7 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Indvidu Umur Menurut L.Kohlberg diacu dalam Gunarsa dan Gunarsa (2004), anak menjalani tahap perkembangan secara berurutan. Setiap tahap selanjutnya lebih majemuk daripada tahap sebelumnya. Tahap-tahap ini berkaitan dengan usia anak. Anak yang lebih tua diharapkan berada pada tahap yang lebih tinggi. Kecepatan anak dalam menjalani dan melalui tahap-tahap perkembangan ini tidak sama, tergantung dari inteligensi dan pengaruh sosial. Usia anak dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan psikologis anak. Pada usia tertentu emosi dapat berkurang dan bertambah. Dengan meningkatnya usia, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan (Hurlock 1980) Jenis Kelamin Jenis kelamin anak mempengaruhi perkembangan secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung berasal dari kondisi hormon yang mempengaruhi timbulnya perbedaan dalam perkembangan fisik dan psikologis anak perempuan dan laki-laki. Pengaruh tidak langsung dari jenis kelamin terhadap perkembangan timbul dari kondisi lingkungan. Individu laki-laki dan perempuan pertama kali dibentuk oleh keluarga, selanjutnya oleh kelompok teman sebaya dan sekolah serta kelak oleh kelompok masyarakat sesuai dengan jenis kelaminnya (Hurlock 1991). Lebih lanjut Hurlock (1980) menyatakan jenis kelamin individu penting bagi perkembangan selama hidupnya karena setiap tahunnya individu mengalami peningkatan tekanan-tekanan budaya dari para orangtua, guru, kelompok sebaya dan masyarakat yyang mempengaruhi perkembangan pola-pola sikap dan perilaku yang dipandang sesuai bagi kelompok jenis kelaminnya. Selain itu, pengalaman belajar juga ditentukan oleh jenis kelamin individu. Di rumah, di sekolah, dan di dalam kelompok bermain, individu belajar apa yang dianggap pantas untuk anggota-anggota jenis kelamin mereka. Sikap orangtua pun menjadi hal terpenting 8 sehubungan dengan jenis kelamin individu Penelitian tentang kecenderungan jenis kelamin yang disukai menunjukkan bahwa anggapan tradisional yang lebih menyukai anak laki-laki terlebih sebagai anak pertama, masih banyak ditemukan. Kuatnya pemilihan jenis kelamin tertentu akan mempengaruhi sikap-sikap orangtua yang selanjutnya mempengaruhi perilaku mereka kepada anak dan hubungan mereka dengan anak. Urutan Kelahiran Urutan kelahiran memiliki peranan yang penting dalam hubungan antar saudara sekandung. Individu yang lahir lebih dulu digambarkan lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah, lebih cemas, mampu mengendalikan diri, dan kurang agresif dibandingkan saudara sekandung mereka. Tuntutan orangtua dan standar yang tinggi ditetapkan bagi anak sulung agar dapat meraih keberhasilan (Santrock 2003). Beberapa penelitian terhadap anak-anak yang lebih besar, remaja-remaja dan orang-orang dewasa dari berbagai posisi urutan menunjukkan betapa posisi urutan dapat menjadi faktor yang kuat dalam menentukan jenis penyesuaian sosial yang harus dilakukan individu sepanjang rentang kehidupannya. Kenyataannya menunjukkan bahwa anak pertama cenderung lebih cerdas dan berprestasi lebih tinggi daripada adik-adiknya. Akan tetapi di pihak lain sedikit bukti yang menunjukkan bahwa hal tersebut disebabkan karena perbedaan waktu lahir, melainkan disebabkan oleh kondisi-kondisi lingkungan yang mendorong pengembangan intelektual anak. Anak pertama tidak hanya memperolah lebih banyak rangsangan intelektual daripada anak-anak yang lahir kemudian, tetapi mereka juga memperoleh kesempatan lebih banyak untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka daripada adik-adiknya (Hurlock 1980). Karakteristik Keluarga Pengertian dan Teori Keluarga Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi serta berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemelihara kebudayaan bersama (Bergest dan Locke 1960). Menurut Undang Undang nomor 10 tahun 9 1992, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Salah satu teori yang melandasi institusi keluarga adalah teori struktural fungsional. Pendekatan teori struktural fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomodasikan dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Pendekatan struktural fungsional ini menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Konsep keseimbangan mengarah kepada konsep homeostasis