1 PENDAHULUAN Latar Belakang Remaja merupakan generasi penerus bangsa. Remaja memiliki tugas untuk melaksanakan pembangunan dalam upaya meningkatkan kualitas dari suatu bangsa. Kualitas bangsa dapat diukur berdasarkan kualitas sumber daya manusia yang ada di dalamnya dan hal ini juga merupakan kunci dalam mereformasi bangsa menjadi lebih baik. Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang tercermin dari Human Development Index (HDI), Indonesia menempati urutan 102 dari 106 negara (Megawangi, Latifah, & Dina 2008). Sumber daya manusia dipengaruhi oleh kualitas sistem pendidikan yang dijalankan di Indonesia. Melalui pendidikan yang holistik, akan dihasilkan pula manusia-manusia yang holistik dan memiliki kualitas sumber daya manusia yang baik. Sumber daya manusia tersebut juga perlu ditunjang oleh sistem pendidikan yang baik. Menurut Cury (2007), tugas pendidikan yang terpenting adalah mengubah manusia menjadi pemimpin bagi pikiran dan emosi dirinya sendiri. Megawangi, Latifah, dan Dina (2008) menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia memiliki sistem yang mengacu pada sistem yang dipakai oleh Amerika Serikat. Sistem ini menyiapkan para siswa untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi atau diperuntukkan bagi mereka yang memiliki hasil akademik yang baik dengan ukuran IQ yang tinggi. Kenyataan ini dapat dilihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan hanya pada dimensi akademik siswa saja dan seringkali diukur dengan kemampuan logika matematika serta kemampuan abstraksi, seperti kemampuan bahasa, menghafal, atau ukuran IQ. Banyak orang tidak menyadari bahwa sebenarnya terdapat potensi lain yang perlu dikembangkan seperti yang terdapat dalam teori Howard Gardner (1983) diacu dalam Armstrong (2002), yaitu mengenai kecerdasan majemuk. Kecerdasan seorang anak dengan anak lainnya berbeda-beda. Anak yang cenderung cerdas dalam satu bidang belum tentu cerdas pula di bidang lainnya. Begitupun dengan anak yang kurang cerdas dalam satu bidang, ia pasti memiliki kecerdasan tertentu di bidang lain. Setiap anak pasti memiliki keunikan. Mereka memiliki kekhasan dalam diri mereka masing-masing. Kecerdasan yang mereka miliki dipengaruhi bukan hanya oleh gen yang diturunkan oleh orang tua mereka, 2 melainkan juga dipengaruhi oleh suatu proses belajar dari lingkungan di sekitarnya serta stimulus-stimulus yang dapat meningkatkan kemampuannya. Anak yang cerdas sesungguhnya bukan saja dilihat dari aspek kognitif, melainkan juga kecerdasan emosionalnya, cara ia mengelola emosi saat menghadapi stres, serta kecerdasan lain di samping aspek kognitif. Goleman (1995) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi seseorang. Menurut Goleman (1999), kecerdasan emosi merupakan faktor penentu keberhasilan masa depan anak. Kecerdasan intelektual dan emosi merupakan bagian yang integratif jiwa dan raga karena kecerdasan intelektual seseorang juga dipengaruhi oleh kecerdasan emosinya. Misalnya saja hasil tes IQ yang juga ditentukan oleh beberapa kecerdasan emosi, seperti ketekunan dan motivasi. Emosi manusia berasal dari perasaan dalam lubuk hati, naluri yang tersembunyi, sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, akan mempengaruhi kecerdasan emosional untuk menyediakan pemahaman yang lebih utuh dan mendalam mengenai diri sendiri dan orang lain. Menurut Goleman (2007), seorang remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang baik akan mampu mengelola emosi serta dapat menahan dirinya untuk tidak melakukan kekerasan. Selain itu, ia juga mampu berpikir positif dalam memecahkan suatu masalah. Pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua akan mempengaruhi kecerdasan seorang anak (Goleman 2007). Hal ini disebabkan keluarga adalah tempat pertama dan utama seorang anak dalam mempelajari emosi dan akan mempengaruhi cara anak mengontrol emosinya kelak. Perkembangan intelektual anak akan sangat berkaitan dengan keadaan emosionalnya. Keberhasilan seorang anak di sekolah dipengaruhi oleh perasaan terhadap diri dan kemampuannya. Seorang anak yang memiliki gangguan emosi dan sosial akan berpengaruh pada prestasi belajar dan akan membuat anak membutuhkan banyak waktu untuk mengejar ketertinggalan. Kecerdasan seorang anak juga akan dipengaruhi oleh konsep diri yang ia miliki. Cara ia mengelola perasaannya akan sangat ditentukan oleh bagaimana ia mengenal konsep dirinya sendiri. Konsep diri itu pun akan terbentuk melalui perkembangan kecerdasan dan pengaruh dari lingkungan di sekitarnya. 