BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Definisi Kecerdasan Emosional Menurut Sarlito Wirawan yang tertuang dalam buku Syamsu Yusuf LN (2002) emosi merupakan setiap keadaan pada diri individu yang disertai adanya warna afektif yang berada pada tingkat lemah atau dangkal dan juga pada tingkat yang luas dan mendalam.Warna afektif yang dimaksudkan adalah suatu perasaan yang dialami saat kita menghadapi (menghayati) stituasi tertentu.Dalam hal ini gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci atau tidak senang, dan sebagainya. Berdasarkan dari kerangka dasar mengenai emosi, adanya teori komprehensif mengenai emosi yang berkaitan dengan kecerdasan emosional yang telah dipaparkan pada tahun 1990 oleh Peter Soluvey dan Jhon Mayer, mereka pada awalnya mendefiniskan bahwa kecerdasan emosional merupakan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk dapat memantau perasaan dan emosi yang ada pada diri sendiri maupun orang lain, serta dapat memilah-milah semuannya dan juga dapat menggunakan suatu informasi untuk membimbing suatu pikiran dan tindakan (Lawrence, 1998). Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosional adalah kemampuan individu dalam mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, kemampuan individu dalam memotivasi dirinya, menjaga keselarasan emosi serta pengungkapnya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, rasa empati, keterampilan 11 12 sosial, memiliki ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mampu mengendalikan emosi dan menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa individu, sehingga kecerdasan emosional tersebut dapat membuat individu lebih menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Senada dengan pendapat dari Goleman, John Mayer dan Peter Salovey (2004) mengemukan bahwa kecerdasan emosional melibatkan kemampuan individu dalam membaca emosi orang lain secara akurat, menanggapi emosi secara tepait, memotivasi diri, menyadari emosi sendiri, serta mengatur dan mengontrol respon emosional sendiri (dalam Passer & Smith, 2007). Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan individu dalam merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi, dimana kecerdasan emosi ini menuntuk perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain, menanggapinya dengan tepat, serta menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari (dalam Mutadin, 2002). Dari pembahasan diatas, disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan Individu dalam memahami, mengerti, mengontrol dan memahami emosi dirinya sendiri dan orang lain. 2.1.2 Komponen Utama Kecerdasan Emosional Peter Salovey menempatkan kecerdasan pribadi Gardner sebagai definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya, dan memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama, dimana Goleman (2007) itu sendiri 13 membagi model kecerdasan emosional menjadi dua bagian besar, yaitu personal competence dan social competence. 2.1.2.1 Personal Competence Personal competence merupakan kemampuan individu mengatur atau mengelola diri sendiri (Goleman, 2007). 1. Mengenali emosi diri (self awareness) Kesadaran diri dalam mengenali emosi atau perasaan sewaktu perasaan itu muncul pada diri individu merupakan dasar dari kecerdasan emosional (kemampuan kunci dalam kecerdasan emosional adalah self awareness).Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan pada perasaan dari waktu ke waktu sehingga dapat menimbulkan wawasan dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan dalam mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri individu berada dalam penguasaan pada perasannya sendiri, sehingga ini membuat individu tidak peka akan perasaannya yang sesungguhnya dan berakibat buruk dalam pengambilan keputusan. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, akan tetapi merupakan salah satu syarat penting dalam mengendalikan emosi, sehingga individu tersebut mudah dalam menguasai emosinya (Goleman, 2007). Individu diminta untuk menentukan kondisi perubahan emosi individu itu sendiri dalam intensitas dan tipe perubahan, tugas lainnya untuk mengukur pemahaman orang lain akan emosi dasar yang secara bersama-sama menciptakan emosi yang tajam, seperti iri atau cemburu (Passer & Smith, 2007). 