suatu organisme yaitu suatu kemampuan untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik meskipun di dalamnya mengakomodasi adanya adaptasi dengan lingkungan (Megawangi 1999). Lebih lanjut Megawangi (1999) menyatakan bahwa penerapan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan aturan yang diterapkan. Aspek struktural menciptakan keseimbangan sebah sistem sosial yang tertib (social order). Ketertiban keluarga akan tercipta jika ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masing-masing mengetahui peran dan posisinya serta patuh pada nilai yang melandasi struktur tersebut. Pada aspek fungsional, arti aspek diakitkan dengan bagaimana sebuah sistem dalam masyarakat atau keluarga dapat berhubungan menjadi satu kesatuan yang solid. Kepentingan paternalistik sosial (struktur) harus diinternalisasikan sejak individu dilahirkan karena merupakan suatu mekanisasi sosial agar seorang anak mengetahui posisi dan kedudukannya, sehingga ia akan mendapatkan tempat dalam masyarakat kelak setelah dewasa. Anak merupakan bagian dari suatu keluarga, lingkungan di sekitar kehidupan anak tergambar melalui teori bioekologi Bronfenbrenner. Bronfenbrenner (1974) dalam teori bioekologinya (bioecological theory) menjelaskan cakupan berbagai proses yang saling berinteraksi dan mempengaruhi perkembangan individu. Setiap organisme biologis berkembang dalam konteks sistem ekologi yang mendukung atau mengekang perkembangannya. Menurut Bronfenbrenner, perkembangan muncul melalui berbagai proses rutin yang semakin kompleks, aktif, interaksi dua arah antara individu yang berkembang dan 10 lingkungan terdekatnya. Proses tersebut dimulai dari lingkungan rumah, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan luar tempat tinggal yang berhubungan dengan lembaga-lembaga sosial seperti pola-pola budaya dan sejarah yang mempengaruhi keluarga, sekolah dan hampir seluruh aspek kehidupan individu. Selanjutnya Bronfenbrenner mengidentifikasi lima sistem kontekstual yang saling berhubungan, mulai dari yang paling dekat hingga yang terluas, yaitu mikrosistem (suatu lingkungan dimana anak berinteraksi sehari-hari, dan bertatap muka dengan orang lain), mesosistem (hubungan antara dua atau lebih mikrosistem), eksosistem (hubungan antara dua atau lebih lingkungan yang salah satunya mengendalikan anak), makrosistem (keseluruhan pola budaya suatu masyarakat), dan kronosistem (pengaruh waktu pada sistem perkembangan yang lain). Tingkat pendidikan Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Keterlibatan seseorang dalam proses pendidikan atau tingkat pendidikan yang dicapainya akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadiannya (Gunarsa dan Gunarsa 2004). Lebih lanjut Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyatakan bahwa potensi yang dimiliki oleh setiap orang berbeda-beda untuk satu orang ke orang lain. Ada yang memiliki potensi lebih tinggi pada segi-segi kualitas fisik (kesegaran jasmani, kesehatan, serta daya tahan fisik sehingga dapat melakukan kegiatan yang produktif), sementara yang lain mempunyai potensi yang lebih pada segi kualitas nonfisik (kualitas kepribadian,kecerdasan, ketahanan mental, dan kemandirian). Pendapatan Keluarga Keadaan sosial ekonomi dapat mempengaruhi kehidupan keluarga. Ekonomi dalam keluarga dapat digunakan salah satunya sebagai pemeliharaan anak dalam keluarga. Keadaan ekonomi keluarga yang cukup menyebabkan orangtua lebih mempunyai waktu untuk membimbing anak karena orangtua tidak lagi memikirkan tentang keadaan ekonomi yang kurang (Hurlock 1980). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2001) tingkat pendapatan yang rendah akan menyebabkan orangtua memperlakukan anak dengan kurang perhatian dan tidak memiliki waktu untuk membimbing anak karena terlalu memikirkan keadaan ekonominya. 11 Besar Keluarga Kepadatan anggota keluarga dapat mengganggu pola dan corak hubungan antar anggota keluarga sehingga muncul berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh, sikap tersaing dan tersisih. Hal tersebut dapat menimbulkan ketegangan yang dapat berakibat buruk pada perilaku antar anggota keluarga itu sendiri (Gunarsa & Gunarsa 2004). Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa jumlah keluarga mempengaruhi hubungan antara orang tua dengan anak. Anak yang berasal dari keluarga besar memiliki hubungan yang kurang erat dengan orang tuanya karena perhatian dari orang tua terbagi. Semakin besar keluarga maka akan semakin sedikit waktu yang dikeluarkan orang tua untuk merawat dan mengasuh anak. Pekerjaan Orangtua Masyarakat Indonesia masa kini telah menerima perempuan untuk berkarya di luar rumah baik untuk bekerja mencari nafkah maupun untuk melakukan aktivitas dalam masyarakat. Menurut Rowatt (1990) diacu dalam Supriyantini (2002) menyatakan pekerjaan seorang suami tidaklah berkurang walaupun istrinya juga turut bekerja. Pekerjaan suami bahkan terlihat bertambah sibuk jika istrinya tidak bekerja. Banyak suami secara eksplisit dan implisit mengharapkan peran sitri menjadi suatu sistem pendukung bagi pekerjaan mereka. Remaja Santrock (2003) mengartikan remaja (adolescence) sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai sekitar usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun. Perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berfikir abstrak sampai kemandirian. Lebih lanjut Santrock menggambarkan bahwa masa remaja terdiri atas remaja awal dan remaja akhir. Remaja awal (early adolescence) diperkirakan sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencakup perubahan pubertas yang tinggi. Remaja akhir (late adolescence) menunjuk pada masa sekitar setelah 15 tahun. Minat pada karir, pacaran, dan ekplorasi identitas seringkali lebih nyata dalam masa remaja akhir dibandingkan dengan dalam masa remaja awal. 12 Disamping pertumbuhan fisik yang pesat, remaja juga mengalami perkembangan kognitif. Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget (Santrock 2007), remaja berada pada tahap formal operasional yang merupakan tahap akhir dari perkembangan kognisi. Remaja umumnya sudah mampu berfikir secara abstrak, hipotetis, menggunakan logika, membedakan antara fakta dan fantasi, mengelola perasaan, dan juga berpikir secara deduktif maupun induktif. Pada tahapan kognitif formal operasional ini remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggung jawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau preposisi (Santrock 2007). Namun demikian, perkembangan kognitif remaja belum matang, terbukti dengan adanya egosentrisme pada remaja. Hal ini dikarenakan tidak semua remaja dapat menjadi pemikir formal operasional sepenuhnya karena pengaruh subjektifitas dalam diri yang masih sangat kuat (Santrock 2007). Selain pertumbuhan fisik dan pematangan organ reproduksi serta perkembangan kognitif dan moral, remaja juga mengalami perkembangan sosial. Menurut teori Psikososial Erickson (Santrock 2002), pada masa remaja seorang individu sedang mengembangkan sikap Identity vs. Identity Confusion. Artinya, pada masa remaja seorang individu berada pada fase belajar untuk menguasai fungsi fisik maupun psikisnya. Pada fase Identity vs Identity Confusion remaja menjalani perasaan atau kesadaran akan jati dirinya. Remaja dihadapkan pada berbagai hal yang menyangkut keberadaan dirinya, masa depannya, peran-peran sosialnya dalam keluarga dan masyarakat serta kehidupan beragama (Yusuf 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa apabila pada fase ini remaja berhasil memahami dirinya, peranperannya, dan makna hidup beragama, maka ia akan menemukan jati dirinya, dalam arti ia akan memiliki kepribadian yang sehat. Sebaliknya, apabila gagal, maka ia akan mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingungan ini berdampak kurang baik bagi remaja, remaja akan cenderung kurang baik dalam menyesuaikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Keseluruhan pertumbuhan dan perkembangan remaja tersebut dapat berjalan dengan maksimal dengan adanya dukungan dari lingkungan remaja. Prestasi yang dimiliki atau 13 diraih oleh remaja tidak bisa dilepaskan dari dorongan untuk berprestasi (Gunarsa & Gunarsa 2004). Dorongan berprestasi adalah sesuatu yang ada dan menjadi ciri dari kepribadian seseorang remaja, sesuatu mengenai apa yang ada dan dibawa dari lahir. Namun, di pihak lain dorongan berprestasi ternyata dalam banyak hal adalah sesuatu yang ditumbuhkan, dikembangkan, hasil dari mempelajari melalui interaksi dengan lingkungan (Gunarsa & Gunarsa 2004). Gunarsa dan Gunarsa (2004) juga menjelaskan bahwa dorongan berprestasi pada remaja sangat penting diperhatikan. Hal