Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi

advertisement
9
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja
Remaja merupakan masa transisi dari periode anak ke periode dewasa.
Secara psikologi, kedewasaan adalah keadaan berupa sudah terdapatnya ciri-ciri
psikologis pada diri seseorang. Ciri-ciri psikologis tersebut menurut G.W.Allport
(1961) diacu dalam Sarwono (2006) adalah pemekaran diri sendiri (extension of
the self), kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif, dan memiliki
falsafah hidup tertentu.
Piaget menyatakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu
berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia ketika anak tidak lagi berada di
bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, tetapi berada dalam tingkatan yang
sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Secara umum, remaja dibagi ke
dalam dua periode, yaitu remaja awal (13-16 tahun) dan remaja akhir (17-18
tahun). Menurut Bronfenbrenner (1979) diacu dalam Gunarsa (2001), kondisi
lingkungan hidup, baik itu kondisi sosial atau kondisi budaya suatu masyarakat
akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak.
Menurut Richmond dan Sklansky (1984) diacu dalam Sarwono (2006), inti
dari
tugas
perkembangan
seseorang
dalam
periode
remaja
adalah
memperjuangkan kebebasan. Sementara itu, menemukan bentuk kepribadian yang
khas dalam periode ini belum menjadi sasaran utama. Pada usia ini juga individu
mulai meningkatkan daya kreativitasnya melalui berbagai kegiatan atau
penjurusan tertentu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap remaja
terhadap pendidikan, yaitu sikap teman sebaya, sikap orang tua, nilai-nilai praktis
dari berbagai mata pelajaran, sikap terhadap guru-guru, keberhasilan dalam
berbagai kegiatan ekstrakurikuler, dan derajat dukungan sosial di antara temanteman sekelas.
Karakteristik Remaja
Jenis Kelamin
Menurut Papalia, Olds, & Feldman (2008), remaja perempuan lebih
banyak dilanda stres dan depresi karena pengaruh lingkungan sosial dan juga
teman sebaya. Remaja perempuan juga lebih mudah meluapkan emosinya
10
daripada laki-laki. Perempuan juga ternyata lebih peka dan memiliki empati yang
tinggi, sedangkan laki-laki lebih mudah beradaptasi dan mengatasi stres.
Usia
Santrock (2003) membagi usia remaja dibagi ke dalam dua periode, yaitu
remaja awal (13-16 tahun) dan remaja akhir (17-18 tahun). Bertambahnya usia
anak membuat anak memiliki ruang lingkup yang semakin luas terjangkau. Pada
masa remaja juga lah pengaruh teman sebaya dan lingkungan di luar diri anak
semakin kuat, sedangkan pengaruh lingkungan keluarga semakin berkurang.
Urutan Kelahiran
Urutan anak ketika dilahirkan terdiri atas anak sulung, anak tengah, dan
anak bungsu. Menurut Santrock (2003), urutan kelahiran anak ini akan
mempengaruhi sikap dan perilaku orang tua terhadap anak tersebut. Menurut
Gunarsa dan Gunarsa (2004), anak sulung memiliki tanggung jawab yang lebih
besar dan dituntut untuk lebih dewasa serta dapat memberikan contoh bagi adikadiknya. Orang tua juga menjadi lebih mengekang atau menetapkan batas-batas
tingkah laku anak. Hal tersebut tidak jarang membuat anak sulung cenderung
mengalami stres bila tidak dapat memenuhi tuntutan yang diberikan.
Menurut Harlock (1980) diacu dalam Yulianti (2010), kedudukan
seseorang dalam keluarga akan sangat mempengaruhinya menghadapi masyarakat
dan dunia. Semua anggota keluarga memaksakan pola-pola perilaku tertentu
kepada anggota keluarga yang lain pada saat mereka berinteraksi untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Dengan cara inilah posisi dalam keluarga memberikan cap
yang tidak dapat dihapuskan dari gaya hidup seseorang.
Karakteristik Keluarga
Usia Orangtua
Berdasarkan Papalia dan Olds (2009), usia ibu dibagi menjadi tiga
kategori, yakni dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan
dewasa akhir (>60 tahun). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004), usia dapat
mempengaruhi cara memperlakukan dan mendidik anak. Perlakuan yang
diberikan oleh orang tua terhadap anaknya haruslah disesuaikan dengan
kematangan anak agar anak lebih siap menerima hal apa saja yang ingin
11
ditanamkan oleh orang tua. Dengan begitu, hal tersebut akan tetap tersimpan dan
menjadi bagian kepribadian anak untuk kemudian membentuk konsep dirinya.
