Kuzmina W. 1996. Influence of age on digestive enzyme activity in some
freshwater teleostei. Aquaculture 148: 25-37.
Lee SS, Kim CH, Ha JK, Moon YH, Choi NJ, Cheng KJ. 2002. Distribution and
activities of hydrolytic enzymes in the rumen compartements of
hereford bulls fed alfalfa based diet. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15:
1725-1731.
Lim C, Dominy WG. 1991. Utilization of plant proteins by warmwater fish. Di
dalam: Akiyama DM dan Tan RKH (Editor). Proc Aquaculture Feed
Processing and Nutrition Workshop. Thailand and Indonesia, 19-25
September 1991. pp 163-172.
Lovell T. 1989. Nutrition and feeding of fish. Van Nostrand Reinhold, New York.
Meulen US, Schulke, El-Harith EA. 1979. Review on the nutritive value and toxic
aspects of Leucaena leucocephala. Trop. Anim. Prod. 4: 113-116.
Moharrey A, Das TK. 2002. Correlation between microbial enzyme activities in
the rumen fluid of sheep under different treatments. Reprod. Nutr. Dev.
41: 513-529.
NAS. 1994. Leucaena: promising forage and tree crop for tropics, second edition.
National Academy of Sciences, Washington.
National Research Council (NRC). 1983. Nutrient requirements of warmwater
fishes and shellfish. National Academy of Sciences, Washington DC.
National Research Council (NRC). 1993. Nutrient requirements of fish. National
Academy of Sciences, Washington DC.
Pebriyadi B. 2004. Penambahan metionina dan triptofan dalam pakan benih ikan
nila yang mengandung tepung bungkil kedelai. [Tesis]. Program Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Pelawi TL. 2003. Pengaruh pemberian Daphnia sp. yang diperkaya dengan
minyak ikan, minyak jagung dan minyak kelapa terhadap pertumbuhan
dan tingkat kelangsungan hidup larva ikan nila (Oreochromis niloticus).
[Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Pieper A, Pfeffer E. 1980. Studies on the comparative efficiency of utilization of
gross energy from some carbohydrates, proteins and fats by rainbow
trout (Salmo gairdneri R.). Aquaculture 20: 323–332.
Popma TJ. 1982. Digestibility of selected feedstuffs and naturally occurring algae
by tilapia. [Ph.D. dissertation]. Auburn University, Auburn, Alabama.
28
Rachmiwati LM. 2008. Pemanfaatan limbah budidaya ikan lele Clarias sp. oleh
ikan nila Oreochromis niloticus melalui pengembangan bakteri
heterotrof. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Robert RJ. 2002. Nutritional pathology. Di dalam: Halver JE dan Hardy RW
(Editor). Fish nutrition, third edition. Elsevier science academic press,
USA.
Rosmawati. 2005. Hidrolisis pakan buatan oleh enzim pepsin dan pankreatin
untuk meningkatkan daya cerna dan pertumbuhan benih ikan gurami
(Osphronemus gouramy). [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Saha A, Ray AK. 1998. Cellulose activity in rohu fingerlings. Aquaculture
International 6: 281-291.
Santiago CB, Lovell RT. 1988. Amino acid requirement for growth of Nile tilapia.
Journal of Nutrition 118: 1540-1546.
Sargent JR, Tocher DR, Bell JG. 2002. The lipids. Di dalam: Halver JE dan Hardy
RW (Editor). Fish nutrition, third edition. Elsevier science academic
press, USA. pp 207-221.
Scott JR, Newton SH, Katayama RW. 1982. Evaluation of sunflower meal as a
soybean meal replacement in rainbow trout diets. Proceeding of ThirtySixth Annual Conference. South-Eastern Association of Fish and
Wildlife Agencies: October 31 to November 2, Jacksonville, Florida.
Siddiqui AQ, Howlader MS, Adam AA. 1988. Effects of dietary protein level on
growth, feed conversion and utilization in fry and young Nile tilapia,
Oreochromis niloticus. Aquaculture 70: 63-73.
Steffens W. 1989. Principles of fish nutrition. Halsted Press: a Division of John
Wiley & Sons, New York. pp 384.
