BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Interaksi Sosial a. Pengertian Interaksi Sosial Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena itu tanpa adanya interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Seperti yang ditunjukkan oleh Ahmadi (1999: 54) bahwa interaksi sosial dimaksudkan sebagai pengaruh timbal balik antar individu dengan golongan, dalam usaha untuk memecahkan persoalan dan juga untuk mencapai suatu tujuan. Senada dengan Ahmadi, Bonner (dalam Gerungan, 1986: 57) menjelaskan, ”interaksi sosial adalah hubungan antara dua orang atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain”. Kedua pendapat tersebut, dapat diartikan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih yang memiliki pengaruh timbal balik dan bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang terjadi. Selain itu, Partowisastro (dalam Feranita, 2014) juga menyatakan bahwa interaksi sosial terutama pada kelompok teman sebaya adalah kedekatan hubungan dan sifat hubungan dari pergaulan kelompok teman sebaya dan hubungan antar individu atau anggota kelompok yang mencakup kontak sosial, aktivitas bersama, dan frekuensi hubungan. Berdasarkan ketiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial adalah hubungan timbal balik dengan melakukan kontak sosial, aktivitas bersama, dan frekuensi hubungan yang intens untuk memecahkan persoalan dalam mencapai tujuan yang diinginkan secara bersama. Adanya interaksi sosial, menjadikan setiap individu harus melakukan kontak dengan individu lainnya. Interaksi yang terjadi akan 8 9 menciptakan pertukaran informasi, pengetahuan, budaya, gaya pergaulan, dan perasaan. Hubungan interaksi sosial dalam lingkup sekolah, ditunjukkan dengan adanya jalinan pertemanan antar siswa. Siswa berkomunikasi, bertukar pendapat, mengungkapkan perasaan, dan bertukar nilai dan norma, serta pemahaman dengan rekan sejawatnya ataupun dengan adik kelas, kakak kelas, guru, dan warga sekolah lainnya. Maka dari itu, perlu dibangun interaksi sosial yang baik agar terjalin hubungan yang harmonis khususnya di lingkup sekolah. b. Faktor-faktor Interaksi Sosial Interaksi sosial terjadi karena adanya beberapa faktor yang mendasarinya. Sejalan dengan hal tersebut, Walgito (2003: 66) memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi sosial, yaitu sebagai berikut: 1) Imitasi Imitasi merupakan dorongan untuk meniru orang lain. Salah satu segi positifnya yaitu mampu mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Contohnya, siswa meniru gaya rambut mohawk yang sedang menjadi trend. 2) Sugesti Sugesti ialah pengaruh psikis, baik yang datang dari diri sendiri maupun yang datang dari orang lain, pada umumnya diterima tanpa adanya kritik dari individu yang bersangkutan. Contohnya, guru menasehati siswa bahwa gaya rambut mohawk tidak cocok untuk siswa dan memberi kesan yang negatif. 3) Identifikasi Identifikasi merupakan dorongan untuk menjadi identik atau sama dengan orang lain. Contohnya, siswa mengidolakan seorang artis luar negeri yang bernama Maher Zein. Kemudian siswa tersebut mencoba untuk bersikap, berpenampilan, menata gaya rambut, dan berperilaku layaknya artis tersebut. 10 4) Simpati Simpati merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Selama proses ini berlangsung, perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan bekerjasama dengannya. Contohnya, siswa merasa prihatin melihat teman yang sedang tertimpa musibah, kemudian siswa mencoba menghibur dan membantu temannya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa selama interaksi sosial berlangsung tidak hanya terjadi pertukaran informasi, pemikiran, gaya hidup, budaya, dan juga perasaan dari individu yang terlibat, akan tetapi juga terlihat bahwasannya proses interaksi sosial dapat mengubah perilaku serta pola pikir individu yang bersangkutan. Hal ini dapat terjadi karena adanya jalinan hubungan yang dilakukan satu sama lain. Hubungan yang ada, melibatkan kemampuan individu dalam memahami sikap, perilaku, perasaan, maupun kompleksitas permasalahan yang terjadi pada individu lawan bicaranya. Sehingga, dalam menjalani proses interaksi sosial juga dapat mempengaruhi perasaan dan emosi yang bersifat fluktuatif sesuai dengan situasi dan kondisi saat terjadinya interaksi sosial. c. Syarat Terjadi Interaksi Sosial Suatu interaksi sosial tidak akan terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Seperti penjelasan Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2012: 58) berikut ini: 1) Kontak Sosial Kontak sosial berasal dari bahasa latin con atau cum yang berarti bersama-sama dan tango yang berarti menyentuh. Jadi, secara harfiah kontak adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah. Sebagai gejala sosial 11 itu tidak perlu suatu hubungan badaniah, karena dapat mengadakan hubungan tanpa harus menyentuhnya, misalnya cara berbicara dengan individu yang bersangkutan dan ekspresi saat melakukan kontak. Berkembangnya teknologi dewasa ini, membuat siswa lebih mudah untuk melakukan kontak dengan temannya yaitu dapat melalui telepon, telegraf, radio, email, video call, live chat dan lainnya yang tidak perlu memerlukan sentuhan badaniah atau bertatap muka secara langsung. Adanya fasilitas yang semakin canggih dan didukung dengan perkembangan teknologi modern, membuat siswa lebih mudah untuk menjalin kontak sosial dengan teman. Hanya saja, disamping dengan penggunaan teknologi tersebut tentu menimbulkan masalah baru, seperti siswa yang terlalu asyik dengan gadget dan merasa canggung ketika bertatapan dan melakukan kontak secara langsung dengan temannya. Oleh karena itu, kontak sosial secara langsung juga sangat diperlukan agar siswa tidak terbiasa menyendiri dengan di dunia virtual dan mampu menyesuaikan diri ketika berada dalam fenomena lapangan sesungguhnya yaitu dalam lingkup pergaulan dengan teman sebayanya. Soekanto (2012: 59) lebih lanjut menerangkan bahwa kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga jenis, seperti uraian berikut : a) Kontak Sosial yang Terjadi antara Orang Perorangan Kontak sosial ini terjadi apabila anak mempelajari kebiasaan-kebiasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi melalui komunikasi, yaitu suatu proses anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat tempatnya tinggal. b) Kontak Sosial yang Terjadi antara Orang Perorangan dengan Suatu Kelompok Manusia atau Sebaliknya Kontak sosial ini terjadi apabila seseorang merasakan bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat dan terjadi perbedaan ideologi. 