14 2. Mengelola emosi (self control) Kemampuan dalam mengelola emosi sebagai landasan dalam mengenal diri sendiri atas emosi.Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar perasaan tersebut dapat terungkap dengan tepat, sehingga mampu mencapai keseimbangan dalam diri individu.Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila individu tersebut mampu menghibur dirinya sendiri ketika dalam kondisi terpuruk atau kesedihan, dapat melepaskan kecemasan dalam diri, kemurungan atau ketersinggungan. Begitu sebaliknya, emosi yang tidak berhasil dikelola akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri. Emosi yang berlebihan dan meningkat dengan intensitas yang terlampau lama akan menghancurkan kestabilan diri individu (Goleman, 2007). Sementara itu, menurut Passer dan Smith (2007) mengelola emosi diukur dengan meminta responden menunjukkan bagaimana responden tersebut dapat mengubah emosinya sendiri atau orang lain, serta memfasilitasi keberhasilan atau meningkatkan kerukunan antar pribadi. 3. Memotivasi diri sendiri (self motivation) Memotivasi diri merupakan bentuk usaha yang dilakukan indvidu tergerak untuk melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki. Kemampuan individu dalam memotivasi diri dapat ditelusuri melalui berbagai hal, antara lain: cara mengendalikan dorongan hati, derajat kecemasan yang berpengaruh pada kemampuan seseorang, kekuatan berpikir positif, dan optimisme. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimiliki individu, maka individu tersebut cenderung akan memiliki pandangan yang 15 positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Selain itu juga memiliki keinginan yang berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain (Goleman, 2007). Dari pembahasan diatas, menjelaskan definisi personal competence merupakan kemampuan individu mengenali atau memahami emosinya sendiri, mengelola atau mengatur emosinya sendiri, serta bagaimana individu itu mampu memotivasi dirinya sendiri untuk dapat mencapai suatu tujuan hidup. 2.1.2.2 Social Competence Social competence adalah kemampuan individu dalam menangani serta mengatur suatu hubungan dengan orang lain (Goleman, 2007). 1. Mengenali emosi orang lain (empathy) Kemampuan individu dalam mengenali emosi orang lain, menunjukkan kemampuan berempati pada orang lain, dimana empati itu sendiri memiliki arti kemampuan perasaan seseorang untuk menempatkan diri ke dalam perasaan orang lain, sehingga dapat memahami pikiran, perasaan, dan perilakunya. Manusia yang berempati merupakan kemampuan individu dalam menghangatkan suasana untuk menempatkan dirinya pada situasi dan perasaan orang lain, akan tetapi individu tetap berada di luar perasan orang lain dan tetap mempertahankan perasaan dirinya. Individu yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain, sehingga individu tersebut mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan mampu untuk mendengarkan orang lain. Jika 16 seseorang mampu terbuka pada emosinya sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain, sebaliknya seseorang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan bahwa ia tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain (Goleman, 2007). 2. Membina hubungan dengan orang lain (social skill) Kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang menunjang popularitas, mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan, seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya karena tidak dimiliki keterampilan-keterampilan tersebut, menyebabkan seseorang seringkali dianggap angkuh, menggangu atau tidak berperasaan (Goleman, 2007). Jadi, social competence didefinisikan sebagai suatu kemampuan individu dalam memahami atau mengenali emosi orang lain, dan kemampuan individu dalam mengatur, membangun serta membina hubungan dengan orang lain atau lingkungan sekitarnya. Berikut adalah dimensi model kecerdasan emosional Goleman (1999 dalam Marina & Sarwono, 2007). Tabel 2.1 Dimensi Model Kecerdasan Emosional Goleman Self-Awareness Mengetahui kondisi, emosi diri, kesukaan, sumber daya dan intuisi. Personal Competence Kecakapan ini Self-Control Mengelola kondisi, emosi, impuls, menentukan bagaimana dan sumber daya diri sendiri. kita mengelola diri kita Self-Motivation Kecenderungan emosi yang sendiri mengantar atau memudahkan peralihan sasaran. 