Tingkat Pendidikan Orangtua
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2001), pola komunikasi antar keluarga
secara langsung maupun tidak langsung ditentukan oleh tingkat pendidikan orang
tua. Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang
dianut, cara berpikir, cara pandang, dan juga persepsi terhadap suatu masalah
(Sumarwan 2002).
Pekerjaan Orangtua
Bekerja merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara teratur dan
berkesinambungan
dalam
jangka
waktu
tertentu
dengan
tujuan
untuk
mendapatkan sesuatu dalam bentuk uang, benda, jasa, maupun ide. Menurut
Sumarwan (2002), pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan
seseorang dan akan mempengaruhi besar pendapatan yang diterimanya.
Pendapatan Orangtua
Pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seseorang sebagai
hasil dari pekerjaan yang dilakukan (Sumarwan 2002). Keluarga yang memiliki
pendapatan rendah akan memiliki kegiatan keluarga yang kurang terorganisasi
dibandingkan keluarga dengan pendapatan tinggi (Hurlock 1980).
Besar Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri atas
kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat
dalam keadaan saling ketergantungan.
Model Pembelajaran
Berbagai upaya telah dilakukan dalam dunia pendidikan sebagai proses
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Munculnya inovasi
dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran dapat memberikan
pengaruh positif maupun negatif bagi pelaksana pendidikan itu sendiri. Salah satu
bentuk inovasi dalam dunia pendidikan adalah munculnya model-model
pembelajaran dengan berbagai program unggulan. Model-model ini dirancang dan
12
disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa yang memasuki kelas tersebut.
Beberapa program yang telah diselenggarakan oleh sekolah, yaitu dengan adanya
program kelas unggulan, seperti kelas Akselerasi dan membentuk Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).
Kelas Akselerasi
Program akselerasi merupakan proses percepatan belajar yang telah
dilaksanakan sejak tahun 1998. Tokoh yang pertama kali merumuskan akselerasi
adalah Pressy. Pada tahun 1949, Pressy mengemukakan bahwa akselerasi adalah
suatu kemajuan dalam bidang pendidikan dengan laju yang lebih cepat daripada
yang berlaku pada umumnya.
Semiawan (2000) diacu dalam Gunarsa (2006) mengatakan bahwa
terdapat dua pengertian akselerasi, yang pertama adalah akselerasi sebagai model
pembelajaran dan yang kedua akselerasi sebagai suatu kurikulum atau disebut
sebagai program akselerasi. Dengan kata lain, akselerasi juga dikatakan sebagai
suatu proses memulai tingkat pendidikan pada usia yang lebih muda dari yang
biasanya. Program ini diperuntukkan untuk anak yang memiliki kemampuan dan
kecerdasan luar biasa di setiap jenjang sekolah. Program ini dilakukan dengan
mempercepat waktu sekolah melalui pengurangan waktu selama satu tahun dari
biasanya.
Menurut Southern dan Jones (1991) dalam Gunarsa (2006), terdapat dua
kriteria untuk melakukan kemajuan dalam bidang pendidikan, yaitu prestasi yang
telah ada dan kemampuan untuk maju dengan lebih cepat daripada norma yang
telah ada. Terdapat dugaan juga bahwa seorang siswa yang superior akan mampu
melaju dengan lebih cepat dibandingkan teman sebayanya dalam menjalani
program pengajaran yang standar. Para ahli juga menyatakan bahwa akselerasi
melaju dengan lebih cepat dari segi akademis yang mencakup penawaran
kurikulum standar kepada siswa yang berusia lebih muda dan berbakat sehingga
proses pembelajaran yang dilakukan akan sesuai dengan bakat dan potensi siswa.
Departemen Pendidikan (2002) merumuskan akselerasi sebagai pemberian
layanan pendidikan sesuai potensi siswa berbakat dengan memberikan
kesempatan kepada mereka untuk menyelesaikan program reguler dalam jangka
waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.
13
Kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)
Dalam Bab XIV pasal 50 ayat 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus
mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf
Internasional. Tujuan diadakannya RSBI ini adalah untuk meningkatkan mutu
pendidikan Indonesia dengan kualitas global atau Internasional.