ini dikarenakan remaja yang memiliki dorongan berprestasi tinggi adalah modal dalam asset suatu bangsa yang sedang membangun dan kaitannya dengan penggalian sumber daya manusia. Gaya Pengasuhan Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan adalah interaksi yang terjadi antara pengasuh dengan yang diasuh, meliputi bimbingan, arahan dan pengawasan terhadap aktivitas sehari-hari yang berlangsung secara rutin, sehingga terbentuk suatu pola yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan pendidik atau pengasuh. Pengasuhan orangtua terhadap anak berlangsung melalui ucapan, perintah-perintah yang diberikan secara langsung untuk menunjukkan apa yang seharusnya diperhatikan atau dilakukan oleh anak. Dengan demikian, sikap dan perilaku orangtua dijadikan sebagai patokan untuk ditiru, kemudian apa yang ditiru akan diterapkan dalam dirinya. Oleh karena itu, suasana hubungan antar anggota keluarga dapat mempengaruhi kualitas pengasuhan, dimana hubungan yang harmonis dalam keluarga dapat menumbuhkan suasana yang kondusif bagi terselenggaranya pengasuhan yang berkualitas. Menurut Hastuti (2008) pengasuhan adalah interaksi orangtua terhadap anaknya yang didalamnya meliputi pemeliharaan, perlindungan, pemberian kasih sayang dan pengarahan kepada anak. Sedangkan gaya pengasuhan itu sendiri merupakan cara berinteraksi orangtua terhadap anak yang paling menonjol dan dominan dalam berhubungan dengan anak. Di bidang pendidikan, orangtua memiliki pengaruh besar terhadap prestasi akademik anak. Adapun peran yang dapat orangtua lakukan untuk menunjang 14 prestasi akademik anak antara lain, menyediakan tempat yang kondusif di rumah untuk anak belajar, menyediakan buku-buku referensi sebagai sarana pembelajaran anak, mengatur waktu kegiatan anak, memperhatikan kegiatan anak di rumah dan di sekolah (Papalia & Olds 2009). Selain peran yang telah disebutkan, peran pengasuhan tidak kalah penting dalam mempengaruhi prestasi akademik anak. Hasil penelitian Nguyen dan Cheung (2009) menunjukkan bahwa secara umum, ayah cenderung menerapkan gaya pengasuhan melalui otoritas dan merangsang realitas anak. Sedangkan ibu cenderung memberi kesenangan pada keinginan anak untuk memberi dorongan pada anak. Akan tetapi pada dasarnya dalam mengasuh anak, ayah dan ibu harus memiliki filosofi manajemen yang sama. Hawadi (2001) menyatakan bahwa orangtua yang efektif adalah orangtua yang senantiasa terlibat dalam pendidikan dan informasi yang berkaitan dengan pendidikan anak termasuk bertemu dengan guru di awal tahun pelajaran. Oleh karena itu, partisipasi orangtua terhadap belajar anak merupakan sumbangan yang signifikan pada prestasi anak. Baumrind (1972) diacu dalam Goleman (1997) merekomendasikan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek yang berbeda dalam tingkah laku sosial anak, yaitu otoriter, otoritatif, dan permissif. Otoriter, yaitu terdapat banyak pembatasan dan mengharapkan ketaatan tingkah laku tanpa memberi penjelasan kepada anak-anak. Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan seperti ini berusaha membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku serta sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai kepatuhan, menghormati otoritas, kerja, tradisi, tidak saling memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Orangtua kadang-kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman. Otoritatif, yaitu menentukan batas-batas tetapi jauh lebih luwes, memberi penjelasan kepada anak mereka, dan memberi kehangatan. Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan seperti ini berusaha mengarahkan anaknya secara rasional, berorientasi pada masalah yang dihadapi, menghargai komunikasi yang saling memberi dan menerima, menjelaskan alasan rasional yang mendasari tiaptiap permintaan atau disiplin tetapi juga menggunakan kekuasaan bila perlu. Mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa tetapi juga mengharapkan anak untuk mandiri dan mengarahkan diri sendiri, saling menghargai antara anak 15 dan orangtua, memperkuat standar-standar perilaku. Orangtua tidak mengambil posisi mutlak, tetapi juga tidak mendasarkan pada kebutuhan anak semata. Permissif, yaitu orangtua bersikap hangat dan komunikatif terhadap anakanak mereka tetapi memberikan sedikit pembatasan terhadap tingkah laku. Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan seperti ini berusaha berperilaku menerima dan bersikap positif terhadap impuls (dorongan emosi), keinginankeinginan, dan perilaku anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman, berkonsultasi kepada anak, hanya sedikit memberi tanggung jawab rumah tangga, membiarkan anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu dengan memberikan alasan, tetapi tanpa menunjukkan kekuasaan. Gaya pengasuhan menunjukkan kepribadian orangtua dan teknik yang dilakukan saat berhubungan sehari-hari dengan anak yang diasuhnya. Teori yang ada telah memperlihatkan bukti-bukti gaya pengasuhan otoritatif sebagai gaya pengasuhan paling efektif dan efisien dalam membentuk kualitas anak. Konsep Diri Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual. Termasuk di dalamnya adalah persepsi individu dengan orang lain maupun lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, serta tujuan, harapan, dan keinginannya (Fitts 1971). Definisi lain dari konsep diri disebutkan oleh Gunawan (2005), yang menyatakan bahwa konsep diri merupakan persepsi atau pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, yang terbentuk melalui pengalaman hidup dan interaksinya dengan lingkungan dan juga karena pengaruh dari orang-orang yang dianggap penting atau dijadikan panutan. Konsep diri merupakan fondasi yang sangat penting untuk keberhasilan. Bukan hanya keberhasilan di bidang akademis, melainkan yang lebih penting adalah keberhasilan hidup. Orang yang memiliki konsep diri yang buruk akan sangat sulit berhasil dan hanya akan menjalani hidup sebagai manusia rata-rata. Pembentukan konsep diri dimulai sejak anak masih kecil (balita) dimana anak belajar dari lingkungannya. Dalam proses pembelajaran itu secara perlahan 16 tetapi pasti konsep diri anak mulai terbentuk. Namun, masa kritis pembentukan konsep diri justru terjadi saat anak memasuki sekolah dasar (Gunawan 2005). Konsep diri diperjelas selama masa remaja akhir ketika anak muda mengatur konsep diri sendiri di sekitar nilai, tujuan, dan kompetensi yang didapat selama masa kanak-kanak. Menurut Sunaryo (2002) beberapa hal yang penting dan perlu dipahami terkait konsep diri, yaitu: konsep diri dipelajari melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain, berkembang secara bertahap, positif ditandai dengan kemampuan intelektual, negatif ditandai dengan hubungan individu dan hubungan sosial yang maladaptif, penguasaan lingkungan terbentuk karena peran keluarga, dan penerimaan keluarga akan kemampuan anak sesuai dengan perkembangannya sangat mendorong aktualisasi diri dan kesadaran akan potensi dirinya. Fitts (1971) menyatakan bahwa terdapat dua dimensi yaitu dimensi eksternal dan dimensi internal. Dimensi internal terdiri dari: (1) diri identitas (the identity self) yang merupakan aspek yang paling dasar dari konsep diri, merupakan label dan simbol yang dikenakan pada diri oleh seseorang untuk menjelaskan dirinya dan membentuk identitasnya. Setiap elemen dari identitas akan mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan dunia fenomenologisnya, yaitu cara ia merespon terhadap dunianya atau berinteraksi dengan dunianya dan observasi serta penilaian yang ia buat mengenai dirinya bila ia berfungsi. Elemenelemen identitas terus bertambah mengikuti tumbuh dan meluasnya kemampuan, kegiatan seseorang, keanggotaan kelompok dan sumber-sumber identifikasi; (2) diri pelaku (the behavioral self), seseorang melakukan sesuatu sesuai dorongan stimuli internal dan eksternal. Konsekuensi perilaku tersebut mempengaruhi kelanjutan atau disudahinya perilaku itu sendiri, juga menentukan apakah suatu perilaku akan diabstraksikan, disimbolisasikan dan digabungkan ke dalam diri identitas; (3) diri penilai (the judging self ), interaksi antara diri identitas dan diri pelaku serta integrasinya ke dalam konsep diri melibatkan diri penilai. Salah satu kapasitas manusia adalah kemampuan untuk sadar akan dirinya serta mengamati dirinya dalam bertindak dan menilai diri sendiri diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penetap standar, pengkhayal, pembanding, dan terutama sebagai penilai 17 Dimensi eksternal merupakan bagian-bagian diri dengan macam-macam label seperti diri fisik, diri etik moral, diri pribadi, diri keluarga, dan diri sosial. Dimensi