1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecerdasan Emosional
2.1.1 Definisi Kecerdasan Emosional
Menurut Sarlito Wirawan yang tertuang dalam buku Syamsu Yusuf LN
(2002) emosi merupakan setiap keadaan pada diri individu yang disertai adanya
warna afektif yang berada pada tingkat lemah atau dangkal dan juga pada tingkat
yang luas dan mendalam.Warna afektif yang dimaksudkan adalah suatu perasaan
yang dialami saat kita menghadapi (menghayati) stituasi tertentu.Dalam hal ini
gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci atau tidak senang, dan sebagainya.
Berdasarkan dari kerangka dasar mengenai emosi, adanya teori komprehensif
mengenai emosi yang berkaitan dengan kecerdasan emosional yang telah dipaparkan
pada tahun 1990 oleh Peter Soluvey dan Jhon Mayer, mereka pada awalnya
mendefiniskan bahwa kecerdasan emosional merupakan bagian dari kecerdasan
sosial yang melibatkan kemampuan untuk dapat memantau perasaan dan emosi yang
ada pada diri sendiri maupun orang lain, serta dapat memilah-milah semuannya dan
juga dapat menggunakan suatu informasi untuk membimbing suatu pikiran dan
tindakan (Lawrence, 1998).
Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosional adalah kemampuan
individu dalam mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, kemampuan
individu dalam memotivasi dirinya, menjaga keselarasan emosi serta pengungkapnya
melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, rasa empati, keterampilan
11
12
sosial, memiliki ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mampu mengendalikan
emosi dan menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa individu, sehingga
kecerdasan emosional tersebut dapat membuat individu lebih menempatkan
emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Senada dengan pendapat dari Goleman, John Mayer dan Peter Salovey
(2004) mengemukan bahwa kecerdasan emosional melibatkan kemampuan individu
dalam membaca emosi orang lain secara akurat, menanggapi emosi secara tepait,
memotivasi diri, menyadari emosi sendiri, serta mengatur dan mengontrol respon
emosional sendiri (dalam Passer & Smith, 2007). Sementara Cooper dan Sawaf
(1998) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan
individu dalam merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan
kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi, dimana
kecerdasan emosi ini menuntuk perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai
perasaan pada diri dan orang lain, menanggapinya dengan tepat, serta menerapkan
secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari (dalam Mutadin, 2002).
Dari pembahasan diatas, disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan Individu dalam memahami, mengerti, mengontrol dan memahami emosi
dirinya sendiri dan orang lain.
2.1.2 Komponen Utama Kecerdasan Emosional
Peter Salovey menempatkan kecerdasan pribadi Gardner sebagai definisi
dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya, dan memperluas
kemampuan ini menjadi lima wilayah utama, dimana Goleman (2007) itu sendiri
13
membagi model kecerdasan emosional menjadi dua bagian besar, yaitu personal
competence dan social competence.
2.1.2.1 Personal Competence
Personal competence merupakan kemampuan individu mengatur atau
mengelola diri sendiri (Goleman, 2007).
1. Mengenali emosi diri (self awareness)
Kesadaran diri dalam mengenali emosi atau perasaan sewaktu perasaan itu
muncul pada diri individu merupakan dasar dari kecerdasan emosional
(kemampuan kunci dalam kecerdasan emosional adalah self awareness).Pada
tahap ini diperlukan adanya pemantauan pada perasaan dari waktu ke waktu
sehingga dapat menimbulkan wawasan dan pemahaman tentang diri.
Ketidakmampuan dalam mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat
diri individu berada dalam penguasaan pada perasannya sendiri, sehingga ini
membuat individu tidak peka akan perasaannya yang sesungguhnya dan
berakibat buruk dalam pengambilan keputusan. Kesadaran diri memang
belum menjamin penguasaan emosi, akan tetapi merupakan salah satu syarat
penting dalam mengendalikan emosi, sehingga individu tersebut mudah
dalam menguasai emosinya (Goleman, 2007). Individu diminta untuk
menentukan kondisi perubahan emosi individu itu sendiri dalam intensitas
dan tipe perubahan, tugas lainnya untuk mengukur pemahaman orang lain
akan emosi dasar yang secara bersama-sama menciptakan emosi yang tajam,
seperti iri atau cemburu (Passer & Smith, 2007).