17 Empathy Social Competence Kecakapan ini menentukan bagaimana kita menangani suatu hubungan Kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain. Kemampuan dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain. Social Skill Sumber: Marina, L., & Sarwono, S. W (2007) Goleman (1995) menjelaskan bahwa self awareness itu sendiri secara langsung mempengaruhi perkembangan self control dan empati, akan tetapi sebelum seseorang memiliki kemampuan mengidentifikasikan emosi atau perasaannya, tidak mungkin individu tersebut dapat mengatur emosi atau perasaannya. Tanpa adanya self control kemampuan self motivation tidak dapat berkembang. Begitu juga dengan empati, kemampuan berempati tidak dapat berkembang tanpa didahului oleh perkembangan self-awareness, dimana dimaksudkan bahwa tanpa adanya kemampuan dalam memahami diri sendiri, maka tidak mungkin seseorang dapat mengenali orang lain. Selanjutnya social skillakan melibatkan kemampuan dalam memahami perasaan orang lain (empathy) dan kemampuan bertingkah laku untuk lebih membentuk perasaan tersebut (dalam Marina & Sarwono, 2007). 18 2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Remaja Karakteristik keluarga : • Besar keluarga • Usia orang tua • Pendidikan orang tua • Pekerjaan orang tua • Pendapatan keluarga Karakteristik anak : • Jenis kelamin • Usia Tipe pengasuhan emosi : • Tipe mengabaikan emosi • Tipe tidak menyetujui emosi • Tipe laissez-faire • Tipe pelatih emosi Lingkungan sekolah : • Disiplin • Pembelajaran emosional • Kegiatan ekstrakurikuler • Hubungan guru dengan siswa Peran teman sebaya : • Fungsi persahabatan • Dukungan semangat • Dukungan fisik • Dukungan ego • Fungsi komparasi sosial • Fungsi kasih sayang Kecerdasan emosional :• Mengenal emosi • Mengelola emosi • Motivasi diri • Empati • Membina hubungan Gambar 2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional remaja. Sumber: Priatini, W., Latifah, M., & Guhardja, S. (2008). Anak yang pada usia remaja memilki tugas perkembangan yang harus dijalani. Termasuk pula pada perkembangan kecerdasan emosional, dimana kemampuan tersebut juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, sekolah dan 19 teman sebaya.Lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama bagi anak untuk belajar mengenai kecerdasan emosional melalui pengasuhan.Banyak tipe dari pola pengasuhan yang direapkan orang tua, diantaranya pengasuhan emosiona.Dalam mengasuh seorang anak, karakteristik keluarga dan anak juga sangat berpengaruh terhadap suatu tipe pengasuhan dari orangtuanya. Karakteristik keluarga mencakup besarnya keluarga, usia, pendidikan, pekerjaan orang tua dan pendapatan keluarga mempengaruhi mood dari orang tua dalam mengasuh anak, yang akhirnya mempengaruhi suasana dalam keluarga. Orang tua juga perlu memperhatikan karakter anak tersebut seperti jenis kelamin dan usia. Lingkungan sekolah juga berperan dalam mendukung perkembangan kecerdasan emosional ini dapat dilihat dari lingkungan sekolah yang mempunyai disiplin yang baik, adanya pelajaran mengenai emosional, menyediakan kegiatan ekstrakulikuler dan peran guru sebai suatu tauladan dengan menciptakan hubungan yang baik dengan siswa.Pertemanan sebaya sebagai aspek yang menunjang perkembangan emosional remaja dapat dilihat dari peran teman sebaya dalam fungsi persahabatan, memberikan dukungan semangat, dukungan fisik, dukungan ego, fungsi komparasi sosial dan sebagai sumber kasih sayang (Priatini, Latifah, & Guhardja, 2008). Dari hasil pembahasan diatas disimpulkan bahwa keluarga (peran orang tua dalam lingkungan keluarga, pola pengasuhan yang diberikan kepada anak), lingkungan (lingkungan sekolah yang memberikan pembelajaran untuk anak), dan peran teman sebaya (fungsi persahabatan, fungsi komparasi sosial dan peran dalam memberikan semangat, dukungan) merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional individu dimana akan terlihat hasilnya dalam bentuk kecerdasan emosional yang tinggi atau rendah ataupun baik atau buruk. 