eksternal diri banyaknya tergantung dari peran-peran, kegiatan-kegiatan dan nilai-nilai dari orang bersangkutan, namun yang paling umum adalah kelima diri tersebut. Hubungan antara Konsep Diri dengan Prestasi Belajar Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orangtua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk (Rini 2002). Dalam proses belajar mengajar dibutuhkan konsep diri yang positif untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi, karena konsep diri berkorelasi dengan prestasi, motivasi dan tujuan pribadi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dari berbagai karakteristik siswa yang tidak mampu mencapai prestasi akademik yang tinggi erat hubungannya dengan rendahnya konsep diri yang dimiliki. Area yang paling konsisten sehubungan dengan rendahnya konsep diri dalam berprestasi adalah rendahnya self image, dan buruknya self esteem yang berpengaruh terhadap perilaku (Tarmidi 2006). Selanjutnya hasil penelitian Rola (2006) menunjukkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi individu adalah konsep diri yang dimilikinya. Jika individu menganggap dirinya mampu melakukan sesuatu maka individu tersebut akan berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya, sehingga terdapat hubungan positif antara konsep diri terhadap prestasi belajar. Motivasi Belajar Menurut Nasution (2003) motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Sedangkan menurut Ahmadi dan Supriyono (2004), motivasi sebagai faktor inner (batin) berfungsi menimbulkan, mendasari dan mengarahkan perbuatan belajar. Motivasi adalah suatu dorongan kehendak yang menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Melalui motivasi diharapkan siswa memiliki usaha untuk membangun kondisi sehingga memiliki keinginan dan minat serta bersedia melakukan sesuatu. Dalam belajar, tingkat ketekunan siswa sangat ditentukan oleh adanya motif dan 18 kuat lemahnya motivasi belajar yang ditimbulkan oleh motif tersebut. Dalam kenyataannya semakin besar motif yang ada dalam diri seseorang, akan semakin kuat motivasi belajarnya (Halim 2005). Motif yang ada pada setiap orang dalam melakukan suatu kegiatan dapat berbeda satu sama lain. Selain itu, seseorang dapat mempunyai motif lebih dari satu jenis. Menurut Santrock (2008) terdapat dua macam motivasi, yaitu motivasi ekstrinsik dan intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (cara untuk mencapai tujuan) dan sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Lebih lanjut Sardiman (2006) menyatakan motivasi ekstrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar. Motivasi intrinsik merupakan motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri) (Santrock 2007). Sedangkan menurut Sardiman (2006) Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Seorang siswa melakukan belajar karena didorong tujuan ingin mendapatkan pengetahuan, nilai dan keterampilan. Menurut Dimyati (2002) ada empat hal yang mempengaruhi motivasi dalam belajar adalah cita-cita atau aspirasi siswa, kemampuan siswa, kondisi siswa, dan kondisi lingkungan siswa. Cita-cita. Motivasi belajar tampak dalam keinginan seseorang sejak kecil, seperti keinginan belajar makan, berjalan dan sebagainya, keinginan berhasilnya keinginan tersebut menumbuhkan kemauan untuk selanjutnya menjadi rangsangan cita-cita di masa depannya. Tumbuhnya cita-cita yang dibarengi dengan perkembangan akal, moral, kemauan, bahasa, perkembangan kepribadian dan nilai-nilai kehidupan. Cita-cita akan memperkuat motivasi belajar baik internal maupun eksternal, sebab terciptanya cita-cita akan mewujudkan motivasi diri. Kemampuan siswa. Keinginan seorang anak perlu dibarengi dengan kemampuan mencapainya keinginan tersebut. Misal seperti anak yang berkeinginan untuk pandai membaca. Dalam rangka mewujudkan keinginannya 19 untuk membaca, anak harus diperkenalkan kepada jenis huruf dan seperangkat tata eja abjadnya. Kondisi siswa. Kondisi kesehatan jasmani dan rohani seorang siswa akan mempengaruhi tingkat keinginan untuk melakukan sesuatu, seperti dalam kondisi sakit, seorang siswa akan malas belajar, dan sebaliknya ketika seorang siswa dalam keadaan sehat, maka keinginan untuk belajar dan melakukannya terlihat cukup tinggi. Kondisi lingkungan siswa. Kondisi lingkungan yang ada di sekeliling siswa sangat berpengaruh