12 c) Kontak Sosial antara Suatu Kelompok Manusia dengan Kelompok Manusia lainnya Kontak sosial antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dapat diumpamakan dalam hubungan dua komunitas yang bekerjasama untuk mengadakan suatu acara, dimana terdapat jalinan hubungan diantara dua komunitas tersebut. Berdasarkan paparan di atas, dapat dimaknai bahwa kontak sosial tidak hanya pada perseorangan saja, akan tetapi juga terjadi pada lingkup kelompok, komunitas, ataupun masyarakat luas. Lingkup kontak sosial yang luas ini, menjadikan diri siswa harus mampu melakukan penyesuaian diri dan berinteraksi dengan kalangan manapun. Untuk itu, siswa harus dipersiapkan dengan bekal yang cukup untuk menghadapi tantangan di masa mendatang. 2) Komunikasi Komunikasi adalah proses memberi tafsiran kepada orang lain yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah, sikap, serta perasaanperasaan yang ingin disampaikan dan individu yang bersangkutan memberikan reaksi atas perasaan yang disampaikan. Selama proses komunikasi, terjadi berbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang lain. Sehingga, memungkinkan terjadinya kerjasama atau kesalahpahaman di antara pihak yang bersangkutan. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa komunikasi tidak hanya dilakukan dengan verbalitas semata tetapi juga terdapat gerakan non verbal yang diwujudkan dalam sikap, sehingga informasi atau perasaan yang ingin disampaikan dapat dimengerti dan diterima oleh lawan bicara. Selain itu, adanya komunikasi yang baik dapat menciptakan hubungan kerjasama antar pihak yang bersangkutan, namun juga dapat memunculkan pertikaian apabila informasi atau perasaan tidak tersampaikan dengan lancar, sehingga terjadi kesalahpahaman. 13 Senada dengan Soekanto, Walgito (2003: 75) juga memaparkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti, baik yang berwujud informasi, pemikiran, pengetahuan, ataupun yang lain dari penyampai (komunikator) dan penerima (komunikan). Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa komunikasi merupakan salah satu bagian penting dari interaksi sosial karena melibatkan individu sebagai komunikator dan komunikan yang saling bertukar ide, gagasan, perasaan, dan pengetahuan. Dalam proses komunikasi tentu terdapat aksi dan reaksi dari pihak yang terlibat sehingga menghasilkan komunikasi dua arah. Komunikasi dua arah yang dimaksud adalah adanya respon terhadap lawan bicara atas perasaan atau informasi yang disampaikan. Komunikasi yang terjadi juga tidak menutup kemungkinan timbulnya perselisihan yang disebabkan oleh kesalahpahaman dalam menyikapi dan menyimpulkan informasi yang diterima. Berdasarkan kedua paparan di atas, dapat dimengerti bahwa adanya kontak sosial dan komunikasi yang baik tentu akan menciptakan hubungan yang efektif, konstruktif, dan juga mendatangkan kebahagiaan serta kenyamanan. Kenyamanan dalam menjalani interaksi sosial menimbulkan kerjasama yang positif. Namun, sebaliknya apabila kontak sosial dan komunikasi tidak berjalan lancar maka akan memberi dampak negatif yaitu terjadi kesalahpahaman. Timbulnya kesalahpahaman akan menghadirkan masalah-masalah baru dan berujung pada pertikaian apabila tidak diselesaikan secara bijaksana, hanya mengedepankan sikap emosional, dan egoisme. d. Bentuk Interaksi Sosial Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial yaitu asosiatif dan disasosiatif. Seperti yang digolongkan Gillin dan Gillin (dalam Syarbaini & Rusdianta, 2009: 28). Penjelasan mengenai bentuk interaksi sosial tersebut diuraikan seperti berikut ini: 14 1) Asosiatif Asosiatif yaitu suatu proses sosial yang mengindikasikan adanya gerak pendekatan atau penyatuan. Bentuk-bentuk khusus dari asosiatif terdiri dari kerjasama (cooperation), akomodasi (accomodation) dan asimilasi (assimilation). Kerjasama disini dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut yang terjadi peleburan kebudayaan. Proses asimilasi ditandai dengan usaha mengurangi perbedaan yang terdapat antar individu atau kelompok. Jadi, asosiatif dapat diartikan interaksi yang dijalin untuk menentukan tujuan dan penyelesaian bersama tanpa merendahkan, menjatuhkan ataupun membeda-bedakan, yang diperoleh dengan cara musyawarah mufakat. 2) Disasosiatif Disasosiatif yaitu proses sosial yang mengindikasikan pada gerak ke arah perpecahan. Bentuk-bentuk khusus dari disasosiaif terdiri dari persaingan (competition), kontravensi (contravention), dan pertentangan (conflict). Persaingan diartikan sebagai suatu proses sosial di mana individu atau kelompok-kelompok manusia, bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan. Sedangkan, kontravensi merupakan sikap mental yang tersembunyi terhadap orang lain atau terhadap unsurunsur kebudayaan suatu golongan tertentu. Pengertian di atas, dapat dimaknai bahwa dalam proses interaksi sosial juga tidak selalu berjalan mulus tanpa adanya konflik. Tentu saja, selama proses berlangsung tidak menutup kemungkinan adanya pertentangan nilai dari masing-masing individu ataupun kelompok. Terdapat pula istilah pertentangan yang merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan 15 ancaman dan kekerasan. Proses interaksi sosial melibatkan individu yaitu siswa yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda pula sesuai dengan nilai, agama, dan budaya yang dibawa oleh masing-masing siswa. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwasannya interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan masayarakat sangatlah kompleks. Kompleksitas tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya persaingan dan juga berbagai macam pertentangan yang terjadi. Adanya persaingan, perbedaan pendapat, dan pertentangan harus disikapi secara bijak, dan dibutuhkan pula kecerdasan dalam berperilaku, serta pengendalian emosi agar mampu bertindak secara tepat dan berperilaku sesuai dengan norma yang ada. e. Urgensi Interaksi Sosial Peralihan dari masa anak-anak menuju masa remaja memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Remaja, khususnya yang memasuki usia remaja awal yaitu usia sekolah menengah membutuhkan bantuan dari lingkungan sekitar selama proses pertumbuhan dan perkembangan. Namun, terkadang terjadi kesenjangan antara kondisi yang sebenarnya dengan harapan dan tuntutan yang ada di masyarakat. Hal tersebut dapat memicu timbulnya permasalahan baru. Kesenjangan yang terjadi menimbulkan dampak bagi diri remaja, dalam hal ini siswa. Apabila kesenjangan yang terjadi kecil, maka hanya mengalami sedikit ketidakpuasan dalam diri. Namun, apabila terjadi kesenjangan yang besar, maka siswa akan merasa tidak berharga, tidak berguna, dan sering merenung. Maka dari itu, siswa membutuhkan teman yang membuat diri nyaman, dapat berbagi kisah, serta pengalaman. Adanya interaksi sosial dalam ikatan pertemanan yang sehat, akan membentuk pribadi siswa yang percaya diri, mampu bersosialisasi dengan baik, serta mampu mengaktualisasikan diri secara optimal. Hal ini sejalan dengan