20 2.2 Sekolah Unggulan Menurut Sundari (2008) istilah “sekolah unggulan” secara umum didefinisikan sebagai sekolah yang memiliki kelebihan dan keunggulan apabila dibandingkan dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Kelebihan atau keunggulan tersebut meliputi keunggulan dalam hal sebagai berikut: 1. Targert prestasi belajar yang lebih tinggi 2. Proses belajar dan mengajar yang lebih efektif 3. Kualitas guru yang lebih baik 4. Fasilitas belajar yang memadai Pembangunan sekolah unggulan ini harus lebih diarahkan pada peningkatan sumber daya manusia, dikarenakan sekolah merupakan sektor yang paling strategis untuk mencapai suatu tujuan (Sundari, 2008). 2.3 Kelas Unggulan Ability grouping merupakan praktik memasukkan beberapa siswa dengan kemampuan yang setara dalam kelompok yang sama. Praktik ini bisa dilakukan pada pembagian kelompok di dalam satu kelas atau pembagian kelas di dalam satu sekolah.Jadi, di dalam satu kelas ada kelompok siswa pandai dan kelompok siswa lemah atau ada kelas-kelas unggulan dan ada pula kelas terbelakang di dalam satu sekolah.Praktik-praktik ini menjadi kebiasaan yang dibanggakan di beberapa sekolah unggulan di Indonesia ataupun luar negeri yang ingin menonjolkan kelas khusus mereka yang terdiri dari anak-anak cerdas dan berbakat (Lie, 2009). Anita Lie (2009) juga menjelaskan bahwa pengelompokkan homogen berdasarkan hasil prestasi ini dilakukan juga untuk memudahkan proses pengajaran. 21 Dalam proses pengajaran, guru sering kali menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mengajar siswa yang berlainan kemampuan belajarnya dalam satu kelompok atau kelas. Jika guru mengajar terlalu cepat, maka siswa yang lamban akan tertinggal. Sebaliknya, jika terlalu lambat dalam mengajar, maka siswa cerdas akan merasa bosan dan akhirnya mengabaikan atau mengacaukan kelas. Oleh karena itu, pengelompokan homogen dianggap bisa menyelesaikan masalah dalam hal pengajaran. Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa sekolah dengan sengaja membuka kelas unggulan khusus, dimana kelas ini terdiri dari kurikulum tambahan dan nilai tambahan dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya berupa pengajaran dan pelatihan tambahan.Tujuan dari pelaksanaan ini untuk menonjolkan keunggulan yang dimiliki oleh para pelajar. Dibalik segala tujuan dan manfaat dari pengelompokkan homogen ini mempunyai dampak negatif, dimana menurut para pakar dan peneliti pendidikan bahwa pengelompokkan ini bertentangan dengan misi pendidikan. Pengelompokkan berdasarkan kemampuan sama saja dengan memberikan label pada siswa-siswi yang dimasukkan dalam kelompok yang kurang mampu. Label ini memjadi self-fulfilling prophecy (ramalan yang menjadi kenyataan), dikarenakan siswa yang dimasukkan dalam kelompok yang lemah, seseorang siswa akan merasa tidak mampu, patah semangat, dan tidak mau berusaha lagi (Lie, 2009). Sementara, John Dewey mengatakan bahwa sekolah seharusnya menjadi miniature masyarakat. Oleh karena itu, sekolah atau ruang kelas sejauh mungkin perlu mencerminkan keanekaragaam dalam masyarakat, dimana dalam masyarakat terdapat berbagai macam manusia dengan tingkatan kemampuan dan keterbatasan yang berbeda-beda, saling berinteraksi, bersaing, dan bekerja sama (dalam Lie, 2009). 22 2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia remaja berada pada rentang usia antara 11-21 tahun. Pada masa remaja mengalami masa-masa pergolakan emosi yang muncul dari berbagai bentuk seperti hubungan dalam keluarga, lingkungan di tempat tinggal, lingkungan sekolah dan hubungan pertemanan sebaya dan kegiatan dalanm kehidupan sehari-hari (Santrock, 2003). Menurut Arnett (1999); Roberts, Caspi, & Moffitt (2001) masa remaja yang paling mengalami pergeseran mood dan suasana hati baik positif maupun negatif dibandingkan dengan masa kanak-kanak dan dewasa. Dibandingkan dengan anakanak dan orang dewasa, remaja juga jauh lebih mungkin memiliki perasaan sadar diri, malu, canggung, kesepian, gelisah, dan perasaan diabaikan (dalam Lahey, 2012). Konflik antara orang tua dan anak-anak meningkat selama masa remaja awal sampai masa remaja akhir (Arnett, 1999 dalam Lahey, 2012). Konflik ini biasanya berfokus pada dating, berapa lama remaja harus berada jauh dari rumah, kemana mereka bisa