14
2.
Mengelola emosi (self control)
Kemampuan dalam mengelola emosi sebagai landasan dalam mengenal diri
sendiri atas emosi.Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam
menangani perasaan agar perasaan tersebut dapat terungkap dengan tepat,
sehingga mampu mencapai keseimbangan dalam diri individu.Emosi
dikatakan berhasil dikelola apabila individu tersebut mampu menghibur
dirinya sendiri ketika dalam kondisi terpuruk atau kesedihan, dapat
melepaskan kecemasan dalam diri, kemurungan atau ketersinggungan. Begitu
sebaliknya, emosi yang tidak berhasil dikelola akan terus menerus bertarung
melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang
dapat merugikan dirinya sendiri. Emosi yang berlebihan dan meningkat
dengan intensitas yang terlampau lama akan menghancurkan kestabilan diri
individu (Goleman, 2007). Sementara itu, menurut Passer dan Smith (2007)
mengelola emosi diukur dengan meminta responden menunjukkan bagaimana
responden tersebut dapat mengubah emosinya sendiri atau orang lain, serta
memfasilitasi keberhasilan atau meningkatkan kerukunan antar pribadi.
3. Memotivasi diri sendiri (self motivation)
Memotivasi diri merupakan bentuk usaha yang dilakukan indvidu tergerak
untuk melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki.
Kemampuan individu dalam memotivasi diri dapat ditelusuri melalui
berbagai hal, antara lain: cara mengendalikan dorongan hati, derajat
kecemasan yang berpengaruh pada kemampuan seseorang, kekuatan berpikir
positif, dan optimisme. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimiliki
individu, maka individu tersebut cenderung akan memiliki pandangan yang
15
positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Selain itu
juga memiliki keinginan yang berbeda-beda antara satu orang dengan orang
lain (Goleman, 2007).
Dari pembahasan diatas, menjelaskan definisi personal competence
merupakan kemampuan individu mengenali atau memahami emosinya
sendiri, mengelola atau mengatur emosinya sendiri, serta bagaimana individu
itu mampu memotivasi dirinya sendiri untuk dapat mencapai suatu tujuan
hidup.
2.1.2.2 Social Competence
Social competence adalah kemampuan individu dalam menangani serta
mengatur suatu hubungan dengan orang lain (Goleman, 2007).
1. Mengenali emosi orang lain (empathy)
Kemampuan individu dalam mengenali emosi orang lain, menunjukkan
kemampuan berempati pada orang lain, dimana empati itu sendiri memiliki
arti kemampuan perasaan seseorang untuk menempatkan diri ke dalam
perasaan orang lain, sehingga dapat memahami pikiran, perasaan, dan
perilakunya. Manusia yang berempati merupakan kemampuan individu dalam
menghangatkan suasana untuk menempatkan dirinya pada situasi dan
perasaan orang lain, akan tetapi individu tetap berada di luar perasan orang
lain dan tetap mempertahankan perasaan dirinya. Individu yang empatik lebih
mampu
menangkap
sinyal-sinyal
sosial
yang
tersembunyi
yang
mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain, sehingga
individu tersebut mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap
perasaan orang lain dan mampu untuk mendengarkan orang lain. Jika
16
seseorang mampu terbuka pada emosinya sendiri, maka dapat dipastikan
bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain, sebaliknya seseorang
yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat
dipastikan bahwa ia tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain
(Goleman, 2007).