3 Menurut Hurlock (1993), konsep diri seorang anak dipengaruhi juga oleh beberapa faktor, antara lain peran orang tua, lingkungan sosial, serta proses belajar. Konsep diri merupakan suatu hasil belajar. Konsep diri seseorang mulai berkembang melalui proses belajar dan dapat didekati sejak lahir. Proses belajar ini terjadi setiap hari tanpa disadari. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) pada masa remaja ini, seseorang mempertanyakan tentang pandangan orang lain terhadap dirinya sendiri dan pandangan dirinya terhadap dirinya sendiri. Pembentukan konsep diri juga dibentuk melalui pengalaman-pengalaman, baik pengalaman positif atau menyenangkan maupun pengalaman negatif atau menyedihkan. Lingkungan di sekitar memiliki porsi untuk mempengaruhi konsep diri seseorang. Konsep diri seorang individu bergantung pula pada tempat individu tersebut berada. Hurlock (1993) mengatakan bahwa konsep diri seseorang berkembang secara hierarkis dan hal yang pertama terbentuk adalah melalui hasil belajar di rumah serta pengalaman interaksinya dengan anggota keluarga lainnya yang disebut dengan konsep diri primer. Interaksi yang terjadi antara anak dengan lingkungannya, baik itu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan di luar keduanya tidak terlepas dari suatu masalah. Masalah-masalah dalam diri anak tersebut dapat menyebabkan terjadinya stres. Masalah di sekolah misalnya dapat berupa ketertinggalan dalam belajar, masalah dalam hubungan sosial dengan temanteman, rendahnya prestasi akademik, rendahnya rasa percaya diri, dan lain sebagainya. Stres pada anak dapat juga dipengaruhi oleh kondisi anak di luar sekolah, misalnya keadaan keluarga di rumah atau lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, stres pada anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Keduanya berperan dan berinteraksi dalam proses penilaian hingga terjadinya stres. Menurut Arianti (2002) diacu dalam Astuti (2007), tingkat stres seseorang dipengaruhi juga oleh sumber stres, sumberdaya yang dimiliki untuk mengatasi stres, sumber koping, dan juga persepsi individu terhadap stres. Stres yang dialami oleh seseorang dapat menyebabkan emosi yang menyakitkan seperti kecemasan atau depresi. Cara seseorang memandang dan mengatasi stres yang ia hadapi akan mempengaruhi proses penyesuaian diri yang ia lakukan dalam kehidupannya. 4 Perumusan Masalah Permasalahan yang terjadi di Indonesia bukan hanya mengenai kemerosotan ekonomi atau kemiskinan. Ada hal lain yang juga menjadi tantangan besar yang perlu dihadapi, yaitu masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Salah satu hal yang mempengaruhi masalah ini adalah kualitas sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu aspek penentu keberhasilan suatu bangsa. Melalui pendidikan, seseorang akan mendapatkan pengetahuan serta belajar bagaimana mengembangkan dirinya. Pendidikan juga mengajarkan nilai-nilai baik dan buruk sehingga memberikan pengertian pada individu mana hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pendidikan identik dengan fokus pada aspek kognitif seorang individu. Padahal, pendidikan itu sendiri mencakup berbagai aspek di luar aspek kognitif. Banyak aspek lain yang dipelajari dan berkembang melalui suatu proses pendidikan yang diterapkan. Saat ini masih banyak orang yang berpikir bahwa kecerdasan kognitif merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan kesuksesan seseorang. Pandangan akan hal ini juga banyak diterapkan dalam berbagai proses pembelajaran di sekolah. Pengajar lebih menekankan pada daya tangkap, daya pikir, dan daya ingat anak tanpa mempertimbangkan perkembangan emosi siswa yang mengikutinya. Anak hanya diberikan materi untuk kemudian dihafal dalam waktu tertentu dan tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan hal lain di luar aspek kognitif. Saat aspek kognitif tersebut diperoleh anak dengan hasil yang tidak sesuai dengan standar, anak dinilai kurang cerdas. Hal tersebut tidak didukung oleh perkembangan kecerdasan anak yang lain yang mungkin dapat jauh lebih berkembang dibandingkan sekedar