pergi, dan menjadi seperti apa mereka (ini sering mencerminkan adanya perbedaan antara pandangan orang tua dan pandangan remaja mengenai seks, alkohol, narkoba, kenakalan, dan keamanan) (Lahey, 2012). Arnett (1999) dan Steinberg (2009) menjelaskan bahwa selama masa remaja terjadi peningkatan yang tajam dalam perilaku remaja, yakni perilaku yang menunjukkan tindakan berbahaya, ada peningkatan yang ditandai dengan minumminuman keras (mabuk-mabukan), pengunaan obat-obatan terlarang, mengemudi secara sembrono (kecelakaan mobil atau kematian), tidak ada perlindungan dalam 23 hubungan seksual, agresi, kenakalan remaja, dan hal ini di alami individu sampai masa perkembangan dewasa awal (dalam Lahey, 2012). Selain adanya perubahan pada perkembangan emosi remaja, remaja juga menunjukkan adanya perubahaan nyata dalam hubungan sosial. Masa remaja merupakan masa dimana individu terkadang melepaskan diri dari keluarga atau masa pubertas membawa individu menjauh dari orang tua (Arnett, 1999 & Galambos, 1992). Sementara itu, Diamond, Fagundes, dan Butterworth (2010) menjelaskan masa remaja juga mengalami hubungan pertemanan sebaya, dimana ini meliputi partener intim. Terjadinya pergeseran orientasi dari orang tua ke hubungan pertemanan sebaya dapat dilihat adanya penilaian dari kelompok persebayaan yang terjadi pada awal pubertas (sekitar usia 11 tahun sampai 13 tahun), akan tetapi hubungan ini akan menurun pada rentan usia 15 tahun. Selain itu, menurut Santrock (1998) remaja muda menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya dibandingkan dengan orang tua nya (dalam Lahey, 2012). 24 2.5 Kerangka Berpikir Remaja Siswa di kelas unggulan Kecerdasan emosional tinggi atau kecerdasan emosional rendah ? Gambar 2.2 Gambaran Umum Kecerdasan Emosional pada Siswa Kelas Unggulan di SMA Unggulan Jakarta Sumber: Data Pengolahan Peneliti Pada masa remaja mengalami masa-masa pergolakan emosi yang muncul dari berbagai bentuk seperti hubungan dalam keluarga, lingkungan di tempat tinggal, lingkungan sekolah dan hubungan pertemanan sebaya dan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari (Santrock, 2003). Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia remaja berada pada rentang usia antara 11-21 tahun. Menurut Turner dan Helms (1991, dalam Priatini, Latifah, & Guhardja, 2008) berpendapat bahwa lingkungan sekolah memberikan kontribusi pada perkembangan sosial remaja.Selain itu, ratarata siswa SMA banyak menghabiskan waktunya disekolah sekitar 7 jam sehari (Sarwono, 2002, dalam Priatini, Latifah, & Guhardja, 2008). 25 Sekolah merupakan salah satu sarana belajar bagi seorang anak, dimana tidak hanya dalam hal mendapatkan ilmu pengetahuan saja melainkan juga melatih keterampilan emosi dan keterampilan sosialnya (Prihatina, Latifah, & Johan, 2012). Sekolah-sekolah ungulan baik negeri ataupun swasta menjadi semakin diminati oleh sebagian masyarakat yang berpenghasilan tinggi dimana para orang tua memiliki harapan bahwa sekolah unggulan ini dapat memenuhi harapan mereka dalam mendidik dengan benar, serta melengkapi anak-anak dengan pengetahuan dan keterampilan yang unggul (Widodo, 2012). Menurut Lie (2009) beberapa sekolah baik sekolah dengan label “unggulan” atau “non-unggulan” dengan sengaja membuka kelas unggulan khusus. Kelas unggulan ini terdiri dari siswa-siwa yang cerdas dan berbakat. Selain itu juga, kelas unggulan ini mendapat kurikulum tambahan dan nilai tambahan dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya berupa pengajaran dan pelatihan tambahan. Apabila seorang remaja yang mengikuti kelas unggulan memiliki kecerdasan emosional yang rendah, maka ia cenderung akan keras kepala, sulit bergaul, putus asa apabila mengalami suatu permasalahan, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan, sehingga membuat individu tersebut menjadi terasing di tengah masyarakat. Sedangkan, remaja yang mengikuti kelas unggulan memiliki kecerdasan emosional yang baik, maka ia cenderung akan lebih memahami secara mendalam emosi nya sendiri, lebih utuh tentang dirinya maupun orang lain, serta dapat mempengaruhi potensi keberhasilan dan prestasi belajarnya sebagai siswa yang mengikuti kelas unggulan (Goleman, 2007, dalam Nungraeni, 2011).