penjelasan Conger (1977: 325) yang mengatakan, ”peer relations perform many of the same functions in adolesence as in childhood: they provide an opportunity to learn how to 16 interact with agemates, to control social behaviour, to develop age-relevant skills and interests, and to share similar problems and feelings”. Pendapat tersebut mengungkapkan bahwasannya hubungan teman sebaya juga memiliki fungsi yang sama ketika berada di usia kanak-kanak. Pada usia remaja, pertemanan dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan interaksi dengan teman sebaya, mengontrol perilaku sosialnya, mengembangkan diri, dan juga dapat berbagi permasalahan dan perasaan yang bertujuan untuk tercapainya pemecahan atas masalah yang dialami. Seperti diketahui bahwa membangun interaksi sosial sangat penting bagi diri siswa khususnya pada saat remaja awal. Senada dengan pernyataan tersebut, William Kay (dalam Yusuf, 2002: 72) menyebutkan bahwa salah satu tugas perkembangan remaja yaitu mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya baik secara individual dan kelompok. Hal itu mempertegas bahwa menjalin interaksi sosial memang menjadi komponen penting untuk menyelesaikan salah satu tugas perkembangan siswa di usia remaja. Jika tugas tersebut dapat terselesaikan dengan baik, siswa akan mampu membina hubungan yang lebih baik di masa mendatang. Namun, apabila siswa tidak mampu menjalin interaksi sosial dengan baik maka akan berdampak buruk bagi dirinya dan pergaulannya dalam lingkungan. Berikut tanda bahaya yang umum terjadi akibat ketidakmampuan penyesuaian diri remaja, yang diungkapkan Hurlock (1980: 239) yaitu sikap tidak bertanggungjawab, sikap yang sangat agresif dan sangat yakin pada diri sendiri, perasaan tidak aman, merasa ingin pulang bila berada jauh dari lingkungan yang tidak dikenal, perasaan menyerah, terlalu banyak berkhayal untuk mengimbangi ketidakpuasan yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari, mundur ke tingkat perilaku yang sebelumnya agar disenangi dan diperhatikan, serta menggunakan mekanisme pertahanan. Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa ketidakmampuan siswa dalam penyesuaian diri di lingkungan pertemanan akan menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan psikisnya dan juga di dalam lingkup pertemanannya. Siswa menjadi pribadi yang tidak terkontrol dan menjadi 17 penggerutu, serta tidak bisa mandiri. Selanjutnya, Conger (1977: 339) juga menyebutkan bahwa pertemanan dapat membantu remaja dalam menjalani penyesuaian sosialnya, yang diuraikan sebagai berikut: Friendships may help the adolecent in dealing with his or her own complex feelings and those of others. They can serve as a kind of therapy by alowing the freer expressions and dangerously strong feelings. The adolescent may also learn how to modify behaviour, tastes, or ideas, without the necessity of learning only from painful experiences of rejection by others. Itu berarti bahwa pertemanan dapat membantu mengatasi kompleksitas perasaan yang dialami remaja. Pertemanan dapat menjadi sebuah terapi untuk mengeluarkan perasaan yang mendalam dan berbahaya bagi diri apabila terus menerus terpendam. Remaja juga dapat belajar untuk mengubah kebiasaan dan ide tanpa harus merasakan pengalaman pahit dan penolakan dari orang sekitar. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya memang sangat dibutuhkan untuk menunjang tercapainya tugas-tugas perkembangan yang ada. Interaksi sosial yang terwujud dalam hubungan pertemanan yang sehat, akan membantu mengembangkan diri secara optimal. Hal tersebut juga harus diimbangi oleh kemampuan-kemampuan lain yang dapat melancarkan proses interaksi sosial agar berjalan semestinya. Kemampuan lain yang dimaksud, seperti kecerdasan emosional yang juga berkontribusi selama interaksi sosial berlangsung. Hal ini dikarenakan dalam kecerdasan emosional telah mencakup kompetensi-kompetensi yang dapat menunjang dan menjadikan diri siswa menjadi pribadi yang unggul. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Manullang dan Milfayetty yang mengatakan, ”Emotional Quotient (EQ) menggiring individu membangun kepercayaan diri dan membina hubungan yang efektif dengan orang lain”. Berdasarkan pernyataan tersebut, diketahui bahwa memiliki tingkat kecerdasan emosional yang baik dapat mempermudah siswa menjalin hubungan yang sehat dengan teman sebayanya. Hal itu disebabkan karena dengan dimilikinya kecerdasan 18 emosional yang baik, maka siswa lebih percaya diri dan mampu melakukan penyesuaian dalam pergaulan. Untuk itu, sangat diperlukan penguasaan kecerdasan emosional yang tepat selama berinteraksi dengan lingkungannya agar berjalan efektif dan tercapai tujuan yang diinginkan. 2. Kecerdasan Emosional a. Pengertian Dalam perkembangan bidang psikologi dan pendidikan, istilah ”kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer untuk menerangkan kualitaskualitas emosi yang penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut Emotional Quotient (EQ) sebagai himpunan dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi untuk membimbing pikiran dan tindakan (Daniel Goleman, alih bahasa Alex Tri Kantjono, 2001: 513). Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) merupakan himpunan atau gabungan dari berbagai macam kecerdasan sosial yang melibatkan individu dan orang lain. Kemampuan yang dimiliki mencakup keterampilan-keterampilan yang dapat mempertajam kecakapan personal dan kecakapan antarpribadi. Kemampuan tersebut dapat dijadikan sebagai pendukung dalam mengolah informasi atau pengetahuan individu dan menjadikannya sebagai dasar dalam bertindak. Menurut Goleman (terjemahan T. Hermaya, 2000: 512) kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan orang lain, memotivasi diri, dan kemampuan mengelola emosi pada diri sendiri maupun dalam hubungan dengan orang lain. Selain itu, Cooper dan Sawaf (alih bahasa Alex Tri Kantjono, 2002: xv) mengartikan kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, 19 koneksi, dan pengaruh manusiawi. Salovey (dalam Goleman, 2002) juga mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dirumuskan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali perasaan sendiri, memahami perasaan orang lain, memotivasi diri, mengelola emosi diri, mengelola emosi terhadap orang lain, merasakan emosi, memahami emosi, menerapkan daya sebagai sumber energi, menerapkan kepekaan emosi, memantau perasaan diri, mengendalikan perasaan diri sendiri, mengendalikan emosi diri terhadap orang lain, serta menggunakan perasaan untuk memandu pikiran dan tindakan. Kemampuan dalam merasakan, mengenali, dan memahami perasaan diri maupun orang lain akan membimbing pada perilaku dan tindakan yang sesuai dengan norma. Sehingga, dapat meminimalisir pertikaian karena memiliki sikap empati dan kepekaan emosi yang diungkapkan secara tepat. b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional, seperti pendapat Goleman (2002) bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu : 1) Pengalaman Kecerdasan emosional dapat meningkat sepanjang perjalanan hidup individu. Ketika individu belajar untuk menangani suasana hati, menangani emosi yang sulit, maka semakin cerdas emosi individu. Contohnya, suatu ketika siswa pernah mengalami masa sulit, yaitu dijauhi teman dalam lingkungan pergaulan. Agar tidak terisolir, siswa berusaha memperbaiki diri dan membuka diri dengan temannya, berusaha meredam konflik, dan berbaur dengan semua. 