Stickney RR, Shumway SE. 1974. Occurrence of cellulose activity in the
stomachs. Journal of Fish Biology 6: 779-790.
Stickney RR. 1993. Culture of nonsalmonid freshwater fishes, second edition.
CRC Press Inc, Florida.
Suprayudi MA, Bintang M, Takeuchi T, Mokoginta I, Toha S. 1999. Defatted
soybean meal as an alternative source to substitute fish meal in the feed
of giant gouramy Osphronemus gouramy Lac. Suisanzozhoku 47 (4):
551-557.
29
Takeuchi T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrients. Di
dalam: Fish nutrition and mariculture. Watanabe T (Editor). Department
of Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries. JICA.
Trewavas, E. 1982. Tilapia: taxonomy and specification. Di dalam: Pullin RSV
dan Lowe-Mc-Connel RH (Editor). The biology and culture of tilapias.
ICLARM, Manila, the Philippines. pp 3-14.
Twibell RG, Brown PB. 1998. Optimal dietary protein concentration for hybrid
tilapia, Oreochromis niloticus × O. aureus fed all-plant diets. Journal
of the world aquaculture Society 29: 9-16.
Wardoyo TH. 1991. Pengelolaan kualitas air. Proyek Peningkatan Mutu
Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor.
Watanabe T. 1988. Fish nutrition and marine culture. Department of Aquatic
Bioscience. Tokyo University of Fisheries. JICA.
Watford JT, Lam TJ. 1993. Development of digestive tract and proteolitic enzyme
activity in seabass (Lates calcarifer) larvae and juveniles. Aquaculture
109: 187-205.
Wee KL, Wang SS. 1987. Nutritive value of leucaena of leaf meal in pelleted feed
for nile tilapia. Aquaculture 62: 97-108.
Wilson RP, Poe WE. 1985. Apparent digestibility protein and energy coefficients
of feed ingredients for channel catfish. Prog. Fish-Cult. 47: 154-158.
30
LAMPIRAN
31
Lampiran 1. Komposisi bahan dalam premix (vitamin dan mineral mix)
Bahan dalam premix
Vitamin A
Vitamin D3
Vitamin E
Vitamin K3
Vitamin B1
Vitamin B2
Vitamin B6
Vitamin B12
Ca-d panthothenate
Folic Acid
Nicotinic acid
Choline chloride
DL Methionine
L-Lysine
Ferros
Copper
Manganese
Zinc
Cobalt
Iodine
Selenium
Antiox carrier add
Sumber : Indofeed (2009)
Dalam premix 1 kg
Satuan
Vitamin
4.000.000
800.000
4.500
450
450
1.350
480
6
2.400
270
7.200
28.000
Asam Amino
28.000
50.000
Mineral
8.500
700
18.500
14.000
50
70
35
s/d 1kg
IU
IU
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
Mg
-
32
Lampiran 2. Hasil proksimat bahan baku (% bobot kering)
BAHAN
Tepung ikan
T. daun lamtorogung
T. bungkil kedelai
DDGS
Tepung pollard
Tepung sagu
Kadar
Abu
Serat
Kasar
29,46
7,04
8,32
4,21
3,89
0,13
0,59
12,14
8,8
18,27
7,16
0,39
Keterangan :
*BETN : Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
** Kadar Air (%) :
Tepung Ikan
: 10,53 %
Tepung Daun Lamtorogung
: 9,71 %
Tepung Bungkil Kedelai
: 10,44 %
Tepung Pollard
: 9,44 %
Tepung Sagu
: 9,94 %
Kadar
Protein
Kering **
51,60
24,43
44,56
27,80
13,41
3,82
Kadar
Lemak
Kering **
6,92
7,07
8,81
9,69
6,19
1,37
BETN*
0,91
39,61
19,08
40,03
59,91
84,35
33
Lampiran 3. Prosedur analisis proksimat (Takeuchi 1988)
1. Analisa kadar abu
Cawan porselen dipanaskan dengan oven pada suhu 110oC selama 1 jam,
kemudian cawan dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 30
menit atau lebih. Setelah dingin, cawan ditimbang (A gram). Selanjutnya,
sampel/bahan ditimbang sebanyak 1-2 gram (B gram) dengan ketelitian
empat desimal.