2. Membina hubungan dengan orang lain (social skill)
Kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan
keterampilan sosial yang menunjang popularitas, mendukung keberhasilan
dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan, seseorang
akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya karena
tidak dimiliki keterampilan-keterampilan tersebut, menyebabkan seseorang
seringkali dianggap angkuh, menggangu atau tidak berperasaan (Goleman,
2007).
Jadi, social competence didefinisikan sebagai suatu kemampuan individu
dalam memahami atau mengenali emosi orang lain, dan kemampuan individu dalam
mengatur, membangun serta membina hubungan dengan orang lain atau lingkungan
sekitarnya.
Berikut adalah dimensi model kecerdasan emosional Goleman (1999 dalam
Marina & Sarwono, 2007).
Tabel 2.1 Dimensi Model Kecerdasan Emosional Goleman
Self-Awareness
Mengetahui kondisi, emosi diri,
kesukaan, sumber daya dan intuisi.
Personal Competence
Kecakapan ini
Self-Control
Mengelola kondisi, emosi, impuls,
menentukan bagaimana
dan sumber daya diri sendiri.
kita mengelola diri kita
Self-Motivation
Kecenderungan emosi yang
sendiri
mengantar atau memudahkan
peralihan sasaran.
17
Empathy
Social Competence
Kecakapan ini
menentukan bagaimana
kita menangani suatu
hubungan
Kesadaran terhadap perasaan,
kebutuhan, dan kepentingan orang
lain.
Kemampuan dalam menggugah
tanggapan yang dikehendaki orang
lain.
Social Skill
Sumber: Marina, L., & Sarwono, S. W (2007)
Goleman (1995) menjelaskan bahwa self awareness itu sendiri secara
langsung mempengaruhi perkembangan self control dan empati, akan tetapi sebelum
seseorang memiliki kemampuan mengidentifikasikan emosi atau perasaannya, tidak
mungkin individu tersebut dapat mengatur emosi atau perasaannya. Tanpa adanya
self control kemampuan self motivation tidak dapat berkembang. Begitu juga dengan
empati, kemampuan berempati tidak dapat berkembang tanpa didahului oleh
perkembangan
self-awareness,
dimana
dimaksudkan
bahwa
tanpa
adanya
kemampuan dalam memahami diri sendiri, maka tidak mungkin seseorang dapat
mengenali orang lain. Selanjutnya social skillakan melibatkan kemampuan dalam
memahami perasaan orang lain (empathy) dan kemampuan bertingkah laku untuk
lebih membentuk perasaan tersebut (dalam Marina & Sarwono, 2007).
18
2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Remaja
Karakteristik keluarga
:
• Besar keluarga
• Usia orang tua
• Pendidikan orang tua
• Pekerjaan orang tua
• Pendapatan keluarga
Karakteristik
anak :
• Jenis kelamin
• Usia
Tipe pengasuhan
emosi :
• Tipe mengabaikan
emosi
• Tipe tidak menyetujui
emosi
• Tipe laissez-faire
• Tipe pelatih emosi
Lingkungan sekolah :
• Disiplin
• Pembelajaran emosional
• Kegiatan ekstrakurikuler
• Hubungan guru dengan
siswa
Peran teman sebaya :
• Fungsi persahabatan
• Dukungan semangat
• Dukungan fisik
• Dukungan ego
• Fungsi komparasi
sosial
• Fungsi kasih sayang
Kecerdasan
emosional :•
Mengenal emosi
• Mengelola emosi
• Motivasi diri
• Empati
• Membina hubungan
Gambar 2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional remaja.
Sumber: Priatini, W., Latifah, M., & Guhardja, S. (2008).
