BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Menurut Sarwono (1989

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Menurut Sarwono (1989) masa remaja merupakan masa yang penuh dengan
tekanan atau stres dikarenakan ketegangan emosi yang meningkat akibat perubahan
fisik dan hormon, dimana juga ditandai dengan adanya pertumbuhan fisik,
pengembangan kepribadian, kebutuhan untuk pencapaian kedewasaan, kemandirian,
serta adaptasi antara peran dan fungsi dalam kebudayaan dimana ia berada (dalam
Oesman, 2010). Sementara itu, Erikson (1982) melihat masa remaja sebagai periode
pencarian identitas yang berada pada tahap klimaks, periode pencaritahuan akan diri
mereka sendiri, serta remaja juga mencari peran baru dalam menemukan identitas
seksual mereka baik dari segi ideologis maupun pekerjaan (dalam Feist & Feist,
2009).
Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia remaja berada
pada rentang usia antara 11-21 tahun. Perilaku remaja dipengaruhi oleh adanya rasa
kecewa, adanya konflik, krisis dalam penyesuain diri, keinginan yang tidak tercapai,
masalah percintaan, keterasingan dari kehidupan orang dewasa dan norma kehidupan
Gunarsa (2009, dalam Dewi, 2012).
Remaja mengalami masa-masa pergolakan
emosi yang muncul dari berbagai bentuk seperti hubungan dalam keluarga,
lingkungan di tempat tinggal, lingkungan sekolah dan hubungan pertemanan sebaya
dan kegiatan dalanm kehidupan sehari-hari (Santrock, 2003).
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Priatini, Latifah dan Guhardja
(2008) juga menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kecerdasan emosional adalah tipe pengasuhan pelatihan emosi, lingkungan sekolah
1
2
yang menerapkan kedisiplinan dan adanya pembelajaran emosional di sekolah, serta
fungsi komparasi sosial dari teman sebaya. Dalam mengatasi gejolak emosi remaja
perlu belajar berbagai keterampilan emosional yang mencakup mengenali emosinya
sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, serta
membina hubungan baik dengan orang lain (Goleman, 2007).
Kecerdasan emosional itu merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
menentukan keberhasilan seseorang dimana individu yang memilki kecerdasan
emosional yang baik mampu berempati, berkolaborasi atau bekerja sama dengan
pihak lain secara baik, memilki tingkat kesabaran yang tinggi dalam menghadapi
kegagalan dan memilki sikap optimis dalam hidupnya sehingga individu tersebut
akan mampu mengendalikan emosinya secara alami serta tidak memunculkan
perilaku agresif Goleman (1999, dalam Yunias, 2009).
Kecerdasan emosional itu sendiri menuntut diri individu untuk belajar
mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain, menerapkan dengan
efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan emosional
mengandung 3 unsur penting yang terdiri dari: kecakapan pribadi (mampu mengolah
diri sendiri), kecakapan sosial (mampu menangani suatu hubungan), keterampilan
sosial (kepandaian dalam menanggapi tanggapan yang dikehendaki pada orang lain)
(Mutadin, 2002).
Pada masa remaja apabila memilki kecerdasan emosional yang baik maka
akan dapat mengurangi agresi, apabila emosi dapat diolah dengan baik maka
individu dapat menghibur saat merasa sedih, menghilangkan kecemasan,
ketersinggungan dan dapat dengan cepat bangkit dari semua permasalahan itu.
Sebaliknya, apabila individu tersebut tidak dapat dengan baik mengolah emosinya
3
maka akan selalu bertarung melawan rasa murung atau selalu menghindar bahkan
lari disaat mendapatkan hal yang merugikan dirinya sendiri (Goleman, 2007).
Kecerdasan emosional remaja akan tampak pada saat ia mampu mengungkapkan
emosinya sendiri, menampakkan kesan yang positif dari dirinya, berusaha
beradaptasi dengan lingkungan, dapat melakukan kontrol perasaan dan mampu
mengungkapkan reaksi emosi yang sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada saat
itu sehingga hubungan dengan orang lain dapat terjalin dengan baik (Tridhonanto &
Agency, 2010 p. 3).
Pendapat lain dikemukakan oleh Gottman (2001, dalam Fefriawati, 2010)
yang menjelaskan bahwa hal positif akan diperoleh apabila anak diberikan
pengetahuan akan dasar-dasar kecerdasan emosional dimana secara emosional akan
lebih cerdas, penuh perhatian, mudah menerima perasaan-perasaan dan memiliki
banyak pengalaman dalam memecahkan suatu masalah sehingga pada saat remaja
akan lebih sukses dalam hal-hal di sekolah dan dalam berhubungan denga temanteman sebaya serta akan terlindung dari resiko-resiko seperti obat-obat terlarang,
minuman keras, kenakalan remaja, kekerasan dan hubungan seks yang tidak aman.