Kelebihan RSBI adalah memotivasi para siswa untuk mampu bersaing
dalam dunia global. Seorang siswa lebih berani mencoba hal-hal baru sehingga
akan menantang para guru untuk mengembangkan metode dan model
pembelajaran di dunia Internasional. Salah satu standar RSBI adalah pendidik atau
guru yang mengajar harus telah melalui jenjang pendidikan S2 atau S3 dengan
kemampuan berbahasa Inggris yang aktif, secara lisan maupun tulisan.
Peraturan Pemerintah (PP) No 17/2010 yang terdiri atas tiga pasal, yaitu
menurut Pasal 152 Ayat 1 yang berisi satuan pendidikan dasar dan menengah
yang dikembangkan yang menjadi taraf Internasional melakukan penjaminan
mutu pendidikan sesuai dengan penjaminan khusus sekolah/madrasah bertaraf
Internasional yang diatur oleh menteri. Selain itu juga diatur dalam Pasal 152
Ayat 2, yaitu Pemerintah provinsi/pemerintah kabupaten kota atau masyarakat
dapat mendirikan sekolah/madrasah baru yang bertaraf Internasional dengan
persyaratan harus memenuhi standar Nasional Pendidikan (SNP) sejak
sekolah/madrasah berdiri dan juga pedoman penjaminan mutu sekolah/madrasah
bertaraf Internasional yang ditetapkan oleh menteri sejak sekolah/madrasah
berdiri.
Konsep Diri
Menurut Hurlock 1993, konsep diri diartikan sebagai gambaran seorang
individu tentang dirinya secara fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh melalui
interaksinya dengan orang lain. Hurlock (1980) menyatakan bahwa konsep diri
mencakup citra fisik dan psikologis. Citra fisik ini terbentuk pertama kali dan
berkaitan dengan penampilan fisik anak, daya tarik, serta kesesuaian dengan jenis
kelaminnya juga pentingnya beberapa bagian tubuh untuk perilaku dan harga diri
anak di mata orang lain. Citra psikologis terbentuk melalui pikiran, perasaan, dan
emosi. Citra ini terdiri atas kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi
14
penyesuaian terhadap kehidupan, misalnya keberanian, kejujuran, kemandirian,
kepercayaan diri, berbagai aspirasi, dan kemampuannya. Seiring dengan
bertambahnya usia seorang anak, konsep diri fisik dan psikologis ini cenderung
semakin menyatu dan pada akhirnya seorang anak akan menganggap diri mereka
sebagai individu tunggal.
Dimensi Konsep Diri
Konsep diri bukan merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan
faktor yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman individu yang
berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam berinteraksi, setiap anak akan
menerima sebuah tanggapan. Tanggapan tersebut akan dijadikan cara untuk
menilai dan memandang diri seorang anak itu jika diberikan oleh orang-orang
yang penting dalam hidup anak, seperti orang tua, guru, dan juga teman sebaya.
Dengan kata lain, konsep diri seseorang terbentuk dari umpan balik individu
lainnya. Bila orang-orang di sekitar anak menyenangi mereka, maka akan
terbentuk pula konsep diri positif dalam diri anak. Konsep diri juga memiliki dua
dimensi, yaitu dimensi internal dan eksternal.
Menurut Calhoun (1990) konsep diri memiliki tiga dimensi internal, antara
lain:
1.
Pengetahuan tentang diri sendiri (identitas diri), dimensi ini merupakan suatu
faktor dasar yang akan menentukan seseorang dalam kelompok sosial
tertentu. Setiap individu juga akan mengidentifikasikan dirinya dengan
kelompok sosial lain yang akan menambah julukan dirinya dan memberikan
sejumlah informasi lain yang akan masuk dalam potret mental orang tersebut.
2.
Harapan terhadap diri sendiri (tingkah laku)
Diri ideal setiap individu tidaklah sama. Harapan dan tujuan seseorang akan
membangkitkan kekuatan yang mendorongnya menuju masa depan dan
memandu kegiatan seumur hidupnya.
3.
Evaluasi diri (kepuasan diri)
Evaluasi terhadap diri sendiri ini disebut dengan self esteem, yang akan
menentukan seberapa jauh seseorang akan menyukainya. Semakin jauh
perbedaan antara gambaran tentang siapa dirinya dengan gambaran seseorang
15
tentang bagaimana seharusnya ia menjadi, maka akan menimbulkan harga
diri yang rendah dan sebaliknya.