Cawan dipanaskan kembali dalam oven pada suhu 600oC selama 24 jam,
kemudian dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit
lalu ditimbang (C gram). Persentase kadar abu dihitung sebagai berikut:
Kadar abu (%)
C A
100
B A
2. Analisa kadar protein
 Tahap oksidasi
Bahan sebanyak 0,5-1 gram ditimbang menggunakan aluminium foil,
kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl. Ke dalam labu lalu
ditambahkan 3 gram katalis dan 10 ml H2SO4 pekat untuk mempercepat
penguraian. Selanjutnya, labu dipanaskan dalam rak oksidasi/digestion
selama 3-4 jam sampai terjadi perubahan warna menjadi hijau bening.
Labu yang telah dipanaskan kemudian didinginkan lalu diencerkan dengan
akuades hingga volume 100 ml menggunakan gelas ukur. Setelah itu,
bahan dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan masuk ke tahap destilasi.
 Tahap destilasi
Labu diisi dengan akuades sampai setengahnya untuk menghindari
kontaminasi ammonia lingkungan, kemudian ditambahkan beberapa tetes
H2SO4 dan didihkan selama 10 menit. Erlenmeyer yang berisi 10 ml
H2SO4 0,05 N dan 2 tetes larutan indikator disimpan di bawah pipa
pembuangan kondensor dengan cara dimiringkan sehingga ujung pipa
tenggelam dalam cairan. Selanjutnya, 5 ml larutan sampel dimasukkan ke
dalam tabung destilasi dan melalui corong tersebut dimasukkan
kedalamnya 10 ml NaOH 30% lalu ditutup. Campuran alkalin dakam labu
34
(Lanjutan Lampiran 3)
destilasi disuling menjadi uap air selama 10 menit setelah terjadi
pengembunan pada kondensor.
 Tahap titrasi
Larutan hasil destilasi dititrasi dengan NaOH 0,05 N hingga berubah
warna. Volume titran dicatat, dan hal yang sama juga dilakukan terhadap
blanko.
Persentase kadar protein dihitung berdasrkan rumus berikut:
Protein (%) =
[{0,007* (Vb Vs) F 6,25* * 20
100
S
Keterangan:
Vs = ml 0,05 N titran NaOH untuk sampel
Vb = ml titran NaOH untuk blanko
F = faktor koreksi dari 0,05 larutan NaOH
S = bobot sampel
* = setiap ml 0,05 NaOH ekuivalen dengan 0,0007 gram
nitrogen
** = faktor nitrogen
3. Analisa kadar air
Cawan dipanaskan pada suhu 105oC selama 3 jam. Kemudian sampel seberat
A gram dimasukkan ke dalam cawan dan ditimbang (X gram). Cawan yang
sudah berisi bahan dimasukkan dalam oven dengan suhu 105oC selama 3 jam,
kemudian didinginkan dalam desikator selama minimal 30 menit dan
ditimbang (Y gram). Selanjutnya, cawan dimasukkan kembali ke oven dengan
suhu dan waktu yang sama, dan jika sudah tidak ada perubahan bobot maka
pengukuran selesai.
Persentase kadar air (%) =
(X Y)
100
A
4. Analisa serat kasar
Kertas filter dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 110oC, kemudian
didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A gram). Dengan cara yang
sama, cawan porselen dipanaskan kemudian ditimbang (X gram).
35
(Lanjutan Lampiran 3)
Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang lalu dimasukkan ke dalam Erlenmeyer.
Ke dalamnya ditambahkan H2SO4 0,3 N kemudian dipanaskan selama 30
menit. Setelah itu, ditambahkan lagi NaOH 1,5 N sebanyak 25 ml lalu
dipanaskan lagi selama 30 menit.
Larutan yang dihasilkan selanjutnya disaring dan dibilas berturut-turut dengan
50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0,3 N, 50 ml air panas dan aseton. Setelah itu,
kertas saring dan isinya dimasukkan ke dalam cawan porselen, lalu
dikeringkan dalam oven selama 1 jam, kemudian disimpan desikator dan
ditimbang (Y gram). Cawan porselen dan isinya lalu dipanaskan dalam tanur,
didinginkan kembali dalam desikator, kemudian ditimbang (Z gram).