Anak yang pada usia remaja memilki tugas perkembangan yang harus
dijalani. Termasuk pula pada perkembangan kecerdasan emosional, dimana
kemampuan tersebut juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, sekolah dan
19
teman sebaya.Lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama bagi anak untuk
belajar mengenai kecerdasan emosional melalui pengasuhan.Banyak tipe dari pola
pengasuhan yang direapkan orang tua, diantaranya pengasuhan emosiona.Dalam
mengasuh seorang anak, karakteristik keluarga dan anak juga sangat berpengaruh
terhadap suatu tipe pengasuhan dari orangtuanya. Karakteristik keluarga mencakup
besarnya keluarga, usia, pendidikan, pekerjaan orang tua dan pendapatan keluarga
mempengaruhi mood dari orang tua dalam mengasuh anak, yang akhirnya
mempengaruhi suasana dalam keluarga. Orang tua juga perlu memperhatikan
karakter anak tersebut seperti jenis kelamin dan usia. Lingkungan sekolah juga
berperan dalam mendukung perkembangan kecerdasan emosional ini dapat dilihat
dari lingkungan sekolah yang mempunyai disiplin yang baik, adanya pelajaran
mengenai emosional, menyediakan kegiatan ekstrakulikuler dan peran guru sebai
suatu tauladan dengan menciptakan hubungan yang baik dengan siswa.Pertemanan
sebaya sebagai aspek yang menunjang perkembangan emosional remaja dapat dilihat
dari peran teman sebaya dalam fungsi persahabatan, memberikan dukungan
semangat, dukungan fisik, dukungan ego, fungsi komparasi sosial dan sebagai
sumber kasih sayang (Priatini, Latifah, & Guhardja, 2008).
Dari hasil pembahasan diatas disimpulkan bahwa keluarga (peran orang tua
dalam lingkungan keluarga, pola pengasuhan yang diberikan kepada anak),
lingkungan (lingkungan sekolah yang memberikan pembelajaran untuk anak), dan
peran teman sebaya (fungsi persahabatan, fungsi komparasi sosial dan peran dalam
memberikan semangat, dukungan) merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional individu dimana akan terlihat hasilnya dalam bentuk
kecerdasan emosional yang tinggi atau rendah ataupun baik atau buruk.
20
2.2 Sekolah Unggulan
Menurut Sundari (2008) istilah “sekolah unggulan” secara umum
didefinisikan sebagai sekolah yang memiliki kelebihan dan keunggulan apabila
dibandingkan dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Kelebihan atau keunggulan
tersebut meliputi keunggulan dalam hal sebagai berikut:
1. Targert prestasi belajar yang lebih tinggi
2. Proses belajar dan mengajar yang lebih efektif
3. Kualitas guru yang lebih baik
4. Fasilitas belajar yang memadai
Pembangunan sekolah unggulan ini harus lebih diarahkan pada peningkatan
sumber daya manusia, dikarenakan sekolah merupakan sektor yang paling strategis
untuk mencapai suatu tujuan (Sundari, 2008).
2.3 Kelas Unggulan
Ability grouping merupakan praktik memasukkan beberapa siswa dengan
kemampuan yang setara dalam kelompok yang sama. Praktik ini bisa dilakukan pada
pembagian kelompok di dalam satu kelas atau pembagian kelas di dalam satu
sekolah.Jadi, di dalam satu kelas ada kelompok siswa pandai dan kelompok siswa
lemah atau ada kelas-kelas unggulan dan ada pula kelas terbelakang di dalam satu
sekolah.Praktik-praktik ini menjadi kebiasaan yang dibanggakan di beberapa sekolah
unggulan di Indonesia ataupun luar negeri yang ingin menonjolkan kelas khusus
mereka yang terdiri dari anak-anak cerdas dan berbakat (Lie, 2009).
Anita Lie (2009) juga menjelaskan bahwa pengelompokkan homogen
berdasarkan hasil prestasi ini dilakukan juga untuk memudahkan proses pengajaran.
21
Dalam proses pengajaran, guru sering kali menghadapi tantangan yang lebih besar
dalam mengajar siswa yang berlainan kemampuan belajarnya dalam satu kelompok
atau kelas. Jika guru mengajar terlalu cepat, maka siswa yang lamban akan
tertinggal. Sebaliknya, jika terlalu lambat dalam mengajar, maka siswa cerdas akan
merasa bosan dan akhirnya mengabaikan atau mengacaukan kelas. Oleh karena itu,
pengelompokan homogen dianggap bisa menyelesaikan masalah dalam hal
pengajaran.
Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa sekolah dengan sengaja membuka
kelas unggulan khusus, dimana kelas ini terdiri dari kurikulum tambahan dan nilai
tambahan dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya berupa pengajaran dan pelatihan
tambahan.Tujuan dari pelaksanaan ini untuk menonjolkan keunggulan yang dimiliki
oleh para pelajar. Dibalik segala tujuan dan manfaat dari pengelompokkan homogen
ini mempunyai dampak negatif, dimana menurut para pakar dan peneliti pendidikan
bahwa pengelompokkan ini bertentangan dengan misi pendidikan. Pengelompokkan
berdasarkan kemampuan sama saja dengan memberikan label pada siswa-siswi yang
dimasukkan dalam kelompok yang kurang mampu. Label ini memjadi self-fulfilling
prophecy (ramalan yang menjadi kenyataan), dikarenakan siswa yang dimasukkan
dalam kelompok yang lemah, seseorang siswa akan merasa tidak mampu, patah
semangat, dan tidak mau berusaha lagi (Lie, 2009).
Sementara, John Dewey mengatakan bahwa sekolah seharusnya menjadi
miniature masyarakat. Oleh karena itu, sekolah atau ruang kelas sejauh mungkin
perlu mencerminkan keanekaragaam dalam masyarakat, dimana dalam masyarakat
terdapat berbagai macam manusia dengan tingkatan kemampuan dan keterbatasan
yang berbeda-beda, saling berinteraksi, bersaing, dan bekerja sama (dalam Lie,
2009).
22
2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja
Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia remaja berada
pada rentang usia antara 11-21 tahun. Pada masa remaja mengalami masa-masa
pergolakan emosi yang muncul dari berbagai bentuk seperti hubungan dalam
keluarga, lingkungan di tempat tinggal, lingkungan sekolah dan hubungan
pertemanan sebaya dan kegiatan dalanm kehidupan sehari-hari (Santrock, 2003).
Menurut Arnett (1999); Roberts, Caspi, & Moffitt (2001) masa remaja yang
paling mengalami pergeseran mood dan suasana hati baik positif maupun negatif
dibandingkan dengan masa kanak-kanak dan dewasa. Dibandingkan dengan anakanak dan orang dewasa, remaja juga jauh lebih mungkin memiliki perasaan sadar
diri, malu, canggung, kesepian, gelisah, dan perasaan diabaikan (dalam Lahey,
2012).
Konflik antara orang tua dan anak-anak meningkat selama masa remaja awal
sampai masa remaja akhir (Arnett, 1999 dalam Lahey, 2012). Konflik ini biasanya
berfokus pada dating, berapa lama remaja harus berada jauh dari rumah, kemana
mereka bisa pergi, dan menjadi seperti apa mereka (ini sering mencerminkan adanya
perbedaan antara pandangan orang tua dan pandangan remaja
mengenai seks,
alkohol, narkoba, kenakalan, dan keamanan) (Lahey, 2012).
Arnett (1999) dan Steinberg (2009) menjelaskan bahwa selama masa remaja
terjadi peningkatan yang tajam dalam perilaku remaja, yakni perilaku yang
menunjukkan tindakan berbahaya, ada peningkatan yang ditandai dengan minumminuman keras (mabuk-mabukan), pengunaan obat-obatan terlarang, mengemudi
secara sembrono (kecelakaan mobil atau kematian), tidak ada perlindungan dalam
23
hubungan seksual, agresi, kenakalan remaja, dan hal ini di alami individu sampai
masa perkembangan dewasa awal (dalam Lahey, 2012).