satu jenis kecerdasan saja, yaitu kecerdasan kognitifnya. Menurut Long (1978) perkembangan mental dan kognitif anak dalam rentang usia 13-19 tahun relatif lebih matang dibandingkan dengan peringkat sekolahnya terdahulu. Mereka telah memiliki asas pendidikan dan merupakan proses perluasan konsep yang telah mereka peroleh sebelumnya. Perkembangan yang mereka alami pun akan semakin banyak dan lebih rumit dari sebelumnya 5 dan mereka perlu menguasai tugas-tugas perkembangan tersebut sebelum menuju perkembangan selanjutnya. Menurut Megawangi, Latifah, dan Farahdina (2008), pada kenyataannya energi yang dimiliki mayoritas siswa Indonesia sudah habis setelah melewati jenjang pendidikan SD sehingga mereka tidak siap untuk mengikuti pelajaran pada jenjang selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh metode yang digunakan tidaklah sesuai dengan teori perkembangan anak. Akibatnya, terciptalah generasigenerasi yang tidak percaya diri dan menciptakan sumber daya manusia Indonesia berada pada urutan terbawah, tidak mampu bekerja, tidak terampil, serta tidak berkarakter. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh tujuan pendidikan di Indonesia yang lebih mengacu pada pembentukan anak yang pandai secara kognitif. Pendekatan belajar yang lebih berorientasi pada aspek kognitif akan dapat mengubah pandangan siswa yang semata-mata hanya untuk memperoleh nilai yang tinggi. Berbagai hal mereka lakukan dengan cara yang tidak jujur untuk mengejar nilai. Melalui kenyataan ini, dapat dilihat bahwa siswa belum bisa mengontrol kecerdasan emosi mereka dengan baik. Mereka hanya terfokus pada bagaimana pencapaian sebuah prestasi akademik atau dari aspek kognitif saja. Ketidakseimbangan ini pun mengarah pada kesadaran siswa terhadap konsep diri yang mereka miliki. Saat siswa memiliki konsep diri yang baik, mereka tidak akan melakukan hal-hal yang tidak jujur, justru mereka akan berusaha mencapai keseimbangan antara kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional yang mereka miliki untuk meraih sebuah keberhasilan. Sekolah merupakan salah satu sarana seorang anak belajar, bukan hanya dalam hal mendapat ilmu melainkan juga melatih emosi dan ketrampilan sosialnya. Berbagai kurikulum dan metode pembelajaran pun mulai diterapkan di sekolah. Dimulai dengan adanya kelas nasional (reguler) atau yang merupakan kelas yang tergolong umum, baik dalam hal program maupun lingkungan sekitarnya. Kini semakin banyak inovasi lain di bidang pendidikan. Misalnya saja dengan adanya berbagai kurikulum atau program tertentu yang berbeda dengan kelas reguler, seperti kelas akselerasi dan kelas RSBI. Kelas akselerasi diciptakan dengan tujuan mempercepat proses belajar siswa sehingga siswa lebih cepat lulus 6 dibandingkan dengan anak seusianya. Kelas ini juga merupakan kelas dengan siswa-siswi unggulan sehingga dipersiapkan langsung untuk memperoleh materi dengan sistem yang berbeda. Selain itu, ada pula program kelas RSBI. Kelas ini menggunakan kurikulum yang melakukan inovasi di bidang pengelolaan sekolah dan proses pembelajaran. Kelas ini juga menyediakan fasilitas yang jauh lebih lengkap, sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan perkembangan teknologi, serta mulai menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (bilingual) sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar. Tujuannya adalah agar dapat menciptakan lulusan yang memiliki daya sains yang tinggi. Munculnya inovasi dalam bidang pendidikan ini ternyata tidak serta merta memberikan keuntungan bagi berbagai pihak. Akan tetapi, terdapat beberapa permasalahan umum yang terjadi dalam penyelenggaraan kelas akselerasi. Program akselerasi sebenarnya terdiri atas tiga layanan, yaitu enrichment, extention, dan acceleration, namun pelaksanaan di kebanyakan sekolah lebih identik dengan layanan acceleration (percepatan) saja. Menurut Kurniawan (2010), pembentukan kelas akselerasi menyebabkan pihak sekolah memerlukan konsultan yang profesional dan terpercaya, serta pengajar yang memiliki ketrampilan khusus untuk mengajar di kelas akselerasi. Selain itu, pihak sekolah membutuhkan dana yang cukup untuk menutupi pembiayan di awal tahun. Kurniawan (2010) juga menyatakan bahwa jadwal yang padat pada siswa kelas akselerasi menyebabkan mereka kehilangan masa bermainnya