Persentase serat kasar (%) =
Y Z A
100
X
5. Analisa kadar lemak metode ekstraksi dengan Soxhlet
Labu ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 110oC selama 1 jam,
kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (X1). Bahan 3-5 gram
ditimbang (A gram) kemudian dimasukkan dalam selongsong dan Soxhlet
serta pemberat di atasnya. Setelah itu, N-hexan 100-150 ml dimasukkanke
dalam Soxhlet sampai selongsong terendam dan sisa hexan dimasukkan ke
dalam labu. Labu yang telah dihubungkan dengan Soxhlet dipanaskan di atas
water bath sampai cairan yang merendam bahan dalam Soxhlet berwarna
bening. Selanjutnya, labu dilepaskan dan tetap dipanaskan hingga N-hexan
menguap. Labu dan lemak yang tersisa dipanaskan dalam oven selama 15-60
menit kemudian didinginkan dalam desikator selama 15-30 menit dan
ditimbang (X2).
Persentase kadar lemak (%)
X1 X2
100
A
36
Lampiran 4. Nilai laju pertumbuhan spesifik (LPS), efisiensi pakan (EP),
konsumsi pakan (JKP), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL)
a. Laju Pertumbuhan Spesifik Individu (LPS)
Laju Pertumbuhan Harian Individu (%)
Ulangan
Pakan A
Pakan B
Pakan C
Pakan D
Pakan E
Pakan F
1
2.69
2.42
2.52
1.81
2.04
1.33
2
2.31
2.77
2.70
2.11
1.91
1.68
3
Rata-Rata
2.98
2.62
2.63
2.40
2.33
1.41
2.66
2.60
2.62
2.10
2.09
1.47
Standar Deviasi
0.34
0.18
0.09
0.29
0.21
0.18
Tabel Anova LPS
Sum of
Squares
2,765
1,663
4,428
Between Groups
Within Groups
Total
Mean
Square
0,553
0,139
df
5
12
17
F
Sig.
3,992
0,023
Uji Lanjut (Duncan) LPS
Subset for alpha = 0,05
2
1
3
30 %
1,473
3
25 %
2,093
2,093
3
20 %
2,107
2,107
3
15 %
2,197
3
10%
2,603
3
0%
2,660
Sig.
0,070
0,114
Keterangan: kelompok yang homogen terdapat pada kolom yang sama
Perlakuan
N
b. Efisiensi Pakan (EP)
Efisiensi Pakan (%)
Ulangan
Pakan A
Pakan B
Pakan C
Pakan D
Pakan E
Pakan F
1
44,83
59,47
51,67
36,92
50,09
37,23
2
53,52
66,50
64,06
47,86
43,03
74,28
3
56,94
51,88
69,46
41,75
44,48
32,70
Rata-Rata
51,76
59,28
61,73
42,18
45,87
48,07
Standar Deviasi
6,25
7,31
9,12
5,48
3,73
22,81
37
(Lanjutan Lampiran 4)
Tabel Anova EP
Sum of
Squares
540,318
2249,709
2790,027
Between Groups
Within Groups
Total
df
Mean
Square
5 108,064
12 187,476
17
F
Sig.
0,576
0,718
c. Jumlah Konsumsi Pakan (JKP)
Jumlah Konsumsi Pakan
Ulangan
Pakan A
Pakan B
Pakan C
Pakan D
Pakan E
Pakan F
1
267,34
190,96
219,75
153,09
197,30
138,39
2
161,29
188,57
188,00
207,83
167,84
178,20
3
240,96
212,76
133,50
214,49
177,64
142,34
Rata-Rata
223,20
197,43
180,42
191,80
180,93
152,98
Standar Deviasi
55,21
13,33
43,62
33,69
15,00
21,93
Tabel Anova JKP
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
8028,324
13940,303
21968,627
df
5
12
17
Mean
Square
1605,665
1161,692
F
1,382
Sig.