Hal yang termasuk ke dalam dimensi eksternal konsep diri, antara lain diri
fisik, yaitu persepsi seseorang terhadap keadaan fisik, kesehatan, penampilan diri,
dan juga gerak motoriknya; diri etik moral, persepsi seseorang tentang dirinya
sendiri yang ditinjau dari standar pertimbangan etik moral; diri personal, perasaan
individu terhadap nilai-nilai pribadi terlepas dari fisik dan hubungannya dengan
orang lain, juga sejauh mana individu merasa sebagai seorang pribadi; diri
keluarga, perasaan dan harga diri seseorang sebagai bagian dari anggota keluarga,
teman-teman sebaya, juga sejauh mana dirinya merasa sebagai anggota kelompok
tersebut; serta diri sosial, penilaian seseorang tentang dirinya dalam berinteraksi
dengan orang lain dalam suatu lingkungan yang lebih luas.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi konsep diri seorang anak, antara
lain peran orang tua, peran faktor sosial, dan faktor belajar. Keluarga, dalam hal
ini orang tua dan saudara-saudara merupakan orang pertama yang menanggapi
perilaku anak sehingga akan terbentuk konsep diri anak. Semua bentuk sanjungan,
senyuman, pujian dan penghargaan akan menciptakan penilaian positif dalam diri
anak. Lain halnya dengan cemoohan dan juga hardikan akan menyebabkan
penilaian negatif dalam diri anak. Jika seseorang diterima, dihormati, dan
disenangi oleh orang lain karena keadaan dirinya, maka mereka akan
menghormati dan menyenangi diri mereka sendiri. Sebaliknya, saat seseorang
seringkali diremehkan, disalahkan, dan ditolak, maka ia tidak akan menyenangi
diri mereka sendiri.
Suatu kajian menyatakan bahwa kondisi keluarga akan lebih berpengaruh
pada pembentukan konsep diri anak dibandingkan kondisi sosialnya. Kondisi
keluarga yang kurang baik akan menciptakan konsep diri yang rendah pada anak.
Kondisi keluarga yang kurang baik ini misalnya tidak adanya pengertian antara
orang tua dan anak, tidak adanya keserasian antara ayah dan ibu, orang tua yang
menikah lagi, sikap ibu yang tidak puas dengan hubungan ayah dan anak, serta
kurangnya sikap menerima dari orang tua terhadap anak mereka. Selain itu,
tuntutan orang tua terhadap anak akan mempengaruhi rendahnya konsep diri anak
tersebut.
16
Konsep diri tinggi akan terbentuk dalam diri anak jika terdapat kondisi
keluarga yang penuh dengan integritas dan tenggang rasa. Dengan begitu, anak
akan memandang orang tua sebagai seorang figur yang berhasil dan dapat
dipercaya. Anak juga akan merasa mendapatkan dukungan yang besar dari kedua
orang tuanya saat menghadapi suatu masalah sehingga ia tumbuh menjadi anak
yang tegas dan efektif dalam memecahkan masalah, rendahnya kecemasan dalam
diri mereka, lebih positif serta realistis dalam memandang diri dan lingkungannya.
Kecerdasan Emosional
Definisi Kecerdasan Emosi
Menurut Santrock (2007), emosi adalah perasaan yang timbul ketika
seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau interaksi yang dianggap
penting olehnya. Emosi dapat dipengaruhi oleh dasar biologis dan pengalaman
masa lalu. Menurut Salovey dan Mayer dalam Hariwijaya (2005), kecerdasan
emosional adalah kemampuan memantau dan mengendalikan emosi sendiri dan
orang lain serta menggunakan emosi tersebut untuk memandu pikiran dan
tindakan. Kecerdasan emosional dimiliki seseorang sejak ia dilahirkan.
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti
keluarga, sekolah, lingkungan bermain, dan lain sebagainya, tidak bersifat
menetap, dan dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan
terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi pembentukan
kecerdasan emosional. Goleman (2007) menyatakan bahwa kecerdasan emosional
merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan
bertahan dalam keadaan frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihlebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa. Kecerdasan
emosional remaja juga akan mengarahkan remaja untuk membangun potensi
dirinya. Menurut Goleman (2007), kecerdasan emosional dibagi menjadi lima
dimensi utama, yaitu:
Mengenali emosi diri
Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya
untuk memandu pengambilan keputusan untuk diri sendiri, memiliki tolak ukur
17
realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran emosi
menurut Goleman (2007) juga dapat berupa kemampuan mengenali kekuatan serta
kelemahan dan melihat diri sendiri dalam sisi yang positif namun tetap realistis.
Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan
salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah
menguasai emosi.
Mengelola emosi
Menangani emosi sedemikian rupa sehingga berdampak positif pada
pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup untuk menunda kenikmatan
sebelum tercapainya suatu sasaran, serta mampu pulih kembali dari tekanan
emosi. Menurut Gottman dan DeClaire (2007), pengelolaan emosi diartikan
sebagai suatu kemampuan untuk menanggapi emosi dan pulih dari keadaan stres.
Mengelola emosi juga merupakan suatu cara untuk menangani kecemasan,
amarah, dan kesedihan melalui kemampuan untuk menyadari sesuatu yang ada di
balik sebuah perasaan.
Memotivasi diri sendiri
Kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan
dan menuntut seseorang menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan
bertindak sangat efektif, serta untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang
berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif,
yaitu antusiasme, gairah, optimis, dan keyakinan diri.
Kemampuan memotivasi diri memiliki ciri-ciri seperti memiliki banyak
akal untuk menemukan cara meraih tujuan, tetap memiliki kepercayaan yang
tinggi ketika menghadapi masalah yang sulit, serta memiliki keberanian untuk
memecahkan tugas yang berat menjadi suatu hal yang mudah diselesaikan
(Goleman 2007). Shapiro (1998) menyatakan bahwa orang yang termotivasi
memiliki keinginan dan kemauan untuk menghadapi dan mengatasi segala
rintangan. Selain itu, motivasi diri juga dapat membuat seseorang bekerja keras
untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan sehingga tercapai keberhasilan dan
kepuasan diri.
18
Mengenali emosi orang lain (empati)
Menurut Goleman (2007), individu yang memiliki kemampuan empati
akan lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang
mengisyaratkan hal yang dibutuhkan orang lain sehingga ia mampu menerima
sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain, dan dapat lebih
mendengarkan orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang
mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal akan lebih mampu
menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan
lebih peka. Seorang ahli psikologi juga menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak
mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus
merasa frustasi.
Seni membina hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan
yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi
(Goleman 2007). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan
dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Seseorang dapat berhasil dalam
pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orangorang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan
karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2007). Sejauhmana kepribadian
siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang
dilakukannya.
Keluarga adalah tempat pertama seseorang dalam mempelajari emosi,
menentukan kehidupan emosi, dan juga pembentukan kepribadian seseorang.
Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan emosional lebih utama
dibandingkan kecerdasan kognitif. Apabila seseorang mengalami gangguan
emosi, hal tersebut akan menyebabkan kesulitan untuk berpikir jernih, mengingat,
terganggunya konsentrasi belajar, dan kapasitas intelektualnya. Hasil penelitian
juga menyebutkan bahwa anak yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi
akan mempunyai prestasi yang baik pula, lebih original, lebih ulet, juga lebih
termotivasi untuk berprestasi lebih baik lagi. Anak ini juga akan mempunyai
penyesuaian sosial yang lebih baik sehingga dapat menyelesaikan pendidikannya
dengan baik.
19
Stres
Stres merupakan gejala penyakit yang berkaitan dengan kemajuan yang
pesat dan perubahan yang menuntut seseorang untuk beradaptasi terhadap
perubahan dengan kecepatan yang sama pesatnya. Usaha, kesulitan, kesusahan,
dan kegagalan dalam mengikuti kemajuan dan perubahan dapat menimbulkan
berbagai keluhan. Menurut McElroy dan Townsend (1985), stres merupakan
proses yang terjadi saat seseorang harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang
jarang dialaminya. Stres terjadi jika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang
dirasakan sebagai hal yang dapat mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya.
Peristiwa tersebut disebut stresor dan reaksi orang terhadap peristiwa yang
dialami disebut dengan respons stres.