Sementara itu, Goleman (2007) mengemukakan bahwa masalah-masalah
emosional ini pada remaja dapat terlihat dari timbulnya agresivitas remaja yang
negatif seperti merokok dikalangan remaja, penyalahgunaan obat terlarang,
hubungan seksual, kehamilan, putus sekolah, dan kenakalan remaja atau tindakan
kekerasan. Beberapa fakta menunjukkan bahwa banyak remaja yang tidak cerdas
secara emosional, sehingga membuat mereka mudah terpengaruh hal-hal negatif
dimana hal ini dapat terlihat dari kasus perkelahian pelajar yang disebabkan aksi
balas dendam, warisan kebencian dari kakak kelas, tersenggol tanpa sengaja yang
4
semua itu menyebabkan terganggunya keamanan dan menimbulkan kerugian
(Fakhruddin, 1999 dalam Priatini, Latifah, & Guhardja, 2008).
Menurut Yustiana (2001, dalam Wibowo, 2012) seseorang yang rendah diri,
pasif, agresif dapat menghambatnya untuk mencapai prestasi yang baik. Dalam hal
ini, perilaku remaja sangatlah berpengaruh pada prestasi belajar yang baik, apalagi
pada diri individu (siswa) memiliki keseimbangan antara Intelectual Quotient (IQ)
dan Emotional Quotient (EQ) dimana ini berfungsi sebagai kunci keberhasilan
belajar di sekolah(Goleman, 2007).
Hal ini juga ditunjukkan dari fenomena yang dijelaskan oleh Martin (2003,
dalam Christianty, 2010) bahwa ada mantan mahasiswa yang selalu masuk dalam
peringkar 3 besar sewaktu kuliah dan lulus dengan predikat cum laudeakan tetapi ia
gagal dalam karir pekerjaannya. Sebaliknya, seseorang yang tidak berpendidikan
atau bahkan SMP saja tidak lulus tetapi dapat menjadi seorang pengusaha alat berat
yang berhasil. Dari kedua fenomena diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
intelektual (IQ) bukanlah merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan
hidup seseorang. Hal ini senada dengan Goleman (2007) menyatakan bahwa IQ
hanya menyumbang 20% pada kesuksesan dalam hidup seseorang sedangkan
keberhasilan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional sekitar
80%.
Menurut Zulfiah (2009, dalam Christianty, 2010) bahwa kecerdasan
emosional itu sangat penting untuk dikembangkan didalam diri setiap individu
terutama pada anak yang cerdas, dimana hal ini disebabkan adanya fenomena yang
menunjukkan bahwa jika anak yang cerdas di sekolah dan memiliki prestasi
akademik yang bagus tidak dapat mengelola emosinya dengan baik, maka prestasi
5
akademiknya yang bagus tidak akan banyak bermanfaat bagi dirinya sendiri. Oleh
sebab itu, kecerdasan emosioanl perlu lebih dihargai dan dikembangkan pada anak
sejak usia dini (Goleman, 1999 dalam Christianty, 2010).
Individu yang memiliki kecerdasan akademis yang tinggi, akan tetapi ia
cenderung merasa gelisah, terlalu kritis, cenderung menarik diri, terkesan dingin
serta cenderung sulit untuk mengekspresikan kekesalan dan kemarahan secara tepat.
Apabila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka individu
tersebut sering menjadi sumber masalah. Individu yang memiliki IQ tinggi namun
memiliki taraf kecerdasan emosional yang rendah maka individu tersebut cenderung
akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustasi, tidak
mudah percaya pada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan
cenderung putus asa bila mengalami stres. Begitu pula kondisi sebaliknya yang
dialami oleh indivdu yang memiliki taraf IQ diatas rata-rata
kecerdasan emosional yang tinggi.
namun memiliki
Individu tersebut akan mampu memotivasi
dirinya sendiri, mengatasi frustasi, mampu mengenal dan mengelola emosinya,
mengontrol atau mengatur suasana hati (mood), mampu berempati, serta memiliki
kemampuan bekerja sama. Oleh karena itu, EQ yang baik dapat menentukan
keberhasilan indivdu dalam membangun kesuksesan karir atau pun pendidikan, serta
dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam hal ini pada kalangan remaja (Hasil
beberapa penelitian yang dilakukan University of Vermont mengenai analisis struktur
neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux, 1970 dalam Goleman,
2007).