0,298
Uji Lanjut (Duncan) JKP
Subset for alpha = 0,05
2
1
3
30 %
152,977
3
15 %
180,417
180,417
3
25 %
180,927
180,927
3
20 %
191,803
191,803
3
10%
197,430
197,430
3
0%
223,197
Sig.
0,170
0,185
Keterangan: kelompok yang homogen terdapat pada kolom yang sama
Perlakuan
N
38
(Lanjutan Lampiran 4)
d. Retensi Protein (RP)
Retensi Protein
Ulangan
Pakan A
Pakan B
Pakan C
Pakan D
Pakan E
Pakan F
1
31,69
37,05
54,38
6,35
74,05
47,61
2
34,89
51,22
63,63
45,00
35,25
88,55
3
63,18
67,70
59,43
24,15
33,34
32,34
Rata-Rata
43,25
51,99
59,14
25,17
47,54
56,17
Standar Deviasi
17,33
15,34
4,63
19,35
22,97
29,07
Tabel Anova RP
Sum of
Squares
1738,842
6177,426
7916,268
Between Groups
Within Groups
Total
df
5
12
17
Mean
Square
347,768
514,786
F
Sig.
0,676
0,650
Uji Lanjut (Duncan) RP
Subset for alpha = 0,05
1
3
20 %
25,167
3
15 %
42,830
3
0%
43,253
3
25 %
47,547
3
10%
51,990
3
30 %
56,167
Sig.
0,156
Keterangan: kelompok yang homogen terdapat pada kolom yang sama
Perlakuan
N
e. Retensi Lemak (RL)
Retensi Lemak
Ulangan
Pakan A
Pakan B
Pakan C
Pakan D
Pakan E
Pakan F
1
85,58
74,26
102,38
50,83
127,89
48,30
2
90,57
92,59
114,87
113,21
75,36
84,31
3
134,97
114,96
109,02
79,57
72,72
34,92
Rata-Rata
103,71
93,94
108,76
81,20
91,99
55,84
Standar Deviasi
27,19
20,38
6,25
31,22
31,12
25,54
39
(Lanjutan Lampiran 4)
Tabel Anova RL
Sum of
Squares
4033,063
10442,980
14476,043
Between Groups
Within Groups
Total
df
5
12
17
Mean
Square
806,613
870,248
Uji Lanjut (Duncan) RL
Perlakuan
N
30 %
20 %
15 %
25 %
10%
0%
Sig.
3
3
3
3
3
3
Subset for alpha = 0,05
1
55,843
81,203
86,777
91,990
93,937
103,707
0,0977
F
0,927
Sig.
0,497
40
Lampiran 5. Skema akuarium peemeliharaan ikan
Tandon
A1
C2
D3
B2
F1
E3
A3
F2
D2
C3
A2
D1
E2
F3
B1
E1
C1
B3
41
Lampiran 6. Data hasil pengukuran kualitas air selama masa pemeliharaan
Parameter
Suhu
Waktu
Awal
Akhir
pH
Awal
Akhir
DO
Awal
Akhir
Alkalinitas Awal
Akhir
Kesadahan Awal
Akhir
TAN
Awal
Akhir
NH3
Awal
Akhir
A
28,2
27,0
6,52
6,18
5,39
5,89
15,92
15,92
51,05
48,05
1,641
1,917
0,0039
0,0019
B
27,8
27,0
6,19
6,11
5,06
5,73
11,94
11,94
48,05
57,06
2,323
1,905
0,0025
0,0016
Perlakuan
C
D
28,2
27,5
26,5
27,4
5,97
5,82
6,10
6,02
6,24
6,05
6,67
6,68
15,92
11,94
11,94
11,94
54,05
45,05
66,07
54,05
1,922
1,701
2,119
1,310
0,0013 0,0008
0,0017 0,0009
E
28,3
26,3
5,73
6,12
5,72
5,57
19,90
11,94
54,05
57,06
1,180
1,238
0,0005
0,0010
F
28,3
27,2
5,72
6,28
6,37
6,92
11,94
11,94
63,06
75,08
1,874
1,732
0,0007
0,0022
Download