20 2) Usia Semakin tua usia individu maka kecerdasan emosionalnya akan lebih baik dibanding dengan usia yang lebih muda. Hal ini dipengaruhi proses belajar yang dialami oleh individu seiring dengan pertambahan usianya. Contohnya, ketika awal masuk tahun pelajaran baru yaitu pada kelas VII SMP, siswa masih bersikap kekanakkanakan karena masih berada pada peralihan dari kanak-kanak ke remaja, kemudian di kelas VIII, siswa sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi barunya walaupun penyesuian tersebut belum sepenuhnya matang dan harus terus dilatih. 3) Jenis Kelamin Tidak ada perbedaan antara kemampuan pria dan wanita dalam meningkatkan kecerdasan emosionalnya. Tetapi rata-rata wanita memiliki keterampilan emosional yang lebih baik dibandingkan dengan pria. Contohnya, siswa perempuan dianggap memiliki kecerdasan emosional lebih tinggi daripada laki-laki karena kebanyakan siswa perempuan lebih peka dalam hal perasaan, bisa bersabar, dan tenang dalam menghadapi suatu hal, sedangkan siswa laki-laki lebih tergesa-gesa dan lebih mengandalkan cara berpikir secara logis. 4) Jabatan Semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin tinggi juga kecerdasan emosionalnya, maka semakin penting keterampilan antar pribadi dalam membuat diri menjadi menonjol dibanding yang lain. Contohnya, kemampuan siswa yang mengikuti organisasi sekolah tentu berbeda dengan siswa yang hanya belajar dan bermain saja. Siswa yang terlibat ataupun menjadi pemimpin di organisasi, memiliki sikap sebagai pemimpin yaitu bertindak secara matang, tepat, dan mementingkan kemaslahatan bersama. Berdasarkan uraian di atas, dapat dimaknai bahwa tingkatan kecerdasan emosional siswa juga dipengaruhi oleh pengalaman hidup, 21 usia, jenis kelamin, dan juga jabatan organisasi di sekolah maupun di luar sekolah. Walaupun siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) masih berada di jenjang remaja awal, tidak menutup kemungkinan siswa tersebut memiliki banyak pengalaman hidup. Hal ini bisa terjadi karena faktor budaya, kondisi keluarga, kondisi ekonomi, lingkungan, dan hal lainnya. Selain itu, siswa yang mengikuti suatu organisasi dan ikut berperan aktif di dalamnya, tentu memiliki pengalaman yang lebih dibandingkan dengan siswa yang hanya berdiam diri di kelas. Semakin banyak pengalaman hidup yang dijalani, maka siswa yang bersangkutan akan menemukan banyak permasalahan yang harus dihadapi secara cermat, tenang, dan juga bijaksana agar teracapai penyelesaian yang tepat. Permasalahan yang timbul dalam hidup akan menjadi suatu pelajaran yang berharga dan membantu diri siswa mencapai tingkat kematangan emosional yang lebih baik dari jenjang sebelumnya. c. Aspek Kecerdasan Emosional Terdapat beberapa aspek dari kecerdasan emosional, seperti Goleman (2002: 58—59) yang menguraikan kecerdasan emosional dalam beberapa aspek penting, yaitu sebagai berikut: 1) Mengenali Emosi Diri Mengenali emosi diri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Para ahli psikologi menyebutkan mengenali emosi diri atau biasa disebut kesadaran diri, sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (dalam Goleman, 2002: 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati. Apabila kurang waspada, maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah 22 menguasai emosinya. Contohnya, ketika siswa sedang sedih, kemudian menangis untuk meluapkan perasaan sedihnya. 2) Mengelola Emosi Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Sejalan dengan hal tersebut, Goleman (2002: 77—78) mengatakan, “menjaga agar emosi tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlalu lama akan mempengaruhi kestabilan emosinya”. Ary Ginanjar (2001: 9) juga mengemukakan bahwa inti kemampuan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama keberhasilan seseorang, sesungguhnya adalah kecerdasan emosionalnya. Lebih lanjut Ary Ginanjar menyatakan kunci kecerdasan emosional adalah kejujuran pada suara hati. Suara hati ini yang harus dijadikan pusat prinsip yang memberi rasa aman, menjadi pedoman dan kekuatan, serta kebijaksanaan. Kemampuan mengelola emosi ini, mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau perasaan tersinggung, dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, serta kemampuan untuk bangkit dari perasaanperasaan yang membuat tertekan. Contohmya, ketika siswa menangis karena perasaan sedih atau kecewa, siswa tersebut tidak berlarut-larut meratapi kesedihan itu. Setelah mampu mengatasi kesedihannya, siswa akan bangkit, melakukan hal yang positif, dan hal yang menyenangkan bagi dirinya. 3) Memotivasi Diri Sendiri Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif; yaitu antusiasme, gairah, inisiatif, optimis, dan 23 keyakinan diri. Contohnya, siswa semangat dalam belajar untuk mendapatkan prestasi yang baik di sekolah. 4) Mengenali Emosi Orang Lain Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002: 57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati, lebih peka terhadap lingkungan sosial, sehingga lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain, dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Lebih lanjut Nowicki, seorang ahli psikologi memaparkan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002: 172). Pribadi yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri dan mampu mengenal serta mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. Contohnya, siswa melihat teman kelasnya tidak jajan saat istirahat sekolah karena tidak memiliki uang saku, kemudian karena merasa prihatin siswa tersebut berbagi makanan dengan temannya. 