Lazarus (1976) diacu dalam Sussman dan Steinmetz (1988) membagi
sumber stres ke dalam dua tipe berdasarkan sifatnya, yaitu sumber stres bersifat
fisik dan sumber stres yang bersifat psikososial. Sumber stres fisik merupakan
stres biologis yang dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan emosi. Berbeda dengan
stres psikososial, yaitu stres yang didasarkan pada kondisi lingkungan sosial
tertentu. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan fisik orang yang mengalami stres.
Stres psikologis ini dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain, krisis, frustasi,
konflik, dan tekanan.
Menurut Higgins (1982) diacu dalam Astuti (2007) faktor-faktor yang
berperan dalam stres merupakan kombinasi antara faktor internal (individual) dan
faktor eksternal (lingkungan). Faktor-faktor tersebut, yaitu:
1. Faktor Internal (individual), seperti rasa percaya diri, motivasi, keyakinan
individu secara umum tentang kehidupan sekitarnya, dan kemampuan
beradaptasi.
2. Faktor Eksternal (lingkungan)
a. Faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti peran dan tanggung
jawab yang berlebihan, rutinitas, dan juga tuntutan pekerjaan.
b. Faktor non pekerjaan, seperti keluarga, teman, keuangan, hobi, kegiatan
sosial, kondisi fisik, lingkungan fisik, dan lain-lain.
c. Perubahan dalam kehidupan, seperti kematian, menikah, dan mengubah
kebiasaan.
20
Reaksi terhadap stres
Reaksi terhadap stres terbagi menjadi dua, yaitu reaksi fisik dan reaksi
psikologis. Reaksi fisik berupa bagian tubuh yang bereaksi terhadap stresor
dengan memulai seurutan kompleks respon bawaan terhadap ancaman yang
dihayati. Jika ancaman yang muncul dapat diatasi dengan segera, respon darurat
tersebut akan menghilang dan keadaan fisik individu akan kembali normal.
Namun, jika kondisi stres terus menerus terjadi, maka akan muncul respon
internal yang lain pada saat individu berusaha untuk beradaptasi dengan stresor
kronis. Respon individu secara fisik ini ditandai dengan respon melawan atau
melarikan diri karena kondisi ini memerlukan energi atau aksi segera. Akan tetapi,
ternyata respon ini sangat tidak adaptif dalam menghadapi banyak sumber stres
dalam kehidupan yang cukup modern. Menurut Dienstbier (1989) diacu dalam
Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), stres intermiten (pemaparan kadangkadang dengan periode pemulihan) dapat memberikan manfaat dalam bentuk
kekuatan fisiologis dan akan menyebabkan toleransi stres selanjutnya.
Kondisi
stres
dapat
menghasilkan reaksi
emosional
mulai
dari
kegembiraan sampai dengan emosi umum kecemasan, kemarahan, kekecewaan,
dan depresi. Jika kondisi stres terus menerus terjadi, emosi seorang individu akan
berpindah-pindah di antara emosi-emosi tersebut tergantung pada keberhasilan
individu dalam menyelesaikannya. Hal ini terkait dengan reaksi psikologis
terhadap stres. Emosi-emosi yang dihasilkan antara lain kecemasan, kemarahan,
apati, dan gangguan kognitif.
Strategi Koping
Emosi dan juga berbagai reaksi yang ditimbulkannya (fisik dan psikologis)
akan menimbulkan ketidaknyamanan dan hal ini akan memotivasi individu yang
mengalami stres untuk melakukan sesuatu yang dapat menghilangkannya. Koping
atau kemampuan untuk mengatasi masalah merupakan suatu proses yang
digunakan oleh individu untuk menangani tuntutan yang dapat menimbulkan
stres. Upaya koping biasanya dilakukan dengan mengenali dan menyadari
sumber-sumber stres atau stresor. Tujuannya adalah agar sikap-sikap negatif
seperti memberontak terhadap keadaan, apatis, dan mudah marah dapat dihindari
karena sikap-sikap tersebut akan menimbulkan masalah baru (Handayani 2000).
21
Koping itu sendiri memiliki dua bentuk utama. Individu dapat lebih fokus
pada masalah atau situasi spesifik yang terjadi sambil mencoba menemukan cara
untuk mengubah atau menghindarinya di kemudian hari. Hal ini disebut dengan
strategi terfokus masalah. Individu juga dapat berfokus untuk menghilangkan
emosi yang berhubungan dengan situasi stres, walaupun situasi sendiri tidak dapat
diubah. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), proses yang kedua ini dinamakan
strategi terfokus emosi. Kedua jenis koping ini mencakup beberapa hal, seperti
perencanaan dan pengorganisasian waktu, pengembangan rasa humor, pencarian
lingkungan yang memberikan kenyamanan, dan juga pengembangan tingkah laku
positif.