besar terhadap munculnya motivasi, baik lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan tempat dimana ia bersosialisasi. Pandangan di atas sangat menekankan bahwa kompetensi dan kondisi yang ada dalam diri siswa selain faktor yang timbul dari luar diri siswa itu sendiri, ternyata dalam proses belajar sangat memerlukan dukungan lain berupan harapan atau bahkan tujuan yang hendak dicapai dari perbuatan belajar yang dilakukan agar benar-benar menghasilkan berbagai aspek dan indikator yang sesuai atau yang diinginkan dari perbuatan belajarnya selama perbuatan atau kegiatan belajar itu mengarah pada perubahan-perubahan pribadi siswa secara positif. Prestasi Belajar Secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian belajar yaitu suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto 2003). Sudjana (2000) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan serta perubahan-perubahan aspek lain yang ada pada individu belajar. Seorang guru harus menetapkan batas minimal keberhasilan belajar siswa untuk mengetahui tinggi rendahnya tingkat prestasi siswa. Menurut Syah (2004) ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar. Diantara norma-norma pengukuran tersebut 20 adalah norma skala angka dari nol sampai sepuluh dan norma skala angka dari nol sampai seratus. Angka terendah yang menyatakan kelulusan atau keberhasilan belajar (passing grade) skala nol (0) sampai sepuluh (10) adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala nol (0) sampai seratus (100) adalah 55 atau 60. Pada prinsipnya jika seorang siswa dapat meneyelesaikan lebih dari setengah instrumen evaluasi dengan benar, siswa dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar. Penilaian prestasi belajar ini meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Evaluasi prestasi kognitif dapat dilakukan dengan berbagai cara baik dengan tes tertulis maupun dengan tes lisan dan perbuatan. Evaluasi prestasi afektif dapat dilakukan dengan menggunakan skala likert dan atau diferensial semantik yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan sikap siswa mulai sangat setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju terhadap sesuatu yang harus direspon. Evaluasi prestasi psikomotor dapat dilakukan dengan mengobservasi perilaku jasmaniah siswa dicatat dalam format observasi ketrampilan melakukan pekerjaan tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat digolongkan ke dalam dua faktor yaitu, faktor internal (faktor fisiologis dan psikologis) dan faktor eksternal (lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan sosial). Metode belajar yang dilaksanakan seorang anak, akan menentukan hasil belajar. Jika hasil yang diperoleh tidak memuaskan, dapat karena sifat malas belajar seorang anak atau sikap orangtua yang memperhatikan rasa kecewa atau menekan anak. Namun sebaliknya, anak akan berhasil dalam belajar, apabila orangtua mendampingi, membimbing serta mendorong dalam mencapai prestasi yang memuaskan (Gunarsa & Gunarsa 2004). Hubungan antara Pengasuhan terhadap Prestasi Belajar Pengasuhan yang diterapkan orangtua (ibu) berpengaruh pada prestasi belajar seseorang. Menurut Rohner (1986), pengasuhan ibu dengan penuh kasih sayang, hangat akan membuat anak lebih terampil dalam mengelola emosi, bergaul, dan meningkatkan dalam bidang akademis. Menurut Steinberg (1993), orangtua yang hangat terlibat penerimaan secara langsung dapat mempengaruhi 21 pencapaian prestasi seorang anak di sekolahnya didukung pula hasil penelitian bahwa remaja yang orangtuanya menerima, terlibat dan demokratis memberi skor lebih tinggi dalam ukuran prestasi akademik. Hubungan antara ibu dengan anak dengan penuh kasih sayang akan mendorong anak untuk memotivasi dalam mencapai prestasi belajar (Gunarsa & Gunarsa 2001). Zanden (1993) menyatakan bahwa anak yang memiliki orangtua yang bahagia dalam perkawinannya lebih memiliki rasa aman secara emosional, sehingga tampak lebih memiliki kesempatan untuk mengambangkan intelektual, sebaliknya perselisihan perkawinan yang menghantarkan pada perpisahan dapat menciptakan kecenderungan antisosial pada anak-anak yang menyebabkan mereka ditolak guru dan gagal di sekolah. Begitu pula menurut Djamarah (2002), bahwa anak yang sulit dalam prestasi belajar di sekolah disebabkan oleh hubungan suami istri