5) Membina Hubungan Kemampuan dalam membina hubungan merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan hubungan antar pribadi (Goleman, 2002: 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan menjalin hubungan dengan lancar. Mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan, toleransi, bekerjasama dengan orang lain merupakan kemampuan penting yang harus dimliki siswa. Keterampilan membina hubungan ini dapat membantu dalam membangun komunikasi yang baik, menjadi terkenal dalam lingkungan 24 pergaulan, dan kemampuannya menjadi dalam teman yang berkomunikasi menyenangkan (Goleman, karena 2002: 59). Contohnya, siswa memiliki pribadi yang ramah, sopan, menghargai, dan pandai dalam bertutur kata sehingga teman-temannya senang menjalin persahabatan dan hubungan yang akrab dengannya. Berdasarkan penjelasan Goleman tersebut, dapat dipahami bahwa kecerdasan emosional sangat membantu individu dalam menjalin hubungan yang baik dengan sesama. Hal ini disebabkan karena dengan dimilikinya kecerdasan emosional, maka individu akan mampu mengendalikan diri, membangun empati, memiliki motivasi hidup yang konstruktif, serta dapat memperoleh relasi dengan menggunakan keterampilan sosial yang dimiliki. Semua hal tersebut sangat mendukung bagi kesuksesan individu dalam berinteraksi dengan sesamanya serta mencapai kenyamanan hidup. Adanya kecerdasan emosional yang baik dapat membantu siswa dalam memahami segala potensi diri dan bisa mengembangkannya, mengatur dan mengelola emosi terhadap orang lain, dapat menaruh empati pada kejadian-kejadian sekitar yang memprihatinkan dan butuh perhatian lebih, dapat mendorong dan menjadi stimulus siswa dalam meraih prestasi, serta dapat membantu siswa dalam rangka menjalin pertemanan yang baik dengan teman sebaya. Tentu saja hal di atas, dapat menggiring siswa menjadi pribadi yang unggul dan matang. Yusuf (2002: 115) memberikan uraian mengenai karakteristik perilaku yang merupakan bagian dari aspek kecerdasan emosional, yang dapat dilihat secara rinci dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Aspek Kecerdasan Emosional (Yusuf, 2002) 1. Aspek Kesadaran diri 2. Mengelola emosi Karakteristik Perilaku a) Mengenal dan merasakan emosi sendiri. b) Memahami penyebab perasaan yang timbul. c) Mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan. a) Bersikap toleran terhadap frustasi dan mampu 25 b) c) d) e) f) 3. 4. Memanfaatkan emosi secara produktif mengelola amarah secara lebih baik. Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi Dapat mengendalikan perilaku agresif yang merusak diri sendiri dan orang lain. Memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri, sekolah, dan keluarga. Memiliki kemampuan untuk mengatasi ketegangan jiwa. Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas dalam pergaulan. a) Memiliki rasa tanggungjawab. b) Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan. c) Mampu mengendalikan diri dan tidak bersifat impulsif. 5. Empati a) Mampu menerima sudut pandang orang lain. b) Memiliki sikap empati atau kepekaan terhadap perasaan orang lain. c) Mampu mendengarkan orang lain. 6. Membina hubungan a) Memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menganalisis hubungan dengan orang lain. b) Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain. c) Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. d) Memiliki sikap bersahabat atau mudah bergaul dengan teman sebaya. e) Memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian terhadap orang lain. kepentingan sosial (senang menolong orang lain) dan dapat hidup selaras dengan kelompok. Bersikap senang berbagi rasa dan bekerjasama. Bersikap demokratis dalam bergaul dengan orang lain. f) Memperhatikan g) h) d. Upaya Mengembangkan Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional setiap siswa tentunya berbeda-beda, setiap siswa bisa mengalami kemerosotan ataupun peningkatan dalam perkembangan kecerdasan emosionalnya. Untuk itu, terdapat kegiatankegiatan yang dapat membantu siswa dalam mengembangkan kecerdasan emosional yang dimilikinya, sesuai dengan materi yang dikembangkan 26 Goleman (dalam Ali dan Asrori, 2015: 74—75) yang diberi nama SelfScience Curriculum, seperti yang dipaparkan berikut ini: 1) Belajar Mengembangkan Kesadaran Diri Caranya adalah mengamati sendiri dan mengenali perasaan sendiri, menghimpun kosakata untuk mengungkapkan perasaan, serta memahami hubungan antara pikiran, perasaan, dan respon emosional. Contohnya, siswa mengetahui hal yang membuatnya sedih, marah, kecewa, senang. 2) Belajar Mengambil Keputusan Pribadi Caranya adalah mencermati tindakan-tindakan dan akibatakibatnya, memahami apa yang menguasai suatu keputusan, pikiran, atau perasaan, serta menerapkan pemahaman yang ada ke masalahmasalah yang cukup berat. Contohnya, Siswa diajak bolos dengan teman sekelas, lalu menolaknya. Siswa berpikir bahwa tindakan bolos bukanlah hal yang baik dan dapat merugikan dirinya karena dapat tertinggal materi pelajaran. 3) Belajar Mengelola Perasaan Caranya adalah memantau pembicaraan sendiri untuk mengungkapkan pesan-pesan negatif yang terkandung di dalamnya, menyadari apa yang ada di balik perasaan, menentukan cara untuk menangani rasa takut, cemas, amarah, dan kesedihan. Contohnya, Siswa akan mengahadapi ulangan tengah semester, kemudian merasa cemas. Akan tetapi siswa tersebut tetap harus menjalani ulangan, sehingga berinisiatif untuk menenangkan pikiran dan perasaannya dengan menghela nafas panjang serta meyakinkan dirinya mampu mengerjakan ulangan tersebut. 4) Belajar Menangani Stres Caranya adalah mempelajari pentingnya berolahraga, perenungan yang terarah, dan metode relaksasi. Contohnya, siswa sedang bermasalah dengan temannya yang membuatnya gusar, kemudian siswa 27 tersebut merenung dan memikirkan kembali kejadian apa yang menimbulkan perselisihan dan berusaha mencari solusinya. 5) Belajar Berempati Caranya adalah memahami perasaan dan masalah orang lain, berpikir dengan sudut pandang orang lain, serta menghargai perbedaan perasaan orang lain mengenai sesuatu. Contohnya, seorang teman menceritakan permasalahan keluarga yang sedang dihadapi, siswa mendengarkan dengan seksama dan memperhatikan cerita temannya, serta memberikan respon dan tanggapan atas permasalahan tersebut. 6) Belajar Berkomunikasi Caranya adalah berbicara mengenai perasaaan secara efektif , yaitu belajar menjadi pendengar dan penanya yang baik, serta mengirim pesan dengan sopan bukan dengan mengumpat. Contohnya, ketika jam istirahat di sekolah, siswa berbincang-bincang dan bergurau dengan teman. Siswa saling memberikan respon positif dan bercanda tanpa merendahkan temannya. 7) Belajar Membuka Diri Caranya adalah menghargai keterbukaan dan membina kepercayaan dalam suatu hubungan serta mengetahui situasi yang aman untuk membicarakan tentang perasaan diri sendiri. Contohnya, Siswa bercerita tentang kondisi keluarga dengan sahabat karib yang dirasa dapat dipercaya. 8) Belajar Mengembangkan Pemahaman Caranya adalah mengidentifikasi pola-pola kehidupan emosional dan reaksi-reaksinya, serta mengenali pola-pola serupa pada orang lain. Contohnya, Siswa mulai peka dan mengamati kejadian atau peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitarnya dan mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. 