Proses mengembangkan emosional pada remaja merupakan hal yang cukup
sulit, karena dimasa perkembangan ini kondisi remaja masih sangat labil .Ditambah
lagi dari hasil survei yang dilakukan Goleman (1998, dalam Nur & Ekasari, 2008)
6
memperlihatkan bahwa diseluruh dunia memilki kecenderungan, yaitu pada generasi
saat ini lebih banyak mengalami kesulitan emosional dari pada generasi
pendahulunya. Mereka lebih merasa kesepian dan pemurung, lebih beringas dan
tidak menghargai sopan santun, lebih gugup dan lebih mudah cemas, lebih impulsif
dan agresif (Yusuf, 2005, dalam Nur & Ekasari, 2008).
Pada penelitian ini peneliti memilih subjek penelitian yakni remaja
dikarenakan menurut Hurlock (2011, dalam dewi, 2012) bahwa remaja dianggap
memiliki banyak masalah. Senada dengan pendapat diatas, Erikson (1982)
menjelaskan bahwa masa remaja berada pada tahap pencarian identitas diri (jati diri)
serta masa remaja ini berada pada tahap klimaks (dalam Feist & Feist, 2009).
Sekolah merupakan salah satu sarana belajar bagi seorang anak, dimana tidak
hanya dalam hal mendapatkan ilmu pengetahuan saja melainkan juga melatih
keterampilan emosi dan keterampilan sosialnya (Prihatina, Latifah, & Johan, 2012).
Dewasa ini, semakin bertambahnya sekolah yang memproklamasikan sebagai
sekolah “unggul” dimana hal ini terlihat bahwa banyak sekolah yang menggunakan
“label” tertentu yang menunjukkan bahwa sekolah tersebut merupakan sekolah
unggulan seperti Sekolah Standar Nasional (SSN), Sekolah Plus, Sekolah Nasional
Plus, Sekolah Berwawasan Internasional, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
(RISB), Sekolah Internasional, Sekolah Terpadu, Sekolah Bintang, dan Sekolah
Berbasis Informasi dan Teknologi. Selain menggunakan “label-label” tersebut ada
beberapa sekolah yang menawarkan program khusus untuk menunjukkan bahwa
sekolah tersebut merupakan sekolah unggulan, misalnya program Bilingual, program
Matius, Program Magang di Perusahaan, dan lain-lain (Trimantara, 2007). Sekolahsekolah ungulan baik negeri ataupun swasta menjadi semakin diminati oleh sebagian
masyarakat yang berpenghasilan tinggi dimana para orang tua memiliki harapan
7
bahwa sekolah unggulan ini dapat memenuhi harapan mereka dalam mendidik
dengan benar, serta melengkapi anak-anak dengan pengetahuan dan keterampilan
yang unggul (Widodo, 2012).
Sekolah yang unggul adalah sekolah yang mampu melewati batas-batas
standar yang ditentukan dalam artian positif. Standar pendidikan adalah seperangkat
instrumen yang menunjukkan bahwa sebuah sekolah berjalan sebagaimana mestinya.
Manajemen sekolah yang berkualitas yang diterapkan oleh sebuah sekolah, maka
akan melahirkan proses yang berkualitas dan berujung dengan hasil yang berkualitas
pula. Diawali dengan perencanaan hingga tahapan akhir manajemen, yaitu evaluasi
dan
kontroling
dilaksanakan
secara
berkualitas.
Dengan
demikian,
maka
keterjaminan kualitas ini akan mampu memberikan peran yang penting dalam
mendorong terciptanya sekolah yang unggul (Juhrodin, 2013).
Kualitas pemimpin (kualitas seorang kepala sekolah) tidak mesti seorang
yang memiliki pendidikan tinggi atau pengalaman yang lama di bidangnya, akan
tetapi pemimpin yang unggul tidak hanya menekankan pada aspek formalnya saja,
melainkan juga dalam aspek moral, etika, dan kesalehannya baik kesalehan individu
maupun kesalehan sosialnya. Selain itu, kultur sekolah juga merupakan faktor yang
penting pada sebuah sekolah unggulan dimana ini merupakan identitas dari
keseharian sekolah tersebut, baik kultur akademik, kebebasan berpendapat, berkreasi
atau berekspresi. Sementara itu, kualitas pembelajaran pada sekolah unggulan harus
mencerminkan
proses
belajar
siswa
aktif
dimana
siswa
yang
mencari,
mengeksplorasi, menemukan informasi-informasi yang dibutuhkannya di bawah
arahan dan bimbingan guru. Pembelajaran tidak terbatasi oleh ruang dan waktu,
8
proses pembelajaran dilaksanakan sedemikian rupa sehingga siswa mampu
memelihara motivasi mereka untuk belajar (Juhrodin, 2013).