Selain adanya perubahan pada perkembangan emosi remaja, remaja juga
menunjukkan adanya perubahaan nyata dalam hubungan sosial. Masa remaja
merupakan masa dimana individu terkadang melepaskan diri dari keluarga atau masa
pubertas membawa individu menjauh dari orang tua (Arnett, 1999 & Galambos,
1992). Sementara itu, Diamond, Fagundes, dan Butterworth (2010) menjelaskan
masa remaja juga mengalami hubungan pertemanan sebaya, dimana ini meliputi
partener intim. Terjadinya pergeseran orientasi dari orang tua ke hubungan
pertemanan sebaya dapat dilihat adanya penilaian dari kelompok persebayaan yang
terjadi pada awal pubertas (sekitar usia 11 tahun sampai 13 tahun), akan tetapi
hubungan ini akan menurun pada rentan usia 15 tahun. Selain itu, menurut Santrock
(1998) remaja muda menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya
dibandingkan dengan orang tua nya (dalam Lahey, 2012).
24
2.5 Kerangka Berpikir
Remaja
Siswa di kelas
unggulan
Kecerdasan emosional tinggi
atau kecerdasan emosional
rendah ?
Gambar 2.2 Gambaran Umum Kecerdasan Emosional pada Siswa Kelas Unggulan
di SMA Unggulan Jakarta
Sumber: Data Pengolahan Peneliti
Pada masa remaja mengalami masa-masa pergolakan emosi yang muncul dari
berbagai bentuk seperti hubungan dalam keluarga, lingkungan di tempat tinggal,
lingkungan sekolah dan hubungan pertemanan sebaya dan kegiatan dalam kehidupan
sehari-hari (Santrock, 2003). Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa
usia remaja berada pada rentang usia antara 11-21 tahun. Menurut Turner dan Helms
(1991, dalam Priatini, Latifah, & Guhardja, 2008) berpendapat bahwa lingkungan
sekolah memberikan kontribusi pada perkembangan sosial remaja.Selain itu, ratarata siswa SMA banyak menghabiskan waktunya disekolah sekitar 7 jam sehari
(Sarwono, 2002, dalam Priatini, Latifah, & Guhardja, 2008).
25
Sekolah merupakan salah satu sarana belajar bagi seorang anak, dimana tidak
hanya dalam hal mendapatkan ilmu pengetahuan saja melainkan juga melatih
keterampilan emosi dan keterampilan sosialnya (Prihatina, Latifah, & Johan, 2012).
Sekolah-sekolah ungulan baik negeri ataupun swasta menjadi semakin diminati oleh
sebagian masyarakat yang berpenghasilan tinggi dimana para orang tua memiliki
harapan bahwa sekolah unggulan ini dapat memenuhi harapan mereka dalam
mendidik dengan benar, serta melengkapi anak-anak dengan pengetahuan dan
keterampilan yang unggul (Widodo, 2012). Menurut Lie (2009) beberapa sekolah
baik sekolah dengan label “unggulan” atau “non-unggulan” dengan sengaja
membuka kelas unggulan khusus. Kelas unggulan ini terdiri dari siswa-siwa yang
cerdas dan berbakat. Selain itu juga, kelas unggulan ini mendapat kurikulum
tambahan dan nilai tambahan dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya berupa
pengajaran dan pelatihan tambahan.
Apabila seorang remaja yang mengikuti kelas unggulan memiliki kecerdasan
emosional yang rendah, maka ia cenderung akan keras kepala, sulit bergaul, putus
asa apabila mengalami suatu permasalahan, tidak mudah percaya kepada orang lain,
tidak peka dengan kondisi lingkungan, sehingga membuat individu tersebut menjadi
terasing di tengah masyarakat. Sedangkan, remaja yang mengikuti kelas unggulan
memiliki kecerdasan emosional yang baik, maka ia cenderung akan lebih memahami
secara mendalam emosi nya sendiri, lebih utuh tentang dirinya maupun orang lain,
serta dapat mempengaruhi potensi keberhasilan dan prestasi belajarnya sebagai siswa
yang mengikuti kelas unggulan (Goleman, 2007, dalam Nungraeni, 2011).
Download