9) Belajar Menerima Diri Sendiri Caranya adalah merasa bangga dan memandang diri sendiri secara positif, mengenali kekuatan dan kelemahan, serta belajar mampu untuk 28 menertawakan diri sendiri. Contohnya, siswa memiliki kelemahan dan mendapatkan nilai rendah dalam pelajaran matematika, hal tersebut lantas tidak membuatnya minder, akan tetapi siswa tersebut justru berusaha berlatih dan mempelajarinya. 10) Belajar Mengembangkan Tanggungjawab Pribadi Caranya adalah belajar rela memikul tanggungjawab, mengenali akibat dari keputusan dan tindakan, serta menindaklanjuti komitmen yang telah dibuat dan disepakati. Contohnya, siswa ditunjuk guru dan teman untuk menjadi ketua kelas, hal itu tidak dijadikan sebuah beban tetapi siswa berusaha sebaik mungkin membuat kelasnya maju dan berprestasi misal dengan diadakan belajar kelompok atau sekedar berbagi tugas piket bersama dengan teman sekelas. 11) Belajar Mengembangkan Ketegasan Caranya adalah mengungkapkan keprihatinan dan perasaan tanpa rasa marah atau berdiam diri. Caranya, Seorang teman mengejek dan merendahkan siswa. Untuk mengungkapkan ketidaksenangan karena diperlakukan seperti itu, siswa yang bersangkutan mengajak temannya untuk berbicara dan bertatap muka mengutarakan perasaannya secara sopan namun tegas, tanpa marah dan membentak temannya. 12) Mempelajari Dinamika Kelompok Caranya adalah mau bekerjasama, memahami cara memimpin, serta memahami kapan harus mengikuti. Contohnya, diadakan diskusi untuk membahas permasalahan yang ada di kelas, siswa berusaha mengeluarkan pendapat dan mau mendengarkan ide temannya. 13) Belajar Menyelesaikan Konflik Caranya adalah memahami cara melakukan konfrontasi secara jujur dengan orang lain, orang tua, guru, teman, serta memahami contoh penyelesaian untuk merundingkan atau menyelesaikan suatu perselisihan. Contohnya, terjadi perkelahian di kelas, siswa berusaha memisahkan teman yang sedang bekelahi kemudian membantu menyelesaikan perselisihan tanpa memihak salah satu pihak yang 29 bertikai. Ketika permasalahan belum bisa terselesaikan dengan tuntas, siswa menghubungi guru Bimbingan dan Konseling atau guru piket yang bertugas. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dimengerti bahwa beberapa kegiatan seperti; belajar mengembangkan kesadaran diri, belajar mengambil keputusan pribadi, belajar mengelola perasaan, belajar menangani stres, belajar berempati, belajar berkomunikasi, belajar membuka diri, belajar mengembangkan pemahaman, belajar menerima diri mengembangkan tanggungjawab pribadi, belajar sendiri, belajar mengembangkan ketegasan, mempelajari dinamika kelompok, belajar menyelesaikan konflik dapat melatih siswa untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya. Dengan melakukan kegiatan di atas, kepekaan siswa dalam menangani suatu hal akan terangsang tumbuh dan berkembang. Latihan bisa dilakukan setiap waktu karena berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Dapat dikatakan pula, proses pengembangan kecerdasan emosional adalah long life learning karena sifatnya yang fluktuatif dan berkembang seiring pengalaman hidup siswa. e. Penerapan Kecerdasan Emosional untuk Membangun Hubungan Pengelolaan dan kontrol emosi secara baik, sangat bermanfaat untuk membangun hubungan ataupun interaksi sosial yang positif dalam lingkungan keluarga, pertemanan, maupun di masyarakat. Adapun beberapa cara dalam membangun hubungan yang lebih baik dalam lingkungan pergaulan dengan memanfaatkan kecerdasan emosional yang dimiliki siswa, seperti pendapat Dr. Patricia Patton (alih bahasa Hermes, 1998: 102) dapat ditempuh dengan keterampilan berikut ini: 1) Pengembangan Kesepakatan pada Komitmen Kesalahpahaman sering terjadi pada interaksi dengan sesama, baik dalam hubungan bisnis, keluarga, persahabatan, maupun pribadi. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan apabila ada kesepakatan dan komitmen yang dilakukan secara bersama oleh orang yang terlibat dalam interaksi tersebut. 30 2) Mengatasi Emosi dan Watak-watak Satu Sama Lain Pemahaman akan emosi diri penting untuk mengenali jenis emosi yang konstruktif atau destruktif. Watak yang berbeda antara satu dengan lainnya, menjadikan siswa harus mampu menerapkan toleransi dan menerima perubahan serta dapat berhadapan dan menangani emosi orang lain. 3) Bertanggungjawab terhadap Apa yang Dapat Diubah Siswa bersikap optimis dan mampu menerima informasi dan gagasan dari orang lain serta memadukannya dengan ide yang dimilikinya, sehingga menciptakan perubahan yang lebih baik khususnya bagi diri pribadi. 4) Berani Mengambil Resiko Banyak terjadi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini menjadikan siswa banyak belajar dari pengalaman. Siswa belajar untuk jujur pada diri sendiri dan orang lain, mengekspresikan emosi sebenarnya, dan saling berbagi perasaan dengan orang lain. Tentunya, mengambil hikmah dari setiap kejadian yang dialami. 5) Kesediaan Melupakan Pengalaman Menyakitkan Kejadian pahit ataupun tidak mengenakkan terkadang tidak dapat dihindari oleh siswa, sikap yang terpenting adalah menerimanya, tidak menyalahkan diri sendiri ataupun orang lain, tidak bersikap agresif, dan berdamai dengan perasaan yang berkecamuk. 6) Penyesuaian dengan Lingkungan Siswa menerima dirinya dengan segala potensi, kekurangan, dan kelebihan serta berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Siswa juga harus pandai dalam memilih lingkungan yang positif bagi dirinya. 7) Penyesuaian terhadap Perubahan Perubahan dalam diri dan lingkungan sering menjadi permasalahan baru yang dihadapi siswa. Maka dari itu, siswa perlu 31 beradaptasi dan mengunakan pikiran, gagasan, dan perasaannya untuk menemukan alternatif penyelesaian yang tepat. Uraian di atas, memperjelas bahwa kecerdasan emosional sangat berguna bagi siswa untuk membangun dan membina hubungan yang baik utamanya dalam pergaulan dengan teman sebayanya. Di antara ketrampilan yang dapat digunakan untuk menunjang tercapainya hubungan yang sehat dan produktif adalah dengan menciptakan kesepakatan pada komitmen, mengatasi emosi dan watak-watak satu sama lain, bertanggungjawab terhadap apa yang dapat diubah, berani mengambil resiko, kesediaan melupakan pengalaman menyakitkan, penyesuaian dengan lingkungan, dan penyesuaian terhadap perubahan. Jalinan interaksi sosial diantara siswa dengan teman sebayanya akan membantu proses kematangan emosional siswa. Pernyataan ini diperkuat oleh Yusuf (2002: 197) yang menyebutkan, ” proses pencapaian kematangan emosional dipengaruhi oleh kondisi sosioemosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya”. Pemikiran tersebut menjelaskan bahwa kematangan emosional seseorang dipengaruhi oleh kondisi sosial dan emosional yang ada pada lingkungan sekitarnya, dalam hal ini kondisi emosional siswa sendiri dan juga kondisi pergaulannya dengan teman sebayanya. Sehingga, dapat ditarik kesimpulan antara kecerdasan emosional dan interaksi sosial siswa saling bersinergi dalam menunjang perkembangan siswa agar lebih optimal. 