Strategi Terfokus Masalah (Problem-focused Coping)
Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), strategi yang
dilakukan untuk memecahkan suatu masalah misalnya dengan menentukan
masalah, menciptakan pemecahan alternatif, menimbang alternatif yang berkaitan
dengan biaya dan manfaat, memilih salah satu di antaranya, dan kemudian
mengimplementasikan alternatif yang telah dipilih. Strategi terfokus masalah juga
dapat diarahkan ke dalam orang yang dapat mengubah sesuatu pada dirinya
sendiri dan bukan mengubah lingkungan. Contoh dari strategi ini antara lain
mengubah tingkat aspirasi, menemukan sumber pemuasan alternatif, dan
mempelajari kecakapan baru. Kecakapan individu dalam menerapkan strategi ini
tergantung dari pengalaman dan kapasitasnya untuk mengendalikan diri.
Menurut Nezu, Nezu, dan Peri (1989) diacu dalam Atkinson, Atkinson,
Smith, dan Bem (2000), terapi yang mengajarkan orang depresi untuk
menggunakan strategi terfokus masalah akan lebih efektif dalam membantu
mengatasi depresinya dan dapat beradaptasi secara lebih adaptif terhadap stresor.
Menurut Parker dan Endler (1996) diacu dalam Rahayu (1998), strategi berfokus
masalah terdiri atas empat dimensi, yaitu perilaku aktif mengatasi stres,
perencanaan, penekanan kegiatan lain, dan pengendalian perilaku dalam
mengatasi stres.
Strategi Terfokus Emosi (Emotion-focused Coping)
Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), orang menggunakan
strategi terfokus emosi dengan tujuan untuk mencegah emosi negatif yang dapat
22
menguasai dirinya dan melakukan tindakan untuk memecahkan masalahnya.
Strategi ini juga digunakan pada saat terdapat masalah yang tidak dapat
dikendalikan. Menurut Moos (1988) diacu dalam Atkinson, Atkinson, Smith, dan
Bem (2000), sebagian peneliti membagi cara mengatasi emosi negatif menjadi
dua, yaitu strategi perilaku dan strategi kognitif. Strategi perilaku dilakukan
dengan melakukan latihan fisik untuk mengalihkan pikiran dari sumber masalah,
menggunakan alkohol atau obat, menyalurkan kemarahan, atau mencari dukungan
emosional dari teman. Strategi kognitif dilakukan dengan cara menyingkirkan
sementara pikiran tentang masalah yang dihadapi dan menurunkan ancaman
dengan mengubah makna situasi. Parker dan Endler (1996) diacu dalam Rahayu
(1998) mengklasifikasikan strategi terfokus emosi ke dalam lima dimensi, yaitu
mencari dukungan sosial untuk alasan emosional, interpretasi kembali secara
positif dan pendewasaan diri, penyangkalan (denial), penerimaan, dan berpaling
pada agama.
Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian mengenai konsep diri yang dikemukakan Hadley (2008)
dalam Rahmaisya (2010) menyatakan bahwa konsep diri remaja bersifat dinamis,
kausal, dan rumit. Suatu masalah dan kesulitan dapat menurunkan konsep diri dan
konsep diri yang rendah pun dapat menimbulkan suatu masalah. Dalam hal
kecerdasan emosional, penelitian Saputri (2010) menyatakan bahwa gaya
pengasuhan orang tua berhubungan negatif dengan kecerdasan emosional. Hal ini
berarti orang tua yang cenderung menerapkan gaya pengasuhan mengabaikan
akan membuat anak memiliki motivasi dan kecerdasan emosional yang kurang
baik. Selain itu, kepribadian seseorang juga berpengaruh signifikan terhadap
tingkat stres yang dirasakan (Muharrifah 2009). Schneider (1964) dalam Helmi
(2002) menyatakan bahwa bentuk penyesuaian diri seorang individu terhadap hal
yang dialami akan berbeda pada setiap tahapan perkembangannya. Karakteristik
individu juga berhubungan dengan perkembangan kognitif, emosional, dan
psikososial yang dapat mendukung penyesuaian diri dan stabilitas mental
seseorang.
Download