dan secara tidak sengaja kelas ini pun menjadi kelas yang eksklusif. Hal ini diakibatkan oleh pelayanan dan perlakuan yang istimewa dari pihak sekolah. Di lingkungan sekolah, siswa kelas akselerasi lebih tertutup dan kurang aktif sehingga cenderung memiliki resiko yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak (Kamdi 2004 diacu dalam Kurniawan 2010). Sementara itu, munculnya kelas akselerasi juga menjadi gengsi tersendiri bagi sebagian masyarakat, misalnya dalam hal perekrutan siswa. Tidak sedikit orang tua yang cenderung memaksakan anaknya agar dapat masuk ke kelas akselerasi. Menurut Darmaningtyas (2004) diacu dalam Kurniawan (2010), kelas akselerasi memiliki beberapa kelemahan, di antaranya kelas tersebut hanya mengukur kecerdasan kognitif dan ditetapkan berdasarkan IQ, serta menimbulkan 7 kecemburuan bagi kelas reguler. Kurikulum yang diterapkan di kelas akselerasi pun sama dengan kelas reguler padahal dengan IQ yang tinggi, siswa kelas akselerasi seharusnya mendapatkan kurikulum yang lebih luas dan mendalam. Aktivitas yang dialami juga menjadi salah satu pemicu stres siswa. Dalam waktu yang singkat di sekolah dan berbagai tugas yang diberikan akan menjadi tekanan bagi siswa itu sendiri. Siswa yang dapat beradaptasi dengan baik akan mampu menyelesaikan masalahnya, sedangkan siswa yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan belajarnya, ia akan mengalami stres yang berkepanjangan. Seseorang seringkali menunjukkan gangguan kognitif yang cukup serius ketika berhadapan dengan penyebab stres yang cukup serius pula. Mereka akan sulit berkonsentrasi dan mengorganisasikan pikiran mereka secara logis. Akibatnya, saat mereka mengerjakan suatu pekerjaan yang kompleks, hasil yang diperoleh tidak akan menjadi optimal dan bahkan cenderung memburuk. Stres yang dirasakan juga bergantung pada besarnya gambaran individu tentang dirinya (konsep diri) serta cara mengelola perasaan atau emosi yang dirasakan. Pengaruh faktor-faktor tersebut juga merupakan tugas orang tua, guru, pihak sekolah, masyarakat, dan pemerintah untuk lebih memberikan perhatian terhadap dampak dari adanya kelas unggulan seperti akselerasi dan kelas RSBI juga perbedaannya dengan kelas reguler. Ini dilakukan agar dapat tercipta suasana yang mendukung proses belajar yang dapat membentuk konsep diri yang positif dalam diri siswa, meningkatkan kecerdasan emosional, menurunkan tingkat stres akibat tekanan kognitif atau lingkungannya, dan menjelaskan strategi koping yang dapat membantu siswa menyelesaikan masalah, terutama yang berkaitan dengan aktivitas belajar. Sesuai dengan pemaparan diatas, maka pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perbedaan antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh pada berbagai model pembelajaran. 2. Bagaimana hubungan antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh. 8 3. Bagaimana hubungan antara konsep diri dan kecerdasan emosional dengan tingkat stres dan strategi koping contoh. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja pada berbagai model pembelajaran di SMA. Tujuan Khusus 1. Menganalisis perbedaan antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh pada berbagai model pembelajaran. 2. Menganalisis hubungan antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh. 3. Menganalisis hubungan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional contoh. 4. Menganalisis hubungan antara konsep diri dan kecerdasan emosional dengan tingkat stres dan strategi koping contoh. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak terkait. Bagi orang tua dan pendidik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran untuk tidak hanya memperhatikan kecerdasan kognitif anak tetapi juga lebih memperhatikan perkembangan emosi anak. Hal ini disebabkan perkembangan emosi merupakan pendukung pembentukan konsep diri anak. Bagi Departemen Pendidikan Nasional dan juga para pendidik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam mengembangkan aspek kognitif dan emosi dalam upaya pembentukan konsep diri anak melalui model pembelajaran yang lebih proporsional. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang keilmuan perkembangan dan pendidikan anak dan juga dapat menjadi landasan bagi pengembangan penelitian-penelitian sejenis di masa yang akan datang.