3. Karakteristik Siswa SMP Siswa SMP berada pada masa remaja awal yang umumnya berusia 12—14 tahun. Saat usia remaja, siswa menjalani proses penemuan jati diri. Siswa lebih banyak menghabiskan kegiatannya di sekolah sehingga sering bertemu dan berinteraksi dengan teman sebayanya. Seperti Hurlock (dalam Yusuf, 2002: 59) mengungkapkan, ”remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok”. Maka, dapat dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya memiliki peranan cukup penting bagi perkembangan 32 kepribadiannya. Meskipun demikian, peranan orang tua juga penting bagi siswa karena memiliki porsi dan kapasitas yang berbeda dengan hubungan teman sebaya. Selain itu, siswa juga mengalami perkembangan dalam hal kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, maupun kecerdasan spiritual. Kecerdasan intelektual akan menggiringnya pada pola pikir yang rasional yang berkaitan dengan informasi dari berbagai sumber pengetahuan. Kecerdasan emosional akan membantu siswa dalam mengolah dan memadukan segala sumber pengetahuan yang dimilikinya dengan sumber-sumber perasaan yang secara natural ada pada dirinya. Sedangkan, kecerdasan spiritual akan menuntunnya pada ketenangan jiwa dan kedekatan pada Sang Pencipta. Adanya perubahan pada diri siswa, membuatnya banyak melakukan penyesuaian diri dari berbagai pengalaman dan situasi yag dijalaninya seharihari. Seperti, pendapat Fatimah (2006: 114) yang mengatakan, ”pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman sebaya, serta aktivitas yang dilakuknnya dalam kehidupan sehari-hari”. Berdasarkan pemikiran tersebut, berarti siswa harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial tempat berinteraksinya secara efektif karena terlibat dengan berbagai pihak yang berada di sekitarnya. Siswa juga dihadapkan pada perubahan dalam ranah kognitif, psikologis, dan fisiologis yang cukup signifikan. Tuntutan lingkungan baik dari keluarga, teman, sekolah, maupun masyarakat itulah yang menimbulkan kekhawatiran tersendiri di dalam diri siswa. Oleh karena itu, wajar bila timbul suatu kecemasan pada dirinya karena banyak melalui tekanan, baik dalam diri maupun dari pihak luar. Siswa usia SMP menunjukkan sikap kebigungan dan egosentris yang dominan dalam mencari identitas dirinya. Seperti Fatimah (2006: 93—94) yang menyebutkan bahwa egosentris masih sering terlihat pada usia remaja awal karena masih menitikberatkan pada pikiran sendiri tanpa memikirkan akibat yang mungkin menyebabkan kegagalan dalam menyelesaikan persoalan serta masih sulit membedakan pokok perhatian orang lain daripada tujuan perhatiannya sendiri. 33 Berdasarkan pendapat tersebut, dijelaskan bahwa siswa khususnya usia remaja awal masih mementingkan diri sendiri dan mengalami kesulitan dalam memutuskan suatu hal yang baik bagi dirinya. Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa sangat diperlukan latihan dalam mengasah kecerdasan emosional siswa agar tercapai kehidupan yang seimbang dan efektif. 4. Kontribusi Kecerdasan Emosional terhadap Interaksi Sosial Siswa Masa remaja merupakan masa yang berpengaruh besar dalam menentukan masa depan siswa. Terdapat banyak kejadian dan penyesuaian yang harus dilakukan oleh siswa. Maka dari itu, diperlukan bantuan dari pihak lain dalam menjalani proses penyesuaian. Pihak-pihak tersebut dapat berasal dari orangtua, keluarga, teman, dan masyarakat sekitar. Pihak yang terkait akan membantu proses terbentuknya pribadi yang lebih matang. Ali dan Asrori (2015: 99) memaparkan bahwa remaja sangat ingin diterima dan dipandang sebagai anggota kelompok teman sebaya, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal tersebut mengandung arti bahwa dalam perkembangan sosial remaja khususnya remaja awal yaitu usia SMP, sangat membutuhkan jalinan hubungan yang intens, rukun, dan akrab dengan teman sebayanya. Hal ini terjadi karena siswa membutuhkan pengakuan dan penerimaan atas dirinya. Yusuf (2002: 75) menjelaskan bahwa keberhasilan remaja dalam menyelesaikan tugas mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya mengantarkan ke dalam satu kondisi penyesuaian sosial yang baik dalam keseluruhan hidupnya. Maksudnya adalah ketika remaja sudah mampu untuk berinteraksi dengan baik dan menciptakan hubungan yang sehat dengan teman sebayanya, maka siswa akan lebih mampu melakukan penyesuaian di segala bidang dalam kehidupannya di masa mendatang. Selanjutnya, Suharsono (2002: 103) menjelaskan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosional mampu berinteraksi dengan orang lain dengan baik dan proporsional dan juga mampu mengendalikan diri dari nafsu liar. 34 Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa siswa membutuhkan kecerdasan emosional dalam menjalin interaksi sosial khususnya dengan teman sebayanya dan mengendalikan emosinya. Adanya kecerdasan emosional akan membanntu siswa dalam memikirkan segala tindakan dan keputusan yang akan diambil. Siswa akan mampu memutuskan hal baik dan buruk yang akan berdampak pada dirinya. Manullang dan Milfayetty (2006: 106) juga menerangkan ”kemampuan mengelola suasana hati dan kemampuan membangun hubungan sinergis dengan orang lain akan menjadi kekuatan bagi seseorang dalam menghadapi suatu kehidupan”. Hal tersebut menegaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan hal yang krusial yang sangat bermanfaat bagi siswa, tidak hanya untuk masa kini tetapi juga untuk kebahagiaannya di masa depan. Kecerdasan emosional yang dimiliki siswa akan menunjang kemampuan siswa dalam mengelola suasana hati dan membina hubungan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang sekitarnya. Selain itu, Martin (alih bahasa Angela Hindriati, 2003: 39) menjelaskan, ”seorang pemimpin yang ber-EQ tinggi cenderung lebih sukses daripada seorang pemimpin yang hanya ber-IQ tinggi”. Hal tersebut dapat ditarik benang merah bahwa kesuksesan siswa tidak hanya bergantung pada rational intelligence semata, akan tetapi kecerdasan emosional juga memiliki peranan besar dalam pencapaian kesuksesan siswa karena melibatkan berbagai macam kompetensi pribadi dan kompetensi sosial yang harus dikuasai. Akan lebih baik lagi, jika antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional memiliki kedudukan yang sama besar sehingga akan mempermudah siswa mengembangkan segala potensi yang dimiliki dan juga membantunya dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan secara baik. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosional yang baik akan membantu individu untuk bersikap toleransi, empati, kasih sayang, dan lebih bertanggungjawab atas perasaan, tindakan terhadap orang lain, dan masa depannya. Sedangkan, siswa yang belum memiliki penguasaan kecerdasan emosional dengan baik akan 35 mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, utamanya dalam hal pergaulan dengan teman karena akan sering mengalami perselisihan, kesalahpahaman, ataupun diasingkan dari kelompok teman sebaya. Selain itu, kecerdasan emosional yang dimiliki siswa tidak hanya bermanfaat dalam dunia pergaulannya saja, akan tetapi dapat digunakan dalam berbagai sektor lain yang bisa menunjang ke arah kehidupan yang lebih baik, misal pada bidang pendidikan, bisnis, public speaking, dan juga dalam menciptakan sebuah ide atupun inovasi baru. 5. Penelitian Sebelumnya yang Relevan Penelitian kontribusi kecerdasan emosional terhadap interaksi sosial pada siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Kartasura ini mengacu pada penelitian sebelumnya, yaitu sebagai berikut: a. Penelitian dilakukan oleh Rindy Jihan Permatasari yang berasal dari Univeritas Negeri Semarang pada tahun 2013. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan fenomena yang ada di SMP Negeri 13 Semarang yang menunjukkan bahwa pada kelas VII A mempunyai kemampuan interaksi sosial rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberhasilan dalam meningkatkan interaksi sosial melalui experiential learning dengan teknik outbound. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Subjek penelitian berjumlah 10 siswa terdiri dari 1 siswa yang memiliki interaksi sosial tinggi, 5 siswa yang memiliki interaksi sosial sedang dan 4 siswa yang memiliki interaksi sosial rendah. Metode pengumpulan data menggunakan skala psikologi. Sedangkan, teknik analisis data yang digunakan adalah statistik non parametrik dengan rumus wilcoxon. Hasil uji wilcoxon diperoleh thitung = 55,0 dan ttabel = 8,0 atau berarti Ha diterima dan Ho ditolak. Hasil tersebut menunjukkan interaksi sosial siswa meningkat setelah memperoleh perlakuan berupa experiential learning dengan teknik outbound. Dari hasil penelitian tersebut, menunjukkan interaksi sosial siswa sebelum mendapatkan perlakuan experiential learning dengan teknik outbound sebesar 60% 36 dengan kategori sedang dan setelah mendapatkan perlakuan berupa experiential learning dengan teknik outbound sebesar 76% dengan kategori tinggi. Selain itu, siswa mengalami perkembangan perilaku yang lebih baik dilihat dari meningkatnya indikator percakapan, kerjasama, saling menghormati, keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif, kesamaan, arus pesan yang cenderung dua arah, konteks hubungan tatap muka, tingkat umpan balik yang tinggi, interaksi minimal dua orang dan adanya akibat baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Simpulan dari penelitian ini adalah rendahnya interaksi sosial siswa pada kelas VII A SMP Negeri 13 Semarang meningkat setelah mendapatkan perlakuan berupa experiential learning dengan teknik outbound. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat diketahui pula bahwa interaksi sosial tentu bisa dikelola secara baik apabila terjalin hubungan sosial psikologis yang sehat. Hubungan sosial psikologis terwujud secara nyata dalam interaksi sosial yang terjalin dalam hubungan pertemanan yang intens dan akrab dengan teman sebayanya. b. Penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Khaledian yang berasal dari Faculty of Psychology Department of Payame Noor University di Iran. Penelitian dilkukan pada Tahun 2013 yang berjudul ”The Relationship between Emotional Intelligence (EQ) with Self-esteem and Test Anxiety and also Their Academic Achievements”. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan harga diri (self esteem) dan juga prestasi akademik (Academic Achievements). Subjek penelitiannya adalah mahasiswa akuntansi di Universitas Azad pada tahun 2012—2013 yang mengambil sampel sejumlah 100 orang secara acak dengan menggunakan random sampling. Langkah-langkah pelaksanaannya dilakukan berdasar pada metode penelitian korelasional. Angket yang dibagikan terdiri dari 58 butir soal tentang kecerdasan emosional dan self esteem dan 25 butir soal mengenai prestasi belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan 37 antara kecerdasan emosional kaitannya dengan prestasi akademik dan tidak ada hubungan yang signifikan pula antara self esteem dengan prestasi akademik. Sebaliknya, terdapat hubungan yang signifikan dan sangat positif antara kecerdasan emosional dengan self esteem. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada prestasi akademik laki-laki dan perempuan. Namun, dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, wanita memiliki tingkatan kecerdasan emosional yang lebih besar dari laki-laki. Selain itu, terbukti bahwa kecerdasan emosional memiliki peranan besar kaitannya dengan pengembaran diri individu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mohammed Khaledian ini, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional berbeda dengan kecerdasan kognitif dan sangat berpengaruh pada ranah kejiwaan dan emosi seseorang, karena melibatkan berbagai macam unsur emosi dan perasaan sehingga menimbulkan pengalaman afektif yang beragam pula pada diri individu. B. Kerangka Berpikir Berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan di atas, dapat disusun kerangka pemikiran bahwa kecerdasan emosional diduga memiliki kontribusi terhadap interaksi sosial siswa SMP kelas VIII. Remaja khususnya siswa SMP, masih memiliki kontrol emosi yang fluktuatif. Siswa cenderung emosional dan temperamental. Hal ini akan berdampak buruk bagi perkembangan dan lingkungannya. Untuk memperoleh kontrol emosi yang baik dalam berinteraksi dengan teman, siswa harus memiliki tingkat kecerdasan emosional yang baik pula. Siswa yang memiliki penguasaan kecerdasan emosional yang baik, akan mudah dalam menjalin hubungan dengan teman. Begitu pun sebaliknya, penguasaan kecerdasan emosional yang rendah, akan menyulitkan siswa melakukan interaksi dan menjalin hubungan dengan teman dalam lingkungan pergaulannya. 38 Pemikiran tersebut, dapat diilustrasikan dalam bagan sebagai berikut: Kecerdasan emosional siswa tergolong tinggi Interaksi sosial siswa Siswa Kecerdasan emosional siswa tergolong rendah Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir C. Hipotesis Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Kondisi interaksi sosial siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Kartasura tergolong sedang. 2. Tingkat kecerdasan emosional siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Kartasura tergolong sedang. 3. Kecerdasan emosional siswa berkontribusi terhadap interaksi sosialnya.