yang penuh dengan ketegangan, tidak harmonis, dan penuh dengan konflik. Model Pembelajaran Akselerasi Program percepatan belajar atau akselerasi, merupakan bagian kebijakan pendidikan jalur formal pada program layanan khusus peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan keberbakatan akademik istimewa. Semiawan dalam Gunarsa (2004) membagi dua pengertian akselerasi, yang pertama adalah akselerasi sebagai model pembelajaran dan yang kedua adalah akselerasi kurikulum atau akselerasi program. Perumusan pertama menunjuk pada siswa yang dapat melompat kelas. Sementara itu, perumusan yang kedua menunjuk pada peningkatan kecepatan waktu dalam menguasai materi yang dilakukan dalam kelas khusus, kelompok khusus, atau sekolah khusus dalam waktu tertentu. Menurut Semiawan (2002) kurikulum yang sesuai dengan karakter anak yang berkemampuan kecerdasan di atas rata-rata telah didiskusikan dan disusun oleh pusat pengembangan kurikulum sejak 1981. Sebelum uji coba pelaksanaan program anak berbakat dilaksanakan tahun 1984, kurikulum berdeferensiasi telah dibuat. Dengan adanya hal tersebut kemampuan guru harus selalu ditingkatkan, misalnya kecekatan dalam hal menganalisis kurikulum sesuai perkembangan anak 22 dan kebutuhan penanjakan kemampuan fikir atau mental anak dan membuat anak senang belajar. Kurikulum yang digunakan pada program akselerasi adalah kurikulum nasional dan muatan lokal, yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi yang esensi dan dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat memacu dan mewadahi integrasi pengembangan spiritual, logika, etika, dan estetika serta mengembangkan kemampuan berfikir holistik, kreatif, sistemik, linier, dan konvergen utuk memenuhi tuntutan masa kini dan masa depan. Dengan demikian kurikulum program akselerasi adalah kurikulum yang diberlakukan untuk satuan pendidikan yang bersangkutan, sehingga lulusan program akselerasi memiliki kualitas dan standar kompetensi yang sama dengan lulusan program reguler. Perbedaannya hanya terletak pada waktu keseluruhan yang ditempuh dalam menyelesaikan pendidikannya lebih cepat bila dibanding dengan program reguler (Semiawan 2002). Kurikulum akselerasi ini dikembangkan secara diferensiatif. Artinya kurikulum yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Diferensiasi dalam kurikulum akselerasi menurut Cledening dan Davies, (1983) diacu dalam Hawadi (2001) adalah isi pelajaran yang menunjuk pada konsep dan proses kognitif tingkat tinggi, strategi intruksional yang akomodatif dengan gaya belajar anak berbakat dan rencana yang memfasilitasi kinerja siswa. Proses pembelajaran siswa akselerasi sama dengan siswa reguler. Jika peserta didik akselerasi dikumpulkan dalam satu kelas tersendiri maka guru dan siswa dapat menerapkan berbagai strategi belajar. Ciri dominan proses belajar yang khas pada siswa akselerasi adalah pembelajaran individual atau mandiri lebih kontras dilaksanakan daripada siswa reguler. Sekolah Bertaraf Internasional Adanya kebijakan tentang sekolah bertaraf internasional didasarkan pada landasan hukum yaitu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 3 yang didalamnya menyatakan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah mengembangkan satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional (Anonim, 2006). 23 Salah satu tujuan pembangunan sekolah bertaraf internasional adalah untuk meningkatkan daya saing bangsa. Penyelenggaraan SBI didasari filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik (Haryana 2007). Lebih lanjut Haryana (2007) menyebutkan bahwa terdapat karakteristik untuk menjadi sekolah internasional dan juga memiliki beberapa ciri dalam proses pembelajarannya. Sekolah atau madrasah internasional adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional. Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI sebagai berikut: (1) menumbuhkan pro-perubahan, dan yaitu mengembangkan proses daya pembelajaran kreasi, yang inovasi, mampu nalar, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery; (2) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan yang semuanya telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris, khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya, dan (6) dalam penyelenggaraan SBI harus menggunakan standar manajemen internasional.