Menurut Lie (2009) beberapa sekolah baik sekolah dengan label “unggulan”
atau “non-unggulan” dengan sengaja membuka kelas unggulan khusus. Hal ini
disebut dengan ability grouping yang merupakan praktik memasukkan beberapa
siswa dengan kemampuan yang setara dalam kelompok yang sama. Praktik ini bisa
dilakukan pada pembagian kelompok di dalam satu kelas atau pembagian kelas di
dalam satu sekolah.Jadi di dalam satu kelas ada kelompok siswa pandai dan
kelompok siswa lemah atau ada kelas-kelas unggulan dan ada pula kelas terbelakang
di dalam satu sekolah. Kelas unggulan ini terdiri dari siswa-siwa yang cerdas dan
berbakat. Selain itu juga, kelas unggulan ini mendapat kurikulum tambahan dan nilai
tambahan dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya berupa pengajaran dan pelatihan
tambahan. Tujuan dari pelaksanaan ini untuk menonjolkan keunggulan yang dimiliki
oleh para pelajar. Widodo (2012) juga menjelaskan bahwa pendidikan berbasis
keunggulan lokal dan global merupakan pendidikan yang memanfaatkan keunggulan
lokal dan kebutuhan daya asing global dalam aspek ekonomi, budaya, bahasa,
teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan hal-hal lainnya yang memberikan
manfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Achamd Showi mengenai
kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial siswa akselerasi pada siswa SMA
Negeri menjelaskan bahwa tingkat inteligensi yang tinggi merupakan suatu kelebihan
bagi siswa akselerasi atau siswa-siswa cerdas dan berprestasi lainnya, dimana hal ini
menimbulkan
permasalahan
sosial
dan
emosi
bagi
mereka
dikarenakan
keseimbangan emosi tidaklah selalu diiringi dengan kelebihan intelektual secara
9
otomatis, sehingga siswa-siswa akselerasi atau siswa berprestasi lainnya sering
menghadapi permasalahan emosional, baik yang berasal dari luar diri (eksternal)
maupun dari dalam diri (internal), seperti bosan, fobia sekolah, kekurangan
hubungan pertemanan dengan teman sebaya, konformitas, dan lain-lain, serta
sensitifitas dan intensitas emosional yang dimiliki siswa akselerasi atau siswa
berprestasi yang dapat menyebabkan kerentanan emosi dan dapat menimbulkan
masalah-masalah lainnya dalam kehidupan sosial dan emosi mereka (Mulyawati,
2004 dalam Showi, 2009). Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada
kecerdasan emosional memiliki hubungan dengan penyesuaian sosial siswa
akselerasi SMUN 1 Malang, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin tinggi
pula tingkat penyesuaian sosial orang tersebut. Senada dengan pendapat dari Salovey
dan Mayer (1990, dalam Showi, 2009) yang menyatakan bahwa kecerdasan
emosional merupakan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nungraeni
(2011) dan diimplementasikan berdasarkan teori Goleman (2007) menunjukkan
bahwa apabila seorang remaja yang mengikuti kelas unggulan memiliki kecerdasan
emosional yang rendah, maka ia cenderung akan keras kepala, sulit bergaul, putus
asa apabila mengalami suatu permasalahan, tidak mudah percaya kepada orang lain,
tidak peka dengan kondisi lingkungan, sehingga membuat individu tersebut menjadi
terasing di tengah masyarakat. Sedangkan, remaja yang mengikuti kelas unggulan
memiliki kecerdasan emosional yang baik, maka ia cenderung akan lebih memahami
secara mendalam emosi nya sendiri, lebih utuh tentang dirinya maupun orang lain,
10
serta dapat mempengaruhi potensi keberhasilan dan prestasi belajarnya sebagai siswa
yang mengikuti kelas unggulan
Alasan peneliti memilih penelitian ini yakni gambaran kecerdasan emosional
pada siswa kelas unggulan di SMA unggulan Jakarta dikarenakan peneliti ingin
melihat gambaran umum kecerdasan emosional pada siswa kelas unggulan di SMA
unggulan Jakarta.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka ditemukan rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana gambaran umum kecerdasan emosional pada siswa
kelas unggulan di SMA unggulan Jakarta ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris serta
memberikan informasi dan juga menjawab rumusan masalah diatas, yakni gambaran
umum kecerdasan emosional pada siswa kelas unggulan di SMA unggulan Jakarta.
Download